Anda di halaman 1dari 45

PUSAT STUDI AL-

AL-QUR’AN

ENSIKLOPEDI
AL-
AL-QUR’AN
Penyunting

Helmi Maulana
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................
................................................................................................
................................................................................................
....................................................................................
.................................................... i
ENSIKLOPEDIA AL-
AL-QUR’AN................................
QUR’AN................................................................
................................................................................................
................................................................................
................................................ 1
‘ADL (ADIL, KEADILAN) .......................................................................................................................... 1
AFLAHA (BERUNTUNG) ......................................................................................................................... 4
AHLÂM (MIMPI) .......................................................................................................................................... 6
AHMAD (YANG TERPUJI/AHMAD) ................................................................................................. 8
ALSINAH (LIDAH) ....................................................................................................................................10
AMÎN (YANG TERPERCAYA) .............................................................................................................12
ANA’A (WAKTU)........................................................................................................................................13
ARBÂB (TUHAN-TUHAN) ....................................................................................................................15
ÂYAH (AYAT, TANDA) ..........................................................................................................................18
FAKKARA (MEMIKIRKAN, BERFIKIR) ............................................................................................21
FAUZ (KEBRUNTUNGAN) ...................................................................................................................22
FITHRI (SUCI) .............................................................................................................................................24
JIHAD (JIHAD).............................................................................................................................................26
LAIL (MALAM HARI) ...............................................................................................................................29
MUSHÎBAH (MUSIBAH) .........................................................................................................................30
NABIY (NABI) ..............................................................................................................................................31
SHIYÂM (PUASA) ......................................................................................................................................34
TAQWÂ (TAKWA) ....................................................................................................................................35
‘ULAMÂ’ (ULAMA) ....................................................................................................................................38
UMMIY (TIDAK BISA BACA-TULIS) .................................................................................................40

i
ENSIKLOPEDIA AL-
AL-QUR’AN

‘ADL (ADIL, KEADILAN) yang sama’. Sementara itu, pakar lain


mendefinisikan kata ‘adl dengan
Kata ‘adl adalah bentuk mashdar ‘penempatan sesuatu pada tempat yang
dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan semestinya’. Ada juga yang menyatakan
– wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan ( –     bahwa ‘adl adalah ‘memberikan hak
       
  –  
 –   
 ) . Kata kepada pemiliknya melalui jalan yang
kerja ini berakar pada huruf-huruf ‘ain terdekat’. Hal ini sejalan dengan
(
 ), dâl (), dan lâm ( ), yang pendapat Al-Maraghi yang
memberikan makna kata ‘adl dengan
makna pokoknya adalah ‘al-istiwâ’’
‘menyampaikan hak kepada pemiliknya
(  
  = keadaan lurus) dan ‘al-
secara efektif’.
i‘wijâj’ (  
  = keadaan Kata ‘adl (
 ) di dalam berbagai
menyimpang). Jadi rangkaian huruf- bentuknya terulang sebanyak 28 kali di
huruf tersebut mengandung makna dalam Al-Qur’an. Kata ‘adl sendiri
yang bertolak belakang, yakni ‘lurus’ disebutkan 13 kali, yakni pada QS. Al-
atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau Baqarah [2]: 48, 123, dan 282 (dua
‘berbeda’. Dari makna pertama, kata kali), QS. An-Nisâ’ [4]: 58, QS. Al-
‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan Mâ’idah [5]: 95 (dua kali) dan 106,
benar’. Jadi, seorang yang ‘adl adalah QS. Al-An‘âm [6]: 70, QS. An-Nahl
berjalan lurus dan sikapnya selalu [16]: 76 dan 90, QS. Al-Hujurât [49]:
menggunakan ukuran yang sama, bukan 9, serta QS. Ath-Thalâq [65]: 2.
ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an
merupakan makna asal kata ‘adl, yang memiliki aspek dan objek yang
menjadikan pelakunya “tidak berpihak” beragam, begitu pula pelakunya.
kepada salah seorang yang berselisih, Keragaman tersebut mengakibatkan
dan pada dasarnya pula seorang yang keragaman makna ‘adl (keadilan).
‘adl “berpihak kepada yang benar” Menurut penelitian M. Quraish Shihab
karena baik yang benar maupun yang bahwa —paling tidak— ada empat
salah sama-sama harus memperoleh makna keadilan.
haknya. Dengan demikian, ia Pertama, ‘adl di dalam arti ‘sama’.
melakukan sesuatu yang patut dan Pengertian ini yang paling banyak
tidak sewenang-wenang. terdapat di dalam Al-Qur’an, antara
Al-Ashfahani menyatakan bahwa lain pada QS. An-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan
kata ‘adl berarti ‘memberi pembagian 129, QS. Asy-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-

1
Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl [16]: 76, setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa
90, dan QS. Al-Hujurât [49]: 9. Kata manusia memunyai hak yang sama oleh
‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ karena mereka sama-sama manusia.
pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud Dengan begitu, keadilan adalah hak
adalah persamaan di dalam hak. Di setiap manusia dengan sebab sifatnya
dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 58, misalnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi
ditegaskan, Wa izâ hakamtum bain an- dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran
nâsi an tahkumû bi al-‘adl (   ! " #
 $  ketuhanan.
    % ! "
&' ( )
  *
 +, 
  % = Apabila Kedua, ‘adl di dalam arti
‘seimbang’. Pengertian ini ditemukan di
[kamu] menetapkan hukum di antara
dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 dan QS.
manusia supaya kamu menetapkan
Al-Infithâr [82]: 7. Pada ayat yang
dengan adil). Kata ‘adl di dalam ayat
disebutkan terakhir, misalnya
ini diartikan ‘sama’, yang mencakup
dinyatakan, Alladzî khalaqaka fa-
sikap dan perlakuan hakim pada saat
sawwâka fa-‘adalaka ( -
 +.
 / 0
 1 2 3
 4
 5 6 
proses pengambilan keputusan. Yakni,
menuntun hakim untuk menetapkan 0
    / = [Allah] Yang telah
pihak-pihak yang bersengketa di dalam menciptakan kamu lalu
posisi yang sama, misalnya tempat menyempurnakan kejadianmu dan
duduk, penyebutan nama (dengan atau menjadikan [susunan tubuh]mu
tanpa embel-embel penghormatan), seimbang). M. Quraish Shihab
keceriaan wajah, kesungguhan menjelaskan bahwa keseimbangan
mendengarkan, memikirkan ucapan ditemukan pada suatu kelompok yang
mereka, dan sebagainya, yang termasuk di dalamnya terdapat beragam bagian
di dalam proses pengambilan yang menuju satu tujuan tertentu,
keputusan. Menurut Al-Baidhawi selama syarat dan kadar tertentu
bahwa kata ‘adl bermakna ‘berada di terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan
pertengahan dan mempersamakan’. terhimpunnya syarat yang ditetapkan,
Pendapat seperti ini dikemukakan pula kelompok itu dapat bertahan dan
oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan berjalan memenuhi tujuan kehadiran-
yang diperintahkan di sini dikenal oleh nya. Jadi, seandainya ada salah satu
pakar bahasa Arab; dan bukan berarti anggota tubuh manusia berlebih atau
menetapkan hukum (memutuskan berkurang dari kadar atau syarat yang
perkara) berdasarkan apa yang telah seharusnya maka pasti tidak akan
pasti di dalam agama. Sejalan dengan terjadi keseimbangan (keadilan).
pendapat ini, Sayyid Quthub Keadilan di dalam pengertian
menyatakan bahwa dasar persamaan itu ‘keseimbangan’ ini menimbulkan
adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki keyakinan bahwa Allah Yang

2
Mahabijaksana dan Maha Mengetahui semua yang ada, sedangkan semua yang
menciptakan serta mengelola segala ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya.
sesuatu dengan ukuran, kadar, dan Di dalam pengertian inilah harus
waktu tertentu guna mencapai tujuan. dipahami kandungan QS. ;li ‘Imrân [3]:
Keyakinan ini nantinya mengantarkan 18, yang menunjukkan Allah swt.
kepada pengertian ‘Keadilan Ilahi’. sebagai Qâ’iman bi al-qisth ( <!= 7
Ketiga, ‘adl di dalam arti
>.1  % = Yang menegakkan keadilan).
‘perhatian terhadap hak-hak individu
dan memberikan hak-hak itu kepada Di samping itu, kata ‘adl
setiap pemiliknya’. Pengertian inilah digunakan juga di dalam berbagai arti,
yang didefinisikan dengan yakni (1) ‘kebenaran’, seperti di dalam
‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’ QS. Al-Baqarah [2]: 282; (2)
atau ‘memberi pihak lain haknya ‘menyandarkan perbuatan kepada selain
melalui jalan yang terdekat’. Lawannya Allah dan, atau menyimpang dari
adalah ‘kezaliman’, yakni pelanggaran kebenaran’, seperti di dalam QS. An-
terhadap hak-hak pihak lain. Nisâ’ [4]: 135; (3) ‘membuat sekutu
Pengertian ini disebutkan di dalam QS. bagi Allah atau mempersekutukan
Al-An‘âm [6]: 152, Wa Idzâ qultum Allah (musyrik)’, seperti di dalam QS.
fa‘dilû wa-lau kâna dzâ qurbâ (   2 7& $  Al-An‘âm [6]: 1 dan 150; (4)
‘menebus’, seperti di dalam QS. Al-
8%9 7& $ )
 :   &  
 /= Dan apabila
Baqarah [2]: 48, 123 dan QS. Al-
kamu berkata maka hendaklah kamu An‘âm [6]: 70.
berlaku adil kendatipun dia adalah ‘Adl/Al-‘Adl (  ) merupakan
kerabat[mu]). Pengertian ‘adl seperti ini
salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yang
melahirkan keadilan sosial.
menunjuk kepada Allah sebagai pelaku.
Keempat, ‘adl di dalam arti ‘yang
Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila
dinisbahkan kepada Allah’. ‘Adl di sini
kata jadian (mashdar) digunakan untuk
berarti ‘memelihara kewajaran atas ber-
menunjuk kepada pelaku, maka hal
lanjutnya eksistensi, tidak mencegah
tersebut mengandung arti
kelanjutan eksistensi dan perolehan
‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika
rahmat sewaktu terdapat banyak ke-
dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl (    
mungkinan untuk itu’. Jadi, keadilan
Allah pada dasarnya merupakan rahmat = keadilan), maka ini berarti bahwa
dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah Dia adalah pelaku keadilan yang
mengandung konsekuensi bahwa sempurna.
rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk Dalam pada itu, M. Quraish
diperoleh sejauh makhluk itu dapat Shihab menegaskan bahwa manusia
meraihnya. Allah memiliki hak atas yang bermaksud meneladani sifat Allah

3
yang ‘adl (
 ) ini—setelah meyakini Al-Asfahani di dalam Al-
keadilan Allah—dituntut untuk me- Mufradât fi Garîb al-Qur’ân membagi
negakkan keadilan walau terhadap falâh dalam arti “kebahagiaan” menjadi
keluarga, ibu bapak, dan dirinya, dua bagian, yakni duniawi dan ukhrawi.
bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Kebahagiaan duniawi mencakup usia
Keadilan pertama yang dituntut adalah panjang, kekayaan, dan kemuliaan,
dari dirinya dan terhadap dirinya sedangkan kebahagiaan ukhrawi
sendiri, yakni dengan jalan meletakkan mencakup kekekalan tanpa kepunahan,
syahwat dan amarahnya sebagai kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan
tawanan yang harus mengikuti perintah tanpa kehinaan, dan pengetahuan tanpa
akal dan agama; bukan menjadikannya kebodohan. Akan tetapi, M. Quraish
tuan yang mengarahkan akal dan Shihab mengakui bahwa memahami
tuntunan agama. Karena jika demikian, kata falâh seperti yang dirinci oleh al-
ia justru tidak berlaku ‘adl, yakni Asfahani merupakan pembatasan
menempatkan sesuatu pada tempatnya makna yang tidak sejalan dengan
yang wajar. (Muhammadiyah Amin) penggunaan al-Quran.
Di dalam al-Quran, kata aflaha
yang berdiri sendiri di dalam suatu
AFLAHA (BERUNTUNG) redaksi terulang sebanyak empat kali,
Kata aflaha adalah bentuk fi‘l yakni pada S. Thâhâ (20): 64, S. Al-
madhi ( 8?@ A / = kata kerja Mu’minûn (23): 1, S. Al-A‘la (87): 14,
dan S. Asy-Syams (91): 9. Keempatnya
berbentuk lampau) dari kata falâh
didahului oleh kata qad (7 ) yang
(BC/ ). Kata falâh sendiri terambil dari
berarti “sesungguhnya”, yakni
kata falaha – yaflahu - falhan wa
menunjukkan makna kepastian.
falâhatan ( #
 C /  '
< 2/  D
 2 E
  D
 2 / ),
Kata aflaha pada S. Thâhâ (20):
yang berakar dari huruf-huruf fa’ (/), 64 digunakan dalam konteks
lam ( ), dan ha’ (#). Rangkaian pembicaraan tentang ucapan Fir’aun
huruf ini diartikan sebagai “hasil baik”, ketika akan terjadi pertandingan sihir
“sukses”, atau ”memperoleh apa yang antara Nabi Musa As. dan ahli-ahli
dikehendaki”. Dari sini, kata falah sihir Fir’aun. Al-Maraghi menjelaskan
seringkali diterjemahkan dengan bahwa Nabi Musa dan Fir’aun telah
“beruntung”, “berbahagia”, menyepakati waktu pertemuan mereka,
“memperoleh kemenangan”, yaitu Hari Raya mereka. Karena itu,
“memperoleh keselamatan”, dan Fir’aun mengadakan persiapan untuk
sejenisnya. menghadapi hari itu dengan
mengumpulkan para tukang sihir
dengan segala perlengkapan sihirnya.

4
Para tukang sihir menjelaskan apa yang mukmin. Ketujuh sifat tersebut
harus mereka lakukan untuk mencerminkan pula usaha-usaha
menghadapi bahaya dan bencana yang mereka yang pada akhirnya dapat
bakal datang. Mereka (Firaun dan para dinilai sebagai upaya penyucian diri.
tukang sihir) berkata, “Bawalah seluruh Usaha-usaha dimaksud antara lain: (1)
tipu daya kalian, jangan ada sedikitpun khusyuk dalam shalat; (2) menjauhkan
yang tertinggal. Kemudian, datanglah diri dari perbuatan dan perkataan yang
dengan berbaris dan lemparkanlah apa tiada berguna (sia-sia); (3) menunaikan
yang ada di tangan kalian secara zakat; (4) menjaga kemaluannya, yakni
serentak, agar mata orang-orang yang tidak menggunakan alat kelaminnya
menyaksikan pemandangan ini menjadi kecuali secara sah; (5) memelihara
terbelalak dan wibawa kalian menjadi amanah; (6) menepati janji; dan (7)
agung di mata mereka. Sungguh, orang menjaga waktu-waktu shalat. Mereka
yang menang di antara kita akan itulah yang meraih aflaha, yakni
beruntung mendapat apa yang keberuntungan atau kebahagiaan yang
diingininya. Adapun kita telah akan mewarisi Surga Firdaus.
dijanjikan akan mendapat pemberian Dalam pada itu, kata aflaha yang
yang banyak dan dijadikan orang-orang terdapat di dalam S. Al-A‘la (87): 14,
yang dekat dengan raja”. Jadi, menunjukkan makna “keberuntungan
perkataan mereka itu tidak lain hanya yang akan diperoleh bagi orang yang
dimaksudkan untuk mengukuhkan membersihkan atau menyucikan diri”,
tekad dan sebagai motivasi untuk yakni terkait dengan perintah untuk
mengerahkan segala kemampuan guna bertasbih dan menyucikan nama Tuhan
meraih aflaha, dalam arti “memperoleh Yang Mahatinggi, seperti firman-Nya,
kemenangan” atau “keberuntungan” “Qad aflaha man tazakka” (  @ D
 2 / G  7
yang dikehendaki. 86:H ( = Sesungguhnya beruntunglah
Penggunaan kata aflaha pada S.
orang yang membersihkan diri [dengan
Al-Mu’minûn (23): 1 adalah dalam
beriman]). Menurut Muhammad
konteks pembicaraan tentang
Abduh, yang dimaksud dengan
penegasan Allah Swt. bahwa orang-
“tazakka” adalah membersihkan diri
orang mukmin pasti memperoleh
dari hal-hal yang hina, yang berpangkal
keberuntungan. Hal ini ditegaskan di
pada keingkaran dan kekerasan hati.
dalam firman-Nya, “Qad aflaha al-
Adapun ”al-falah” adalah
mu’minun” ( ), @  F !& D
 2 / G  7 =
keberuntungan atau kebahagiaan di dua
Sesungguhnya beruntunglah orang- alam kehidupan, yang hanya dapat
orang yang beriman). Oleh karena itu, diraih oleh orang yang bersih jiwanya
pada ayat-ayat berikutnya (2-9) dan jernih hatinya.
dikemukakan tujuh sifat orang-orang

5
Pendapat senada ditegaskan oleh memberi bekal kepada jiwa itu suatu
M. Quraish Shihab bahwa tazakka kemampuan untuk membedakan,
adalah “menyucikan diri” bukan sebagaimana Dia membekalinya
“mengeluarkan zakat”, sebagaimana kemampuan untuk menentukan pilihan,
yang dipahami oleh sementara mufassir. sehingga siapa yang menempuh jalan
Alasannya, karena ayat selanjutnya kebaikan (ketakwaan), maka ia akan
berbicara tentang shalat, “Dan ia ingat beruntung, dan siapa yang menempuh
nama Tuhannya, lalu ia shalat”. Lebih jalan kejahatan (kefasikan), maka ia
lanjut, pakar Tafsir al-Quran ini akan merugi. Oleh karena itu, setelah
menjelaskan bahwa penegasan al-Quran menyebutkan pemberian ilham, Allah
yang berbicara tentang orang yang menjelaskan bahwa sungguh beruntung
memperoleh keberuntungan, ditemukan dan bahagialah orang yang dapat
bahwa sifat (usaha) yang harus membersihkan, meningkatkan, dan
dilakukan adalah usaha yang tidak meninggikan jiwanya hingga titik
ringan. Jadi, sungguh tidak sebanding kesempurnaan potensi akal dan
dengan sekedar mengeluarkan zakat, amaliahnya, serta memberi hasil yang
misalnya dengan membayar zakat fitri, positif baginya dan bagi masyarakat
seseorang telah dijanjikan meraih sekelilingnya.
aflaha, keberuntungan atau Dari uraian di atas, dapat
kebahagiaan. ditegaskan bahwa kata aflaha (D2 / G)
Demikian pula kata aflaha yang yang disebutkan sebanyak empat kali di
termuat pada S. Asy-Syams (91): 9, dalam al-Quran, semuanya bermakna
juga merupakan penegasan Allah Swt. “beruntung”. Namun, kiranya tidak
dalam kaitannya dengan keberuntungan salah bila diterjemahkan dengan makna
yang akan diperoleh bagi orang yang sejenisnya, seperti “memperoleh
menyucikan jiwa. Firman-Nya, “Qad kemenangan” atau “berbahagia”.
aflaha man zakkaha” ( I:J K 
@
 D
 2 / G  7 Penggunaan kata qad (7 ) sebelum
= Sesungguhnya beruntunglah orang kata aflaha (D2 / G) merupakan penguat,
yang menyucikan jiwanya). Ayat
dalam pengertian bahwa keberuntungan
sebelumnya (8) menjelaskan bahwa
atau kebahagiaan yang dijanjikan
“Maka Allah mengilhamkan kepada
mengandung kepastian.
jiwa itu (jalan) kefasikan dan
(Muhammadiyah Amin)
ketakwaannya”. Itu berarti jalan
(perbuatan-perbuatan) yang
mencelakakan jiwa telah diketahui AHLÂM (MIMPI)
umum, begitu juga halnya perbuatan-
Kata ahlâm (C#
 G) adalah bentuk
perbuatan yang membawa
keberuntungan atau kebahagiaan. Allah jamak dari halm ( 2 #
 ), hulm ( 2#
 ),

6
hulum ( 2& #
 ), dan hilm ( 2 #
 ). Asalnya, kali. Kata hulum ( 2&#
 ) disebut dua
menurut Ibnu Faris, adalah halama kali, yaitu di dalam S. An-Nûr [24]:
( 2 #
 ) yang mempunyai tiga arti, yaitu: 58-59. Kata halîm (  2 #
 ) diulang
“meninggalkan dengan tergesa-gesa”, sebanyak 12 kali, kata halîman (<! 2 #
 )
“lubang pada sesuatu”, “mimpi”. disebut tiga kali, sedangkan kata hilm
Contoh pemakaian yang pertama ( 2 #
 ) dalam bentuk mashdar tidak
adalah huwa halim ( L  2 #
  I
 = dia
disebut di dalam al-Quran.
penyantun), yaitu tidak segera marah. Kata ahlâm (C#  G) di dalam S.
Contoh pemakaian yang kedua adalah
Yusuf [12]: 44 disebut dalam konteks
halima al-adîm ( 
  M   2#
 = kulit itu
pembicaraan mengenai kisah Yusuf:
telah berlubang), yaitu bila ulat masuk Raja Mesir bermimpi dan menanyakan
ke dalamnya sehingga menjadi rusak. takwilnya kepada orang-orang terkemu-
Contoh pemakaian yang ketiga adalah ka di kalangan mereka. Namun, mereka
halama fi naumih ( O @  N 8/  2#
 = ia tidak dapat mengetahui takwilnya,
mimpi ketika tidur). Bila dibaca hilm malah mengatakan bahwa mimpi itu
( 2 #
 ), maka artinya ada tiga, yaitu: adalah mimpi kosong.
“mampu menahan marah”, “pemaaf”, Kata ahlâm (C# G) di dalam S.
dan “akal”. Bila dibaca hulm ( 2#
 ) Al-Anbiyâ’ [21]: 5 berkaitan dengan
atau hulum ( 2& #
 ) berarti “mimpi”, dan ocehan orang-orang musyrik yang
menuduh bahwa al-Quran itu hanyalah
bila dibaca halm ( 2 #
 ) berarti
mimpi-mimpi yang kalut dan
“lubang”. Kata lain yang seasal dengan Muhammad adalah seorang penyair.
kata ini adalah halam ( 2 #  ), yang Kata ahlâm (C#
 G) di dalam S.
berarti “kera jantan” yang besar Ath-Thûr (52): 32 berkaitan dengan
ataupun kecil, sedangkan untuk sebutan jawaban dan bantahan Tuhan terhadap
“kera betina” dipakai kata halamah. orang musyrik yang menuduh Nabi
Kata halîm (  2 #
 ) dalam bentuk ism tukang tenun, orang gila, dan penyair.
fâ‘il dengan shigat mubâlagah, yang Tuhan menegaskan di dalam ayat ini
dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa tuduhan-tuduhan itu
sebagai “Maha Penyantun”, salah satu berdasarkan pendapat mereka sendiri
nama Allah. dan mereka orang termasuk yang
Kata ahlâm (C#
 G) disebut melampaui batas. Kata ahlâm (C#
 G) di
empat kali di dalam al-Quran, yaitu di dalam ayat ini bukan bentuk jamak
dalam S. Yûsuf [12]: 44 sebanyak 2 dari hulm ( 2 # ) dengan makna
kali; serta S. Al-Anbiyâ’ [21]: 5 dan S. “mimpi”, tetapi dari kata hilm ( 2 #
 )
Ath-Thûr [52]: 32, masing-masing satu

7
yang di antara artinya adalah “akal dan AQ
 E + ) yang berbentuk mudzakkar
pikiran”. (96:5 @
 ) dari hamida-yahmadu-hamdan (
Kata hulum ( 2& # ) di dalam S.
<! #
 –  ! '

 – !#
 ) yang tersusun
An-Nûr (24): 58-59 berkaitan dengan
dari huruf ha, mim, dan dal. Bentuk
pedoman pergaulan di dalam rumah
muannats (R+NF @
 )-nya adalah humda
tangga. Hamba sahaya, anak-anak yang
belum memiliki kedewasaan berfikir (4! #
 ). Kata hamida sendiri hanya
(balig), dan anak sendiri yang sudah mempunyai satu makna dasar, yaitu
balig, di dalam tiga waktu perlu minta madaha ( B  @
 = memuji) lawan dari
izin bila akan memasuki kamar tidur kata dzamma ( + $ = mencela). Semua
orang dewasa, yaitu sebelum sembah-
kata yang menjadi turunan dari kata
yang subuh, ketika menanggalkan
tersebut tidak terlepas dari makna
pakaian luar di tengah hari, dan
dasarnya. Kualitas makna hamida lebih
sesudah sembahyang ‘isya. Biasanya di
tinggi daripada madaha, karena madaha
waktu-waktu itulah badan banyak
hanya digunakan untuk manusia dan
terbuka.
tidak pernah digunakan untuk Tuhan,
Sementara itu, kata halîm (  2 #
 )
sedangkan hamida, di samping
yang terdapat di dalam al-Quran pada digunakan untuk memuji manusia yang
umumnya merupakan salah satu sifat memang memilliki sifat-sifat terpuji,
dan nama Allah (al-asmâ’ al-husnâ). juga digunakan untuk memuji Tuhan
Kata halîm (  2 #
 ) di dalam S. At- (Allah).
Taubah [9]: 114 dan S. Hûd [11]: 75 Kata ahmad dan kata lain yang
adalah sifat Nabi Ibrahim yang seakar dengannya disebutkan sebanyak
penyantun, kata halîm (  2 #
 ) di dalam 68 kali di dalam al-Quran di berbagai
S. Hûd (11): 87 merupakan sifat Nabi surat dan ayat. Satu kali dalam bentuk
Syuaib, dan kata halîm (  2 #
 ) di dalam fi‘il (kata kerja), 43 kali dalam bentuk
ism ma‘rifah, sembilan belas kali dalam
S. Ash-Shâffât [37]: 101 merupakan
bentuk sifat, dan lima kali dalam
sifat Nabi Ismail yang amat penyabar.
bentuk nama orang. Kata ahmad sendiri
(Hasan Zaini)
hanya disebutkan sekali saja, yaitu pada
S. Ash-Shaff (60): 6.
AHMAD (YANG Kata ahmad di dalam S. Ash-
TERPUJI/AHMAD) Shaff (60): 6 tersebut merupakan salah
satu nama Nabi Muhammad Saw.
Ahmad (!#
 G) adalah ism ‘alam
Beliau sendiri pernah bersabda, seperti
( 2
 
 P) yang diambil dari bentuk diriwayatkan oleh Bukhari, bahwa
superlatif atau ism tafdhil (  
 P beliau mempunyai lima nama, yaitu

8
Muhammad, Ahmad, al-Mahi (karena terdapat di dalam kitab Taurat yang
melalui beliaulah, Allah menghilangkan dibawa oleh Nabi Musa As., Nabi Isa
kekufuran), al-Hasyir (karena orang As. juga menjelaskan kedudukannya
selalu berkumpul di sekeliling beliau), sebagai pembawa berita gembira
al-‘Aqib (penghabisan/terakhir, karena dengan akan diutusnya seorang nabi
beliau nabi terakhir). Dalam riwayat terakhir dan tidak ada lagi nabi
lain, Muslim menambahkan nama al- sepeninggalnya yang bernama Ahmad.
Muqaffa (pembawa rahmat, pembawa Ahmad (orang yang paling terpuji)
taubat, dan pembawa perbaikan). Lebih melebihi pujian yang dimiliki Nabi Isa
jauh, Nabi Saw. juga pernah bersabda, As. sendiri dan para nabi sebelumnya,
“Namaku di dalam kitab Taurat adalah baik dari segi nama, perbuatan, maupun
Ahid karena aku menyelamatkan akhlaknya. Di dalam ayat tersebut,
umatku dari api neraka; di dalam kitab adanya Ahmad merupakan berita
Zabur, saya diberi nama al-Mahi karena gembira yang dibawa Nabi Isa As.
melalui saya dihapuskan berhala; dan di kepada umat manusia, karena ia
dalam kitab Injil, saya bernama Ahmad, memiliki segala sifat terpuji yang akan
sedangkan di dalam al-Quran saya membimbing manusia ke jalan yang
bernama Muhammad karena saya benar dan memberikan keselamatan
adalah orang yang selalu dipuji oleh kepada mereka.
para penghuni langit dan bumi”. Di dalam Perjanjian Baru (Injil),
Menurut catatan sejarah, ketika Abdul kitab Yohannes, Pasal 14, disebutkan
Muthalib -- kakek Rasulullah Saw -- bahwa Yesus (Nabi Isa As.) bersabda
ditanya tentang nama Muhammad kepada murid-muridnya, “Aku
untuk cucunya, beliau menjawab, bermohon kepada Bapa agar
“Supaya dia dipuji oleh segenap orang memberikan kalian Fasqalit
di semua penjuru dunia”. (Penghibur) yang akan bersama kalian
Sungguhpun Nabi Muhammad selamanya. Fasqalit itu adalah Roh
Saw. mempunyai banyak nama dan Qudus.” Di dalam Pasal 15 disebutkan,
julukan, yang paling populer adalah “Fasqalit itu adalah Roh Qudus, Ia
Muhammad, seperti termaktub di diutus Bapa atas namaku. Ia akan
dalam S. Āli 'Imrân (3): 144, al-Ahzâb mengajari kalian dan memberikan
(33): 40, Muhammad (47): 2, al-Fath sesuatu kepada kalian. Dia yang
(48): 29, kemudian Ahmad mengingatkan kalian tentang apa yang
sebagaimana yang terdapat di dalam S. telah Aku ajarkan kepada kalian.” Di
Al-Mumtahanah (60): 6. dalam pasal itu juga disebutkan, ”Hal
Di dalam ayat tersebut, selain ini Aku sampaikan kepada kalian agar
menjelaskan posisinya sebagai rasul dan ia datang, kalian akan
pembenaran terhadap ajaran yang mempercayainya.” Di dalam pasal

9
berikutnya (Pasal 16), Yesus bersabda, (Penghibur) itu adalah Nabi
“Akan tetapi, sekarang Aku katakan Muhammad Saw, sebagaimana
kepada kalian dengan sebenarnya dijanjikan Nabi Isa As. di dalam S. Al-
bahwa Aku pergi dari kalian adalah Mumtahanah (60): 6. (Zubair Ahmad)
lebih baik. Jika Aku tidak pergi kepada
Bapa dan meninggalkan kalian,
Fasqalit (Penghibur) tidak akan datang ALSINAH (LIDAH)
kepada kalian. Jika Aku pergi, Aku Kata alsinah (,.
  G) adalah
akan mengirim dia kepada kalian. bentuk jamak dari lisan (L). ) yang
Apabila telah datang, maka ia akan
berarti “lidah”. Kata ini berasal dari
memberikan manfaat kepada ahli ilmu,
kata lasina (.
  ) yang berarti fashih
menyertai mereka di dalam kesalahan
dan kebaikan serta agama.” Selanjutnya ( DS
 / = fasih dan lancar). Kata lisan
juga disebutkan, “Aku mempunyai (L). ) mempunyai dua bentuk jamak
banyak hal yang akan Aku sampaikan. dengan pengertian yang berbeda.
Aku ingin mengatakan kepada kalian, Bentuk pertama adalah alsun (. G),
tetapi kalian tidak akan mampu
yang dipandang sebagai mu’annats
menerima dan manjaganya. Akan
(R+NF @
 ) yang berarti “kata” dan
tetapi, apabila Roh Qudus telah
datang, ia akan mengajari kalian dan “sebutan”. Sedangkan bentuk kedua
menguatkan kalian dengan segala adalah alsinah (,.
  G), yang dipandang
kebenaran, karena ia tidak akan sebagai mudzakkar (96:5 @
 ) yang berarti
mengatakan sesuatu yang berdasarkan “bahasa” atau “pembicaraan”.
hawa nafsunya.” Ada yang berpendapat Kata lisan (L). ) yang berbentuk
bahwa Fasqalit itu adalah Yesus atau
tunggal di dalam al-Quran disebut 15
Nabi Isa As. Akan tetapi, menurut Ar-
kali, yaitu di dalam S. Al-Mâ’idah [5]:
Razi, pada bagian akhir Perjanjian Baru
78, S. Ibrâhîm [14]: 4, S. An-Nahl
(kitab wahyu) disebutkan bahwa pada
[16]: 103, S. Maryam [19]: 50, dan S.
kedatangan Yesus untuk kedua kalinya
Asy-Syu‘ara’ [26]: 84 dan 195. Adapun
(setelah ia disalib) tidak akan
mengajarkan syariat dan hukum- bentuk jamaknya, alsinah (,.   G) di
hukum; kedatangannya hanya sebentar dalam al-Quran disebut sepuluh kali,
dan ia tidak banyak bicara. Paling- yakni di dalam S. Āli ‘Imrân [3]: 78, S.
paling ia mengatakan, “Aku ini adalah An-Nisâ’ [4]: 46, S. An-Nahl [16]: 62
Almasih. Jangan menganggap Aku telah dan 116. Bentuk jamak yang lain, alsun
meninggal, tetapi Aku diselamatkan (. G), tidak disebut di dalam al-
Allah Bapa dan selalu memperhatikan Quran.
kalian.” Jadi, tampaknya Fasqalit

10
Kata lisan (L). ) dan alsinah 50 dan S. Asy-Syu‘arâ’ [26]: 84. Di sini
(,.
  G) digunakan oleh al-Quran untuk kata lisan (L). ) dirangkaikan dengan
beberapa pengertian, yaitu “nama bagi kata shidq sehingga menjadi lisana
salah satu panca indra”, “sebutan”, dan shidqin (VW
 ). ), yang berarti
“bahasa”. Sebagai bagian dari salah satu “pujian”, atau “sebutan yang baik”.
panca indra, yaitu lidah, kata lisan Kedua ayat ini mengungkapkan
(). ) itu disebut setelah penyebutan kembali nikmat Allah kepada Nabi
kata ‘ainaini ( ,  
 ) yang berarti “dua Ibrahim dan keturunannya. S. Asy-
Syu‘âra’ [26]: 84 memuat doa yang
mata”, dan diiringi pula oleh
diucapkan Nabi Ibrahim dan beberapa
penyebutan kata syafataini (  E T
 )
putranya, seperti Ishak dan Ya‘kub.
yang berarti “dua bibir”. Lidah, sesuai Kata lisan (L). ) yang berarti
dengan fungsinya, dapat digunakan
“bahasa” atau “dialek” dapat dilihat
sebagai alat untuk berbicara, mengecap,
antara lain di dalam S. Al-Qashshash
dan menelan makanan. Adapun dua
[28]: 34, S. Thâhâ [20]: 27, dan S.
bibir, selain berfungsi sebagai
Asy-Syu‘arâ’ [26]: 13. Ketiga ayat ini
pelindung gigi dan lidah, juga
mengungkapkan kembali doa Nabi
menambah kerapihan penampilan
Musa supaya Nabi Harun, yang tutur
seseorang. Dengan penyebutan ketiga
kata dan bahasanya lebih fasih, diutus
macam nikmat ini, tersirat suatu pesan
bersamanya untuk menghadapi Fir’aun.
supaya manusia bersyukur kepada
Kata lisan (L). ) yang diiringi oleh
Allah. Penegasan ini dapat dilihat di
dalam S. Al-Balad [90]: 9. Kata lisan kata sifat ‘arabi sehingga menjadi lisan
(L). ) yang disebutkan di dalam S. Al- ‘arabi (XY% 9 
 ). ) mengandung
Qiyâmah [75]: 16 diawali dengan kata pengertian khusus, yaitu “bahasa al-
la tuharrik (-9U '
 (  ) yang berarti Quran”. Pengertian ini dapat
ditemukan, antara lain, di dalam S. An-
“jangan engkau gerak-gerakkan”.
Nahl [16]: 103, S. Asy-Syu‘arâ’ [26]:
Dengan demikian, kata lisan (L). ) di
195, dan S. Al-Ahqâf [46]: 12. Di
sini juga berarti “lidah”. Melalui ayat dalam S. Al-Mâ’idah (5): 78 dan S.
ini Allah memperingatkan supaya Nabi Ibrahim [14]: 4 ditegaskan bahwa para
Saw. tidak terburu-buru dalam rasul itu diutus Allah dengan
membaca al-Quran ketika malaikat menggunakan bahasa umatnya sendiri
Jibril sedang menyampaikannya kepada supaya ajaran-ajaran yang
beliau. disampaikannya dapat dipahami
Kata lisan (L). ) dengan dengan mudah.
pengertian “sebutan” atau “sanjungan” Di dalam S. Ar-Rûm [30]: 22
dapat dilihat di dalam S. Maryam [19]: dijelaskan bahwa perbedaan bahasa

11
yang digunakan oleh setiap suku bangsa “suatu keadaan tempat manusia
merupakan sebagian dari tanda-tanda berada” dan kadang-kadang diartikan
kebesaran Allah. Sedangkan di dalam S. sebagai “suatu kepercayaan yang
An-Nahl [16]: 116, S. An-Nûr [24]: diberikan kepada manusia”. Arti yang
15, S. Āli ‘Imrân [3]: 78, S. An-Nisâ’ terakhir ini hampir sama dengan yang
[4]: 46, dan S. Al-Fath [48]: 11, Allah dikemukakan Ibnu Faris, yaitu
memperingatkan bahwa manusia memberikan amanah (i‘thâ’ al-amânah
seringkali memutarbalikkan ucapannya = N@M   ]
 P).
hingga berani melanggar ketentuan- Berangkat dari pengertian kata
ketentuan yang telah digariskan-Nya. amn di atas, dapat pula diberikan
Dalam hal ini, juga tersirat pesan pengertian kata amîn (@ G), yang
supaya manusia berhati-hati di dalam
menurut bahasa berarti “orang yang
bertutur kata, memutuskan suatu
setia, jujur, atau orang yang aman, yang
perkara, memberi fatwa, atau
selamat, atau “yang dipercayai” (al-
mengemukakan pendapatnya. S. An-
ma‘mûn ats-tsiqah, al-mu’tamin wa al-
Nur (24): 24 memperingatkan bahwa
mu’taman). Kata amîn (@  G) sering
pada hari kiamat nanti perbuatan dan
ucapan seseorang di dalam kehidupan dihubungkan dengan kata lain,
di dunia ini akan dituturkan oleh lidah, umpamanya amîn ash-shundûq ( @
 G
tangan, dan kaki mereka sendiri. ^ = kasir), amîn al-mâl ( @
V  , S  G
(Zulfikri)  ! = bendahara), amîn al-makhzan
( )H_
 !   @
 G= penjaga gudang), dan
AMÎN (YANG TERPERCAYA) amîn al-maktabah (` " !   @
 G =
Kata amîn (@
 G) berasal dari kata penjaga pustaka).
al-amn (@M ) yang merupakan bentuk Sejalan dengan pengertian amîn
(@
 G) menurut bahasa tersebut,
mashdar dari amina (@
 G) - ya’manu
Ibrahim Anis mengartikan amîn (@
 G)
(@
 Z
 ) - amnan (<,@
 G) - amânan (<N@G)
menurut istilah sebagai al-hâfizh al-
dan amânatan ( N @G). Atau dari amuna
hâris wa al-ma’mûn wa man yatawalla
(@
 G) - ya’munu (@
 Z
 ) - amânatan riqâbah syai’ au al-muhâfazhah ‘alaih
( N @G). Ar-Raghib Al-Asfahani ( 86 
 
@
  )
  @
 Z!    *
 a ' b
& / ' 
mengartikan kata amn (@G) dengan O  2 
  e
 / '!    G d
c  T
  % 7a = orang
“ketenteraman jiwa” (thuma’nînatu an- yang menjaga, memelihara, dipercayai,
nafs = [
 E ,+ & ,  N Z! \
& ), sedangkan kata dan berwenang mengawasi sesuatu atau
amn kadang-kadang diartikan sebagai memeliharanya).

12
Selain itu, Al-Farisi, sebagaimana Pengungkapan kata amîn (@
 G)
dikutip Ibnu Manzur, mengatakan di dalam S. Yûsuf [12]: 54, S. An-
bahwa ada kata amîn (@  G) dengan Naml [27]: 39, S. Al-Qashash [28]:
qashr (pendek) hamzah dan ada juga 26, dan S. Ad-Dukhân [44]: 18
kata âmîn (@  ;) dengan madd semuanya dengan makna “yang
(panjang) hamzah yang berarti terpercaya”.
“Allâhumma istajib lî” ( Y f
g
  
  + h 2 Kata amîn (@
 G) di dalam S. At-
= Ya Allah, perkenankanlah bagiku). Takwîr [81]: 21 berkaitan dengan sifat
Dua kata ini dipandangnya sebagai malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu,
kalimat yang terdiri dari fi‘l dan ism berarti ia mempunyai kedudukan tinggi
(ism fi‘l), yang biasanya diucapkan serta terpercaya.
pada akhir doa atau diucapkan oleh Kata amîn (@ G) di dalam S. At-
makmum pada akhir bacaan Al-Fatihah Tîn [95]: 3 berhubungan dengan sifat
dari seorang imam. dan keadaan negeri Mekah. Negeri
Di dalam Al-Quran, kata amîn Mekah disebut al-amîn (@
 M ) karena
(@
 G) disebut 14 kali, yaitu di dalam seharusnya negeri itu aman dari segala
S. Al-A‘râf [7]: 68, S. Yûsuf [12]: 54, bentuk gangguan dan permusuhan,
S. Asy-Syu‘arâ’ [26]: 107, 125, 143, seperti pencurian dan perampokan.
162, 178, dan 193, S. An-Naml [27]: (Hasan Zaini)
39, S. Al-Qashash [28]: 26, S. Ad-
Dukhân [44]: 18, 51, S. At-Takwîr
[81]: 21, serta S. At-Tîn [95]: 3. ANA’A (WAKTU)
Kata amin (@ G) di dalam S. Al- Kata anâ’a (N;) berasal dari
A‘râf [7]: 68 serta S. Asy-Syu‘ara’ [26]: anawa (N G) atau anâ (8NG) - ya’nî
107, 125, 143, 162, dan 178 (YNZ
) - inâ (8<NP), yang terdiri dari tiga
bermakna “dipercayai” (ism fâ‘il
fonem yang masing-masing
dengan makna ism maf‘ûl), dan kata itu
dilambangkan dengan alif (iG), nun
merupakan pernyataan para rasul
kepada kaumnya bahwa mereka adalah ()N), dan waw (  ). Kata dasar yang
rasul yang dipercayai (rasûl amîn terdiri dari fonem alif (iG) dan nûn
=@
 G 
 a ). Adapun kata amîn ()N) dan seterusnya (apa pun fonem
(@
 G) di dalam Ayat 193 dari Surat huruf yang ketiga) mempunyai empat
yang sama adalah dalam konteks arti pokok, yaitu 1) al-buth’u (  >
 `  =
pembicaraan turunnya Al-Quran dari lambat; lamban) dan sejenisnya, 2)
Allah dan dibawa oleh malaikat Jibril sâ‘at min az-zaman ( )
 @H+  
@
 j 
 =
yang disebut Rûh al-Amîn (@
 M  B
  a ).
suatu saat tertentu dari bentangan

13
waktu), 3) idrâk asy-syai ( d
  k
+  -
& a P masuk Islam – yaitu mereka yang
= persepsi terhadap sesuatu), dan 4) membaca ayat-ayat Allah pada
zharf min azh-zhurûf (  @ lL 9 m
 beberapa waktu di malam hari juga
bersujud (bersembahyang).
l
  9 e
n = satu dari beberapa kondisi).
Di dalam S. Thâhâ [20]: 130,
Kata anâ’a (N;) yang berarti kata anâ’a (N;) digunakan dalam
“waktu” merupakan bentuk jamak dari konteks peringatan dan anjuran Allah
bentuk tunggal al-anâ (8NM ) atau al- kepada Nabi Muhammad agar tabah
inâ (8No ), yang berarti “suatu saat dari dalam berdakwah menghadapi kaum
waktu malam”. Ibnu ‘Arabi musyirikin Mekah.
berpendapat bahwa bentuk jamak dari Di dalam S. Az-Zumar [39]: 9,
al-anâ (8NM ) atau al-inâ (8No ) adalah kata anâ’a (N;) digunakan dalam

anâ’a (N;) atau uniy (X8N G&), sedangkan konteks bantahan terhadap orang
musyrik yang merasa lebih beruntung
Ar-Ragib Al-Asfahani berpendapat
dengan memiliki harta kekayaan.
bahwa bentuk tunggal dari anâ’a (N;)
Adapun kata inâ (8NP) sebagai
adalah al-anâ (8NM ), al-inâ (8No ),
bentuk tunggal dari anâ’a (N;) di
atau al-unâ (8No ), yang berarti
dalam S. Al-Ahzâb [33]: 53 disebut
“waktu” secara global dan tidak terikat dalam konteks adab dan sopan santun
dengan siang atau malam. di dalam rumah tangga Nabi Saw.
Di dalam Alquran, kata anâ’a Di dalam tiga ayat pertama, kata
(N;) hanya ditemukan tiga kali, yakni anâ’a (N;) tetap dalam bentuk jamak
di dalam S. Ali ‘Imrân [3]: 113, S. dan digunakan dalam konteks ibadah
Thâhâ [20]: 130, dan S. Az-Zumar atau pendekatan spiritual kepada Allah,
[39]: 9. Adapun di dalam bentuk sedangkan pada ayat keempat, yakni di
tunggalnya, yakni inâ (8NP), (di dalam dalam bentuk tunggalnya, inâ (8NP),
ayat gaira nazhrinâ inâhu = N9 e
 N 9  p
 berkaitan dengan muamalah, adab
q&N P), disebut satu kali, yaitu di dalam sopan santun, atau urusan duniawi
surat al-Ahzâb, 33: 53. belaka. Secara keseluruhan kata anâ’a
Anâ’a (N;) di dalam S. Ali ‘Imrân (N;) maupun inâ (8NP) mempunyai arti
(3): 113 disebut dalam konteks tidak “waktu” secara umum. (Ahmad
semua ahlul kitab itu buruk. Di antara Asymuni)
mereka terdapat golongan yang berlaku
lurus (ummah qâ’imah = @ 7 +@G&) –
menurut sebagian ahli tafsir, mereka
adalah gologan ahlul kitab yang telah

14
ARBÂB
ARBÂB (TUHAN-
(TUHAN-TUHAN) dapat menyentuh makhluk-makhluk-
Nya (sifat-sifat fi‘l-Nya). Dia rabbun
Kata arbâb (Lr%a G) adalah bentuk
(sra ), artinya Dia yang mendidik dan
jamak dari rabb (sra ). Kata arbâb
memelihara. Pendidikan dan
(Lr%a G) di dalam Al-Quran disebut 4 pemeliharaan yang dimaksud antara
kali dan kata rabb (Xra ) disebut 969 lain menganugerahkan rezeki,
kali yang tersebar di dalam berbagai mencurahkan rahmat, mengampuni
surat dan ayat. Kata rabb (sra ) berasal dosa, namun juga sekaligus menyiksa
dari akar kata yang sama dengan dalam rangka memelihara dan
mendidik. Misalnya, firman Allah pada
tarbiyah (j+ % 9 ( ) yang berarti
Surat Al-Mu’minun (23): 76 tentang
“pendidikan”.
orang-orang durhaka yang disiksa
Muhammad Ismail Ibrahim di
karena tidak tunduk kepada Allah, juga
dalam buku Mu‘jam al-Alfâzh wa al-
pada S. Ghafir (40): 6 tentang kaum
A‘lâm al-Qur’âniyyah menyebutkan Nuh yang mendustakan Rasul.
bahwa terdapat beberapa arti kata rabb
Sebaliknya, orang-orang yang beriman,
(Xra ), di antaranya rabb al-walad ( r
+ a beramal saleh, melakukan sholat, dan
    ) artinya “memelihara anak dengan menunaikan pembayaran zakat, Allah
memberi makan dan mengasuhnya”, menjanjikan pahala buat mereka (S. Al-
rabb asy-syai’ (Y
k+  r
+ a ) artinya Baqarah [2]: 277).
“mengumpulkan dan memilikinya”, Adapun kata rabb (Xra ) yang
serta rabb al-amr (9@
 M  r
+ a ) dikaitkan dengan al-‘alamin ( !    )
“memperbaikinya”. Adapun ar-rabb terdapat 42 kali pengulangan. Al-
(^r9+ ) adalah Tuhan dan merupakan ‘alamin ( !    ) di dalam bentuk
salah satu dari nama Allah yang jamak berarti terdapat banyak alam.
jamaknya arbab (Lr%a G). Kita tidak dapat memastikan berapa
Dari keterangan di atas banyaknya alam itu. Hanya beberapa
nama alam yang sudah diketahui seperti
disimpulkan bahwa kata rabb (Xra )
alam manusia, alam tumbuh-tumbuhan,
maknanya berkaitan dengan alam binatang, alam dunia, dan alam
kepengasuhan dan kemudian akhirat. Sementara itu, masih ada alam-
berkembang menjadi “memiliki”, alam lain yang tidak atau belum
“memperbaiki”, “mendidik”, juga terjangkau oleh manusia (S. An-Nahl
“Tuhan”. [16]: 8).
Kata rabb (Xra ) yang terdapat di Kata rabbuka (0%^ a ) dan rabbika
dalam Al-Quran kebanyakan
(0%U a ) di dalam Al-Quran disebut 242
menggambarkan sifat-sifat Tuhan yang

15
kali. Setelah ditelusuri, rabbuka (0%^ a ) mempercayai manusia, nabi, malaikat,
dan rabbika (0%U a ) ternyata menyangkut dan rahib-rahib sebagai Tuhan.
Di sisi lain, kata rabb (sra ) juga
bermacam-macam hal. Di antaranya, 1)
Masalah rezeki (S. Al-Isra’ [17]: 30 mengacu kepada gagasan pemilikan,
dan S. Al-Mu’minun [23]: 72); 2) seperti pemilikan keturunan oleh orang
Penciptaan manusia (S. Maryam [19]: tuannya. Kepemilikan di dalam jenis ini
9 dan S. Al-Hijr [15]: 28); 3) Curahan hanya kepemilikan relasional karena
rahmat (S. Al-An‘am [6]: 133); 4) kepemilikan yang sebenarnya hanya
keutamaan/kelebihan manusia (S. An- milik Allah semata. Di dalam kalimat
Naml [27]: 73 dan S. Ad-Dukhan rabbirhamhuma kama rabayani ¡agira
[44]: 57); 5) Ampunan (S. Al-A‘raf ( <9 t W
 8N%+ a !: !h ! #
 a  r
U a = Wahai
[7]: 153); 6) Allah pemberi hikmah (S. Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya
Al-Isra’ [17]: 39); dan 7) Pengutusan sebagaimana mereka mendidik aku dari
Rasul (S. Thaha [20]: 47). kecil) (S. Al-Isra’ [17]: 24). Kata
Kata arbab (Lr%a G) yang disebut 4 rabbayani (8N%+ a ) berarti ‘pemeliharaan
kali di dalam Al-Quran menyangkut yang diberikan oleh orang kedua orang-
beberapa hal, yaitu: 1) Seruan kepada tua pada anak-anaknya, seperti
ahli kitab agar menyembah Allah dan memberi makan, pakaian, kasih sayang,
tidak menyekutukan dengan tuhan- dan tempat berteduh’. Tindakan Tuhan
tuhan selain-Nya (S. Ali ‘Imran [3[: memelihara, memberi, menjaga, dan
64); 2) Orang-orang musyrik yang sebagainya itu yang menyebabkan
mengangkat rahib-rahib sebagai Tuhan Tuhan disebut ar-rabb (^r9+ ).
dan mempertuhankan Al-Masih, putra Tindakan itu merupakan rahmat dan
Maryam (S. At-Taubah [9]: 31); 3) kasih sayang Allah swt. Jika manusia
Penegasan bahwa Nabi tidak akan melakukan tindakan-tindakan seperti
menyuruh manusia mengangkat itu kepada keturunannya maka secara
malaikat-malaikat dan nabi-nabi analogis tindakan tersebut merupakan
menjadi Tuhan (S. Ali ‘Imran [3]: 80), tindakan rahmah juga.
dan 4) pernyataan Nabi Yusuf a.s. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa
kepada temannya tentang mana yang kata ar-rabb di dalam bentuk tunggal
lebih baik tuhan yang bermacam- pada umumnya digunakan dengan arti
macam atau Tuhan Yang Mahaesa lagi ‘Tuhan yang dihubungkan dengan sifat
Perkasa? (S. Yusuf [12]: 39). fi‘il-Nya’. Adapun kata arbab (Lr%a G)
Dengan demikian, kata arbab
menunjukkan adanya manusia yang
(Lr%a G) digunakan untuk kepercayaan
menyekutukan Allah dengan makhluk-
orang-orang musyrik yang Nya. (Afraniati Affan)

16
‘ASYÎ
‘ASYÎRAH (KELUARGA) satu kali, yaitu di dalam S. Al-Hajj
kata ‘asyîrah (u9 k
 
 ) berarti (22): 13, kata al-‘isyâr (ak   ) satu
“suku, keluarga, sahabat, teman”. Kata kali, kata ma‘syar (9k  @
 ) tiga kali, kata
ini berasal dari kata ‘asyara (9k
 
 ), yang mi‘syar (L9k
  @
 ) satu kali, kata ‘asyr
menurut Ibnu Faris mempunyai dua (L9k  ) tujuh kali, kata ‘asyrah (ju9 k
   
)
arti asal, yaitu “jumlah bilangan
tiga kali, kata ‘asyara (9 k
 
 ) empat kali,
tertentu” dan “bergaul atau
bercampur”. Karena itu, keluarga, kata ‘asyarah (ju9 k
 
 ) dua kali, kata
kerabat, suami atau istri disebut ‘isyrûna ()  9 k
 
 ) satu kali, dan di
‘asyîrah (u9 k
 
 ) karena mereka antara dalam bentuk fi‘l amr kata itu disebut
satu dengan yang lain saling mengenal satu kali.
dan bergabung dalam satu rumah Kata ‘asyîrah (u9 k
 
 ) di dalam S.
tangga. Kata lain yang seasal dengan At-Taubah [9]: 24 berkaitan dengan
‘asyîrah (u9 k
 
 ) adalah al-ma‘syar pernyataan Tuhan bahwa orang yang
(9k
  !  ), bentuk jamaknya ma‘âsyir lebih mencintai nenek moyang, anak-
(L9T
  @
 ), yang berarti “jemaah, anaknya, saudara, istri dan keluarganya,
serta harta yang diusahakannya,
perkumpulan, atau kelompok”. Al-
daripada mencintai Allah dan Rasul-
‘isyâr (ak   ) berarti “unta yang
Nya dengan jalan berjihad di jalan-
bunting 10 bulan”, nâqah mi‘syar ( j 7 N Nya, maka tunggulah saatnya Allah
9L k
  @
 ) berarti “unta yang banyak air mendatangkan keputusan (siksa)-Nya.
susunya”, al-‘âsyûr (a T
   ) berarti Kata ‘asyîrah (u9 k
 
 ) di dalam S.
“hari kesepuluh bulan Muharam”, Asy-Syu‘arâ’ [26]: 214 disebut dalam
‘asyûrâ (4a k
 
 ) dengan arti “semacam konteks perintah Tuhan kepada Nabi
(termasuk umatnya), supaya memberi
makanan yang terbuat dari tepung
peringatan kepada keluarga dan kerabat
gandum yang diberi susu”, yang
yang dekat.
biasanya dibuat pada tanggal 10
Kata ini di dalam S. Al-Mujâdilah
Muharam dan populer dengan nama
[58]: 22 berkaitan dengan pernyataan
bubur ‘asyûrâ. Al-‘usyar (9k
   ) berarti
Tuhan bahwa orang yang beriman
“tumbuh-tumbuhan”. kepada Allah dan hari akhir, tidak
Kata ‘asyîrah (u9 k
 
 ) disebut tiga saling berkasih sayang dengan orang-
kali di dalam al-Quran, yaitu di dalam orang yang menentang Allah dan
S. Asy-Syu‘arâ’ [26]: 214, S. At- Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
Taubah [9]: 24, dan S. Al-Mujâdilah nenek moyang, anak-anak, saudara-
(58): 22, kata al-‘asyr (9 k
   ) disebut saudara, atau keluarga mereka. (Hasan
Zaini)

17
Nahl [16] masing-masing tujuh kali,
sedangkan dalam bentuk jamak kata itu
ÂYAH (AYAT,
(AYAT, TANDA)
banyak disebut: dalam QS. ;li ‘Imrân
Kata âyah (j
 ;) adalah bentuk [3] sebanyak 18 kali, QS. Al-An‘âm [6]
tunggal dari kata âyât (Lv
;). Menurut sebanyak 25 kali, dan QS. Al-A‘râf [7]
pengertian etimologi, kata itu dapat sebanyak 24 kali.
diartikan sebagai mu‘jizah ( uj H g
  @
= Semua pengertian âyah (j
 ;) yang
mukjizat), ‘alâmah ( j @
 C 
 = tanda), dikemukakan di atas digunakan oleh
Alquran. Kata itu di dalam Alquran
atau ‘ibrah ( uj 9 ` 
 = pelajaran). Selain
disebut dalam berbagai konteks
itu, âyah (j
 ;) dapat diartikan pula pembicaraan. Kata âyah (j
 ;) yang
sebagai al-amrul-‘ajîb ( f
  g
   9 @
 M = disebut dalam QS. Al-Baqarah [2]: 106
sesuatu yang menakjubkan) dan misalnya, terkait dengan pembicaraan
jamâ‘ah ( j 
 !
 = kelompok, ayat tentang pengertian ayat-ayat
masyarakat), al-burhân/ad-dalîl Alquran, yang berhubungan dengan
( A
  + w)
 I9 `  = persoalan nasakh di dalam Alquran. Di
dalam ayat itu dinyatakan bahwa suatu
keterangan/penjelasan). Jika dikaitkan
ayat yang di-nasakh akan digantikan
dengan istilah Alquran, âyah (j
 ;)
dengan ayat lain yang lebih baik
berarti huruf-huruf hijaiyah atau daripada itu, atau yang sama dengan
sekelompok kata yang terdapat di itu. Ayat ini dijadikan dasar oleh
dalam surah Alquran yang mempunyai sebagian ulama untuk menyatakan
awal dan akhir yang ditandai dengan bahwa di dalam Alquran terdapat ayat-
nomor ayat. ayat yang me-nasakh dan ayat-ayat yang
Dalam bentuk tunggal kata âyah di-mansukh.
(j
 ;) di dalam Alquran disebut 86 kali, Dari penggunaannya di dalam
seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 106; Alquran dapat disimpulkan bahwa
dalam bentuk mutsannâ (dua), ayatain pengertian kata âyah (j
 ;) dapat
( 
 ;) disebut satu kali, yaitu dalam diartikan dengan “ayat-ayat yang
QS. Al-Isra’ [17]: 12, sedangkan dalam berkaitan dengan kitab suci dan
bentuk jamak, âyât (Lv
;) disebut 290 Alquran” apabila di dalam ayat itu kata
kali, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: tersebut dikaitkan dengan kata-kata
61 dan QS. Al-An‘âm [6]: 4. Dalam nazala (  H N = turun) dan kata-kata lain
bentuk tunggal, kata âyah (j
 ;) paling yang seasal dengan itu atau adanya
banyak disebut dalam QS. Al-Baqarah tantangan yang ditujukan kepada
[2], QS. Al-An‘âm [6], dan QS. An- orang-orang untuk membuat sesuatu
yang sama dengan ayat-ayat Alquran.

18
Apabila kata ayat dikaitkan dengan surat atau dihitung satu saja. Apakah
kata Allâh (x) dan segala kata ganti setiap tempat berhenti merupakan satu
yang berkaitan dengan-Nya, maka kata ayat atau bagian dari ayat. Apakah
itu dapat diartikan dengan dua huruf-huruf hijaiyah pada awal surat
pengertian, yaitu pertama dengan “ayat- merupakan ayat yang berdiri sendiri
ayat Alquran” dan dapat pula dengan atau digabung dengan ayat sesudahnya.
“sesuatu yang menunjuk kepada Demikian seterusnya, sehingga timbul
kebesaran dan kekuasaan Allah”. Jika perbedaan di kalangan ulama.
kata âyah (j
 ;) yang dihubungkan Ayat-ayat Alquran yang dimulai
dari ayat pertama surat pertama (S. Al-
dengan ungkapan-ungkapan li qaumin
Fatihah) sampai dengan ayat terakhir
yatafakkarûn ()  9 "6 E 
 c  1  ), ya‘qilûn
surat terakhir (S. An-Nas) disusun
() 2&1 
 ), yasma‘ûn ()  ! .

 ), secara tauqifi, yaitu berdasarkan
yadzdzakkarûn ()  9 :6 5+
 ) atau yang petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh
semakna dengan itu, maka kata itu Allah dan Rasulullah Saw, tidak
diartikan sebagai “tanda-tanda berdasarkan ijtihad para sahabat.
kebesaran Allah Swt”. Ayat dalam Pengelompokan Alquran berdasarkan
pengertian ini cukup banyak ayat-ayat mengandung beberapa
diungkapkan di dalam Alquran, antara hikmah. Di antara hikmah-hikmah itu
lain dalam QS. Al-Hijr [15]: 77, QS. ialah: (1) untuk memudahkan
An-Nahl [16]: 11, dan QS. Al-Anbiyâ’ mengatur hafalan dan mengatur waqaf
[21]: 91. (berhenti) berdasarkan batas-batas ayat;
Dilihat dari jumlah ayat yang dan (2) untuk memudahkan
terdapat dalam Alquran, para ulama penghitungan jumlah ayat yang dibaca
mempunyai perbedaan pendapat. Abu pada saat melakukan shalat atau
Abdurrahman As-Salmi, salah seorang khutbah.
ulama Kufah, menyebutkan bahwa Dilihat dari periode turunnya,
ayat-ayat Alquran berjumlah 6.236 ayat-ayat Alquran oleh para ulama
ayat. Jalaluddin As-Suyuti, seorang dikelompokkan atas ayat-ayat
ulama tafsir dan fiqh, menyebutkan Makkiyyah dan Madaniyyah. Terdapat
6.000 ayat. Imam Al-Alusi tiga pendapat para ulama dalam
menyebutkan 6.616 ayat. Perbedaan memberikan pengertian Makkiyyah dan
pandangan mereka dalam hal ini tidak Madaniyyah. Pendapat pertama
disebabkan karena perbedaan mereka mengatakan bahwa yang dimaksud
menyangkut ayat-ayatnya, tetapi dengan ayat-ayat Makkiyyah adalah
disebabkan oleh perbedaan cara mereka ayat-ayat yang turun di Mekah dan
menghitungnya. Apakah basmalah sekitarnya, walaupun sesudah hijrah,
dihitung pada masing-masing setiap dan Madaniyyah ialah ayat-ayat yang

19
turun di Madinah. Pendapat kedua berarti bahwa di antara ayat-ayat itu
menyatakan bahwa yang dimaksud ada yang turun pertama sekali, ada yang
dengan Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun terakhir sekali, dan ada pula yang
ditujukan kepada masyarakat Mekah turun pada periode-periode di antara
yang antara lain ditandai dengan keduanya. Di dalam hal ini ada empat
ungkapan yâ ayyuhan-nâs (*+,h
^ Gy
) pendapat para ulama. Pertama, ulama
dan yang Madaniyyah ialah ayat-ayat yang mengatakan bahwa ayat yang
yang turun untuk ditujukan kepada pertama turun adalah Ayat 1–5 dari S.
masyarakat Madinah yang sudah Al-‘Alaq [96] berdasarkan, antara lain,
beriman, yang antara lain ditandai hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
dengan ungkapan yâ ayyuhal-ladzîna dan Muslim dari ‘Aisyah Ra. yang
âmanû (, @
; 

 5 6  h
^ G y
). Pendapat menceriterakan kejadian yang dialami
Nabi ketika menerima wahyu itu.
ketiga, merupakan pendapat yang
Kedua, ulama yang menyatakan bahwa
populer, menyatakan bahwa ayat
ayat yang pertama turun adalah Ayat
Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun
1–5 dari S. Al-Muddatstsir [74],
sebelum Nabi Muhammad Saw.
berdasarkan hadis yang diriwayatkan
berhijrah ke Madinah walaupun
oleh Bukhari dan Muslim dari Abi
turunnya di tempat selain Mekah,
Salmah bin Abdur Rahman bin ‘Auf.
sedangkan ayat-ayat Madaniyyah ialah
Ketiga, ulama yang berpendapat bahwa
ayat-ayat yang turun sesudah hijrah
ayat yang pertama turun adalah QS. Al-
walaupun turun di Mekah.
Fâtihah [1], berdasarkan hadis yang
Dilihat dari segi jumlahnya, ayat-
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu
ayat Makkiyyah lebih banyak
Maisarah ‘Umar bin Syurahbil. Adapun
dibandingkan dengan ayat-ayat
yang keempat, menyatakan ayat yang
Madaniyyah. Dari ayat-ayat Alquran
pertama turun ialah bismillâhir-
yang berjumlah 6.236 itu, ayat-ayat
rahmânir-rahîm, berdasarkan hadis
Makkiyyah berjumlah 4.726 buah,
yang diriwayatkan oleh Al-Wahidi dari
sedangkan ayat-ayat Madaniyyah
Ikrimah dan Al-Hasan.
berjumlah 1.510 buah. Ini berarti
Mayoritas ulama menyatakan
bahwa tiga perempat dari jumlah ayat-
bahwa pendapat yang paling kuat
ayat Alquran adalah Makkiyyah.
adalah pendapat pertama, yakni Ayat
Ayat-ayat Alquran yang secara
1–5 dari S. Al-‘Alaq [96] merupakan
lengkap sampai kepada kita saat kini
wahyu pertama yang diterima oleh
tidak diturunkan sekaligus, tetapi
Nabi Muhammad Saw, dan tidak satu
diturunkan secara berangsur-angsur
pun wahyu yang turun sebelum itu.
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
Tiga pendapat lainnya oleh Az-Zarqani
kaum muslimin pada awal Islam itu. Ini
dikompromikan sebagai berikut; Ayat

20
1–5 dari S. Al-Muddatstsir [74] mendengarkan ayat yang disampaikan
merupakan ayat-ayat yang turun Nabi. Menurut Az-Zarqani dan Subhi
pertama kali setelah beberapa saat As-Salih, ayat-ayat yang terakhir turun
lamanya terjadi kekosongan turunnya adalah Ayat 281 dari S. Al-Baqarah [2].
wahyu setelah turunnya Ayat 1–5 dari (Ahmad Thib Raya)
S. Al-‘Alaq [96]. Ayat-ayat dari S. Al-
Fâtihah [1] mungkin dapat dipandang
sebagai surah Alquran yang diturunkan FAKKARA (MEMIKIRKAN,
pertama kali secara lengkap mulai dari BERFIKIR)
ayat pertama sampai dengan ayat Kata fakkara (96"/ ) adalah kata
terakhir. S. Al-Fâtihah [1] itu turun kerja yang berakar dari huruf-huruf fâ’
beberapa saat lamanya setelah (/), kâf (l:), dan râ’ (a). Ibnu Faris
Muhammad diangkat sebagai Nabi.
di dalam Mu‘jam Maqâyîsil Lughah
Mengenai ayat yang terakhir
menulis bahwa struktur akar kata ini
turun, juga terdapat perbedaan
mengandung makna pokok “bolak-
pendapat para ulama. Menurut az-
baliknya hati dalam suatu masalah”.
Zarqani, terdapat 10 pendapat ulama,
Menurut Ibrahim Mustafa di dalam
yaitu: (1). Ayat 281 dari S. Al-Baqarah
Al-Mu‘jam Al-Wasîth, akar katanya
[2], berdasarkan hadis riwayat An-
adalah fakara (9" / ), yang secara
Nasa’i melalui Ikrimah dari Ibnu Abbas
dan riwayat Ibnu Abi Hatim; (2). Ayat leksikal bermakna “mendayagunakan
278 dari S. Al-Baqarah [2], akal dalam suatu urusan dan menyusun
berdasarkan hadis riwayat Bukhari dari suatu masalah yang diketahui untuk
Ibnu Abbas dan riwayat Baihaqi dari mengetahui sesuatu yang belum
Ibnu Umar; (3). Ayat 282 dari S. Al- diketahui’.
Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat M. Quraish Shihab menjelaskan
Ibnu Jarir dari Sa‘id bin Al-Musayyib bahwa sebagian ahli bahasa
dan riwayat Abu Ubaid dari Ibnu berpendapat, kata fakara terambil dari
Syihab. (4). Ayat 195 dari S. ;li ‘Imrân kata faraka (-9 / ), dengan
[3]; (5). Ayat 94 dari S. An-Nisâ’ [4]; mendahulukan huruf râ’ atas huruf kâf,
(6). Ayat 176 dari S. An-Nisâ’ [4]; (7). yang antara lain berarti “mengorek
Ayat 3 dari S. Al-Mâ’idah [5], (8). sehingga apa yang dikorek itu muncul”,
Ayat 128 dari S. At-Taubah [9]; (9). “menumbuk sampai hancur”, atau
Ayat 110 S. Al-Kahf [18], dan (10). “menyikat (pakaian) sehingga
Ayat-ayat S. An-Nashr [110], yang kotorannya hilang”. Jadi, kata faraka
semuanya berdasarkan riwayat. mempunyai makna yang mirip dengan
Perbedaan pendapat ini timbul karena kata fakara. Hanya saja, kalau faraka
perbedaan masa para sahabat digunakan untuk hal-hal yang bersifat

21
materil, maka fakara digunakan untuk Al-Walid dikutuk bukan karena ia
hal-hal yang bersifat abstrak. Oleh berfikir, sebab Al-Qur’an sendiri
karena itu, sebagian pakar menganjurkan setiap manusia untuk
menambahkan bahwa kata fakara tidak selalu berfikir. Ajaran Al-Qur’an tidak
digunakan kecuali terhadap sesuatu menghalangi seorang muslim untuk
yang dapat tergambar dalam benak. menerima hasil pemikiran non-muslim
Itulah sebabnya, kata mereka, ada yang baik dan bermanfaat. Akan tetapi,
larangan berfikir menyangkut Allah Al-Walid dikutuk karena “cara” ia
Swt, “Jangan berfikir menyangkut berfikir tidak disetujui Al-Qur’an. Cara
Allah, tetapi berfikirlah tentang berfikirnya memperturutkan syahwat
nikmat-nikmat-Nya”. Alasannya, Allah keduniaan secara berlebih-lebihan
tidak dapat difikirkan, dalam artian dalam rangka memenuhi ambisi,
dzat-Nya tidak dapat tergambar dalam memperoleh kedudukan, atau harta
benak seseorang. benda, sehingga ketika itu ia tidak lagi
Al-Ghazali di dalam Ihyâ’ memiliki keseimbangan. Dalam hal ini,
‘Ulûmud-Dîn, mengemukakan bahwa Al-Walid tidak obyektif lagi dalam
yang dimaksud dengan fakkara adalah berfikir dan tentu saja hasilnya tidak
menghadirkan dua pengetahuan dalam akan menyentuh kebenaran, sehingga
hati untuk mendapatkan pengetahuan tidak membawa rahmat, atau dengan
ketiga sebagai hasil dari perpautan kata lain “terkutuk”.
pengetahuan terdahulu. Dari uraian lain bisa disimpulkan
Di dalam Al-Qur’an, kata fakkara bahwa kata fakkara dan kata-kata yang
dan kata-kata yang seakar dengannya seakar dengannya mengandung makna
ditemukan sebanyak 18 kali. Kata “memikirkan” atau “berfikir”. Makna
fakkara sendiri disebutkan hanya sekali, ini juga telah masuk ke dalam
yakni pada QS. Al-Muddatstsir [74]: perbendaharaan Bahasa Indonesia
18, a + 7  9 "
6 / O N+  (Sesungguhnya dia sebagai perkembangan dari makna
telah memikirkan dan menetapkan [apa pokoknya, yakni “mendayagunakan
yang ditetapkannya]). akal dalam suatu masalah untuk
Penggunaan kata fakkara yang mengetahui sesuatu yang belum di-
hanya satu-satunya di dalam Al-Qur’an ketahui’. (Muhammadiyah Amin)
adalah dalam konteks pembicaraan
tentang Al-Walid ibnu Al-Mughirah
FAUZ (KEBRUNTUNGAN)
(KEBRUNTUNGAN)
yang dikecam oleh Al-Qur’an, karena ia
telah memikirkan dan menetapkan, Kata fauz (LK / ) merupakan
seperti ditegaskan ayat tadi. M. bentuk mashdar (infinitif) dari fâza –
Quraish Shihab, ketika menafsirkan yafûzu – fawzan ( <K / K  E&
 K /).
ayat ini menyatakan secara pasti bahwa

22
Bentuk jamak dari fauz (KL  / ) adalah akan diperoleh di akhirat kelak, sebagai
fawâiz (HL = / ). Di dalam Al-Qur’an, keberuntungan yang hakiki atau fauzun
‘azhîm (L  e
 
 KL  / ) (QS. Ash-Shâffât
kata fauz (LK / ) dan kata yang seasal
[37]: 60, QS. At-Taubah [9]: 100, dan
dengan kata itu disebut 29 kali.
sebagainya).
Secara bahasa, kata fauz (LK / )
Dengan demikian, secara termino-
berarti azh-zharf bil khaîr wan najâtu logis, kata fauz (LK / ) berarti hasil baik
minasy syarri ( 
@
 u& g,+ 9  _
 % l
 9 e
6 
atau keberuntungan yang akan
9U k
+ = Keberhasilan memperoleh ke- diperoleh seseorang yang beriman
baikan dan terlepas dari kejahatan). sebagai imbalan dari perbuatan baik
Dengan kata lain, fauz (LK / ) berarti (‘amal shâlih) yang dilakukan selama di
‘keberuntungan’. Kata lain yang dunia. Hasil baik itu adalah kesenangan
sinonim dengan fauz (LK / ) yang surga dan terhindar dari siksaan neraka.
Jadi, keberuntungan yang dimaksud di
terdapat di dalam Al-Qur’an adalah
sini adalah keberuntungan yang bersifat
iflâh ( BL C / P), seperti qad aflaha man rohani dan bukan keberuntungan
tazakkâ ( 8z:H ( 
@
 D
 2 / G  7 = sesung- materi seperti yang diperoleh manusia
guhnya beruntunglah orang yang di dunia ini.
membersihkan dirinya) (QS. Al-A‘lâ Bila kita telusuri ayat-ayat Al-
[87]: 14) dan qad aflahal mu’minûn Qur’an yang berbicara tentang fauz
() , @
 F !   D
 2 / G  7 = Sesungguhnya (LK / ), hanya satu yang menggunakan
beruntunglah orang yang beriman) afûzu (K /& G), yang berarti ‘saya
(QS. Al-Mu’minûn [23]: 1). Akan beruntung’. Itu pun menggambarkan
tetapi, kata iflâh (LBC / P) lebih umum ucapan orang munafik yang memahami
dari kata fauz (LK / ), karena bisa ‘keberuntungan’ sebagai keberuntungan
mencakup kemenangan di dunia dan di yang bersifat materi (QS. An-Nisâ’ [4]:
akhirat. Untuk di dunia seperti tukang 73). Selebihnya mengandung makna
sihir yang tak akan menang melawan ‘pengampunan dan keridhaan Tuhan
Nabi Musa as. (QS. Thâhâ [20]: 69). serta kebahagiaan surgawi’. Oleh karena
Untuk di akhirat, sebagaimana yang itu, ucapan wal fâ’izîn (
 H = E  )
dikemukakan oleh Al-Qurthubi, sebagai sambungan dari ucapan minal
keberuntungan yang diperoleh ‘âidîn (
  =   
@ ) yang sering
seseorang yang berat timbangan diucapkan pada hari Idul Fitri
baiknya (QS. Al-A‘râf [7]: 8). Kata dipahami di dalam arti harapan dan
fauz (LK / ) lebih dikhususkan kepada doa, yakni semoga kita semua
keberuntungan atau kemenangan yang memperoleh ampunan dan ridha Allah

23
swt. sehingga kita mendapatkan itulah mereka memperoleh fauz ( KL  / =
kenikmatan surga. keberuntungan yang sesungguhnya) dan
Salah satu persyaratan terhindar dari siksaan neraka (QS. Az-
memperoleh keberuntungan itu adalah Zumar [39]: 61). (Yaswirmani)
suka memaafkan orang lain serta lapang
dada (QS. An-Nûr [24]: 22). Ayat ini
berkaitan dengan kisah Abu Bakar ra. FITHRI (SUCI)
yang semula tidak akan memaafkan Fithri terambil dari kata “fithrah”
orang yang menyebarkan berita bohong (ju9 ]
 / ) yang bisa berarti agama yang
tentang anaknya, sekaligus istri Nabi
benar, suci, atau asal kejadian. Di dalam
Muhammad, Aisyah ra. Setelah ayat ini
Al-Quran kata ini hanya disebut satu
turun maka Abu Bakar memaafkannya
kali, yaitu di dalam S. Ar-Rûm [30]:
dan memperoleh keberuntungan di
30. Jika kita memahami fithrah dalam
akhirat nantinya.
arti agama, maka perlu diingat sabda
Keberuntungan di dalam arti fauz
Nabi Saw. yang menyatakan,  
X
(LK / ) dikemukakan oleh Al-Qur’an
2@ &{ (agama adalah interaksi
sebagai keberuntungan yang kekal dan
tidak akan habis-habisnya (QS. At- harmonis). Semakin baik interaksi
Taubah [9]: 100, QS. An-Nisâ’ [4]: seseorang semakin baik pula
13, QS. At-Taghâbun [64]: 9, dan keberagamaannya. Dalam konteks
sebagainya). kehidupan bermasyarakat kita dapat
Al-Barwaswi, dengan mengutip berkata bahwa “tidak mungkin satu
pendapat Ibnu ‘Ata’ mengatakan, al- masyarakat dapat maju dan
fâ’izûn ()  H = E ) itu adalah orang- berkembang tanpa jalinan yang
harmonis antar anggotanya, jalinan
orang yang taat kepada Allah dengan
yang menjadikan mereka bekerja sama,
arti memerkenankan seruan yang hakiki
sehingga yang ringan sama dijinjing dan
dan taat kepada Rasulullah di dalam
yang berat sama dipikul”.
arti memerkenankan seruan yang
Semakin harmonis interaksi satu
berisikan nasihat-nasihat. Ditambahkan
masyarakat, semakin banyak manfaat
oleh Al-Maraghi bahwa taat kepada
yang dapat mereka raih dan semakin
Allah dan Rasul-Nya berarti semua
berhasil pula dalam perjuangannya.
perintah agama diikuti dan semua
Semakin baik hubungan manusia
larangan agama dijauhi. Takut kepada
dengan alam, semakin terpelihara alam
Allah berarti takut berbuat dosa, karena
dan semakin banyak pula rahasianya
itu mereka tinggalkan sehingga muncul
yang dapat diungkap. Dengan
rasa ingin menghindar dari dosa
demikian, semakin sejahtera kehidupan
tersebut (takwa). Karena ketakwaan
mereka. Namun, perlu diingat bahwa

24
kemajuan satu bangsa tidak diukur manusia apapun agama dan bangsanya,
dengan kekayaan alamnya tetapi dengan bahkan mencakup seluruh makhluk,
nilai-nilai yang mereka anut bersama karena “Dan tiadalah binatang-
yang menjalin hubungan harmonis binatang yang melata di bumi dan
mereka. Sekian banyak negara yang burung-burung yang terbang dengan
kalah dalam peperangan namun kedua sayapnya, melainkan umat-umat
berhasil bangkit bahkan lebih maju dari (juga) seperti kamu (QS. 6: 38).
sebelumnya, karena mereka memiliki Kesadaran tersebut ditanamkan
nilai-nilai yang merekatkan hubungan dalam diri setiap pribadi atas dasar
mereka. Di sisi lain, satu masyarakat, prinsip bahwa seluruh manusia adalah
baik kecil atau besar, akan runtuh dan satu kesatuan, “Semua kamu berasal
mencapai ajalnya ketika hubungan dari Adam, sedang Adam diciptakan
mereka tercabik, karena ketercabikan dari tanah” dan semua makhluk adalah
menguras tenaga dan fikiran. Sehingga, ciptaan Tuhan. Rasa inilah yang
bukan saja mereka tidak dapat menghasilkan "Kemanusiaan yang adil
melangkah bersama tetapi tidak dapat dan beradab". Sehingga pada akhirnya
melangkah maju sama sekali. Allah seseorang yang diperkaya dengan
mengingatkan, “Janganlah kamu tarik kesadaran akan keterikatannya dengan
menarik, karena itu menyebabkan kamu sesama, akan merasakan derita umat
gagal dan hilang kekuatanmu, dan dan akan berupaya mewujudkan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah kesejahteraan bersama. Ia akan
beserta orang-orang yang sabar. (Q.S 8: berkawan dengan kemerdekaan,
46). keadilan, pengetahuan, kesehatan,
Seorang yang beragama harus keramahan dan sebagainya, serta
selalu merasa bersama orang lain, berseteru dengan musuh-musuh
yakni ia harus memiliki kesadaran kemanusiaan, seperti penganiayaan,
sosial. Keakuan seorang muslim harus kebodohan, penyakit, dan kemiskinan.
lebur secara konseptual bersama aku- Itu salah satu sebab mengapa
aku lainnya, sehingga setiap muslim dalam rangkaian puasa, setiap muslim,
menjadi seperti yang digambarkan baik kecil atau besar, kaya atau miskin,
oleh Nabi Saw, "Bagaikan satu jasad, berkewajiban menunaikan zakat fithrah
bila satu organ merasakan penderitaan, yang dijadikan sebagai pertanda
maka seluruh tubuh merasa demam dan kepedulian sosial dan lambang
tak dapat tidur”. kesediaan memberi hidup bagi orang
Bagi seorang muslim kesadaran lain.
akan kebersamaan ini bukan terbatas Fithrah juga bisa berarti suci, di
hanya antar sesama muslim atau mana kesucian adalah gabungan dari
sebangsa, tetapi mencakup seluruh indah, benar, dan baik.

25
Mengekspresikan keindahan menjadi utuh, sehingga tidak terjadi
melahirkan seni, menemukan kebenaran pemisahan antara aqidah (keimanan)
menghasilkan ilmu, dan dan syariah (pengamalan agama), tidak
memperagakan kebaikan membuahkan juga antara perasaan dan perilaku,
budi. Gabungan ketiganya jika direkat perbuatan dengan moral, idea dengan
oleh nilai spiritual akan menghasilkan kenyataan, serta dunia dengan akhirat,
peradaban. Dengan ber-‘idul fithri, tetapi masing-masing merupakan
seorang muslim menjadi seniman, bagian yang tak terpisahkan dan saling
ilmuan, sekaligus budiman. Dengan melengkapi. Jasad tidak mengalahkan
menghayati dan mengamalkan nilai- ruh dan ruh pun tidak merintangi
nilai yang dikandungnya, kita dapat kebutuhan jasad. Kecenderungan
membangun peradaban. individu memperkukuh keutuhan
Sementara pakar berkata bahwa kolektif dan kesatuan kolektif
untuk mewujudkan peradaban mendukung kepentingan individu
diperlukan tiga unsur yang menyatu, Pandangan tidak hanya terpaku di
yaitu manusia + tanah/wilayah + bumi dan tidak juga hanya mengawang-
waktu. Wujud ketiganya saja belum awang di angkasa. Demikian makna-
berarti kecuali kalau ada zat perekatnya makna yang terkandung dalam istilah
yaitu agama (nilai-nilai spiritual). Lima Fithri.
belas peradaban besar yang dikenal
dalam sejarah, dimulai dari Peradaban
Sumaria hingga Peradaban Amerika JIHAD (JIHAD)
dewasa ini, kesemuanya lahir dari upaya Istilah jihâd dalam berbagai
mempertahankan nilai-nilai tersebut bentuknya terulang sebanyak 41 kali di
yang terpaksa mereka lakukan dengan dalam al-Quran. Kata jihâd yang
berhijrah. Begitu nilai-nilai berasal dari kata juhd (h
 ) dan jahd
ditinggalkan, maka peradaban tersebut (h
 ) berarti “kekuatan, kemampuan,
berangsur punah.
kesulitan, dan kelelahan”. Dari
Dan, tidak sedikit pula yang
pengertian itu dipahami bahwa jihad
memahami “fithri” dalam arti kembali
membutuhkan kekuatan, baik tenaga,
ke asal kejadian. Pengertian ini
pikiran, maupun harta. Pada sisi lain,
menimbulkan kesadaran tentang jati
dipahami bahwa jihad pada umumnya
diri kita sebagai manusia, sebagai
mengandung resiko kesulitan dan
makhluk dwi-dimensi, yang merupakan
kelelahan dalam pelaksanaannya.
perpaduan dari ruh dan jasad, tak
Kata al-juhd hanya dijumpai
ubahnya dengan air yang terpadu dari
sekali di dalam al-Quran, yakni S. At-
oksigen dan hidrogen dalam kadar
Taubah [9]: 79. Ayat ini berbicara
tertentu. Hal ini mengantarkan manusia

26
mengenai sikap dan penghinaan orang yang beriman dan orang tuanya yang
munafik terhadap orang-orang beriman kafir.
yang memberikan sedekah dengan Kata jihâd yang mengandung
sukarela, sesuai dengan kemampuan pengertian “berjuang di jalan Allah”,
yang dimilikinya. Adapun kata al-jahd ditemukan sejumlah 33 ayat; 13 kali
ditemukan lima kali di dalam al-Quran, dalam bentuk fi‘l mâdhi ( |
c @ A
  / =
masing-masing di dalam S. Al-Mâ’idah kata kerja bentuk lampau), lima kali
[5]: 53, S. Al-An‘âm [6]: 109, S. An- dalam bentuk fi‘l mudhâri‘ ( }c a Q@
 A
  /
Nahl [16]: 38, S. An-Nûr [24]: 53,
= kata kerja bentuk sekarang atau yang
dan S. Fâthir [35]: 42, semuanya
akan datang), tujuh kali dalam bentuk
berbicara dalam konteks sumpah, baik
fi‘l amr ( 9c @
 G A
  / = kata kerja perintah),
sumpah yang benar maupun yang
bohong. Akan tetapi, ayat-ayat tersebut empat kali dalam bentuk mashdar, dan
cukup memberikan petunjuk tentang empat kali dalam bentuk ism fâ‘il (  
 P
kesungguhan pelakunya dalam A
c /= kata benda yang menunjukkan
bersumpah, walaupun belum tentu pelaku). Ayat-ayat tersebut
benar. memberikan indikasi bahwa jihâd
Dalam terminologi Islam, kata mengandung pengertian yang luas,
jihâd diartikan sebagai “perjuangan yakni perjuangan secara total yang
secara sungguh- sungguh mengerahkan meliputi seluruh aspek kehidupan,
segala potensi dan kemampuan yang termasuk di dalamnya perang fisik atau
dimiliki untuk mencapai tujuan”, mengangkat senjata terhadap para
khususnya dalam konteks melawan pembangkang atau terhadap musuh.
musuh atau mempertahankan Dengan begitu, istilah jihâd tidak
kebenaran, kebaikan, dan keluhuran. selalu berkonotasi perang fisik, bahkan
Meskipun begitu, istilah jihad terdapat beberapa ayat yang berbicara
yang dijumpai di dalam al-Quran tidak tentang jihâd, tetapi tidak berkonotasi
semuanya berarti berjuang di jalan perang, khususnya ayat-ayat Makkiyah
Allah, karena ada juga ayat yang seperti S. Al-‘Ankabût [29]: 6 dan 69.
menggunakan kata jihad dalam Ayat-ayat tersebut memberikan indikasi
pengertian “berjuang dan berusaha bahwa jihâd yang dimaksudkan adalah
seoptimal mungkin untuk mencapai mencurahkan seluruh kemampuan yang
tujuan”, walaupun tujuan yang dimiliki untuk mencapai ridha Allah.
dimaksud belum tentu benar. Hal Karena itu, orang yang berjihad di jalan
seperti ini dijumpai di dalam S. Al- Allah tidak mengenal putus asa,
‘Ankabût [29]: 8 dan S. Luqmân [31]: menyerah, atau berkeluh kesah. Bahkan,
15. Kedua ayat tersebut berbicara S. Al-Furqân [25]: 52 yang juga
dalam konteks hubungan antara anak termasuk ayat Makkiyah, secara tegas

27
memerintahkan berjihad terhadap Di samping itu, S. At-Taubah
orang-orang kafir dengan jihad yang [9]: 73 dan S. At-Tahrim [66]: 9,
besar. Akan tetapi, ayat ini pun tidak secara tegas memerintahkan berjihad
dapat dipahami sebagai jihad dalam terhadap orang-orang kafir dan orang-
bentuk kontak senjata, mengingat orang munafik. Terhadap orang-orang
bahwa selama Nabi Saw. kafir, jihad dalam bentuk kontak
mengembangkan misi kerasulannya di senjata telah dilaksanakan oleh Nabi,
Mekah, beliau tidak pernah melakukan tetapi terhadap orang-orang munafik,
kontak senjata dengan orang-orang Nabi tidak melakukannya. Ini pun
kafir. Padahal, ayat-ayat ini secara jelas memberikan kesan bahwa jihad
dan tegas memerintahkan agar terhadap orang-orang munafik
menghadapi orang-orang kafir dengan bukanlah jihad dalam bentuk
jihad yang besar. Bahkan, ketika orang- mengangkat senjata, sebab secara
orang musyrik mengadakan tekanan formal mereka adalah umat Islam dan
dan penyiksaan terhadap umat Islam, mereka pun tidak secara terang-
terdapat indikasi bahwa kaum terangan mengadakan aksi untuk
muslimin berupaya menghadapi menghancurkan Islam. Karena itu,
kekejaman tersebut tidak dengan usaha maksimal yang dapat dilakukan
berperang, tetapi beliau menyatakan untuk menghadapi mereka adalah
kepada sahabatnya, “Ishbirû fa innî lam membendung pengaruh buruk yang
u’mar bil-qitâl” ( 9 @
 ~ G&   8UN/  9 ` W
 P ditimbulkan mereka.
 1 %= bersabarlah kalian karena aku Meskipun begitu, tidak dapat
diingkari bahwa jihad dapat pula
belum mendapat perintah untuk
mengambil bentuk peperangan, tetapi
berperang).
jihad dalam pengertian ini bersifat
Dengan begitu, perintah berjihad
kondisional, bukan pengertian satu-
di dalam S. Al-Furqân [25]: 52 di atas
satunya. Yang jelas bahwa jihad sebagai
bukanlah perintah berperang. Perintah
cara untuk memelihara dan
berjihad terhadap orang-orang kafir
mempertahankan ajaran Islam dalam
adalah dengan menggunakan Al-Quran,
kehidupan masyarakat harus
yakni menyampaikan ajaran Al-Quran
dilaksanakan secara terus-menerus.
dengan informasi rasional atau
Karena itu pula, maka jihad dalam
pendekatan-pendekatan lainnya yang
pelaksanaannya harus bermotifkan
dapat menarik perhatian mereka kepada
tekad yang bulat untuk mencari ridha
Islam. Terbukti bahwa banyak orang
Allah. Dalam hal ini, al-Quran
kafir yang tertarik kepada Islam karena
menyatakan bahwa pengerahan tenaga,
pendekatan yang lunak dan simpatik.
pikiran, dan harta benda secara optimal
tidak boleh menyimpang dari jalan

28
yang diridhai Allah, seperti diisyaratkan memerintahkan berjihad dengan anfus,
di dalam beberapa ayat, misalnya: S. Al- ia dapat mencakup jihad dengan nyawa,
Baqarah [2]: 218, S. Al-Mâ’idah [5]: emosi, pengetahuan, tenaga, dan
35 dan 54, S. Al-Anfâl [8]: 72 dan 74, pikiran, bahkan juga waktu dan tempat.
S. At-Taubah [9]: 19, 24, dan 41, S. Perintah berjihad dengan
Al-Hajj [22]: 78, S. Al-Hujurât [49]: menggunakan segala potensi dan
15, dan S. Ash-Shaff [61]: 11. Ayat- kemampuan yang dimiliki manusia
ayat tersebut memberi petunjuk bahwa disebutkan pula di dalam S. Al-Hajj
orang yang mengerahkan tenaga, [22]: 78. Hal itu berarti bahwa jihad
pikiran, dan harta bendanya akan merupakan puncak dari segala aktivitas.
memperoleh ridha Allah bila mereka (M. Galib Matola)
berjuang dengan ikhlas pada jalan yang
benar.
Mengenai luasnya ruang lingkup LAIL (MALAM HARI)
dan cakupan jihad di jalan Allah, Kata lail (A ) biasa diartikan
seperti yang ditunjukkan di dalam al- sebagai “malam hari”. Kata tersebut
Quran, meliputi jihad dengan diri dan disebut 74 kali di dalam al-Quran.
jihad dengan harta, seperti disebutkan Secara etimologis kata lail (A ) berasal
di dalam beberapa ayat, misalnya: S. Al-
dari al-ala, yang pada mulanya berarti
Anfâl [8]: 72, S. At-Taubah [9]: 20,
“gelap/hitam pekat”. Pemakain kata
41, dan 88, S. An-Nisâ’ [4]: 95, S. Al-
tersebut berkembang sehingga artinya
Hujurât [49]: 15, serta S. Ash-Shaff
pun menjadi beranekaragam. Sesuatu
[61]: 11. Istilah jihâd di dalam ayat-
yang panjang dan hitam dinamai al-yal
ayat tersebut dikaitkan dengan alat
dan mulayyal, dan minuman keras yang
yang digunakan untuk berjihad, yaitu
berwarna hitam dinamai ummul-lail ( ^ G&
harta dan diri. Hal ini dapat dimaklumi
karena jihad tidak dapat dilaksanakan A
  26 ), sedangkan minuman keras pada
tanpa modal dan karena itu, maka jihad tahap-tahap pemabukannya dinamai
disesuaikan dengan modal serta tujuan laila, karena ia menghitamkan atau
yang ingin dicapai. Sebelum tujuan menggelapkan pandangan dan
tercapai dan selama modal masih ada di pemikiran peminumnya. Agaknya, dari
tangan, selama itu pula jihad masih asal pengertian inilah mereka
tetap dituntut. menamakan waktu matahari terbenam
Di samping jihad dengan harta, sampai dengan terbitnya fajar sebagai
juga disebutkan bersama-sama jihad lail, karena kegelapan dan hitam
dengan anfus ([E& N G), yang dapat pekatnya situasi ketika itu.
berarti “hati, jenis, nyawa, dan totalitas Dengan memperhatikan ayat-ayat
manusia”. Maka, ketika al-Quran yang memuat kata lail dan kata yang

29
seasal dengan itu dapat diketahui berdakwah di malam hari, seperti
bahwa menurut terminologi al-Quran, perkataan Nabi Nuh, “Wahai
kata tersebut dipakai untuk arti Tuhanku sesungguhnya aku telah
“malam hari”, istilah bagi waktu mulai menyeru umatku (kepada agama-Mu)
terbenam matahari sampai terbit fajar, siang dan malam.” (QS. Nuh [71]: 5).
atau menurut pendapat lain, mulai (A. Rahman Ritonga)
hilangnya mega merah (setelah
matahari terbenam) sampai terbitnya
fajar. Dan dari kandungan ayat-ayat MUSHÎBAH (MUSIBAH)
tersebut tergambar bahwa al-Quran Menurut ar-Ragib al-Asfahani,
mempergunakan kata itu dalam asal makna kata mushîbah (j`  S
 @
)
beragam konteks, di antaranya: adalah lemparan (ar-ramyah),
Pertama, dalam konteks ibadah, seperti kemudian digunakan untuk pengertian
pada QS. Al-Baqarah [2]: 187 yang bahaya, celaka, atau bencana dan bala.
menjelaskan batas waktu berpuasa. Al-Qurthubi mengatakan, mushibah
Kedua, dalam konteks perjalanan ialah apa saja yang menyakiti dan
di malam hari, misalnya QS. Al-Isra’ menimpa diri orang mukmin, atau
[17]: 1. Dalam ayat ini, Allah sesuatu yang berbahaya dan
menginformasikan perjalanan Nabi menyusahkan manusia meskipun kecil.
Muhammad di malam hari dari Untuk menguatkan pengertian tersebut,
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. al-Qurthubi mengemukakan hadis
Ketiga, dalam konteks pengajaran Nabi yang diriwayatkan oleh Ikrimah
terhadap orang-orang yang berakal, bahwa lampu Nabi Saw. pernah mati
misalnya pada QS. An-Nur [24]: 44. pada suatu malam. Lalu, beliau
Di sini dinyatakan bahwa pergantian membaca: innâ lillâhi wa innâ ilaihi
malam dan siang itu merupakan râji‘ûn ( )   
 a O   P +NP  O 26 +NP=
pelajaran bagi yang mempunyai
Sesungguhnya kami adalah milik Allah
penglihatan. Keempat, dalam konteks
dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami
siksaan terhadap orang kafir yang tidak
kembali). Para sahabat bertanya:
membedakan antara siang dan malam,
“Apakah ini termasuk musibah hai
misalnya pada QS. Al-Haqqah [69]: 7.
Rasulullah?” Nabi menjawab, “Ya, apa
Kelima, dalam konteks
saja yang menyakiti orang mukmin
penerimaan wahyu di malam hari,
disebut musibah.”
seperti pada QS. Al-Baqarah [2]: 51
Kata mushîbah (j`  S
 @
 ) di dalam
yang menerangkan bahwa Nabi Nuh
berada di bukit Tur Sina selama 40 al-Quran disebut 10 kali, yaitu di
malam untuk menerima wahyu dari dalam S. Al-Baqarah [2]: 156, S. ;li
Allah. Keenam, dalam konteks anjuran ‘Imrân [3]: 165, S. An-Nisâ’ [4]: 62,

30
72, S. Al-Mâ’idah [5]: 106, S. At- orang kafir akibat perbuatan mereka
Taubah [9]: 50, S. Al-Qashash [28]: sendiri. Jadi, kata mushîbah (j`  S
 @
 ) di
47, S. Asy-Syûrâ [42]: 30, S. Al-Hadîd sini lebih tepat diartikan dengan azab.
[57]: 22, dan S. At-Tagâbun [64]: 11. Kata mushîbah (j`  S
 @
 ) dalam S. Asy-
Kata mushîbah (j`  S
 @
 ) dalam S.
Syûrâ [42]: 30 berkaitan dengan
Al-Baqarah [2]: 156 disebut oleh Allah musibah yang menimpa diri seseorang
sesudah menyebutkan bermacam- akibat perbuatan mereka sendiri.
macam cobaan yang diberikan-Nya Namun, ditekankan pada akhir ayat itu
kepada umat manusia berupa bahwa Allah memaafkan sebagian besar
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kesalahan mereka, sementara dalam S.
jiwa, dan buah-buahan. Al-Hadîd [57]: 22 Tuhan menjelaskan
Adapun kata mushîbah (j` S
 @
) bahwa musibah (bencana) yang terjadi
dalam S. ;li ‘Imrân [3]: 165 di bumi atau menimpa diri seseorang
berhubungan dengan mushibah telah dicatat Allah di dalam kitab (lauh
(kekalahan) yang dialami oleh orang- mahfuzh = m j  E& '
 @
 B
L   ) sebelum
orang mukmin pada peperangan Uhud. musibah itu terjadi. Jadi, sudah lebih
Pada firman Allah dalam S. An-Nisa’ dahulu diketahui Allah. Adapun dalam
(4): 62, berhubungan dengan musibah S. At-Tagâbun [64]: 11 Allah
yang menimpa orang-orang munafik menjelaskan bahwa suatu musibah
akibat perbuatan mereka sendiri. Kata tidak akan terjadi kecuali dengan izin
mushîbah (j`  S
 @
 ) pada Ayat 72 dalam Allah. (Hasan Zaini)
surah yang sama berkaitan dengan
sikap sebagian orang Islam yang enggan
NABI
NABIY (NABI)
pergi ke medan pertempuran. Bila
ternyata pasukan kaum muslimin Kata naby (XY` N ) berasal dari
mengalami kekalahan, mereka berkata, naba’a – yanba’u – nab’an ( Z&` €,
Z€`N
“Sesungguhnya Tuhan telah Z €`N). Kata ini, jika berdiri sendiri,
menganugerahkan nikmat kepada saya
mempunyai banyak pengertian, antara
karena saya tidak ikut berperang bersa-
lain berarti ‘bersuara pelan’, ‘naik’ atau
ma-sama mereka.”
‘tinggi’, dan juga berarti ‘menghindar
Firman Allah dalam S. Al-
dan menjauh’. Dari kata ini muncul
Mâ’idah [5]: 106 berhubungan dengan
bentukan yang lain, seperti anba’a –
musibah kematian yang menimpa
yunbi’u – inbâ’an (< €`N P Z&` €,
 Z€`N G)
seseorang di dalam perjalanan.
Mushîbah (j`  S
 @
 ) dalam S. Al- yang berarti ‘memberitakan’,
‘memberitahukan’, serta ‘mengusir dan
Qashash [28]: 47 berhubungan dengan
mengasingkan’ dan nabba’a – yunabbi’u
musibah (azab) yang menimpa orang-

31
– tanbî’an (< €`, ( d Ù€,
 Z€+̀N) yang x
 Y
^ ` N = Aku bukanlah Nabi’a Allah,
berarti ‘memberitakan dan melainkan Nabi Allah).
memberitahukan’. Kata an-naba’ Kata naby adalah bentuk tunggal,
merupakan bentuk dasar dari kata itu sedangkan bentuk jamaknya ada dua,
yang mengandung pengertian ‘kabar, yaitu nabiyyûn/nabiyyîn ( )€^`N
berita, dan keterangan’. €U`N ) dan anbiyâ’ (€`N G), yang berarti
Kata naby (XY` N ) merupakan salah
“orang-orang yang menyampaikan
satu bentukan yang berasal dari kata berita tentang Allah Swt”. Kedua
naba’a (Z€`N ). Kata naby (XY` N , tanpa bentuk ini ditemukan di dalam al-
menggunakan hamzah di akhir) dan Quran. Seorang manusia disebut nabi,
kata nabi’a (d` N , dengan menggunakan menurut ar-Ragib al-Asfahani, karena
hamzah di akhir) tampaknya berasal kedudukannya yang tinggi di atas
dari kata yang sama, yaitu kata naba’a kedudukan semua manusia lainnya,
(Z€`N ), tetapi keduanya mengandung seperti dinyatakan oleh Allah di dalam
QS. Maryam [19]: 57, wa rafa‘nâhu
pengertian yang berbeda. Kata naby
makânan ‘aliyyan, ( ƒ2 
 <N"@
 q ,  / a  =
lebih mengandung pengertian positif
(baik) dibandingkan dengan kata nabi’a Dan Kami telah mengangkatnya ke
yang lebih condong mengandung martabat yang tinggi). Tugas yang
pengertian yang negatif. Al-Asfahani diemban oleh nabi disebut nubuwwah
menjelaskan bahwa semua nabi ( u+€`N = misi kenabian). Dari sini
mempunyai kedudukan yang tinggi, tampaklah bahwa yang dimaksud
sedangkan nabi’a tidak semuanya dengan nabi secara istilah ialah
mendapat kedudukan yang tinggi. seseorang yang diberi kedudukan tinggi
Perbedaan penggunaan kedua kata oleh Allah Swt. sebagai pengemban
tersebut juga telah diterangkan oleh amanat-Nya untuk disampaikan kepada
Rasulullah di dalam hadis yang umatnya.
diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abu Di dalam al-Quran persoalan nabi
Dzar yang menyatakan bahwa suatu dan kenabian diungkap dengan
ketika seorang A‘rabi (penduduk menggunakan kata naby sebanyak 54
gunung) mendatangi Nabi Muhammad kali, kata nabiyyun/nabiyyin sebanyak
Saw. seraya memanggil beliau dengan 16 kali, kata anbiyâ’ sebanyak 5 kali,
mengatakan, “Ya Nabi’allâh, ( x
d ` N 
dan kata nubuwwah sebanyak 5 kali.
= wahai Nabi’a Allah). Rasulullah lalu Nabi adalah manusia pilihan yang
menyatakan, “Lastu bi nabi’illâh, mendapat wahyu dari Allah Swt. Para
lakinni nabiyyullâh, ( 8U,"  x
d
 ` , % ‚
.  nabi yang mendapat perintah untuk
menyampaikan wahyu yang mereka
terima itu kepada umat manusia

32
dinamakan rasul. Dengan demikian, Kepercayaan ini, antara lain, didasarkan
semua rasul sudah pasti nabi, tetapi pada QS. Al-Baqarah [2]: 177, 9+ `  [
  
tidak semua nabi adalah rasul. Jumlah r
 9 t !   V
 9 k
 !   A
 `7  "
&I
   n ( )
 G
nabi lebih banyak daripada rasul.
9 3
 ‡      x% 
@
; 
@ 9+ `   
+"  
Siapa saja yang disebut nabi dan
berapa jumlah mereka seluruhnya tidak „
 U ` ,+  r
 "
    "
 = C!  (Bukanlah
dijelaskan di dalam al-Quran, tetapi menghadapkan wajahmu ke arah timur
ada dinyatakan bahwa jumlah mereka dan barat itu suatu kebajikan; akan
itu banyak: „  + M  Y/ Y
… `N 
@ ,2
 a G  :  tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah
(Berapa banyak nabi-nabi yang telah beriman kepada Allah, hari kemudian,
Kami utus kepada umat-umat yang malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan
terdahulu) ini disebutkan di dalam QS. nabi-nabi).
Asy-Syûra [42]: 6. Al-Quran juga Jumlah nabi dan rasul yang
menjelaskan bahwa sebagian dari dikemukakan kisahnya di dalam al-
mereka diceritakan kisahnya oleh Allah Quran sebanyak 25 orang. Mereka itu
Swt, tetapi sebagian lainnya tidak adalah Adam As, Idris As, Nuh As,
diceritakan. Keterangan ini didasarkan Hud As, Saleh As, Ibrahim As, Ismail
pada QS. An-Nisâ’ [4]: 164,  7 Ca  As, Luth As, Ishaq As, Ya‘qub As,
Yusuf As, Ayub As, Zulkifli As,
  Ca  A
 `7 
@
 0
  2 
 I
 ,S
 S
 7
Syu‘aib As, Musa As, Harun As, Daud
0
  2 
  h S
 S
 1 N (Dan [Kami telah As, Sulaiman As, Ilyas As, Ilyasa As,
mengutus] rasul-rasul yang sungguh Yunus As, Zakaria As, Yahya As, Isa
telah Kami kisahkan tentang mereka As, dan Muhammad Saw.
kepadamu dahulu dan rasul-rasul yang Pada dasarnya ada tiga ajaran
tidak Kami kisahkan tentang mereka pokok yang harus disampaikan oleh
kepadamu) dan QS. Al-Mu’min [40]: nabi kepada umatnya, yaitu ajaran
78, @
  h ,@
 0
 2 `7 
@
 Ca ,2 
 a G  1   akidah, syariat, dan akhlak (moral).
0
  2 
 †
 S
 1 N   
@  h ,@
  0
  2 
 ,S
 S
 7 Akidah memberi tuntunan bahwa Allah
itu Maha Esa dan tidak ada yang patut
(Dan sesungguhnya telah Kami utus
disembah kecuali Dia. Ajaran tersebut
beberapa orang rasul sebelum kamu, di
memberi tuntunan untuk meyakini
antara mereka ada yang Kami ceritakan
berbagai hal gaib, seperti keimanan
kepadamu dan di antara mereka ada
akan adanya hari akhirat dan malaikat.
pula yang tidak Kami ceritakan
Ajaran syariat dan akhlak menuntut
kepadamu).
umatnya untuk melakukan segala yang
Di dalam ajaran Islam percaya
diperintahkan oleh Allah Swt. dan
akan adanya nabi-nabi Allah Swt.
meninggalkan segala yang dilarang
merupakan salah satu rukun iman.
oleh-Nya, mematuhi segala peraturan

33
yang telah ditetapkan-Nya (QS. Al- aktivitas dinamai shaim (berpuasa).
Baqarah [2]: 133). (Ahmad Thib Pengertian kebahasaan ini dipersempit
Raya) maknanya oleh hukum syari’at,
sehingga shiyam hanya digunakan
untuk “manahan diri dari makan,
SHIYÂ
SHIYÂM (PUASA) minum, dan upaya mengeluarkan
Al-Quran menggunakan kata sperma dari terbitnya fajar hingga
shiyam sebanyak delapan kali, terbenamnya matahari”.
kesemuanya dalam arti puasa menurut Kaum sufi, merujuk ke hakikat
pengertian hukum syari’at. Hanya dan tujuan puasa, menambahkan
sekali Al-Quran menggunakan kata kegiatan yang harus dibatasi selama
shaum, tetapi maknanya adalah melakukan puasa. Ini mencakup
“menahan diri untuk tidak berbicara”, pembatasan atas seluruh anggota tubuh,
“Sesungguhnya aku bernazar puasa bahkan hati dan pikiran dari segala
(shauman), maka hari ini aku tidak macam dosa.
akan berbicara dengan seorang Betapapun, shiyam atau shaum
manusiapun” (QS. Maryam [19]: 26). bagi manusia pada hakikatnya adalah
Demikian ucapan Maryam As. yang menahan atau mengendalikan diri.
diajarkan oleh Malaikat Jibril ketika Karena itu pula puasa dipersamakan
ada yang mempertanyakan tentang dengan sikap sabar, baik dari segi
kelahiran anaknya (Isa As.). pengertian bahasa (menahan diri)
Kata yang berarti sama juga maupun esensi kesabaran dan puasa.
terdapat masing-masing sekali dalam Hadis qudsi yang menyatakan bahwa
bentuk perintah berpuasa di bulan “Puasa untuk-Ku dan Aku yang
Ramadhan, sekali dalam bentuk kata memberinya ganjaran” dipersamakan
kerja yang menyatakan bahwa oleh para ulama dengan firman-Nya
“berpuasa adalah baik untuk kamu” dalam surat Az-Zumar [39]: 10,
dan sekali menunjuk kepada pelaku- “Sesungguhnya hanya orang-orang yang
pelaku puasa pria dan wanita, yaitu bersabarlah yang disempurnakan
“Ash-shaimin wash-shaimat”. pahalanya tanpa batas”. Orang sabar
Kata-kata yang beraneka bentuk yang dimaksud di sini adalah orang
itu semuanya terambil dari akar kata yang berpuasa. (Disunting oleh Edi
yang sama, yakni sha-wa-ma, yang dari Junaedi dari buku Wawasan Al-Quran
segi bahasa maknanya berkisar pada karya M. Quraish Shihab terbitan
“menahan” dan “berhenti” atau “tidak Mizan, Maret 2003).
bergerak”. Kuda yang berhenti berjalan
dinamai faras shaim. Manusia yang
berupaya menahan diri dari satu

34
TAQWÂ (TAKWA) “menjaga diri dari segala perbuatan
Secara etimologis kata ini dosa dengan meninggalkan segala yang
merupakan bentuk masdar dari kata dilarang Allah Swt. dan melaksanakan
segala yang diperintahkan-Nya”.
ittaqâ–yattaqiy (8 1 +
 81(+ ), yang
Di dalam al-Quran kata ini
berarti “menjaga diri dari segala yang
disebut 258 kali dalam berbagai bentuk
membahayakan”. Sementara pakar
dan dalam konteks yang bermacam-
berpendapat bahwa kata ini lebih tepat
macam. Kata ini dalam bentuk kata
diterjemahkan dengan “berjaga-jaga
kerja lampau (fi‘l mâdhi) ditemukan
atau melindungi diri dari sesuatu”. Kata
sebanyak 27 kali, yaitu dengan bentuk
taqwa dengan pengertian ini
ittaqâ (81(+ ) sebanyak 7 kali, antara
dipergunakan di dalam al-Quran,
misalnya pada QS. Al-Mu’min [40]: 45 lain dalam QS. Al-Baqarah [2]: 189;
dan Ath-Thûr [52]: 27. Kata ini dalam bentuk ittaqaw (1 (+ ) sebanyak
berasal dari kata waqâ–yaqi–wiqayah 19 kali, seperti dalam QS. Al-Mâ’idah
(
7  81
 87  ), yang berarti [5]: 93; dan dalam bentuk ittaqaytunna
“menjaga diri, menghindari, dan (+  1 (+ ) hanya satu kali, ditemukan
menjauhi”, yaitu menjaga sesuatu dari dalam QS. Al-Ahzâb [33]: 32. Dalam
segala yang dapat menyakiti dan bentuk-bentuk seperti di atas, kata
mencelakakan. Penggunaan bentuk kata taqwâ pada umumnya memberi
kerja waqâ (87  ) dapat dilihat antara gambaran mengenai keadaan, sifat-sifat,
lain dalam QS. Al-Insân [76]: 11, Ad- dan ganjaran bagi orang-orang
Dukhân [44]: 56, dan Ath-Thûr [52]: bertakwa. Kata taqwâ yang
diungkapkan dalam bentuk kata kerja
28. Penggunaan bentuk ittaqâ(81(+ )
masa sekarang (fi‘l mudhâri‘)
dapat dilihat antara lain di dalam QS.
ditemukan sebanyak 54 kali. Dalam
Al-A‘râf [7]: 96. Kata taqwâ (41 ( ) bentuk ini, Al-Quran menggunakan
juga bersinonim dengan kata khaûf kata itu untuk: (1) menerangkan
(l3
 ) dan khasyyah (k
 3
 ) yang berbagai ganjaran, kemenangan, dan
berarti “takut”. Bahkan, kata ini pahala yang diberikan kepada orang
mempunyai pengertian yang hampir yang bertakwa, seperti dalam QS. Ath-
sama dengan kata taat. Kata taqwâ yang Thalâq [65]: 5; (2) menerangkan
dihubungkan dengan kata thâ‘ah keadaan atau sifat-sifat yang harus
(\) dan khasyyah (k  3
 ) dimiliki oleh seseorang sehingga ia
digunakan al-Quran dalam QS. An- diharapkan dapat mencapai tingkat
Nûr [24]: 52. takwa, yang diungkapkan bentuk
Dalam istilah syar‘i (hukum), kata la‘allakum tattaqûn ( )   €&1+ (  "
& 26   =
taqwâ mengandung pengertian semoga engkau bertakwa), seperti

35
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183; dan ketakwaan kepada Allah Swt. Perintah
(3) menerangkan ancaman dan itu pada dasarnya menunjukkan bahwa
peringatan bagi orang-orang yang tidak orang-orang yang akan terhindar dari
bertakwa, seperti dalam QS. Al- api neraka dan siksaan hari kemudian
Mu’minûn [23]: 32. nanti adalah orang-orang yang
Kata taqwâ yang dinyatakan bertakwa kepada Allah Swt.
dalam kalimat perintah ditemukan Kata taqwâ yang dinyatakan
sebanyak 86 kali, 78 kali di antaranya dalam bentuk mashdar, ditemukan di
mengenai perintah untuk bertakwa dalam al-Quran sebanyak 19 kali. Yang
yang ditujukan kepada manusia secara diungkapkan dalam bentuk tuqât (u1( )
umum. Obyek takwa dalam ayat-ayat sebanyak 2 kali dan dalam bentuk
yang menyatakan perintah takwa taqwâ (41 ( ) sebanyak 17 kali. Dalam
tersebut bervariasi, yaitu: (1) Allah
bentuk ini kata taqwâ pada umumnya
sebagai obyek ditemukan sebanyak 56
digunakan al-Quran untuk: (1)
kali, misalnya pada QS. Al-Baqarah [2]:
menggambarkan bahwa suatu pekerjaan
231 dan Asy-Syu‘arâ’ [26]: 131; (2)
yang dilakukan harus didasarkan atas
Neraka sebagai obyeknya dijumpai
ketakwaan kepada Allah Swt, seperti
sebanyak 2 kali, yaitu pada QS. Al-
dalam QS. Al-Hajj [22]: 37; dan (2)
Baqarah [2]: 24 dan ;li ‘Imrân [3]: 131;
menggambarkan bahwa takwa
(3) Fitnah/siksaan sebagai obyek merupakan modal utama dan terbaik
takwa didapati satu kali, yaitu pada QS. untuk menuju kehidupan akhirat.
Al-Anfâl [8]: 25; (4) Obyeknya berupa Takwa kepada Allah merupakan
kata-kata rabbakum ( " & %+ a ), al-ladzî sesuatu yang harus dilaksanakan.
khalaqakum ( "& 1 23
 ˆ
 5 6 ), dan kata- Takwa kepada Allah, menurut
kata lain yang semakna berulang Muhammad Abduh, adalah
sebanyak 15 kali, misalnya di dalam menghindari siksaan Tuhan dengan
QS. Al-Hajj [22]: 1. jalan menghindarkan diri dari segala
Dari 86 ayat yang menyatakan yang dilarang-Nya serta mengerjakan
perintah bertakwa pada umumnya segala yang diperintahkan-Nya. Hal ini,
(sebanyak 82 kali) obyeknya adalah lanjutnya, hanya dapat terlaksana
Allah, dan hanya 4 kali yang obyeknya melalui rasa takut dari siksaan yang
bukan Allah melainkan neraka, hari menimpa dan rasa takut kepada yang
kemudian, dan siksaan. Dengan menjatuhkan siksaan, yaitu Allah. Rasa
demikian dapat disimpulkan bahwa takut itu pada mulanya timbul dari
ayat-ayat yang berbicara mengenai keyakinan tentang adanya siksaan.
takwa di dalam Al-Quran pada Perintah dan larangan Allah dapat
dasarnya yang dimaksudkan adalah dikategorikan dalam dua kelompok,

36
yaitu (1) Perintah dan larangan yang lahiriah merupakan perwujudan
berkaitan dengan alam raya, yang keimanan seseorang kepada Allah Swt.
disebut hukum-hukum alam, seperti Iman yang terdapat di dalam dada
dinyatakan dalam QS. Fushshilat [41]: diwujudkan dalam bentuk amal
11, misalnya api membakar atau bulan perbuatan jasmaniah. Oleh sebab itu,
berputar mengelilingi bumi; dan (2) kata taqwâ dalam al-Quran sering
Perintah dan larangan yang berkaitan dihubungkan dengan kata îmân
dengan pelaksanaan ajaran agama yang ()!
 o ), seperti dalam QS. Al-Baqarah
ditujukan kepada manusia, seperti [2]: 103, Al-A‘râf [7]: 96, ;li ‘Imrân
perintah melakukan shalat yang
[3]: 179, Al-Anfâl [8]: 29, dan
dinyatakan dalam QS. Al-Isrâ’ [17]:
Muhammad [47]: 36.
78. Kumpulan dari perintah dan
Al-Quran menyebut orang yang
larangan ini dinamakan hukum-hukum
bertakwa dengan muttaqî (81+ !  ),
syariat. Sanksi pelanggaran terhadap
hukum-hukum alam akan diperoleh di jamaknya muttaqîn ( 1 + !  ), yang
dunia, sedangkan sanksi pelanggaran berarti “orang yang bertakwa”. Kata
terhadap hukum-hukum syariat akan tersebut disebut al-Quran sebanyak 50
diperoleh di akhirat. Dengan demikian, kali. Kata ini digunakan al-Quran
ketakwaan mempunyai dua sisi, yaitu untuk (1) Menggambarkan bahwa
sisi duniawi dan sisi ukhrawi. Sisi orang-orang yang bertakwa dicintai
duniawi yaitu memperhatikan dan oleh Allah Swt. dan di akhirat nanti
menyesuaikan diri dengan hukum- akan diberi pahala dan tempat yang
hukum alam, sedangkan sisi ukhrawi paling baik (surga), seperti yang
yakni memperhatikan dan diungkapkan dalam QS. ;li ‘Imrân [3]:
melaksanakan hukum-hukum syariat. 76, Adz-Dzâriyât [51]: 15, dan Ad-
Takwa sebagai upaya Dukhân [44]: 51; (2) Menggambarkan
melaksanakan perintah Allah dan bahwa orang-orang yang bertakwa
menjauhi larangan-Nya hanya dapat adalah orang-orang yang mendapat
terwujud oleh dorongan harapan kemenangan, seperti diungkapkan
memperoleh kenikmatan surgawi serta dalam QS. An-Naba’ [78]: 31; (3)
rasa takut terjerumus ke dalam neraka. Menggambarkan bahwa Allah
Karenanya, sebagian ulama merupakan pelindung (wali) bagi
menggambarkan takwa sebagai orang-orang yang bertakwa, seperti
gabungan di antara harapan dan rasa diungkapkan dalam QS. Al-Jâtsiyah
takut. [45]: 19; dan (4) Menggambarkan
Ketakwaan yang dinyatakan bahwa beberapa kisah yang terjadi
dalam bentuk amal perbuatan merupakan peringatan dan teladan bagi
jasmaniah yang dapat disaksikan secara orang-orang yang bertakwa, seperti

37
yang diungkapkan dalam QS. Al- Al-Anfâl [8]: 29; dan (5) Diampuni
Anbiyâ’ [21]: 48 dan Al-Hâqqah [69]: segala kesalahan dan dihapus segala
48. dosanya (QS. Al-Hadîd [57]: 28 dan
Al-Quran tidak menjelaskan Al-Anfâl [8]: 29). (Hasan Zaini)
secara rinci siapa yang dimaksudkan
dengan istilah itu. Al-Quran hanya
menyebutkan beberapa cirinya, antara ‘ULAMÂ
‘ULAMÂ’ (ULAMA)
lain dalam QS. Al-Baqarah [2]: 2-5. Kata ‘ulamâ’ adalah bentuk jamak
Selanjutnya, dijelaskan dalam QS. ;li dari kata ‘âlim (L  ). Kata ini berasal
‘Imrân [3]: 132-135. dari akar kata ‘alima-ya‘lamu-‘ilman
Ciri-ciri orang bertakwa (<!2 
 €  2 
 €  2 
 ). Di dalam berbagai
menunjukkan suatu kepribadian yang bentuknya, kata ini disebut 863 kali di
benar-benar utuh dan integral, dalam al-Quran. Masing-masing di
sebagaimana dinyatakan di dalam QS. dalam bentuk fi’l mâdhi 69 kali; fi‘l
Al-Hujurât [49]: 13. Penggunaan kata mudhâri‘ 338 kali; fi‘l amr 27 kali; dan
atqâkum ( :& 1( G) dalam ayat ini selebihnya berbentuk ism dalam
menunjukkan bahwa taqwâ mempunyai berbagai bentuknya sebanyak 429 kali.
tingkatan-tingkatan. Perbedaan Ibnu Faris di dalam Mu‘jam
tingkatan tersebut sangat ditentukan Maqâyis al-Lughah menyebutkan
oleh kualitas keimanan dan ketaatan bahwa rangkaian fonem ‘ain, lam, dan
seseorang dalam melaksanakan perintah mim, pada asalnya memiliki arti yang
dan meninggalkan larangan-Nya. menunjuk pada adanya tanda atau jejak
Orang-orang bertakwa diberi pada sesuatu yang membedakannya
berbagai kelebihan oleh Allah Swt, dengan yang lain. Dari akar kata ini, di
tidak hanya ketika mereka di akhirat antaranya lahir turunan kata berikut:
nanti tetapi juga ketika mereka berada Al-‘alâmah ai al-ma‘rûfah ( ˆ  G & @
 C  
di dunia ini. Beberapa kelebihan mereka & /  9  !  = yang dikenal); al-’alam
disebutkan di dalam al-Quran, antara
(  2   = bendera atau panji); dan al-
lain: (1) Dibukakan jalan keluar pada
setiap kesulitan yang dihadapinya (QS. ‘ilmu (  2  = pengetahuan), lawan dari
Ath-Thalâq [65]: 2); (2) Dimudahkan kata al-jahl ( A
 h ‰
 = kebodohan).
segala urusannya (QS. Ath-Thalâq Sementara itu, Al-Asfahani di
[65]: 4); (3) Dilimpahkan kepadanya dalam Al-Mufradât fi Garîb al-Qur’ân
berkah dari langit dan bumi (QS. Al- menyebutkan bahwa al-‘ilmu ( 2  )
A‘râf [7]: 96); (4) Dianugerahi furqân
adalah pengetahuan tentang hakikat
()79 /& ), yakni petunjuk untuk dapat
sesuatu. Pengetahuan ini ada dua.
membedakan yang hak dan bathil (QS. Pertama, pengetahuan tentang sesuatu,

38
‘ilm (pengetahuan) dalam hal ini, binatang, dan manusia, yang kemudian
membutuhkan satu maf‘ul (QS. Al- diakhiri dengan pernyataan,
Anfâl [8]: 60). Kedua, pemberian “Sesungguhnya yang takut kepada
keputusan terhadap sesuatu setelah Allah di antara hamba-hamba-Nya
melalui proses pengujian, perihal hanyalah ulama.” Ayat ini memberikan
kebenaran atau ketidakbenarannya. Arti isyarat bahwa ‘ulamâ’ adalah orang-
yang kedua ini membutuhkan dua orang yang memiliki pengetahuan
maf‘ul (QS. Al-Mumtahanah [60]: 10). tentang ayat-ayat Allah yang bersifat
Pada segi lain, ilmu terbagi dua, kauniyah (fenomena alam). Adapun di
yaitu ilmu teoritis (nazhari) dan ilmu dalam S. Asy-Syu‘arâ’ [26]: 197, kata
praktis (‘amali). Yang pertama jika ‘ulamâ’ disebut dalam konteks
telah diketahui, ilmu tersebut sudah pembicaraan tentang kebenaran
sempurna, seperti ilmu kealaman kandungan al-Quran yang telah diakui
(proses terjadinya alam), sedangkan oleh ‘ulamâ’ Bani Israil. Ayat ini
yang kedua ialah sesuatu yang belum mengisyaratkan bahwa ‘ulamâ’ adalah
menampakkan kesempurnaan sebelum orang-orang yang memiliki
dipraktekkan atau diamalkan, seperti pengetahuan tentang ayat-ayat
ilmu tentang ibadah. qur’aniyyah.
Dengan demikian, secara leksikal Dengan demikian, dapat
‘alîm (L  2 
 ) yang merupakan ism disimpulkan bahwa ‘ulamâ’ dalam
musyabbahah, yaitu orang yang konsep al-Quran adalah orang-orang
memiliki pengetahuan tentang yang memiliki pengetahuan tentang
(hakekat) sesuatu, baik yang bersifat ayat-ayat Allah, baik yang bersifat
teoritis ataupun yang bersifat praktis, kauniyah maupun yang bersifat
atau orang yang memiliki kemampuan qauliyyah, yang dapat mengantar
untuk memberikan keputusan terhadap kepada sikap tunduk dan takut kepada
berbagai masalah dengan sebaik- Allah.
baiknya. Bentuk jamak dari kata ‘alîm Di dalam Hadis dinyatakan
(L  2 
 ) adalah ‘ulamâ’ (!2 
 ). bahwa ‘ulamâ’ adalah pewaris para
Nabi (HR. Bukhari). Sebagai pewaris
Kata ‘ulamâ’ hanya disebut dua
para Nabi, tugas utama yang harus
kali di dalam al-Quran, yakni pada S.
diemban para ‘ulamâ’ harus mengacu
Fâthir [35]: 28, dan Asy-Ayu‘arâ’ [26]:
kepada tugas utama para Nabi. Dalam
197. Di dalam S. Fâthir [35]: 28, kata
hal ini, al-Quran menginformasikan
‘ulamâ’ disebut dalam konteks ajakan
bahwa tugas kenabian adalah sebagai
al-Quran untuk memperhatikan
berikut: Pertama, menyampaikan
turunnya hujan dari langit,
(tablîgh) ajaran-ajaran Tuhan (QS. An-
keanekaragaman buah-buahan, gunung,
Nisâ’ [5]: 67). Kedua, menjelaskan

39
ajaran-ajaran-Nya (S. Al-Isrâ’ [16]: UMMIY (TIDAK BISA BACA-
BACA-
44). Ketiga, memutuskan perkara atau TULIS)
TULIS)
problem yang dihadapi masyarakat (S.
Kata ummiy (XY@
U G&) berasal dari
Al-Baqarah [2]: 213). Keempat,
memberikan contoh pengamalan, sesuai amma, ya’ummu (^F
 + G) yang secara
dengan hadis ‘Aisyah, “Perilaku Nabi etimologis mengandung beberapa
adalah praktek dari al-Quran” (HR. pengertian, seperti ‘sumber’, ‘tempat
Bukhari). tinggal’, ‘kelompok’, dan ‘agama’. Dari
Selanjutnya, al-Quran arti-arti tersebut, muncul pula arti yang
mengumpamakan orang-orang yang berkaitan dengan arti itu, seperti
memiliki pengetahuan dan kemudian ‘tujuan’, ‘tumpuan’, dan ‘keteladanan’.
melepaskan tanggungjawabnya karena Dari akar kata itu muncul kata umm
mengikuti hawa nafsu diibaratkan (sG&) yang berarti ‘ibu’ karena ibu
seperti seekor anjing yang tetap menjadi tumpuan bagi putra-putrinya
menjulurkan lidahnya, baik ia dihalau sekaligus menjadi teladan bagi mereka.
ataupun ia dibiarkan saja (S. Al-A‘râf Ummiy (XY@U G&) di dalam berbagai
[7]: 175-176). bentuknya, baik berarti tunggal
Kata ‘âlimûna () !  ) atau maupun jamak, di dalam Alquran
‘âlimîna ( !  ) dalam bentuk jamak ditemukan enam kali yang berada di
muzakkar salim disebut lima kali di dalam empat surat. Kata ummiy (XY@
U G&)
dalam al-Quran, antara lain untuk menurut kebahasaan mempunyai
menunjuk orang-orang yang mampu beberapa arti. Di antaranya berarti
memahami tanda-tanda kekuasaan ‘tidak bisa menulis’. Kata ini menurut
Allah maupun tamsil-tamsil yang Al-Asfahani di dalam Mu‘jam-nya,
diungkapkan-Nya, serta mereka yang dinisbatkan kepada umat yang tidak
mampu mena’birkan mimpi. Di dalam mempunyai tradisi menulis. Karena
S. Al-‘Ankabût [29]: 43, ‘âlimûna itulah bangsa Arab disebut juga dengan
disebutkan dalam konteks pengecualian bangsa ummatan ummiyyah (+@ U G&  @
+ G&).
bahwa yang bisa memahami Kalangan Arab Taif bisa menulis
perumpamaan-perumpamaan yang setelah mereka berupaya, yaitu mereka
dibuat Allah bagi manusia hanyalah al- belajar kepada penduduk Hirah yang
‘âlimûna (orang-orang yang memperoleh ilmu itu dari orang-orang
mengetahui). (Arif Alim) Anbar.
Kata ummiy (XY@U G&) juga berarti
‘tidak bisa menulis dan tidak bisa
membaca’. Kata tersebut dapat
dinisbatkan kepada ummah yang tidak

40
bisa menulis dan tidak bisa membaca. rasul dan nabi yang ummiy (XY@
U G&).
Ibnu Manzur menyatakan bahwa kata Penggunaan kata ummiy (XY@
U G&) pada
ummiy (XY@ U G&) dapat di nisbatkan
kedua ayat tersebut menunjukkan
kepada umm ( s G&= ibu) karena anak keadaan Nabi Muhammad Saw. yang
yang baru di lahirkan sedikit sekali tidak pandai membaca dan menulis.
bicaranya di samping tidak jelas. Oleh Namun, hal tersebut sama sekali tidak
karena itu, Nabi Muhammad dikatakan menunjukkan kekurangan beliau;
ummiy (XY@U G&) karena bangsa Arab tidak bahkan, dengan keadaan beliau yang
bisa menulis dan tidak bisa membaca. ummiy (XY@U G&) membuktikan bahwa
Selain itu, menurut Al-Asfahani, Alquran adalah wahyu Allah sebab
ummiy (XY@ U G&) dapat berarti ‘sedikit beliau tidak mungkin membuat karya
pengetahuannya’, sebagaimana dapat di setinggi itu. Di samping itu, dengan
pahami dari Firman Allah, wa minhum keadaan beliau yang ummiy (XY@ U G&),
ummiyyûna lâ ya‘lamûna al-kitâb illâ tuduhan bahwa beliau membuat karya
amâniyya ( r
 "
   )
  ! 2 
  )
  ^ @
U G&  h ,@
  setelah membaca kitab suci dan cerita
Y
+ N @G 6 P= dan di antara mereka ada kuno terdahulu dapat dihindari karena
beliau sama sekali tidak mungkin
orang-orang ummi yang tidak
membaca Taurat dari orang Yahudi
mengetahui Al-Kitab [Taurat] kecuali
atau Injil dari orang Nasrani atau;
dongengan belaka), sedangkan menurut
bahkan, cerita-cerita kuno. Pada sisi
Al-Farra’, yang di maksud dengan
lain, dengan keadaan beliau yang
ummiyyûn () ^ @
U G&) di sini adalah
ummiy (XY@ U G&), beliau memiliki
‘orang-orang Arab yang tidak
kemampuan menghafal yang cukup
mempunyai kitab’. Di dalam Alquran,
tinggi (S. Al-A‘lâ [87]: 6).
kata ummî (XY@
U G&) di dalam berbagai
Penggunaan kata ummiy (Y
X@
U G&)
bentuknya dipergunakan di dalam
yang menunjuk keadaan beliau yang
beberapa pengertian. Di antaranya, kata
tidak pandai membaca dan menulis, di
tersebut diperuntukkan bagi orang
samping menunjukkan bahwa ajaran
Arab, yang dibedakan dengan orang-
yang dibawanya adalah wahyu Ilahi,
orang ahli kitab, sebagaimana firman
sekaligus menunjukkan bahwa ke-
Allah di dalam S. Al-Jumu‘ah [62]: 2
ummiy-an beliau merupakan satu
serta S. ;li ‘Imrân [3]: 20 dan 75.
keistimewaan tersendiri di dalam
Kata ummiy (XY@
U G&) di dalam menghadapi masyarakat Arab yang
bentuk tunggal semuanya sangat kuat hafalan, lagi menilai bahwa
menggambarkan keadaan Nabi kemampuan menulis merupakan aib
Muhammad Saw. yang disebut sebagai karena hal tersebut menunjukkan

41
bahwa yang bersangkutan kurang kuat Saw. pada umumnya tidak pandai
hafalannya. Kata ummiy (XY@U G&) yang membaca dan menulis sehingga wajar
ditujukan kepada beliau semuanya kalau mereka disebut kelompok
didahului dengan kata rasul dan nabi masyarakat yang ummiy (XY@
U G&).
secara bersama-sama. Kecuali yang telah disebutkan di
Akan halnya penggunaan kata atas, ummiy (YX@U G&) berarti ‘ahli kitab’,
ummiy (XY@ U G&) di dalam bentuk jamak, ‘Yahudi dan Nasrani’, yang tidak
di samping ada yang berkonotasi tidak mengetahui isi kitab mereka,
pandai membaca dan menulis (S. Al- sebagaimana yang ditunjukkan oleh
Baqarah [2]: 78) juga secara khusus Allah di dalam S. Al-Baqarah (2): 78.
menunjuk kepada penduduk Mekah Karena di dalam konteks Alquran
yang juga disebut ummiyyûn. Hal kata ummiy (XY@ U G&) dapat di pahami
tersebut menunjukkan tradisi keilmuan dengan beberapa pengertian, kalangan
mereka yang lebih mengandalkan mufasir pun memberikan beberapa
hafalan dibanding tulisan (S. Al- interpretasi. At-Tabataba’i, misalnya,
Jumu‘ah [62]: 2). mengartikan ummiy (XY@ U G&) sebagai
Di samping itu, penggunaan kata
‘orang yang tidak bisa membaca dan
ummiy (XY@ U G&) juga dapat menunjuk
menulis’, di samping dapat
kepada golongan yang tidak memiliki mengandung pengertian lain, yaitu
kitab suci, seperti diisyaratkan di dalam ‘penduduk Mekah’ atau ‘ummul Qurâ’
S. ;li ‘Imrân [3]: 20. Kata ummiy (XY@ U G&) dan selain ‘ahli kitab’, sebagaimana di
di dalam ayat tersebut dipertentangkan dalam S. ;li ‘Imrân [3]: 75.
dengan ûtû al-kitâb ( r"    (  G&= Ath-Thabari yang mengutip
orang-orang yang diberi kitab), di beberapa riwayat di dalam beberapa
dalam hal ini orang Yahudi dan tafsirnya mengemukakan beberapa
Nasrani. Karena itu, sebagian mufasir pengertian kata ummiy. Di antaranya
cenderung memahami ummiy (XY@ U G&) adalah orang yang tidak bisa menulis,
sebagai orang-orang musyrik Mekah. orang yang tidak bisa menulis dan
Meskipun begitu, penggunaan sekaligus tidak bisa membaca, orang-
kata ummiy (XY@ U G&), baik yang orang Arab yang tidak mempunyai Al-
Kitab, orang-orang yang tidak
berkonotasi tidak pandai membaca dan
membenarkan rasul dan kitab yang
menulis maupun yang menunjuk
dibawanya, dan bahkan mereka
kelompok masyarakat yakni masyarakat
membuat kitab dengan tangan mereka
Mekah, tetapi kedua hal tersebut saling
sendiri, dan kalangan Yahudi yang
berkaitan karena masyarakat Mekah
tidak mengetahui atau tidak membaca
pada saat diutusnya Nabi Muhammad
sedikitpun kitab mereka. Akan tetapi

42
menurut Al-Farmawi, kendatipun kata menyatakan bahwa orang-orang ahli
ummiy di dalam Alquran menunjuk kitab itu kurang mengetahui tentang isi
pada makna yang beragam, tetapi kitab suci mereka.
mempunyai maksud yang sama, yaitu Dari uraian yang telah
“orang yang tidak bisa membaca dan diketengahkan di atas dapat ditarik
menulis”. kesimpulan bahwa baik dari
Berbeda dengan Al-Farmawi, kebahasaan, dari konteks Alquran,
kalangan orientalis menolak untuk maupun dari pendapat kalangan
mengartikan nabi Muhammad ummiy mufasir terdapat kesamaan bahwa
dengan tidak bisa menulis dan tidak ummiy mempunyai beberapa penger-
bisa membaca. Frans Bukhl, misalnya, tian. Adapun pengertian ummiy “tidak
memberikan arti kata tersebut dengan bisa menulis dan sekaligus tidak bisa
tidak diajar (untaught). Pada umumnya membaca” didapatkan dari arti
kalangan orientalis tidak menerima kebahasaan dan dari kalangan mufasir,
pengertian tidak bisa membaca dan sedangkan Alquran sendiri tidak
tidak bisa menulis karena tidak sesuai menyatakannya secara eksplisit.
dengan kata ummiyyûn yang terdapat (Naqiyah Mukhtar)
di dalam S. Al-Baqarah [2]: 78, yang

43

Anda mungkin juga menyukai