Anda di halaman 1dari 6

ADIL DALAM ISLAM

Alquran merupakan rangkaian petunjuk bagi ummat Islam dalam menuju kehidupan yang bahagia dan
sejahtera di dunia maupun di akhirat. Alquran tidak hanya mengajarkan tentang ibadah baik hubungan
seorang manusia dengan tuhannya dan dengan manusia lainnya, tapi juga mengajarkan nilai-nilai
kebenaran universal.Di sinilah salah satu letak kesempurnaan Alquran. Ajarannya meliputi semua nilai-
nilai kebenaran universal. Petunjuk-petunjuk tersebutlah yang kemudian dikembangkan dan diikuti
oleh ummat muslimin dalam menuju kesempurnaan. Salah satu nilai universal yang tercakup dalam
Alquran adalah nilai-nilai keadilan. Makalah ini akan menguraikan tentang keadilan dalam Alquran.

B. Defenisi Keadilan Dalam Alquran

Kata ‘adl adalah bentuk masdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan – wa ‘udulan – wa ‘adalatan (
ً‫ َوعَداَلَة‬- ً‫ ) َع َد َل – يَ ْع ِد ُل – َع ْدالً – َو ُع ُدوْ ال‬.[1] Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf ‘ain (‫) َعيْن‬, dal (‫ )دَال‬dan
lam (‫)الَم‬, yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwa’’ (‫ = اَاْل ِ ْستِ َواء‬keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijaj’ (‫= اَاْل ِ ْع ِو َجاج‬
keadaan menyimpang).[2] Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak
belakang, yakni lurus atau sama dan bengkok atau berbeda. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti
“menetapkan hukum dengan benar”. Jadi, seorang yang ‘adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu
menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang merupakan makna asal
kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada
dasarnya pula seorang yang ‘adil berpihak kepada yang benar, karena baik yang benar maupun yang
salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan
tidak sewenang-wenang.[3]

Al-Asfahani menyatakan bahwa kata ‘adl berarti memberi pembagian yang sama. Sementara itu, pakar
lain mendefinisikannya dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ada juga yang
menyatakan bahwa ‘adl adalah memberikan hak kepada pemiliknya melalui jalan yang terdekat. Hal ini
sejalan dengan pendapat al-Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl dengan menyampaikan hak
kepada pemiliknya secara efektif.

Kata ‘adl (‫ ) َع ْدل‬dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Quran. Kata ‘adl
sendiri disebutkan 13 kali, yakni pada S. al-Baqarah (2): 48, 123, dan 282 (dua kali), S. An-Nisa’ (4):
58, S. Al-Ma’idah (5): 95 (dua kali) dan 106, S. Al-An‘am (6): 70, S. An-Nahl (16): 76 dan 90, S. Al-
Hujurat (49): 9, serta S. ath-Thalaq (65): 2.

Kata ‘adl di dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya.
Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut penelitian M. Quraish
Shihab, paling tidak ada empat makna keadilan. Pertama, ‘adl dalam arti “sama”. Pengertian ini yang
paling banyak terdapat di dalam al-Quran, antara lain pada S. an-Nisa’ (4): 3, 58 dan 129, S. asy-Syura
(42): 15, S. Al-Ma’idah (5): 8, S. An-Nahl (16): 76, 90, dan S. Al-Hujurat (49): 9. Kata ‘adl dengan arti
sama (persamaan) pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan dalam hak.[4] Di dalam S.
An-Nisa’ (4): 58, misalnya ditegaskan,

‫اس اَ ْن تَحْ ُك ُموْ ا بِ ْال َع ْد ِل‬


ِ َّ‫َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬

Apabila [kamu] menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkan dengan adil).

Kata ‘adl di dalam ayat ini diartikan “sama”, yang mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat
proses pengambilan keputusan. Yakni, menuntun hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang
bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa
embel-embel penghormatan), keceriahan wajah, kesungguhan mendengarkan, memikirkan ucapan
mereka, dan sebagainya, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan.

Menurut al-Baidhawi, kata ‘adl bermakna “berada di pertengahan dan mempersamakan”. Pendapat
seperti ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan di sini dikenal oleh
pakar bahasa Arab dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa yang
telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar
persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi pada persamaan
hak karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dan
dengan sebab sifatnya sebagai manusia menjadi dasar keadilan dalam ajaran-ajaran ketuhanan.

Kedua, ‘adl dalam arti “seimbang”. Pengertian ini ditemukan di dalam S. al-Ma’idah (5): 95 dan S. al-
Infithar (82): 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan,

َ َ‫ك فَ َع َدل‬
‫ك‬ َ َ‫اَلَّ ِذىْ خَ لَق‬
َ ‫ك فَ َسوَّا‬
[Allah] Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan [susunan
tubuh]-mu seimbang).

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di
dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu
terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat yang ditetapkan, kelompok itu dapat
bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Jadi, seandainya ada salah satu anggota tubuh
manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi
keseimbangan (keadilan). keadilan di dalam pengertian ‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan
bahwa Allahlah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan serta mengelola segala
sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya
mengantarkan kepada pengertian ‘keadilan Ilahi’.

Ketiga, ‘adl dalam arti “perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap
pemiliknya”. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau
“memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah kezaliman, yakni
pelanggaran terhadap hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam S. al-An‘am (6): 152,

‫َواِ َذا قُ ْلتُ ْم فَا ْع ِدلُوْ ا َولَوْ َكانَ َذاقُرْ بَى‬

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat[mu]).

Pengertian ‘adl seperti ini melahirkan keadilan sosial.

Keempat, ‘adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah. ‘Adl di sini berarti memelihara kewajaran
atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat saat terdapat
banyak kemungkinan untuk itu. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-
Nya. keadilan Allah mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh
sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang
ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan S. Ali
‘Imran (3): 18, yang menunjukkan Allah swt. sebagai Qaiman bil-qisthi (‫= قَاِئ ًما بِ ْالقِسْط‬Yang menegakkan
keadilan).

Di samping itu, kata ‘adl digunakan juga dalam berbagai arti, yakni (1) kebenaran, seperti di dalam S.
Al-Baqarah (2): 282; (2) menyandarkan perbuatan kepada selain Allah dan atau menyimpang dari
kebenaran, seperti di dalam S. An-Nisa’ (4): 135; (3) membuat sekutu bagi Allah atau
mempersekutukan-Nya (musyrik), seperti di dalam S. al-An‘am (6): 1 dan 150; (4) menebus, seperti di
dalam S. al-Baqarah (2): 48, 123 dan S. al-An‘am (6): 70.

‘Adl/al-‘Adl (‫ ) َع ْدل\اَ ْل َع ْدل‬juga merupakan salah satu al-asma’ul husna, yang menunjuk kepada Allah
sebagai pelaku. dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk menunjuk
kepada pelaku, maka hal tersebut mengandung arti “kesempurnaan”. Demikian halnya jika dinyatakan
Allah adalah Al-‘Adl (‫ = اَ ْل َع{ ْدل‬keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang
sempurna.

Dalam hal ini, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah
yang ‘adl (‫ ) َع ْدل‬ini -- setelah meyakini keadilan Allah -- dituntut untuk menegakkan keadilan walau
terhadap keluarga, ibu, bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. keadilan pertama
yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan jalan meletakkan syahwat
dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama; bukan menjadikannya
tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agama. Karena jika demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl,
yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.[5]

C. Keadilan Dalam Alquran.

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS
Al-Maidah [5]: 8)

Keadilan (a’dl) menurut Islam tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat Muslim yang sejati,
sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa mendatang. Dalam Islam, antara keimanan dan
keadilan tidak terpisah. Orang yang imannya benar dan berfungsi dengan baik akan selalu berlaku adil
terhadap sesamanya. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam surat di atas. Keadilan adalah
perbuatan yang paling takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia.
Dalam Alquran, keadilan dinyatakan dengan istilah “‘adl” dan “qist”. Pengertian adil dalam Alquran
sering terkait dengan sikap seimbang dan menengahi. Dalam semangat moderasi dan toleransi, juga
dinyatakan dengan istilah “wasath” (pertengahan). “Wasath” adalah sikap berkeseimbangan antara dua
ektrimitas serta realitas dalam memahami tabiat manusia, baik dengan menolak kemewahan maupun
aksetisme yang berlebihan. Sikap seimbang langsung memancar dari sikap tauhid atau keinsyafan
mendalam akan hadirnya Tuhan Yang Maha Esa dalam hidup, yang berarti kesadaran akan kesatuan
tujuan dan makna hidup seluruh alam ciptaan-Nya. [6]

Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan amanat (amanah,
titipan suci dari tuhan) kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya amanat yang berkenaan dengan
kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan adalah sebuah keniscayaan demi ketertiban tatanan
hidup kita. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh dari banyak orang kepada penguasa.
Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Namun, kekuasaan yang patut dan
harus ditaati hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.

Ayat di atas juga mencerminkan beberapa prinsip berikut;[7] Pertama, berlaku amanat. Setiap orang
mampu menjaga kehidupan materinya dan bekerja untuk menghidupi keluarga. Seorang mukmin tidak
diperkenankan untuk berlaku curang, bohong dan khianat. Kedua, berlaku adil dalam menetapkan
hukum untuk kemaslahatan manusia.

Ibnu Taimiyah dalam komentarnya mengenai ayat di atas menyebutkan, “Wahai para pemimpin
Muslim, Allah memerintahkan kepada kalian untuk berlaku amanat dalam kepemimpinan kalian,
tempatkanlah sesuatu pada tempat dan tuannya, jangan pernah mengambil sesuatu kecuali Allah
mengizinkannya, jangan berbuat zalim, berlaku adil adalah keharusan dalam menetapkan keputusan
hukum di antara manusia. Semua ini adalah perintah Allah yang ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah.
Jangan pernah melanggarnya, karena itu perbuatan dosa.”

Imam Qurthubi menyampaikan, “Ayat di atas berlaku umum untuk semua manusia yang menjadi
pemimpin kalangan Islam. Keadilan dalam distribusi pendapatan menghancurkan setiap gerakan
kezaliman dalam pemerintahan. Seorang pemimpin Muslim harus bisa berlaku amanah setiap
menerima titipan, menyampaikan kesaksian dan lain sebagainya. Perintah untuk berlaku adil sama
halnya dengan perintah shalat dan ibadah lainnya.”

Rasyid Ridha, seorang ulama besar dan pembaru Islam asal Mesir, sangat menekankan keadilan dalam
pemikirannya. Ridha berkata, “Tak ada kebenaran yang lebih besar daripada keadilan dan tak ada
kesalahan yang lebih buruk daripada tirani.” Berlaku adil adalah perintah Allah. Maka, pelanggaran
terhadapnya akan dikenai sanksi oleh Allah sebagaimana sanksi yang diberikan Allah kepada orang
yang melalaikan shalat.[8]

Islam bukan cuma ritual-ritual bagaimana individu berhubungan dengan sang Pencipta. Tapi, Islam
juga menginginkan tegaknya suatu masyarakat yang adil dan makmur di mana setiap orang
diperlakukan dengan layak dan dihargai sebagai manusia. Tanpa itu, ungkapan yang sering kita dengar
dan kalimat bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, akan kehilangan taringnya dan mengawang-
awang di angkasa serta tidak akan pernah menginjakkan kakinya di bumi. Hal ini tentunya sangat tidak
diinginkan oleh Islam.

Kaum Muslim awal (Nabi Muhammad dan para sahabatnya) telah berhasil membumikan pesan
keadilan Alquran dalam suatu tatanan masyarakat yang mereka bentuk di Madinah. Hal ini tidak hanya
diakui oleh umat Islam saja. Robert N. Bellah-pensiunan Guru Besar sosiologi (Elliot Profesor) pada
Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat-dalam bukunya On Religion Beyond Belief. Essays
in a Post-Traditionalist World (Melampaui Kepercayaan: Esei-esei Agama di Dunia Pos-Tradisionalis),
mengakui bahwa masyarakat yang dibangun Nabi di Madinah adalah masyarakat yang menegakkan
keadilan dan menjadi masyarakat yang sangat demokratis untuk masa dan zamannya.

Mengenai penegakan keadilan, Ibnu Taimiyah memperingatkan bahwa seorang pemimpin yang adil
akan mampu menegakkan negara walaupun ia kafir. Namun, seorang pemimpin yang zalim malah akan
menghancurkan negara walaupun ia Muslim sekalipun. Hal senada disampaikan penulis buku “Al-
Hasabah”, “Negara akan tetap tegak berdiri dengan keadilan dan kekufuran, namun negara akan segera
hancur dengan kezaliman dan Islam.” 

Untuk itu, sudah merupakan kepentingan negara Islam berlaku adil untuk warga Muslim ataupun pihak
lain yang menjadi lawan komunikasinya, tak terkecuali walau bukan dari golongan Muslim sekalipun.
Ketetapan hukum inilah yang kemudian dipakai dalam memperlakukan kelompok minoritas agama,
baik itu warga negara ataupun penduduk asing.
D. Konsep Keadilan dan Redefenisi Keadilan.

Tidak dapat dipungkiri, al-Qur'an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan manusia, baik secara
kolektif maupun individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu dihinggapi semacam rasa cepat puas
diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan temuan yang mudah diperoleh secara gamblang itu.
Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu, lalu muncul idealisme atas al-Qur'an sebagai sumber
pemikiran paling baik tentang keadilan Kebetulan persepsi semacam itu sejalan dengan doktrin
keimanan Islam sendiri tentang Allah sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah kalau Allah sebagai
sumber keadilan itu sendiri, lalu sudah sepantasnya al-Qur'an yang menjadi firmanNya (kalamu Allah)
juga menjadi sumber pemikiran tentang keadilan?

Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi mereka yang biasa berpikir sederhana
tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks dan rumit.
Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran dengan kompleksitas sangat tinggi tentang
keadilan? Bukankah lebih baik apa yang ada itu saja segera diwujudkan dalam kenyataan hidup kaum
Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi yang lebih jauh hanya akan menimbulkan kesulitan belaka?
"Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa dalam wawasan teologis kaum skolastik
(mutakallimin) Muslim sejak delapan abad terakhir ini. Argumentasi seperti itu memang tampak
menarik sepintas lalu. Dalam kecenderungan segera melihat hasil penerapan wawasan Islam tentang
keadilan dalam hidup nyata. Apalagi dewasa ini justru bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah
ketidakadilan dalam ukuran sangat massif. Demikian juga, persaingan ketat antara Islam sebagai
sebuah paham tentang kehidupan, terlepas dari hakikatnya sebagai ideologi atau bukan, dan paham-
paham besar lain di dunia ini, terutama ideologi-ideologi besar seperti Sosialisme, Komunisme,
Nasionalisme dan Liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan serba praktis seperti itu adalah
sebuah pelarian yang tidak akan menyelesaikan masalah. Reduksi sebuah kerumitan menjadi masalah
yang disederhanakan, justru akan menambah parah keadaan.  

Kaum Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari pemecahan yang hakiki dan berdayaguna
penuh untuk jangka panjang, dan merasa puas dengan "pemecahan" sementara yang tidak akan
berdayaguna efektif dalam jangka panjang. Ketika Marxisme dihadapkan kepada masalah penjagaan
hak-hak perolehan warga masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya wewenang masyarakat untuk
memiliki alat-alat produksi, pembahasan masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan
menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktis yang menyederhanakan masalah.
Memang berdayaguna besar dalam jangka pendek, terbukti dengan kemauan mendirikan negara-negara
Komunis dalam kurun waktu enam dasawarsa terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu
ternyata membawa hasil buruk, terbukti dengan "di bongkar pasangnya" [9] 

Komunisme dewasa ini oleh para pemimpin mereka sendiri di mana-mana. Rendahnya produktivitas
individual sebagai akibat langsung dari hilangnya kebebasan individual warga masyarakat yang sudah
berwatak kronis, akhirnya memaksa parta-partai Komunis untuk melakukan perombakan total seperti
diakibatkan oleh perestroika dan glasnost di Uni Soviet beberapa waktu lalu. Tilikan atas pengalaman
orang lain itu mengharuskan kita untuk juga meninjau masalah keadilan dalam pandangan Islam secara
lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada persoalan, bahkan yang paling rumit sekalipun, haruslah
diangkat ke permukaan dan selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan
wawasan kemasyarakatan Islam yang lebih relevan dengan perkembangan kehidupan umat manusia di
masa-masa mendatang. Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh paham yang
dikembangkan Islam, juga akan dihadapkan kepada nasib yang sama dengan yang menentang
Komunisme, jika tidak dari sekarang dirumuskan pengembangannya secara baik dan tuntas, bukankah
hanya melalui jalan pintas belaka. Pembahasan berikut akan mencoba mengenal (itemize) beberapa
aspek yang harus dijawab oleh Islam tentang wawasan keadilan sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an.
Pertama-tama akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian dicoba pula untuk
menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang dihadapi umat manusia. Jika
dengan cara ini lalu menjadi jelas hal-hal pokok dan sosok kasar dari apa yang harus dilakukan
selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati. [10]

Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut
dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga
tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya
digunakan oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk
konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan). Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian
yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap
yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan
("Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan "). Secara
keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai
penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan.
Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu
saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan " mendapat tempat dalam al-Qur'an,
sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan keadilan
('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau
akidah mereka. Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan al-Qur'an agar
manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan
kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama warga masyarakat, jujur dalam
bersikap, dan seterusnya.[11] Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim
itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan
keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara
perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya
dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi
sikap adil dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk
mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing.

Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau sisi keadilan oleh al-
Qur'an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat,
terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-
piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian. Juga sanak
keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai pengejawantahan keadilan. Orientasi
sekian banyak "wajah keadilan " dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak karikatif maupun yang
mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural.

Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu adalah sifatnya sebagai perintah
agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan
pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan
seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan keadilan dalam
al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi
yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan segenap bahaya-bahaya yang
ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang
mengingkari keadilan itu Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini, bahwa sifat
dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur'an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak
reflektif. Ini mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu adalah "warna" hukum
agama, sesuatu yang katakanlah legal-formalistik.Mengingat sifat dasar wawasan keadilan yang legal-
formalistik dalam al-Qur'an itu, secara langsung kita dapat melihat adanya dua buah persoalan utama
yaitu keterbatasan visi yang dimiliki wawasan keadilan itu sendiri, dan bentuk penuangannya yang
terasa "sangat berbalasan" (talionis, kompensatoris). Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan,
bahwa kalau suatu bentuk tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban berbuat adil,
walaupun dalam sisi-sisi yang lain justru wawasan keadilan itu dilanggar. Dapat dikemukakan sebagai
contoh, umpamanya, seorang suami telah "bertindak adil" jika "berbuat adil" dengan menjaga
ketepatan bagian menggilir dan memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa mempersoalkan
apakah memiliki dua orang isteri itu sendiri adalah sebuah tindakan yang adil. Dengan demikian,
pemenuhan tuntutan keadilan yang seharusnya berwajah utuh, lalu menjadi sangat parsial dan
tergantung kepada pelaksanaan di satu sisinya belaka.

Warna kompensatoris dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu juga terlihat dalam
sederhananya perumusan apa yang dinamakan keadilan itu sendiri. Wanita yang diceraikan dalam
keadaan hamil berhak memperoleh santunan hingga ia melahirkan anak yang dikandungnya, cukup
dengan jumlah tertentu berupa uang atau bahan makanan. Sangat terasa watak berbalasan dari
"pemenuhan keadilan " yang berbentuk seperti ini, karena ada "pertukaran jasa" antara mengandung
anak (bagi suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri). Dari pengamatan akan kedua hal di
atas lalu menjadi jelas, bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan dalam pandangan al-Qur'an
itu masih memerlukan pengembangan lebih jauh, apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan wawasa
keadilan dalam kehidupan itu sendiri.

Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut
wawasan keadilan yang dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah kepada kelompok demokrasi yang utuh bila
dipandang dari sudut wawasan keadilan yang dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah kepada kelompok
minoritas agama diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan? Dapatkah wawasan
keadilan itu menampung kebutuhan akan persamaan derajat agama dikesampingkan oleh kebutuhan
akan hukum yang mencerminkan kebutuhan akan persamaan perlakuan hukum secara mutlak bagi
semua warga negara tanpa melihat asal-usul agama, etnis, bahasa dan budayanya? Dapatkah
dikembangkan sikap untuk membatasi hak milik pribadi demi meratakan pemilikan sarana produksi
dan konsumsi guna tegaknya demokrasi ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang jawaban-
jawabannya akan menentukan mampukah atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam al-
Qur'an memenuhi kebutuhan sebuah masyarakat modern di masa datang. Diperlukan kajian-kajian
lebih lanjut tentang peta permasalahan seperti dikemukakan di atas, namun jelas sekali bahwa visi
keadilan yang ada dalam al-Qur'an dewasa ini harus direntang sedemikian jauh, kalau diinginkan
relevansi berjangka panjang dari wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya lalu menjadi rumit dan
memerlukan refleksi filosofis, di samping kejujuran intelektual yang tinggi untuk merampungkannya
secara kolektif. Masalahnya, masih punyakah umat Islam kejujuran intelektual seperti itu, atau memang
sudah tercebur semuanya dalam pelarian sloganistik dan "kerangka operasionalisasi" serba terbatas,
sebagai pelarian yang manis?

E. Penutup.

Kata ‘adl (‫ ) َع ْدل‬dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Quran. Kata ‘adl
sendiri disebutkan 13 kali, Kata ‘adl di dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu
pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Kata adil dalam
Alquran mempunyai arti yang beragam dan mencakup pengertian dan bidang yang berbeda. Beberapa
makna keadilan dalam Alquran adalah persamaan dalam hak, mencakup sikap dan perlakuan hakim
pada saat proses pengambilan keputusan, berada di pertengahan dan mempersamakan, seimbang,
perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya.

Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya
berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Pengertian
Keadilan Dalam Alquran, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika
Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis.
email :ibrahimstwo0@gmail.com

Kepada Teman-Teman semua sebelumya saya mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan baik dari penulisan maupun
isi dari Judul Pengertian Keadilan Dalam Alquran ini, Saya secara pribadi hanya berniat untuk memberikan pengetahuan
yang bermanfaat dan tidak ada unsur untuk memojokkan, menghina atau yang lain. jika terdapat Unsur yang tidak pantas
ditampilkan atau menyinggung sesuatu yang tidak pantas, mohon saya diingatkan agar saya bisa memperbaikinya. Sekali
lagi saya mohon maaf dan niat saya hanya untuk kebaikan. Teman-teman Telah Membaca Pengertian Keadilan Dalam
Alquran. Semoga dengan membaca Pengertian Keadilan Dalam Alquran Memberikan Manfaat dan Berikan Komentar
untuk saran dan kritik melalui email saya di ibrahimstwo0@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai