Anda di halaman 1dari 90

Ma’had Adz-Dzikr

FIQIH NIKAH JILID 3

HIDUP

RUKUN

dengan

IBU MERTUA
BAB I

MENIKAH ITU NIKMAT

Nikmat Allah yang dianugerahkan kepada makhluk-Nya sangat banyak dan tidak terhitung
jumlahnya. Di antara anugerah tersebut adalah nikmat menikah, membentuk keluarga
bahagia dan melahirkan generasi yang baru. Agar manusia merasakan kebahagiaan yang
tidak terhingga dengan nikmat tersebut, hendaknya ia mengetahui hikmah menikah dan
cara yang benar dalam membentuk keluarga yang bahagia.

HIKMAH MENIKAH

Nabi Adam diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Demi keberlangsungan
kekhalifahan manusia, Allah menciptakan pasangannya, Hawa, dari tulang rusuk Adam.
Allah berfirman:

“Hai sekalian manusia bertakwalah kepa Rabb mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah
mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak… “ (An-Nisa : 1)

Allah telah mempersatukan Nabi Adam dan Hawa dengan ikatan yang kuat, yaitu ikatan
pernikahan, setelah Allah menyediakan sejumlah faktor yang menguatkan ikatan tersebut.
Melalui faktor-faktir tersebut, tujuan pernikahan dapat tercapai. Allah berfirman:

“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan
istrinya agar dia merasa senang kepadanya….” (Al-A’raf :189)

Demikianlah pernikahan menjadi fitrah manusia yang sesuai dengan kecenderungan,


hasrat, dan insting kemanusiaannya. Allah berfirman:

“….(tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
Allah berkehendak agar setiap jiwa dapat bersandar pada jiwa yang lain. Karena dengan
hal tersebut, ia akan mendapatkan ketenangan dan kasih sayang ( mawaddah wa rahmah).
Allah berfirman:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikannya di antara kamu kasih dan sayang. Sesungguhnya pada demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum: 21)

Dengan menikah, ruh kasih sayang anta kedua pasangan akan tumbuh. Masing-masing
akan menemukan ketenangan dan kebahagiaan batin dalam diri pasangannya. Itulah sikap
saling mencintai dan menyayangi yang tumbuh di antara pasangan yang sebelumnya tidak
saling mengenal dan bertemu. Pun tidak memiliki ikatan batin kekeluargaan dan kerabat.
Ikatan itu tumbuh dalam jiwa sepasang orang yang saling menyerupai dan mengenal satu
sama lain.

Rasulullah bersabda:

“Jiwa-jiwa (ruh) itu bagaikan bala tentara yang berkelompok-kelompok. Yang saling
mengenal dan sesuai, akan saling menyatu dan mengasihi. Sementara yang tidak saling
mengenal, akan saling menjauhi dan berselisih.”

Ikatan kasih sayang yang tumbuh di antara sepasang suami-istri ini akan mengantarkannya
pada kasih sayang di antara anggota keluarga masing-masing pasangan. Akhirnya, dua
keluarga tersebut akan saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi hingga menyatu
menjadi satu keluarga.

Sungguh hubungan kekeluargaan akibat pernikahan (berbesan) dapat menambah kekuatan


masyarakat. Ia bagaikan satu batang emas yang terbentuk dari dua batang sepuhan emas
yang lain. Sehingga dua kekuatan emas menjadi satu kekuatan baru yang semakin besar.

Perumpamaan di atas sungguh indah. Istilah bebesan diungkapkan sebagai dua kekuatan
yang berkumpul menjadi satu kekuatan baru yang lebih kuat. Allah berfirman:

“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah*dan Rabbmu adalah Mahakuasa).” (Al-Furqan: 54)
Keterangan:

*hubungan kekeluargaan yang berasal dari pernikahan seperti menantu, ipar, mertua dan
sebagainya.

MEMILIH CALON PASANGAN YANG BAIK

Islam menganjurkan umatnya memilih istri salehah dan menjadikannya sebagai perhiasan
dunia terbaik yang selayaknya dicari dan diharapkan. Rasulullah bersabda:

“Dunia itu perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah istri yang solehah”

Beliau juga bersabda:

“Tidak ada yang dapat diambil manfaat oleh seorang mukmin, setelah takwa kepada
Allah, yang lebih baik baginya daripada istri yang solehah. Apabila suami menyuruhnya,
ia menaatinya. Jika suami melihatnya, ia menyenangkan hatinya. Apabila suami
bersumpah atau memintanya bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu ia
akan melaksanakannya. Dan jika suami tidak ada di rumah, ia menjaga kehormatan
dirinya dan harta suaminya.”

Orang cerdas adalah orang yang pandai memilih istri yang solehah. Ia tidak tertipu dengan
penampilan lahiriyah yang memukau dan standar pilihan yang menipu.

Suatu ketika Umar didatangi seorang laki-laki yang akan menjadi saksi bagi seseorang
dalam suatu perkara. Umar bertanya kepadanya, “kamu mengetahui orang itu?”

Ia menjawab, “Ya, saya tahu.”

Umar bertanya kembali, “Apakah kamu tetangganya yang mengetahui dari mana ia masuk
dan keluar rumahnya?”

Ia menjawab, “Bukan.”

Umar bertanya lagi, “Apakah kamu menemaninya bepergian hingga kamu mengetahui
akhlaknya selama di perjalanan?”
Ia menjawab, “Belum pernah.”

Umar bertanya lagi, “Mungkin kamu pernah melihat ia berdiri, duduk, mengangkat kepala
dan menundukkannya saat ia shalat di masjid?”

Ia menjawab, “Ya saya pernah.”

Umar berkata, “Pergilah kamu. Kamu belum mengenalnya.” Lalu beliau berkata kepada
pemilik urusan, “Datangkanlah orang yang lebih mengetahuimu.”

Cerita di atas menyiratkan pelajaran berharga bahwa dalam mengetahui seseorang harus
betul-betul teliti, hati-hati dan teruji. Terlebih lagi mengetahui seseorang untuk sebuah
pernikahan, tentunya harus lebih diperhatikan lagi. Sebab, pasangan (suami-istri)
merupakan teman sepanjang hidup, bukan untuk tempo satu atau dua hari saja. Oleh
karena itu, ketelitian, kehati-hatian dan pengetahuan yang mendalam tentang teman hidup
harus lebih diperhatikan lagi. Baik dari aspek akhlak, keturunan, lingkungan tempat ia
hidup dan sebagainya.

Secara tabiat, asal-usul yang baik akan melahirkan keturunan yang baik pula. Seperti
halnya sebuah bejana, ia akan mematangkan apa yang ada di dalamnya. Rasulullah
bersabda:

“Manusia ibarat logam emas dan perak. Orang-orang pilihan pada masa Jahiliyah akan
menjadi orang pilihan di dalam Islam, jika mereka memahami agama.”

Suatu ketika seorang laki-laki dari bani Fazarah datang menghadap Nabi dan berkata,
“Sesungguhnya istriku melahirkan anak laki-laki yang hitam, dan aku tidak mengakuinya
sebagai anakku.” Lalu Nabi bertanya, “Apakah kamu memiliki unta?” Ia menjawab, “Iya,
aku punya.” Nabi kembali bertanya, “Apa warna untamu?” Ia menjawab “Merah.” Lalu
beliau melanjutkan, “Apakah ada anak untamu yang hitam?” Ia menjawab “Ya, ada.” Nabi
bertanya, “Dari mana datangnya warna hitam itu?” Laki-laki itu menjawab, “Mungkin saja
datang dari bibit nenek moyangnya.”

Akhirnya Nabi bersabda, ”Berarti, anakmu juga hasil dari bibit nenek moyangnya.”
Syaikh Muhammad Al-Ghazali menguraikan pembahasan tentang urgensi memilih calon
pasangan yang baik bagi orang yang hendak membentuk keluarga. Beliau menuturkan
bahwa dalam hal ini sejumlah atsar dan keterangan menegaskan urgensi memilih calon
pasangan yang baik-baik. Di antaranya, sebuah atsar menyebutkan, “Jauhilah khandra ud-
diman.” Orang-orang bertanya, “Apa itu khandra ud-diman?” Nabi bersabda, “Wanita
cantik yang tumbuh di lingkungan yang jelek.”

Adapun dalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda:

“Pilihlah tempat (yang baik) menumpahkan air mani kalian, karena sesungguhnya akhlak
(ayah) menurun kepada anaknya”.

Meskipun boleh jadi derajadnya lemah, hadist di atas dikuatkan oleh hadist sahih,
“Manusia itu bagaikan barang tambang.” Selama kita semua tercipta dari tanah, maka
kondisi tanah itu sendiri di beberapa tempat berbeda-beda. Ada tanah yang subur, ada
tanah yang tandus. Ada tanah yang datar, namun ada tanah yang tidak rata.

Syaikh Muhammad Al-Ghozali lalu menuturkan, órang yang hendak menikah, saya
sarankan agar sekali-sekali jangan tertipu dengan hiasan penampilan lahir pasangan.
Periksalah kondisi batinnya. Tapi, Anda pasti akan menyangkal, siapakah yang akan
mengetahui urusan batin tersebut. Oleh karena itu saya katakan bahwa rumah dan
kondisinya adalah simbol yang jelas untuk melihat batin seseorang. Sudah menjadi hal
yang lumrah, biasanya anak perempuan cenderung akan berperilaku seperti kedua orang
tuanya. Oleh karena itu, sebelum menikah hendaknya kita bermusyawarah dan meminta
pilihan yang terbaik kepada Allah (istikharah) terlebih dahulu sebelum melangkah.

Ustman bin Abi Al-‘Ash Ats – Tsaqafi pernah berwasiat kepada anak-anaknya yang
hendak menikah. Ia berpesan agar memilih tempat yang baik untuk menyimpan bibit air
mani (nuthfah) dan menghindari darah daging yang jelek. Ia berkata, “Wahai anakku,
orang yang menikah bagaikan orang yang bercocok tanam. Pilihlah tempat yang baik
dalam bercocok tanam, karena bibit yang jelek biasanya tidak bisa menumbuhkan sesuatu
yang baik. Pilihlah bibit dengan baik, meskipun memakan waktu yang tidak sedikit,”

Jiwa yang sempurna dan pendidikan yang baik tidak akan terwujud dengan sikap berleha-
leha. Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang saleh lahir dari lingkungan yang baik,
mulia, stabil, tenang dan tidak tegang. Hal ini disebabkan tanah yang baik dan subur akan
mampu menumbuhkan tanaman –dengan izin Allah. Sedangkan tanah yang jelek dan
busuk hanya akan mengeluarkan kekeruhan.

Sifat-sifat yang harus ada pada diri wanita adalah taat beragama, berasal dari
keturunan yang baik –meskipun miskin- penyayang, berakhlak mulia, mampu
berinteraksi dengan baik –terutama terhadap suami dan keluarganya- bersikap
dewasa, serta tidak suka mencaci dan mencela.

Seperti halnya Islam memperlihatkan persoalan memilih istri, demikian pula Islam
memperlihatkan persoalan memilih suami. Islam memotivasi para wanita agar memilih
laki-laki yang soleh. Oleh sebab itu, seyogyanya para orang tua memastikan kesalehan
calon suami bagi anaknya. Calon suami harus taat beragama, berakhlak baik, dan mampu
memberi nafkah sesuai dengan kebutuhan yang lazim. Jenis kelaziman tersebut diserahkan
pada keridhaan istri.

Aisyah berkata, “Pernikahan bagaikan perbudakan. Maka, perhatikanlah dimana seseorang


akan menempatkan anak perempuannya.”

Imam Al-Ghazali mengemukakan, “Barangsiapa yang menikahkan anak perempuannya


dengan laki-laki yang kadar agamanya lemah, zalim, fasik, ahli bid’ah, atau peminum
khamar, maka ia membuka murka Allah. Hal ini disebabkan ia telah memutus tali
silaturrahminya dan telah salah memilihkan pasangan hidup baginya.”

Dari sini Imam Al-Ghazali mengisyaratkan ungkapan sebagian ulama salaf yang
menyebutkan, “Siapa yang menikahkan anak perempuannya dengan lelaki fasik, ia telah
memutuskan tali silaturrahmi dengannya.” Dalam kehidupan yang kita alami dewasa ini,
tentu kita dapat mengukur sejumlah penyakit kontemporer lain yang dimisalkan oleh Imam
Al-Ghazali tersebut.

Jika orang tua atau wali sudah memastikan bahwa laki-laki yang melamar anak
perempuannya ialah laki-laki yang taat beragama, mulia akhlaknya, dan cocok dengan
kriterianya, hendaklah segera menerima lamarannya. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah:

“Jika ada seorang pemuda yang akhlak dan agamanya kamu ridhoi datang kepadamu
(untuk melamar anak perempuanmu), maka nikahkanlah ia. Sebab jika tidak (kau
nikahkan), akan terjadi fitnah dan kerusakan yang luas di muka bumi.”

Berdasarkan penjelasan terdahulu, kita mengetahui bahwa Islam telah meletakkan standar
tertentu dalam memilih pasangan hidup, yaitu dua perkara penting: agama dan akhlak. Dua
hal tersebut merupakan pasangan sayap kehidupan berumah tangga dan faktor
keberhasilan hidup berumah tangga. Hal ini disebabkan, orang yang mengetahui hak dan
batasan-batasan yang Allah tetapkan, akan selalu berusaha mencari nilai-nilai kebaikan.
Jika terjerumus ke dalam jurang kesalahan, dengan segera ia akan kembali kepada
kebenaran. Terutama jika diingatkan dengan zikir kepada Allah.

Orang yang memiliki akhlak terpuji akan berinteraksi dengan manusia secara baik,
mencintai orang lain, bersikap mulia, berlapang dada, memaafkan kesalahan orang lain,
bersabar dalam menanggung beban, tidak cepat marah dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut
akan mampu memberikan ketenangan jiwa dan raga, baik bagi laki-laki maupun
perempuan.

Seberat apapun persolan yang menimpa keluarga muslim, dengan izin Allah akan sirna jika
diselesaikan dengan dua landasan tadi, yaitu agama dan akhlak yang mulia.

MAHRAM KARENA PERNIKAHAN

Allah memperluas jaringan hubungan manusia melalui pernikahan. Melaluinya, ikatan


hubungan manusia menjadi lebih kuat dan dekat sampai derajat ikatan hubungan nasab dan
darah.

Oleh karena itu dengan pernikahan, Islam mengharamkan ibu dan nenek istrinya untuk
dinikahi. Status mahram bagi ibu dan nenek istri tidak mensyaratkan seseorang menggauli
istrinya terlebih dahulu. Bahkan hanya dengan melangsungkan akad nikah, mereka telah
dikatakan mahram baginya. Islam juga mengharamkan menantu perempuan, cucu laki-aki
atau cucu perempuan, anak perempuan dari istri yang hidup dalam tanggungan suaminya
yang dulu, untuk dinikahi. Allah berfirman:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;


saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-
ibumu yang meyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua);
anak-anak istrimu yang dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri. Tetapi
jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya. (Dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu) dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (An-Nisa: 23)

Menurut Islam dengan melangsungkan akad nikah dengan seorang perempuan, maka
kedudukan ibu mertua sejajar dengan ibunya sendiri. Hal tersebut bertujuan untuk
menghilangkan keraguan apapun tentang laki-laki yang menjadi anggota baru dalam
lingkungan keluarga tersebut.

Demikian kedudukan ayah suami sejajar dengan ayah sendiri. Hal itu supaya istri tidak
merasa segan dan canggung untuk berinteraksi di dalam kehidupan keluarganya yang baru.
Jadi, ibu dan bapak mertua kedudukannya sejajar dengan ibu dan bapak sendiri. Rotasi
tersebut cukup menjelaskan kepada kita bahwa Islam telah menjadikan ikatan besan
sebagai salah satu faktor memperluas jaringan silaturrahmi. Selain itu, menganggap
keluarga baru yang terbentuk dari dua keluarga suami dan istri, statusnya sama karena
ikatan dan nasab.

Di dalam catatan kaki Tafsir Al-Kasysyaf karya Imam Az-Zamakhsyari, Sayyid Asy-Syarif
menulis, “Pendapat yang paling masyhur di kalangan jumhur ulama adalah menyamarkan
pengharaman seorang wanita, dan mengikat hukum anak tiri menjadi mahram dengan
menggauli ibunya. Inilah makna lahir dari ayat di atas.
Perbedaan hukum ini mengandung rahasia dan hikmah tersendiri. Yaitu, bahwa seseorang
yang menikahi seseorang perempuan, setelah dilangsungkan akad nikah dan ia belum
mencampurinya, dipastikan terjadi interaksi dengan ibunya, baik pembicaraan, diskusi
maupun obrolan-obrolan lain. Maka, Islam mencegah kemungkinan-kemungkinan negatif
dari interaksi tersebut dengan menjadikan ibu mertua sebagai mahram bagi menantu laki-
lakinya. Sehingga, si laki-laki tersebut dapat memperlakukan ibu mertua sebagai mahram
(tidak ada hasrat sama sekali).

Berbeda halnya dengan laki-laki yang menikahi wanita yang memiliki anak perempuan
dewasa. Sebelum ia menggauli wanita tersebut, ia tidak boleh berinteraksi dengan anak
perempuannya. Sebab, anak tiri tersebut belum menjadi mahram baginya. Namun, jika
lelaki tersebut telah menggauli ibunya, berarti telah ada alasan yang dimungkinkan akan
terjadi percampuran antara ibu dan anak perempuannya. Saat itu, barulah anak tiri tersebut
bisa dikatakan sebagai mahram baginya.”

Syaikh Muhammad Rasyid Ridho berpendapat, “Hikmah adanya mahram karena


pernikahan (mushaharah), bahwa ibu mertua dan anak tirinya lebih berhak untuk
dihormati. Hal ini karena, istri adalah belahan jiwa, penopang, dan penyempurna suami.
Sehingga, ibu mertuanya juga berhak mendapatkan penghormatan layaknya ibunya
sendiri,”

Sangat tidak patut jika ibu mertua mendapatkan perlakuan yang menyakitkan. Sebab,
status hubungan darah karena berbesan sama seperti status hubungan karena bernasab.

Untuk itu, jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang berasal dari sebuah
keluarga, berarti ia menjadi bagian dari keluarga tersebut. Sehingga antara ia dan seluruh
anggota keluarga pasangan harus saling memiliki perasaan cinta dan sayang satu sama
lain. Lalu, bolehkah suami menjadi penyebab yang mengubah dan merusak hubungan
antara ibu dan anak perempuannya? Tentu tidak boleh. Sebab, hal itu sama saja dengan
menafikan hikmah yang ada di balik hubungan kekeluargaan karena pernikahan dan
kekerabatan, sekaligus merusak sebuah keluarga.

Sikap yang sesuai dengan fitrah dan benar-benar membawa kemaslahatan ialah
memperlakukan mertua layaknya ibu sendiri dan memperlakukan anak tiri layaknya anak
sendiri. Demikian pula memperlakukan menantu wanita layaknya anak perempuan sendiri.
Wujud perlakuan itu adalah memberikan kasih sayang kepadanya seperti ia memberikan
kasih sayang kepada anak perempuannya sendiri. Pun demikan dengan sang menantu, ia
memperlakukan ibu mertuanya seperti ibunya sendiri.

Di antara kasih sayang dan kemahabijaksanaan Allah adalah Dia mengharamkan laki-laki
menikahi adik istrinya sekaligus. Hal itu untuk membuktikan bahwa berbesan berfungsi
untuk menabur cinta dan kasih sayang antar keluarga. Bukan ajang untuk menuai
perpecahan. Jika menikahi kakak dan adik sekaligus saja dilarang, mana mungkin orang
yang paling dekat –secara hubungan darah- dengan istri, seperti ibunya atau anaknya
menjadi halal dinikahi. Begitu juga mertua atau menantu perempuan. Artinya, mereka
lebih patut menjadi mahram.

Allah telah menjelaskan hikmah pernikahan, yaitu untuk meraih ketenangan batin dan
kasih sayang antara kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Selain itu juga antara
kedua keluarga dari kedua belah pihak. Allah berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri


dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang… “ (Ar-Rum: 21)

Berdasarkan ayat di atas, disebutkan bahwa ketenangan batin dikhususkan kepada suami-
istri. Berbeda dengan kasih sayang selain itu. Hal ini karena, ketenangan batin hanya akan
tercapai setelah terjalin ikatan antara suami istri, juga ikatan antara kedua keluarga. Rasa
cinta dan kasih sayang mereka akan semakin bertambah dan menguat dengan hadirnya si
buah hati.

Islam juga mengharamkan seseorang untuk menikahi ibu tirinya, setelah bapaknya
melangsungkan akad dengannya, sekalipun ia belum menggaulinya. Sebab, di dalam
Islam, Ibu tiri statusnya sama dengan ibu asli. Oleh karena itu, Islam melarangnya secara
tegas. Allah berfirman:

”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci Allah
dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (An-Nisa: 22)
Ulama tafsir menjelaskan maksud kata “almaqtu” (dibenci) dan “suu ussabiil” (seburuk-
buruknya jalan) yang diberikan kepada orang yang menikahi ibu tirinya. Mereka berkata,
“Melalui perbuatan tersebut, anak akan membenci ayahnya setelah ia menikahi mantan
istri ayahnya. Sebab, biasanya seseorang yang menikahi seorang wanita cenderung
membenci mantan suaminya.

Oleh karena itu, istri-istri Nabi dilarang untuk dinikahi oleh umat Islam sepeninggal
beliau. Selain karena mereka adalah istri-istri Nabi, juga karena secara ijmak, hak Nabi
dari setiap muslim lebih besar dari sekedar hak seorang ayah dari anak-anaknya. Bahkan
hak Nabi dari umatnya lebih besar dari hak mereka terhadap diri mereka sendiri.”

Pengharaman ibu tiri juga menyiratkan manfaat lain, yaitu sebagai petunjuk penghormatan
kepada ibu tiri, sekaligus pemeliharaan terhadap keberlangsungan dan keteraturan garis
keturunan. Apa jadinya jika seorang ayah menikahi seorang wanita, lalu setelah
diceraikan,wanita tersebut dinikahi anaknya – atau sebaliknya. Kemudian dari keduanya,
wanita tersebut melahirkan beberapa anak. Tentu hal itu akan menimbulkan ketidakjelasan
status garis keturunan.

Sama halnya, Islam juga melarang seseorang untuk menikahi kakak-beradik sekaligus,
serta istri dan bibinya sekaligus, baik dari jalur ayah maupun ibu sekaligus. Islam melarang
menikahi dua wanita yang memiliki ikatan kekerabatan dekat dalam satu waktu. Itu semua
dimaksudkan agar tidak menjadi penyebab putusnya tali kekeluargaan dan saling
memendam rasa benci satu sama lain.

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk saling mencintai dan menyambung tali
kekeluargaan antara yang satu dan yang lain. Ini berdasarkan sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa beliau melarang seseorang menikahi wanita dan
bibi dari ayahnya secara sekaligus. Beliau juga melarang menikahi wanita dan bibi dari
ibunya secara sekaligus (al-jam’ul).

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah melarang seseorang menikahi seorang wanita
dan bibinya sekaligus. Beliau bersabda, “Sungguh, jika kalian melakukan hal tersebut
berarti kalian telah memutuskan tali kekerabatan di antara kalian.”
Nabi juga melarang seseorang untuk menikahi seorang wanita lalu menikah lagi dengan
saudari istrinya, karena khawatir akan memutuskan tali kekerabatan.

