Anda di halaman 1dari 26

PORTOFOLIO

HIPERTENSI EMERGENCY DAN EPISTAKSIS

OLEH :
dr. Fani Adhikara

PEMBIMBING :
dr. Edwin
dr. Harry Kuncoro

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT PALANG BIRU GOMBONG

2017
No. ID dan Nama Peserta : dr. Fani Adhikara
No. ID dan Nama Wahana : RS Palang Biru Gombong
Topik : Hipertensi Emergensi + Epistaksis
Tanggal (kasus) : 20 Mei 2017
Presenter : dr. Fani Adhikara
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Edwin & dr. Harry
K
Tempat Presentasi : RS Palang Biru Gombong
Obyektif Presentasi :
 Keilmuan  Ketrampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
Deskripsi : Seorang perempuan berusia 55 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat
dengan keluhan mengalami mimisan dari kedua lubang hidung nya. Mimisan terjadi sekitar
20 menit sebelum pasien datang ke Rumah sakit. Mimisan sampai menghabiskan satu
bungkus tissue. Sebelum mengalami mimisan pasien mengaku mengalami nyeri kepala
hebat. Nyeri kepala dirasakan memberat dan terasa kaku di daerah tengkuk kepala. Selain
itu, pasien juga mengeluh mual dan muntah. Muntah dialami sebanyak 2 kali selama di
rumah. Riwayat pandangan kabur disangkal. Batuk (-), Pilek (-), Sesak napas (-), riwayat
trauma juga disangkal oleh pasien.
Tujuan : mengetahui etiologi, tanda dan gejala, diagnosis dan penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada pasien dengan Hipertensi emergensi dan epistaksis.
Bahan Bahasan :  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara Membahas :  Diskusi  Presentasi & Diskusi  E-mail  Pos
Data Pasien : Nama : Ny. Nuraini No.RM : 116870
Nama Klinik : UGD Telp. : - Terdaftar sejak : 20 Mei 2017
Data Utama Untuk Bahasan Diskusi :
1. Seorang Perempuan berusia 55 tahun datang dengan keluhan mimisan dari kedua
lubang hidung, nyeri kepala hebat (+), terasa kaku di tengkuk kepala (+), muntah
(+), mual (+),
2. Pemeriksaan fisis, BB: 82 kg TB: 165 cm
TD: 190/100 mmHg, N: 87 x/menit, P: 22 x/menit, S: 36.8 0C.
Kepala : Normocephal, rambut hitam ikal
Mata : Rc +/+, Isokor ka/ki, anemis -/-, ikterik -/-
Hidung : Tampak perdarahan massif, jejas (-)
Mulut : Dalam Batas Normal
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Inspeksi : Tampak Simetris ka/ki
Palpasi : Stemfremitus ka/ki
Perkusi : Sonor ka/ki
Auskultasi : BJ I/II reg (+), m(-), g(-)
SP : Bronkhovesikuler +/+
ST : Rh -/- , Wh -/-
Abdomen
Inspeksi : Simetris ka/ki
Palpasi : Soepel (+),
Perkusi : Tymphani
Auskultasi : Peristaltik usus (+)N

Ekstremitas Superior D/S : teraba hangat, nadi kuat angkat


Ekstremitas Inferior D/S : teraba hangat
3. Riwayat pengobatan : pernah mengkonsumsi oral anti hipertensi namun tidak rutin
4. Riwayat kesehatan/penyakit : riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu,
Dislipidemia (+), DM (-), Penyakit jantung (-)
5. Riwayat keluarga : Ayah pasien juga menderita hipertensi
6. Riwayat pekerjaan : IRT
7. Lain-lain : Laboratorium:
Darah Rutin
Leukosit : 6100 mm3
Haemoglobin : 13 g/dl
Eritrosit : 4.41 juta
Hematokrit : 29.9 % (L)
MCV : 68.0 fl (L)
MCHC : 43,4 % (H)
Trombosit : 161000

Ureum : 47mg/dl
Creatinine : 1.0 mg/dl
Glukosa Sewaktu : 132 mg/dl
Asam Urat : 5.8 mg/dl
Cholesterol total : 297 mg/dl (H)
Trigliseride : 431 mg/dl (H)

Hasil Pembelajaran :
1. Mengetahui Etiologi yang terjadi pada pasien dengan Hipertensi Emergensi dan
Epistaksis
2. Mengetahui tanda dan gejala pasien Hipertensi Emergensi dan Epistaksis
3. Membedakan Hipertensi Emergensi dan Hipertensi Urgensi
4. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk pasien Hipertensi Emergensi dan
Epistaksis
5. Mengetahui cara mendiagnosis Hipertensi Emergensi dan Epistaksis
6. Manajemen tata laksana terhadap Hipertensi Emergensi menurut JNC 8

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


- Subyektif
Mimisan (+),
Nyeri kepala (+)
Muntah (+)
Mual (+)

- Obyektif
Keadaan umum: Sakit sedang, gizi baik, compos mentis
BB: 82 kg TB: 165 cm
TD: 190/100 mmHg, N: 87 x/menit, P: 22 x/menit, S: 36.8 0C.
Hidung : Tampak Perdarahan massif

Istilah “Krisis Hipertensi” merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah mendadak pada penderita hipertensi, dimana tekanan darah
sistolik (TDS) >180 mmHg dan tekanan darah Diastolik (TDD) >120mmHg, dengan
komplikasi disfungsi dari target organ, baik yang sedang dalam proses impending maupun
sudah dalam tahap akut progresif. Yang dimaksud target organ disini adalh jantung, otak,
ginjal, mata (retina) dan arteri perifer.1
Sindroma klinis krisis hipertensi meliputi :2
1. Hipertensi emergensi (darurat)

Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak
disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin
dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena.

2. Hipertensi urgensi (mendesak)

Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan
organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan
memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.

- Assessment (penalaran klinis)


Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan utama mimisan pada kedua lubang hidung, nyeri
kepala hebat, terasa kaku di tengkuk kepala, mual dan juga muntah sebanyak dua kali.
Tabel 1. Karakteristik Klinis HE 2
TD (mmHg) Temuan Status Temuan Gejala pada Gejala
funduskopi Neurologis Jantung Ginjal Saluran Cerna
Biasanya >220/140 Perdarahan, Nyeri kepala, Pulsasi apeks Proteinuria, Mual
eksudat, disorientasi, prominen, Oligouria Muntah
edema papil somnolen, stupor, kardiomegali,
gangguan Congestive Heart
penglihatan Failure (CHF)
PENDEKATAN DIAGNOSIS 3-5

- Anamnesis : Selain ditanyakan mengenai etiologi hipertensi pada umumnya, perlu


juga ditanyakan gejala-gejala kerusakan target organ seperti : gangguan penglihatan,
edema pada ekstremitas, penurunan kesadaran, sakit kepala, mual/muntah, nyeri dada,
sesak napas, kencing sedikit/ berbusa, nyeri seperti disayat pada abdomen.
- Pemeriksaan Fisik : Tekanan Darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi
perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan
cairan, funduskopi, dan status neurologis.
- Pemeriksaan Penunjang : darah perifer lengkap, panel metabolic, urinalisis,
toksikologi urin, EKG, CT Scan, MRI, Foto Toraks

MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan
darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai
tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan
terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure(MAP) 60-70
mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen
lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme
ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap,
pingsan dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,sehingga pengurangan aliran
darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2).
Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan yang
normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara
grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol
cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal.
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah
restingMAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak
20%-25% dalam beberapa menit
atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada
penderita
diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-
30 menit
dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi
ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark
serebri akut ataupun perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih
lambat (6-12 jam) dan harus
dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.
- Plan :

Pengobatan:
Penanganan Awal pada pasien ini:
- IVFD Nacl 0.9 % 20 gtt/i macro
- O2 4lpm (Nasal Canul)
- Drips Nicardipine 2amp dalam 50 cc Nacl 0.9%
Flow rate : 4.5cc/jam dalam syringe pump
- Inj.Asam Tranexamat 500mg/iv/8jam
- Paracetamol 3x500mg i.o
- Tampon anterior hidung biasa
- Diet Rendah garam rendah lemak
- Rawat ICU

Laporan Observasi Pasien


Tanggal Subjective Objective Assesment Plan
20Mei2017 mimisan Ku : baik -Hipertensi -IVFD Nacl 0.9 % 20
berhenti TD:140/80 mmHg Emergensi gtt/i macro
sakitkepala ↓ HR : 82x/i (membaik) -O2 4lpm (Nasal Canul)
RR : 20x/i -Epistaksis -Drips Nicardipine 2amp
Temp : 37 C -Dislipidemia dalam 50 cc Nacl 0.9%
Pemeriksaan Fisik Flow rate : 4.5cc/jam
dalambatas normal dalam syringe pump
Cholesterol total : 297 -Inj.Asam Tranexamat
mg/dl (H) 500mg/iv/8jam
Trigliseride:431mg/dl -Paracetamol 3x500mg
(H) i.o
-Tampon anterior hidung
biasa
-Alprazolam1x0.5mg io
-Simvastatin 1x20mg io
-Gemfibrozil1x300mg io
-Diet Rendah garam
rendah lemak
21Mei2017 Mimisan – Ku : baik Hipertensi -IVFD Nacl 0.9 % 20
Sakit kepala TD:140/80 mmHg Emergensi gtt/i macro
↓↓ HR : 86x/i (membaik) -O2 4lpm (Nasal Canul)
RR : 20x/i -Epistaksis -Drips Nicardipine stop
Temp : 36.8 C (membaik) -Captopril 2x25mg io
Pemeriksaan Fisik -Dislipidemia -Amlodipin 1x5mg io
dalambatas normal -Inj.Asam Tranexamat
500mg/iv/8jam stop
-Paracetamol 3x500mg
i.o
-Alprazolam1x0.5mg io
-Simvastatin 1x20mg io
-Gemfibrozil1x300mg io
- Diet rendah garam
rendah lemak
-pindah ke ruang
perawatan biasa
22Mei2017 keluhan - Ku : baik Hipertensi - Boleh pulang
TD:160/80 mmHg Emergensi
HR : 84x/i (membaik) Terapi Pulang :
RR : 20x/i -Epistaksis -Captopril 2x25mg io
Temp : 36.5 C (membaik) -Amlodipin 1x5mg io
Pemeriksaan Fisik -Dislipidemia -Simvastatin 1x20mg io
dalambatas normal -Gemfibrozil 1x300mg io
-Alprazolam 1x0.5mg io
-Kurangi konsumsi garam
dan lemak
Kontrol ke Poli Interna
30Mei2016

 Pada sebagian besar Hipertensi Emergensi, tujuan terapi parenteral dan penurunan
mean arterial pressure (MAP) secara bertahap (tidak lebih dari 25% dalam beberapa
menit sampai 1 jam). Aturannya adalah menurunkan arterial pressure yang
meningkat sebanyak 10% dalam 1 jam pertama, dan tambahkan 15% dalam 3-12
jam. Setelah diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan dapat
dilanjutkan dalam 2-6 jam sampai tekanan darah 160/100-110mmHg selanjutnya
sampai mendekati normal. TD dapat diturunkan lebih lanjut dalam 48 jam
berikutnya. Pengecualian untuk aturan ini antara lain diseksi aorta dan perdarahan
pasca operasi dari bekas jahitan vascular, yang merupakan keadaan yang
membutuhkan normalisasi TD secepatnya. Pada sebagian besar kasus, koreksi cepat
tidak diperlukan karena pasien berisisko untuk perburukan serebral, jantung, dan
iskemi ginjal. 1,4

Terapi antihipertensi parenteral pada HE


Konsultasi:
Konsultasi dengan Spesialis Penyakit Dalam untuk penanganan lebih lanjut

Rujukan:
Tidak diperlukan

Anjuran :
Kurangi makanan yang mengandung banyak garam
HIPERTENSI

A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI


Peningkatan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg secara kronis. Berdasarkan etiologinya,
hipertensi diklasifikasikan menjadi:
1. Hipertensi primer / esensial (insidens 80-95%): hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya.
2. Hipertensi sekunder: akibat suatu penyakit atau kelainan mendasari, seperti stenosis
arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, feokromositoma, hiperaldosteronisme, dan
sebagainya.
B. PATOGENESIS HIPERTENSI PRIMER
Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial. Berbagai mekanisme yang berperan
dalam peningkatan tekanan darah, antara lain:
 Mekanisme neural: stress, aktivasi simpatis, variasi diurnal;
 Mekanisme renal: asupan natrium tinggi dengan retensi cairan;
 Mekanisme vascular: disfungsi endotel, radikal bebas, dan remodelling
pembuluh darah;
 Mekanisme hormonal: system renin, angiotensin, dan aldosterone.
Faktor lainnya seperti genetic, perilaku, dan gaya hidup juga berpengaruh dalam
hipertensi.
C. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Kebanyakan pasien hipertensi bersifat asimtomatik. Beberapa pasien
mengalami sakit kepala, rasa seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang
dapat menunjang kecurigaan ke hipertensi sekunder, antara lain penggunaan obat-
obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, dekongestan, OAINS); sakit kepala
paroksismal, berkeringat, atau takikardi (feokromositoma); riwayat penyakit ginjal
sebelumnya.
Mencari factor risiko kardiovaskular lainnya: merokok, obesitas, inaktivitas
fisik, dislipidemia, diabetes mellitus, mikroalbuminuria, atau laju filtrasi
glomerulus (LFG) < 60 mL/menit, usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan > 65
tahun), riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki-laki < 55 tahun
atau perempuan < 65 tahun).

2. Pemeriksaan fisik
Nilai tekanan darah diambil dari rerata dua kali pengukuran pada setiap kali
kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih
kunjungan, hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaan tekanan darah harus
dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset yang tepat (setingkat
dengan jantung), serta teknik yang benar.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi:
i. Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula
darah, lemak darah, elektrolit, kalsium, asam urat, dan urinalisis;
ii. Pemeriksaan lain: pemeriksaan fungsi jantung (elektrokardiografi),
funduskopi, USG ginjal, foto toraks, ekokardiografi.
b. Pemeriksaan penunjang untuk kecurigaan klinis hipertensi sekunder:
i. Hipertiroidisme/hipotiroidisme: fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3);
ii. Hiperparatiroidisme: kadar PTH, ion kalsium
iii. Hiperaldosteronisme primer: kadar aldosterone plasma, renin plasma,
CT-Scan abdomen, kadar serum natrium meningkat, kalium menurun,
peningkatan ekskresi kalium dalam urin, ditemukan alkalosis metabolic;
iv. Feokromositoma: kadar metanefrin, CT-Scan/MRI abdomen;
v. Sindrom Cushing: kadar kortisol urin 24 jam
vi. Hipertensi renovaskular: CT-angiografi arteri renalis, USG ginjal,
Doppler sonografi.
D. TATALAKSANA HIPERTENSI PRIMER
Tatalaksana hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa:
1. Modifikasi gaya hidup
a. Penurunan berat badan
Target indeks massa tubuh dalam rentang normal, untuk orang Asia Pasifik
18,5-22,9 Kg/m².
b. Diet
Secara umum makanan dapat beraneka ragam tetapi ada bahan makanan yang
dihindari, yakni :
 Jeroan (otak, ginjal, paru, jantung) dan daging kambing;
 Makanan olahan dengan garam Natrium: kraker, pastries, kerupuk,
keripik, dan sebagainya;
 Makanan dan minuman kaleng;
 Makanan diawetkan: dendeng, abon, ikan asin, ikan pindang, udang
kering, telur asin, pindang, selai kacang, acar, manisan buah;
 Mentega dan keju;
 Bumbu: kecap asin, terasi, petis, garam, saus tomat, saus sambal, tauco,
bumbu penyedap;
 Makanan beralkohol: durian, tape;
Seringkali pasien dengan diet hipertensi memiliki masalah dalam hal rasa
makanan karena terbatasnya garam yang boleh dikonsumsi dalam satu hari. Ada
beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan asupan makanan:
 Rasa dapat ditambah dengam gula merah, gula pasir, bawang merah,
bawang putih, jahe, kencur, atau bumbu lain yang tidak mengandung
Natrium;
 Gunakan garam rendah natrium
 Olah makanan dengan ditumis, digoreng, atau dipanggang;
 Garam dapat dibubuhkan diatas meja makan, tidak lebih dari ½ sendok
teh. Konsumsi NaCl yang disarankan < 6 g/hari.
c. Aktivitas fisik
Target aktivitas fisik yang disarankan minimal 30 menit/hari, dilakukan paling
tidak 3 hari dalam seminggu
2. Terapi medikamentosa
Menurut JNC 8 pilihan antihipertensi didasarkan pada usia, ras, serta ada atau
tidaknya DM dan penyakit ginjal kronik (PGK). Pada populasi umum non ras hitam
dengan atau tanpa DM, pemilihan antihipertensi awal dapat berupa diuretik tiazid,
Calcium channel blocker (CCB), Angiotensin converter enzyme inhibitor (ACEI),
atau Angiotensin receptor blocker (ARB). Penggunaan β-blocker, α-blocker,
adrenolitik sentral (klonidin, metildopa), penghambat reseptor adrenergic α
(reserpine), direct vasodilator (hidralazin), antagonis aldosteron (spironolakton),
diuretik loop (furosemide) tidak direkomendasikan untuk lini pertama hipertensi.

Gambar 1. Mekanisme kerja obat antihipertensi (Ashley dan Niebauer, 2004)


Sekali terapi antihipertensi dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat
pengaturan dosis setiap bulan sampai target tekanan darah tercapai. Pantau tekanan
darah, LFG, dan elektrolit. Setelah tekanan darah mencapai target dan stabil,
frekuensi kunjungan dapat diturunkan hingga mencapai 3-6 bulan sekali. Jika
setelah dilakukan intervensi selama 1 bulan tekanan darah tidak mencapai target,
evaluasi terhadap pengobatan dan gaya hidup, serta pertimbangkan terapi
kombinasi sesuai strategi titrasi obat.
Tabel 1. Beberapa jenis antihipertensi oral
Kelas obat Subkelas Contoh obat Dosis/hari
(Frekuensi dosis Efek Samping
harian)
Tiazid Hidroklortiazid 12,5-50 mg (1x) Hipokalemi, hiperurisemi,
Diuretik (HCT) hipoglikemi, peningkatan
Klortalidon 12,5-50 mg (1x) kolesterol dan trigliserid

Diuretik loop Furosemid 20-80 mg (2x) Hipokalemi, hiperurisemi

Diuretik Amilorid 5-10 mg (1-2x) Hiperkalemi, ginekomasti


hemat
kalium
Propanolol 40-160 mg (2x) Bronkospasme, bradikardi,
Β- blok jantung, rasa lelah,
blocker Atenolol 25-100 mg (1x) peningkatan trigliserid
Bisoprolol 2,5-10 mg (1x)

Captopril 25-100 mg(2x) Batuk-batuk, hiperkalemi,


ACEI azotemi, angioedema.
Ramipril 2,5-20 mg (1x)
Pemberian dihentikan jika
Lisinopril 10-40 mg (1x) terdapat penurunan LFG <
30% dari baseline dalam 4
bulan / kadar kalium darah
≥ 5,5 mEq/L

ARB Valsartan 80-320mg (1-2x) Hiperkalemi, azotemi

Irbesartan 150-300 mg (1x)

Losartan 25-100 mg(1-2x)

Nondihidro- Verapamil 120-360 mg (1x) Edema, konstipasi


piridin
CCB Diltiazem 120-540 mg (1x)

Dihidro- Amlodipin 2,5-10 mg (1x) Edema, konstipasi,


piridin bradikardi, blok jantung
Nifedipin lepas 30-60 mg (1x)
lambat

Klonidin 0,1-0,8 mg (2x) Mulut kering, pusing,


sedasi ringan, kelelahan,
depresi, edema
Agonis α Reserpin 0,1-0,25 mg (1x) Angina, bradikardi, sinkop,
sentral pusing, depresi, mimpi
buruk, dyskinesia tardif,
letargi

Antagonis Spironolakton 25-50 mg (1x) Hiperkalemi, ginekomasti,


aldosterone hiponatremi, ruam

Berikut ini adalah beberapa golongan obat antihipertensi :


a. Diuretik
 Golongan tiazid
Tiazid menghambat reabsorpsi NaCl pada tubulus distal dengan
menghambat kanal Na+/Cl-. Sekresi obat golongan tiazid
berkompetisi dengan sekresi asam urat pada tubulus proksimal
ginjal. Oleh karena itu, penggunaan tiazid dapat mengurangi sekresi
asam urat dan meningkatkan asam urat serum. Tiazid
dikontraindikasikan pada pasien dengan gout, pertimbangkan
pemberian tiazid pada pasien dengan sindroma metabolic,
intoleransi glukosa, kehamilan, hiperkalsemia, dan hipokalemia.
 Diuretik loop
Diuretik kuat secara selektif menghambat reabsorpsi NaCl pada ansa
henle dengan menghambat transporter Na+/K+/2Cl-. Sekresi diuretik
kuat berkurang dengan pemberian NSAID dan probenesid, yang
berkompetisi dengan diuretik kuat untuk disekresikan pada tubulus
proksimal.
 Diuretik hemat kalium
Golongan obat ini menghambat sekresi K+ melalui efek antagonis
aldosteron pada tubulus distal dan tubulus kolektivus. Inhibisi dapat
terjadi secara langsung pada reseptor mineralokortikoid
(spironolakton) atau dengan menginhibisi influx Na+ melalui kanal
ion pada membran luminal (amilorid). Golongan ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal akut atau berat
dan hiperkalemia.

b. Β-Blocker
Dengan pemberian β bloker baik yang kardioselektif maupun non selektif
akan menghambat reseptor β1, yang akan menyebabkan :
 Penurunan frekuensi jantung dan kontraktilitas miokard sehingga curah
jantung menurun.
 Menghambat sekresi renin yang berakibat berkurangnya penurunan
produksi angiotensin II.
 Efek sentral berupa penurunan aktivitas simpatis, perubahan sensitivitas
baroreseptor, dan perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer

Golongan β-blocker dikontraindikasikan pada pasien dengan asma


bronkiale dan AV-block derajat 2 atau 3. Pertimbangkan pemberian β-
blocker pada pasien dengan sindrom metabolic, intoleransi glukosa, pasien
aktif secara fisik / atlet, dan PPOK.

c. Calcium Channel Blocker (CCB)


Antagonis kalsium akan menghambat influks kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard, sehingga akan menyebabkan relaksasi
arteriol. CCB dibagi ke dalam dua golongan:
 Dihidropiridin (Nikardipin, amlodipin, nifedipin)
Bekerja dengan cara menurunkan resistensi perifer tanpa penurunan
fungsi jantung yang berarti karena memiliki afinitas yang lebih kuat
dengan kanal kalsium vaskular dibanding dengan kanal kalsium
jantung. Pertimbangkan pemberian obat golongan ini pada pasien
dengan takiaritmia dan gagal jantung.
 Non-dihidropiridin (Diltiazem, verapamil)
Golongan ini mempengaruhi sistem konduksi jantung dan
cenderung melambatkan denyut jantung. Obat golongan ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan Blok AV derajat 2 atau 3,
disfungsi ventrikel kiri berat, dan gagal jantung.

d. Angiotensin converting enzyme inhibitor


Kaptopril dan obat golongan ACE-I lainnya bekerja dengan cara
menginhibisi enzim peptidil dipeptidase. Enzim ini bekerja mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II dan sebagai plasma kininase berperan
menginaktivasi bradikinin yang bersifat vasodilator poten. Efek hipotensif
kaptopril secara kumulatif terjadi karena blokade aksis renin-angiotensin
serta pengaktifan sistem kallikrein-kinin secara bersamaan. Vasodilatasi
secara langsung akan menurunkan tekanan darah. Ekskresi air dan natrium
yang meningkat akibat berkurangnya sekresi aldosteron juga akan
membantu penurunan tekanan darah. Penggunaan ACE-I jangka panjang
tidak menyebabkan terjadinya toleransi dan penghentian obat tidak akan
menimbulkan hipertensi rebound. Refleks takikardia tidak terjadi pada
pengobatan dengan ACE-I sehingga dapat digunakan pada pasien penyakit
jantung iskemik. ACEI dikontraindikasikan pada pasien dengan kehamilan,
edema angioneurotik, hiperkalemia, stenosis arteri renalis bilateral.
Pemberiannya dapat dipertimbangkan pada perempuan usia subur.
e. Angiotensin receptor blocker (ARB)
ARB bekerja selektif pada reseptor Angiotensin 1 (AT1). Pemberian obat
ini akan menghambat semua efek Angiotensin II, seperti vasokonstriksi,
sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral Angiotensin II
(sekresi vasopresin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek renal, serta
efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah dan
miokardium. Dengan kata lain, ARB menimbulkan efek yang mirip dengan
pemberian ACE-I. Akan tetapi, metabolisme bradikinin tidak dipengaruhi
sehingga efek samping batuk kering dan angioedema seperti yang sering
terjadi pada pemakaian ACE-I tidak ditemui. Pemberian ARB menurunkan
tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian
mendadak tidak menimbulkan hipertensi rebound. ARB
dikontraindikasikan pada pasien dengan kehamilan, hiperkalemia, dan
stenosis arteri renalis bilateral. Pemberiannya dapat dipertimbangkan pada
perempuan usia subur.

f. Adrenolitik sentral
 Metildopa
Bekerja melalui stimulasi reseptor α2 di sentral sehingga
mengurangi sinyal simpatis ke perifer. Metildopa dapat menurunkan
resistensi perifer tanpa banyak mempengaruhi frekuensi dan curah
jantung.
 Klonidin
Obat ini bekerja pada reseptor α2 di susunan saraf pusat dengan efek
penurunan simpathetic outflow. Efek hipotensif klonidin terjadi
karena penurunan resistensi perifer dan curah jantung.

g. Bloker saraf adrenergic


 Reserpin
Reserpin bekerja dengan cara memblok aktivitas adrenergik yang
menyebabkan penurunan tekanan darah yang berlangsung lambat,
disertai takikardi, serta penurunan resistensi perifer. Reserpin juga
menimbulkan efek sedasi dan sikap tidak acuh terhadap sekitar. Obat
ini dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat depresi dan
ulkus peptikum.

h. Penghambat reseptor adrenergik α


Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula
sehingga menurunkan resistensi perifer. Selain itu, venodilatasi
menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan
curah jantung. Venodilatasi dapat menyebabkan hipotensi ortostatik
terutama pada pemberian dosis awal, namun tidak diikuti dengan timbulnya
refleks takikardi, hal ini disebabkan oleh :
 α1- bloker tidak memblok reseptor α2 sehingga tidak meningkatkan
pelepasan NE dari ujung saraf.
 Penurunan aliran balik vena menyebabkan berkurangnya
peningkatan curah jantung dan denyut jantung.
 bekerja sentral untuk mengurangi pelepasan NE dari ujung saraf di
perifer
 menekan fungsi baroreseptor pada pasien hipertensi
Antagonis α juga sangat baik untuk pasien hipertensi dengan hipertrofi
prostat, karena hambatan reseptor α1 akan merelaksasi otot polos prostat
dan sfingter uretra sehingga mengurangi retensi urin. Obat golongan ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hepar dan ginjal yang
berat.

i. Vasodilator
 Hidralazin
Obat ini bekerja langsung merelaksasi otot polos arteriol dengan
mekanisme yang belum dapat dipastikan. Vasodilatasi yang terjadi
menimbulkan refleks kompensasi yang kuat berupa peningkatan
kekuatan dan frekuensi denyut jantung, peningkatan renin dan
norepinefrin plasma. Obat ini dikontraindikasikan pada hipertensi
dengan penyakit jantung koroner dan tidak dianjurkan pada pasien
di atas 40 tahun.
 Minoksidil
Obat ini bekerja dengan membuka kanal kalium sensitif ATP (ATP-
dependent potassium channel) dengan akibat terjadinya efluks
kalium dan hiperpolarisasi membran yang diikuti oleh relaksasi otot
polos pembuluh darah dan vasodilatasi. Efeknya lebih kuat pada
arteriol daripada vena. Minoksidil lebih kuat dan kerjanya lebih lama
dibanding hidralazin. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien
hipertensi dengan PJK, edema paru, dan hipertensi dengan
koarktasio aorta.
 Natrium Nitroprussid
Obat ini merupakan vasodilator yang kerjanya paling cepat dan
efektif untuk mengatasi hipertensi emergency. Obat ini merupakan
donor NO yang bekerja dengan mengaktifkan guanilat siklase dan
meningkatkan konversi GTP menjadi GMP-siklik pada otot polos
pembuluh darah. Selanjutnya terjadi penurunan kalsium intrasel
dengan efek akhir vasodilatasi arteriol dan venula. Pemberian
natrium nitroprusid harus dengan hati-hati karena dapat terjadi
hipotensi berlebihan dan pada dosis tinggi dapat terjadi efek toksik
akibat konversi nitropusid menjadi sianida dan tiosianat.
Setelah tekanan darah tercapai, pengobatan harus dilanjutkan dengan tetap
memperhatikan efek samping dan komplikasi hipertensi. Pasien perlu diedukasi
bahwa terapi antihipertensi bersifat jangka panjang (seumur hidup) dan terus
dievaluasi secara berkala.

Kriteria rujukan pasien hipertensi adalah pasien yang telah diterapi menurut
algoritma dan tidak mencapai tekanan darah target, dan pasien hipertensi dengan
penyulit dan membutuhkan konsultasi klinis tambahan.

Pasien hipertensi ≥ 18

Modifikasi gaya hidup

Tetapkan target TD dan mulai antihipertensi berdasarkan usia, ada


Gambar 2. Algoritma Tata Laksana Hipertensi (JNC 8, 2014)

E. KOMPLIKASI
Komplikasi hipertensi berdasarkan target organ, antara lain :
 Serebrovaskular: stroke, transient ischemic attack, demensia vascular;
 Mata: retinopati hipertensif;
 Kardiovaskular: penyakit jantung hipertensif, disfungsi atau hipertrofi ventrikel
kiri, penyakit jantung koroner;
 Ginjal: nefropati hipertensif, albuminuria, penyakit ginjal kronis;
 Arteri perifer: klaudikasio intermitten

KRISIS HIPERTENSI
A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI

Krisis hipertensi merupakan sebuah kegawatdaruratan yang memerlukan


penurunan tekanan darah segera. Krisis hipertensi terdiri dari :

1. Hipertensi urgensi
Tekanan darah sistolik > 180 mmHg ATAU diastolik >120 mmHg tanpa
disertai jejas organ target. Pada pasien dengan tekanan darah melebihi range
hipertensi stage II bisa ditemukan nyeri kepala hebat, sesak napas, epistaksis,
dan ansietas berat. Gejala tersebut muncul terutama pada pasien hipertensi yang
tidak mendapatkan pengobatan antihipertensi atau tidak mendapatkan
pengobatan antihipertensi yang adekuat, seringkali pasien tidak menunjukkan
adanya jejas organ target.
2. Hipertensi emergensi
Tekanan darah sistolik > 180 mmHg ATAU diastolik > 120 mmHg disertai jejas
organ target yang progresif. Beberapa organ target pada hipertensi krisis yang
harus diwaspadai, antara lain :
 Neurologi : ensefalopati hipertensi, stroke iskemik / hemoragik, papil edem,
perdarahan intrakranial;
 Jantung : sindrom koroner akut, edema paru, diseksi aorta, gagal jantung
akut;
 Ginjal : proteinuria, hematuria, gangguan ginjal akut;
 Preeklamsia / eklamsia, anemia hemolitik, dan lain-lain.

B. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi krisis hipertensi hingga saat ini masih belum diketahui dengan
jelas. Diperkirakan, krisis hipertensi diakibatkan kegagalan fungsi autoregulasi dan
peningkatan resistensi vascular sistemik yang mendadak dan cepat. Peningkatan
tekanan darah menyebabkan stres mekanik dan jejas endotel sehingga permeabilitas
pembuluh darah meningkat. Hal tersebut juga memicu kaskade koagulasi dan deposisi
fibrin. Hal tersebut menyebabkan iskemia serta hipoperfusi organ yang menyebabkan
gangguan fungsi. Siklus tersebut berlangsung dalam sebuah lingkaran yang
berkelanjutan sehingga disfungsi organ target bersifat progresif (semakin berat).

C. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Riwayat hipertensi dan pengobatan hipertensi sebelumnya. Riwayat
konsumsi agen-agen vasopresor seperti simpatomimetik. Gejala organ
target yang dirasakan (serebrovaskular, jantung, dan fungsi penglihatan).
2. Pemeriksaan fisik
a. Tekanan darah: tekanan darah sistolik > 180 mmHg, tekanan darah
diastolik > 120 mmHg;
b. Funduskopi: spasme arteri segmental atau difus, edema retina,
perdarahan retina (superfisial, berbentuk api, atau titik), eksudat retina,
papilledema, vena membesar;
c. Pemeriksaan neurologis: sakit kepala, bingung, kehilangan penglihatan,
deficit fokal neurologis, kejang, koma;
d. Status kardiopulmoner;
e. Pemeriksaan cairan tubuh: oliguria pada gangguan ginjal akut;
f. Pemeriksaan denyut nadi perifer
3. Pemeriksaan penunjang
a. Hematokrit dan apusan darah;
b. Urinalisis: proteinuria, eritrosit pada urine;
c. Kimia darah: peningkatan kreatinin, azotemia (ureum > 200 mg/dL),
glukosa, elektrolit;
d. Elektrokardiografi: adanya iskemia, hipetrofi ventrikel kiri;
e. Foto toraks (jika ada kecurigaan gagal jantung atau diseksi aorta)

D. TATALAKSANA
1. Hipertensi Urgensi
Penurunan tekanan darah dilakukan dalam beberapa jam dengan target
tekanan darah normal dalam waktu 1-2 hari menggunakan antihipertensi
oral. Setelah tekanan darah mencapai normal. Lakukan :
 Identifikasi penyebab hipertensi urgensi;
 Pemberian regimen antihipertensi dalam jangka panjang untuk
control tekanan darah.

Tabel 2. Jenis dan Profil Antihipertensi pada Hipertensi Urgensi


Obat Dosis Awitan Kerja Durasi Aturan Penggunaan
Kerja

Dapat diulang dalam 15


menit. Kaptopril menjadi
obat pilihan karena
Kaptopril 12,5-25 mg 15 menit 4-6 jam keamanannya dan
penurunan tekanan darah
yang cepat;

Klonidin 75-150 µg 30 menit – 2 jam 6-8 jam Dapat diulang setiap jam

Propanolol 10-40 mg 15-30 menit 3-6 jam Dapat diulang setiap 30


menit

Tekanan darah dapat


menurun dengan sangat
cepat sehingga sangat sulit
untuk mengatur respon,
serta meningkatkan risiko
Nifedipin 5-10 mg 5-15 menit 3-5 jam iskemia serebral dan
jantung. Oleh karena itu
penurunan tekanan darah
dengan nifedipin sudah
jarang dilakukan.

2. Hipertensi Emergensi
Target terapi ialah penurunan mean arterial pressure (MAP) < 25% semula
dalam waktu kurang dari 1 jam dengan agen parenteral. Setelah stabil, dalam
2 – 6 jam turunkan tekanan darah diastol hingga mencapai 160/110-100
mmHg. Jika masih tetap stabil, turunkan tekanan darah hingga sesuai target
dalam 24-48 jam. Penurunan tekanan darah mendadak dapat menyebabkan
iskemia organ target. Khusus pada diseksi aorta tanpa syok, target tekanan
darah sistolik 120 mmHg harus dicapai dalam 20 menit. Penurunan dan
pemantauan tekanan darah sebaiknya dilakukan di intensive care unit (ICU).
Tabel 3. Jenis, Profil, dan Indikasi Organ Target Antihipertensi Parenteral
pada Hipertensi Emergensi
Obat Dosis Awitan Durasi Efek Samping Indikasi organ
Kerja Kerja target

Nyeri kepala, mual, Stroke,


Nikardipin 5-15 5-10 1-4 jam flushing, refleks perdarahan
mg/jam menit takikardi intracranial,
EH, diseksi
aorta, EPA,
eklamsia

Nyeri kepala,
muntah,
Nitrogliserin 5-100 2-5 menit 5-10 methemoglobinemia, EPA, SKA
µg/menit menit efek toleransi bila
digunakan jangka
panjang
0,3 µg/
KgBB/ jam Pusing, mulut
dalam 250 kering, hipotensi
Klonidin* cc D5%. 5-10 3-7 jam ortostatik, efek Semua organ
Dosis max menit withdrawal target
750 µg/24
jam
0,25-10 µg/ Mual, muntah, kedut
Nitroprusid** KgBB/ Sangat 1-2 menit otot, refleks Diseksi aorta,
menit cepat takikardia, toksisitas EH
sianida
20-80 mg Diseksi aorta,
IV bolus Mual, muntah, SKA,
setiap 10 bronkokonstriksi, eklamsia,
Labetalol menit 5-10 3-6 jam pusing, hipotensi stroke,
HCl*** dan/atau menit ortostatik, gagal perdarahan
0,5-2 jantung, blok nodus intracranial,
mg/menit AV EH dengan
IV infus gangguan
fungsi ginjal

Pusing, nyeri kepala,


Hidralazin 10-20 mg 10-20 1-4 jam flushing, refleks Pre-eklamsia,
IV bolus menit takikardi, angina eklamsia

0,1 mg/ kg/


menit max Pusing, nyeri kepala, EPA, EH atau
1,6 mg/ kg/ 1 jam mual, flushing, organ target
Fenoldopam± menit. 10-30 setelah refleks takikardia, lainnya
Titrasi naik menit stop angina, peningkatan dengan
per 0,05-0,1 pemberian TIO gangguan
mg/ kg/ fungsi ginjal
menit
* Dibutuhkan penyesuaian dosis pada insufisiensi renal (50-75% dosis)
** Nitroprusid merupakan pilihan antihipertensi terakhir karena memiliki risiko
toksisitas sianida. Sebaiknya digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal dan hati
yang normal, dan tidak disarankan untuk SKA, perdarahan intracranial dan stroke

*** Pada diseksi aorta dapat dikombinasikan dengan vasodilator intravena lainnya

± Dapat digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dikontraindikasikan


jika terdapat glaucoma

Keterangan: AV: atrioventrikular; EH: ensefalopati hipertensi; EPA: edema paru


akut; SKA: sindrom koroner akut; TIO: tekanan intra-okular.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ashley EA, Niebauer J. Cardiology Explained. London: Remedica; 2004. Chapter
6, Hypertension. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2217/
(diakses 14 Maret 2016)
2. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler
J, dkk. 2014. Evidence-based guidelines for the management of high blood pressure
in adults: Report from the panel members appointed to the Eight Joint National
Committee (JNC8). JAMA. 2013
3. Nafrialdi. Antihipertensi. Dalam : Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi edisi ke-
5. 2008. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.h.364-50.
4. Tanto C dan Hustrini NM. Hipertensi, dalam : Kapita Selekta Kedokteran II Edisi
IV. 2014. Jakarta : Media Aesculapius. h.635-639.
5. Tanto C dan Hustrini NM. Krisis Hipertensi, dalam : Kapita Selekta Kedokteran II
Edisi IV. 2014. Jakarta : Media Aesculapius. h.642-644.

Anda mungkin juga menyukai