Anda di halaman 1dari 77

1

SINTESIS DAN APLIKASI SURFAKTAN-SURFAKTAN


BERBASIS MINYAK SAWIT DALAM FORMULASI
INSEKTISIDA EMULSIFIABLE CONCENTRATE
(EC) DAN NANO EMULSIFIABLE
CONCENTRATE (NANO EC)

EKA NUR’AZMI YUNIRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
2
3

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sintesis dan Aplikasi
Surfaktan-Surfaktan Berbasis Minyak Sawit dalam Formulasi Insektisida
Emulsifiable Concentrate (EC) dan Nano Emulsifiable Concentrate (Nano EC)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2019

Eka Nur’azmi Yunira


NIM F351160291
4

RINGKASAN
EKA NUR’AZMI YUNIRA. Sintesis dan Aplikasi Surfaktan-Surfaktan Berbasis
Minyak Sawit dalam Formulasi Insektisida Emulsifiable Concentrate (EC) dan
Nano Emulsifiable Concentrate (Nano EC). Dibimbing oleh ANI SURYANI dan
DADANG.

Pestisida diformulasikan untuk menjaga bioaktivitas bahan aktif dan


meningkatkan efisiensi, keamanan, dan kepraktisan dalam aplikasi. Umumnya
bahan aktif pestisida kurang larut dalam air sehingga membutuhkan adjuvant
untuk membantu dispersi yang lebih baik dalam air. Surfaktan merupakan
adjuvant yang penting untuk meningkatkan kelarutan formulasi insektisida dalam
air. Surfaktan dari minyak sawit berpotensi digunakan dalam formulasi
insektisida, salah satu jenis pestisida. Surfaktan dari minyak sawit memiliki
keunggulan seperti tingkat toksisitas rendah dan biodegradable. Surfaktan yang
dikembangkan adalah surfaktan nonionik dan kationik yang berfungsi sebagai
agens penurun tegangan permukaan, pembasah, dan pendispersi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik sifat fisiko-kimia surfaktan
nonionik dan kationik, mendapatkan prototipe formulasi insektisida EC dan nano
EC dengan sifat fisik terbaik, dan mengetahui efektifitas formulasi yang
dikembangkan terhadap mortalitas larva ulat grayak, Spodoptera litura.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik surfaktan DEA dan CTAC
berturut-turut adalah densitas 0.9762 dan 0.9946 g/cm3, tegangan permukaan
27.16 dan 21.41 dyne/cm, sudut kontak 18.18º dan 20.39º, pH 7.62 dan 5.89 serta
viskositas sebesar 257.35 dan 27.65 cP. Formulasi insektisida yang dikembangkan
adalah formulasi EC. Formulasi-formulasi yang dikembangkan mengandung
konsentrasi bahan aktif sebesar 15% dan 20%, persentase surfaktan nonionik 4%,
5% dan 6%, rasio surfaktan DEA dan APG sebesar 60:40, 50:50 dan 40:60 serta
konsentrasi surfaktan kationik 1%. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik
formulasi insektisida terbaik terdapat pada formulasi yang mengandung surfaktan
nonionik 6% dengan rasio DEA dan APG 40:60. Sifat fisiko kimia formulasi
insektisida terbaik dengan konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% adalah densitas
0.9955 dan0.9954 g/cm3, pH 7.81 dan 7.57, tegangan permukaan 27.42 dan 25.38
dyne/cm, sudut kontak 35.81º dan 21.62º, serta ukuran partkel 4.64 dan 3.79 µm.
Formulasi nano-EC dikembangkan dari formulasi insektisida EC terbaik dengan
perlakuan konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% serta waktu sonikasi 15, 30 dan
45 menit. Formulasi insektisida terbaik diperoleh dengan perlakuan konsentrasi
bahan aktif 20% dan waktu sonikasi 45 menit. Sifat fisiko-kimia formulasi
insektisida adalah densitas 0.9958 g/cm3, pH 7.85, tegangan permukaan 24.74
dyne/cm, sudut kontak 18.46º, serta ukuran partkel 0.75 µm. Konsentrasi
formulasi EC terbaik yang mampu menghasilkan mortalitas larva tertinggi pada
jam ke 24 adalah konsentrasi formulasi 0.2% dengan mortalitas larva untuk
konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% adalah 96%. Formulasi nano EC terbaik
mampu menghasilkan persentase mortalitas larva tertinggi pada konsentrasi 0.2%
setelah 24 jam perlakuan yaitu 98%.

Kata kunci: Surfaktan CTAC, DEA, APG, Emamektin Benzoat, Insektisida


5

SUMMARY
EKA NUR’AZMI YUNIRA. Synthesized and Application of Surfactants Based
on Palm oil in Insecticide Formulation of Emulsifiable Concentrate (EC) and
Nano Emulsifiable Concentrate (Nano EC). Supervised by ANI SURYANI and
DADANG.

Pesticide should be formulated to keep bioactivity of active ingredients and to


enhance efficiency, safety, and convenience in application. Active ingredient was
poorly dispersed in water and need an adjuvant to formed a better dispersion in
water. Surfactant is one of the most important adjuvant and will help to increase
its solubility in water. Surfactant from palm oil is potential to be used in
insecticide formulation. This surfactant has lower toxicity and more
biodegradable. Surfactant that can be developed from palm oil is nonionic and
cationic surfactant. The fuction of the surfactant is to decrease surface tension.
The objectives of research were to determine pysico-chemical properties of
nonionic and cationic surfactants, to obtain EC and nano EC insecticide
formulations prototype with the best pysico-chemical properties, and to know the
effectiveness of nano EC formulations to Spodoptera litura larvae.
The results showed that the physico-chemical properties of DEA and CTAC
were 0.9762 and 0.9946 g/cm3 for density, 27.16 and 21.41 dyne/cm for surface
tension, 18.18º and 20.39º for contact angles, 7.62 and 5.89 for pH, as well as
257.35 and 27.65 cP for viscosity, respectively. EC formulations of insecticide
have been formulated with composition of 15% and 20% of active ingredient,
4%, 5% and 6% nonionic surfactants, 60:40, 50:50 and 40:60 ratios of DEA and
APG surfactants and also 1% of cationic surfactant. The best pysico-chemical
properties of insecticide formulation when active ingredients was mixed with 6%
of nonionic surfactant and 40:60 of DEA and APG ratio. They showed physico-
chemical properties of 15% and 20% active ingredient concentrations were 0.9955
and 0.9954 g/cm3 for density, 7.81 and 7.57 for pH, 27.42 and 25.38 dyne/cm for
surface tension, 35.81º and 21.62º for contact angle, and 4.64 and 3.79 µm for
particle size, respectively. The development of nano-EC formulation was based on
the best of EC formulations. EC formulations containing 15% or 20% of active
ingredient concentration were be through sonication process for 15, 30 and 40
minutes. The best nano formulation of insecticide was shown by formulation that
contain 20% of active ingredient by 45 minutes of sonication process. The
physico-chemical properties of nano EC insecticide formulation were density of
0.9958 g/cm3, pH of 7.85, surface tension of 24.74 dyne/cm, contact angle 18.46º,
and particle size 0.75 µm. The highest mortality of Spodoptera litura for EC
formulation at 24 hours after treatment was 0.2% concentration of formulation for
active ingredient of 15% and 20% were 96%. The best nano EC formulations
showed the highest larval mortality at concentration of 0.2% after 24 hours
treatment was 98%.

Keywords: CTAC Surfactants, DEA, APG, Emamectin Benzoate, Insecticide


6

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
7

SINTESIS DAN APLIKASI SURFAKTAN-SURFAKTAN


BERBASIS MINYAK SAWIT DALAM FORMULASI
INSEKTISIDA EMULSIFIABLE CONCENTRATE
(EC) DAN NANO EMULSIFIABLE
CONCENTRATE (NANO EC)

EKA NUR’AZMI YUNIRA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
8

Penguji Luar Komisi pada Ujian tesis : Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi


10

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2017 ini ialah
Sintesis dan Aplikasi Surfaktan, dengan judul Sintesis dan Aplikasi Surfaktan-
Surfaktan Berbasis Minyak Sawit dalam Formulasi Insektisida Emulsifiable
Concentrate (EC) dan Nano Emulsifiable Concentrate (Nano EC).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Ani Suryani dan Prof Dadang
selaku pembimbing, serta Prof Silvester Tursiloadi yang telah banyak memberi
saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada staf di LIPI KIMIA Puspitek Serpong, Surfactant and
Bioenergy Research Center (SBRC) IPB, teman-teman TIP 2016 atas do’a,
dukungannya dan batuannya selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2019

Eka Nur’azmi Yunira


11

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Surfaktan 4
Insektisida 7
Emamektin Benzoat 7
Formulasi Insektisida 9
3 METODOLOGI 11
Waktu dan Tempat Penelitian 11
Bahan 11
Alat 12
Tahapan Penelitian 12
Sintesis dan Karakterisasi Surfaktan 12
Formulasi Insektisida 12
Formulasi Nano Emulsifiable Concentrate 13
Uji Efektivitas Formulasi Insektisida Terhadap Larva Ulat Grayak
(Spodoptera litura) 14
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Sintesis dan Karakterisasi Surfaktan 15
Formulasi Insektisida 18
Penentuan Konsentrasi Surfaktan dengan Metode CMC 18
Densitas 20
Nilai pH 21
Tegangan Permukaan 22
Sudut Kontak 24
Ukuran Partikel 26
Formulasi Insektisida Nano Emulsifiable Concentrate 27
Ukuran Partikel Nano Emulsifiable Concentrate 28
Karakteristik Formulasi Insektisida Nano Emulsifiable Concentrate 29
Uji Efektivitas Produk Formulasi Insektisida Terhadap Larva Ulat
Grayak (Spodoptera litura) 32
4 SIMPULAN DAN SARAN 33
Simpulan 33
Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 34
12

LAMPIRAN 40
RIWAYAT HIDUP 63
13

DAFTAR TABEL
1 Contoh dan struktur kimia surfaktan 6
2 Sifat fisiko-kimia surfaktan nonionik dan kationik berbasis minyak sawit 16
3 Densitas formula insektisida didalam air 21
4 Nilai pH formula insektisida didalam air 22
5 Ukuran partikel formula insektisida didalam air 26
6 Densitas dan pH formula insektisida nano-EC didalam air 30
7 Mortalitas larva Spodoptera litura pada jam ke 24, 48 dan 72 33

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur surfaktan 4
2 Struktur kimia emamektin benzoat 8
3 Spektrum LC-MS bobot molekul surfaktan kationik 17
4 Produk dari hasil sintesis surfaktan kationik, (dari kiri ke kanan) alkil
halida, surfaktan kationik sebelum pemisahan, surfaktan kationik 18
5 Hasil analisis tegangan permukaan formula insektisida sebagai
konsentrasi kritis misel (CMC) 19
6 Tegangan permukaan formulasi insektisida di dalam air dengan bahan
aktif 15% dan bahan aktif 20% 23
7 Sudut kontak formulasi insektisida di dalam air dengan bahan aktif 15%
dan bahan aktif 20%. 25
8 Dispersi partikel formulasi insektisida di dalam air pada rasio DEA:APG
40:60 dan (a) konsentrasi surfaktan nonionik 4% (b) konsentrasi
surfaktan nonionik 5% dan (c) konsentrasi surfaktan nonionik 6% 27
9 Ukuran partikel formulasi insektisida di dalam air setelah sonikasi 28
10 Dispersi partikel formulasi insektisida nano EC di dalam air (a) waktu
sonikasi 15 menit (b) waktu sonikasi 30 menit dan (c) waktu sonikasi 45
menit 29
11 Nilai tegangan permukaan (a) dan sudut kontak formulasi insektisida
nano EC di dalam air (b) 31

DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur analisis karakteristik surfaktan 40
2 Prosedur analisis formulasi insektisida EC dan nano-EC 43
3 Neraca massa proses sintesis surfaktan kationik 45
4 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan
nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap
densitas formulasi insektisida 46
5 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan
nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap pH
formulasi insektisida 48
14

6 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan


nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap
tegangan permukaan formulasi insektisida 50
7 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan
nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap sudut
kontak formulasi insektisida 52
8 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan
nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap
ukuran partikel formulasi insektisida 54
9 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi
terhadap densitas formulasi insektisida 56
10 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi
terhadap pH formulasi insektisida 57
11 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi
terhadap tegangan permukaan formulasi insektisida 58
12 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi
terhadap sudut kontak formulasi insektisida 59
13 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi
terhadap ukuran partikel formulasi insektisida 60
14 Hasil analisis keragaman jenis formulasisi dan konsentrasi formulasi
insektisida terhadap mortalitas larva pada jam ke-24 61
15 Hasil analisis keragaman jenis formulasi dan konsentrasi formula
insektisida terhadap mortalitas larva pada jam ke-48 62
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada sistem konvensional agroekologi, pestisida digunakan untuk


mengendalikan hama, penyakit dan gulma untuk menjaga kualitas dan kuantitas
hasil pertanian (Jensen dan Olesen 2014). Pada penggunaannya, sebagian besar
pestisida harus diformulasikan untuk meningkatkan sifat bioaktivitas, efektivitas,
keamanan dan kepraktisan dalam aplikasinya (Feng et al. 2016). Selain itu, bahan-
bahan yang digunakan dalam pestisida pada umumnya juga sulit untuk larut
dalam air sehingga diperlukan metode formulasi yang tepat (Pratap dan
Bhowmick 2008). Beberapa jenis formulasi pestisida yang sering digunakan di
antaranya emulsifiable concentrate (EC), soluble liquid (SL), suspension
concentrate (SC), wettable powder (WP), dan water dispersible granule ( (WG)
(Qian dan Li 2005; Chen et al. 2003). Pada formulasi insektisida, formulasi
emulsifiable concentrate (EC) paling banyak digunakan karena memiliki
keunggulan diantaranya mudah dalam penanganan, transportasi dan penyimpanan,
tidak memerlukan pengadukan dalam waktu lama dan residu yang dihasilkan
lebih sedikit.
Formulasi EC merupakan formulasi yang berbentuk cair yang terdiri dari
bahan aktif dan co-formulant (pelarut dan adjuvant) (Knowles 1998). Salah satu
bahan aktif insektisida yang digunakan dalam formulasi adalah emamektin
benzoat. Emamektin benzoat merupakan bahan aktif yang merangsang pelepasan
asam γ-amino butirat, inhibitory neurotransmitter, sehingga menyebabkan
kelumpuhan serangga dalam beberapa jam setelah konsumsi dan serangga akan
mati 2-4 hari kemudian (Syahputra 2013). Emamektin benzoat ini memiliki
kelarutan yang sangat rendah di dalam air (24 mg/L), sehingga memerlukan
banyak pelarut organik (Zheng 2012). Oleh karena itu, penambahan surfaktan
menjadi faktor penting dalam meningkatkan kelarutan formulasi di dalam air.
Surfaktan merupakan bahan adjuvant dalam formulasi insektisida. Menurut
Edser (2007), sebanyak 230 000 ton surfaktan digunakan setiap tahun di dalam
formulasi produk agrokimia, dengan konsentrasi sebesar 1-10%. Fungsi surfaktan
sendiri sebagai bahan pembantu dalam menurunkan tegangan permukaan, sebagai
plasticizer, melunakkan lilin kristal pada kutikula dan meningkatkan mobilitas
produk agrokimia pada daun (Scho¨nherr et al. 2000). Hasil penelitian Feng et al.
(2016) menunjukkan penggunaan berbagai jenis surfaktan pada formulasi
insektisida mampu meningkatkan emulsi dan penetrasi formulasi di dalam air.
Jenis surfaktan yang umumnya digunakan dalam formulasi pestisida adalah tween
80, stiril fenol polioksietilen eter, alkilfenol formaldehid, resin polioksietilen eter,
EL-40 dan silwet 408 (Feng et al. 2016, Wang et al. 2017, Yang et al. 2017).
Surfaktan-surfaktan ini pada umumnya merupakan surfaktan nonionik yang
memiliki gugus fungsi hidrofilik dan hidrofobik. Permasalahannya, surfaktan-
surfaktan ini dibuat dari turunan minyak bumi dan bersifat non biodegradable.
Dampak negatif penggunaan surfaktan non biodegradable secara terus menerus
dapat menimbulkan polusi sumber air, kerusakan tanah dan lingkungan (Howe et
al. 2004). Oleh karena itu perlu dikembangkan surfaktan biodegradable yang
ketersediaan bahan bakunya melimpah seperti minyak sawit. Surfaktan yang dapat
2

dikembangkan adalah surfaktan nonionik dan kationik, seperti dietanolamida


(DEA), alkil poli glikosida (APG) dan setil trimetil ammonium klorida. Surfaktan
nonionik merupakan surfaktan yang molekulnya tidak bermuatan. Sifat hidrofilik
dan hidrofobiknya ditimbulkan oleh adanya gugus ester oksigen dan gugus
hidrokarbon (Karsa 2006), sedangakan surfaktan kationik memiliki muatan ion
positif pada bagian kepala yang menyebabkan akan mampu menyerap lebih baik
bahan yang bermuatan negatif seperti kain, rambut dan membran sel bakteri (Farn
2006). Menurut Tadros (2005), pemilihan jenis bahan pembantu merupakan hal
yang sangat penting dalam formulasi pestisida. Selain itu, penggunaan bahan
pembantu dapat mengurangi pencemaran tanah akibat pestisida yang pada
aplikasi di lapangan (Kawahar et al. 2003).
Studi mengenai penggunaan surfaktan DEA dari minyak sawit dan APG
telah banyak dilakukan. Salah satu aplikasi penggunaan surfaktan DEA pada
formulasi insektisida dari minyak mimba menunjukkan karakteristik formula yang
baik dengan penambahan surfaktan DEA 5% dan tingkat mortalitas larva ulat
gerayak yang cukup tinggi (Indrawijaya 2016). Surfaktan APG digunakan dalam
formulasi herbisida menunjukkan penurunan tegangan permukaan hingga 50%
akan tetapi kestabilan formulasi selama penyimpanan masih rendah (Darto 2008).
Sejauh ini, penelitian penggunaan surfaktan DEA dan APG berbasis minyak sawit
menunjukkan karakteristik yang cukup baik namun tingkat kelarutannya di air
masih rendah. Oleh karena itu, perlu adanya teknologi proses yang tepat dan
mampu meningkatkan pendispersian formula sehingga mampu meningkatkan
efektivitas dan kinerja formulasi.
Teknologi nano merupakan salah satu teknologi yang digunakan untuk
mengontrol ukuran bahan. Tujuan dari pengembangan teknologi nano ini untuk
menghasilkan karakteristik produk atau bahan yang lebih baik. Pada formulasi
insektisida sendiri, telah dilakukan pengembangan formula mikroemulsi. Pada
mikroemulsi sendiri, formula yang dihasilkan lebih stabil dan transparan
(Knowles 1998). Teknologi nanoemulsi mulai banyak diterapkan pada berbagai
produk emulsi. Nanoemulsi adalah sistem emulsi yang transparan, tembus cahaya
dan dispersi minyak-air yang distabilkan oleh lapisan film dari surfaktan atau
ukuran droplet 50-500 nm (Shakeelet et al. 2008). Penerapan nanoemulsi pada
insektisida diharapkan mampu memperbaiki sifat fisiko kimia insektisida.
Pengembangan formula insektisida EC dan nano-EC dengan penambahan
surfaktan berbasis minyak sawit diharapkan menghasilkan formula yang memiliki
sifat fisik yang sama atau bahkan lebih baik dari formula insektisida komersial.
Oleh karena itu, akan dikaji lebih lanjut mengenai karakterisasi formula
insektisida yang dikembangkan dan aplikasi kinerjanya pada hama.

Perumusan Masalah

Formulasi pestisida terdiri dari bahan aktif dan co-formulant. Co-formulant


terdiri dari pelarut, adjuvant dan bahan tambahan lainnya. Kemampuan bahan
aktif untuk larut di dalam air sangat rendah, adjuvant membantu dalam
meningkatkan kelarutan dan homogenisasi bahan aktif dengan air. Salah satu
adjuvant yang penting adalah surfaktan. Surfaktan yang digunakan pada formulasi
pestisida pada umumnya berasal dari minyak bumi, memiliki toksisitas yang
3

tinggi dan bersifat nonbiodegradable. Minyak kelapa sawit berpotensi


dikembangkan menjadi surfaktan yang berfungsi sebagai adjuvant dalam
pestisida. Surfaktan ini lebih ramah lingkungan dan nilai tambah yang dihasilkan
lebih tinggi. Permasalahannya surfaktan yang dikembangkan memiliki tingkat
kemurnian yang rendah, sehingga kemampuannya sebagai wetting agent juga
rendah. Oleh karena itu, penggunaan campuran surfaktan menjadi solusi yang
dipilih dalam penelitian ini. Surfaktan yang digunakan, merupakan surfaktan yang
berasal dari turunan minyak sawit atau memiliki asam lemak yang sama dengan
minyak sawit. Surfaktan ini berfungsi membantu stabilitas emulsi pada formulasi
pestisida. Surfaktan yang digunakan, perlu adanya dianalisis karakteristik fisiko-
kimia sebelum digunakan dalam formulasi pestisida. Jenis formulasi insektisida
yang dikembangkan adalah emulsifiable concentrate dan nano emulsifiable
concentrate (EC). Surfaktan yang digunakan adalah surfaktan nonionik dan
kationik. Penggunaan surfaktan ionik diharapkan mampu meningkat kestabilan
emulsi dan mendapatkan sifat fisiko kimia formulasi insektisida terbaik.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini:


1. Mengetahui karakteristik sifat fisiko-kimia surfaktan nonionik dan kationik.
2. Memperoleh prototipe formulasi insektisida EC dan nano EC dengan sifat
fisik terbaik.
3. Mengetahui efektifitas formulasi terhadap ulat grayak (Spodoptera litura).

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah mengembangkan produk insektisida dengan


bahan adjuvant yang berbasis kelapa sawit. Penelitian ini dapat memberikan
informasi mengenai nilai tambah pada produk turunan kelapa sawit yaitu formula
insektisida dengan sifat fisik terbaik sehingga mampu meningkatkan kinerja dan
efektivitas penggunaannya dalam aplikasi pengendalian hama.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah membuat formula insektisida dengan


menggunakan bahan aktif emamektin benzoat, pelarut xilen dan surfaktan.
Surfaktan yang ditambahkan adalah surfaktan kationik yang disintesis dari
palmitil alkohol C16 (1-Hexadecanol), sedangkan surfaktan nonionik
dietanolamida disintesis dari metil ester kelapa sawit dan surfaktan APG. Formula
insektisida yang akan dikembangkan adalah emulsifiable concentrate (EC) dan
nano emulsifiable concentrate (nano-EC). Formula terbaik diuji efektivitasnya
terhadap ulat grayak (Spodoptera litura).
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Surfaktan

Surfaktan merupakan senyawa organik yang memiliki gugus fungsi lipofilik


dan hidrofilik dalam molekulnya (Karsa 2006). Surfaktan menjadi bahan
tambahan yang sangat penting terutama untuk membentuk larutan homogen dari
fasa nonpolar dan polar. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan
permukaan dari suatu larutan. Apabila surfaktan dimasukkan dalam sistem yang
terdiri dari air dan minyak, maka gugus polar akan mengarah ke fase air
sedangkan gugus non polar akan mengarah ke fase minyak (Gambar 1). Surfaktan
yang memiliki gugus polar lebih kuat cenderung membentuk tipe minyak dalam
air (o/w), sedangkan jika gugus non polar yang lebih kuat maka cenderung
membentuk tipe air dalam minyak (w/o). Surfaktan mempunyai kemampuan
untuk menurunkan tegangan permukaan (surface tension) suatu medium dan
menurunkan tegangan antarmuka (interfacial tension) antar dua fase yang berbeda
derajat polaritasnya seperti pada cairan dengan cairan, padatan dengan cairan,
ataupun gas dengan cairan (Indrawijaya 2016).

Gambar 1 Struktur surfaktan


Teknologi surfaktan yang berkembang masih memanfaatkan minyak bumi
sebagai bahan baku. Minyak bumi merupakan bahan baku yang tidak dapat
diperbaharui dan pasokannya semakin menurun. Penggunaan surfaktan minyak
bumi ini banyak ditemukan pada sabun, pestisida, shampoo, pemurnian minyak
bumi dan produk lainnya. Surfaktan sendiri dapat dikembangkan dari bahan-
bahan yang mengandung minyak tinggi atau dari teknologi mikrobial.
Pengembangan surfaktan dari minyak kelapa sawit telah dikembangkan
sebelumnya yaitu pembuatan surfaktan DEA yang banyak digunakan dalam
produk kosmetik dan sabun (Laura 2004), surfaktan metil ester sulfonat (MES)
dan sodium dodesil sulfat (SDS) (Septiyanni 2013) dan surfaktan APG (Suryani et
al. 2009). Surfaktan ini memiliki fungsi yang berbeda-beda pada setiap
penggunaannya pada produk yang berbeda.
Terdapat beberapa jenis surfaktan yaitu surfaktan anionik, nonionik,
kationik dan surfaktan amfoterik (Castro et al. 2013). Surfaktan-surfaktan ini
memiliki perbedaan spesifik terutama dalam penggunannya (Karsa 2006) yaitu :
 Surfaktan anionik. Surfaktan anionik merupakan surfaktan dengan
kelompok sulfonat termasuk linier alkilbenzen sulfonat (LAS) yang
diproduksi dalam skala besar. Surfaktan ini biasanya digunakan dalam
detergen atau bahan pembersih di rumah tangga, sedangkan jenis lainnya
5

yaitu kalsium linier alkilbenzen sulfonat berperan penting sebagai zat


pembantu pada formulasi agrokimia. Nilai CMC surfaktan anionik adalah
10-3 - 10-2 M. Daya adsorbsi lebih rendah jika dibandingkan surfaktan
nonionik
 Surfaktan nonionik. Surfaktan nonionik merupakan surfaktan jenis
polimer glikol eter atau glukosa. Surfaktan nonionik merupakan surfaktan
yang molekulnya tidak bermuatan. Sifat hidrofilik dan hidrofobiknya
ditimbulkan oleh adanya gugus ester oksigen dan gugus hidrokarbon. Gugus
hidrokarbon terdiri dari ikatan karbon-karbon (C-C) dan ikatan karbon-
hidrogen (C-H). Surfaktan ini digunakan dalam banyak produk rumah
tangga, industri dan institusi, tekstil, pulp and paper, emulsi polimer, seni,
kemasan dan agrokimia. Surfaktan anionik memiliki nilai CMC 10 −5–10−4
M. Daya adsorbsi lebih tinggi dari surfaktan anionik, viskositas tinggi dan
sebagai bahan tambahan yang baik untuk menurunkan tegangan permukaan.
 Surfaktan kationik. Surfaktan kationik gugus hidrofiliknya bermuatan
positif pada bagian kepalanya. Pembawa sifat aktif permukaan pada
surfaktan kationik adalah gugus kation (muatan positif) yang dimilikinya,
misalnya trimetilamonium. Aplikasi surfaktan kationik berhubungan erat
dengan daya absorpsinya di permukaan. Surfaktan kationik adalah surfaktan
yang memiliki ion amonium pada bagian hidrofiliknya. Surfaktan kationik
banyak digunakan pada formulasi diinfektan dan antisepti untuk personal
care product atau obat-obatan. Surfaktan ini memiliki kemampuan yang
baik dalam adsorpsi lebih luas. Surfaktan kationik memiliki nilai CMC
10−3–10−1 M.
 Surfaktan amfoterik. Surfaktan amfoterik merupan surfaktan yang
mengandung bagian kationik dan anionik, dapat larut dalam air, sebagai
agen pembasah, detergency, pembentukan busa dan lainnya (Tabel 1). Sifat
surfaktan amfoterik yaitu nlai CMC berkisar anatara 10−3–10−1 M.
Pada produk agrochemical surfaktan digunakan sebagai tambahan
(adjuvants) yang membantu dalam meningkatkan kinerja pestisida. Salah satu
fungsi surfaktan yaitu sebagai bahan pembasah atau bahan perata, terutama
sebagai penurun tegangan permukaan. Surfaktan banyak digunakan sebagai bahan
pengemulsi, penetrasi bahan aktif dan bahan perekat atau penempel untuk
meningkatkan keefektifan dan perlindungan dalam banyak pestisida. Selain itu,
surfaktan sangat penting digunakan untuk meningkatkan keefektifan insektisida
dalam mengendalikan hama sasaran dan meminimumkan tingkat toksisitas
insektisida terhadap lingkungan dan organisme lain bukan sasaran (Johnson dan
Dureja 2002).
Penggunaan surfaktan pada formulasi insektisida khususnya hanya
dibutuhkan antara 1-10%, satu atau lebih campuran surfaktan (Edser 2007).
Surfaktan ini sangat berperan penting dalam peningkatan kinerja insektisida.
Bahan aktif insektisida pada umumnya tidak dapat terdispersi secara keseluruhan
di dalam air karena bersifat non polar sedangkan air bersifat polar. Oleh karena itu
penambahan surfaktan ini menjadi penting agar bahan aktif mampu terdispersi
secara sempurna pada air sebelum digunakan di lapangan. Penggunaan surfaktan
pada pestisida telah banyak dikaji, Suryani et al. (2009) mengkaji tentang
6

penggunaan surfaktan APG dalam formulasi insektisida. Aplikasi formulasi


herbisida (glifosat dan surfaktan APG) yang dicobakan menunjukkan hasil
penyimpanan 5 minggu dengan suhu 15ᵒC, suhu ruang (26-29ᵒC) dan 40ᵒC
menunjukkan efektivitas yang tinggi dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh
nyata terhadap efektivitas herbisida. Indrawijaya (2016) mengkaji tentang
penggunaan surfaktan DEA pada formulasi insektisida dari minyak nimba.
Konsentrasi surfaktan DEA terbaik yang digunakan dalam formulasi insektisida
adalah 5% sementara konsentrasi surfaktan kationik SK 55 sebesar 2%.
Berdasarkan hasil pengujian formulasi di lapangan menunjukkan tingkat kematian
tertinggi hama ulat grayak dapat mencapai 100% pada konsentrasi 12.5 mL/L dan
pada konsentrasi terendah 5 mL/L hanya sebesar 22%. Analisis probit
menunjukkan bahwa dosis maksimum yang dapat digunakan untuk mematikan
ulat grayak sebanyak 50% (LC50) sebesar 5.99 mL/L, sedangkan untuk
mematikan ulat grayak sebesar 95% (LC95) dibutuhkan dosis sebesar 9.29 mL/L.
Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh yang nyata penambahan surfaktan pada
formulasi pestisida yang dikembangkan. Hasil penelitian ini menunjukkan
surfaktan yang dikembangkan dari minyak sawit, memiliki potensi yang besar
dalam formulasi pestisida.
Tabel 1 Contoh dan struktur kimia surfaktan
Tipe ion Contoh Struktur
-
Anionik Sulfat -OSO2O
Sulfonat -SO2O-
Eter sulfat -(OCH2CH2)nOSO2O-
Eter fosfat -(CH2CH2O)nP(O)O-
Eter karboksilat -(CH2CH2O)nCO2-
Karboksilat -C(O)O-
Kationik Amonium primer -N+H3
Amonium Sekunder -N+(R)H2
Amonium Tersier -N+(R)2H
Amonium Kuartener -N+(R)3
Amfoterik Amin oksida -N+(R)3O-
Betain -N+(R)3(CH2)nC(O)O-
Aminokarboksilat -N+H(R)2(CH2)nC(O)O-
Nonionik Polioksietelen -N+H(R)2(CH2)nC(O)O-
Asetilen -(OCH2CH2)n(OH
Monoetanolamina -CH(OH)C=CH(OH)-
Dietanolamina -NHCH2CH2OH
Poliglukosida

Sumber : Karsa (2006)


7

Insektisida

Pestisida adalah zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah,
mengendalikan, mengusir atau mengendalikan organisme yang tidak diinginkan
(Jones 2004). Pestisida terdiri dari beberapa jenis diantaranya adalah herbisida,
insektisida dan fungisida. Menurut Permentan nomor 39 tahun 2015 tentang
Pengawasan Pestisida, insektisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta
jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah
binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Insektisida
merupakan salah satu bentuk pengendalian hama yang tidak diinginkan pada
tanaman (Depkes 2012). Insektisida dikembangkan dengan menggunakan bahan
aktif tertentu. Bahan aktif yang digunakan memiliki fungsi yang berbeda-beda
tergantung pada hama yang menyerang. Bahan aktif ini berfungsi sebagai racun,
memiliki kelarutan yang rendah di dalam air dan membutuhkan bahan pelarut
untuk memaksimalkan penggunaannya. Insektisida umumnya diterapkan untuk
mengusir atau membunuh hama serangga.
Penggunaan insektisida setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Penggunaan insektisida semakin intens diterapkan oleh petani di lapangan. Hal ini
disebabkan oleh tuntutan kebutuhan hasil pertanian yang semakin meningkat.
Penggunaan insektisida dengan dosis dan anjuran tertentu dapat membunuh hama
dengan baik. Hingga saat ini pengendalian hama dilakukan secara kimiawi
(Muamalah 2006). Insektisida yang berkembang di pasar pada umumnya masih
dari sintesis minyak bumi atau dari campuran bahan kimia lainnya. Oleh karena
itu efek yang ditimbulkan insektisida di lapangan juga menjadi salah satu
kekhawatiran para ahli. Hal ini disebabkan beberapa bahan yang dicampurkan
masih sulit terdegradasi di alam.
Insektisida pada penggunaannya memiliki beberapa cara aplikasi ke
tanaman. Salah satu metode menggunaan insektisida yang banyak digunakan
adalah metode spray terutama pada daun (Knowles 1998). Insektisida yang
disemprotkan pada tanaman akan melekat pada tanaman tersebut, sebagian besar
insektisida umumnya melapisi daun. Kinerja insektisida bergantung dari bahan
aktif insektisida. Serangga akan datang/hinggap pada tanaman dan memakan
bagian daun atau bagian lainnya sehingga racun akan masuk ke dalam tubuh
hama. Racun tersebut akan bekerja secara efektif membunuh serangga tersebut.
Terdapat beberapa jenis racun yang berasal dari bahan aktif diantaranya adalah
racun perut akan masuk kedalam melalui kulit serangga dan diserap oleh tubuh
melalui saluran pencernaan. Sedangkan racun kontak pada umumnya masuk ke
dalam tubuh pada bagian permukaan integuman tubuh yang mengalami kontak
langsung dengan daun yang terlapisi dengan insektisida (Muamalah 2006).

Emamektin Benzoat

Emamektin adalah bahan aktif yang diperoleh dari isolasi Streptomyces


avermitilis. Emamektin merupakan produk semi sintetis dari abamektin yang
diproduksi oleh famili avermectin dari 16 anggota lakton macrocylic. Emamektin
bekerja merangsang pelepasan asam γ-aminobutyric, inhibitory neurotransmitter,
8

sehingga menyebabkan kelumpuhan serangga dalam beberapa jam setelah daun


dimakan yaitu pada 2-4 hari (Velde-Koerts 2012).
Emamektin benzoat merupakan bahan aktif yang bekerja sebagai racun dan
memiliki rumus kimia C56H81NO15. Emamektin benzoat dapat menyebabkan
kelumpuhan pada serangga. Struktur kimia emamektin benzoat adalah rantai
siklik dan terdapat komponen nitrogen didalamnya (Gambar 2) (NRA 2011).
Emamektin benzoat memiliki sifat fisiko kimia yaitu kemurnian 950 g/kg,
berbentuk padat, berwarna putih pada suhu 25°C, memiliki titik leleh 141–146°C
(2°C/menit, pada nitrogen, 142–147 °C (2°C/menit). Emamektin benzoat banyak
digunakan pada serangga seperti pada larva dan ulat. Akan tetapi, emamektin
benzoat sulit membunuh lebah madu, predator dan parasitoid (Cox dan Rabatin
1995). Emamektin benzoat pada dosis yang sesuai akan mampu membunuh hama
pengganggu dan tidak mematikan serangga yang menguntungkan bagi tumbuhan
induk.

Gambar 2 Struktur kimia emamektin benzoat


Emamektin benzoat telah banyak digunakan dalam pengendalian hama
khususnya pada tanaman sayur-sayuran. Penggunaan emamektin benzoat pada
tenaman tersebut pada umumnya menggunakan dosis rendah. Moustafa et al.
(2016) mengkaji tentang penggunaan bioinsektisida spinosad dan emamektin
benzoat pada larva kubis yaitu Mamestra brassiciae. Spinosa diproduksi dari
proses fermentasi cacing tanah sedangkan emametin benzoat diperoleh dari
fermentasi mikroorganisme tanah yaitu Streptomyces avermiltis. Spinosad dan
emamektin benzoat merupakan racun yang akan merangsang pelepasan asam γ-
amino butirat, inhibitory neurotransmitter. Artinya kinerja insektisida ini yaitu
setelah daun yang dilapisi oleh bahan aktif dimakan oleh larva atau serangga
maka akan membunuh insekta dengan mengganggu neurotransmitter
menyebabkan kelumpuhan yang irreversible (USEPA 2009). Emamektin benzoat
bekerja didalam perut sehingga mampu mematikan serangga. Hasil percobaan
penggunaan bioinsektisida ini pada tanaman kubis menunjukkan mampu
menurunkan tingkat pembentukan larva dan pupa. Penggunaan dua jenis
insektsida ini menunjukkan alternatif konvensional yang bak untuk mengontrol
pembentukan M. brassicae.
9

Formulasi Insektisida

Formulasi pestisida bertujuan meningkatkan sifat bioaktivitas, efektivitas,


keamanan dan kepraktisan dalam aplikasinya (Feng et al. 2016). Bahan aktif
pestisida pada umumnya tidak larut dalam air, oleh karena itu perlu adanya bahan
tambahan berupa surfaktan. Untuk meningkatkan efektifitas penggunaan
insektisida, formula terbaik sangat dibutuhkan. Insektisida dengan penggunaan
yang berbeda akan menggunakan formula yang berbeda. Menurut knowles (1998)
terdapat beberapa formulasi pestisida yang telah diterapkan secara konvensional :
 Solution concentrate (SL). Formulasi paling sederhana adalah membuat
formula dalam bentuk solution concentrates. Solution concentrates adalah
larutan encer dari bahan aktif yang diencerkan pada tangki spray. Jumlah
pestisida yang dapat diformulasikan pada formula ini hanya untuk bahan
yang larut di dalam air. Beberapa formulasi solution concentrates
mengandung surfaktan yang bersifat non ionik untuk membantu dalam
membasahi daun. Formulasi larutan konsentrat memiliki masalah
penyimpanan. Beberapa masalah pada formulasi ini adalah curah hujan
selama pengenceran dan korosi logam atau aplikator semprot. Pada
formulasi larutan konsentrat ini bahan aktif yang digunakan adalah 20-50%
dengan bahan tambahan seperti wetting agent (3-10%), anti freeze (5-10%),
air dan pelarut (ditambahkan hingga 100%).
 Emulsifiable concentrates (EC). Formulasi emulsifiable concentrates
merupakan salah satu formula yang paling banyak digunakan. Hal ini
disebabkan oleh bahan aktif yang digunakan pada umumnya tidak dapat
larut dalam air, sehingga diperlukan pelarut dan bahan tambahan lainnya.
emulsifiable concentrates terdiri dari bahan-bahan aktif berminyak atau dari
low-melting, lilin, bahan aktif padat yang larut dalam pelarut hidrokarbon
non polar, seperti xylene C9-C10, pelarut napfta, minyak tanah tidak berbau
atau pelarut hidrokarbon proprietary lainnya. Pengemulsi surfaktan
ditambahkan ke formulasi untuk memastikan emulsifikasi spontan dengan
sifat stabilitas emulsi yang baik dalam tangki semprot. Ukuran droplet
emulsi adalah 0.1-5 μm diproduksi ketika formulasi dicampur dengan air.
Pada formulasi EC, bahan yang dicampurkan terdiri dari bahan aktif 20-
70%, emulsifier 5-10%, bahan pelarut dan co-solvent (ditambahkan hingga
100%)
 Wettable powders (WP). Formulasi wettable powder dari pestisida dibuat
dari bahan aktif berbentuk padat dengan titik cair tinggi yang cocok untuk
penggilingan basah atau pada proses penggilingan mekanik seperti hammer
mill. Wettable powder biasanya terdiri dari surfaktan bersifat cair sebagai
bubuk pembasah agen pendispersi dan bahan pembawa inert atau filler.
Pada umumnya formulasi ini terdiri dari 50% bahan aktif dan diatas batasan
yang ditentukan dari bahan inert seperti silika. Pada jumlah yang banyak
ukuran partikel kurang dari 5 μm dan semua partikel dapat melewati
saringan 44 μm. Formulasi wettable powder pada umumnya terdiri dari
10

