Efek samping yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin dapat dibedakan dalam 3
kelompok yaitu reaksi kepekaan, reaksi toksik dan iritatif serta reaksi yang timbul akibat perubahan
biologik.
REAKSI KEPEKAAN.
Reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin ialah erupsi morbiliformis,
urtikaria dan dermatitis eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat ialah udem angioneurotik dan reaksi
anafilaksis. Demam dan eosinolilia dapat pula terjadi pada waktu terapi berlangsung. Sensitisasi silang
antara berbagai derivat tetrasiklin sering terjadi.
lritasi lambung paling sering teriadi pada pemberian tetrasiklin per oral, terutama dengan
oksitetrasiklin dan doksisiklin. Makin besar dosis yang diberikan, makin sering pula terjadi reaksi ini.
Keadaan ini dapat diatasi dengan mengurangi dosis untuk sementara waktu atau memberikan golongan
tetrasiklin bersama dengan makanan, tetapi jangan dengan susu atau antasid yang mengandung
aluminium, magnesium atau kalsium. Diare seringkali timbul akibat iritasi dan ini harus dibedakan dengan
diare akibat super-inleksi statilokokus atau Clostidium difficile yang sangat berbahaya. Manitestasi reaksi
iritatif yang lain ialah terjadinya tromboflebitis pada pemberian lV dan rasa nyeri setempat bila golongan
tetrasiklin disuntikkan lM tanpa anestetik lokal.
Terapi dalam waktu lama juga dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis,
limfosit atipik, granulasi toksik pada granulosit dan trombositopenia.
Reaksi fototoksik paling jarang timbul dengan tetrasiklin, tetapi paling sering timbul pada
pemberian demetilklortetrasiklin. Manifestasinya berupa fotosensitivitas, kadang-kadang disertai demam
dan eosinofilia. Pigmentasi kuku dan onikolisis, yaitu lepasnya kuku dari dasarnya, juga dapat terjadi.
Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian golongan tetrasiklin dosis tinggi (lebih dari 2 gram
sehari) dan paling sering terjadi setelah pemberian parenteral. Oksitetrasiklin dan tetrasiklin mempunyai
sifat hepatotoksik yang paling lemah dibandingkan dengan golongan tetrasiklin lain. Wanita hamil dengan
pielonefritis paling sering menderita kerusakan hepar akibat pemberian golongan tetrasiklin. Kecuali
doksisiklin, golongan tetrasiklin akan mengalami kumulasi dalam tubuh, karena itu dikontraindikasikan
pada gagal ginjal. Elek samping yang paling sering timbul biasanya berupa azotemia, hiperfosfatemia dan
penurunan berat badan.
Tetrasiklin terikat pada laringan tulang yang sedang tumbuh dan membentuk kompleks.
Pertumbuhan tulang akan terhambat sementara pada fetus dan anak. Bahaya ini terutama terjadi mulai
pertengahan masa hamil sampai anak umur tiga tahun. Timbulnya kelainan ini lebih ditentukan oleh
jumlah daripada lamanya penggunaan tetrasiklin.
Pada gigi susu maupun gigi tetap, tetrasiklin dapat menimbulkan disgenesis, perubahan warna
permanen dan kecenderungan terjadinya karies. Perubahan warna bervariasi dari kuning coklat sampai
kelabu tua. Karena itu tetrasiklin jangan digunakan mulai pertengahan kedua kehamilan sampai anak
berumur 8 tahun. Efek ini terlihat lebih sedikit pada oksitetrasiklin dan doksisiklin.
Tetrasiklin yang sudah kadaluwarsa akan mengalami degradasi menjadi bentuk anhidro-4-
epitetrasiklin. Pada manusia hal ini mengakibatkan timbulnya sindrom Fanconi dengan gejala poliuria,
polidipsia, proteinuria, asidosis, glukosuria, aminoasiduria disertai mual dan muntah. Kelainan ini biasanya
bersifat reversibel dan menghilang kira-kira satu bulan setelah pemberian tetrasiklin kadaluwarsa ini
dihentikan.
Semua tetrasiklin dapat menimbulkan imbang nitrogen negatif dan meningkatkan kadar ureum
darah. Hal ini tidak menimbulkan arti klinik pada pasien dengan gagal ginjal yang normal yang mendapat
dosis biasa, tetapi pada keadaan gagal ginjal dapat timbul azotemia.
Minosiklin sering bersifat vestibulotoksik dan dapat menimbulkan vertigo, ataksia dan muntah
yang bersifat reversibel.