SELUK BELUK IBU MERTUA

1. Ada apa dengan ibu mertua?

Mungkin ada yang bertanya, “Mengapa pembahasan dalam buku ini hanya
membahas tentang masalah ibu mertua. Lalu mana pembahasan tentang bapak
mertua?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan kemukakan hal berikut ini:

Laki-laki memiliki kecenderungan untuk merdeka, bebas, dan tidak terikat. Hal
tersebut merupakan naluri lelaki. Dengan kecenderungan seperti itu, ia mengetahui
bahwa salah satu sunnah hidup adalah perpisahan. Ia menyadari bahwa pada
saatnya nanti, anaknya akan berpisah dengan dirinya untuk mendiami tempat
tinggal barunya, bertanggung jawab menanggung beban keluarga seperti yang
pernah ia alami pula.

Karenanya, seorang ayah biasanya tidak terlalu peduli dengan perpisahan tersebut.
Ia juga tidak terlalu peduli dengan urusan menantunya, baik menantu laki-laki
maupun perempuan. Ia berprinsip, saat anaknya –baik laki-laki maupun
perempuan- telah menikah, berarti perannya dalam mendidik anak telah selesai.
Sehingga kehidupan anak selanjutnya diserahkan kepada mereka sendiri.

Kita sering mendapat kasus seorang ayah disalahkan karena perilaku jelek anak
perempuannya yang telah menikah. Ia pun menimpali, “Sekarang ia sudah bukan
menjadi tanggung jawab saya, tapi tanggung jawab suaminya.”

Terkadang, ayahnya sering bangga dengan pendidikan yang diberikan kepada anak
perempuannya semasa ia belum menikah dan masih tinggal bersama keluarganya.
Ayahnya berkata dengan bangga, “Saat anak perempuan saya masih tinggal
bersama saya dan dalam pengawasan saya, sedikitpun tidak pernah terdengar
celaan dan gunjingan yang macam-macam tentangnya.” Itulah naluri lelaki yang
cenderung hidup merdeka.

Sedangkan wanita, secara naluri perasaannya selalu terikat dengan orang lain. Ia
akan selalu ingin hidup bergantung pada kehadiran seorang laki-laki dan
penjagaannya. Demikian pula, dia akan selalu terikat erat dengan anak laki-laki
nya. Ia hanya ingin hanya dialah yang paling berhak memiliki anaknya tersebut dan
tidak ingin kecondongan anaknya terbagi kepada perempuan lain. Betapa tidak,
dialah yang telah lama mengandung anak tersebut dalam rahimnya, hingga rela
begadang dan tetap berada di sampingnya untuk memelihara dan memenuhi
kebutuhannya.

Hal itulah yang kiranya menyiratkan bahwa ketegangan antara istri dan ibu
mertuanya lebih banyak terjadi dibandingkan antara suami dan ibu mertuanya.

Pernyataan ini bukan berarti mengungkapkan kekurangan wanita. Tapi, pada


hakikatnya dalam menghadapi persoalan, laki-laki cenderung menggunakan rasio
daripada perasaannya. Berbeda dengan wanita yang lebih dahulu menggunakan
perasaan dari pada rasionya. Oleh karena itu biasanya laki-laki tidak banyak
campur tangan dalam mengahadapi urusan anak-anaknya yang sudah menikah.
Berbeda dengan wanita, mereka selalu campur tangan ingin menentukan kehidupan
anak-anaknya, walaupun mereka telah menikah.

Dari banyaknya ketegangan, ketidakharmonisan, bahkan pertengkaran yang terjadi


antara ibu mertua dan istri atau besannya, akhirnya timbul asumsi negatif. Yakni
asumsi bahwa ibu mertua adalah orang yang paling jauh dari hati para menantu.
Namun demikian, kita tidak lantas sepenuhnya membenarkan asumsi tersebut.
Sebab, pada kenyataannya masih banyak para istri yang sangat menghormati,
memuliakan, mencintai, dan menyayangi ibu mertuanya dengan tulus. Mereka
menyejajarkannya dengan ibunya sendiri. Bahkan mereka memperlakukan lebih
dari itu.

Gejala ini cukup mendapat perhatian para peneliti. Sehingga sebagian besar dari
mereka melakukan penelitian terhadap sejumlah realitas di masyarakat.
Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa ketegangan
berkepanjangan yang terjadi antara suami, istri, dan mertua tidaklah berdasar sama
sekali.

Di Kanada, sebuah majalah sosial telah melakukan penelitian statistik tentang


hubungan suami-istri terhadap mertua. Hasil dari penelitian tersebut
menyatakan bahwa mayoritas suami-istri di sana ternyata menghormati dan
menyayangi ibu mertua mereka. Penelitian tersebut mengambil sampel 600
responden yang berusia antara 18-60 tahun untuk mengungkapkan sejauh
mana penghargaan mereka terhadap ibu mertua meraka. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, sebanyak 90% responden menyatakan bahwa mereka
mencintai ibu mertua mereka. Bahkan, sebanyak 9% dari mereka menyatakan
bahwa ibu mertua mereka lebih mereka cintai daripada ibu mereka sendiri.

Hasil penelitian ini justru mendorong para peneliti untuk mencari faktor penyebab
orang-orang tidak menyukai ibu mertua mereka. Salah seorang wanita peneliti yang
ikut tergabung dalam proyek penelitian ini mengatakan, kita sedang mencari
jawabannya. Tetapi, saat ini kita telah menolak anggapan negatif tentang mertua
yang tengah beredar di masyarakat. Penolakan ini tetntunya berdasarkan alasan
yang kuat. Kita tengah membuktikan kepada dunia, bahwa pada kenyataannya
ikatan emosional sebagian besar masyarakat terhadap ibu mertuanya sangat erat
dan harmonis. Kenyataan tersebut sangat jauh berbeda dengan sejumlah cerita fiktif
dan negatif tentang ibu mertua.

Karena permasalahan tentang ibu mertua meruapakan masalah yang dihadapi


segenap manusia secara global, maka salah satu yayasan di India pada dua tahun
yang lalu (2006) telah melakukan proses pengajaran kepada para gadis yang cukup
umur. Pengajaran tersebut menekankan tentang bagaimana cara menjadi menantu
yang ideal dan disayang ibu mertua. Kegiatan tersebut tidak lain sebagai usaha
mengatasi sejumlah kasus perceraian yang semakin meningkat di Negara tersebut.
Dari pelatihan yang diselenggarakan selama tiga bulan di Pusat Mango San Scar di
Yopal, sebanyak empat ribu gadis berhasil menyelesaikan pelatihan tersebut
dengan hasil yang memuaskan.

Surat kabar Asian News Internasional memuat berita tersebut. Di dalam artikel
berita tersebut menyatakan bahwa pelatihan itu bertujuan untuk mendidik para
remaja putri agar mengetahui nilai-nilai kekeluargaan yang harus dipelihara. Selain
itu juga untuk menanamkan semangat tolong-menolong antar anggota keluarga.
Sehingga, kelak mereka (para gadis) menjadi istri sekaligus menantu yang ideal.
Mereka diharapkan akan siap berinteraksi dengan keluarga yang baru, baik dalam
kondisi suka maupun duka.

2. Pandangan para psikilog dan sosiolog

Para peneliti menegaskan bahwa tidak mungkin ada asap jika tidak ada api.
Peribahasa tentang mertua itu diperkirakan muncul sebagai akibat dari ketegangan
hubungan antara ibu mertua dan besan. Ini terjadi dalam rentang waktu yang cukup
panjang dan turun temurun, sehingga membetuk sebuah asumsi yang tersebar luas
bahwa ibu mertua dikambinghitamkan menjadi ‘rival’ yang harus diwaspadai.

Sebagian peneliti yang lain mengungkapkan bahwa asumsi negatif tentang ibu
mertua timbul sebagai akibat sejumlah permasalahan yang dihadapi hampir oleh
setiap keluarga. Biasanya, jika istri sedang berselisih dengan suaminya, ia akan
menuduh bahwa suaminya telah dipengaruhi oleh ibunya. Demikian juga suami
menganggap bahwa pembangkangan istrinya muncul sebagai akibat dari pengaruh
ibunya. Mereka beranggapan bahwa ibu mertua selalu membisikkan hal yang buruk
kepada anaknya. Para psikolog dan sosiolog menyebutkan, setidaknya terdapat dua
hal yang menyebabkan timbulnya ketegangan antara istri dan ibu mertuanya. Di
antaranya adalah:

a. Perasaan suami atau istri

Mayoritas orang memiliki pandangan yang negatif terhadap ibu mertuanya.


Sehingga, ikatan hubungan antara mereka dan mertua tidak harmonis. Kita
patut bertanya apakah hal tersebut muncul dengan sendirinya atau terdapat
faktor lain? Sebenarnya, kita tidak dapat mengabaikan faktor sikap individu
masing-masing pihak, baik pihak menantu maupun mertua, atau pihak suami
dan ibunya.

Tidak diragukan lagi bahwa sejumlah ketegangan muncul dari perasaan antara
manusia satu sama lain. Saat anak-anaknya menikah, pada awalnya perasaan
setiap individu keluarga akan berbeda. Namun demikian, jika masing-masing
pihak mampu mengendalikan secara baik, maka ketegangan tersebut akan
hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, jika mereka tidak mampu mengatasi
dengan caa yang benar, ketegangan akan semakin menguat.

Berikut ini adalah faktor yang menyebabkan menantu (suami atau istri)
merasakan ketidaknyamanan dengan ibu mertuanya:

 Terkadang ibu mertua terlalu idealis. Sehingga istri tidak dapat


sepenuhnya melaksanakan idealismenya. Atau, suami terkadang
menganggap, misalnya, bahwa makanan yang dihidangkan ibunya jauh
lebih enak. Dalam situasi konflik dan pertikaian, anak-anak biasanya
lebih mengagungkan cara ibunya mengurus rumah, lalu berusaha
melupakan konflik yang terjadi.

 Kebanyakan suami atau istri, pada masa kecilnya tidak mendapatkan


pengertian dan penghargaan. Sehingga, mereka trauma lalu
menganggap ibu mertua akan bersikap seperti ibunya dahulu yang
menelantarkan anaknya tanpa pelatihan. Akhirnya jadilah mertua
sebagai korban pelampiasan kekesalannya.

 Suami atau istri cenderung mengecam atau menyalahkan ibu mertua.


Dalam pandangannya, ibu mertua sangat bertanggung jawab dalam
pembentukan perilaku dan karakter anaknya yang jelek. Misalnya, saat
istri terlambat menyiapkan makanan pokok, suami akan langsung
menyalahkan ibu mertuanya yang diduga tidak bisa mendidik dan
mempersiapkan anaknya untuk menjalani kehidupan berkeluarga. Atau,
saat suami tidak memperhatikan pakaiannya, istri akan menyalahkan ibu
mertuanya karena ia dianggap tidak bisa mendidik anak-anaknya dalam
membiasakan mereka hidup mandiri.

b. Perasaan ibu mertua

Ketika anaknya menikah, sang ibu sering merasakan penolakan, penentangan


tanpa perasaan, dan sikap kontra terhadap wanita-wanita yang menikah dengan
anaknya. Terdapat tiga perasaan yang memengaruhi ibu mertua, yaitu:

 Anak yang sudah besar dan dewasa dianggap sebagai aset ibunya. Oleh
karena itu, atas dasar kekhawatiran itulah seorang ibu tidak akan merasa
senang dengan kehadiran orang yang diduga akan merusak asetnya.

 Di sisi lain ibu mertua telah bertahun-tahun mengurus dan mendidik


anaknya sepenuh hati, tidak akan menerima dengan mudah kehadiran
perempuan yang belum pernah memikul tanggung jawab yang paling
kecil sekalipun untuk mengurusi anaknya. Atau sebaliknya, dia melihat
seorang lelaki yang masih kebingungan ini tidak pantas untuk
melindungi dan hidup bersama dengan anak gadisnya.

 Terkadang sikap, perilaku, pemikiran dan karakter ibu mertua berbeda


dengan menantunya. Meskipun demikian, terkadang perilaku, kebiasaan
dan kecenderungannya yang baik bisa menjadi faktor penyebab baginya
untuk memahami dan menyayangi.

Bagaimanapun juga untuk menyelesaikan persoalan, seseorang harus


melakukan analisis dan identifikasi masalah dari setiap sudut. Kemudian,
dia menelitinya secara mendalam agar duduk persoalan yang sebenarnya
bisa terungkap. Sehingga solusi dari persoalan tersebut dapat segera
ditentukan dengan jelas. Akhirnya, masalah tersebut tuntas dan tidak
berlarut-larut.
SUMBER TIMBULNYA PROBLEMATIKA

Setidaknya, terdapat tiga pihak utama yang terlibat dalam masalah ini. Yaitu, ibu mertua,
istri dan suami. Masing-masing pihak dianggap telah ikut berperan dalam memunculkan
persoalan ini. Olah karena itu dalam penyelesaiannya, salah satu dari ketiga pihak tersebut
tidak bisa diabaikan. Ketiga sumber masalah tersebut seyogyanya dianalisis secara
mendalam, agar bahtera rumah tangga dapat diselamatkan keberadaannya, dan tidak
tenggelam ke dalam sejumlah persoalan yang menghancurkan rumah tangga.

1. Ibu Mertua

Setiap orang tidak dapat menyangkal bahwa perasaan seorang ibu dengan buah
hatinya sangatlah erat. Ibu adalah orang yang telah melahirkannya. Selama
beberapa bulan ia harus mengandung anaknya sejak masih berbentuk janin.
Setelah itu ia melahirkan, merawat, mendidik, membesarkan dan mengurus
anaknya hingga dewasa.

Dapat dibayangkan setelah sekian lama anaknya dirawat dan diurus oleh ibunya
hingga dewasa, tiba-tiba ia harus menerima kenyataan bahwa anaknya harus
berpisah dengannya untuk hidup bersama seorang wanita. Ia menyatu dengan
istrinya seakan satu tubuh yang tidak bisa dipisahkan. Ia mengarungi bahtera
keluarganya sendiri bersama istrinya, sebagaimana si ibu telah merasakannya
bersama suaminya.

Sebenarnya para ibu telah mengetahui bahwa kenyataan tersebut adalah


sunnatullah yang pasti akan dialami. Namun demikian, mereka selamanya tidak
akan pernah merasa siap dengan kenyataan itu. Mereka juga tidak berusaha
melatih diri untuk mengubah sikap seperti itu terhadap anaknya yang telah
dewasa.

Kebanyakan para ibu tidak melatih anak-anaknya untuk mandiri. Mereka selalu
menyediakan apapun untuk anak-anaknya. Bahkan, saat anaknya hendak
melakukan suatu pekerjaan rumah, misalnya, ia malah segera mencegah dan
menggantikannya, karena terlalu sayang dan cinta kepada anaknya tersebut.
Para ibu juga tidak melatih dirinya untuk tidak selalu mencampuri urusan
pribadi anaknya. Menurut mereka, anaknya selalu dianggap anak kecil yang
manja, selalu terus diarahkan. dijaga, diperhatikan, dan diberi bimbingan dalam
menghadapi seluk beluk kehidupan individu sekalipun.

Bahayanya, jika para ibu masih memiliki pemahaman semacam itu, semakin
hari ketergantungan mereka terhadap anaknya semakin menguat. Ia akan selalu
membayangkan hari-hari indah bersama anaknya, baik ucapan maupun
obrolannya. Juga, bayangan sang ibu saat anaknya dikritik, dinasihati,
diacuhkan, dan dipandang dengan penuh kasih sayang akan terus meliputinya.
Kata-kata cinta dan sayang yang sering diungkapkan kepada anaknya akan
sering terngiang di telinga ibunya.

Hal yang paling dikhawatirkan oleh seorang ibu adalah kehilangan perhatian
dari anaknya saat ia telah menikah. Kekhawatiran tersebut tentu beralasan.
Menurut pendapatnya, anaknya pasti akan lebih memperhatikan istrinya dari
pada ibunya. Betapa tidak, anaknya telah bersusah payah berjuang
mendapatkan istrinya. Atau sebaliknya, istri bersusah payah memilih laki-laki
yang datang melamarnya. Meski pada dasarnya wanita lebih condong
bergantung kepada kedua orang tuanya, atau lebih khusus lagi kepada ibunya
dari pada laki-laki, walaupun ia telah menikah.

Demikian, hingga kita sering mendengar ungkapan, “Ibu mertua menanam


sesuatu untuk dipanen oleh orang lain.”

Sebenarnya kita juga tidak dapat mengabaikan perasaan-perasaan yang terdapat


di dalam hati ibu mertua seperti di atas. Oleh karena itu, hendaknya seorang
menantu perempuan dapat memahami perasaan-perasaan yang terdapat dalam
relung hati ibu mertuanya. Jika ia ingin membuktikan perasaan tersebut,
hendaknya ia melihat seberapa tinggi kedudukan suaminya di hati ibu
mertuanya, dan seberapa jauh ketergantungan ibu mertuanya kepada anaknya.
Bila ia belum dikaruniai anak, hendaklah ia melihat pada dirinya sendiri
bagaimana perasaaan terhadap sang jabang bayi yang dinanti-nantinya.
Bagaimana ia mengisi relung hati dengan cinta kepadanya yang belum terlahir
di dunia ini.

Sungguh, kebanyakan istri justru sering mengejek perasaan ibu mertua terhadap
anak laki-lakinya. Mereka mengatakan, “Ah, ibunya tidak ingin menyapih anak
laki-lakinya.” Sedangkan tentang suaminya, mereka juga mengatakan, “Ah,
suamiku ini masih suka menyusu kepada ibunya dan tidak ingin
meninggalkannya.”

Padahal jika istri menyadari, ternyata ikatan perasaan mereka terhadap ibunya
sendiri atau sebaliknya, sama sekali tidak berubah meski ia telah menikah.
Bahkan, ikatan perasaan perempuan yang sudah menikah terhadap ibunya
sendiri justru semakin kuat.

Menurut realitas, kebanyakan persoalan rumah tangga muncul sebagai akibat


dari ikatan perasaan istri dengan ibunya sendiri yang terlalu kuat. Misalnya,
setiap hari ia ingin mengunjungi ibunya, berbincang panjang lebar dengan
ibunya melalui telepon, ingin menciptakan suasana dan kondisi rumah seperti
rumah ibunya, dan sebagainya.

Namun, mengapa setelah menikah istri selalu meminta suaminya untuk


menjaga jarak dengan ibunya. Atau, mengapa istri selalu mengecam ibu
mertuanya dan memintanya untuk meninggalkannya. Ia meminta suaminya
untuk tidak mengurusi lagi dan memutuskan hubungan dengannya seakan ia
bukan anaknya.

Harus kita pahami bersama bahwa rumah tangga baru yang terdiri dari
sepasang suami istri yang masih belia, baru mulai menapaki kehidupan, dan
terpisah dari keluarga, memang memerlukan waktu untuk bisa mandiri dan
memahami batas-batas keterkaitan mereka dengan keluarga masing-masing.

Kemandirian dan kebebasan tersebut bukan berarti, memutuskan hubungan


baik, ikatan silaturahmi, dan kasih sayang antara suami dan keluarganya.
Kemandirian yang dimaksud adalah kemandirian hidup dengan tetap
menunaikan hak-hak orang lain sesuai dengan porsinya masing-masing. Selain
itu, hendaknya kedua orang tua ditempatkan di relung hati masing-masing
pasangan, tidak berubah dan tidak tergantikan. Namun jika nyatanya
kecintaannya itu berlebih, hendaknya msing-masing suami istri yang baru ini
mau melapangkan hati demi terjaga keutuhan keluarga besar.

Untuk menjelaskan ungkapan di atas mari kita ingat kembali kisah tentang tiga
orang pemuda yang terjebak di dalam gua. Ceritanya berawal saat mereka
masuk ke dalam gua, tiba-tiba ada sebuah batu besar yang jatuh menutupi pintu
gua. Sehingga mereka terjebak dan tidak dapat keluar dari sana.

Karena tidak menumukan jalan sama sekali, akhirnya masing-masing orang


berdoa dengan perantara amal saleh yang telah mereka lakukan. Akhirnya Allah
mengabulkan permohonan mereka dan menyingkirkan batu besar tersebut.
Mereka pun selamat dan bisa keluar dari sana.

Adapun yang perlu kita perhatikan dari cerita di atas, terdapat seseorang yang
berdoa dengan amal saleh khusus. Ia selalu mendahulukan kedua orang tua
mereka –khususnya ibu- untuk mencicipi hasil kerja kerasnya, sebelum
dimakan oleh anak dan istrinya.

Dikisahkan bahwa, “…Salah seorang dari pemuda tersebut memanjatkan doa,


‘ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah renta.
Setiap hari, tidaklah aku memperoleh sesuatu, kecuali aku persembahkan
terlebih dahulu kepada keduanya. Suatu ketika, perjalanan pulangku tertahan
hingga larut malam. Setibanya di rumah kudapati kedua orang tuaku tengah
tertidur lelap, padahal aku telah memerahkan susu untuk keduanya.

Aku merasa dilematik. Di satu sisi, aku tidak ingin membangunkan keduanya,
karena mereka terlihat begitu lelap dalam tidurnya. Namun di sisi lain aku
sudah berjanji tidak akan memberikan hasil jerih payahku sebelum mereka
mencicipinya. Aku pun berdiri menenteng bejana berisi susu yang mereka
pesan. Aku menunggu keduanya terbangun, hingga terbit fajar. Padahal anak-
anakku merengek di bawah kakiku meminta susu tersebut. Saat mereka
terbangun di waktu fajar, akupun mempersilahkan mereka mencicipinya.
Ya Allah seandainya apa yang telah aku lakukan itu merupakan amal saleh yang
ikhlas, maka berilah kami jalan keluar dari gua ini.” Akhirnya Allah
membukakan gua tersebut, sehingga mereka bertiga dapat keluar.

Seorang ibu hendaknya memahami bahwa si anak bukan merupakan hak untuk
dimiliki sepanjang masa. Predikat tersebut lebih menekankan pada sifat
‘mengayomi’. Bahkan pengayoman dari kedua orang tua terhadap anaknya
tidak akan pernah putus untuk selamanya.

Untuk itu, seyogyanya seorang ibu mengerti bahwa saat anak laki-lakinya
menikah, berarti ia telah memasuki gerbang kehidupan yang baru.
Konsekuensinya anak tersebut juga akan menghadapi suasana dan kondisi yang
berbeda dari sebelumnya. Ia juga berhak menempati rumah yang terpisah dari
orang tuanya. Hal demikian harus dipahami sebagai sunnah kehidupan.

Maka dari itu, seharusnya seorang ibu mertua mengingat kembali masa
mudanya. Saat pertama kali menjadi istri dari anak laki-laki kesayangan
ibunya, ia meninggalkan sang ibu untuk hidup berdua dengannya menempati
sebuah rumah yang baru. Bukankah ia dahulu juga seorang yang telah menuai
hasil dari tanaman orang lain?

Ada satu persoalan sangat penting yang harus diluruskan, terkadang ada
sebagian ibu yang tergesa-gesa menyuruh anaknya untuk segera menceraikan
istrinya. Terutama, saat ibunya dalam keadaan emosi dan marah. Berbagai
upaya untuk memunculkan keretakan rumah tangga antara anak dan istrinya
pun ia tempuh, baik secara langsung maupun melalui perantara orang lain.

Menurut Islam perbuatan seperti itu adalah tercela dan menimbulkan dosa.
Terlebih lagi, jika menantu tersebut adalah orang yang memiliki komitmen
keislaman yang kuat dan berakhlak baik. Bahkan, ia selalu menunaikan
kewajiban sebagai istri, seperti mengurus dan mendidik anak-anaknya dengan
baik, dan sebagainya. Tidak diragukan lagi keduanya tidak layak untuk
dipisahkan.
Semestinya para ibu mertua mengetahui bahwa ketenangan dan ketentraman
batin suami istri merupakan salah satu tujuan utama yang diprogramkan Islam
dalam sebuah tatanan kehidupan rumah tangga. Sehingga, siapapun yang ingin
merusak hubungan sepasang suami-istri –dalam pandangan Islam- berarti ia
telah keluar dari nilai-nilai Islam dan tidak berhak untuk dikategorikan sebagai
muslim yang baik.

Oleh karena itu, ibu mertua tidak boleh sama sekali merusak bangunan rumah
tangga yang telah terjalin dengan baik. Jika terdapat kesalahan atau sikap
menantu yang kurang berkenan, alangkah baiknya ia mendoakan untuknya.
Berdoa agar Allah memberi petunjuk dan bimbingan agar ia kembali memenuhi
hak dan kewajibannya, dan supaya kehidupan rumah tangga anaknya lebih
harmonis.

Terkadang ada sebagian ibu yang mendesak anak laki-laki agar menceraikan
istrinya karena merasa iri dengan cinta dan sikap sang anak terhadap istrinya.
Bahkan, ia sampai mengatakan, “Jika kamu tidak menceraikannya, berarti
kamu telah menentang perintah dan durhaka kepada ibumu ini.”

Padahal alasan yang dicari-cari seperti pernyataan di atas tidaklah benar.


Bagaimanapun juga, seorang ibu yang baik tidak layak mengungkapkan
pernyataan demikian. Sebab, ketidaktaan anak kepada perintah ibu untuk
menceraikan istrinya bukanlah termasuk perbuatan yang durhaka. Pada
dasarnya seseorang tidak boleh taat kepada sesama makhluk dalam hal maksiat
kepada Allah. Di dalam Islam, perceraian hanya dibolehkan dalam keadaan
terpaksa. Rasulullah bersabda:

“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.”

2. Saudari Ipar

Pembahasan tentang mertua tidak bisa terlepas dari salah satu unsur keluarga
besan. Unsur tersebut adalah saudari ipar istri. Perannya dalam menentukan
keharmonisan hubungan antara istri, suami, dan ibu mertua tidak bisa
disepelekan.

Dalam kenyataan sehari-hari, terdapat berbagai kasus keretakan hubungan


rumah tangga yang diakibatkan oleh campur tangan saudara-saudara suami.
Mereka campur tangan dalam mengurus roda kehidupan rumah tangganya.
Bahkan disinyalir, pengaruh campur tangan mereka terkadang lebih kuat
dibandingkan dengan inti permasalahan konflik itu sendiri.

Apalagi jika ipar tersebut belum menikah. Jika sudah menikahpun, ia sedang
memiliki persoalan yang pelik dalam rumah tangganya. Akhirnya, secara tidak
langsung, ia juga ingin membuat ketidakharmonisan pada keluarga orang-orang
terdekat yang berada di sekitarnya.

Salah satu penyebab utama timbulnya ketegangan hubungan antara istri dan
saudari ipar adalah rasa cemburu. Kecemburuan inilah yang dapat memicu
kaum wanita untuk saling iri dan dengki. Akibatnya, masing-masing pihak akan
menyusun rencana untuk saling menjatuhkan satu sama lain, kemudian
berusaha mencari-cari alasan dari perbuatan mereka yang tidak masuk akal
tersebut.

Hari-hari pertama setelah menikah, biasanya seorang istri belum dapat


‘melebur’ dan bergaul dengan saudari iparnya. Lebih-lebih bila ia berparas
cantik dan selisih usia mereka tidak jauh berbeda. Apalagi jika seumur dengan
iparnya dan cantik. Oleh karena itu, terkadang ia harus terus berusaha
menyesuaikan diri dengan adik atau kakak iparnya. Bahkan, ia berusaha untuk
berinteraksi dengan kerabat dekat suami, ibu dan ayahnya.

Meski begitu, persahabatan yang sangat dekat antara istri dan iparnya biasanya
sulit terwujud. Sebab, sang ipar tidak ingin menceritakan banyak hal, karena
belum mengenal dengan baik. Seiring dengan berjalannya waktu, kekhawatiran
akan terungkapnya rahasia masing-masing semakin menguat.

Salah seorang istri pernah bercerita, “saat menikah pertikaianku dengan ipar
mulai tampak. Meski ibu mertuaku seorang yang sangat baik dan bijak, namun
iparku sering mencoba melecehkanku dan mengumbar kelemahan-
kelemahanku di depan seluruh keluarga. Di hadapan orang-orang yang
berkunjung ke rumahnya, ia meremehkan pendapatku saat berdiskusi tentang
keluarga.

Bahkan sekedar untuk meminta bantuan, ia menolak sama sekali. Alih-alih


membantu, ia malah memperlakukanku layaknya pembantu. Hal yang
paling menyakitkan adalah ketika aku adukan ini kepada suamiku, ia tidak
mau menghiraukannya. Suamiku menganggap bahwa aduanku ini tidak
benar sama sekali. Ia menganggapnya masih sangat belia dan tidak
mungkin berbuat seperti itu.

Adalagi seorang istri yang menceritakan hubungan dengan iparnya, “Di rumah
suami, aku menjadi simbol pertikaian bagi mereka. Namun perselisihan ini
buakan antara aku dan ibu mertuaku, melainkan dengan beberapa iparku. Ibu
mertuaku memiliki sifat yang sangat baik dan terpuji. Ia tidak pernah
menyakitiku sama sekali, baik dengan perkataan maupun dengan sikap. Tetapi
ipar-iparku sangat dimanjakan oleh ibunya.

Saat pertama kali aku tinggal di rumah suamiku, aku berusaha mendekati
mereka. Tetapi, ternyata mereka tengah bersepakat untuk menolak dan
meremehkan kehadiranku. Bahkan, aku diremehkan di depan orang-orang yang
berkunjung ke rumah.

Suatu ketika aku mengadukan hal ini kepada ibu mertuaku. Tetapi, sedikitpun
hal itu tidak mengubah apa-apa. Ia hanya mengatakan, ‘Mereka masih kecil.
Suatu saat nanti ketika beranjak dewasa, mereka pasti akan berubah lebih bijak
dan lebih baik lagi. Saat ini mereka masih berada dalam kondisi kritis. Jika
mereka diperingatkan, justru akan menyebabkan terganggunya kestabilan
emosi mereka pada masa depan.’ Akhirnya, aku mencoba menjaga jarak dengan
mereka dan bersabar menghadapinya.”

Tidak dapat dipungkiri contoh kasus di atas sering dijumpai di dalam realitas
kehidupan masyarakat saat ini. Namun rasanya tidak adil jika ipar sebagai satu-
satunya sumber ketidakharmonisan keluarga. Pada kenyataannya, konflik ini
juga terkadang dipicu pertama kali oleh istri. Artinya, ia yang pertama kali
merasa cemburu terhadap ipar-iparnya. Lalu, istri memperlakukan ipar-iparnya
dengan tidak baik. Akhirnya satu sama lain saling membenci.

Selain itu, terdapat pula saudari ipar yang seumur, atau bahkan teman istri,
belum menikah. Kondisi itulah yang membuatnya cemburu. Setidaknya, ia
akan membenci dan iri terhadapnya. Bahkan, saat diketahui bahwa kehidupan
rumah tangganya sangat harmonis. Kecemburuan tersebut pun semakin
bertambah. Terlebih lagi jika istri tersebut melahirkan. Ia akan merasa bahwa
wanita tersebut telah mendahuluinya menikah dan melahirkan anak. Dengan
demikaian, ia kerap berusaha untuk menutupi kekurangannya dengan selalu
mengungkit-ungkit kelemahan iparnya itu. Hal ini semata untuk membuktikan
bahwa dirinya lebih baik dari pada istri tersebut.

Pada kasus yang lain terdapat istri yang tinggal serumah dengan keluarga
suaminya. Ternyata, di rumah tersebut ipar-iparnya sangat dimanja. Berawal
dari sinilah muncul persoalan yang baru. Istri sering membereskan pekerjaan
rumah tangga sendirian, tanpa dibantu oleh ipar-iparnya. Kondisi seperti itulah
yang membuat istri merasa seolah-olah sebagai pembantu rumah tangga bagi
para ipar manja tersebut. Tentunya, istri tidak akan kuat bertahan lama
menghadapi kondisi seperti itu. Hal tersebut justru akan menimbulkan
perpecahan di antara istri dan iparnya. Bahkan, bisa jadi hal tersebut akan
berimbas pada keretakan hubungan antara istri dan suaminya.

Kasus lain yang sering ditemukan di masyarakat adalah istri memiliki ipar yang
juga telah menikah, tetapi rumah tangga ipar tersebut tidak harmonis. Ia
memiliki persoalan yang pelik di dalam kehidupan rumah tangganya. Ketika
melihat keluarga saudaranya harmonis, kecemburuan ipar tersebut akan
muncul. Hal itu akan mendorongnya untuk mencoba mengganggu ketentraman
rumah tangga saudaranya. Sehingga, tidak ada lagi satu keluargapun yang lebih
baik dan lebih harmonis dari yang lain.

Sebaiknya, setiap istri disaranakn untuk selalu mendekati ipar-iparnya,


bagaimanapun sikap yang mereka tampakkan. Cobalah membantu pekerjaan
mereka semampunya, menemani mereka dan bersabar dalam menghadapi
mereka. Jangan sekali-kali mengadukan sikap-sikap ipar kepada suami ataupun
kepada salah satu anggota keluarganya, agar persoalan tersebut tidak meluas.

Sebenarnya, solusi atas persoalan di atas terdapat pada tangan wanita, bukan
pada laki-laki. Para wanita cenderung mampu mengatasi problematika khusus
yang dihadapi oleh iparnya yang perempuan. Terkadang, jika laki-laki ikut
campur dalam mengatasinya, justru tidak akan menyelesaikan masalah secara
baik.

Solusi dari persoalan tersebut sebenarnya tidak sulit dilakukan. Hanya saja,
untuk melakukannya membutuhkan kekuatan dan ketulusan niat. Untuk
membuktikannya marilah kita simak penuturan salah seorang istri yang telah
berhasil merealisasikan cara ini. Ia mengatakan, “Saat menikah, yaitu sekitar
enam tahun yang lalu, aku belum bisa langsung nyaman menempati rumah
baruku. Sehingga aku memilih tinggal bersama keluarga mertua. Alhamdulillah
aku merasa senang dengan keputusan yang aku ambil. Hal ini karena keluarga
suamiku sangat menyambut hangat kehadiranku. Mulai dari ibu dan bapak
mertua, saudara ipar, hingga tiga orang ipar perempuan. Ketika aku
membutuhkan bantuan meraka, aku bisa langsung meminta mereka tanpa rasa
segan. Betapa tidak, mereka sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri
sehingga aku juga harus menghargai mereka.

Memang ada saja persoalan yang terjadi, baik antara aku dan suami, iparku
dengan ibu mertuaku, maupun aku dengan ipar-iparku. Namun hal tersebut aku
anggap sebagai sesuatu yang wajar terjadi. Karena tidak ada satupun rumah
tangga yang terbebas dari permasalahan. Sebagai satu keluarga kami tidak
selayaknya memperkeruh suasana dengan memperbesar permasalahan yang
kecil. Aku yakin, di balik setiap persoalan pasti ada solusi.

Mengenai permasalahan yang terkait dengan saudara iparku, itu tergantung


usia, watak, dan karakter ipar tersebut. Jika mereka masih kecil aku tidak boleh
mengeluh dan harus bersabar atas sikap mereka. Toh usia mereka masih kecil
dan kedewasaan mereka belum matang.
Tetapi, jika mereka sudah dewasa, sudah bekerja, dan belum menikah, aku
yakin terdapat beberapa masalah yang membuat mereka tertekan. Oleh karena
itu, aku tidak boleh tinggal diam, tetapi langsung mengajak mereka
membicarakannya dari hati ke hati. Biasanya, saat pertama kali merasakan
perbedaan sikap dari mereka, aku segera mengajak mereka mendiskusikan
sikap tersebut. Hal ini bertujuan agar permasalahannya tidak berlarut-larut.
Lalu kami sepakat untuk memberi sanksi atas sikap jelek yang sengaja
ditampakkan.

Terus terang aku tidak suka mengeluh dan mengadukan setiap permasalahan
kepada siapa pun. Jika timbul permasalahan aku lebih suka menghadapinya
dengan tegar dan mencari solusinya. Aku lebih suka berinteraksi dengan ipar-
iparku dengan cara yang lebih beradab. Aku sering menganggap mereka
sebagai saudariku, khususnya ipar perempuan yang sudah menikah. Hubungan
kami sudah sangat dekat. Kami sering jalan-jalan bersama dan saling memberi
hadiah satu sama lain.

Memang betul, terkadang ada saja persoalan yang timbul di antara kami.
Namun, hal tersebut tidak membuat kami saling membenci dan
memutuskan silaturahmi. Bagaimanapun juga, hal tersebut terkait dengan
masalah moral keluarga. Masing-masing dari kami harus menjaga nama
baik keluarga. Kami menganggap, menyebarluaskan rahasia keluarga
kami berarti mencemarkan nama baik seluruh anggota keluarga kami.”

3. Istri

Apakah hubungan ibu mertua dan menantunya layaknya pasangan?

Sejumlah pakar sosiolog mengatakan bahwa terdapat berbagai macam faktor


yang menyebabkan ketidaksenangan pihak yang satu terhadap pihak yang lain.
Ketidaksenangan ini biasanya muncul dari pihak ibu, istri, maupun suami.
Faktor ini bermula dari keinginan yang mendominasi sang ibu untuk
menguasai. Sang ibu yakin bahwa anak-anaknya adalah miliknya dan tidak ada
seorang pun yang berhak untuk merebutnya. Sikap dan perasaan inilah yang
menyebabkan ketidaksenangan menantu terhadap ibu mertuanya. Biasanya
perasaan ini ditampakkan dalam sikap para menantu terhadap ibu mertuanya.

Pada dasarnya seorang istri dengan berbagai perannya tidak mengiginkan ada
orang lain ikut serta mencintai suaminya. Sekalipun itu ibu mertuanya sendiri.
Karena, ia sangat berharap agar seluruh perhatian suami hanya tertuju
kepadanya. Ia juga menginginkan agar suaminya selalu memikirkan dirinya.

Bahkan, sang istri tidak ingin suaminya lebih memperhatikan pekerjaannya. Ia


akan merasa cemburu saat suaminya lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk memperhatikan pekerjaan dan para pegawainya dari pada istrinya.

Hal tersebut akan berdampak pada sikap dan perilaku istri terhadap suaminya.
Misal saat suami terlambat pulang dari pekerjaannya, istrinya akan sewot. Atau,
ia akan marah saat mengetahui suaminya telah mengunjungi ibunya, atau
mempunyai janji bertemu dengan rekan-rekannya. Ia akan uring-uringan saat
suaminya lupa mempersembahkan hadiah pada waktu-waktu yang khusus
baginya. Sementara kepada ibunya, ia memberikan hadiah spesial dan
sebagainya.

Para istri hendaknya memahami bahwa pernikahan bukanlah sarana untuk


mendapatkan hak kepemilikan tunggal terhadap suami. Seperti halnya status
ibu tidak berarti mempunyai hak memiliki dan mengatur anaknya sepanjang
masa. Sebenarnya, hakikat pernikahan adalah proses kerjsama antara kedua
belah pihak (suami-istri) dalam mengarungi bahtera kehidupan yang baru.
Tentunya masing-masing pihak memiliki peran tertentu dalam mengarunginya.

Biasanya permasalahan rumah tangga yang baru terbentuk muncul akibat dari
persepsi yang salah terhadap hakikat pernikahan. Seorang istri misalnya, ia
kerap kali ingin mengatur dan menguasai suami sepenuhnya. Ia selalu saja
ingin mengetahui secara detail sisi-sisi kehidupan suaminya dan bertanggung
jawab untuk menjalankannya. Bila demikian, berarti ia telah menjalankan satu
peranan yang salah, sama persis seperti yang telah dilakukan oleh sebagian ibu
terhadap anak laki-lakinya dengan tidak memberikan kesempatan kepada
mereka untuk mandiri.

Sungguh persoalan ini akan semakin rumit bagi suami, jika pada satu sisi ia
memiliki ibu yang selalu ingin mengatur dan menguasai semua urusan anaknya.
Sementara itu, disisi lain ia juga mempunyai istri yang suka mendominasi dan
mengatur suami. Kondisi seperti ini pasti akan semakin menguatkan timbulnya
konflik yang terjadi antara istri dengan ibu mertuanya. Tentu, yang akan
menjadi korban adalah sang suami yang malang.

Memang betul, istri memiliki hak dari suaminya. Bahkan, hak tersebut
sangatlah besar. Namun, hak tersebut tidak lantas menghalangi suami dari hak-
hak yang lain. Seorang muslim dituntut untuk menunaikan hak kepada
pemiliknya sesuai dengan posisinya masing-masing. Karenanya, bila ia tidak
menunaikan salah satu hak yang harus ditunaikannya, ia dianggap sebagai
orang yang meremehkan dan tidak menunaikan hak dengan baik.

Semoga kita dapat memahami makna pemenuhan hak dengan baik, dari riwayat
salah seorang sahabat Nabi, Salman Al-Farisi, saat mengunjungi rumah Abu
Darda’. Ia adalah seorang yang dipersaudarakan dengan Abu Darda’.
Diceritakan saat Salman mengunjungi Abu Darda’ di rumahnya, ia melihat istri
Abu Darda’ (Ummu Darda’) tengah berpakaian asal-asalan (compang-
camping). Lalu Salman bertanya kepada Ummu Darda’, “Mengapa engkau
memakai pakaian seperti itu?” Ia menjawab, “Saudaramu itu (Abu Darda’)
tidak lagi butuh terhadap urusan dunia.” Salman berkata, setelah itu Abu Darda’
datang dan menyuguhkan makanan sambil berkata kepada Salman, “Makanlah,
saya sedang puasa.” Salman menyahut, “Saya tidak akan makan sampai engkau
juga ikut makan.” Akhirnya keduanya makan bersama.

Ketika awal malam datang, Abu Darda’ hendak melaksanakan sholat sunnah.
Namun, Salman berkata kepadanya, “Tidurlah dahulu.” Ia pun pergi tidur,
seraya memenuhi anjuran Salman. Saat akhir malam tiba, Salman
membangunkannya. Ia berkata, “Sekarang, bangunlah untuk shalat.” Maka
keduanya bangun untuk melaksanakan shalat malam. Setelah itu Salman
berkata, “Sungguh, dirimu memiliki hak yang harus kau tunaikan. Demikian
pula Rabbmu, tamumu, keluarga, dan istrimu, juga memiliki hak yang harus
kau tunaikan. Untuk itu tunaikanlah hak kepada pemiliknya sesuai dengan
porsinya masing-masing.” Kemudian keduanya datang menghadap Rasulullah
dan menceritakan kejadian tersebut. Maka Rasulullah bersabda, “Benarlah apa
yang diucapkan Salman.”

Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam menunaikan hak dan


kewajiban yang diemban kepadanya. Hal ini berdasarkan firman Allah:

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran… “ (Al-
Maidah: 2)

Semoga Allah merahmati seorang istri yang ahli ibadah, yang senantiasa
memotivasi suaminya untuk berbakti dan menaati ibunya. Ia berkata,
”Berjanjilah kepadaku untuk tidak mencari rezeki kecuali dari jalan yang halal.
Dan berjanjilah kepadaku jangan sampai kau masuk neraka gara-gara aku.
Berbaktilah kepada ibumu, sambunglah tali silaturahmi, dan jangan kau
memutus hubungan dengan mereka, agar Allah tidak memutuskan hubungan-
Nya denganmu.”

Beberapa ini merupakan tips yang harus diperhatikan istri, agar hubungannya
dengan ibu mertua harmonis. Tips-tips tersebut antara lain:

 Hilangkan asumsi negatif tentang ibu mertuamu. Posisikan ibu mertua


layaknya ibu sendiri. Jika suatu ketika mertua melakukan kesalahan,
sikapilah seperti kita bersikap kepada ibu sendiri.

 Usahakan agar istri tidak menceritakan setiap hal yang terjadi antara ia
dan ibu mertua kepada suami. Jangan terlalu merengek dan meminta
belas kasihan suami secara berlebihan. Sehingga setan akan
membisikkan keburukan kepada suami, bahwa ibunya adalah orang
yang zalim dan kasar. Ini dikhawatirkan karena lambat laun hal itu akan
menghantarkannya pada kedurhakaan terhadap orang tua.

 Motivasilah suami agar selalu berbakti dan menaati ibunya. Ajaklah


selalu untuk mengunjungi, mencintai dan menyayangi ibunya.

 Jangan sekali-kali mengomentari suami ketika ia mempersembahkan


hadiah untuk ibunya. Sebaliknya, bantulah ia agar semakin sering
memberikan hadiah. Atau kalau bisa, cobalah untuk memberikan hadiah
khusus untuk ibu mertuanya secara rutin.

 Ajarilah anak-anak agar mereka mau mencintai, menyayangi, menaati,


dan menghormati neneknya. Ajaklah mereka untuk selalu
mengunjunginya dan jangan jauhkan nenek dari mereka. Ajarkan
kepada mereka tata cara dan adab berkunjung kepada neneknya.
Terutama jika neneknya sudah sangat tua. Di antara hal yang harus
diajarkan kepada anak-anak saat mereka berkunjung ke rumah
neneknya adalah; jangan sampai membuat kebisingan di hadapan
neneknya. Hindarkan mereka dari kebiasaan membuang sampah
sembarangan dan jangan mengacak-acak barang-barang di rumah.
Tinggalkan rumah nenek dalam keadaan bersih dan tertib.

 Utamakan tuntutan ibu mertua terhadap anaknya (suamimu) daripada


tuntutan dirimu sendiri terhadapnya. Lakukanlah hal ini dengan ikhlas
dan ridha. Dahulukan keinginan ibunya daripada keinginan kita. Jangan
sampai Anda memicu terjadinya konflik, menyalakan api kemarahan,
serta mengangkat bendera permusuhan antara Anda dan suami gara-gara
permasalahan ini. Sebab, jika mertua melihat Anda sering mengalah dan
lebih menghormatinya, tidak diragukan dialah yang selanjutnya yang
akan selalu mengalah dalam banyak hal.

Terakhir, seyogyanya para istri memahami bahwa suatu saat mereka juga akan
menjadi ibu mertua. Oleh karena itu, mulai saat ini, hendaklah mereka selalu
berinteraksi dengan baik terhadap ibu mertuanya. Rasulullah bersabda:
“Kebaikan tidak akan musnah, dosa tidak akan dilupakan, dan Ad-Dayyan
(Zat Yang Membuat Perhitungan –Allah) tidak akan pernah mati. Untuk itu
berbuatlah sesukamu, karena bagaimanapun kamu bersikap, seperti itulah
balasannya.”

4. Suami

Bagaimanapun juga permasalah ini tidak mungkin terlepas dari tanggung jawab
dan peran suami. Sebab dalam realitasnya, sebagian besar perselisihan yang
terjadi antara istri dan ibu mertua disebabkan oleh suami. Ia tidak mampu
bersikap proporsional dalam menunaikan kewajibannya, baik terhadap istri,
anak-anak, rumah barunya, kedua orang tua dan saudaranya. Ia juga tidak
mampu menyeimbangkan kewajibannya terhadap pekerjaan, sumber rezekinya,
dan pergaulan dengan teman-temannya.

Hal ini terjadi sebab mayoritas laki-laki ingin memuaskan setiap pihak dalam
keluarganya. Namun, seringkali mereka tidak merasa bahwa waktu mereka
terbatas, kesibukan menumpuk, dan pengalaman hidup yang dimiliki sangat
minim. Maksud hati memuaskan semua pihak, justru tidak ada satupun yang
terpenuhi. Hal tersebut terjadi karena mereka sangat berambisi untuk
memuaskan semua pihak dalam satu waktu.

Hendaknya seorang suami harus pandai mengatur segala urusannya. Ia juga


harus mampu mengukur secara seimbang antara tuntutan dengan waktu yang
dimiliki. Ia tidak boleh hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada satu
masalah saja dengan meninggalkan masalah yang lain. Bahkan, ia harus
membagi waktunya dengan baik sesuai dengan kewajibannya dan jangan
sampai ada hal yang terlewatkan. Walaupun ia tidak bisa memenuhi masing-
masing kewajibannya secara sempurna, tapi setidaknya ia mampu
menunaikannya secara merata. Sebuah ungkapan mengatakan, “Di setiap satu
kebun, Anda cukup menanam satu bunga saja.”

Untuk itu, semestinya kerabat dekat suami mau membantunya dalam


menunaikan kewajibannya tersebut. Mereka harus memahami bahwa suami
memiliki tuntutan untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah dalam waktu
yang terbatas. Ketahuilah, kewajibannya bahkan lebih banyak dari pada waktu
yang tersedia. Oleh karena itu seharusnya tidak ada satu pihakpun yang
memaksanya melakukan sesuatu di luar kemampuannya, atau sesuatu yang
dapat menyebabkan terampasnya hak orang lain.

Terkadang, ada suami yang mengaku sudah berusaha untuk menyeimbangkan


antara kewajiban dan waktu yang ia miliki. Tapi, ia belum juga berhasil.
Baginya –penulis katakan di sini, bahwa kewajiban manusia adalah berusaha
sekuat tenaga dalam menunaikan kewajibannya, dan tidak boleh merasa lemah
dan putus asa. Sebab Rasulullah bersabda:

“Mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa lemah.”

Jika demikian bagaimana cara menghilangkan perbedaan kebiasaan yang


timbul antara ibu mertua dan menantunya? Perbedaan yang terkadang bisa
berkembang menjadi pertentangan yang meruncing. Masing-masing pihak
merasa bahwa keberadaannya di dalam sebuah kelurga tidak disenangi. Atau
mereka merasa tidak layak menjadi anggota keluarga tersebut. Padahal, mereka
dituntut untuk memiliki loyalitas terhadap keluarganya.

Lalu, mungkinkah ibu mertua menyukai menantunya? Apakah menantu laki-


laki mampu mendapat tempat di hati ibu mertuanya?

Tentang persoalan ini, Prof, Larry Shakestoon, seorang guru besar Psikologi di
Universitas Pennsylvania berkomentar, “Sesungguhnya setiap ibu berharap
memiliki anggota keluarga yang baru. Namun, dengan syarat orang tersebut
tidak membuat sang ibu dijauhkan dari anak-anaknya.”

Sebelum berpindah ke tema yang lain, mari kita simak curahan hati berikut ini,
sebagai renungan bagi semu pihak.

“Hari ini saya akan membicarakan hal yang cukup sensitif. Meskipun demikian
saya harus mengungkapkan karena hal tersebut sangat penting, karena
persoalan ini akan menentukan bahagia dan tidaknya sebuah keluarga (baca:
rumah tangga). Jika seseorang pandai mengatur persoalan ini, kebahagiaan
rumah tangga akan tercapai. Jika tidak, kesengsaraan keluarga akan datang.
Persoalan tersebut adalah hubungan (shilah) antara istri dan ibu mertuanya.

Di dalam sejarah dan adat kebiasaan (‘urf), ibu dari pasangan kita diistilahkan
dengan Al-Hamat (ibu mertua). Alangkah indahnya, jika kita bisa berinteraksi
dengannya di atas dasar bahwa ia adalah ibu (umumah) bagi kita. Hal ini
disebabkan, ibu mertua ibarat pohon yang membuahkan pasangan kita. Sejak
kecil ia mengasihi, melindungi dan memberi minum untuk pasangan hidup kita.
Sehingga pasangan hidup kita saat ini ibarat buah yang dicintai, diharapkan,
dan didamba banyak hati. Sedangkan Anda, wahai istri, orang yang beruntung
dapat memetik buah itu. Lantas, apa kita juga mau menjadi orang yang
memotong pohon yang telah menghasilkan buah itu?

Khusus untuk para istri, saya mengajak Anda untuk senantiasa berlindung di
bawah naungan pohon tersebut, dan menyiraminya dengan tangan Anda sendiri
agar ia bahagia. Pohon tersebut adalah ibu mertua Anda. Tahukah Anda, apakah
yang akan Anda dapatkan di sisi Allah jika Anda menaati perintah Allah untuk
selalu berbuat baik kepada orang tua, termasuk ibu mertua? Sungguh, Anda
akan memperoleh pahala yang sangat besar. Allah telah memberikan nasihat di
dalam kitab-Nya yang mulia, “Dan berbaktilah kepada kedua orang tuamu
dengan baik.”

Sebagaimana Anda ingin selalu meraih ridha dan membahagiakan ibu Anda,
maka lakukan pula hal tersebut terhadap ibu mertua Anda. Dan bertakwalah
kepada Allah dalam hal ini.

Sesungguhnya, durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar (Al-Kaba’ir).


Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah:

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian dosa paling besar?” Para sahabat
menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Rasul bersabda, “Syirik kepada Allah,
berbuat durhaka kepada orang tua, dan kesaksian palsu.”
Hal yang terpenting, bantulah suami Anda untuk menjadi orang yang berbakti
kepada kedua orang tuanya. Nasihatilah ia agar senantiasa melakukan hal
tersebut. Sesungguhnya, bakti Anda pada ibu mertua adalah berkah bagi Anda.
Jika ibu mertua Anda mendapati anak laki-lakinya (suami) membuat Anda
marah, ia akan mencegah dan membuat Anda kembali damai dan ridha.

Sesungguhnya kebahagiaan merupaka hasil dari percampuran cinta dan


kasih sayang antara dua keluarga masing-masing pasangan. Untuk itu,
bagi istri, apakah Anda telah menjadi anak, teman, dan sekaligus kawan
bagi ibu mertua Anda? Dan ibu mertua Anda telah menjadi ibu, teman
dan sekaligus kawan bagi Anda? Saya harap, Anda merenungkan saran
ini.

Selanjutnya, bagi Anda wahai para ibu mertua yang tercinta. Saya
berharap agar Anda memperhatikan hal-hal yang membawa kepada
keselamatan anak laki-laki Anda. Ingatlah ketika Anda sangat
berbahagia menyaksikan pesta pernikahannya. Betapa Anda sangat
menyetujuinya sambil meyakinkan bahwa sang menantu akan Anda
anggap sebagai anak sendiri.

Namun apa yang akan terjadi setelah pernikahan, wahai para mertua? Ingatlah,
sesungguhnya menantu Anda adalah orang yang telah Anda peluk dalam
dekapan hingga kebahagiaan berjalan dalam aliran darah menyemburat
memenuhi wajah Anda. Kemudian, Anda dapat melihat rasa cinta yang ada
pada kedua pasangan setelah pernikahannya. Lantas, mengapa Anda marah
melihat kebahagiaan anak Anda dan istrinya?

Wahai para ibu, saya akan menyalahkan Anda jika Anda tidak menempatkan
menantu pada posisi sebagai anak. Bukankah Anda akan bahagia melihat anak
perempuan Anda tersenyum bahagia, karena suaminya memanjakan dan
menyayanginya. Oleh karena itu, selayaknya Anda mencurahkan kasih sayang
kepada menantu Anda layaknya Anda mencurahkan kepada anak sendiri.

Sesungguhnya, keadilan merupakan syariat Allah. Oeh karena itu, lihatlah


hubungan Anda dengan menantu Anda. Bacalah makna kasih sayang dalam Al-
Quran. Di sana Anda akan mendapatkan bahwa kerabat dekat lebih utama
untuk dikasihi dan disayangi.

Sadarilah bahwa suami adalah belahan jiwa Anda. Maka, anak-anaknya adalah
keturunan Anda juga. Oleh karena itu, penuhilah hatimu dengan kasih dan
sayang kepada pasangan dan anak-anak Anda, agar rumah tumbuh di bawah
naungan cahaya Rabbani.

Rumah yang sengsara adalah rumah yang di dalamnya tidak terdapat cahaya
keridhaan dan doa orang tua kepada anak-anak mereka. Oleh sebab itu, jangan
pernah Anda enggan untuk mendoakan dan mengasihi anak-anak Anda. Sebab,
harta itu pasti akan sirna dan selanjutnya yang tersisa hanya arti dari sebuah
kehidupan yang indah. Kehidupan dalam sebuah kehangatan dan keharmonisan
sebuah rumah tangga.

Janganlah mencari-cari kesalahan menantu Anda, tapi nasihatilah ia.


Sesungguhnya, ia adalah bagian dari generasi yang akan hidup di masa
depan, saat Anda sudah tiada. Oleh karena itu, jadilah Anda sebagai ibu
yang penyayang, sekaligus teman dan kawan sejati terhadap menantu Anda.
Percayalah, kelak ia akan menjadi anak sekaligus kawan sejati bagi Anda
sehingga kebahagiaan di dalam keluarga akan tercapai.”
BAB II

FAKTOR PEMICU KONFLIK

Di pembahasan ini kami akan mencoba menunjukkan gambaran konflik dan ketegangan
antara istri dan ibu mertua. Penulis juga akan mengungkapkan beberapa faktor yang
memicunya. Gambaran ini sengaja penulis suguhkan kepada pembaca karena hal tersebut
sering terjadi di kehidupan berkeluarga. Terindikasi bahwa sebagian besar permasalahan
sebuah keluarga muncul dari ibu mertua.

Pada pembahasan ini juga akan menyertakan solusi atas persoalan-persoalan tersebut.
Solusi tersebut selalu ditinjau dari sisi keimanan, karena dialah pondasi (asas) yang harus
selalu kita jadikan sebagai sandaran hidup. Kita memohon kepada Allah agar Dia selalu
memberika nilai-nilai kebaikan Islam dan kebenaran Iman kepada kita. Beberapa faktor
pemicu konflik tersebut adalah sebagai berikut.

MENIKAHI WANITA YANG TIDAK DISETUJUI ORANG TUA

Dalam banyak hal seorang pemuda sangat ingin menikah dengan perempuan pilihannya
sendiri. Baik perempuan pilihannya itu dari kalangan kerabat dekat bapak, ibu, tetangga,
maupun rekan dekatnya.

Namun dengan berbagai alasan, terkadang sang ibu tidak menyetujui perempuan pilihan
anaknya tersebut. Diantara alasannya adalah terdapat persoalan keluarga yang berlarut-
larut jika perempuan tersebut masih familinya; atau jika termasuk anak tetangga, sang ibu
tidak ingin menjadi besan keluarga itu; atau calonnya itu hanya perempuan sederhana dan
biasa-biasa saja, hingga dia dianggap tidak layak menjadi istri bagi anaknya.

Pada waktu yang sama anaknya merasa bahwa perempuan tersebut adalah perempuan yang
cocok dan serasi dengannya. Karena itu ia menolak untuk tidak menikahi perempuan
tersebut. Sedangkan ibunya tetap enggan mengubah pandangannya terhadap perempuan
tersebut.
Terkadang sang istri mengetahui sikap ibu mertuanya terhadap pernikahan dengan
anaknya. Ia merasa bahwa ibu mertuanya menolaknya sehingga terjadi konflik antara
mereka, saling menolak dan saling melawan. Akhirnya berkobarlah api permusuhan antara
keduanya.

Permusuhan tersebut tidak akan bisa reda jika masing-masing pihak tidak mengubah
pandangan negatifnya. Perselisihan semakin rentan terjadi saat ibu mertua bersikeras
menyangka bahwa pandangannya yang akurat, dan firasatnya yang lebih tajam. Sementara
itu, istri juga bersikukuh menyangka bahwa ibu mertuanya adalah orang yang keras
kepala. Ia menganggap, tidak akan ada seorang pun yang sanggup menghadapi sikap ibu
mertua yang suka melecehkan dan menghina orang lain sepertinya. Akhirnya, suami yang
terkena batunya, dengan menuai kemalangan.

Terdapat tiga hal yang dapat disarankan untuk mengatasi permasalahan ini. Pertama, jika
seorang pemuda hendak menikah, hendaknya ia memusyawarahkan terlebih dahulu
dengan keluarganya. Hendaknya ia juga meminta mereka untuk ikut memilihkan pasangan
untuk dirinya. Jika ia sendiri telah memilih seorang wanita, setidaknya ia menyodorkan
spesifikasinya, mengapa ia memilihnya, serta menjelaskan kelebihan dan keunggulan yang
ia sukai darinya kepada keluarga.

Memang biasanya anggota keluarga akan merasa kesulitan dalam mendatangkan


perempuan yang sesuai dengan keinginan anaknya. Pada saat inilah, seseorang
menyampaikan usulan perempuan yang ia pilih.

Keikutsertaan anggota keluarga dalam memilih –walau hanya sekedar formalitas saja-
dapat menenangkan jiwa dan menjadikan perkara ini sempurna, karena berdasarkan
perspektif seluruh anggota keluarga. Berbeda halnya, jika tiba-tiba anak menentukan
sendiri pasangan hidupnya.

Demikian pula dalam memilih pasangan hidup, selayaknya sang anak memperhatikan
keridhoan sang ibu. Sebisa mungkin, hindarilah memilih pasangan yang tidak diridhoi
sang ibu.

Kedua, seorang ibu seharusnya mendahulukan selera anaknya dari pada selera dirinya.
Jangan sekali-kali memaksanya untuk menikahi perempuan yang tidak sesuai dengan hati
anak, sebab pernikahan adalah hubungan sepanjang hidup. Hubungan ini tidak akan
bertahan lama jika tidak dilandasi dengan keridhoan masing-masing pasangan. Betapa
tidak, keridhoan adalah pondasi terpenting dalam memelihara keberlangsungan ikatan
pernikahan.

Ketiga, ini berkaitan dengan solusi dari permasalahan yang terjadi. Ketika pernikahan telah
terlanjur terjadi dengan orang yang tidak disukai ibu mertua, maka kita memberikan
nasihat kepada istri agar ia menghadapi ketidaksenangan ibu mertuanya dengan senyuman
yang tenang dan tulus. Hadapi ketidaksenangannya dengan cinta dan kasih sayang
sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan yang telah lalu.

Kami sarankan kepadanya agar bersabar dan selalu berharap nilai pahala dari Allah.
Sadarilah, bahwa hal ini merupakan cobaan dari Allah dan bukan merupakan sebuah
kelemahan dirinya. Apalagi jika selama ini ia mampu bersikap baik, menghargai dan
merawat rumah dengan baik. Allah berfirman:

“Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang
yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Al-Furqan:
63)

Rasulullah bersabda:

“Bukanlah orang yang kuat itu seorang pegulat. Sesungguhnya orang yang kuat itu
hanyalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”

Jika seorang istri menghadapi ibu mertuanya dengan sikap kasar, permasalahan tersebut
tidak akan berubah sedikitpun, bahkan perselisihan itu akan terus berkobar dan tidak
akan pernah mereda selamanya.

Kita semua pasti mengetahui bahwa pergaulan yang baik akan banyak mengubah hati
manusia. Interaksi yang baik juga akan mengubah permusuhan menjadi kasih sayang, dan
kebencian menjadi rasa saling mencintai.
Bagi para ibu mertua hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dalam memperlakukan
menantunya. Berikan hak-hak menantu sesuai dengan perintah Allah. Seyogyanya,
ketidaksenangan ibu mertua kepada menantunya tidak boleh membuat hak-hak menantu
terampas.

Dahulu kala, ketika pembunuh Zaid bin Umar bin Khattab dalam perang Yamamah masuk
Islam, laki-laki tersebut pergi untuk menghadap Umar bin Khattab. Saat bertemu, Umar
berpaling darinya. Laki-laki itu bertanya kepada Umar, “Apakah Anda membenciku?”
Umar menjawab, “Ya, betul.” Laki-laki itu berkata, “Apakah kebencian Anda terhadapku
menghalangi kewajibanmu kepadaku?” Umar menjawab, “Tidak.” Laki-laki itupun
berkata, “Kalau begitu tidak apa-apa. Sesungguhnya yang menangis atas nama cinta adalah
wanita.”

BUAH HATI TIDAK KUNJUNG TIBA

Masalah kesuburan dipandang sebagai masalah yang penting. Hal ini dapat sebagai
munculnya pertentangan antara istri dan ibu mertua. Ketika istri terlambat memiliki anak
beberapa tahun, kerisauan seorang ibu mertua semakin hari semakin bertambah. Hal ini
tentunya menyebabkan hubungan antara istri dan ibu mertua agak terganggu. Ia
menganggap menantunya tidak dapat memberikan cucu yang dapat mengisi rumah dengan
kegembiraan dan keriangan.

Dari situlah ibu mertua mulai menyebarkan ‘racun’ pada menantunya dan berusaha keras
membujuk anaknya agar menceraikan istrinya yang mandul, kemudian menikah dengan
perempuan yang lain. Karena menurutnya perempuan lainnya masih banyak.

Tentunya sikap ibu mertua seperti itu dapat membuat perasaan sang istri hancur dan
terluka sehingga ia akan membenci ibu mertuanya karena dianggap tengah mengharapkan
kehancuran rumah tangganya dengan berbagai cara. Ibu mertua dianggap tengah
memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencapainya.

Beberapa istri yang mengalami masalah seperti ini mengatakan bahwa sesungguhnya ibu
mertuanya tengah mengubah hidup bagai neraka. Betapa tidak, setiap hari ibu mertuanya
tidak pernah bosan menanyakan kapan ia akan hamil.
Meskipun suaminya selalu meyakinkan istrinya bahwa ia sangat mencintai dan tidak ingin
menceraikannya, namun ia sering mendengar pertanyaan yang sama dari ibunya, yaitu
tentang kahamilan. Sepertinya, istri dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab
terhadap kemanduluan tersebut.

Akhirnya, ibu mertua menyuruh anak laki-lakinya untuk menikah lagi dengan perempuan
yang lain, jika istrinya tidak juga hamil. Sementara itu sang istri terus menjalani
pemeriksaan dokter. Dan hasilnya menyatakan bahwa secara medis, sang istri tidak
memiliki masalah untuk melahirkan dan memiliki anak. Ditambah lagi, suami tidak
memiliki masalah kemandulan. Jika ia belum juga hamil, karena Allah belum berkenan
memberikannya dan belum mempercayainya menjadi seorang ibu.

Pada kenyataannya, faktor penyebab kondisi istri semakin bertambah buruk ialah
tekanan jiwa yang ia alami terlalu kuat. Bahkan, pada akhirnya ia mendapatkan kata
cerai dari suaminya yang ia cintai dan ia hargai. Setelah diceraikan, wanita tersebut
menikah dengan laki-laki yang lain. Ternyata ia dikaruniai anak dari suami yang lain.

Ada juga seorang istri yang menuturkan kisahnya dengan ibu mertuanya. Ia melahirkan
beberapa anak, namun semuanya adalah anak perempuan. Sedangkan ibu mertuanya tidak
merasa puas dengan cucu perempuan. Oleh karena itu setiap hari mertuanya memintanya
untuk bisa melahirkan anak laki-laki, agar dapat membawa namanya dan menjaga nasab
keluarga. Tentunya, si istri yang malang ini tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Meskipun demikian, ia terus mencoba berulang kali, tetapi tetap saja melahirkan bayi
perempuan. Walaupun kesehatannya melemah, ibu mertuanya tidak pernah berhenti
meminta menantunya untuk melahirkan anak laki-laki.

Sesungguhnya permasalahan ini sering terjadi di banyak rumah. Permasalahan inipun


sering melenyapkan pikiran jernih kebanyakan orang. Terdapat banyak rumah tangga yang
hancur karena masalah ini. Sehingga setiap perempuan yang menikah sering dihantui
perasaan, apakah ia dapat melahirkan (subur) atau tidak.
Padahal, kondisi psikologis seperti ini akan memberikan dapak negatif kepadanya.
Bahkan, bisa jadi dengan sugesti semacam itu, ia menjadi benar-benar tidak bisa
melahirkan anak. Walaupun secara medis, baik suami maupun istri dinyatakan sehat, dan
tidak ada faktor yang menghalangi istri bisa hamil dan melahirkan anak.

Mengenai hal ini, mari terlebih dahulu kita teliti dan kita bedah permasalahan ini dari sisi
keimanan. Seorang istri yang tidak bisa melahirkan, atau istri yang hanya melahirkan anak
perempuan, sepenuhnya karena takdir Allah. Manusia tidak dapat campur tangan
sedikitpun dalam masalah ini. Allah berfirman:

“Kepunyaan Allah lah kerajan di langit dan di bumi, Dia menciptakan apa yang Dia
kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan
memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia
menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-
Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya, Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (As-Syura : 49-50)

Penelitian saat ini menetapkan bahwa yang menentukan jenis kelamin bayi adalah sperma
laki-laki. Allah berfirman:

“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa


pertanggungjawaban)? Bukankah Dia dahulu setetes air mani yang ditumpahkan
(kedalam rahim). Kemudian, mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah
menciptakannya, dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan darinya sepasang laki-
laki dan perempuan.” (Al-Qiyamah: 36-39)

Anak adalah anugerah Allah yang dikaruniakan kepada orang yang Ia kehendaki.
Sedangkan manusia tidak akan ditanya mengenai sesuatu yang berkaitan dengan takdir
Allah. Kewajiban manusia hanya berusaha, sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah.

Dengan demikian, hendaknya seorang istri yang beriman tidak bersedih menghadapi
perkara ini. Semoga hal tersebut menjadi kebaikan baginya. Allah berfirman:
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, apdahal ia sangat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia sangat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Alangkah indahnya jika seseorang ridha terhadap qadha dan takdir Allah. Begitu pula jika
orang mampu menghadapinya dengan ridha dan tenang hati. Seorang yang beriman akan
mampu mengisi hidupnya dengan perkara lain yang dapat mengalihkan perhatiannya dari
masalah yang menimpanya. Dengan demikian, ia dapat meraih ketenangan dan kedamaian.

Anak-anak memang merupakan simbol kesenangan dan kebahagiaan hidup sehingga kita
sangat menginginkan kehadirannya. Namun, kita juga dapat memperoleh ketenangan dan
kedamaian batin dengan cara lain. Jalan tersebut adalah melakukan berbagai bentuk
ketaatan dan ibadah kepada Allah.

Allah berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah, ‘Inginkah aku
kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’ “Untuk orang-orang
yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri
yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (Ali
Imran: 14-15)

Hendaklah diketahui dan dipahami oleh istri yang beriman, apabila suaminya bersabar dan
ridha terhadap qadha dan takdir Allah melalui kemandulannya, maka sikap ini sangat
terpuji baginya. Namun, jika ia ingin menikah lagi demi mendapatkan keturunan, itu
adalah haknya. Allah tidak malu menerangkan yang benar. Sebab dalam syariat Allah,
tidak ada larangan jika istri pertama tetap hidup bersama dalam naungan suaminya.
Apalagi, jika suami tidak menceraikannya. Sadarilah, bahwa pernikahan adalah tameng
istri dalam hidup.

Selain itu, ibu mertua juga harus bersabar menghadapi keadaan menantunya dan tidak
menyakitinya. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminah tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan
dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)

Tidak diperbolehkan menyakiti perasaan, mencaci, dan mencela. Rasulullah bersabda:

”Janganlah engkau tampakkan kegembiraan atas penderitaan saudara kamu, niscaya


Allah akan menyelamatkannya dan akan menimpakan (musibah) kepadamu.”

Sudah semestinya ibu mertua membantu meringankan beban dan kesusahannya. Betapa
banyak istri yang akhirnya hamil setelah menunggu beberapa tahun, padahal ia mengira
semua urusannya sia-sia belaka. Ketika ia sudah pasrah seutuhnya kepada Allah, datanglah
kabar gembira dari Allah Yang Maha Kuasa.

Seharusnya ibu mertua bersikap terhadap menantunya sebagaimana sikapnya bila hal itu
terjadi pada anak perempuannya sendiri. Terlebih, jika ternyata menurut pemeriksaan
dokter, kemadulan itu ada pada anak laki-lakinya, bukan pada menantunya. Jika hal
tersebut terjadi, ia pasti akan berusaha meringankan beban menantunya, memberi nasihat,
dan menganjurkan kepadanya untuk bersabar dan ridha terhadap qadha dan takdir Allah.
Dengan begitu, sang istri akan kuat untuk tetap hidup bersamanya dengan suaminya.

Sebuah ungkapan mengatakan, “Orang yang sehat jika mau memosisikan dirinya sebagai
orang yang tertimpa musibah, tentu ia akan tersentuh hatinya.”

TINGGAL SEATAP DENGAN KELUARGA IPAR

Terkadang ada istri yang tinggal serumah bersama keluarga besar suaminya. Di sana,
tinggal juga beberapa keluarga ipar. Mereka semua ditugasi untuk mengurus rumah, baik
menyediakan makanan maupun merawat rumah. Walaupun hal tersebut sudah jarang
terjadi, namun hal itu masih ada dan merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya
pertentangan antara ibu mertua dan istri.

Masalah tersebut muncul saat ibu mertua melihat sejumlah istri dari ipar berkumpul
dihadapannya. Kemudian ia membandingkan mereka semua. Terkadang ada salah satu istri
yang berusaha merusak hubungan antara ibu mertuanya dan menantu lain. Dengan begitu,
ia bisa menguasai simpati dan cinta ibu mertuanya sendiri.

Terkadang juga terdapat para istri yang bermalas-malasan dalam melaksanakan tugas
rumah tangga sehingga, ibu mertua bertambah marah kepada mereka. Masih banyak lagi
kondisi sebagaimana yang terjadi di atas.

Bagi para istri, yang tinggal bersama keluarga besar suami, kami nasihati bahwa
selayaknya mereka melaksanakan semua kewajiban yang dibebankan kepada mereka
dengan sebaik-baiknya, tanpa harus melihat tugas dan kewajiban para ipar yang lain.

Setelah itu, bangunlah hubungan yang baik dengan ibu mertua seoptimal mungkin. Jangan
bersikap pura-pura dan munafik. Berinteraksilah secara baik dengan para istri yang lain.
Ketahuilah, bahwa hal-hal tersebut merupakan prinsip yang harus dipegang. Jika seseorang
memiliki entitas muslim yang benar, ia telah memiliki seluruh faktor kesuksesan.

Seorang istri semestinya menghindarkan diri dari membicarakan aib, dan menghina
istri orang lain. Sebab jika seorang istri semakin menghormati dan menghargai para
istri yang lain, ia akan semakin dihormati dan dihargai oleh mereka.

IBU MERTUA PELIT, ISTRI GLAMOR

Model begini sering terjadi. Di satu sisi, istri begitu boros dalam mengeluarkan hartanya,
sedangkan disisi lain ibu mertua sangat pelit. Terkadang, model seperti ini juga terjadi
dalam bentuk yang lain. Sebagai contoh, istri begitu berhemat dalam mengeluarkan
hartanya, tapi ibu mertuanya sangat pelit. Bahkan, ibu mertua tidak peduli dengan kondisi
menantunya sedikitpun.

Demikianlah orang yang pelit (bakhil) tidak akan pernah merasa peduli dengan kondisi
orang-orang di sekitarnya. Sejumlah istri banyak yang mengalami masalah seperti ini. Ibu
mertuanya selalu menghitung pengeluaran menantunya dalam segala hal. Misalnya,
menantunya harus memakai pakaian ini, makan makanan ini, membelanjakan harta
suaminya untuk ini dan itu dan sebagainya. Penulis sering mendengar hal yang demikian.

Akan tetapi, jika kita melihat objek pembahasan ini secara mendalam, kita akan
mengetahui bahwa terdapat faktor lain yang mendorong ibu mertua bersikap seperti itu.

Telah maklum bahwa ibu mertua adalah orang tua yang hidup mendahului kita. Tentunya
ia mulai hidup pada zaman sebelum kita lahir. Bisa jadi mereka sudah tidak terlalu sibuk
dengan interaksi di luar rumahnya sejak lama kemudian nilai mata uang zaman dahulu –
saat ibu mertua sering berinteraksi dengan hal yang menyangkut keuangan- tentu tidak
sama dengan nilai mata uang saat ini. Dengan kata lain, nilai mata uang satu pound Mesir
saat ini tidak akan sama dengan nilai mata uang satu pound pada masa 20 tahun yang lalu.
Jadi, jika dahulu seorang ibu dapat membeli sejumlah kebutuhan hanya dengan uang
beberapa pound saja, saat ini untuk mendapatkan kebutuhan yang sama, membutuhkan
uang pound yang berlipat ganda.

Penulis telah menyelidiki sejumlah permasalahan seperti ini. Pada akhirnya, terungkap
bahwa sebenarnya persoalan ini tidak sepenuhnya timbul karena sifat kikir ibu mertua.
Tetapi, persoalannya bersumber dari ketidaktahuannya terhadap perkembangan realitas
pasar.

Jika demikian, mungkin menyelesaikannya tidak sulit. Caranya, ajaklah ibu mertua untuk
pergi belanja bersama Anda. Atau sesekali ajaklah ia untuk ikut bersama Anda membeli
hadiah untuknya. Dengan demikian ibu mertua akan melihat dengan jelas perkembangan
kondisi pasar. Ia pun akan memahami perubahan yang muncul pada zaman ini.

Adapun jika ibu mertua benar-benar memiliki sifat bakhil, maka dalam hal ini kami
memberikan nasihat, hendaknya istri tidak terlalu sering memberitahu ibu mertua
tentang sebagian besar interaksi keuangannya. Hendaknya ia tidak terlalu sering
membicarakan jumlah uang yang dibelanjakan, baik untuk pakaian maupun yang
lain.
Hal ini dilakukan agar tidak mengompori perasaan ibu mertua. Di samping itu, untuk
menghindari dirinya dari perbincangan yang melelahkan dengan ibu mertua karena
biasanya pembicaraan tersebut tidak akan berakhir dengan baik. Terlebih lagi jika ibu
mertua sangat berambisi untuk memiliki harta anaknya. Terkadang ia berprasangka buruk
bahwa menantunya hendak menguasai harta anaknya dan tidak meninggalkan sedikitpun
baginya.

Untuk itu kami menasihatkan kepada istri agar bersikap tengah-tengah dalam berbelanja.
Sebab sifat pertengahan ialah sikap penting yang dianjurkan syariat kepada kita. Allah
berfirman:

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan,


dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.” (Al-Furqan: 67)

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Al-Isra’: 29)

ISTRI MENYIA-NYIAKAN KEWAJIBAN

Terdapat masalah yang timbul antara ibu mertua dan istri. Sebenarnya penyebab masalah
tersebut bertumpu pada satu hal, yaitu kelalaian istri. Terkadang istri mengabaikan
tugasnya merawat rumah, memelihara anak-anaknya, bahkan mengabaikan dirinya sendiri
sehingga berdampak pada kondisi emosional suami dan membuatnya tidak betah di rumah.

Padahal ibu biasanya sangat terpengaruh dengan keadaan anak-anaknya. Ia akan bahagia
seiring kebahagiaan anak-anaknya dan bersedih karena kesedihan mereka.

Banyak istri yang mengeluh tentang buruknya hubungan antara ia dan ibu mertuanya.
Ketika diteliti, disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab perselisihan ini adalah pihak
istri. Ibu mertua berkata, “Menantu saya adalah orang yang teledor. Ia tidak bisa
memelihara rumah, suami dan anak-anaknya. Bahkan, ia juga tidak perhatian terhadap
dirinya sendiri. Lalu bagaimana saya mungkin bisa menyukainya, sementara anak saya
tidak merasa senang dan tenang tinggal di rumahnya.”

Hendaknya setiap istri bisa memahami bahwa merawat dan membersihkan rumah,
mendidik anak-anak, serta memelihara dirinya dengan baik akan membuat ibu mertua
akan merasa senang. Kita semua pasti mengetahui isi hati ibu mertuanya. Bagaimana
perhatian dan kasih sayang terhadap anaknya sebelum ia menikah, sehingga jika ia
melihat menantunya menjalankan peranannya sebagai seorang istri dengan bijak dan
sempurna, tentu ia juga akan menghargai, meridhai, dan mencintainya pula.

Adalagi permasalahan yang cukup krusial, yaitu sering kali ibu mertua tinggal bersama
menantunya dalam satu rumah. Namun sang menantu selalu melalaikan tugasnya dalam
segala hal sehingga beban tugas tersebut sering dikerjakan oleh ibu mertua. Oleh karena
itu, kemarahan dan kebencian ibu mertuaterhadap menantunya akan semakin bertambah.
Kemarahan itu disebabkan, ia telah banyak terbebani dengan sesuatu di luar
kemampuannya. Padahal seharusnya beban ibu mertua diringankan oleh menantunya.

Sesungguhnya sejumlah istri mengira bahwa ibu mertua membiarkannya tidak melakukan
tugas-tugas rumah sebagai bentuk rasa cinta dan penghargaan kepadanya. Bagi sebagian
ibu mertua, hal ini ada benarnya, terutama pada awal-awal pernikahan, sang istri
memfokuskan dirinya untuk memperhatikan dan membahagiakan suami.

Namun, bukan berarti pada hari-hari berikutnya sang istri bisa terbiasa mendapatkan
perlakuan seperti itu dari ibu mertua sehingga ia merasa tidak terbebani sedikitpun dengan
tugas-tugas rumahnya. Meskipun secara lahiriah, terdapat ibu mertua yang tidak begitu
peduli dengan hal ini. Hendaknya diketahui, jika sang istri melalaikan tugas rumah, akan
sangat berpengaruh pada perasaan ibu mertua terhadapnya.

Terkadang ada istri yang berprofesi sebagai pekerja. Konsekuensinya ia akan


menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah. Saat ia bekerja, tugas-tugas
rumahnya sering dilakukan oleh ibu mertuanya.
Ketika berada dalam posisi ini, seharusnya seorang istri segera melakukan tugas dan
kewajiban rumahnya ketika ia kembali dari pekerjaannya. Dengan begitu, dalam benak ibu
mertua tidak ada pikiran jelek terhadapnya. Ketika istri melakukan hal-hal yang demikian,
ibu mertua akan semakin menyayanginya. Ia akan mendapatkan tempat di relung hati ibu
mertuanya. Ibu mertua melihat sebagai seorang yang baik, memahami kewajiban dengan
baik, dan selalu mencurahkan segenap kemampuannya dalam menunaikan kewajiban
tersebut.

PIKIRAN DIPENUHI CERiTA BOHONG

Sebagian orang percaya terhadap ramalan, baik berupa kesialan maupun keuntungan.
Mereka membangun hidup mereka di atas pikiran-pikiran seperti itu. Terkadang, ibu
mertua merasa sial dengan menantunya. Akhirnya, perasaan ini mempengaruhi hubungan
dengan menantu.

Sebaliknya juga, terjadi sikap tertentu yang berkaitan dengan keberadaan ibu mertua di
rumah anaknya sehingga istri merasa selalu sial. Dengan begitu, hubungan dengan ibu
mertua dibangun berdasarkan pengaruh perasaan itu.

Cerita berikut ini akan memperjelas gambaran di atas. Kisah ini diceritakan langsung oleh
orang yang pernah mengalaminya. Ia bercerita, “Ibu mertuaku telah membunuh rasa
cintaku. Ia yang menyebabkan hancurnya hidupku. Aku menikah dengan mantan teman
sekolahku dahulu. Ia adalah anak dari pengusaha besar. Ayah suamiku (bapak mertua)
meninggal dunia setelah beberapa bulan pernikahanku. Saya pasrah, karena usia hidup ini
di tangan Allah semata.

Setelah itu, aku merasa tersiksa karena ibu mertuaku mempercayai khurafat. Ia juga
merasa iri dan sial akan keberadaanku. Ia menganggap bahwa kehadiranku dalam keluarga
mereka merupakan suatu pertanda kesialan dan kemalangan yang menimpa mereka. Ia pun
mulai menghasut suamiku untuk menolakku. Setiap ibu mertuaku terkena demam atau
bersin di pagi hari, ia akan berkata kepada suamiku, “Istrimu yang sial itu adalah
penyebabnya.”
Ia tinggal jauh dari kami, tetapi ia bisa mengusai suamiku. Sampai-sampai ia
menyuruhnya agar tidak memakan makanan di hadapanku, agar tidak terkena iri dengki
(hasud). Hal itu ia sarankan, setelah suamiku tertimpa sakit perut akibat memakan
makanan yang tidak sehat di luar rumah. Hal yang patut disayangkan adalah suamiku
terpengaruh kata-kata ibunya. Setiap kali suamiku melihatku, ia mulai membaca sebagian
ayat Al-Qur’an untuk mengusir iri dengki.

Sungguh perempuan ini telah menghancurkan hidupku. Dirinya tidak akan tenang sebelum
aku diceraikan oleh suamiku. Bahkan hingga saat ini, ibu mertuaku tidak pernah berhenti
menebar khurafat tentang diriku kepada orang-orang yang berada di sekelilingku, sehingga
sebagian besar teman-temanku membenarkan perkataan ibu mertuaku itu. Bagi mereka aku
dianggap sebagai pembawa kesialan. Aku juga dianggap sebagai penyebab kematian, sakit,
atau kecelakaan lalu lintas.”

Seharusnya, kita semua memahami bahwa Islam melarang kita untuk mempercayai
ramalan kesialan (at-tasya’um). Rasulullah bersabda:

“Tidak ada penyakit menular (‘adwa) dan tidak ada ramalan burung (thiyarah). Dan saya
suka akan optimisme (ramalan) yang baik.”

Oleh karena itu, tidak semestinya kita mendasarkan setiap pergaulan dengan orang lain
kepada ramalan (tasya’um). Tidak dibenarkan pula harus mengaitkan sikap tertentu dengan
kesialan. Setiap perkara akan berjalan sesuai dengan takdir Allah. Di dalam masalah ini,
siapapun bisa campur tangan.

PERBEDAAN LINGKUNGAN DAN GAYA HIDUP

Setiap lingkungan memiliki adat dan kebiasaan sendiri. Adat dan kebiasaan ini
merefleksikan karakter penduduk lingkungan tersebut. Adat kebiasaan ini membuat setiap
individu dalam satu kelompok memiliki karakteristik tertentu yang terkadang tidak
dimiliki oleh kelompok lain.

Contohnya, masyarakat pedesaan terbiasa melakukan hal yang menjadi tuntutan hidup
lingkungannya. Hal tersebut seperti mengurus hewan ternak, memeras susu, dan
membersihkan kandang-kandang ternak. Pekerjaan tersebut sesuai dengan karakter
masyarakat pedesaan.

Ketika seorang penduduk pedesaan tidak mampu melakukan beberapa pekerjaan tadi
dengan sempurna, ia akan diremehkan oleh penduduk lainnya. Menurut masyarakat
pedesaan, ia dianggap sebagai orang yang gagal karena dianggap tidak dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik.

Sedangkan menurut masyarakat perkotaan, pekerjaan-pekerjaan tadi bisa dianggap sebagai


sesuatu yang hina dan tercela. Hal ini dianggap karena pekerjaan tersebut dianggap tidak
sesuai dengan karakter dan lingkungan mereka.

Oleh karena itu, jika seorang istri dari kota tinggal bersama suaminya di desa, ia tidak bisa
melakukan pekerjaan-pekerjaan ‘desa’ dengan baik. Padahal bagi penduduk desa,
pekerjaan tersebut mudah dan ringan dilakukan. Hal itu bukanlah suatu aib bagi istri,
melainkan sebuah realitas yang patut dipahami bahwa pengaruh lingkungan sangat
berperan dalam pembentukan karakter keluarga. Bahkan, bisa disinyalir bahwa mayoritas
persoalan ketegangan hubungan antara istri dan ibu mertua dapat bermula dari perbedaan
lingkungan dan gaya hidup tadi.

Kisah nyata berikut ini menggambarkan betapa lingkungan sangat berpengaruh terhadap
kehiduapan. Demikian ceritanya:

“Menurut kerabat dekatnya, Usamah dan Suhad adalah sepasang suami istri yang bahagia.
Awalnya keduanya hidup dalam rumah sendiri walau dipertentangkan oleh keluarga. Akan
tetapi, setelah ayah Usamah wafat, terpaksa ia bersama istrinya harus kembali hidup
bersama ibunya di kampung.

Suhad pun tidak menentang ketetapan suaminya. Hal ini disebabkan, hubungan dengan ibu
mertua dapat menuai ketenangan keluarga. Hanya saja, hubungan ini mulai terjadi
pertentangan setelah mereka hidup berdampingan dalam satu atap. Ibu mertua tidak pernah
berhenti memperingatkan Usamah tentang sikap dan perilaku istrinya yang dianggap salah.
Suhad pun tidak bisa menyembunyikan keluhan terhadap sebagian kelakuan ibu mertua
yang selalu bersikap provokatif. Sehingga, pertentangan di antara keduanya menjadi
rutinitas sehari-hari.
Akhirnya, usamah merasa dilematik. Bak buah simalakama, ia harus berada di antara
ketukan ibunya dan sandaran istrinya. Jika ia condong pada sang ibu, istrinya akan
mengeluh dan berkata, “Aku tahu bahwa ia adalah ibumu dan kamu adalah anaknya.
Sedangkan aku hanyalah orang asing di antara kalian berdua.”

Sedangkan ia condong dan berbaik hati kapada istrinya, ibunya menangis dan berkata,
“Wahai suamiku, setelah kepergianmu, telah datang suatu hari yang menghinakanku. Ya
Allah, percepat hariku agar aku bisa pergi dan berada di sisinya.” Demikian ucapannya
untuk suaminya yang telah meninggal dunia.

Pada akhirnya, setiap ibu mertua meminta menantunya untuk melakukan beberapa
pekerjaan tertentu. Ia menolak dan menganggap pekerjaan itu sangat menghinakan dirinya.
Pekerjaan itu hanya layak dilakukan oleh para petani. Oleh karenanya, ia menolak mentah-
mentah pekerjaan tersebut.

Meskipun Suhad menolaknya, ibu mertua tetap bersikeras memaksanya. Hal tersebut
semakin membuat Usamah semakin bingung dengan sikap keduanya. Semakin hari, suara
mereka semakin keras dan meninggi.

Ibu mertua dengan lantang mengatakan, “Kamu harus melakukan pekerjaan ini.”
Sementara sang istri menolak dan berkata dengan lantang pula, “Aku tidak akan
melakukannya.” Suara-suara tersebut terus berulang, hingga akhirnya Usamah jatuh
pingsan. Setelah kejadian itu, pertentangan antara keduanya pun berhenti. Sampai
saat ini, Usamah masih terbaring di ruang penyegaran karena ulah ibu dan istrinya.”

Solusi bagi persoalan di atas adalah semestinya ibu mertua mengetahui dan mengerti
kebiasaan lingkungan yang memengaruhi karakter menantunya. Di dunia ini, tidak ada
perempuan yang mampu melakukan dengan baik segala bentuk pekerjaan.
Ketidakmampuan istri dalam melakukan sebuah pekerjaan –terlebih pekerjaan itu tidak
biasa ia lakukan sebelumnya- bukanlah sebuah aib baginya.
Seyogyanya pula, seorang istri berinteraksi secara baik dengan ibu mertuanya. Saat ia
memintanya untuk melakukan pekerjaan rumah yang belum bisa ia lakukan dengan baik,
istri jangan menolak mentah-mentah permintaan ibu mertua tersebut. Tolaklah dengan
halus, sopan, dan tidak menimbulkan akibat yang buruk. Misalnya, mintalah kepada ibu
mertua agar ia memberikan tugas rumah yang lain yang sesuai, ringan dan mudah
dilakukan oleh istri. Demikian seterusnya.

Terakhir, penulis akan menceritakan kepandaian dan kecerdikan Imam Ali, dalam
membagi pekerjaan rumah antara istrinya, Fatimah Az-Zahra dan ibunya (Fatimah binti
Asad). Ia membagi tugas-tugas rumahnya kepada masing-masing pihak sesuai dengan
kebiasaan dan kemampuannya. Ali berkata, “Cukuplah engkau wahai anak Rasulullah
(Fatimah Az-Zahra) mengisi air dan mencari segala kebutuhan rumah. Sedangkan tugas
ibunda cukup melakukan pekerjaan di rumah saja, seperti menggiling gandum, membuat
adonan dan membuat roti.”

KECANTIKAN ISTRI

Terkadang sebagian orang menganggap aneh perkara ini. Apa hubungan kecantikan
perempuan dengan pembahasan ini. Namun, sebenarnya banyak permasalahan antara ibu
mertua dan istri yang disebabkan oleh kecantikan istri. Oleh karena itu, ibu mertua tidak
senang kepadanya. Ia menganggap bahwa perempuan tersebut tidak layak menikah dengan
anaknya. Bahkan, anaknya lebih pantas mendapatkan perempuan yang lebih cantik lagi.

Pada hakikatnya, masalah ini memiliki dua sisi. Pertama, istrinya memang tidak begitu
cantik secara bentuk lahiriah. Tetapi, ia sendiri malah memperparahnya dengan akhlak
yang buruk dan lidah yang sering berkata kotor dan kasar. Hal ini tentu akan membuat ibu
mertua semakin tidak menyukainya. Tentunya ini bukan karena dia tidak cantik, tetapi
lebih disebabkan oleh akhlaknya yang tercela.

Penulis sering mendapati kasus seperti ini. Sebenarnya alasan ibu mertua membenci
menantunya lebih dikarenakan oleh akhlak yang buruk, dan bukan dikarenakan
ketidakcantikan rupa dan fisiknya. Hal ini disebabkan, jika hati seseorang sudah merasa
ridha terhadap sesuatu, ia akan mencintai seluruhnya. Sebaliknya, jika ia marah, ia akan
membenci segala sesuatunya. Sebuah ungkapan Arab menyebutkan:

Mata keridhaan akan menghilangkan segala aib

Mata kebencian akan menampakkan kejelekan

Kecantikan wajah bukanlah segalanya bagi manusia. Ada hal lain yang dapat
mengangkat derajad manusia. Hal lain itu adalah akhlak yang mulia, perkataan yang
baik, ucapan yang sopan dan kelembutan hati. Hal tersebut akan mengalahkan
ketidakcantikan wajah. Berapa banyak perempuan yang kecantikan wajahnya biasa-
biasa saja, tetapi ia memiliki hati yang lembut. Justru kecantikan batin (inner beauty)
dapat mengalahkan kecantikan wajah (outer beauty)

Sebaliknya, betapa banyak perempuan yang berparas cantik namun pergaulannya jelek dan
hatinya busuk. Hal tersebut justru akan menghilangkan seluruh kecantikan lahir dan batin
perempuan itu.

Kedua, ibu mertua sering mengira bahwa anaknya tidak layak mendapatkan perempuan
tersebut karena tidak cantik. Lebih aneh lagi, ibu mertuanya mengira, anaknya lebih cakep
dari pada istrinya. Penulis tidak tahu, bagaimana ia membandingkan dan menyerasikan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal kecantikan dan ketampanan? Bukankah biasanya
laki-laki disifati dengan karakternya, bukan ketampanan fisiknya. Misalnya laki-laki
berwibawa, gagah, perkasa dan sebagainya.

Kepada istri yang menghadapi perlakuan seperti itu, hendaknya ia berusaha dengan
sungguh-sungguh meyakinkan ibu mertuanya bahwa kecantikan seseorang tidak hanya
dilihat dari wajahnya saja. Tetapi dilihat dari kecantikan yang menyeluruh, baik cantik
secara fisik (outer beauty) maupun cantik secara hati dan akhlak (inner beauty). Dengan
kata lain, cantik lahir dan batin.

Kita patut bertanya, apakah ketidakcantikan fisik menantunya akan merugikan ibu
mertuanya? Seharusnya ibu mertua memahaminya. Jangan pernah mencela
ketidakcantikan menantunya karena anaknya sendiri yang memilih, mencintai dan
menyayanginya.

Pada zaman dahulu, ada seorang pecinta yang dicela karena ia sering menyebutkan dan
mengunggulkan kecantikan istrinya. Padahal, kecantikan istrinya biasa-biasa saja. Orng itu
lalu manjawab, “Aku melihat istriku dengan mataku sendiri bukan dengan mata kalian.”

Alasannya, mungkin ia melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki istrinya. Sehingga ia


yakin bahwa perempuan pilihannya adalah orang yang sangat cocok untuk menjadi
istrinya. Misalnya, ia lebih melihat kepada ketakwaan dan kesalehan istrinya sehingga
dengan kedua hal itu, istrinya dapat mengurus rumah tangga dan mencintai ibu mertuanya.

Ingatlah, betapa banyak perempuan yang cantik secara lahiriah, namun ia sering
menyebabkan terjadinya perselisihan antar keluarga. Baik perselisihan dengan suami, ibu
mertua, maupun anggota keluarga lainnya.
BAB III

RUKUN DENGAN IBU MERTUA

Pada pembahasan sebelumnya, penulis telah menguraikan gambaran ketegangan hubungan


antara istri dan ibu mertuanya. Perlu penulis tekankan, bahwa hal tersebut bukan berarti
mayoritas hubungan mereka cenderung menuai konflik dan ketegangan. Pada
kenyataannya, banyak istri yang mampu menjalin hubungan harmonis dengan ibu
mertuanya. Begitu pun sebaliknya, ibu mertua dapat merasakan ikatan batin yang kuat
dengan menantunya.

Berikut merupakan beberapa pengalaman menarik yang sempat penulis kutip dari sumber
yang otentik.

MERTUAKU ADALAH MALAIKAT

Seorang istri menceritakan pengalamannya, “Saya menikah sejak sepuluh tahun yang lalu.
Saat ini saya memiliki dua anak; satu laki-laki dan satu perempuan. Terus terang, ibu
mertua saya bagaikan malaikat bagi saya. Tidak ada yang beliau tampakkan kecuali
kebaikan. Bahkan saya hampir mengatakan bahwa semua kebaikan ada pada dirinya.

Ia melanjutkan, “Ibu saya telah meninggal dunia beberapa minggu setelah pernikahan saya
dilangsungkan. Awalnya, saya tidak pernah membayangkan akan memiliki pengganti yang
sesayang ibuku. Namun saat ini saya betul-betul telah menemukannya. Ia adalah ibu
mertuaku. Ia adalah ibu kedua bagi saya. Dengan penuh kecintaan, semua hal ia korbankan
untuk saya. Bahkan kecintaan ibu mertua bukan karena saya semata, namun juga karena
ingin membahagiakan saya dan suami saya. Ia memang seorang ibu yang ideal bagi saya.

Seringkali, ia membantu meringankan beban anak-anaknya walaupun mereka sudah hidup


mandiri dan tinggal berpisah dari orang tuanya. Ibu mertua saya juga mampu
menghapuskan persepsi negatif orang-orang tentang ibu mertua. Baik yang disiarkan
melalui film-film maupun melalui sarana yang lain.”
Wanita tersebut melanjutkan ceritanya, “Dia juga mampu menggantikan posisi saya
sebagai ibu bagi anak-anak saya. Apalagi saat ini saya bekerja di luar rumah sebagai
seorang perawat. Tentunya sebagai seorang perawat saya sering meninggalkan rumah.

Saya sangat menghargai segala sikap yang dilakukan ibu mertua. Sejak pertama kali
menikah hingga detik ini, sedikitpun saya tidak merasakan rasa cemburu ibu mertua
terhadap pernikahan anak laki-lakinya –yang saat ini menjadi suami saya. Perlu
diketahui, setelah suaminya (bapak mertua) meninggal, yaitu lima tahun yang lalu,
ibu mertua tinggal serumah dengan saya. Ia sering saya ajak untuk memecahkan
permasalahan masing-masing, baik permasalahan saya, ibu mertua, suami, maupun
ipar-ipar saya. Begitulah, masing-masing hidup rukun dan harmonis.

MENANGIS KARENA KEMATIAN IBU MERTUA

Kebanyakan orang bertanya heran, “Mengapa kamu sangat bersedih hingga menangis
tersedu-sedu dengan kematian ibu mertuamu? Apakah kamu menganggap ibu mertuamu
sebagai ibumu sendiri?”

Ia berkata dengan sedih, “Wahai ibu mertuaku, bagaimana aku tidak menangisimu.
Suamiku telah memberitahuku bahwa orang yang menyayangi kami telah pergi untuk
selamanya. Bukankah aku dan suamiku adalah belahan hati dan jiwa. Bukankah kasih
sayang yang diberikan kepada suamiku juga engakau berikan kepadaku dan anak-anakku.
Bukankah sudah menjadi kewajibanku untuk merasa takut, khawatir dan gelisah jika kasih
sayang itu hilang dari kami. Sedangkan kasih sayang itu telah bersemi diantara kami
denganmu. Bukankah aku berhak menangis atas kehilangan rasa aman yang selalu engkau
panjatkan dalam doa-doamu?”

Ia melanjutkan, “Saat bersamamu aku tidak pernah merasa khawatir terhadap suamiku.
Aku bahagia melihat suamiku selalu mencium kedua telapak tanganmu saat hendak pergi
bekerja, hingga engkau mengecup dan mengusap kening suamiku, merapikan rambutnya,
dan mengiringnya dengan doa tulusmu. Suaramu wahai ibu mertuaku, seringkali terngiang
di telingaku saat kau berucap kepada suamiku, ‘Semoga Allah menyelamatkanmu dari
mara bahaya di perjalananmu. Ya Allah, berikan rezeki yang halal, cintai ia, jadikan orang-
orang mencintainya. Aku titipkan ia kepada-Mu dari gangguan makhluk-Mu.’

Wanita itu kembali berkata, “Dengan doa itu aku merasa nyaman. Aku berbisik, meskipun
aku terkadang merasa letih memenuhi segala kebutuhanmu, namun doamu kepada kami
cukup memupus keletihan itu. Ya Allah, jagalah ibu mertuaku. Jangan Engkau hapuskan
berkah dan doanya dari kami.”

Kematian memang tidak dapat dicegah, karena ini merupakan hal yang pasti telah dicatat
dalam takdir-Nya. Ya Allah, janganlah Engkau timpakan fitnah kepada kami setelah
kematiannya dan janganlah Engkau halangi pahalanya dari kami. Ampuni dosa-dosa kami
dan dosa-dosa ibu mertuaku.

Wahai ibu mertuaku, sungguh Allah telah memuliakanku dengan kehadiranmu di rumahku.
Engkau telah membawa kami menuju ridha Allah. Akhirnya, kami selalu berdoa, “Ya
Allah, mudahkanlah bagi kami melakukan amal baik yang membuat-Mu ridha kepada
kami.”

Ia kembali melanjutkan, “Adakah amal yang paling baik selain mendekatkan diri kepada
Allah dengan cara berbakti kepada ibu dan kepada suamimu.” Aisyah berkata, “Aku
bertanya kepada Rasulullah, ‘Siapakah orang yang paling berhak dimuliakan oleh wanita?’
Nabi menjawab, ‘Suami.’ Lalu ia kembali bertanya, ‘Siapakah wanita yang paling berhak
dimuliakan oleh laki-laki?’ Rasulullah bersabda, ‘Ibunya’.“

“Aku yakin,” Lanjutnya, “Bahwa ketaatan yang paling utama adalah taat kepada suami.
Sedangkan bentuk penghargaan yang paling tinggi adalah memuliakan kedua orang tua
suami, terutama ibunya. Oleh karena itu, amalan yang aku lakukan kepada suamiku ialah
membantunya untuk berbakti kapada ibu dan keluarganya. Selain itu juga mencegah segala
bentuk fitnah yang dapat menghancurkan keharmonisan keluarga. Terutama fitnah yang
dapat mendorong dan menyebabkan suamiku memutuskan tali silaturrahmi dan berbuat
durhaka terhadap ibunya.

Rasulullah telah bersabda, “Alangkah malangnya, alangkah malangnya, alangkah


malangnya, seseorang yang mendapati orang tuanya di masa renta, salah satunya atau
keduanya, namun hal tersebut tidak menyebabkannya masuk ke dalam surga (karena tidak
berbakti kepada keduanya).”

Aku tidak mungkin membiarkan suamiku dikategorikan sebagai orang yang malang,
seperti tercantum dalam hadist tadi. Sebab, jika suamiku tidak berbakti kepada orang
tuanya, akibat buruknya tidak saja menimpa dirinya, tetapi juga pada diriku dan
keluargaku. Disamping itu, bagaimana mungkin kami menyia-nyiakan kesempatan besar
berupa nilai pahala yang besar dari Allah, dengan berbuat sesuatu yang membuat kedua
orang tua meridhai kami.

Oleh karena itu, aku tidak pernah merasa bosan untuk berdoa di dalam sujudku. Berdoa
agar Allah memberikan kemudahan kepadaku untuk berbakti kepadamu, wahai ibu
mertuaku. Selain itu agar Dia memudahkanku untuk berbuat baik kepadamu dan mencatat
niat ikhlasku dalam berbakti kepadamu. Sedikitpun aku tidak mengharapkan pamrih
apapun darimu dan suamiku, kecuali ridha Allah semata. Hal ini disebabkan, aku tidak
ingin amalanku pupus karena mengharapkan pamrih dari manusia.

Wahai ibu mertuaku, aku hanya bisa berharap agar Allah menerima amal baikku dan
mengabulkan doa-doa yang aku panjatkan. Semoga kematianmu merupakan bentuk kasih
sayang Allah kepadamu yang menjauhkanmu dari azab dan siksa-Nya. Akhirya, aku
kembali memanjatkan doa agar Allah memberikan anugerah berupa amal saleh yang dapat
mendekatkanku dengan-Nya, dan menjadikanku tergolong sebagai orang yang diridhoi-
Nya.”

Terakhir, penulis akan mengambil dua kisah dari wanita-wanita non muslim yang tinggal
di Negara mereka. Hal ini saya maksudkan supaya kita menyadari bahwa umat Islam lebih
patut untuk mengaplikasikan ajaran Islam yang sangat mulia. Sebab. Agama kita sangat
penuh dengan ajaran tentang akhlak yang mulia. Berikut ini kisahnya:

KISAH SEORANG WANITA INGGRIS

Roomstorn adalah salah seorang istri berkebangsaan Inggris yang menceritakan hari-hari
pertama pernikahannya. Ia bercerita, “Saat pertama kali saya menikah, saya meminta
suami untuk tinggal di rumah yang terpisah jauh dari keluarganya. Hal ini bertujuan, agar
rahasia-rahasia pribadi yang terkait urusan rumah tangga kami bisa terjaga. Selain itu,
supaya tidak terlalu banyak memunculkan masalah dengan keluarga suami, terutama
dengan ibu mertua. Meskipun saya pribadi menganggap bahwa saya adalah anaknya juga.
Saya pun menganggap bahwa ibu mertua memiliki hak untuk dihormati, dihargai dan
dimuliakan oleh anak-anaknya, termasuk saya sebagai menantunya. Meskipun saya tinggal
berjauhan, namun saya selalu meminta petunjuk dan arahannya.”

Ia menambahkan, “Saya memperlakukan ibu mertua dengan baik. Tidak layak bagi saya
untuk bersikap sombong di hadapannya. Saya sering mengajak ibu mertua saya untuk
menemani kami makan siang, atau makan malam. Terkadang, suami saya yang sengaja
mengajak ibunya untuk menemaninya makan.”

Ia melanjutkan, “Saat libur mingguan, saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu
mertua. Saya ajak anak-anak untuk berkunjung dan bersendau gurau dengan neneknya.
Sungguh ibu mertua saya sangat mencintai, menyayangi dan memanjakan anak-anak
saya.”

Kemudian Roomstorn menambahakan, “Di dalam sebuah keluarga, ibu mertua adalah
anugerah, bukan bencana. Seandainya seorang istri mampu bersikap dan berinteraksi
secara baik dengan ibu mertuanya, niscaya ibu mertua akan terbuka dan luluh. Ia akan
lebih menghargai dan mencintai kita sebagai menantunya.”

Wanita tersebut menuturkan, “Sebenarnya, tidak semua ibu mertua jahat,


sebagaimana anggapan mayoritas orang. Bahkan, ternyata ada juga menantu yang
sengaja memperlakukan ibu mertuanya dengan tidak baik (zalim). Mereka
menganggapnya sebagai orang yang selalu turut campur mengurus rumah tangganya.“

“Padahal,” ucapnya kemudian, “Pada hakikatnya, perasaan ibu mertua sangatlah kuat
untuk mencintai anak-anaknya. Hingga kadang-kadang ia memperlakukan anak-anaknya
yang sudah besar dan sudah menikah, layaknya anak kecil. Istri yang pencemburu sangat
sulit untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan ibu mertuanya.”

Kemudian ia kembali bercerita, “Dalam situasi konflik antara istri dan ibu mertua, sang
suami harus turun tangan dalam menengahinya. Sehingga, hubungan antara keduanya tetap
harmonis, dan keutuhan keluarga tetap terjaga. Saat terjadi ketegangan antara keduanya,
suami harus pandai memposisikan dirinya. Tengahi mereka dengan cara-cara dan
perkataan yang halus, serta tidak menyinggung perasaan keduanya. Suami tidak boleh
berpihak kepada salah satunya, tetapi harus mampu sebagai penengah bagi keduanya.”

KISAH SEORANG WANITA PERANCIS

Seorang wanita berkebangsaan Perancis bernama Drya, yang bekerja sebagai pembantu
rumah tangga menuturkan pengalamannya. Ia berkata, “Ibu mertuaku adalah seorang yang
memiliki kepribadian agung. Di hadapan banyak orang aku selalu membanggakannya.
Bagiku, ia tidak sebatas seorang ibu, tetapi ia juga seorang sahabat. Istri yang baik adalah
istri yang mengetahui cara bergaul dengan ibu mertuanya. Sejauh ia dapat bergaul dengan
baik dengan ibu mertuanya, sejauh itu pula ketegangan di antara mereka akan sirna.
Bahkan, konflik tidak akan muncul sama sekali.”

Ia melanjutkan, “Sampai saat ini aku tidak pernah berfikir, jika kelak aku sudah menjadi
ibu mertua, bagaimana menantuku memperlakukanku. Sebab, aku yakin setiap orang
dituntut untuk berperilaku yang baik kapan pun, dimana pun, dan kepada siapa pun.”

Wanita itu kembali menambahkan, “Sampai saat ini, aku belum pernah tinggal bersama ibu
mertuaku. Jadi saya tidak dapat menebak secara pasti, apakah hubungan saya dengan ibu
mertua akan menegang atau tidak. Meskipun demikian, saya sering mendengar opini
negatif tentang ibu mertua. Tetapi saya tidak mempercayainya sedikitpun, karena saya
sendiri tidak pernah melihat dan mengalaminya. Bagiku, opini tersebut adalah hal yang
dibesar-besarkan saja.”
BAB IV

TIPS DISAYANG IBU MERTUA

Sebenarnya, usaha untuk memperoleh hati ibu mertua tidaklah sulit, asal hati kita tulus dan
memiliki tekad yang kuat untuk melakukannya. Selain itu, asalkan kita rajin memohon
pertolongan kepada Allah agar dijauhkan dari tipu daya setan dan egoisme diri kita.

Berikut ini penulis akan memaparkan beberapa tips yang dapat membantu segenap istri
dalam meraih hati ibu mertua agar mereka disayang ibu mertua. Tips ini diyakini dapat
mebuka pintu hati mereka. Siapa yang terus-menerus mengetuk pintu hati, hati akan
terbuka untuknya. Tips tersebut antara lain:

1. UCAPKAN KATA-KATA YANG BAIK

Perkataan yang baik memiliki pengaruh yang sangat menakjubkan untuk meluluhkan hati
seseorang. Apalagi jika diucapkan dengan wajah yang berseri dan murah senyum. Hal
tersebut akan dapat mengubah pintu hati siapapun. Bahkan ia dapat mengubah permusuhan
menjadi rasa saling mencintai dan menyayangi.

Allah berfirman:

“…Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada
permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34)

Penulis kira, hubungan istri dan ibu mertua tidak akan sampai pada derajat permusuhan
abadi. Konflik yang muncul antara keduanya biasanya disebabkan oleh kesalahpahaman
atau kecemburuan. Dari sinilah perkataan baik yang terucap dari suami atau istri terhadap
ibu mertuanya akan sangat bernilai di sisi Allah. Dia berfirman:

“…Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-
Nya…” (Fathir: 10)
Rasulullah bersabda:

“Perkataan yang baik adalah sedekah.”

Dalam hadist lain beliau bersabda, “Jangan kalian menganggap remeh kebaikan.
Walaupun kalian bertemu dengan saudaramu sambil menampakkan wajah yang berseri.”

Oleh karena itu, suami atau istri yang tidak memperhatikan perkataan yang baik dalam
berinteraksi dengan orang lain terutama ibu mertua, ia tidak akan memperoleh pahala
kebaikan yang besar dari Allah. Mayoritas istri sering mengumbar perkataan-perkataan
yang menyakiti ibu mertuanya. Bahkan, setiap dari mereka menghadapi ibu mertua dengan
wajah yang kusam, kusut, sinis dan cemberut. Terkadang, kita juga menemukan sebagian
istri yang beralasan, “Ibu mertuaku juga menyambutku dengan wajah yang sinis.”

Sepintas, sikap dan alasan tersebut seolah-olah benar. Tapi kita perlu bertanya, seperti
itukah akhlak yang diajarkan oleh Islam? Jika demikian, dimana usaha kita untuk melawan
hawa nafsu dan ego diri? Mengapa kita tidak memulai untuk menebar dan menyampaikan
kebaikan dari diri kita. Cobalah untuk memulai dari sikap yang baik dari diri kita sendiri.
Lakukan satu, dua, hingga beberapa kali, karena demikian kita akan memperoleh nilai
kebaikan yang melimpah.

Sebelum mengerjakan apapun, ingat dan harapkanlah pahala dari Allah. Hal ini
dikarenakan, nilai dan pahala dari Allah lebih baik dan kekal. Janganlah tertipu dan terlena
oleh rayuan setan. Tidakkah kita tertarik untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang disayang
Allah. Adapun sikap hamba-hamba kekasih Allah tercermin dalam firman-Nya:

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu (ialah) orang-orang yang berjalan di
atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Al-Fur’qon: 63)

Alangkah indah sebuah ungkapan, “Jadilah kamu bagaikan pohon. Ia dilempari orang
dengan batu, namun ia melempari mereka dengan buah-buahan yang enak.”
Demikianlah, akhlak berinteraksi dengan orang lain yang diajarkan dalam Islam. Tentunya
keluarga dan kerabat dekat lebih berhak mendapatkan sikap yang terbaik dari kita.
Rasulullah bersabda:

“Kalian akan membebaskan negeri Mesir, yaitu sebuah negeri yang dinamai dengan Al-
Qirath. Jika kamu telah menaklukannya, berbuat baiklah kepada penduduknya, karena
mereka berada dalam jaminan (dzimmah) dan merupakan keluargaku.” Dalam riwayat
lain beliau bersabda, “Disana terdapat kerabatku disebabkan pernikahan.”

Para ulama menjelaskan penafsiran hadist di atas, kerabat dalam hadist tersebut
maksudnya keturunan Hajar, ibu Nabi Ismail. Sedangkan maksud kerabat dari pernikahan
maksudnya Mariyah, Ibu Ibrahim putra Rasulullah.

Lebih dari itu, Islam mengajarkan akhlak mulia yang lain. Hendaklah seseorang
menyambung tali silaturrahmi dengan rekan-rekan dan sahabat dekat ayah-bundanya.
Rasulullah bersabda:

“Sungguh kebaikan yang mulia adalah seseorang yang menyambungkan tali silaturrahmi
dengan sahabat dan kerabat ayahnya, setelah ayahnya meninggal dunia.”

Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Nabi memuliakan keluarga istri-istri beliau.
Aisyah menceritakan, “Halah binti Khuwailid (saudari Khadijah) meminta izin kepada
Rasulullah. Setelah meminta izin, kemudian Beliau teringat cara meminta izin Khadijah.
Dengan begitu Nabi merasa damai. Kemudian Beliau bersabda,”Ya Allah, ini adalah
Khalah binti Khuwailid.”

Bukankah ibu mertua lebih berhak mendapatkan perlakuan baik seperti ini. Terlebih, ia
adalah orang yang paling dekat di hati anaknya. Maka dari itu, mencintai orang tua adalah
bukti kita mencintai suami. Begitu pula keridhaan ibu mertua adalah juga keridhaan suami.

2. JANGAN UCAPKAN, “KAMU MEMILIH ISTRIMU ATAU IBUMU?”

Jangan posisikan suami berada di antara dua pilihan. Antara memilih Anda atau ibunya.
Sikap seperti itu dapat menghancurkan tatanan keluarga karena ibu adalah ibu, dan istri
adalah istri. Siapapun yang dipilihnya hanya akan menyebabkan kecemburuan dalam dada
dan menyalakan api kedengkian antara istri dengan ibu mertuanya.

Patut disadari pula jika kondisi seperti ini benar-benar terjadi, pada akhirnya suami
memilih ibunya, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyalahkannya. Sebab, tidak
ada satu alasan pun di dunia ini yang mebenarkan seseorang untuk membuat marah
ibunya. Tentunya dengan catatan selama ini ia masih dalam ketaatan kepada Allah.

Oleh karena itu tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa perasaan seorang ibu
biasanya lebih tepat dari pada perasaan seorang istri kepada suaminya. Di dalam suatu
riwayat dikisahkan bahwa Shakhr bin Amr bin Asy-Syarid ditimpa penyakit yang berat dan
berkepanjangan. Istri dan ibunya lalu merawatnya. Keduanya menunggu, menemani dan
menyediakan keperluan-keperluan selama masa sakitnya. Namun begitu, sakit Shakhr
tidak kunjung sembuh.

Suatu ketika, sang istri, Sulaima, ditanya tentang kabar suaminya. Lalu menjawab dengan
keluh kesah, “Ia tidak dapat diharapkan hidup, namun juga tidak mau mati.”

Jawaban itu terdengar oleh suaminya, Shakhr. Kemudian ia mengatakan beberapa bait
syair yang menuturkan perbandingan antara perasaan istri dan ibu. Singkatnya, istri tidak
akan mampu bertahan sekuat seorang ibu mengurus anaknya. Betapa tidak, kasih sayang
seorang ibu terhadap anaknya jauh lebih besar dibandingkan kasih sayang seorang istri
kepada suaminya.

Aku lihat ibu Shakhr tidak pernah merasa bosan menjengukku

Sedangkan Sulaima telah jenuh dengan tempetku berbaring

Aku tidak khawatir menjadi mayat

Maka, hati-hatilah dengan orang yang terperdaya dengan sebuah omongan

Aku bersumpah, aku telah mengingatkan orang-orang yang tengah tidur.

Dan memperdengarkan sesuatu kepada orang-orang yang memiliki pendengaran

Siapapun yang menyamakan ibunya dengan istrinya


Ia tidak akan hidup kecuali dengan kerugian dan kehinaan

3. POSISIKAN SEPERTI IBU SENDIRI

Seandainya seorang istri menganggap ibu mertuanya seperti ibunya sendiri. Lalu ia
memperlakukan ibu mertuanya layaknya ibunya sendiri, niscaya tidak akan banyak timbul
persoalan antara antara istri dengan ibu mertua.

Setiap istri hendaknya menyadari bahwa bila ia menghargai dan menghormati ibu
mertuanya sama halnya dengan ia menghormati dan menghargai suami. Marilah kita
teladani bagaimana Nabi memperlakukan bibinya layaknya ibu sendiri. Hal itu dilakukan,
karena bibinya mencintai semua keponakannya (termasuk kepada Nabi). Beliau bersabda,
“Bibi dari ibu posisinya sama seperti ibu.” Berdasarkan hadist itu semestinya ibu mertua
juga diperlakukuan sama seperti ibu sendiri.

Adapun sebagian istri memanggil ibu mertuanya seperti memanggil seseorang wanita
asing yang tidak dikenalnya dan tidak ada tautan kasih sayang sedikitpun, seperti ia
memanggil dengan ,”Wahai ibu si fulan.” Tentunya panggilan-panggilan seperti itu
terkesan tidak sopan. Bahkan, bisa jadi ibu mertua akan mengira kalau sang menantu tidak
menghormatinya sama sekali.

Alangkah indahnya jika menantu memanggil ibu mertua dengan panggilan kekerabatan,
seperti, “Wahai ibuku tersayang,” dan sebagainya.

Marilah kita contoh bagaimana Nabi memanggil besannya, Fatimah binti Asad, ibu Ali bin
Abi Thalib dengan sebutan, “Anti ummi ba’da ummi (Engkau ibu keduaku).”

Hal tersebut beliau lakukan karena ia begitu baik kepada Nabi Muhammad. Penulis juga
yakin bahwa Fatimah binti Muhammad pun bersikap sangat baik kepada ibu mertuanya
(Fatimah binti Asad).
4. BERILAH HADIAH

Sekecil apapun hadiah yang Anda berikan kepada ibu mertua pada momen-momen yang
membahagiakan atau momen-momen spesial baginya, dapat membuka pintu hatinya
sehingga dengan mudah ibu mertua mencintai dan menyayangi kita sebagai menantunya.

Oleh karena itu Rasulullah bersabda:

“Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian akan saling mencintai.”

Misalnya, jika Anda berada dalam sebuah perjalanan yang jauh, lalu ketika pulang Anda
membawakan sebuah hadiah untuk ibu mertua. Ia akan merasa seakan-akan Anda telah
membawakan untuknya dunia beserta isinya. Ia akan segera mengetahui bahwa Anda
selalu ingat kepadanya dan tidak melupakannya. Hadiah itu akan mengungkapkan
kepadanya betapa Anda begitu perhatian kepadanya.

Sekantong buah-buahan kesukaan ibu mertua yang Anda –para menantu- berikan saat
berkunjung ke rumahnya, atau sengaja Anda berikan kepadanya saat ia tinggal di rumah
kita, semua itu akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam meluluhkan hati ibu
mertua.

Terkadang, ibu mertua menginginkan agar menantu keluar rumah untuk berbelanja
memenuhi kebutuhannya. Ketika menantu kembali, ia berharap dibawakan oleh-oleh
kesukaannya. Bukan sudah rahasia lagi jika ibu mertua hendak mengungkit-ungkit
kejelekan menantunya., ia akan mengatakan, “Ia selalu datang mengunjungi kami dengan
tangan hampa. Ia tidak pernah sedikitpun membawakan buah tangan untuk kami.”

Sebenarnya, hadiah sederhana yang diberikan menantu kepada ibu mertua akan
memberikan kesan yang sangat menakjubkan. Hal ini disebabkan, sebuah hadiah
tidaklah dilihat dari nilainya, tetapi dilihat dari kesan yang ditinggalkan dalam hati ibu
mertua.
Ibu mertua akan berpikir bahwa sang menantu tidak pernah melupakan kehadirannya. Ia
juga percaya, saat-saat yang pernah dilalui dalam hidupnya selalu diingat dan diperhatikan
oleh menantunya. Apalagi jika saat memberikan hadiah tersebut, diselipkan perkataan-
perkataan ringan yang mengungkapkan kasih dan sayang kepada ibu mertua. Tidak
diragukan lagi, semua itu akan terasa indah dan berkesan di hatinya. Sungguh baik orang
yang memberikan sebuah hadiah sederhana kepada orang yang dicintainya.

Jadi, hal yang paling berkesan bagi ibu mertua adalah bagaimana cara menantu
memberikan hadiah tersebut kepadanya. Bukan jenis dan nilai hadiah itu sendiri.

5. KUNJUNGILAH

Ketika ibu mertua tidak tinggal di rumah anaknya, maka mengunjunginya akan
memberikan pengaruh yang besar di hati sang ibu. Denikian juga suami yang mengunjungi
rumah ibu mertuanya. Saling mengunjungi merupakan sarana ideal untuk memperkuat
ikatan kasih sayang antara ibu dengan anak-anaknya. Hal tersebut dapat membuat hati
sang ibu ataupun ibu mertua merasa dekat dengan anak-anaknya.

Namun, kunjungan tersebut seharusnya diliputi dengan suasana kasih dan kebahagiaan.
Untuk itu, saat suami atau istri melangkahkan kakinya untuk mengunjungi ibu mertuanya,
masing-masing harus menyadari bahwa ia sedang menunaikan sebuah amalan agung yang
akan mendapat pahala dari Allah. Sebuah kunjungan yang bertujuan untuk birrul walidain
(berbakti kepada orang tua) dan silaturahmi tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh
nilai pahala dari Allah.

Sementara itu, saat ibu mertua melihat menantunya mengunjunginya, menanyakan


kabarnya dan selalu peduli dengan kondisi ibu mertuanya; ia akan merasa senang dan
bangga memiliki menantu yang demikian berbakti.

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu mengunjungi sahabat dan rekan-
rekannya. Logikanya, Islam lebih menekankan umatnya untuk sering mengunjungi
keluarganya dan kerabat dekatnya.
6. MINTALAH NASIHAT

Bisa dibayangkan, saat seorang istri dirundung masalah dan kebingungan, kemudian ia
segera meminta pendapat dan nasihat dari ibu mertuanya, tentu sikap seperti itu akan
sangat berkesan di hati ibu mertua. Ia akan merasa dianggap keberadaan dan perannya.

Tidaklah salah ketika menantu belajar memberitahukan keluh kesah dan permasalahannya
kepada ibu mertua, atau meminta nasihat dan arahan darinya, meski sebenarnya ia tidak
perlu melakukannya.karena hal tersebut akan memantapkan kepercayaannya terhadap ibu
mertua. Selain itu juga akan membuat ibu mertua merasa bahwa dirinya diperlakukan oleh
menantu layaknya ibu sendiri. Sementara itu, tidak ada sesuatu yang lebih membahagiakan
ibu mertua jika ia merasa bahwa menantunya begitu membutuhkannya dan sangat ingin
menimba pengalaman hidup darinya.

Bahkan, hal yang paling membuat ibu mertua merasa bahagia saat sang menantu
memintanya untuk menceritakan hal-hal yang sangat khusus tentang anak laki-lakinya
(suami). Ia pun akan merasa bahwa menantunya ingin mengetahui lebih dalam perihal
anak laki-lakinya –dan memang dia lah yang paling tahu tentang anaknya, karena ia adalah
ibunya. Mertua adalah orang yang paling tahu tentang hal itu. Dialah yang telah mendidik,
mengurus dan membesarkan anaknya dengan tulus ikhlas sejak kecil hingga menikah.

7. BAHAGIAKANLAH HATI SUAMI

Setiap istri mengetahui bahwa ketenangan, ketentraman dan kerukunan dengan suami
dalam mengarungi bahtera rumah tangga dapat berpengaruh terhadap sikap ibu mertua.
Hal ini karena kerukunan suami-istri memberikan suatu bukti kepada ibu mertua jika
anaknya hidup bahagia. Dengan demikian, hati ibu mertua akan tenteram dan tidak akan
mengkhawatirkan anaknya.

Sejumlah persoalan yang timbul antara istri dan ibu mertua sering bermula dari
ketidakpercayaan ibu mertua terhadap menantu perempuan dalam mengurus dan
membahagiakan hati suami. Ia khawatir menantu tidak mampu menjalankan tugas-tugas
dengan baik, seperti yang ia lakukan untuk menguus anaknya sebelum ia menikah.

Jika seorang ibu melihat pernikahan anaknya tidak membawa kebahagiaan dan
ketentraman, ia akan bersedih dan mengeluh. Akhirnya, ia akan menyangka bahwa
menantunya adalah penyebab itu semua. Oleh karena itu, seyogyanya seorang istri
berusaha mewujudkan ketenangan hidup bersama suaminya agar hubungan dengan ibu
mertua juga harmonis.

8. MINTALAH PENDAPAT DALAM MEMBERI NAMA ANAK

Mungkin pendapat ini sedikit memancing pertanyaan para istri. Apa hubungan memberi
nama anak dengan ketegangan antara istri dan ibu mertua? Sebenarnya, hubungannya
sangat erat. Terutama bagi sebagian keluarga.

Misalnya, saat keluarga baru dikaruniai bayi, ayah dan ibunya akan memilihkan nama
yang terbaik. Terkadang istri meminta suami agar bayinya –jika berkelamin laki-laki –
dianamai dengan nama bapaknya. Atau jika perempuan dinamai dengan nama ibunya.

Meskipun hal itu sah-sah saja, namun sering menimbulkan efek negatif terhadap sikap ibu
mertua. Ia akan merasa bahwa anak laki-lakinya telah diatur dan dikendalikan penuh oleh
istri. Padahal, menurutnya nama bayi harus disandarkan kepada pihak suami. Inilah faktor
pemicu kemarahan ibu mertua terhadap menantunya.

Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada setiap pasangan suami-istri agar
menghindari konflik yang disebabkan oleh masalah penamaan bayi. Sebisa mungkin,
hindari menamai bayinya dengan nama yang diambil dari unsur salah satu dari dua pihak
keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga istri. Kecuali jika hal tersebut disepakati
oleh kedua belah pihak.

Istri yang cerdik adalah istri yang mampu mengajak ibu mertua untuk bersama-sama
membicarakan dan memilihkan nama untuk bayinya.

9. SELALU MEMBERI KABAR GEMBIRA


Jika suami istri tinggal di tempat yang jauh dari orang tua hingga keduanya tidak bisa
sering mengunjunginya, seyogyanya mereka rutin mengirim kabar. Baik kabar melalui
surat, telepon, maupun sarana lainnya. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh dalam
membuka pintu hati ibu mertua, karena ia merasa diperhatikan oleh anak dan menantunya.
Apalagi jika surat yang dikirimkannya itu penuh dengan kata-kata yang mengungkapkan
rasa cinta, kasih sayang dan rasa hormat kepada ibu mertua.

BAB V
KELUARGA DALAM KHASANAH MASYARAKAT TRADISIONAL

Khasanah masyarakat tradisional dikenal kaya dengan sejumlah ungkapan dan peribahasa
yang berkaitan dengan masalah keluarga, hubungan suami-istri dan hubungan antara istri
dan mertuanya.

Sebelum membahas lebih lanjut, penulis perlu tegaskan bahwa ungkapan dan peribahasa
dalam khasanah masyarakat tradisional yang terkait dengan permasalahan ini, tidak dapat
kita terima seluruhnya. Namun, kita juga tidak dapat menolak semuanya. Semua ungkapan
itu harus kita kembalikan pijakannya kepada pokok-pokok ajaran Islam. Jika ungkapan itu
sesuai dengan ajaran Islam, kita terima. Namun, jika bertolak belakang dengan ajaran
Islam, tentu harus kita tolak.

Kita dapat memaklumi bahwa khasanah masyarakat tradisional itu sendiri merupakan
produk budaya yang dihasilkan dari pengalaman – pengalaman hidup manusia saat itu.
Dengan demikian, khasanah tersebut dapat berubah seiring berubahnya waktu, tempat dan
karakter manusia. Oleh karena, produk budaya ini sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai
pedoman hidup manusia.

Atas landasan itulah penulis berinisiatif untuk mengumpulkan sejumlah besar ungkapan
yang berkaitan dengan masalah keluarga. Penulis juga mencoba mendiskusikan dan
membahasnya lebih lanjut agar kita mengetahui sejauh mana ungkapan tersebut
memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan rumah tangga.

Jika kita simak ungkapan-ungkapan yang ada, kita akan mengetahui bahwa di antara
ungkapan tersebut ada yang membahas tentang proses memilih pasangan hidup sebelum
dilangsungkan pernikahan. Terkait dengan pembahasan ini, ungkapan tersebut
menganjurkan para laki-laki agar selektif dalam menentukan calon istrinya. Pilihlah istri
yang sesuai dan cocok dengannya, baik lahir maupun batin. Ada juga ungkapan yang
menjelaskan tentang standar kriteria yang harus diperhatikan saat memilih calon pasangan.

Di samping itu, terdapat pula ungkapan yang menganjurkan pihak keluarga istri untuk
selektif dalam menentukan calon pasangannya. Ungkapan-ungkapan yang memuat
pembahasan di atas sesuai dengan yang diajarkan dalam syariat Islam. Yaitu setiap orang
harus pandai memilih calon pasangannya dengan baik. Berikut ini adalah contoh ungkapan
tersebut:

o Bertanyalah tentang pasangan hidupmu, niscaya akan tampak ,mana yang cocok
dan mana yang tidak.

o Nikahilah wanita dari keturunan baik-baik, meskipun ia di dalam tahanan


(hashirah).

o Nikahilah wanita yang jelas dan baik asal-usulnya, karena masa yang akan dijalani
tidaklah singkat.

o Nikahilah wanita yang baik akhlaknya, niscaya kau akan bersenang-senang


dengannya walaupun dalam situasi sulit.

o Lelaki yang menikahi wanita lebih tua darinya, cenderung banyak timbul masalah.

o Wahai yang menikahi wanita berakhlak seperti kera karena landasan hartanya,
ingatlah sesungguhnya harta akan lenyap sementara karakter buruknya akan tetap.

o Jika terdapat cacat, orang tuanya yang dapat menyembuhkannya.

o Jika kamu hendak menikah, carilah pasangan yang sederhana.

o Lamarkan olehmu calon suami untuk anak perempuanmu, dan biarkan anak laki-
lakimu sendiri melamar calon istrinya.

Selain itu, kita dapat menemukan sejumlah ungkapan yang menerangkan tentang
standar dan cara untuk mengetahui asal-usul calon pasangan. Seorang laki-laki dapat
mengetahui karakter dan watak calon istrinya melalui akhlak dan watak ayah, ibu, serta
kerabat dekat calon istrinya tersebut. Seperti halnya, wanita juga dapat mengetahui
karakter, watak, dan asal-usul calon suaminya dengan melihat karakter ayah, ibu serta
kerabat dekatnya. Berikut ini adalah ungkapan yang membahas hal tersebut.
 Anak laki-laki akan memiliki karakter seperti pamannya, sedangkan anak perempuan
akan memiliki karakter seperti ibu dan bibinya.

Adapun ungkapan yang menerangkan tentang peran dan posisi ibu mertua dan
hubungannya dengan menantu, kita menemukan ungkapan yang cenderung menyatakan
asumsi negatif terhadap ibu mertua. Telah diungkapkan bahwa ibu mertua adalah musuh
bagi keluarga yang baru terbentuk, terutama bagi menantunya. Terkadang dalam ungkapan
tersebut disinggung tentang anjuran bagi para menantu untuk mewaspadai ibu mertuanya.
Ada pula yang menyatakan bahwa perselisihan antara ibu mertua dan menantu adalah hal
yang tidak mungkin ditemukan solusinya, karena merupakan masalah yang turun-temurun.

Terdapat pula penjelasan bahwa kebahagiaan rumah tangga akan sangat bergantung kepada
keridhoaan ibu mertua. Dengan kata lain, kebahagiaan sebuah keluarga tergadai dengan
keridhaan ibu mertua. Jika ibu mertua meridhai dan merestuinya, maka ketenangan,
ketentraman dan kebahagiaan keluarga akan terjamin. Tetapi jika ibu mertua marah dan
tidak ridha terhadapnya, rumah tangga akan berubah seperti neraka.

Memperhatikan kandungan sejumlah ungkapan yang mengkambinghitamkan ibu


mertua tersebut, penulis pikir tidak selayaknya mempercayai dan menerima
ungkapan-ungkapan seperti itu begitu saja. Bahkan, menjadikannya sebagai standar
ukuran. Hal ini karena ungkapan berdasarkan pengalaman-pengalaman hidup
manusia yang cenderung memiliki dua sisi: mungkin benar dan mungkin juga salah
atau keliru. Tidak adil jika kita memukul rata setiap ibu mertua dengan sikap jelek
seperti yang digambarkan dalam kandungan ungkapan dan peribahasa tadi.

Pada kenyataannya, banyak kita temukan tipe ibu mertua yang sangat bijak dan baik
terhadap menantunya. Bahkan, lebih baik dari pada ibunya sendiri. Tapi, kenyataannya
tidak menutup kemungkinan ada juga ibu mertua yang mempraktikkan banyak hal lebih
dari apa yang terdapat dalam ungkapan – ungkapan mengenai ibu mertua seperti di bawah
ini:
 Jika hasil padi sebanyak jerami, mertua akan sayang menantu.

 Cukup bantu ibu mertuamu, niscaya istrimu akan ridha padamu.

 Bagi yang tidak menghargai ibu mertua bisa menghargai istrinya.

 Sebelum menikah, calon menantu disayang, tetapi setelah menikah, ia tidak


akan disayang lagi.

 Mertua ibarat demam yang menyerang dan ipar ibarat kelajengking yang
beracun.

 Air selalu melawan api. Demikian pula mertuaku, ia tidak boleh tinggal
bersamaku.

 Urus saja dirimu sendiri, wahai mertuaku. Aku hanya cinta istriku.

 Ciumlah tangan mertuamu, jangan kau cium tangan istrimu.

 Mertua menyebalkan, ceraikan saja anak perempuannya.

 Sudah kodrat, mertua membenci menantunya.


BAB VI

KISAH MERTUA – MENANTU

DALAM SEJARAH ISLAM

MERTUA YANG MENGETAHUI APA YANG DIKAGUMI LELAKI

Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berwasiat kepada puterinya, “Jauhilah rasa cemburu
(yang berlebihan—pent), karena hal itu merupakan kunci perceraian. Janganlah kamu
sering mencela, karena hal itu dapat meninggalkan kebencian. Pakailah celak karena
merupakan sebaik-baik perhiasan. Dan wewangian yang paling baik adalah air.

WASIAT BERHARGA DARI IBU MERTUA

Amr bin Hijr, raja Kandah, melamar Ummu Iyas binti Auf bin Mahlam Asy-Syaibani.
Ketika menjelang malam pertama, ibu Ummu Ilyas memberikan wasiat berharga padanya,
sedangkan binti Al-Harits berada di depannya. Ia mengucapkan sebuah wasiat yang
mengandung dasar-dasar untuk meraih kebahagiaan hidup berkeluarga dan kewajiban-
kewajiban istri terhadap suaminya. Ia berwasiat, “Wahai anakku, seandainya meninggalkan
wasiat itu adalah kemuliaan, tentu aku akan meninggalkannya untukmu. Tapi, ternyata
wasiat adalah peringatan bagi orang yang lalai dan penolong bagi orang yang berakal.

Seandainya seorang wanita tidak memerlukan seorang suami disebabkan kedua orang
tuanya yang kaya, atau karena keduanya masih sangat membutuhkan kehadirannya, tentu
aku adalah orang yang paling tidak membutuhkannya. Tetapi, wanita tercipta untuk lelaki,
begitu juga lelaki tercipta untuk wanita.

Wahai anakku, engkau telah meninggalkan rumah tempat kelahiranmu dan menuju tempat
tinggal yang belum engkau ketahui sebelumnya. Semua itu kau lakukan untuk hidup
bersama orang yang belum engkau kenali sebelumnya. Disana, orang itu akan menjadi raja
bagimu. Bersikaplah bagaikan hamba sahaya, niscaya ia akan tunduk padamu bagaikan
hamba sahaya pula. Jagalah sepuluh perkara, niscaya akan menjadi bekal bagimu.

Pertama, bersikaplah menerima suami apa adanya (qanaah). Kedua, taati segala
perintahnya. Ketiga dan keempat, perhatikan sorot mata dan hidungnya. Jangan sekali-kali
mata suamimu melihatmu dalam kondisi yang tidak menarik, dan jangan sampai
hidungnya mencium bau yang busuk darimu.

Kelima dan keenam, perhatikan tidur dan makannya. Karena, rasa lapar akan menyulut
konflik dan kurang tidur akan memicu kemarahan.

Ketujuh dan kedelapan, peliharalah hartanya dan uruslah anaknya. Kuncinya, aturlah
sirkulasi keuangan dengan baik dan didiklah anak dengan baik.

Kesembilan dan kesepuluh, jangan membantah perintahnya dan jangan menyebarkan


rahasianya. Jika engkau menyalahi perintahnya, berarti tengah mengobarkan amarahnya.
Jika engkau menyebarkan rahasianya, engkau tidak akan dimaafkannya.

Janganlah engkau bergembira disaat dia bersedih dan jangan pula engkau bersedih saat ia
gembira.”

KEMULIAAN IBU MERTUA FATIMAH

Ketika Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah, putri Nabi, ia adalah orang yang miskin. Oleh
karena itu pada awal pernikahan mereka, Az-Zahra (gelar untuk Fatimah) harus merasakan
kesulitan, beban dan tantangan hidup yang dirasakan oleh suaminya. Namun, ia berhasil
melakukannya, bersabar dan terus memperkuat kesabarannya. Hingga dia menjadi
pendamping yang paling setia bagi suaminya dalam melaksanakan kewajiban agama dan
memenuhi tuntutan hidup.

Hal pertama yang ia tunggu adalah pekerjaan rumahnya. Padahal, saat itu pekerjaan rumah
bukan hal yang ringan dan mudah dilakukan. Untuk menghidangkan sepotong roti saja,
orang harus mengolah gandum terlebih dahulu, membuat adonan dengan tangan, lalu
meraciknya dengan alat-alat tradisional hingga menjadi roti yang layak untuk dikonsumsi.
Di rumahnya juga tidak ada pembantu sama sekali, kecuali sang ibu mertua, Fatimah binti
Asad. Ali sempat dibuat terkagum-kagum, baik dengan sikap ibunya maupun istrinya. Di
satu sisi, ibunya selalu ingin berbuat baik terhadap menantunya. Namun di sisi lain istrinya
juga ingin memuliakan dan memelihara ibu mertuanya dengan baik.

Karena keterbatasan kemampuan Ali, ia membagi tugas rumah antara istri dan ibunya
sesuai dengan keridhaan masing-masing. Ali berkata kepada ibunya, “Biarkanlah istri saya
yang mengambil air dan keluar mencari keperluan yang dibutuhkan di rumah. Sedangkan
ibu cukup melakukan pekerjaan di rumah saja, seperti mengolah gandum, membuat
adonan, dan membuat roti.”

Ali melihat hubungan istrinya dan ibunya selalu tolong-menolong, mencintai dan
harmonis. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan yang sering terjadi antara para istri dan
ibu mertua. Apalagi, ibu Ali telah memiliki tempat di hati Nabi. Ia adalah istri pamannya,
Abu Thalib, yang sangat gigih membantu Nabi kala beliau diganggu oleh kaum Quraisy. Ia
sangat mencintai Nabi melebihi cintanya kepada anak-anaknya.

Nabi pun sangat mencintai dan memuliakannya. Saat istri Abu Thalib meninggal dunia,
beliau memakaikan gamisnya sebagai kafan, lalu berbaring di samping kuburnya. Para
sahabat pun bertanya, “Mengapa engkau melakukan hal tersebut, padahal sebelumnya
kami tidak pernah melihat engkau melakukan hal itu terhadap orang lain?” Rasul
menjawab, “Setelah Abu Thalib meninggal dunia, tidak ada orang yang paling baik
kepadaku selainnya. Aku memakaikan gamisku, agar ia diberi pakaian surga. Aku
berbaring di pinggir kuburnya, agar diringankan urusan akhiratnya.”

Fatimah binti Muhammad sangat memahami kedudukan ibu mertuanya yang sangat
terhormat di hati ayahnya. Ia menghormatinya sebagaimana ayahnya menghormatinya dan
memperlakukan ibu mertuanya layaknya ibunya sendiri.

Sementara itu, Fatimah binti Asad juga sangat mencintai manantunya karena ia merupakan
anak kesayangan Nabi. Darah daging beliau berada di dalam diri Fatimah Az-Zahra. Ia
berprinsip, mencintai Fatimah, anak kesayangan beliau, sama dengan mencintai Nabi.
Sungguh mulia Fatimah binti Muhammad. Ia adalah istri Solehah yang mencintai suami
dan ibu mertuanya. Begitu pula, alangkah mulianya Fatimah binti Asad. Ia adalah ibu
mertua yang sangat mencintai menantunya.

MERTUA DAN MENANTU YANG SANGAT HARMONIS

Laqith bin Zararah datang kepada Qais bin Mas’ud Asy Syaibani, kepala suku Syaiban.
Ketika itu, Laqith mendapatinya sedang duduk di tengah perkumpulan kaumnya. Dengan
lantang, ia lalu mengungkapkan lamarannya kepada anak gadisnya. Qais berkata
kepadanya, “Mengapa kamu tidak membisikkan saja niatmu itu kepadaku?” ia menjawab,
“Kamu telah mengetahui, jika aku membisikkan kepadamu, aku tidak akan menipumu.
Dan jika aku mengungkapkannya secara lantang, aku tidak akan mencelamu.” Lalu Qais
berkata, “Memang kamu ini siapa?” ia menjawab, “Aku Laqith bin Zararah.”

Lalu Qais berkata, “Kalau begitu tidak mengapa. Sungguh kamu tidak boleh tinggal di sini
dalam keadaan bujang. “ Akhirnya, ia dinikahkan dengan putri Qais dan ia menyerahkan
maharnya. Lalu malam harinya, ia sudah tinggal dengan istrinya.

Di antara wasiat yang diberikan Qais kepada putrinya adalah, “Wahai putriku, bersikaplah
kepada suamimu seperti hamba sahaya, niscaya ia akan bersikap terhadapmu seperti
hamba sahaya pula. Jadikanlah ia sebagai wewangian paling baik yang kamu gunakan.
Suamimu adalah seorang pahlawan berkuda Bani Mudhar. Ia mungkin saja membunuh
atau terbunuh. Jika demikian, janganlah kamu membuat ia marah dan jangan mencukur
rambutmu.

Ketika istrinya tinggal di keluarga Laqith, mereka memuliakan dan menghormatinya.


Setelah Laqith terbunuh, ia ditanggung oleh keluarganya. Lalu ia mengungkapkan
pandangannya tentang negeri suaminya tersebut dengan mangatakan, “Wahai bani Darim,
sebaik-baik mertua adalah kalian. Saya berpesan kapada kalian agar memperlakukan
orang-orang asing secara baik. Dan saya belum pernah melihat orang yang sebaik Laqith.”
NASIHAT YANG SANGAT BERHARGA

Asma bin Kharijah Al-Fazari menikahkan anak putrinya, Hindun, dengan seorang pemuda
bernama Hajjaj bin Yusuf. Ketika menjelang malam pertama, Asma bin Kharijah berkata
kepada putrinya, “Wahai anakku, sesungguhnya para ibu tengah mendidik anak-anak
perempuannya. Ibumu telah celaka saat kamu masih kecil. Maka pakailah sebaik-baik
wewangian, yaitu air dan sebaik-baik keindahan, yaitu celak. Janganlah sering memaki,
karena dapat memutus rasa cinta. Jauhi kecemburuan yang berlebihan, karena itu kunci
perceraian. Bersikaplah terhadap suamimu seperti hamba sahaya, niscaya ia akan bersikap
terhadapmu seperti hamba sahaya pula.

UMMU RUMAN IBU MERTUA RASULULLAH

Ummu Ruman adalah istri Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia adalah seorang istri yang solehah,
bertakwa, dan memiliki keturunan yang mulia. Ia mendidik anaknya dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda tentangnya, “Siapa yang ingin melihat bidadari surga,(Hur
al-‘in), lihatlah Ummu Ruman.”

Suatu ketika, Khaulah binti Hakim As-Sulamiyah datang kepadanya dan berkata, “Wahai
Ummu Ruman, betapa Allah telah memberikan kebaikan dan berkah kepada keluargamu.”

Ummu Ruman bertanya, “Ada apa gerangan?”

Khaulah menjawab, “Rasulullah mengutusku untuk melamar Aisyah untuk beliau.”

Ummu Ruman berbahagia mendengar kabar tersebut, karena ia akan memperoleh seorang
yang memiliki keturunan yang agung. Oleh karena itu, ia lalu mempersiapkan anaknya
agar menjadi istri yang baik bagi seorang Nabi. Aisyah menceritakan hari pernikahannya
dengan Nabi. Ia berkata, “Rasulullah mendatangi rumah kami. Lalu, semua orang dari
kaum Anshar, baik laki-laki dan perempuan berkumpul bersama beliau. Ibuku datang
menghampiriku, sementara aku duduk di atas ayunan yang dipasang di antara dua tandan.
Ia kemudian menurunkan aku, menyisir rambutku, dan mengusap wajahku dengan sedikit
air. Kemudian ia menuntunku hingga dekat pintu dan berdiri di hadapanku. Aku pun
menghela nafas. Setelah itu, ibuku mengantarkanku masuk ke dalam kamar. Lalu, ibuku
menyuruhku duduk di pangkuan beliau dan berkata, “Mereka semua adalah keluargamu.
Semoga Allah memberkahi kalian berdua.”

Sejak saat itu Ummu Ruman resmi menjadi ibu mertua Nabi. Ia mempunyai tempat
tersendiri di hati beliau., karena ketaqwaan dan keimanannya. Apalagi, ia adalah istri
shahabat terdekat beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia juga sebagai ibu dari wanita yang
Nabi cintai yaitu Aisyah.

Sejarah telah mencatat bahwa Ummu Ruman memiliki peranan yang sangat penting saat
terjadi Haditsul ifki (kejadian bohong). Saat itu putrinya, Aisyah, dituduh telah melakukan
hal yang melanggar agama (berzina). Menghadapi tuduhan tersebut, ibunya bertekad untuk
diam dan bersabar, sambil tetap memohon pertolongan Allah agar memberikan jalan keluar
terhadap persoalan dan tuduhan yang menimpa putrinya tersebut. Ketika Aisyah
mengadukan desas-desus tersebut, ia menghiburnya dengan mengatakan, “Wahai putriku,
tenangkan dirimu. Demi Allah, tidaklah wanita suci yang dicintai seseorang tertimpa
kesusahan, kecuali kesuciannya akan semakin bertambah.”

FIRASAT SEORANG ALIM TENTANG WANITA SOLEHAH

Suatu ketika dua orang ulama duduk bersama. Mereka adalah imam Asy-Sya’bi dan Imam
Syuraih. Syuraih kemudian menyarankan Asy-Sya’bi agar menikahi Bani Tamim. Ia
berkata, “Wahai Asy-Sya’bi, menikahlah kamu dengan wanita dari Bani Tamim, karena
saya telah menyaksikan kecerdasan mereka.”

Asy-Sya’bi bertanya, “Kecerdasan seperti apa yang telah kamu saksikan?” Syuraih pun
menceritakan pengalamannya. Suatu ketika ia melewati seorang nenek tua di depan pintu
masuk kampung. Di pinggirnya terdapat seorang hamba sahaya (jariyah) yang cantik.
Syuraih kemudian meminta minum kepada mereka berdua. Hamba sahaya tersebut
bertanya kepadanya, “Minuman apa yang kamu sukai?” Syuraih menjawab, “Minuman
yang sederhana saja.” Si nenek lalu berkata kepada hamba sahaya perempuan tersebut,
“Celakalah engkau, wahai jariyah! Berikan ia minum susu. Saya yakin, ia adalah orang
asing.”
Kemudian Syuraih menanyakan perihal hamba sahaya perempuan cantik tersebut kepada
neneknya tadi. Akhirnya, ia mengetahui namanya dan nama ayahnya. Setelah itu ia tahu
bahwa hamba sahaya tersebut belum menikah, ia pun mendatangi keluarganya untuk
melamarnya. Keluarganya pun menikahkannya dengan Syuraih.

Syuraih berkata, “Seandainya engkau tahu wahai Sya’bi, sungguh para wanita dari kaum
itu mengiringi calon istriku hingga ia masuk kamarku. Lalu, aku berkata, ‘Termasuk
sunnah Nabi, apabila seorang istri telah memasuki kamar bersama suaminya, hendaklah
sang suami melaksanakan sholat dua rekaat lalu meminta kepada Allah kebaikan istrinya,
dan berlindung kepada-Nya dari kejelekan istrinya.’ Sayapun shalat. Saat aku salam,
ternyata istriku mengikuti shalat di belakangku.

Setelah selesai shalat para wanita mendatangiku. Mereka mengambil pakaianku dan
menyelimutiku dengan pakaian tadi hingga bagaikan sarang lebah. Saat rumah telah sepi
dan kosong, aku mendekati istriku dan meletakkan telapak tanganku di atas keningnya.
Lalu, istriku berkata, “Pelan-pelan wahai Abu Umayyah, seperti yang kamu lakukan.”

Kemudian istrinya berkata, “Segala puji hanya bagi Allah, aku memuji dan memohon
pertolongan hanya kepada-Nya. Semoga keselamatan tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW. Aku adalah seorang perempuan yang asing bagimu. Aku juga tidak banyak
mengetahui sifat dan karaktermu. Oleh karena itu, beritahu aku apa yang kamu sukai,
niscaya aku akan memberikannya kepadamu. Beritahu juga kepadaku apa yang kamu
benci, niscaya aku akan menjauhkannya darimu.”

Ia melanjutkan, “Sungguh penduduk di kampungmu telah mengetahui bahwa kamu telah


menikah denganku. Begitu pun penduduk di kampungku, mereka telah mengetahui bahwa
aku telah menikah denganmu. Meskipun demikian, jika Allah menghendaki hal lain, maka
tiada yang dapat mencegah-Nya. Dan engkau berhak memilih. Berbuatlah seperti perintah
Allah dalam kandungan firman-Nya, “Tetap memperistri dengan baik (imsakun bil ma’ruf)
atau menceraikan dengan baik pula (tasrihun bi ihsan). Demikian saya mengatakan hal ini
seraya memohon ampunan Allah untuk kita berdua.”

Syuraih bercerita kepada Asy-Sya’bi, “Demi Allah, wahai Asy-Sya’bi, ia lalu memintaku
untuk menanggapi perkataannya tersebut. Maka akupun menanggapinya, “Segala puji
hanya bagi Allah, saya memuji dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya. Saya
memohon kepada-Nya agar keselamatan senantiasa tercurah untuk Nabi beserta
keluarganya. Amma ba’du. Engkau telah mengungkapkan sebuah perkataan yang jika
engkau komitmen dengan ucapan itu, engkau akan mendapatkan pahala. Namun, jika
engkau tinggalkan begitu saja, hal itu akan menjadi boomerang bagimu kelak. Saya
menyukai hal ini dan itu, dan benci ini dan itu. Kita sekarang tengah berada dalam
kebersamaan. Jadi, janganlah kamu berpisah dariku. Jika engkau mendapati sebuah
kebaikan, sebarkanlah. Namun jika engkau mendapati keburukan, tutupilah.”

Lalu istriku bertanya, “Bagaimana jika keluarga mengunjungi kita?”

Aku menjawab, “Aku tidak suka jika keluarga membuat aku jenuh dan bosan.”

Lalu istriku bertanya lagi, “Siapakah tetangga yang kamu sukai untuk masuk ke rumah ini,
hingga aku izinkan mereka untuk memasukinya? Siapa pula tetangga yang tidak kamu
senangi, hingga aku tidak akan mengizinkan mereka memasuki rumah ini?”

Aku menjawab, “Bani Fulan adalah kaum yang aku senangi. Sedangkan Bani Fulan adalah
kaum yang buruk perangainya.”

Kemudian Syuraih mengatakan kepad Asy-Sya’bi bahwa selama setahun tinggal bersama
istrinya, ia selalu mendapati istrinya melakukan hal-hal yang ia sukai. Di akhir tahun,
seorang nenek tua yang masih kerabat dengan istrinya datang mengunjunginya. Ternyata
dialah wanita yang dulu mendidik istrinya sewaktu masih kecil.

Nenek tersebut berkata, “Assalamu’alaikum wahai Abu Umayyah.”

Syuraih menjawab, “Wa’alaikumsalam, siapa Anda?”

Nenek tersebut berkata, “Saya adalah kerabatmu.”

Syuraih menjawab, “Semoga Allah semakin memperkuat kekerabatanmu.”

Nenek itu berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?”

Syuraih menjawab, “Istriku adalah wanita terbaik.”


Nenek tua itu berkata, “Wahai abu Umayyah, sesungguhnya wanita itu akan bersikap
buruk pada dua kondisi. Yaitu jika ia melahirkan anak, atau mendapat perlakuan yang
manja. Jika kamu merasa curiga dan bimbang kepadanya, pukullah dengan pelana. Demi
Allah, tidak ada yang lebih jelek bagi laki-laki kecuali ia memiliki wanita yang sangat
manja.”

Lalu Syuraih mengatakan, “Demi Allah engkau telah mendidiknya dengan baik, juga telah
membiasakan hal-hal yang baik sehingga ia terbiasa melakukannya.”

Kemudian nenek tadi bertanya, “Jika saudara-saudaramu berkunjung kepadamu, apakah


kamu merasa senang?”

Syuraih menjawab, “Kapanpun mereka inginkan, saya merasa senang.”

Lalu syuraih menceritakan bahwa nenek itu sering datang mengunjunginya setiap akhir
tahun untuk memberikan wasiat kepadanya.

Syuraih menuturkan kepada Asy-Sya’bi bahwa selama dua puluh tahun lamanya, belum
pernah istrinya membuat ia marah, kecuali hanya sekali saja. Itu pun Syuraih yang
melakukan kesalahan. Ceritanya, suatu ketika Syuraih bertugas mengimami shalat di
sebuah masjid di kampungnya. Saat muazin mengumandangkan iqamah, Syuraih merasa
ada kalajengking merayap dan bergerak di rumahnya, maka ia mengurungnya dengan
bejana. Ia menyuruh istrinya untuk tidak membuka dan mengganggunya hingga ia datang
dari masjid. Setelah itu Syuraih berkata kepada istrinya, “Wahai Zainab, kamu jangan
bergerak sedikitpun hingga aku datang dari masjid.”

Istrinya pun menaati suaminya untuk tidak melakukan apa-apa terhadap bejana itu, dan ia
tidak bergerak sama sekali sesuai dengan perintahnya. Hingga, kalajengking itu keluar dari
bejana dan menyengat jari istri Syuraih.

PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK LAKI-LAKI YANG BAIK

Ibnu Abi Wada’ah berkata, “Aku selalu mendatangi majelis Sa’id bin Al Musayyab.
Namun selama beberapa hari ini aku tidak hadir, hingga beliau menanyakanku. Saat aku
datang kapadanya beliau bertanya, “Kemana saja kamu?” aku menjawab, ”Istriku
meninggal dunia, jadi aku masih sibuk memikirkannya.” Beliau berkata, “Mengapa kamu
tidak memberitahuku, hingga aku bisa menghadiri dan berbela sungkawa terhadapmu?”

Ibnu Abi Wada’ah menuturkan, “Lalu aku berdiri dan hendak berpamitan.” Beliau
bertanya, “Apakah kamu ingin menikah lagi?” Aku menjawab, “Semoga Allah merahmati
Anda. Siapa pula yang hendak menikahkanku, sedangkan aku hanya mempunyai dua
hingga tiga dirham?” Sa’id bin Musayyab berkata, “Akulah yang akan menikahkanmu.”
Aku pun berkata, “Anda mau melakukannya?” Beliau menjawab “Ya.”

Kemudian beliau bertahmid dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, lalu
menikahkanku dengan mahar dua atau tiga dirham.

Setelah selesai aku pun pulang ke rumah. Karena terlalu gembira, aku sampai tidak tahu
apa yang akan kuperbuat. Sesampainya di rumah, aku berpikir bagaimana bisa aku
mendapatkan uang dan kepada siapa aku berhutang. Aku pun shalat Maghrib, dan kembali
ke rumah dan beristirahat. Kemudian aku menyiapkan makanan untuk berbuka puasa
berupa roti dan minyak. Tiba-tiba di luar ada orang yang mengetuk pintu. Lalu aku
bertanya, “Siapa di luar?” ia menjawab “Sa’id.” Akupun berpikir apakah ada orang
bernama Sa’id selain Sa’id bin Musayyab? Selama 40 tahun ia tidak pernah terlihat kecuali
di dua tempat, rumah dan masjid.

Aku pun berdiri dan bergegas menyambutnya. Ternyata benar, ia adalah Sa’id bin
Musayyab. Aku mengira ia akan menarik ucapan siang tadi perihal pernikahanku. Aku pun
berkata, “Wahai Abu Muhammad, mengapa tidak engkau utus seseorang untuk
menemuiku, hingga akulah yang akan datang kepadamu.”

Beliau berkata, “Kamu lebih berhak aku datangi.” Aku bertanya, “Ada apa gerangan?” Ia
menjawab, “Engkau telah melewati masa lajangmu, dan sekarang kamu telah aku
nikahkan. Aku tidak ingin malam ini kamu tinggal sendirian di rumah. Inilah istrimu.”

Ternyata ia berdiri di balakang beliau. Lalu sa’id memegang tangan wanita itu dan
mendorongnya ke hadapan pintu. Wanita itu hampir terjatuh karena malu, namun ia segera
berpegangan pada pintu. Aku pun bergegas menuju bejana yang berisi roti dan minyak
yang aku siapkan tadi. Kemudian aku sembunyikan bejana tersebut di bawah bayangan
lampu agar tidak terlihat. Kemudian aku naik ke lantai atas dan memanggil para tetangga
hingga mereka mendatangiku dan bertanya, “Ada apa dengamu?” Aku berkata, “Hari ini
Sa’id bin Musayyab telah menikahkanku dengan putrinya. Ia datang kepadaku saat aku
belum siap-siap menyambutnya.”

Mereka bertanya memastikan, “Sa’id bin Musayyab telah menikahkanmu?” “Ya betul, dan
sekarang dan sekarang putrinya telah berada di rumahku,” Lalu, merekapun
menyambutnya.

Akhirnya berita tersebut sampai kepada ibunya, hingga ia datang kepadanya dan berkata,
“Aku tidak ridha jika kamu mencampuri istrimu sebelum aku mendandaninya selama tiga
hari.” Aku menunggunya selama tiga hari. Setelah itu, aku pun mencampuri istriku.
Ternyata, istriku adalah orang yang paling cantik, hafal Al-Qur’an, paling mengetahui
sunnah Rasulullah dan paling mengetahui kewajibannya sebagai seorang istri.”

Ia berkata, “Selama satu bulan aku tinggal serumah dengannya, Sa’id bin Musayyab tidak
pernah mendatangiku. Ketika hampir sebulan penuh, aku mendatangi majelis Sa’id bin
Musayyab, sedangkan ia sedang berada di halaqahnya. Aku mengucapkan salam
kepadanya dan ia menjawab salamku. Ia tidak berbicara kepadaku kecuali setelah taklim
selesai. Ketika anggota majelis telah meninggalkan halaqah dan tidak ada selain aku dan
dia, ia bertanya, “Bagaimana keadaan putriku?” Aku menjawab, “Baik, wahai Abu
Muhammad. Ia mencintai dan membenci sesuatu sesuai dengan tempatnya.”

Sa’id bin Musayyab berpesan, “Jika kamu merasa curiga dan bimbang terhadap istrimu,
pukullah dengan tongkat.” Aku pun pulang ke rumahku. Ia membekaliku uang dua puluh
ribu dirham.

Dahulu, anak perempuan Sa’id bin Musayyab ini pernah dilamar oleh Walid bin Abdul
Malik bin Marwan. Saat itu, Abdul Malik bin Marwan (ayah Walid) berkuasa sebagai
khalifah. Namun, Sa’id bin Musayyab menolak lamaran tersebut.
BAB VII

MADIA INFORMASI DAN MERTUA

Tidak diragukan lagi, media informasi memiliki peran yang sangat signifikan dalam
pembentukan opini. Dalam hal ini termasuk dalam merusak hubungan antara istri dan ibu
mertua. Seringkali media menggambarkan ibu mertua sebagai batang korek api yang
menyulut api permusuhan antara suami-istri. Atau, digambarkan sebagai kepala ular yang
selalu menyemburkan bisanya pada hubungan suami-istri yang tadinya saling mencintai
dan memahami satu sama lain.

Penulis yakin, peran yang dimainkan oleh media informasi melalui film-film atau sinetron
dalam upaya menjelekkan profil ibu mertua, bersumber dari rencana musuh-musuh Islam
untuk menghancurkan tatanan kehidupan muslim. Mereka pasti tidak akan senang dengan
ketentraman yang diperoleh dari kehidupan rumah tangga muslim.

Mayoritas film yang disuguhkan media cenderung banyak menyudutkan ibu mertua. Pun
menyajikan ibu mertua yang melecehkan kemuslimahannya.

Tayangan-tayangan itu telah menanamkan persepsi buruk terhadap ibu mertua dalam
benak para pemirsa. Sampai-sampai, sering kali ada gadis yang hendak menikah, pertama
kali yang mengusik pikirannya dalah ibu mertuanya. Hal itu terjadi karena benak para
gadis telah dijejali olah asumsi negatif tentang ibu mertua. Di dalam benaknya, tersirat
bahwa ibu mertua adalah musuh yang harus diwaspadai. Ia harus dapat menaklukannya
agar dapat hidup tenang dan bahagia. Bagitulah, seorang istri memulai kehidupan rumah
tangganya sambil menunggu saat-saat yang tepat untuk memulai ‘peperangannya’ dengan
sang mertua.

Media informasi juga menggambarkan kepada kita profil istri sebagai wanita yang berani
merebut anak laki-laki dari ibunya, ingin menguasai, ingin mengatur, dan mendominasi
sesukanya. Pun itu juga menggambarkan kepada kita bahwa menantu pasti benci kepada
ibu mertuanya. Akhirnya, baik menantu maupun ibu mertua, masing-masing telah
diasumsikan sebagai musuh yang harus diwaspadai. Singkatnya, media telah membentuk
opini negatif akan adanya permusuhan antara istri dan ibu mertua.

Seandainya media informasi tersebut digunakan dengan baik dalam masalah ini, tentu ia
dapat meluruskan banyak persepsi keliru yang ada dalam benak manusia mengenai ibu
mertua dan menantu. Akhirnya, hubungan antara menantu dan ibu mertua akan lebih rukun
dan harmonis.

Anda mungkin juga menyukai