bahan aktif (25-80%), wetting agent (1-3%), agen pendispersi (2-5%) dan
bahan inert (ditambahkan hingga 100%).
 Suspension concentrates (SC). Teknologi suspension concentrates banyak
diterapakan karena partikel pestisida dapat tersuspensi didalam fasa minya
akan tetapi lebih sering pada fasa air. Surfaktan digunakan sebagai bahan
pembasah dan agen pendispersi yang banyak menimbulkan penelitian
tentang koloid dan aspek kimia dari dispersi dan stabilitas dispersi padat-
cair. Formulasi bahan aktif terdiri dari 20-50%. Bahan tambahan lainnya
adalah bahan pembasah (2-5%), Teknologi suspension concentrates banyak
diterapkan dimana partikel pestisida dapat tersuspensi didalam fasa minya
akan tetapi lebih sering pada fasa air. Surfaktan digunakan sebagai bahan
pembasah dan agen pendispersi yang banyak menimbulkan penelitian
tentang koloid dan aspek kimia dari dispersi dan stabilitas dispersi padat-
cair. Antifreeze propilen glikol (5-10%), agen anti settling (0,2-2%) dan air
(ditambahkan hingga 100%).
 Mikroemulsi. Mikroemulsi memiliki kestabilan yang lebih baik secara
termodinamika dan dispersi koloid yang lebih transparan secara optik.
Katakteristik dari mikroemulsi adalah titik awan (cloud point). Ukuran
droplet yang dihasilkan dari mikroemulsi adalah air, surfaktan/co surfaktan,
pelarut organik, bahan aktif. Ukuran droplet dari mikroemulsi kurang dari 1
μm.
 Nanoemulsi. Nano emulsi adalah sistem emulsi yang transparan, tembus
cahaya dan merupakan dispersi minyak-air yang dstabilkan oleh lapisan film
dari surfaktan atau molekul surfaktan yang memiliki ukuran droplet 50-500
nm (Shakeel et al 2008). Nanoemulsi merupakan sistem yang memiliki
tingkat kestabilan yang lebih baik dari mikroemulsi. Pada pestisida,
nanoemulsi dapat meningkatkan absorbsi, penetrasi dan mensolubilisasikan
zat aktif (Lee and Tadros 1982).
Penelitian mengenai formulasi insektisida telah banyak dilakukan.
Formulasi insektisida yang umumnya dilakukan adalah terhadap bahan aktifnya.
Syahputra (2013) meneliti tentang keefektifan insektisida campuran emamektin
benzoat dan β-sipermetrin terhadap hama ulat api Setothosea asigna pada tanaman
kelapa sawit. Hasil menunjukkan pencampuran dua jenis bahan aktif tersebut
efektif meningkatkan kinerja insektisida dengan melihat mortalitas ulat api pada
tanaman kelapa sawit. Penelitian lainnya yaitu Indrawijaya (2016) yang meneliti
tentang bahan aktif alami dari minyak nimba dengan menggunakan surfaktan
DEA. Hasil menunjukkan penambahan surfaktan mampu menurunkan sudut
kontak pada daun dan tegangan permukaan insektisida yang dikembangkan. Hal
ini menunjukkan pada formulasi insektisida, pencampuran bahan dengan dosis
tertentu sangat penting untuk diperhatikan. Penambahan surfaktan sebagai wetting
agent akan meningkatkan daya rekat surfaktan pada daun dengan menurunnya
sudut kontak insektisida pada daun.
Formulasi yang paling sering digunakan adalah pengenceran dengan air di
dalam tangki semprot. Pada kasus ini, formulasi bahan aditif sangat penting untuk
diperhatikan agar dapat tercampur secara sempurna pada air. Oleh karena itu
11

banyak yang menggunakan bahan tambahan (adjuvant) untuk meningkatkan


efektivitas biologis dari formula. Beberapa produk diformulasikan dan diencerkan
didalam minyak dan air akan tetapi juga terdapat formulasi sepeti umpan, pelet,
asap dan aerosol untuk tujuan khusus. Bentuk formulasi yang paling banyak
digunakan adalah emulsifiable concentrates (EC). Pada jenis formulasi ini, bahan
aktif yang digunakan larut pada minyak, titik leleh rendah, padat dan mudah larut
pada pelarut non polar. Surfaktan akan ditambahkan untuk meningkatkan
kestabilan emulsi insektisida. Pada formulasi ini juga banyak digunakan untuk
metode penyemprotan. Konsentrasi bahan-bahan yang digunakan adalah 20-70%
bahan aktif, 5-10% emulsifier atau surfaktan, pelarut ditambahkan hingga 100%
(Knowles 1998). Penelitian mengenai jenis emulsi pada formulasi insektisida
telah banyak dilakukan. Feng et al. (2016) telah melakukan penelitian formulasi
mikroemulsi pada dengan bahan aktif emamektin benzoat. Hasil penelitian
menunjukkan, jenis emulsifier mempengaruhi emulsi yang terbentuk. Emulsifier
600# dan emulsifier 700# (3/2, w/w) merupakan emulsifier yang memiliki emulsi
terbaik. Fernandes et al. (2014) juga melakukan penelitian mengenai formulasi
insektisida nanoemulsi. Formulasi nanoemulsi dibuat dengan komposisi 5%
minyak (oktildiodesil miristat), 5% surfaktan (polisorbat 80), 5% fraksi apolar M.
subsericea dan 5% ait. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengecilan
diameter droplet (155.2 ± 3.8 nm) yang membuktikan bahwa formula berukuran
nano. Formula yang dikembangkan mampu mematikan D. peruvianus namun
tidak mematikan tikus yang diinduksi dengan formulasi. Hal ini menunjukkan,
nanoemulsi yang dikembangkan aman untuk organisme yang tidak menjadi target.
Formulasi emulsifiable concentrate, mikroemulsi dan nanoemulsi menunjukkan
semakin kecil ukuran partikel, kemampuan partikel terdispersi didalam air
semakin baik (Yang et al. 2017). Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan
pentingnya formulasi pada pestisida sehingga formula yang dihasilkan akan lebih
mudah digunakan pada aplikasinya dilapangan.

3 METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2018-Oktober 2019 di


Laboratorium Katalis, LIPI Kimia, Puspitek Serpong, Laboratorium Surfactant
and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB, Laboratorium Toksikologi dan
Fisiologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB.

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi setil alkohol C16 99%
dari Sigma-Aldrich, tionil klorida dari TCI, diklorometana, piridin, trimetilamina
45%, surfaktan dietanolamida hasil penelitian Dora (2017), surfaktan APG dari
Laboratorium SBRC IPB, pelarut xilen, emamektin benzoat dari Asia Foresight-
Care Group Ltd, Shanghai, Cina, daun kedelai, larva Spodoptera litura dan tisu.
12

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi labu 3 leher, gelas kimia,
termometer, magnetic stirrer, hotplate, cawan porselen, neraca analitik,
kondensor, molecular sieve, oven, pipet volumetrik, botol sample, mikropipet dan
cawan petri. Alat untuk pengujian yaitu densitymeter anton paar DNA 4500M,
spinning drop tensiometer, rheometer brookfield DV-III ultra, contact angle
analyzer phoenix 300, liquid chromatograph mass spectrometry (LC/MS) dan
particle size analyzer.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari empat tahapan yang meliputi sintesis dan
karakterisasi surfaktan, formulasi insektisida, formulasi insektisida nano
emulsifiable concentrate (nano-EC) dan uji efikasi formulasi insektisida terhadap
larva ulat grayak (Spodoptera litura).

Sintesis dan Karakterisasi Surfaktan


Surfaktan yang digunakan adalah surfaktan kationik dan nonionik.
Surfaktan nonionik yang digunakan yaitu alkil poliglifosat (APG) dari
laboratorium SBRC IPB dan dietanolamida (DEA) hasil penelitian Dora (2017).
Surfaktan kationik disintesis dari alkohol lemak C16 melalui dua tahapan proses
yaitu sintesis alkil halida dan kuartenerisasi amina. Pada tahapan sintesis alkil
halida, alkohol lemak direaksikan dengan tonil klorida dengan perbandingan mol
1:3 dan ditambahkan piridin dengan konsentrasi 0.35% pada reaktor refluks
dengan suhu reaksi 80°C selama 24 jam. Alkil halida yang terbentuk adalah jenis
setil klorida yang kemudian dioven pada suhu 80°C hingga berat tercapai.
Tahap selanjutnya adalah kuartenerisasi amina. Pada proses ini, setil klorida
yang terbentuk dilarutkan dalam diklorometan kemudian direaksikan dengan
trimetilamina pada reaktor refluks dengan suhu reaksi 50°C selama 24 jam. Rasio
perbandingan mol setil klorida dan trimetilamina adalah 1:3. Surfaktan kationik
yang terbentuk kemudian dicuci dengan etanol dan dioven untuk menguapkan
diklorometan, trimetilamine dan etanol berlebih. Surfaktan kationik ini
selanjutnya dianalisis bobot molekulnya dengan LC-MS (Tsany 2017). Hasil
sintesis surfaktan-surfaktan ini dianalisis sifat fisiknya yang meliputi densitas
(Densitymeter anton paar DNA 4500M), pH, tegangan permukaan (Spinning drop
tensiometer), viskositas (Rheometer Brookfield DV-III ultra) dan sudut kontak
(Contact angle analyzer phoenix 300) (Dora 2017).

Formulasi Insektisida
Formulasi insektisida yang dibuat adalah formulasi emulsifiable concentrate
(EC). Bahan aktif yang digunakan adalah emamektin benzoat dan pelarut xilen.
Konsentrasi bahan aktif emamektin benzoat yang digunakan yaitu 15% dan 20%.
Untuk meningkatkan kinerja insektisida pada daun dan kelarutan di dalam air,
pada formulasi ditambahkan surfaktan kationik dan nonionik. Menurut Edser
(2007), pada setiap formulasi mengandung 1-10% satu atau lebih surfaktan.
Konsentrasi surfaktan yang digunakan akan ditentukan melalui identifikasi nilai
CMC (Critical Micelle Concentration). Nilai CMC akan menentukan tiga
13

konsentrasi terbaik dari surfaktan yang digunakan. Konsentrasi surfaktan yang


digunakan terdiri atas tiga taraf, yaitu 4%, 5%, dan 6% dengan konsentrasi DEA
dan APG yang digunakan pada saat semua surfaktan dicampurkan yaitu 40:60
(w/w), 50:50 (w/w) dan 60:40 (w/w) dari total surfaktan nonionik yang
digunakan. Kedalam formulasi juga ditambahkan surfaktan kationik dengan
konsentrasi 1%. Pada formulasi EC ini kemudian dilakukan pengujian densitas,
tegangan permukaan (Spinning drop tensiometer), pH, sudut kontak (Contact
angle analyzer phoenix 300) (Indrawijaya 2016) dan ukuran partikel (Feng et al.
2016).
Rancangan percobaan yang digunakan dalam formulasi ini adalah
rancangan acak faktorial dengan 3 faktor yaitu konsentrasi bahan aktif,
konsentrasi surfaktan dan rasio perbandingan surfaktan nonionik. Formulasi
diulang sebanyak 2 kali. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan ANOVA (α
= 0.05) dan uji lanjut Duncan. Model matematika dari rancangan tersebut adalah :

Yijkl = μ + Ai + Bj + Ck + (AB)ij + (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk + εijkl

Keterangan :
Yijkl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, faktor C
taraf ke-k dengan ulangan ke-l
μ = nilai rata-rata umum
Ai = pengaruh faktor emamektin benzoat pada taraf ke-i (i = 15% dan
20%)
Bj = pengaruh faktor konsentrasi surfaktan pada taraf ke-j (j = 4%, 5%,
dan 6%)
Ck = pengaruh faktor konsentrasi DEA dan APG yang ditambahkan taraf
ke-k (k = 40:60 (w/w), 50:50 (w/w) dan 60:40 (w/w))
(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
(AC)ik = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor C taraf ke-k
(BC)jk = pengaruh interaksi antara faktor B taraf ke-j dan faktor C taraf ke-k
(ABC)ijk = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i, B taraf ke-j dan faktor
C taraf ke-k
εijkl = pengaruh galat atau error dari faktor faktor A taraf ke-i, B taraf ke-j
dan faktor C taraf ke-k

Formulasi Nano Emulsifiable Concentrate


Hasil formulasi EC terbaik akan dibuat formula kembali dengan teknologi
nanoemulsi. Formulasi EC terbaik kemudian diambil sebanyak 30 gram dan
dimasukkan ke dalam botol sample. Sampel dihomogenisasi dengan homogenizer
dengan kecepatan 4000 rpm. Proses pengecilan ukuran dilakukan dengan
menggunakan alat ultrasonikator dengan perlakuan frekuensi 42 kHz selama 15,
30 dan 45 menit. Pada formula nano-EC ini dilakukan pengujian densitas,
tegangan permukaan (Spinning drop tensiometer), pH, sudut kontak (Contact
angle analyzer phoenix 300) (Indrawijaya 2016) dan ukuran partikel (Feng et al.
2016).
14

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak faktorial


dengan 2 faktor. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan ANOVA (α = 0.05)
dan uji lanjut Duncan. Model rancanganny adalah :

Yijkl = μ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk

Keterangan :
Yijkl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dengan
ulangan ke-k
μ = nilai rata-rata umum
Ai = pengaruh faktor konsentrasi bahan aktif pada taraf ke-i (i = 15% dan
20%)
Bj = pengaruh faktor waktu ultrasonikasi pada taraf ke-j (j = 15, 20 dan
30 menit)
(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
εijk = pengaruh galat atau error dari faktor faktor A taraf ke-i, B taraf ke-j

Uji Efektivitas Formulasi Insektisida Terhadap Larva Ulat Grayak


(Spodoptera litura)
Efektivitas formulasi yang dikembangkan dapat dilihat pada uji efikasi
terhadap hama ulat grayak (Spodoptera litura). Sebanyak satu formulasi terpilih
dari masing-masing konsentrasi bahan aktif yang memiliki sifat fisiko kimia
terbaik diencerkan dengan air sesuai pada konsentrasi 0.05%, 0.1% dan 0.2%.
Perlakuan yang dilakukan dengan mencelupkan daun kedelai sebagai pakan ulat
grayak ke dalam insektisida yang telah diencerkan. Selanjutnya daun kedelai
dimasukkan ke dalam cawan petri dan diberikan larva instar III ulat grayak
sebanyak 10 ekor. Pengamatan dilakukan pada rentang waktu 24, 48 dan 72 jam.
Analisis mortalitas larva dilakukan dengan menggunakan statistika rancangan
acak faktorial 2 faktor dengan level kepercayaan 95%. Model rancanganny
adalah :

Yijkl = μ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk

Keterangan :
Yijkl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dengan
ulangan ke-k
μ = nilai rata-rata umum
Ai = pengaruh faktor jenis formulasi pada taraf i (i = jenis formulasi EC
dan nano-EC)
Bj = pengaruh faktor konsentrasi formulasi dalam air pada taraf ke-j (j =
0.05%, 0.1% dan 0.2%)
(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
εijk = pengaruh galat atau error dari faktor faktor A taraf ke-i, B taraf ke-j
15

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesis dan Karakterisasi Surfaktan

Surfaktan merupakan senyawa organik yang memiliki gugus fungsi lipofilik


dan hidrofilik dalam molekulnya (Karsa 2006). Surfaktan menjadi bahan
tambahan yang sangat penting terutama untuk membentuk larutan homogen dari
fasa nonpolar dan polar. Surfaktan mempunyai kemampuan untuk menurunkan
tegangan permukaan (surface tension) suatu medium dan menurunkan tegangan
antarmuka (interfacial tension) antar dua fase yang berbeda derajat polaritasnya
seperti pada cairan dengan cairan, padatan dengan cairan, ataupun gas dengan
cairan (Indrawijaya 2016). Terdapat beberapa jenis surfaktan yaitu surfaktan
nonionik, kationik, anionik, dan amfoterik. Menurut Karsa (2006), surfaktan
nonionik merupakan surfaktan yang molekulnya tidak bermuatan. Sifat hidrofilik
dan hidrofobiknya ditimbulkan oleh adanya gugus ester oksigen dan gugus
hidrokarbon. Surfaktan kationik adalah surfaktan yang memiliki gugus hidrofilik,
hidrofobik dan ion positif. Surfaktan ini didominasi oleh nitrogen bermuatan
positif sebagai gugus hidrofil inti (Gadberry 1990). Surfaktan anionik merupakan
surfaktan yang memiliki ion negatif. Surfaktan ini umumnya memiliki gugus
sulfonat, sedangkan surfaktan amfoterik merupakan surfaktan yang mengandung
bagian kationik dan anionik, dapat larut dalam air, sebagai agen pembasah,
detergensi dan pembentukan busa (Karsa 2006).
Surfaktan nonionik merupakan surfaktan yang paling banyak digunakan
baik dalam produk personal care maupun dalam formulasi pestisida. Surfaktan
nonionik umumnya memiliki tegangan permukaan yang lebih rendah dari
surfaktan ionik lainnya yang memiliki konsentrasi dan rantai alkil yang sama
(Rybinski dan Schmiedel 2006). Pada formulasi pestisida, surfaktan nonionik
berperan penting untuk membantu formula dapat larut dengan baik di dalam air.
Surfaktan nonionik yang digunakan dalam aplikasi pestisida adalah surfaktan
tween dan POEA. Surfaktan POEA banyak digunakan pada formulasi herbisida
dan memiliki tingkat toksisitas yang tinggi, sedangkan tween lebih banyak
digunakan pada formulasi insektisida (Howe et al. 2004). Surfaktan nonionik
DEA merupakan salah satu surfaktan nonionik yang disintesis dari minyak sawit.
Surfaktan ini telah banyak digunakan dalam formulasi pestisida khususnya pada
insektisida (Indrawijaya 2016, Dewi et al. 2017, Ferdian et al. 2016).
Surfaktan DEA yang digunakan sebagai adjuvant pada formulasi insektisida
disintesis dari metil ester olein sawit. Proses produksi surfaktan DEA adalah
melalui proses amidasi dengan lama proses 4 jam dan laju pengadukan 100 rpm
serta menggunakan pengaduk propeller (Dora 2017). Hasil analisis fisiko-kimia
surfaktan DEA menunjukkan nilai densitas 0.9762 g/cm3, tegangan permukaan 27
dyne/cm, sudut kontak 18.18º, pH 7.62 dan viscositas 257.35 cP (Tabel 2). Hasil
analisis ini menunjukkan densitas, tegangan dan sudut kontak yang cukup ideal
jika digunakan dalam aplikasi formulasi insektisida. Selisih antara densitas
surfaktan dan densitas air yang semakin kecil, menunjukkan adanya homogenisasi
larutan dengan dua fasa yang berbeda (Murakami et al. 2014). Selisih densitas
yang semakin rendah ini juga akan mempengaruhi tegangan permukaan dari
kedua zat yang berbeda jenis. Tegangan permukaan surfaktan yang kecil
16

menunjukkan kemampuan surfaktan untuk menyatukan dua jenis larutan yang


berbeda kepolarannya. Tegangan permukaan pada molekul suatu emulsi terjadi
akibat adanya gaya tarik menarik yang sama besar dari segala arah (van der walls)
(Indrawijaya 2016). Nilai sudut kontak surfaktan DEA menunjukkan kemampuan
surfaktan menyebar pada daun kedelai. Semakin kecil nilai sudut kontak, artinya
kemampuan surfaktan DEA membantu formula pestisida menyebar pada daun
sangat baik. Surfaktan DEA juga menunjukkan nilai pH yang netral.
Tabel 2 Sifat fisiko-kimia surfaktan nonionik dan kationik berbasis minyak sawit
Sifat fisiko-kimia DEA APG CTAC
3
Densitas (g/cm ) 0.9762 0.9763 0.9946
Tegangan permukaan (dyne/cm) 27.16 25.94 21.41
Sudut kontak (º) 18.18 7.21 20.39
pH 7.62 8.53 5.89
Viskositas (cP) 257.35 205.43 27.65
Surfaktan DEA berbasis minyak kelapa sawit ini telah banyak digunakan
dalam berbagai macam aplikasi produk seperti pada produk oil spill dispersant
(OSD) (Bresman 2018), formulasi insektisida (Indrawijaya 2016), membantu
proses bioremediasi tanah tercemar minyak (Surya 2015), formulasi herbisida
(Fakhirin 2017) dan formulasi produk lainnya. Surfaktan DEA pada dasarnya
memiliki karakteristik yang cukup baik untuk diaplikasikan khususnya pada
produk agrokimia. Akan tetapi pada insektisida, produk yang dihasilkan masih
memiliki stabilitas emulsi yang rendah. Hal ini disebabkan oleh HLB surfaktan
DEA yang rendah, yaitu 7 (Putri 2010). HLB menentukan dalam kualitas
surfaktan dalam membentuk emulsi. HLB juga menunjukkan tipe aplikasi
surfaktan. Semakin tinggi HLB surfaktan, maka surfaktan akan lebih mudah
membentuk emulsi minyak di dalam air, sedangakan HLB rendah akan lebih
membantu dalam pembentukan emulsi air didalam minyak (Chemmunique 1976).
Surfaktan DEA yang digunakan dalam aplikasi pestisida masih sulit membantu
formulasi insektisida untuk larut di dalam air. Kestabilan emulsi yang terbentuk
juga rendah. Oleh karena itu, dipilih surfaktan lain yang berbasis minyak sawit
untuk dapat membantu emulsi minyak di dalam air dari formulasi insektisida.
Surfaktan lainnya yang digunakan adalah surfaktan nonionik yang memiliki HLB
tinggi dan surfaktan kationik.
Surfaktan APG merupakan salah satu surfaktan nonionik yang banyak
digunakan dalam produk perawatan diri dan agrokimia. Surfaktan APG memiliki
gugus hidrofobik yang berasal dari alkohol lemak dan gugus hidrofilik yang
berasal dari D-glukosa. Kedua senyawa ini dihubungkan dengan rantai glikosidik.
Surfaktan ini merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dari
bahan-bahan organik seperti karbohidrat (Balzer and Luders 2000). Surfaktan
APG memiliki HLB sebesar 11.6 (Ash 2004). Surfaktan yang memiliki HLB
tinggi yaitu antara 10-20, memiliki kemampuan untuk membantu emulsi minyak
didalam air lebih baik (Chemmunique 1976). Surfaktan APG yang digunakan
dalam penelitian ini adalah surfaktan APG C12-C14. Surfaktan ini memiliki
karakteristik yaitu densitas 0.9763 g/cm3, tegangan permukaan 25.94 dyne/cm,
sudut kontak 7.21, pH 8,52 dan viskositas sebesar 205.43 cP (Tabel 2). Hasil ini
juga menunjukkan beberapa sifak fisik surfaktan APG seperti sudut kontak yang
17

lebih kecil, diharapkan mampu membantu surfaktan DEA dalam membentuk


emulsi yang lebih baik.
Surfaktan kationik juga dipilih untuk membantu surfaktan nonionik dalam
memperbaiki karaktersistik formulasi insektisida. Surfaktan ini diharapkan
mampu untuk berintegrasi dan membentuk stabilitas emulsi yang lebih baik.
Surfaktan kationik merupakan surfaktan yang memiliki ion yang mampu larut
didalam air dan mengikat ion bermuatan negatif dari air. Gugus ion bermuatan
positif ini terletak pada bagian kepala surfaktan kationik, sehingga juga mampu
terserap kedalam bahan-bahan yang bermuatan negatif seperti kain, rambut dan
membran sel bakteri (Karsa 2006).
Mariner Spec /9:10 (T /0.30:0.34) -2:4 (T -0.30:0.34) ASC=>NR(2.00)[BP = 284.6, 423]
284.61 422.7
100
90
80
70
% Intensity

60
50
40
30
20
10 304.61 549.09
225.53
0 0
99.0 319.2 539.4 759.6 979.8 1200.0
Mass (m/z)
Gambar 3 Spektrum LC-MS bobot molekul surfaktan kationik
Surfaktan kationik yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan
kationik yang mengandung asam lemak palmitat. Surfaktan kationik disintesis
dari produk turunan asam palmitat yaitu palmitil alkohol. Proses sintesis yang
dilalui adalah sintesis palmitil alkohol menjadi palmitil klorida (setil klorida). Sari
et al. 2017, telah berhasil mensitesis alkil halida dari produk turunan kelapa sawit
yaitu alkohol lemak (70%) yang mengandung asam palmitat. Hasil penelitian ini
menunjukkan reaksi palmitil alkohol dan tionil klorida dengan rasio mol 1:6,
menghasilkan setil klorida dengan bobot molekul 261.63 (m/z). Alkil halida yang
didapat merupakan produk antara (intermediate product). Hasil penelitian Sari et
al. (2017) menjadi acuan lebih lanjut dalam memproduksi surfaktan kationik.
Pada penelitian ini, proses sintesis alkil halida dilakukan dengan mereaksikan
palmitil alkohol (98%) dan tionil klorida dengan rasio mol 1:3 serta penambahan
piridin sebanyak 0.35% dari berat palmitil alkohol. Proses ini terjadi selama 24
jam dengan suhu refluks 80º C. Pada tahap sintesis ini, bahan baku setil alkohol
yang digunakan adalah sebesar 36 gram dan tionil klorida sebesar 33 mL, serta
piridin 130 µL. Hasil sintesis ini menghasilkan setil halida dengan berat total 38,4
gram (rendemen 43%). Hasil penelitian sebelumnya (Tsany 2018) menunjukkan
hasil FTIR produksi alkil halida, adanya pembentukan C-Cl pada panjang
gelombang 605.65-781.17 cm-1 dengan intensitas pembentukan 33.19-52.81%.
Tahapan selanjutnya adalah memproduksi surfaktan kationik. Surfaktan kationik
diproduksi dengan mereaksikan alkil halida dan trimetilamina dengan rasio mol
sebesar 1:3. Proses ini terjadi selama 6 jam dengan suhu refluks 50º C (Tsany
2018). Alkil halida yang dihasilkan akan direaksikan dengan trimetilamin sebesar
36.32 mL. Reaksi ini akan menghasilkan surfaktan kationik (setil trimetil
ammonium klorida (CTAC)) sebesar 27.86 gram (redemen 77.4% dari bahan baku
awal) (Lampiran 3). Hasil sintesis ini menunjukkan adanya perubahan massa dari
18

bahan baku palmitil alkohol (setil alkohol) sebesar 242.44 g/mol, menjadi produk
akhir surfaktan kationik dengan massa sebesar 284.6 g/mol (Gambar 3). Hasil
analisis menggunakan LC/MS menunjukkan intensitas kemurnian surfaktan
kationik cukup baik yaitu lebih besar dari 90%. Hasil penelitian sebelumnya
(Tsany 2018) menunjukkan adanya pembentukan ion nitrogen dan klorida dari
hasil FTIR dari surfaktan kationik. Hasil FTIR menunjukkan pada panjang
gelombang 1122.57-1354.03 cm-1 terbentuk ikatan antara C-N dengan intensitas
persentase 23/66-27.94%, adanya ikatan C-Cl pada panjang gelombang 636.51-
723.31 cm-1 sebesar 11.81-13.42%, ikatan C-H terbentuk pada panjang
gelombang 2852.72-2956.87 cm-1 sebesar 41.43-44.30% dan ikatan O-H
terbentuk pada panjang gelombang 3365.78-3547.09 cm-1 sebesar 24.69-30.43%.

Gambar 4 Produk dari hasil sintesis surfaktan kationik, (dari kiri ke kanan) alkil
halida, surfaktan kationik sebelum pemisahan, surfaktan kationik
Hasil analisis surfaktan kationik menunjukkan karakteristik surfaktan
kationik yaitu densitas sebesar 0.9946 g/cm3, tegangan permukaan 21.41 dyne/cm,
sudut kontak sebesar 20.39, pH sebesar 5.89 dan viskositas sebesar 27.65 cP
(Tabel 2). Nilai ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan surfaktan DEA.
Hasil penelitian Indrawijaya (2016) menunjukkan penambahan surfaktan kationik
mampu membantu dalam penyebaran insektisida pada permukaan daun kedelai.
Karakteristik surfaktan kationik menunjukkan bahwas alkohol lemak dari produk
turunan minyak kelapa sawit memiliki potensi untuk dikembangkan dan
diharapkan mampu membantu dalam memperbaiki stabilitas emulsi pada produk
insektisida yang dikembangkan. Hasil sintesis surfaktan kationik ini menunjukkan
bahwa produk yang dihasilkan memiliki karakteristik yang hampir sama dengan
produk komersial yaitu CTAB. Hasil pengujian menunjukkan tegangan
permukaan surfaktan hasil sintesis lebih rendah dibandingkan surfaktan CTAB
komersial (27.47 dyne/cm). Surfaktan ini juga memiliki warna dan bentuk yang
sama dengan surfaktan CTAB yaitu berwarna putih bersih dan berbentuk bubuk.

Formulasi Insektisida

Penentuan Konsentrasi Surfaktan dengan Metode CMC


Surfaktan merupakan agen penurun tegangan permukaan yang dapat larut
dalam air maupun minyak. Mekanisme pengikatan dua larutan berbeda jenis ini
yaitu bagian kepala surfaktan akan megikat air sedangkan bagian ekor akan
mengikat bagian minyak maupun udara. Ini akan membentuk sebuah molekul
yang disebut misel dimana bagian hidrofobik akan dilindungi oleh bagian
19

hodrofilik. Hal ini menyebabkan penurunan tegangan antarmuka antar dua larutan
tersebut. Konsentrasi kritis misel (CMC) adalah konsentrasi tertentu suatu
monomer surfaktan membentuk misel dalam sebuah emulsi (Almoazen dan
simonelli 2007).
Perilaku ini adalah bentuk fungsi dari interaksi elektrostatik antara bagain
polar dengan rantai hidrokarbon yang bersifatt nonpolar (hidrofobik). Terdapat
banyak cara dalam mengukur CMC yaitu tegangan permukaan (Hiemenz dan
Rajagopalan (1997), Lin et al. 1999), konduktifitas dan konstanta dielektrik
(Rodriguez et al. 1998), kinetika reaksi antara OH dan surfaktan menggunakan
metode radiolisis (Perkowski et al. 1995), elektroforesis kapiler (Cifuentes et al.
1997), resonansi magnetik nulir (NMR) (Lasemann et al. 1998) dan metode
lainnya.
37
Tegangan permukaan (dyne/cm)

36.5
36
35.5
35
34.5
34
33.5
33
32.5
32
31.5
1% 2% 3% 4% 5% 6% 7% 8% 9% 10%
Konsentrasi surfaktan nonionik
Gambar 5 Hasil analisis tegangan permukaan formula insektisida sebagai
konsentrasi kritis misel (CMC)
Penentuan nilai CMC dengan menggunakan metode pengukuran tegangan
permukaan dilakukan pada konsentrat formulasi insektisida. Data menunjukkan
pada konsentrasi surfaktan nonionik 1-10%, terjadi penurunan nilai tegangan
permukaan hingga konsentrasi surfaktan 5%, kemudian terjadi kenaikan nilai
tegangan permukaan pada konsentrasi 6-10% (Gambar 5). Nilai tegangan
permukaan pada dasarnya akan turun jika terjadi peningkatan konsentrasi
surfaktan. Depresiasi dalam nilai-nilai tegangan permukaan surfaktan dalam
larutan berair dapat dikaitkan dengan peningkatan adsorpsi molekul surfaktan
pada antarmuka larutan (Lin et al. 1999). Depresiasi ini disebut konsentrasi misel
kritis (CMC). Pada konsentrasi surfaktan yang berbeda, peningkatan rantai
panjang alkil mengurangi nilai tegangan permukaan. Hal ini disebabkan adanya
peningkatan hidrofobik karena peningkatan rantai panjang alkil yang memompa
molekul surfaktan ke antarmuka dan akibatnya menurunkan tegangan permukaan
(Aiad et al. 2017). Hal ini menunjukkan peningkatan surfaktan yang lebih tinggi
akan memecah emulsi yang terbentuk. Oleh karena itu, analisis ini sangat penting
dalam mengembangkan produk-produk emulsi. Hasil data ini akan menjadi acuan
dalam pemilihan konsentrasi surfaktan nonionik yang ditambahkan di dalam
formulasi insektisida. Berdasarkan data, konsentrasi surfaktan nonionik yang akan
ditambahkan adalah sebesar 4%, 5% dan 6% (Gambar 5).
20

Densitas
Densitas adalah nilai yang diperoleh dari hasil pembagian antara massa dan
volume (Ferdian et al. 2016). Densitas mempengaruhi pencampuran antara
formula dengan air. Air memiliki densitas sebesar 1 g/cm3. Jika densitas formula
mendekati densitas air, maka formula akan lebih stabil mengemulsi didalam air
(Murakami et al. 2014). Jenis emulsi yang akan terbentuk adalah emulsi minyak
di dalam air (O/W). Emulsi akan semakin baik terbentuk jika ukuran partikel
seragam. Pada formulasi insektisida, densitas akan mempengaruhi aplikasi
penyemprotan. Semakin tinggi densitas, maka larutan akan semakin rapat dan
sulit untuk disemprotkan, hal ini juga berkaitan dengan tingkat viskositas larutan
yang semakin tinggi. Aplikasi penyemprotan dilakukan dengan mencampurkan
formula insektisida dalam air.
Tabel 3 menunjukkan nilai densitas formulasi insektisida di dalam air
adalah sebesar 0.9949-0.9967 g/cm3. Rata-rata densitas ini menunjukkan adanya
stabilitas formulasi insektisida di dalam air. Pada aplikasi penggunaannya,
formulasi insektisida akan dicampurkan dengan air kemudian disemprotkan pada
tanaman. Densitas sediaan cairan semprot insektisida, menunjukkan angka yang
mendekati 1 g/cm3 (Tabel 3). Jika selisih densitas larutan insektisida kecil, maka
akan terbentuk emulsi yang sangat baik antara formulasi insektisida dengan air
(Murakami et al. 2014). Data menunjukkan penambahan surfaktan akan
memperbesar densitas formulasi yang terbentuk. Hasil analisis keragaman
menunjukkan konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% berpengaruh signifikan pada
densitas formulasi insektisida (Lampiran 4). Konsentrasi 15% dan 20%
menghasilkan densitas yang berbeda nyata, sedangkan rasio surfaktan DEA dan
APG berpengaruh secara signifikan terhadap densitas formulasi insektisida,
dimana rasio DEA : APG sebesar 60:40 dan 40:60 tidak berbeda nyata, akan
tetapi kedua rasio itu berbeda nyata dengan formulasi insektisida dengan rasio
DEA:APG sebesar 50:50. Konsentrasi surfaktan juga berpengaruh sangat nyata
densitas formulasi insektisida. Nilai densitas pada konsentrasi surfaktan 5%
beberda nyata dengan densitas pada konsentrasi surfaktan 4% dan 6%, akan tetapi
densitas pada konsentrasi surfaktan 4% dan 6% tidak berbeda nyata. Hasil analisis
keragaman interaksi konsentrasi dan rasio surfaktan nonionik menunjukkan nilai
densitas terbesar adalah pada perlakuan penambahan surfaktan nonionik 5% serta
rasio DEA : APG sebesar 40:60 (Lampiran 4).
Surfaktan DEA dan APG yang digunakan juga memiliki karakteristik
densitas yang baik. Densitas surfaktan APG dan DEA yang digunakan adalah
sebesar 0.9762 dan 0.9763 g/cm3 (Tabel 3). Penggunaan surfaktan DEA dan APG
pada umumnya tidak berpengaruh pada peningkatan densitas, hal ini disebabkan
oleh densitas kedua surfaktan yang tidak jauh berbeda. Selain itu, Surfaktan DEA
dan APG dengan rantai karbon C12 dan C14 yang memiliki kemampuan
meningkatkan stabilitas emulsi yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang
memiliki jumlah rantai karbon lebih sedikit (Aisyah 2011). Hal ini juga
menyebabkan surfaktan APG memiliki kemampuan hidrofobik dan mengikat
bahan nonpolar yang lebih baik. Pada emulsi minyak dalam air (O/W) surfaktan
APG akan mengikat minyak dengan baik dan membentuk globula yang seragam,
sehingga tingkat dispersi formula di dalam air akan semakin baik. Surfaktan DEA
dan APG pada umumnya banyak digunakan pada formulasi herbisida (Fakhirin
21

2017) karena kemampuannya larut dalam air lebih baik jika dibandingkan setelah
dicampurkan dengan pelarut xilen dan dilarutkan didalam air.
Tabel 3 Densitas (g/cm3) sediaan cairan semprot insektisida
Konsentrasi Konsentrasi emmamektin benzoat (%)
surfaktan (%) 15 20
Rasio DEA:APG (60:40)
4 0.9956 ± 0.00def 0.9955 ± 0.00def
5 0.9959 ± 0.00bc 0.9957 ± 0.00cd
6 0.9954 ± 0.00f 0.9956 ± 0.00de

Rasio DEA : APG (50:50)


4 0.9955 ± 0.00ef 0.9955 ± 0.00def
5 0.9956 ± 0.00def 0.9954 ± 0.00f
6 0.9951 ± 0.00g 0.9960 ± 0.00b

Rasio DEA:APG (40:60)


4 0.9955 ± 0.00ef 0.9949 ± 0.00g
5 0.9956 ± 0.00def 0.9967 ± 0.00a
6 0.9955 ± 0.00def 0.9954 ± 0.00ef
a,b,c,...g
Angka-angka yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada hasil uji
lanjut Duncan 5%.

Nilai pH
Formulasi insektisida yang beredar pada umumnya berbentuk konsentrat
dan perlu proses pencampuran dengan air pada penggunaannya. Air memiliki
kandungan mineral terlarut, bahan organik dan pH yang bergantung dari
sumbernya. Nilai pH merupakan derajat keasaman atau alkalinitas air yang
mengacu pada jumlah ion hidrogen (H+) dan hidroksil (OH-) dalam suatu larutan
(Schilder 2008). Air sebagai agen pendispersi harus memiliki nilai yang konstan,
karena memiliki pengaruh pada variasi tanaman yang dihasilkan akibat adanya
perubahan musim. Pengontrolan nilai pH air sebagai agen pendispersi konsentrat
formula insektisida dapat dilakukan dengan menambahkan buffer atau water
conditioning agents (Cloyd 2015). Nilai pH yang netral menunjukkan
keseimbangan antara dua ion tersebut, jika ion hidrogen lebih besar maka larutan
akan bersifat asam. Namun jika ion hidroksil lebih besar, maka larutan bersifat
basa (Dewi et al. 2017). Pengukuran nilai pH dilakukan pada rentang 0-14.
Data menunjukkan bahwa pH dari larutan insektisida adalah normal. Rata-
rata pH larutan insektisida adalah 7.14-7.90. Hasil pengukuran ini telah memenuhi
standar nilai pH yang diharapkan oleh larutan insektisida didalam air yaitu 5.0-7.0
(Cloyd 2015). Analisis keragaman terhadap rasio surfaktan menunjukkan
pengaruh yang signifikan, dimana rasio DEA:APG sebesar 60:40 dan 40:60
bebeda nyata dengan nilai pH dengan rasio DEA:APG sebesar 50:50 (Lampiran
5). Hasil analisis keragaman juga menunjukkan konsentrasi surfaktan nonionik
memberikan pengaruh nyata pada nilai pH larutan insektisida dimana konsentrasi
4% dan 5% memiliki nilai pH yang berbeda nyata dengan konsentrasi surfaktan
6%. Surfaktan kationik tidak memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada
penambahan nilai pH. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi surfaktan kationik yang
22

digunakan cukup kecil yaitu 1%. Nilai pH dari bahan-bahan yang digunakan pada
umumnya menunjukkan nilai pH yang netral (Tabel 4).
Tabel 4 Nilai pH sediaan cairan semprot insektisida
Konsentrasi Konsentrasi emmamektin benzoat (%)
surfaktan (%) 15 20
Rasio DEA:APG (60:40)
4 7.45 ± 0.04de 7.45 ± 0.01de
5 7.75 ± 0.07ab 7.57 ± 0.01cd
6 7.90 ± 0.10a 7.46 ± 0.01de

Rasio DEA : APG (50:50)


4 7.14 ± 0.08g 7.53 ± 0.03de
5 7.26 ± 0.04fg 7.71 ± 0.18bc
6 7.56 ± 0.11cd 7.83 ± 0.01ab

Rasio DEA:APG (40:60)


4 7.45 ± 0.07de 7.83 ± 0.01ab
5 7.37 ± 0.03ef 7.51 ± 0.04de
6 7.81 ± 0.08ab 7.57 ± 0.01cd
a,b,c,...f
Angka-angka yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada hasil uji
lanjut Duncan 5%.

Nilai pH yang sangat tinggi atau sangat rendah akan menyebabkan tingkat
toxisitasnya menjadi tinggi dan berakibat pada rusaknya tumbuhan yang menjadi
target. Pada umumnya, insektisida khususnya dari golongan organofosfat dan
karbamat lebih rentan terhadap hidrolisis alkali jika dibandingkan dengan
fungisida dan herbisida. Hal ini dapat menyebabkan waktu degradasi insektisida
menjadi semakin lebih cepat sehingga tidak efektif lagi untuk mengendalikan
hama. Menurut Schilder (2008), pH juga berpengaruh terhadap aplikasi
pemakaiannya dalam bentuk semprotan. Pada pH lebih dari 5, tingkat stabiltas
pestisida akan semakin baik.

Tegangan Permukaan
Surfaktan adalah senyawa organik yang memiliki gugus lipofilik dan
hidrofilik dalam molekulnya (Karsa 2006). Surfaktan merupakan agen penurun
tegangan permukaan. Tegangan permukaan merupakan salah satu faktor penting
dalam mengetahui kestabilan emulsi antara formula insektisida dengan air.
Pengukuran tegangan permukaan bertujuan untuk mengetahui aktivitas emulsi
pada permukaannya (Aiad et al. 2018). Emulsi dapat terbentuk karena perbedaan
fasa antara dua larutan atau zat. Kedua fase ini, memiliki kemampuan untuk
mempertahankan luas permukaannya sehingga terbentuk tegangan dipermukaan
larutan tersebut.
Tegangan permukaan merupakan faktor penting dalam mengetahui stabilitas
emulsi. Semakin rendah tegangan permukaan antara dua fasa, maka semakin baik
emulsi yang terbentuk. Penurunan tegangan permukaan dalam larutan juga dapat
menyebabkan peningkatan adsorpsi molekul surfaktan pada antarmuka larutan.
Adsorpsi molekul surfaktan pada larutan disebabkan oleh interaksi antara
surfaktan dan molekul air (Aiad et al. 2018). Pada aplikasi penggunaannya,
23

insektisida akan disemprotkan pada tumbuhan target. Nilai tegangan permukaan


ini akan mempengaruhi pelapisan permukaan daun oleh cairan insektisida (Xu et
al. 2011). Pada penelitian tersebut, semakin besar cakupan luas area target, maka
tegangan permukaan harus semakin kecil.
35.00
Tegangan Permukaan (dyne/cm)

a
ab bc
c d d fe
d
30.00 e fe fg fe fe e
f
fg g h
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
4 5 6 4 5 6 4 5 6
Rasio DEA : APG Rasio DEA : APG Rasio DEA : APG
(60:40) (50:50) (40:60)

Gambar 6 Tegangan permukaan formulasi insektisida di dalam air ( ) dengan


C
bahan aktif 15% dan ( ) bahan aktif 20%
C
Pada pernelitian ini, tegangan permukaan formula insektisida dalam air
yaitu sebesar 25.01-32.82 (dyne/cm). Bahan aktif insektisida merupakan senyawa
nonpolar yang hanya dapat larut pada pelarut organik tertentu. Selain itu, semakin
banyak jumlah bahan aktif dan jumlah atom karbon pada surfaktan, kemampuan
mengikat senyawa nonpolar akan semakin baik. Data menunjukkan semakin besar
jumlah surfaktan nonionik khususnya surfaktan APG, maka semakin rendah
tegangan permukaan yang dihasilkan (Gambar 6). Surfaktan APG memiliki
kemampuan yang cukup baik untuk mengikat senyawa nonpolar karena memili
rantai alkil yang panjang (Aisyah 2011). Surfaktan merupakan adjuvant yang
sangat penting yang dapat membantu dalam menurunkan tegangan permukaan.
Hal ini juga sangat penting dalam membantu peningkatan kontak antara tetesan
insektsida dengan permukaan daun tanaman target (Spanoghe et al. 2007). Hasil
penelitian juga menunjukkan nilai tegangan permukaan yang rendah. Hal ini juga
disebabkan adanya penggunaan surfaktan kationik. Jika dibandingkan dengan
hasil penelitian Indrawijaya (2016) dengan penambahan surfaktan kationik SK55,
nilai tegangan permukaan yang dihasilkan pada penelitian ini lebih baik.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi bahan aktif 15%
dan 20% yang ditambahkan berpengaruh signifikan terhadap tegangan permukaan
cairan insektisida (Lampiran 6). Konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% memiliki
nilai tegangan permukaan yang berbeda nyata. Rasio surfaktan DEA dan APG
juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tegangan permukaan cairan
insektisida, dimana formulasi insektisida dengan rasio DEA dan APG sebesar
60:40, 50:50 dan 40:60 memiliki nilai tegangan permukaan yang berbeda nyata.
Rasio APG yang lebih besar memiliki nilai tegangan permukaan yang lebih kecil.
Hal ini disebabkan oleh jenis emulsi pada larutan insektisida yang terbentuk
adalah minyak di dalam air. Pada emulsi jenis ini, diperlukan HLB yang tinggi
untuk mampu mengikat air sehingga terbentuk homogenisasi larutan. Konsentrasi
24

surfaktan nonionik juga memberikan pengaruh yang signifikan pada tegangan


permukaan larutan insektisida. Formula insektisida dengan konsentrasi surfaktan
nonionik 4%, 5% dan 6% memiliki nilai tegangan permukaan yang berbeda nyata.
Data menunjukkan semakin besar penambahan surfaktan maka semakin kecil
tegangan permukaan larutan insektisida dalam air. Pada emulsi minyak di dalam
air, molekul surfktan akan membentuk lapisan antar muka pada minyak
(McClements 2007). Lapisan ini akan menyebabkan terbentuknya globula minyak
didalam air, sehingga emulsi yang terbentuk lebih stabil. Hasil analisis keragaman
interaksi konsentrasi dan rasio surfaktan nonionik menunjukkan nilai tegangan
permukaan terbaik adalah pada perlakuan penambahan surfaktan nonionik 6%
serta rasio DEA : APG sebesar 40:60 (Lampiran 7). Nilai tegangan permukaan
terbaik pada konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% berturut-turut sebesar 27.42
dan 25.38 dyne/cm.

Sudut Kontak
Surfaktan merupakan salah satu bahan tambahan yang berperan sebagai
agen pembasah (wetting agent) (Castro et al. 2013). Parameter pengukuran untuk
mengetahui peran surfaktan dalam hal ini adalah sudut kontak cairan insektisida
pada permukaan daun. Sudut kontak adalah metode untuk mengukur sudut antara
permukaan padat dalam hal ini daun dan droplet cairan semprot insektisida
(Luepakdeesakoon et al. 2006). Daun sebagai objek target, pada umumnya
dilapisi dengan lilin. Jika air menetes pada daun, maka air tersebut dapat langsung
jatuh ke permukaan tanah. Penambahan surfaktan dapat membantu melekatkan
formula insektisida pada permukaan daun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sudut kontak larutan insektisida adalah
21.19-65.82º. Hasil penelitian menunjukkan semakin besar konsentrasi bahan
aktif yang ditambahkan, maka semakin kecil sudut kontak yang terbentuk
(Gambar 7). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi bahan
aktif memberikan pengaruh signifikan terhadap sudut kontak larutan insektisida.
Larutan insektisida dengan konsentrasi bahan aktif 15% menghasilkan nilai sudut
kontak yang berbeda nyata dengan larutan insektisida dengan konsentrasi bahan
aktif 20% (Lampiran 7). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa konsentrasi
bahan aktif yang digunakan lebih kecil jika dibandingkan penelitian Dewi et al.
(2017). Formulasi insektisida yang dihasilkan lebih baik dan lebih efektif jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Emamektin benzoat sebagai bahan
aktif memiliki tingkat kelarutan yang sangat rendah didalam air yaitu 24 mg/L.
Hal ini menyebabkan, perlu adanya proses pencampuran bahan aktif dengan
senyawa organik sehingga yang didapatkan adalah fase minyak. Aplikasi
penggunaan dengan pencampuran menggunakan air bertujuan untuk
mempertahankan aktifitas biologi dari bahan aktif, efisiensi, keamanan dan
kenyamanan penggunaan ketika dilakukan penyemprotan (Feng et al. 2016).
Penambahan surfaktan nonionik menunjukkan mampu memperkecil sudut
kontak yang dibentuk oleh cairan insektisida pada permukaan daun. Hasil analisis
keragaman menunjukkan konsentrasi surfaktan memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap nilai sudut kontak. Penambahan surfaktan dengan
konsentrasi 4%, 5% dan 6% memiliki nilai sudut kontak yang berbeda nyata.
Semakin besar konsentrasi surfaktan yang ditambahkan maka akan membantu
dalam memperkecil sudut kontak dan memperluas area kontak larutan insektisida
25

(Yang et al. 2013). Sudut kontak yang kecil menunjukkan kinerja surfaktan
sebagai agen pembasah serta penyebaran cairan insektisida sangat baik di atas
permukaan daun (Zhou 2007).
70.00 a
b
60.00 c c
Sudut kontak 0 menit (º)

d
de
50.00 e
f
fg
40.00 h gh h
ih
ij ij
jk
30.00 k
l
20.00

10.00

0.00
4 5 6 4 5 6 4 5 6
Rasio DEA : APG Rasio DEA : APG Rasio DEA : APG
(60:40) (50:50) (40:60)
Gambar 7 Sudut kontak formulasi insektisida di dalam air ( ) dengan bahan
C
aktif 15% dan ( ) bahan aktif 20%
C
Jenis surfaktan nonionik yang digunakan didalam formulasi insektisida juga
mempengaruhi karakteristik formula yang dihasilkan. Surfaktan dengan HLB
yang lebih tinggi akan membantu dalam pembentukan emulsi minyak di dalam air
sedangkan formula dengan HLB rendah akan membantu emulsi air didalam
minyak (Chemmunique 1976). Larutan insektisida didalam air akan membentuk
emulsi minyak didalam air. Pada penelitian ini, penambahan surfaktan APG
dengan konsentrasi yang lebih besar dapat memperkecil sudut kontak antara daun
dan cairan insektisida yang disemprotkan. Hasil analisis karakteristik surfaktan
juga menunjukkan nilai sudut kontak surfaktan APG lebih kecil jika dibandingkan
dengan surfaktan DEA (Tabel 2). Hasil analisis keragaman juga menunjukkan
bahwa rasio surfaktan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap nilai
sudut kontak yang dihasilkan. Rasio DEA dan APG sebesar 60:40, 50:50 dan
40:60 memiliki nilai sudut kontak yang berbeda nyata. Pada penelitian terdahulu
(Indrawijaya 2016 dan Dewi et al. 2017) menunjukkan hasil sudut kontak yang
cukup baik. Akan tetapi, penambahan surfaktan APG mampu menghasilkan nilai
sudut kontak hingga 21.19º. Hasil penelitian Indrawijaya (2016) juga
menunjukkan dengan penambahan surfaktan kationik, sudut kontak yang
dihasilkan semakin kecil. Hal ini menunjukkan adanya peranan penting surfaktan
kationik dalam mengukat ion-ion yang terdapat didalam air. Hasil analisis
keragaman interaksi konsentrasi dan rasio surfaktan nonionik menunjukkan nilai
sudut kontak terbaik adalah pada perlakuan penambahan surfaktan nonionik 6%
serta rasio DEA : APG sebesar 40:60 (Lampiran 7). Nilai sudut kontak terbaik
pada konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% berturut-turut sebesar 35.81º dan
21.62º.
26

Ukuran Partikel
Surfaktan merupakan bahan pengemulsi yang baik. Surfaktan nonionik
adalah pengemulsi yang dapat digunakan untuk emulsi dengan tipe O/W ataupun
W/O (Tadros 2013). Campuran surfakan nonionik atau ionik dan nonionik akan
dapat lebih efektif dalam membentuk stabilitas emulsi. Pengukuran stabilitas
emulsi ini dapat dilakukan dengan mengetahui ukuran partikel emulsi. Analisis
ukuran partikel dilakukan dengan mengukur diameter tetesan emulsi didalam air
atau didalam minyak (Dewi et al. 2017). Surfaktan memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam pembentukan ukuran partikel dan kemampuan dispersi. Pada
formulasi insektisida, pembentukan emulsi minyak didalam air dapat dilihat
dengan keseragaman ukuran partikel yang dihasilkan (Feng et al 2016). Hal ini
juga mengidentifikasikan partikel formula insektisida tersebar merata didalam air.
Tabel 5 Ukuran partikel (µm) formulasi insektisida di dalam air
Konsentrasi Konsentrasi emmamektin benzoat (%)
surfaktan (%) 15 20
Rasio DEA:APG (60:40)
4 6.25 ± 2.24a 5.98 ± 1.34abc
5 6.04 ± 2.09ab 5.92 ± 1.22abc
6 5.34 ± 1.80cd 4.60 ± 0.78hij

Rasio DEA : APG (50:50)


4 5.79 ± 1.60abcd 4.89 ± 1.15fgh
5 5.62 ± 0.72bcde 4.78 ± 0.82ghi
6 5.52 ± 0.30cde 4.15 ± 0.82jk

Rasio DEA:APG (40:60)


4 5.68 ± 0.91bcde 4.91 ± 1.03fgh
5 5.22 ± 0.55efg 4.39 ± 0.80ij
6 4.64 ± 0.34ih 3.79 ± 0.59k
a,b,c,...k
Angka-angka yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada hasil uji
lanjut Duncan 5%.

Analisis ukuran partikel dilakukan dengan melarutkan formula insektisida


1% didalam air. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata ukuran partikel emulsi
didalam air adalah 3.79-6.25 µm (Tabel 5). Data menunjukkan penambahan bahan
aktif akan membantu dalam mengecilkan ukuran partikel emulsi yang terbentuk.
Selain itu, standar deviasi menunjukkan semakin kecil standar deviasi ukuran
partikel yang dihasilkan, maka semakin seragam partikel emulsi terdispersi
didalam air. Hasil analisis keragaman menunjukkan konsentrasi bahan aktif
berpengaruh secara signifikan terhadap ukuran partikel larutan insektisida.
Konsentrasi surfaktan APG yang lebih besar mengidentifikasikan ukuran dan
keseragaman partikel semakin besar. Hasil analisis keragaman menunjukkan
bahwa rasio surfaktan nonionik berpengaruh nyata terhadap ukuran partikel. Rasio
surfaktan 60:40, 50:50 dan 40:60 memiliki nilai ukuran partikel yang berbeda
nyata. Penambahan konsentrasi surfaktan nonionik memberikan pengaruh
signifikan terhadap ukuran partikel emulsi. Semakin besar surfaktan yang
ditambahakan, maka semakin kecil ukuran partikel yang dikhasilkan. Gambar
menunjukkan dispersi emulsi yang terbentuk antara formula insektisida dengan
27

air. Penambahan surfaktan nonionik mampu meningkatkan keseragam ukuran


partikel emulsi didalam air. Hasil analisis keragaman interaksi konsentrasi dan
rasio surfaktan nonionik menunjukkan nilai sudut kontak terbaik adalah pada
perlakuan penambahan surfaktan 6% serta rasio DEA : APG sebesar 40:60 dan
50:50 (Lampiran 8). Hasil analisis duncan menunjukkan bahwa nilai ukuran
partikel pada interaksi perlakuan tersebut tidak berbeda nyata. Nilai sudut kontak
terbaik diambil dengan perlakuan konsentrasi surfaktan 6% dan rasio DEA:APG
pada konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% berturut-turut sebesar 35.81º dan
21.62º.

(a) (b) (c)


Gambar 8 Dispersi partikel formulasi insektisida di dalam air pada rasio
DEA:APG 40:60 dan (a) konsentrasi surfaktan nonionik 4% (b)
konsentrasi surfaktan nonionik 5% dan (c) konsentrasi surfaktan
nonionik 6%

Formulasi Insektisida Nano Emulsifiable Concentrate

Pestisida mengandung bahan-bahan yang sulit larut didalam air sehingga


sulit dalam mengembangkan formulasi yang ramah lingkungan dan efisien (Yang
2009, Sekhon 2014). Selain pemilihan ko-formulan yang tepat, teknologi nano
dapat menjadi solusi dalam memperbaiki stabilitas emulsi dan kelarutan formula
didalam air. Nanoemulsi adalah salah satu teknik nanopestisida yang sudah
banyak digunakan dan efektif untuk pengendalian penyakit tanaman (Bergeson
2016; Bouwmeester et al. 2009). Nanoemulsi merupakan sistem yang memiliki
tingkat kestabilan yang lebih baik dari mikroemulsi. Pada pestisida, nanoemulsi
dapat meningkatkan absorbsi, penetrasi dan mensolubilisasikan zat aktif (Lee and
Tadros 1982). Sistem nanoemulsi lebih transparent, tembus cahaya dan membuat
dispersi minyak dalam air yang lebih stabil karena adanya lapisan film dari
surfaktan atau molekul surfaktan, yang memiliki ukuran droplet berkisar 50–500
nm (Shakeel et al. 2008).
Teknologi nano dapat memperkecil partikel hingga berukuran nano (10 -9 m)
dan diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas bahan aktif
(Noveriza et al. 2017). Teknologi nanoemulsi dapat dibuat dengan peralatan yang
membutuhkan konsumsi energi rendah, tinggi atau menggabungkan kedua alat
tersebut. Metode dengan menggunakan energi tinggi yaitu dengan pengadukan
kecepatan tinggi, gelombang ultrasonik, homogenisasi tekanan tinggi khususnya
mikrofluida dan membran (Koroleva and Yurtov 2012). Metode yang
membutuhkan energi rendah adalah metode fase suhu invers,titik invers emulsi
dan emulsifikasi spontan (Chang and McClements 2014). Teknologi nanoemulsi
yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan homogenizer
kecepatan tinggi dan sonikasi. Badawy et al. (2017) telah mencoba membuat
28

nanoemulsi dengan menggunakan homogenizer pada kecepatan 4000 rpm dan


sonifikasi dengan daya 25-75 kHz selama 10-20 menit. Hasil penelitian
menujukkan sonikasi dengan daya 75 kHz selama 20 menit mampu menghasilkan
pestisida dengan kestabilan emulsi yang baik. Pada penelitian ini formulasi
insektisida nanoemulsi dilakukan dengan sonikasi pada daya 42 kHz selama 15-45
menit.

Ukuran Partikel Nano Emulsifiable Concentrate


Ultrasonikasi adalah metode pengecilan ukuran dengan memberikan
gelombang ultrasonik pada sebuah larutan (Komariah 2011). Proses pengecilan
ukuran dengan menggunakan gelombang ultrasonikasi bertujuan untuk
meningkatkan keseragaman dan kestabilan partikel. Prinsip kerja dari alat ini
adalah dengan mentransformasikan energi listrik menjadi sebuah vibrasi mekanik
(Jafari et al. 2007). Gelombang ultrasonik merupakan rambatan energi dan
momentum mekanik, sehingga membutuhkan medium untuk merambat sebagai
interaksi dengan molekul. Pada media ini, gelombang ultrasonikasi akan
memecahkan partikel-partikel bahan menjadi lebih kecil sehingga efek kavitasi.

6.00

5.00
4.64
Ukuran partikel (µm)

4.00 3.79

3.00

2.00
1.12a 0.82cd
0.70d
1.00
1.09ab 0.96bc 0.75d
0.00
0 15 30 45
Waktu sonikasi (menit)

BA 15% BA 20%
Gambar 9 Ukuran partikel formulasi insektisida di dalam air setelah sonikasi
Pada penelitian ini, proses sonikasi dilakukan pada formula insektisida
dengan karakteristik terbaik. Karakteristik sifat fisiko kimia terbaik adalah
memiliki tegangan permukaan dan sudut kontak terendah dari masing-masing
konsentrasi bahan aktif. Hasil penelitian menunjukkan formulasi insektisida
terbaik adalah dengan konsentrasi surfaktan nonionik 6% dan rasio DEA : APG
(40:60) yaitu tegangan permukaan 27.42 dan 25.38 dyne/cm serta sudut kontak
35.81º dan 21.62º. Hasil juga menunjukkan bahwa stabilitas emulsi setelah 24 jam
masih kurang baik, yaitu adanya pemisahan antara air dan formula isektisida.
Hasil terbaik ini kemudian dikecilkan ukurannya dengan metode ultrasonikasi.
Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 9) perubahan formula insektisida
setelah dilakukannya sonikasi yaitu jumlah bahan aktif tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap perubahan ukuran partikel dari formula insektisida. Hal ini
ditunjukkan dari ukuran partikel setelah sonikasi hampir sama untuk kedua
konsentrasi bahan. Akan tetapi, waktu sonikasi memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap pengecilan ukuran dari formula insektida. Ukuran partikel
29

rata-rata setelah sonikasi adalah 0.69-1.20 µm. Nanopartikel merupakan partikel


dengan diameter 1-1000 nm (Tiyaboonchai 2013). Ukuran partikel yang
didapatkan setelah sonikasi menunjukkan rentang nilai mendekati 1000 nm atau 1
µm. Hasil ini menunjukkan bahwa sonikais telah mampu menperkecil ukuran
partikel hingga 26% dari ukuran awal. Gambar 9 menunjukkan bahwa
pendistribusian ukuran partikel telah cukup merata. Hal ini menunjukkan bahwa
stabilitas emulsi yang terbentuk cukup baik. Keseragaman ukuran partikel
menunjukkan dispersi formula insektisida didalam air sangat baik. Pesebaran
ukuran partikel pada gambar semakin merata dengan seiring dengan peningkatan
waktu sonikasi. Keseragaman ukuran dapat diukur dengan standar deviasi yang
semakin rendah. Pada penelitian ini, standar deviasi formula insektisida adalah
0.00-0.24 µm. Peningkatan waktu sonikasi akan meningkatan kontak antara
gelombang ultrasonikasi dengan formula insektisida.

(a) (b) (c)


Gambar 10 Dispersi partikel formulasi insektisida nano EC di dalam air (a) waktu
sonikasi 15 menit (b) waktu sonikasi 30 menit dan (c) waktu sonikasi
45 menit

Karakteristik Formulasi Insektisida Nano Emulsifiable Concentrate


Formulasi insektisida nano emulsifiable cocentrate merupakan formulasi
yang menerapkan teknologi nanoemulsi. Pembentukan emulsi diharapkan dapat
terjadi pada proses pencampuran formula dengan air. Pengecilan ukuran
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dispersi formula didalam air. Pada
penelitian ini, kestabilan emulsi setelah sonikasi dapat diukur dengan melihat
karakteristik formula di dalam air seperti densitas, pH, tegangan permukaan dan
sudut kontak.
Hasil penelitian menunjukkan densitas yang dihasilkan formula nano emulsi
pada umumnya tidak jauh bebeda antara satu formula dengan formula lainnya.
Jika dibandingkan dengan formula insektisida sebelum sonikasi, nilai yang
dihasilkan pada umumnya tidak memiliki perbedaan yang sangat signifikan.
Pemecahan molekul tidak akan menambah bobot molekul di dalam air. Pada
proses pemecahan partikel ini, hanya akan mempermudah partikel tersebut dalam
melapisi diri dan membentuk emulsi dalam air. Nanoemulsi yang terbentuk
bersifat lebih transparan. Stabilitas nanoemulsi dapat dilihat secara fisik dan dapat
diukur secara kinetik, sedangkan mikroemulsi stabil secara termodinamik (Utami
2012, Gupta et al. 2010).
30

Tabel 6 Densitas (g/cm3) dan pH formulasi insektisida nano-EC di dalam air


Konsentrasi bahan aktif
Waktu sonikasi (menit)
15% 20%
3
Densitas (g/cm )
0 0.9956 ± 0.00 0.9954 ± 0.00
15 0.9958 ± 0.00a 0.9958 ± 0.00a
30 0.9958 ± 0.00a 0.9958 ± 0.00a
45 0.9958 ± 0.00a 0.9958 ± 0.00a
pH
0 7.81 ± 0.08 7.57 ± 0.01
15 7.26 ±0.04d 7.41 ± 0.05c
30 7.43 ± 0.09c 7.62 ± 0.04b
45 7.72 ± 0.04ab 7.85 ± 0.04a
a,b,c,d
Angka-angka yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada hasil uji
lanjut Duncan 5%.

Rentang nilai pH setelah sonikasi menunjukkan nilai 7.25-7.85 (Tabel 6).


Nilai ini berada dalam rentang keadaan netral. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa faktor konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi
memberikan pengaruh signifikan terhadap pH formula insektisida nano-EC. Akan
tetapi, perubahan nilai pH dalam formulasi nano-EC ini tidak berbeda jauh antara
satu nilai dengan nilai lainnya. Data juga menunjukkan bahwa semakin lama
waktu sonikasi, maka semakin besar nilai pH. Pada proses sonikasi, perubahan
ukuran tidak akan merubah bentuk struktur atom dalam bahan. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh kontaminasi bahan lain pada saat penggunaan homogenizer.
Nilai tegangan dan sudut kontak pada formulasi nanoemulsi menjadi faktor
penting untuk melihat perubahan stabilitas emulsi. Teknologi nano membantu
dalam memecah ukuran partikel sehingga adanya peningkatan dispersi formula
dalam air (Yang et al. 2017). Tegangan permukaan juga dapat dijadikan indikator
dalam melihat dispersi bahan aktif didalam air. Hasil penelitian menunjukkan
terjadi peningkatan nilai tegangan permukaan pada waktu sonikasi 15 menit
(Gambar 11). Hal ini disebabkan pengecilan ukuran partikel belum merata.
Ukuran partikel awal adalah sebesar 3.79-4.64 µm. Pada proses sonikasi,
pengecilan ukuran hingga menjadi 1 µm membutuhkan energi dan waktu sonikasi
yang besar. Penelitian ini menerapkan energi dan waktu sonikasi yang lebih kecil
jika dibandingkan dengan penelitian Badawy et al. (2017) (energi 75 kHz selama
20 menit). Oleh karena itu, terjadi peningkatan nilai tegangan permukaan dan juga
sudut kontak pada waktu sonikasi 15 menit (Gambar 11). Ukuran partikel yang
tidak seragam menyebabkan sebagian formula tidak terdispersi dengan baik
didalam air. Nilai tegangan permukaan juga dipengaruhi oleh surfaktan.
Peningkatan jumlah surfaktan akan membantu dalam pembentukan emulsi,
sehingga semakin seragam ukuran partikel di awal, maka akan semakin mudah
memecah partikel tersebut menjadi lebih kecil dengan keseragaman bentuk yang
tinggi (Gupta et al. 2016).
31

(a) (b)
Gambar 11 Nilai tegangan permukaan (a) dan sudut kontak formulasi insektisida
nano EC di dalam air (b)
Nilai sudut kontak mengidentifikasikan tingkat keterbasahan (wetting). Pada
bidang pertanian, kemampuan pembasahan pestisida pada daun menjadi indikator
penting kemampuan pestisida dalam mengurangi hama, gulma dan penyakit
tanaman (Pandey et al. 2003). Nilai sudut kontak dihitung dari sudut antara
permukaan daun dengan pembentukan lapisan pestisida pada permukaan daun.
Hasil penelitian Yang et al. 2017 menunjukkan nilai sudut kontak emamektin
benzoat pada permukaan daun kubis adalah 98º. Sudut kontak dapat diperkecil
hingga 48ºC dengan formulasi solid nanodispersion dan adanya penambahan
surfaktan. Hasil penelitian ini menunjukkan, surfaktan dan teknologi nano mampu
mengecilkan sudut kontak pada daun kubis hingga 49%. Hasil penelitian
menunjukkan, terjadi peningkatan nilai sudut kontak pada waktu sonikasi 15
menit (Gambar 11). Peningkatan nilai diduga karena tidak maksimalnya proses
pengecilan ukuran karena sonikasi dilakukan pada waktu dan daya yang kecil.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi bahan aktif dan waktu
sonikasi mempengaruhi nilai sudut kontak larutan isnektisida (Lampiran 12). Nilai
sudut kontak akan semakin kecil jika waktu sonikasi semakin lama. Hal ini
menunjukkan pengecilan ukuran partikel akan terus berlangsung selama proses
sonikasi dilakukan. Akan tetapi, pengecilan ukuran dengan gelombang ultrasonik
akan membuat pelarut organik semakin mudah menguap. Sehingga semakin tinggi
waktu sonikasi, akan memperburuk penyimpanan formulasi insektisida ini.
Hasil analisis karakteristik menunjukkan formula dengan ukuran partikel
terendah yaitu pada waktu sonikasi 45 menit yaitu sebesar 0.70 dan 0.75 µm.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada nilai tegangan permukaan
dan sudut kontak terbaik adalah 24.74 dyne/cm dan 18.46º. Formula insektisida
terbaik yang dipilih dari penelitian ini adalah dengan menggunakan bahan aktif
pada konsentrasi 20% dan waktu sonikasi 45 menit. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa, peningkatan karakteristik formula insektisida EC dengan
teknologi nano adalah sebesar 5% dengan pengecilan ukuran partikel hingga 20%.
32

Uji Efektivitas Produk Formulasi Insektisida Terhadap Larva Ulat Grayak


(Spodoptera litura)

Spodoptera litura merupakan salah satu jenis hama penting yang merusak
tanaman kedelai dibandingkan dengan hama perusak daun lainnya (Adie et al.
2012). Hama ini bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang yang cukup
luas atau banyak inang, sehingga agak sulit dikendalikan. Hama ini dapat
tumbuh dan berkembang pada banyak jenis tanaman seperti tomat, kacang-
kacangan, bayam, padi, jagung, tebu, pisang dan tanaman pangan lainnya
(Ditlinhorti 2013). Ulat gerayak pada umumnya menyerang hampir keseluruhan
bagian tanaman. Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan
sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut
merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Serangan berat
menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat.
Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan
defoliasi daun yang sangat berat (Marwoto dan Suharso 2008).
Ulat grayak dipilih sebagai sasaran utama formula insektisida. Uji efikasi
pada ulat ini dilakukan dengan pengenceran formulasi insektisida dalam air
dengan konsentrasi 0.05%; 0.1% dan 0.2%. Formulasi insektisida terpilih adalah
formula EC dengan perlakuan konsentrasi surfaktan 6%, rasio DEA:APG sebesar
40:60 dan formula nano-EC terbaik pada konsentrasi bahan aktif 20% dengan
waktu sonikasi 45 menit. Hasil penelitian Dewi et al. (2017) dengan bahan aktif
profenofos 40% dan surfaktan natrium etoksida DEA 10%, mampu mematikan
ulat grayak dengan dosis LC50 sebesar 574 ppm. Pada pestisida komersial ABENZ
22 EC, dosis yang ampuh dapat digunakan untuk membunuh ulat grayak adalah 1
mL/L. Perbedaan ini disebabkan oleh jenis dan bentuk formulasi yang
dikembangkan. Uji efikasi pada penelitian ini dilakukan pada skala laboraorium.
Hasil analisis keragaman menunjukkan pada jam ke 24 dan 48 (Lampiran 14),
jenis formulasi dan konsentrasi bahan aktif mempengaruhi mortalitas larva
Spodoptera litura, sedangkan pada jam ke-72 tidak berpengaruh secara signifikan.
Hasil penelitian menunjukkan pada formulasi EC dengan perlakuan bahan
aktif 20%, tingkat mortalitas larva terbaik pada jam ke 24 adalah pada konsentrasi
formulasi 0.2% dengan persentase mortalitas larva sebesar 96% (Tabel 7).
Sementara itu, pada formulasi EC dengan konsentrasi bahan aktif 20%, tingkat
mortalitas larva terbaik pada jam ke 24 adalah pada konsentrasi formulasi 0.2%
dengan persentase mortalitas larva yaitu 96%. Pada formulasi nano EC, tingkat
mortalitas larva pada konsentrasi 0.05%, 0.10% dan 0.20% berturut-turut adalah
92%, 96% dan 98%. Hal ini menunjukkan formulasi dalam bentuk nano sangat
efektif membunh larva instar III dari Spodoptera litura. Konsentrasi formula
insektisida yang dicampurkan dalam sediaan larutan semprot, menunjukkan
bahwa semakin tinggi konsentrasi formula insektisida maka tingkat kematian
larva ulat grayak semakin tinggi. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa
konsentrasi bahan formula dalam larutan semprot pada jam ke 24 dan 48
berpengaruh secara signifikan, sedangkan pada jam ke 72 tidak berpengaruh
secara signifikan. Data menunjukkan semakin tinggi konsentrasi formula dalam
larutan semprot, maka semakin tinggi mortalitas ulat.
33

Tabel 7 Mortalitas larva Spodoptera litura


Mortalitas (%) pada jam ke-
Perlakuan
24 48 72
Kontrol (0%) 0 ± 0.0 0 ± 0.0 0 ± 0.0

EC Bahan aktif 15%, surfaktan nonionik 6% dan rasio DEA:APG sebesar 40:60
0.05% 60 ± 7.1c 94 ± 5.5b 100 ± 0.0a
0.10% 76 ± 8.9b 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
0.20% 96 ± 5.4a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a

EC Bahan aktif 20%, surfaktan nonionik 6% dan rasio DEA:APG sebesar 40:60
0.05% 80 ± 7.1b 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
0.10% 94 ± 8.9a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
0.20% 96 ± 8.9a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a

Nano EC dengan waktu sonikasi 45 menit, bahan aktif 20%, surfaktan nonionik
6% dan rasio DEA:APG sebesar 40:60
0.05% 92 ± 4.5a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
0.10% 96 ± 5.4a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
0.20% 98 ± 4.5a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a

Insektisida komersial (ABENZ 22 EC)


0.10 % 96 ± 5.5 100 ± 0.0 100 ± 0.0
a,b
Angka-angka yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada hasil uji lanjut
Duncan 5%.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Surfaktan DEA dan CTAC disintesis dari produk turunan minyak kelapa
sawit. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik surfaktan DEA dan CTAC
berturut-turut adalah densitas 0.9762 dan 0.9946 g/cm3, tegangan permukaan
27.16 dan 21.41 dyne/cm, sudut kontak 18.18º dan 20.39º, pH 7.62 dan 5.89 serta
viskositas sebesar 257.35 dan 27.65 cP. Sementara itu, karakteristik formulasi
insektisida EC terbaik adalah menggunakan surfaktan nonionik 6% dengan rasio
DEA dan APG 40:60. Sifat fisiko kimia formula insektisida terbaik dengan
konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% berturut-turut adalah densitas 0.9955 dan
0.9954 g/cm3, pH 7.81 dan 7.57, tegangan permukaan 27.42 dan 25.38 dyne/cm,
sudut kontak 35.81º dan 21.62º, serta ukuran partkel 4.64 dan 3.79 µm. Formulasi
nano-EC terbaik diperoleh dengan perlakuan konsentrasi bahan aktif 20% dan
waktu sonikasi 45 menit. Sifat fisiko-kimia formula insektisida adalah densitas
0.9958 g/cm3, pH 7.85, tegangan permukaan 24.74 dyne/cm, sudut kontak 18.46º,
serta ukuran partkel 0.75 µm. Hal ini menunjukkan bahwa surfaktan yang
dikembangkan efektif dalam membantu insektisida terdispersi dan tersebar
dengan baik pada permukaan daun. Konsentrasi formulasi EC terbaik yang
mampu menghasilkan mortalitas larva tertinggi pada jam ke 24 adalah konsentrasi
34

formulasi 0.20%. Mortalitas larva pada konsentrasi ini untuk konsentrasi bahan
aktif 15% dan 20% adalah 96%. Formulasi nano EC terbaik mampu menghasilkan
persentase mortalitas larva tertinggi pada konsentrasi 0.20% setelah 24 jam
perlakuan yaitu 98%.

Saran

Perlu adanya studi lebih lanjut mengenai penyimpanan dan analisis


kelarutan formulasi insektisida dalam air sebagai cairan semprot. Teknologi
sonifikasi dalam penelitian ini masih belum dapat mengecilkan ukuran partikel
menjadi nano yaitu 200 nm. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian penggunaan
alat yang tepat untuk mengecilkan ukuran partikel pada formulasi insektisida ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adie MM, Igita K, Tridjaka, Suharsono. 2000. Genetika ketahanan antibiosis


kedelai terhadap ulat grayak. pp 305–311. Di dalam : Prosiding Seminar
Balitkabi. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Hayati pada Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi, 1999 Maret 8–9. Bogor (ID):
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Aiad IA, Tawfik SM, El-Shafie M, Rahman AL. 2018. 4-Aminoantipyrine
derived cationic surfactants: Synthesis, characterization, surface activity and
screening for potential antimicrobial activities. Egyptian Journal of Petroleum.
27:327-334.
Aisyah S. 2011. Produksi surfaktan alkil poliglikosida (APG) dan aplikasinya
pada sabun cuci tangan cair [tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Almoazen H, Somonelli A. 2007. Determining the critical micelle concentration
in o/w emulsion using the rate constant of hydrolysis for benzyl acetate.
Journal of Dispersion Science and Technology. 29(7):958-965.
Ash M. 2004. Handbook of Green Chemicals. New york (US): Synapse
Information Resources, Inc.
Badawy MEI, Saad AFSA, Tayeb EHM, Mohammed SA, Abd-Elnabi AD. 2017.
Optimization and characterization of the formation of oil-in-water diazinon
nanoemulsions: Modeling and influence of the oil phase, surfactant and
sonication, Journal of Environmental Science and Health, Part B. 0(0): 1-16.
https://doi.org/10.1080/03601234.2017.1362941.
Balzer D, Luders H. 2000. Nonionic Surfactants: Alkyl Polyglucosides. New york
(US): Marcel Dekker Inc.
Bergeson LL. 2016. Nanosilver : US EPA’s Pesticide Office Considers How Best
to Proceed. Environmental Quality Management. 19: 79–85.
Bouwmeester H, Dekkers S, Noordam MY, Hagens WI, Bulder AS, de Heer C,
Ten Voorde, SECG, Wijnhoven SWP, Marvin HJP, Sips AJAM. 2009. Review
of health safety aspects of nanotechnologies in food production. Regulatory
Toxicology and Pharmacology. 53(1): 52–62.
35

Bresman J. 2018. Perbaikan formulasi oil spill dispersant (OSD) dengan surfaktan
dietanolamida (DEA) dari asam oleat [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian
Bogor.
Castro MJL, Ojeda C, Cirelli AF. 2013. Advances in surfactants for
agrochemicals. J Environ Chem Lett. doi 10.1007/s10311-013-0432-4.
Chang Y, McClements DJ.2014. Optimization of orange oil nanoemulsion
formation by isothermal low-energy methods: influence of the oil phase,
surfactant, and temperiature. J Agric Food Chem. 62(10): 2306-2312.
Chemmunique. 1976. The HLB system-a time saving guide to emulsifier
selection. Newcastle (US): ICI America Inc.
Chen F, Wang Y, Zheng F, Wu Y, Liang W. 2003. Studies on cloud point of
agrochemical microemulsions. Colloids Surf A. 175:257–262.
Cifuentes A, Bernal JL, Masa JCD. 1997. Determination of critical micelle
concentration values using capillary electrophoresis instrumentation. J
Analytical Chemistry. 69(20): 4271-4274.
Cloyd RA. 2016. Effects of pH on Pesticides [Internet]. [diunduh pada 2018 Nov
4] http://gpnmag.com/wp-content/uploads/2016/07/GPNJuly_Dr.Bugs_.pdf.
Cox DL, Rabatin S. 1995. Toxicity and field efficacy of avermectin against
codling moth (Lep :Tortricidae) on apples. J Econ Entomol. 88: 708-715.
Darto. 2008. Pemanfaatan alkil poliglikosida (APG) berbasis alkohol lemak dari
minyak kelapa (C12) dan pati sagu sebagai surfaktan dalam formulasi herbisida
[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Dewi HS, Rahayuningsih M, Hambali E. 2017. Formulation of insecticide
profenofos using surfactant diethanolamide (DEA) based on palm olein. Di
dalam: Proceeding of International Conference on Biomass: Technology,
Application, and Sustainable Development. 65:1-12.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida
(Pestisida) dalam Pengendalian Vektor. Jakarta (ID) : Kementerian Kesehatan
RI.
[Ditlinhorti]. Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2013. Ulat Grayak. Jakarka
(ID): Direktorat Perlindungan Hortikultura.
Dora 2017. Penggandaan skala produksi surfaktan DEA pada reaktor 25 liter dan
pemanfaatannya dalam insektisida nabati minyak mimba [tesis]. Bogor(ID):
Institut Pertanian Bogor.
Edser C. 2007. Multifaceted role for surfactants in agrochemicals. Focus Surfact.
2007(3):1-2.
Fakhirin R. 2017. Penggunaan surfaktan nonionik dan kationik pada formulasi
dan aplikasi herbisida berbahan aktif glifosat [skripsi]. Bogor(ID):Institut
Pertanian Bogor.
Farn RJ. 2006. Chemistry and Technology of Surfactants. Oxford (GB): Blackwell
Publishing Ltd
Feng L, Cui B, Yang D, Wang C, Zeng Z, Wang Y, Sun C, Zhao X, Cui H. 2016.
Preparation and evaluation of emamectin benzoate solid microemulsion. J
Nanomaterial. doi: 10.1155/2016/2386938.
Ferdian MA, Hambali E, Rahayuningsih M. 2016. Studi perbandingan produk
insektisida formulasi EC (Emulsifiable Concentrate) dengan penambahan
surfaktan dietanoamida menggunakan vortex, mixer dan homogenizer. J Tek
Ind Pertanian. 26(1):60-67.
36

Fernandes CP, Almeida FB, Silveira AN, Gonzales MS, Mello CB, Feder D,
Apolinario R, Santos MG, Carvalho JCT, Tietbohl LAC, Rocha L, Falcao DQ.
2014. Development of an insecticidal nanoemulsion with Manilkara subsericea
(Sapotaceae) extract. J Nanobiotechnology. 12:22-32.
Gadberry JF. 1990. Miscellaneous Non-nitrogen Containing Cationic Surfactants.
Rizhmond JM, editor. Cationic Surfactans, Organic Chemistry (Surfactant
Science Series 34). New york(US): Marcel Dekker.
Gupta PK, Gupta S, Pandit JK, Kumar A, Sawaroop P. 2010. Pharmaceutical
nanotechnology novel nanoemulsion high energy emulsification preparation,
evaluation and application. The Pharma Research. 2010(3): 117-138.
Gupta A, Eral HB, Hatton TA, Doyle PS. 2016. Nanoemulsions: formation,
properties and applications. J The Royal Society of Chemistry.
doi:10.1039/c5sm02958a.
Hiemenz PC. Rajagopalan R. 1997. Principles of Colloid and Surface Chemistry,
Revised and Expanded. New York(US): Marcel Dekker, Inc
Howe CM, Berrill M, Pauli BD, Helbing CC, Werry K, Veldhoen N. 2004.
Toxicity of glyphosate-based pesticides to four North American frog species. J.
Environ Toxicol Chem. 23(8):1923-1938.
Indrawijaya B. 2016. Formulasi pestisida nabati minyak mimba menggunakan
surfaktan dietanolamida untuk pengendalian hama ulat grayak pada tanaman
kedelai [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Jafari SM, He Y, Bhandari B. 2007. Nano-emulsion production by sonication and
microfluidization-a comparison. International Journal of Food Properties.
9(3): 475-485. DOI: 10.1080/10942910600596464.
Jensen PK, Olesen MH. 2014. Spray mass balance in pesticide application: A
review. J Crop Protection. 61:23–31
Johnson S, Dureja P. Effect of surfactants on persistence of azadirachtin-A (neem
based pesticide). J Environ Sci Health B. 37(1):75-80.
Jones R. 2004. Overview of the Ecological Risk Assessment Process in the Office
of Pesticide Programs. Washington (US): Office of Prevention, Pesticides and
Toxic Substances Office of Pesticide Programs
Karsa DR. 2006. What are surfactants? In: Richard D. Fan (ed). Chemistry
and Technology of Surfactant. Oxford (GB): Balckwell publishing, pp 2-13.
Kawahar A, Morinaga K, Nakamura M, Shimono S, Fumoto S, Ozawa S. 2003.
Agricultural compositions. US Patent Application 0,013,684.
Knowles DA. 1998. Chemistry and Technology of Agrochemical Formulations.
Netherland (NL): Kluwer Academic Publisher.
Komariah S. 2011. Kombinasi Emulsi dan Ultrasonikasi dalam Nanoenkapsulasi
Ibuprofen Tersalut Polipaduan Poli(asam laktat) dan Poli(ε- kaprolakton)
[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Koroleva MY, Yurtov EV. 2012. Nanoemulsions: the properties, methods of
preparation and promising applications. Russian Chemical Reviews. 81(1): 21-
43.
Lasemann M, Kim YJ, Thirumoorthy K, Jonas J. 1998. Pressure dependence of
the critical micelle concentration of a nonionic surfactant in water studied by 1
H-NMR. Langmuir. 14(19):5339-5341
37

Laura. 2004. Pengaruh rasio mol reaktan dan lama reaksi dalam pembuatan
dietanolamida sebagai surfaktan berbasis minyak inti sawit [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Lee GWJ, Tadros TF. 1982. Formation and stability of emulsions produced by
dilution of emulsifiable concentrates. Part I. An investigation of the dispersion
on dilution of emulsifiable concentrates containing cationic and non-ionic
surfactants. Colloids Surf 5:105–115
Lin SY, Lin YY, Chen EM, Hsu CT, Kwan CC. 1999. A study of the equilibrium
surface tension and the critical micelle concentration of mixed surfactant
solutions. Artikel. Langmuir. 15(13): 4370-4376.
Luepakdeesakoon B, Saiwan C, Scamehorn JF. 2006. Contact angle of surfactant
solution on precipitated surfactant surface III. Effect of subsaturated anionic
and nonionic surfactants and NaCl. J Surfactant and Detergents. 9(2): 125-136.
Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian
ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Litbang
Pertanian. 27(4): 131–136.
McClements DJ. 2007. Critical Review of Techniques and Methodologies for
Characterization of Emulsion Stability. Critical Reviews in Food Science and
Nutrition. 47(7):611-649.
Moustafa MAM, Kakai A, Awad M, Fonagy A. 2016. Sublethal effects of
spinosad and emamectin benzoate on larval development and reproductive
activities of the cabbage moth, Mamestra brassicae L. (Lepidoptera:
Noctuidae). J Crop Protection. 90 : 197-204.
Muamalah S 2006, uji insektisida emamektin benzoat terhadap mortalitas larva
Crocidolomia pavonrina (fabricius) padatanaman kubis di cisarua bandung
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Murakami R, Motiyama H, Noguchi T, Yamamoto M, Binks BP. 2014. Effects of
the density difference between water and oil on stabilization of powdered oil in
water emulsions. Artikel. Langmuir. 30:496-500.
Noveriza R, Mariana M, Yuliani S. 2017. Keefektifan formula nanoemulsi
minyak serai wangi terhadap potyvirus penyebab penyakit mosaik pada
tanaman nilam. Bul Littro. 28(1):47-56.
[NRA] National Registration Authority for Agriculture and Veterinary Chemical.
2011. Emamectin. Australia (AU): National Registration Authority
Pandey S, Nagar PK. 2003. Patterns of leaf surface wetness in some important
medicinal and aromatic plants of Western Himalaya. Flora-Morphology
Distribution Functional Ecology of Plants. 198(5):349-357.
Perkowki J, Mayer J, Ledakowicz S. 1995. Determination of critical micelle
concentration of non-ionic surfactants using kinetic approach. Colloids and
Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects. 101(1):103-106.
Pratap AP, Bhowmick DN. 2008. Pesticides as microemulsion formulations.
Journal of Dispersion Science andTechnology. 29(9): 1325–1330.
Putri KSS. 2010. Optimasi nisbah mol pati tapioka-butanol dan nisbah mol pati
tapioka-fatty alcohol C10 pada proses pembuatan surfaktan nonionik alkil
poliglikosida (APG)[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Qian L, Li T. 2005. Review of reproductive toxicity of environmental chemical
pollutants. J Environmental and Occupational Medicine. 22(2): 167–171.
38

Rodriguez MP, Prieto G, Rega C, Varela LM, Sarmiento F, Mosquera V. 1998. A


comparative study of the determination of the critical micelle concentration by
conductivity and dielectric constant measurements. Artikel. Langmuir. 14(16):
4422-4426.
Rybinski WV, Schmiedel P. 2006. Applied Theory of Surfactants. Farn RJ, editor.
Chemistry and Technology of Surfactants. Oxford (GB): Blackwell Publishing
Ltd, hlm 46-90
Surya NA. 2015. Studi efektivitas surfaktan dietanolamida (DEA) dari metil ester
olein minyak sawit pada proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sari AM, Suryani A, Lotulung PD, Tursiloadi S. 2017. Preparation of alkyl halide
as intermediate compound in synthesis cationic surfactant alkyl trimethyl
ammonium chloride. J Kim Terap Indonesia. 19(1):25-28.
Scho¨nherr J, Baur P, Uhlig BA. 2000. Rates of cuticular penetration of 1-
naphthylacetic acid (NAA) as affected by adjuvants, temperature, humidity and
water quality. J Plant Growth Regul. 31:61–74.
Schilder A. 2008. Effect of water pH on the stability of pesticides [Internet]. [18
Maret 2018]. [diunduh 2018 Des 2]. https://www.canr.msu.edu/news/effect_of
_ water_ph_on_the_stability_of_pesticides.
Sekhon BS. Nanotechnology in agrifood production: an overview.
Nanotechnology Science and Applications. 7(2): 31–53.
Septiyanni. 2013. Karakterisasi sifat adsorpsi surfaktan metil ester sulfonat
(MES) dan surfaktan sodium dodesil sulfat (SDS) pada core sintetik
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Shakeel F, Baboota S, Ahuja A, Ali J, Faisal MS, Shafiq S. 2008. Stability
evaluation of celecoxib nanoemulsion containing tween 80. Thai Journal
Pharm Sci. 32: 4-9.
Spanoghe P, De Schampheleire M, Der Meeren PV, Steurbaut W. 2007.
Influence of agricultural adjuvants on droplet spectra. Pesticide Management
Science. 63(1): 4-16.
Suryani A, Dadang, Styadjit, Tjokrowardojo AS, Mochamad NNK. 2009.
Rekayasa proses produksi, karakterisasi dan aplikasi alkil poliglikosida (APG)
berbasis alkohol lemak C12 (dodecanol) dan pati sagu sebagai surfaktan dalam
Formulasi herbisida. Didalam: Prosiding seminar hasi-hasil penelitian IPB.
Syahputra E. 2013. Keefektifan insektisida campuran emamektin benzoat + beta
sipermetrin terhadap hama ulat api setothosea asigna pada tanaman kelapa
sawit. J Agrovigor. 6(1): 30-37.
Tadros TF. 2005. Applied surfactants: Principles and applications. Weinheim
(DE): Wiley-VCH Verlag Gmbh & Co. KGaA. hlm 503–592.
Tadros TF. 2013. Encyclopedia of Colloid and Interface Science. Jerman (DE):
Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Tiyaboonchai W. 2013. Chitosan nanoparticles: a promising system for drug
delivery. Journal Science and Technology. 11 (3): 51-66.
Tsany FA. 2018. Pengembangan metode sintesis surfaktan kationik setil trimetil
amonium klorida [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
.Umam NA, Suryani A, Prijono D. 2016. Pemanfaatan alkil poliglikosida,
dietanolamida, dan alkil benzil dimetil amonium klorida sebagai surfaktan
39

dalam formulasi dan aplikasi insektisida [skripsi]. Bogor (ID): Institut


Pertanian Bogor
Utami SS. 2012. Formulasi dan uji penetrasi in vitro nanoemulsi, nanoemulsi gel,
dan gel kurkumin. [skripsi]. Depok(ID): Universitas Indonesia
[USEPA]. United States Enviromental Protection Agency. 2009. Emamectin
Benzoat PC Code 122806. https://www3.epa.gov/pesticides/chem_search/
clearedreviews/csr_PC-122806 _13-Jan-09_a.pdf.
Velde-Koerts TV. 2012. Emamectin benzoate. Internet. [diunduh pada]
http://www.fao.org/fileadmin/templates/agphome/documents/Pests_Pesticides/
JMPR/Evaluation11/Emamectin.pdf. (25 Maret 2017).
Wang Y, Wang A, Wang C, Ciu B, Sun C, Zhao X, Zeng Z, Shen Y, Gao F, Lui
G, Ciu H. 2017. Synthesis and characterization of emamectin-benzoate
slowrelease microspheres with different surfactants. Scientific report. doi:
10.1038/s41598-017-12724-6
Xu L, Zhu H, Ozkan HE, Bagley WE, Krause CR. 2011. Droplet evaporation and
spread on waxy and hairy leaves associated with the type and concentration of
adjuvants. Pest Management Science. 67: 842-851.
Yang L. 2009. Problems and development trend of avermectins pesticide
formulations. J World Pesticides. 31: 5–7.
Yang D, Cui B, Wang C, Zhao X, Zeng Z, Wang Y, Sun C, Liu G, Cui H. 2017.
Preparation and characterization of emamectin benzoate solid nanodispersion.
J Nanomaterial. doi : 10.1155/2017/6560780.
Zheng CH. 2012. Development of a 1.0% emamectin benzoate microemulsion.
Anhui Chemical Industry. 38(3): 49-51.
Zhou L. 2007. Wettability and Dynamic Behavior Of Several Pesticide Surfactant
Solutions on Different Targets. Beijing (CN): China Agricultural University.
40

LAMPIRAN
41

Lampiran 1 Prosedur analisis karakteristik surfaktan

Analisa Bobot Jenis atau Densitas (SOP for Densitymeter Anton Paar DMA
4500M) (Dora 2017)
Densitymeter DMA 4500M Anton Paar dinyalakan. Pada alat densitymeter
sebelum digunakan, dilakukan warming up selama 15 menit. Selanjutnya dipilih
mode Density, kemudian selang pompa disambungkan ke adapter dan alat dapat
diaktifkan. Alat ini perlu dikalibrasi hingga nilai densitas udara pada 20 oC
terbaca 0.00120 gram/cm3 (faktor koreksi ± 0.00005), dalam rentang 0.00125
hingga 0.00115. Pengukuran dilakukan pada temperatur maksimal alat, yaitu
sebesar 70 oC. Sampel yang telah disiapkan, diinjeksikan ke Densitymeter dengan
menggunakan syringe. Pembacaan dapat dilakukan setelah data dinyatakan valid
oleh alat. Setelah hasil pengukuran terbaca, U-Tube dibilas dengan menggunakan
aquades minimal 5 kali. U-Tube dibilas kembali dengan menggunakan pelarut
yang mudah mengering sebanyak 2 atau 3 kali. Pembersihan akan membuat
akurasi alat pada pengukuran selanjutnya menjadi akurat.

Tegangan Permukaan (Metode Spinning Drop) (Dora 2017)


Pengukuran tegangan permukaan dilakukan dengan menggunakan alat
Spinning drop tensiometer. Sampel dilarutkan pada konsentrasi 5%, kemudian
dimasukkan ke dalam tabung sampel hingga hampir penuh tetapi disisakan sedikit
ruang untuk udara didalamnya kemudian tabung ditutup dan dimasukkan ke
dalam alat Spinning Drop Tensiometer. Suhu pengukuran diatur pada 30 oC dan
kecepatan rotasi alat 6000 rpm. Nilai Tegangan permukaan sampel diperoleh dari
nilai diameter gelembung udara didalam tabung yang kemudian dikonversikan
menjadi tegangan permukaan oleh alat.

Analisa Sudut Kontak (SOP for Contact Angle Phoenix 300 )(Dora 2017)
Sudut kontak adalah sudut di mana antarmuka cairan memenuhi permukaan
padatan. Analisa sudut kontak dilakukan untuk mengetahui besaran atau nilai
sudut kontak antara surfaktan yang telah diencerkan hingga 5% pada permukaan
daun kedelai. Analisis ini berguna untuk mengetahui kemampuan surfaktan DEA
dalam bahan aktif pada permukaan daun kedelai. Analisa dilakukan menggunakan
alat Contact Angle Phoenix 300. Setiap sampel dianalisa sebanyak 2 kali ulangan
dengan pengukuran sudut kontak saat tetesan pertama (0 menit) dan sudut kontak
setelah 10 menit.

Analisa Viskositas (SOP for Rheometer Brookfield DV-III Ultra) (Dora 2017)
Alat spindle yang tersedia dipasang ke viscometer dan kemudian diturunkan
perlahan sehingga spindle masuk ke dalam sampel. Volume sampel yang
digunakan adalah sebesar 15-30 ml, hal ini berkaitan pada kalibrasi alat.
Ketinggian cairan diatur segaris dengan batang spindle kira-kira 3.2 mm di atas
bagian atas spindle yang meruncing dan kabel pengukur suhu pada alat
dipasangkan. Alat Rheometer kemudian dijalankan dengan kecepatan 6 rpm dan
kemudian dibaca nilai viskositas setiap 2 detik selama 1 menit. Nilai viskositas
akan terbaca secara otomatis oleh alat. Data hasil pembacaan dipindahkan ke
dalam format .xlsx dan beberapa data pertama dari hasil pembacaan dibuang
42

karena dianggap kondisi putaran spindle belum stabil. Pengambilan data dimulai
dari nilai yang mulai terbaca stabil.
43

Lampiran 2 Prosedur analisis formulasi insektisida EC dan Nano-EC

Analisis Densitas (SOP for Densitymeter Anton Paar DMA 4500M)


(Indrawijaya 2016)
Alat densitymeter perlu dipanaskan (warming up) selama 15 menit sebelum
digunakan. Selanjutnya dipilih mode Density, kemudian selang pompa
disambungkan ke adapter dan alat dapat diaktifkan. Alat ini perlu dikalibrasi
hingga nilai densitas udara pada 20 oC terbaca 0.00120 gram/cm3 (faktor koreksi ±
0.00005), dalam rentang 0.00125 hingga 0.00115. Kalibrasi perlu dilakukan
hingga nilai densitas udara pada 20°C terbaca 0,00120 gram/cm3 (faktor koreksi
+0,00005), dalam rentang 0,00125 hingga 0,00115. Pengukuran dilakukan pada
temperatur maksimal alat yaitu 70°C. Sampel uji yang telah disiapkan (suhu ruang
30oC) diinjeksikan ke densitymeter dengan menggunakan syringe. Nilai
pengukuran densitas dapat dilakukan setelah data dinyatakan valid oleh alat.
Setelah hasil pengukuran terbaca, U-Tube dibilas dengan menggunakan aquades
minimal 5 kali. U-Tube dibilas kembali dengan menggunakan pelarut yang mudah
mengering sebanyak 2 hingga 3 kali.

Analisis Tegangan Permukaan (SOP for Spinning Drop Tensiometer)


(Indrawijaya 2016)
Tegangan permukaan diukur menggunakan alat spinning drop tensiometer.
Larutan sampel yang akan diuji dimasukkan ke tabung sampel sampai tersisa
sedikit ruang untuk udara di dalamnya. Selanjutnya tabung sampel ditutup dan
dimasukkan dalam alat spinning drop tensiometer dengan diatur suhu ruang 30°C
dan kecepatan rotasi alat sehingga diperoleh nilai tegangan permukaan pada
sampel yang diuji. Nilai tegangan tersebut dihitung dari diameter gelembung
udara dalam tabung selanjutnya dikonversikan menjadi tegangan permukaan dari
alat tersebut.

Analisis Sudut Kontak (SOP for Contact Angle Analyzer Phoenix 300)
(Indrawijaya 2016)
Sudut kontak merupakan sudut di mana antarmuka cairan memenuhi
permukaan padatan, dalam penelitian ini adalah daun gulma. Nilai sudut kontak
didapatkan antara formulasi yang telah diencerkan sesuai perlakuan penyemprotan
di lapang. Formulasi tersebut diteteskan hingga 1% pada permukaan daun gulma.
Analisis ini bertujuan mengetahui kemampuan larutan surfaktan DEA dalam
menyebarkan bahan aktif emamektin benzoat pada permukaan daun kedelai.
Masing – masing sampel uji dianalisa sebanyak 2 kali ulangan pada saat tetesan
setelah 10 menit.

Analisis Ukuran Droplet (SOP for Microskop Leica ICC 50 HD) (Feng et al.
2016)
Analisis ini digunakan pada formulasi insektisida yang telah dilarutkan
didalam air sebesar 1%. Pengukuran droplet dapat menggunakan alat mikroskop
leica ICC 50 HD. Sebelum menggunakan alat tersebut, terlebih dahulu diatur nilai
satuan hasil pembacaan diameter droplet sesuai yang diinginkan misalnya µm atau
nm. Langkah pertama yakni dengan menyiapkan kaca preparat dan cover glass
yang telah dibersihkan menggunakan alkohol. Kemudian sampel uji ±1 tetes
44

diletakkan pada kaca preparat kemudian ditutup dengan cover glass. Saat
penutupan dengan cover glass dipastikan tidak ada gelembung udara karena akan
dapat mengganggu pengamatan. Setelah itu diamati pada mikroskop dan
disesuaikan pembesaran lensa objektif yang akan digunakan dan diatur
pencahayaan serta fokus kamera mikroskop dan diamati objek yang diinginkan.
Setelah memperoleh objeknya dilakukan pengukuran diameter droplet.

Analisis pH (SOP for pH Meter Schott)


Uji derajat keasaman menggunakan pH meter yang sudah dikalibrasi dengan
larutan Buffer pH 4, Buffer pH 7, dan buffer pH 10. Perhitungan nilai pH sampel
uji adalah dengan cara mencelupkan elektroda ke dalam larutan sampel uji. Lalu
tekan tombol Enter pada pH meter dan didapatkan nilai stabil pH akan
ditunjukkan pada alat. Hal tersebut diulang sebanyak 3 kali setiap sampel uji.
45

Lampiran 3 Neraca massa proses sintesis surfaktan kationik

Fatty alkohol
(36 gram)

Tionil klorida (33 mL) Refluks Fatty alkohol, tionil klorida


Piridin (130 µL) T : 80ºC, t : 24 Jam (51.2663 gram)

Fatty klorida
(38,40 gram)

Trimetilamina Refluks
(36.32 mL) T : 50ºC, t : 6 Jam

Surfaktan kationik
(setil trimetil ammonium klorida)
(68.54 gram)

Pemisahan
Padatan berwarna coklat
T : 27ºC
(39. 41 gram)

Surfaktan kationik
(setil trimetil ammonium klorida) crude
(29.131 gram)

Pencucian Metanol
Metanol 19 mL
20 mL

Sisa metanol, bahan tak


Pemanasan (oven) bereaksi
2 gram

Surfaktan kationik
(setil trimetil ammonium klorida) murni
(27.86 gram)
46

Lampiran 4 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan


nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap
densitas formulasi insektisida

Keterangan :
A = Persentase bahan aktif
B = Rasio surfaktan DEA dan APG
C = Persentase surfaktan nonionik

a. Hasil analisis keragaman


Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 1 1.83 x 10-7 1.83 x 10-7 16.07 0.0008*
B 2 1.43 x 10-7 0.71 x 10-7 6.26 0.0086*
A*B 2 0.84 x 10-7 0.42 x 10-7 3.68 0.0456
C 2 10.88 x 10-7 5.44 x 10-7 47.66 <0.0001*
A*C 2 5.15 x 10-7 2.57 x 10-7 22.56 <0.0001*
B*C 4 10.29 x 10-7 2.57 x 10-7 22.55 <0.0001*
A*B*C 4 18.67 x 10-7 4.67 x 10-7 40.89 <0.0001*
Error 18 2.05 x 10-7 0.11 x 10-7
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif


Duncan Grouping Mean N A
A 0.9956 18 20%
B 0.9955 18 15%

c. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG


Duncan Grouping Mean N B
A 0.9956 12 60:40
A 0.9956 12 40:60
B 0.9955 12 50:50

d. Hasil analisis duncan persentase surfaktan nonionik


Duncan Grouping Mean N C
A 0.9958 12 5%
B 0.9955 12 6%
B 0.9954 12 4%

e. Hasil analisis duncan persentase bahan akti dan rasio DEA serta APG
Duncan Grouping Mean N A*B
A 0.9957 6 20*40:60
A 0.9956 6 20*60:40
A 0.9956 6 15*60:40
A 0.9956 6 20*50:50
A 0.9955 6 15*40:60
A 0.9954 6 15*50:50
47

f. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif dan persentase surfaktan


nonionik
Duncan Grouping Mean N A*C
A 0.9959 6 20*5
B A 0.9957 6 15*5
B A 0.9957 6 20*6
B 0.9955 6 15*4
B 0.9953 6 20*4
B 0.9953 6 15*6

g. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG dengan persentase
surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N B*C
A 0.9961 4 40:60*5
B A 0.9958 4 60:40*5
B C 0.9956 4 60:40*4
B C 0.9955 4 50:50*6
B C 0.9955 4 60:40*6
B C 0.9955 4 50:50*5
B C 0.9955 4 40:60*6
B C 0.9955 4 50:50*4
C 0.9952 4 40:60*4

h. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif. rasio surfaktan DEA dan APG
dengan persentase surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N A*B*C
A 0.9967 2 20*40:60*5
B 0.9960 2 20*50:50*6
C B 0.9959 2 15*60:40*5
C D 0.9957 2 20*60:40*5
E D 0.9956 2 20*60:406
E D F 0.9956 2 15*50:50*5
E D F 0.9956 2 15*60:40*4
E D F 0.9956 2 15*40:60*5
E D F 0.9955 2 20*60:40*4
E D F 0.9955 2 15*40:60*6
E D F 0.9955 2 20*50:50*4
E F 0.9955 2 15*50:50*4
E F 0.9955 2 15*40:60*4
E F 0.9954 2 20*40:60*6
F 0.9954 2 20*50:50*5
F 0.9954 2 15*60:40*6
G 0.9951 2 15*50:50*6
G 0.9950 2 20*40:60*4
48

Lampiran 5 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan


nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap
pH formulasi insektisida

a. Hasil analisis keragaman


Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 1 0.0642 0.0642 13.08 0.0020*
B 2 0.0615 0.0308 6.27 0.0086*
A*B 2 0.5019 0.2510 51.16 <.0001*
C 2 0.2973 0.1486 30.30 <.0001*
A*C 2 0.2428 0.1214 24.75 <.0001*
B*C 4 0.2360 0.0590 12.03 <.0001*
A*B*C 4 0.0666 0.0167 3.39 0.0309*
Error 18 0.0883 0.0049
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif


Duncan Grouping Mean N A
A 7.61 18 20
B 7.52 18 15

c. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG


Duncan Grouping Mean N B
A 7.60 12 60:40
A 7.59 12 40:60
B 7.51 12 50:50

d. Hasil analisis duncan persentase surfaktan nonionik


Duncan Grouping Mean N C
A 7.69 12 6
B 7.53 12 5
B 7.40 12 4

e. Hasil analisis duncan persentase bahan akti dan rasio DEA serta APG
Duncan Grouping Mean N A*B
A 7.70 6 15*60:40
A 7.69 6 20*50:50
A 7.64 6 20*40:60
A 7.54 6 15*40:60
B A 7.49 6 20*60:40
B 7.32 6 15*50:50
49

f. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif dan persentase surfaktan


nonionik
Duncan Grouping Mean N A*C
A 7.76 6 15*6
B A 7.62 6 20*6
B A 7.60 6 20*4
B A 7.59 6 20*5
B C 7.46 6 15*5
C 7.35 6 15*4

g. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG dengan persentase
surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N B*C
A 7.70 4 50:50*6
A 7.69 4 40:60*6
A 7.68 4 60:40*6
A 7.66 4 60:40*5
A 7.64 4 40:60*4
B A 7.49 4 60:40*5
B A 7.45 4 60:40*4
B A 7.44 4 40:60*5
B 7.34 4 60:40*4

h. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif, rasio surfaktan DEA dan APG
dengan persentase surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N A*B*C
A 7.90 2 15*60:40*6
B A 7.83 2 20*40:60*4
B A 7.83 2 20*50:50*6
B A 7.81 2 15*40:60*6
B A 7.75 2 15*60:40*5
B C 7.71 2 20*50:50*5
D C 7.57 2 20*40:60*6
D C 7.57 2 20*60:40*5
D C 7.56 2 15*50:50*6
D E 7.53 2 20*50:50*4
D E 7.51 2 20*40:60*5
D E 7.46 2 20*60:40*6
D E 7.45 2 15*40:60*4
D E 7.45 2 20*60:40*4
D E 7.45 2 15*60:40*4
F E 7.37 2 15*40:60*5
F G 7.26 2 15*50:50*5
G 7.14 2 15*50:50*4
50

Lampiran 6 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan


nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap
tegangan permukaan formulasi insektisida

a. Hasil analisis keragaman


Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 1 64.40 64.40 419.12 <.0001*
B 2 4.603 2.30 14.98 0.0001*
A*B 2 4.87 2.44 15.86 0.0001*
C 2 40.78 20.39 132.70 <.0001*
A*C 2 5.65 2.82 18.37 <.0001*
B*C 4 4.66 1.17 7.58 0.0009*
A*B*C 4 3.43 0.86 5.57 0.0042*
Error 18 2.77 0.15
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif


Duncan Grouping Mean N A
A 30.08 18 15
B 27.41 18 20

c. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG


Duncan Grouping Mean N B
A 29.19 12 60:40
B 28.75 12 50:50
C 28.31 12 40:60

d. Hasil analisis duncan persentase surfaktan nonionik


Duncan Grouping Mean N C
A 30.10 12 4
B 28.64 12 5
C 27.50 12 6

e. Hasil analisis duncan persentase bahan akti dan rasio DEA serta APG
Duncan Grouping Mean N A*B
A 31.04 6 15*60:40
A 29.78 6 15*50:50
A 29.44 6 15*40:60
B 27.72 6 20*50:50
B 27.33 6 20*60:40
B 27.19 6 20*40:60
51

f. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif dan persentase surfaktan


nonionik
Duncan Grouping Mean N A*C
A 31.97 6 15*4
B 29.88 6 15*5
C 28.41 6 15*6
C 28.24 6 20*4
D C 27.40 6 20*5
D 26.60 6 20*6

g. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG dengan persentase
surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N B*C
A 30.48 4 60:40*4
A 29.93 4 50:50*4
A 29.91 4 40:60*4
B A 29.00 4 60:40*5
B A 28.63 4 40:60*5
B A 28.28 4 50:50*5
B A 28.08 4 60:40*6
B A 28.04 4 50:50*6
B 26.40 4 40:60*6

h. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif, rasio surfaktan DEA dan APG
dengan persentase surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N A*B*C
A 32.54 2 15*60:40*4
B A 31.91 2 15*50:50*4
B C 31.47 2 15*40:60*4
C 30.84 2 15*60:40*5
D 29.75 2 15*60:40*6
D 29.43 2 15*40:60*5
D 29.36 2 15*50:50*5
E 28.43 2 20*60:40*4
E 28.35 2 20*40:60*4
F E 28.08 2 15*50:50*6
F E 28.00 2 20*50:50*6
F E 27.95 2 20*50:50*4
F E 27.83 2 20*40:60*5
F 27.42 2 15*40:60*6
F G 27.21 2 20*50:50*5
F G 27.16 2 20*60:40*5
G 26.41 2 20*60:40*6
H 25.38 2 20*40:60*6
52

Lampiran 7 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan


nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap
sudut kontak formulasi insektisida

a. Hasil analisis keragaman


Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 1 3510.95 3510.96 1737.31 <.0001*
B 2 1451.65 725.83 359.16 <.0001*
A*B 2 182.75 91.37 45.21 <.0001*
C 2 328.20 164.10 81.20 <.0001*
A*C 2 3842.71 768.54 13.68 <.0001*
B*C 4 1791.47 223.93 1.62 0.1661
A*B*C 4 5491.44 323.03 159.84 <.0001*
Error 18 36.38 2.02
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif


Duncan Grouping Mean N A
A 50.86 18 15
B 31.11 18 20

c. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG


Duncan Grouping Mean N B
A 48.09 12 60:40
B 42.18 12 50:50
C 32.68 12 40:60

d. Hasil analisis duncan persentase surfaktan nonionik


Duncan Grouping Mean N C
A 44.60 12 4
B 41.14 12 5
C 37.21 12 6

e. Hasil analisis duncan persentase bahan akti dan rasio DEA serta APG
Duncan Grouping Mean N A*B
A 61.13 6 15*60:40
B 50.80 6 15*50:50
C 40.64 6 15*40:60
D 35.06 6 20*60:40
D 33.56 6 20*50:50
E 24.71 6 20*40:60
53

f. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif dan persentase surfaktan


nonionik
Duncan Grouping Mean N A*C
A 54.89 6 15*4
A 50.95 6 15*5
A 46.74 6 15*6
B 34.31 6 20*4
B 31.34 6 20*5
B 27.68 6 20*6

g. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG dengan persentase
surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N B*C
A 52.39 4 60:40*4
A 48.37 4 60:40*5
B A 44.94 4 50:50*4
B A 43.53 4 60:40*6
B A 42.21 4 50:50*5
B A 39.40 4 50:50*6
B A 36.47 4 40:60*4
B A 32.85 4 40:60*5
B 28.71 4 40:60*6

h. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif, rasio surfaktan DEA dan APG
dengan persentase surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N A*B*C
A 65.79 2 15*60:40*4
B 61.21 2 15*60:40*5
C 56.41 2 15*60:40*6
C 53.70 2 15*50:50*4
D 50.71 2 15*50:50*5
E D 48.01 2 15*50:50*6
E 45.20 2 15*40:60*4
F 40.93 2 15*40:60*5
G F 38.99 2 20*60:40*4
G H 36.19 2 20*50:50*4
H 35.81 2 15*40:60*6
H 35.53 2 20*60:40*5
I H 33.71 2 20*50:50*5
I J 30.78 2 20*50:50*6
I J 30.65 2 20*60:40*6
K J 27.75 2 20*40:60*4
K 24.78 2 20*40:60*5
L 21.62 2 20*40:60*6
54

Lampiran 8 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan


nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap
ukuran partikel formulasi insektisida

a. Hasil analisis keragaman


Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 1 4.995 4.9952 117.02 <.0001*
B 2 5.114 2.557 59.91 <.0001*
A*B 2 0.669 0.334 7.83 0.0036*
C 2 5.278 2.639 61.83 <.0001*
A*C 2 10.54 2.11 8.55 <.0001
B*C 4 0.735 0.184 4.30 0.0128*
A*B*C 4 0.111 0.028 0.65 0.6341*
Error 18 0.768 0.043
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif


Duncan Grouping Mean N A
A 5.56 18 15
B 4.82 18 20

c. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG


Duncan Grouping Mean N B
A 5.69 12 60:40
B 5.12 12 50:50
C 4.77 12 40:60

d. Hasil analisis duncan persentase surfaktan nonionik


Duncan Grouping Mean N C
A 5.58 12 4
B 5.33 12 5
C 4.67 12 6

e. Hasil analisis duncan persentase bahan akti dan rasio DEA serta APG
Duncan Grouping Mean N A*B
A 5.88 6 15*60:40
B A 5.64 6 15*50:50
B A 5.50 6 20*60:40
B 5.18 6 15*40:60
C 4.60 6 20*50:50
C 4.36 6 20*40:60
55

f. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif dan persentase surfaktan


nonionik
Duncan Grouping Mean N A*C
A 5.91 6 15*4
B A 5.63 6 15*5
B 5.26 6 20*4
B 5.16 6 15*6
B 5.03 6 20*5
C 4.18 6 20*6

g. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG dengan persentase
surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N B*C
A 6.11 4 60:40*4
B A 5.98 4 60:40*5
B C 5.34 4 50:50*4
B C 5.29 4 40:60*4
B C 5.20 4 50:50*5
D C 4.97 4 60:40*6
D C 4.83 4 50:50*6
D C 4.80 4 40:60*5
D 4.22 4 40:60*6

h. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif, rasio surfaktan DEA dan APG
dengan persentase surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N A*B*C
A 6.25 2 15*60:40*4
B A 6.04 2 15*60:40*5
B A C 5.98 2 20*60:40*4
B A C 5.92 20*60:40*5
B A C D 5.79 2 15*50:50*4
B C D E 5.68 2 15*40:60*4
B C D E 5.62 2 15*50:50*5
C D E 5.52 2 15*50:50*6
F D E 5.34 2 15*60:40*6
F G E 5.22 2 15*40:60*5
F G H 4.91 2 20*40:60*4
F G H 4.89 2 20*50:50*4
I G H 4.78 2 20*50:50*5
I H 4.64 2 15*40:60*6
I H J 4.60 2 20*60:40*6
I J 4.39 2 20*40:60*5
K J 4.15 2 20*50:50*6
K 3.79 2 20*40:60*6
56

Lampiran 9 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi
terhadap densitas formulasi insektisida
Keterangan :
A = Konsentrasi bahan aktif (15% dan 20%)
B = Waktu sonikasi (15, 30 dan 45 menit)

a. Hasil analisis keragaman


Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 1 0 0 . .
B 2 0 0 . .
A*B 2 0 0 . .
Error 6 0 0

b. Hasil analisis duncan konsentrasi bahan aktif


Duncan Grouping Mean N A
A 0.9958 6 15
A 0.9958 6 20

c. Hasil analisis duncan waktu sonikasi


Duncan Grouping Mean N B
A 0.9958 4 15
A 0.9958 4 30
A 0.9958 4 45

d. Hasil analisis duncan konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi


Duncan Grouping Mean N A*B
A 0.9958 2 15*15
A 0.9958 2 15*30
A 0.9958 2 15*45
A 0.9958 2 20*15
A 0.9958 2 20*30
A 0.9958 2 20*45
57

Lampiran 10 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu


sonikasi terhadap pH formulasi insektisida
a. Hasil analisis keragaman
Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 1 0.075 0.075 25.71 0.0023*
B 2 0.4177 0.209 71.34 <.0001*
A*B 2 0.495 0.099 33.83 0.0003*
Error 6 0.018 0.003
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan konsentrasi bahan aktif


Duncan Grouping Mean N A
A 7.625 6 20
B 7.467 6 15

c. Hasil analisis duncan waktu sonikasi


Duncan Grouping Mean N B
A 7.785 4 45
B 7.523 4 30
C 7.330 4 15

d. Hasil analisis duncan konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi


Duncan Grouping Mean N A*B
A 7.850 2 20*45
B A 7.720 2 15*45
B 7.620 2 20*30
C 7.425 2 15*30
C 7.405 2 20*15
D 7.255 2 15*15
58

Lampiran 11 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu


sonikasi terhadap tegangan permukaan formulasi insektisida
a. Hasil analisis keragaman
Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 1 7.41 7.41 123.87 <.0001*
B 2 11.94 5.97 99.75 <.0001*
A*B 2 0.90 0.45 7.47 0.0236*
Error 6 0.36 0.06
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan konsentrasi bahan aktif


Duncan Grouping Mean N A
A 27.15 6 15
B 25.59 6 20

c. Hasil analisis duncan waktu sonikasi


Duncan Grouping Mean N B
A 27.58 4 15
B 26.40 4 30
C 25.14 4 45

d. Hasil analisis duncan konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi


Duncan Grouping Mean N A*B
A 28.56 2 15*15
B 27.38 2 15*30
C 26.61 2 20*15
D 25.54 2 15*45
D 25.42 2 20*30
E 24.74 2 20*45
59

Lampiran 12 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu


sonikasi terhadap sudut kontak formulasi insektisida
a. Hasil analisis keragaman
Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 1 446.27 446.27 241.65 <.0001*
B 3 206.35 68.78 37.25 <.0001*
A*B 3 42.66 14.22 7.70 0.0096*
Error 8 14.77 1.85
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan konsentrasi bahan aktif


Duncan Grouping Mean N A
A 32.22 8 15
B 21.66 8 20

c. Hasil analisis duncan waktu sonikasi


Duncan Grouping Mean N B
A 31.45 4 15
B 28.71 4 0
C 25.84 4 30
D 21.75 4 45

d. Hasil analisis duncan konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi


Duncan Grouping Mean N A*B
A 38.13 2 15*15
A 35.81 2 15*0
B 29.90 2 15*30
C 25.05 2 15*45
D C 24.78 2 20*15
D C 21.79 2 20*30
D 21.62 2 20*0
E 18.46 2 20*45
60

Lampiran 13 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu


sonikasi terhadap ukuran partikel formulasi insektisida
a. Hasil analisis keragaman
Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 1 0.007 0.007 1.96 0.2110
B 2 0.283 0.142 39.57 0.0004*
A*B 2 0.014 0.007 1.92 0.2269
Error 6 0.022 0.004
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan konsentrasi bahan aktif


Duncan Grouping Mean N A
A 0.93 6 20
A 0.88 6 15

c. Hasil analisis duncan waktu sonikasi


Duncan Grouping Mean N B
A 1.10 4 15
B 0.89 4 30
C 0.73 4 45

d. Hasil analisis duncan konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi


Duncan Grouping Mean N A*B
A 1.12 2 15*15
B A 1.09 2 20*15
B C 0.96 2 20*30
D C 0.82 2 15*30
D 0.75 2 20*45
D 0.71 2 15*45
61

Lampiran 14 Hasil analisis keragaman jenis formulasisi dan konsentrasi


formulasi insektisida terhadap mortalitas larva pada jam ke-24
Keterangan :
A = Jenis formulasi (EC dengan bahan aktif 15% dan 20% serta nano EC dengan
bahan aktif 20%)
B = Konsentrasi formulasi insektisida (0.05%, 0.10% dan 0.20%)

a. Hasil analisis keragaman


Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 2 25.64 12.82 26.23 <.0001*
B 2 28.31 14.16 28.95 <.0001*
A*B 4 12.76 3.19 6.52 0.0005*
Error 36 17.60 0.49
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan jenis formulasi


Duncan Grouping Mean N A
A 9.53 15 NanoEC20%
B 9.00 15 EC20%
C 7.73 15 EC15%

c. Hasil analisis duncan konsentrasi formulasi dalam larutan semprot


Duncan Grouping Mean N B
A 9.67 15 0.20%
B 8.87 15 0.10%
C 7.73 15 0.05%

d. Hasil analisis duncan jenis formulasi dan konsentrasi formulasi dalam


larutan semprot
Duncan Grouping Mean N AB
A 9.80 5 NanoEC20%*0.20%
A 9.60 5 EC15%*0.20%
A 9.60 5 EC20%*0.20%
A 9.60 5 NanoEC20%*0.10%
A 9.40 5 EC20%*0.10%
A 9.20 5 NanoEC20%*0.05%
B 8.00 5 EC20%*0.05%
B 7.60 5 EC15%*0.10%
C 6.00 5 EC15%*0.05%
62

Lampiran 15 Hasil analisis keragaman jenis formulasi dan konsentrasi formula


insektisida terhadap mortalitas larva pada jam ke-48
a. Hasil analisis keragaman
Sumber Kuadrat Kuadrat
db F hitung Pr > F
keragaman jumlah rata-rata
A 2 0.4 0.2 6.00 0.0056*
B 2 0.4 0.2 6.00 0.0056*
A*B 4 0.8 0.2 6.00 0.0008*
*berpengaruh nyata terhadap α = 0.05

b. Hasil analisis duncan jenis formula


Duncan Grouping Mean N A
A 10.00 15 NanoEC20%
A 10.00 15 EC20%
B 9.80 15 EC15%

c. Hasil analisis duncan konsentrasi formula dalam larutan semprot


Duncan Grouping Mean N X2
A 10.00 15 0.20%
A 10.00 15 0.10%
B 9.80 15 0.05%

d. Hasil analisis duncan jenis formula dan konsentrasi formula dalam larutan
semprot
Duncan Grouping Mean N A*B
A 10.00 5 EC20%*0.05%
A 10.00 5 EC20%*0.10%
A 10.00 5 EC20%*0.20%
A 10.00 5 NanoEC20%*0.05%
A 10.00 5 NanoEC20%*0.10%
A 10.00 5 NanoEC20%*0.20%
A 10.00 5 EC15%*0.20%
A 10.00 5 EC15%*0.10%
B 9.40 5 EC15%*0.05%
63

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Sungai Penuh, Provinsi


Jambi pada tanggal 18 Juni 1992. Penulis merupakan anak
tunggal dari Bapak Yurnaidi dan Ibu Misra Nelly. Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengah di Jambi
kemudian melanjutkan pendidikan pada tahun 2010 di
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis lulus
dan mendapatkan gelar sarjana dari IPB pada Maret 2015.
Penulis melanjutkan pendidikan magister pada tahun 2016
di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Semasa kuliah magister, penulis turut serta
dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan diantaranya anggota Departemen
Research and Development, Bogor Science Club dan menjadi bendahara di Forum
Komunikasi Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai