SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
2
3
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sintesis dan Aplikasi
Surfaktan-Surfaktan Berbasis Minyak Sawit dalam Formulasi Insektisida
Emulsifiable Concentrate (EC) dan Nano Emulsifiable Concentrate (Nano EC)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
RINGKASAN
EKA NUR’AZMI YUNIRA. Sintesis dan Aplikasi Surfaktan-Surfaktan Berbasis
Minyak Sawit dalam Formulasi Insektisida Emulsifiable Concentrate (EC) dan
Nano Emulsifiable Concentrate (Nano EC). Dibimbing oleh ANI SURYANI dan
DADANG.
SUMMARY
EKA NUR’AZMI YUNIRA. Synthesized and Application of Surfactants Based
on Palm oil in Insecticide Formulation of Emulsifiable Concentrate (EC) and
Nano Emulsifiable Concentrate (Nano EC). Supervised by ANI SURYANI and
DADANG.
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
8
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2017 ini ialah
Sintesis dan Aplikasi Surfaktan, dengan judul Sintesis dan Aplikasi Surfaktan-
Surfaktan Berbasis Minyak Sawit dalam Formulasi Insektisida Emulsifiable
Concentrate (EC) dan Nano Emulsifiable Concentrate (Nano EC).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Ani Suryani dan Prof Dadang
selaku pembimbing, serta Prof Silvester Tursiloadi yang telah banyak memberi
saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada staf di LIPI KIMIA Puspitek Serpong, Surfactant and
Bioenergy Research Center (SBRC) IPB, teman-teman TIP 2016 atas do’a,
dukungannya dan batuannya selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
LAMPIRAN 40
RIWAYAT HIDUP 63
13
DAFTAR TABEL
1 Contoh dan struktur kimia surfaktan 6
2 Sifat fisiko-kimia surfaktan nonionik dan kationik berbasis minyak sawit 16
3 Densitas formula insektisida didalam air 21
4 Nilai pH formula insektisida didalam air 22
5 Ukuran partikel formula insektisida didalam air 26
6 Densitas dan pH formula insektisida nano-EC didalam air 30
7 Mortalitas larva Spodoptera litura pada jam ke 24, 48 dan 72 33
DAFTAR GAMBAR
1 Struktur surfaktan 4
2 Struktur kimia emamektin benzoat 8
3 Spektrum LC-MS bobot molekul surfaktan kationik 17
4 Produk dari hasil sintesis surfaktan kationik, (dari kiri ke kanan) alkil
halida, surfaktan kationik sebelum pemisahan, surfaktan kationik 18
5 Hasil analisis tegangan permukaan formula insektisida sebagai
konsentrasi kritis misel (CMC) 19
6 Tegangan permukaan formulasi insektisida di dalam air dengan bahan
aktif 15% dan bahan aktif 20% 23
7 Sudut kontak formulasi insektisida di dalam air dengan bahan aktif 15%
dan bahan aktif 20%. 25
8 Dispersi partikel formulasi insektisida di dalam air pada rasio DEA:APG
40:60 dan (a) konsentrasi surfaktan nonionik 4% (b) konsentrasi
surfaktan nonionik 5% dan (c) konsentrasi surfaktan nonionik 6% 27
9 Ukuran partikel formulasi insektisida di dalam air setelah sonikasi 28
10 Dispersi partikel formulasi insektisida nano EC di dalam air (a) waktu
sonikasi 15 menit (b) waktu sonikasi 30 menit dan (c) waktu sonikasi 45
menit 29
11 Nilai tegangan permukaan (a) dan sudut kontak formulasi insektisida
nano EC di dalam air (b) 31
DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur analisis karakteristik surfaktan 40
2 Prosedur analisis formulasi insektisida EC dan nano-EC 43
3 Neraca massa proses sintesis surfaktan kationik 45
4 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan
nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap
densitas formulasi insektisida 46
5 Hasil analisis keragaman faktor persentase bahan aktif, surfaktan
nonionik dan rasio surfaktan nonionik yang ditambahkan terhadap pH
formulasi insektisida 48
14
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Surfaktan
Insektisida
Pestisida adalah zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah,
mengendalikan, mengusir atau mengendalikan organisme yang tidak diinginkan
(Jones 2004). Pestisida terdiri dari beberapa jenis diantaranya adalah herbisida,
insektisida dan fungisida. Menurut Permentan nomor 39 tahun 2015 tentang
Pengawasan Pestisida, insektisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta
jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah
binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Insektisida
merupakan salah satu bentuk pengendalian hama yang tidak diinginkan pada
tanaman (Depkes 2012). Insektisida dikembangkan dengan menggunakan bahan
aktif tertentu. Bahan aktif yang digunakan memiliki fungsi yang berbeda-beda
tergantung pada hama yang menyerang. Bahan aktif ini berfungsi sebagai racun,
memiliki kelarutan yang rendah di dalam air dan membutuhkan bahan pelarut
untuk memaksimalkan penggunaannya. Insektisida umumnya diterapkan untuk
mengusir atau membunuh hama serangga.
Penggunaan insektisida setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Penggunaan insektisida semakin intens diterapkan oleh petani di lapangan. Hal ini
disebabkan oleh tuntutan kebutuhan hasil pertanian yang semakin meningkat.
Penggunaan insektisida dengan dosis dan anjuran tertentu dapat membunuh hama
dengan baik. Hingga saat ini pengendalian hama dilakukan secara kimiawi
(Muamalah 2006). Insektisida yang berkembang di pasar pada umumnya masih
dari sintesis minyak bumi atau dari campuran bahan kimia lainnya. Oleh karena
itu efek yang ditimbulkan insektisida di lapangan juga menjadi salah satu
kekhawatiran para ahli. Hal ini disebabkan beberapa bahan yang dicampurkan
masih sulit terdegradasi di alam.
Insektisida pada penggunaannya memiliki beberapa cara aplikasi ke
tanaman. Salah satu metode menggunaan insektisida yang banyak digunakan
adalah metode spray terutama pada daun (Knowles 1998). Insektisida yang
disemprotkan pada tanaman akan melekat pada tanaman tersebut, sebagian besar
insektisida umumnya melapisi daun. Kinerja insektisida bergantung dari bahan
aktif insektisida. Serangga akan datang/hinggap pada tanaman dan memakan
bagian daun atau bagian lainnya sehingga racun akan masuk ke dalam tubuh
hama. Racun tersebut akan bekerja secara efektif membunuh serangga tersebut.
Terdapat beberapa jenis racun yang berasal dari bahan aktif diantaranya adalah
racun perut akan masuk kedalam melalui kulit serangga dan diserap oleh tubuh
melalui saluran pencernaan. Sedangkan racun kontak pada umumnya masuk ke
dalam tubuh pada bagian permukaan integuman tubuh yang mengalami kontak
langsung dengan daun yang terlapisi dengan insektisida (Muamalah 2006).
Emamektin Benzoat
Formulasi Insektisida
bahan aktif (25-80%), wetting agent (1-3%), agen pendispersi (2-5%) dan
bahan inert (ditambahkan hingga 100%).
Suspension concentrates (SC). Teknologi suspension concentrates banyak
diterapakan karena partikel pestisida dapat tersuspensi didalam fasa minya
akan tetapi lebih sering pada fasa air. Surfaktan digunakan sebagai bahan
pembasah dan agen pendispersi yang banyak menimbulkan penelitian
tentang koloid dan aspek kimia dari dispersi dan stabilitas dispersi padat-
cair. Formulasi bahan aktif terdiri dari 20-50%. Bahan tambahan lainnya
adalah bahan pembasah (2-5%), Teknologi suspension concentrates banyak
diterapkan dimana partikel pestisida dapat tersuspensi didalam fasa minya
akan tetapi lebih sering pada fasa air. Surfaktan digunakan sebagai bahan
pembasah dan agen pendispersi yang banyak menimbulkan penelitian
tentang koloid dan aspek kimia dari dispersi dan stabilitas dispersi padat-
cair. Antifreeze propilen glikol (5-10%), agen anti settling (0,2-2%) dan air
(ditambahkan hingga 100%).
Mikroemulsi. Mikroemulsi memiliki kestabilan yang lebih baik secara
termodinamika dan dispersi koloid yang lebih transparan secara optik.
Katakteristik dari mikroemulsi adalah titik awan (cloud point). Ukuran
droplet yang dihasilkan dari mikroemulsi adalah air, surfaktan/co surfaktan,
pelarut organik, bahan aktif. Ukuran droplet dari mikroemulsi kurang dari 1
μm.
Nanoemulsi. Nano emulsi adalah sistem emulsi yang transparan, tembus
cahaya dan merupakan dispersi minyak-air yang dstabilkan oleh lapisan film
dari surfaktan atau molekul surfaktan yang memiliki ukuran droplet 50-500
nm (Shakeel et al 2008). Nanoemulsi merupakan sistem yang memiliki
tingkat kestabilan yang lebih baik dari mikroemulsi. Pada pestisida,
nanoemulsi dapat meningkatkan absorbsi, penetrasi dan mensolubilisasikan
zat aktif (Lee and Tadros 1982).
Penelitian mengenai formulasi insektisida telah banyak dilakukan.
Formulasi insektisida yang umumnya dilakukan adalah terhadap bahan aktifnya.
Syahputra (2013) meneliti tentang keefektifan insektisida campuran emamektin
benzoat dan β-sipermetrin terhadap hama ulat api Setothosea asigna pada tanaman
kelapa sawit. Hasil menunjukkan pencampuran dua jenis bahan aktif tersebut
efektif meningkatkan kinerja insektisida dengan melihat mortalitas ulat api pada
tanaman kelapa sawit. Penelitian lainnya yaitu Indrawijaya (2016) yang meneliti
tentang bahan aktif alami dari minyak nimba dengan menggunakan surfaktan
DEA. Hasil menunjukkan penambahan surfaktan mampu menurunkan sudut
kontak pada daun dan tegangan permukaan insektisida yang dikembangkan. Hal
ini menunjukkan pada formulasi insektisida, pencampuran bahan dengan dosis
tertentu sangat penting untuk diperhatikan. Penambahan surfaktan sebagai wetting
agent akan meningkatkan daya rekat surfaktan pada daun dengan menurunnya
sudut kontak insektisida pada daun.
Formulasi yang paling sering digunakan adalah pengenceran dengan air di
dalam tangki semprot. Pada kasus ini, formulasi bahan aditif sangat penting untuk
diperhatikan agar dapat tercampur secara sempurna pada air. Oleh karena itu
11
3 METODOLOGI
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi setil alkohol C16 99%
dari Sigma-Aldrich, tionil klorida dari TCI, diklorometana, piridin, trimetilamina
45%, surfaktan dietanolamida hasil penelitian Dora (2017), surfaktan APG dari
Laboratorium SBRC IPB, pelarut xilen, emamektin benzoat dari Asia Foresight-
Care Group Ltd, Shanghai, Cina, daun kedelai, larva Spodoptera litura dan tisu.
12
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi labu 3 leher, gelas kimia,
termometer, magnetic stirrer, hotplate, cawan porselen, neraca analitik,
kondensor, molecular sieve, oven, pipet volumetrik, botol sample, mikropipet dan
cawan petri. Alat untuk pengujian yaitu densitymeter anton paar DNA 4500M,
spinning drop tensiometer, rheometer brookfield DV-III ultra, contact angle
analyzer phoenix 300, liquid chromatograph mass spectrometry (LC/MS) dan
particle size analyzer.
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari empat tahapan yang meliputi sintesis dan
karakterisasi surfaktan, formulasi insektisida, formulasi insektisida nano
emulsifiable concentrate (nano-EC) dan uji efikasi formulasi insektisida terhadap
larva ulat grayak (Spodoptera litura).
Formulasi Insektisida
Formulasi insektisida yang dibuat adalah formulasi emulsifiable concentrate
(EC). Bahan aktif yang digunakan adalah emamektin benzoat dan pelarut xilen.
Konsentrasi bahan aktif emamektin benzoat yang digunakan yaitu 15% dan 20%.
Untuk meningkatkan kinerja insektisida pada daun dan kelarutan di dalam air,
pada formulasi ditambahkan surfaktan kationik dan nonionik. Menurut Edser
(2007), pada setiap formulasi mengandung 1-10% satu atau lebih surfaktan.
Konsentrasi surfaktan yang digunakan akan ditentukan melalui identifikasi nilai
CMC (Critical Micelle Concentration). Nilai CMC akan menentukan tiga
13
Keterangan :
Yijkl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, faktor C
taraf ke-k dengan ulangan ke-l
μ = nilai rata-rata umum
Ai = pengaruh faktor emamektin benzoat pada taraf ke-i (i = 15% dan
20%)
Bj = pengaruh faktor konsentrasi surfaktan pada taraf ke-j (j = 4%, 5%,
dan 6%)
Ck = pengaruh faktor konsentrasi DEA dan APG yang ditambahkan taraf
ke-k (k = 40:60 (w/w), 50:50 (w/w) dan 60:40 (w/w))
(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
(AC)ik = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor C taraf ke-k
(BC)jk = pengaruh interaksi antara faktor B taraf ke-j dan faktor C taraf ke-k
(ABC)ijk = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i, B taraf ke-j dan faktor
C taraf ke-k
εijkl = pengaruh galat atau error dari faktor faktor A taraf ke-i, B taraf ke-j
dan faktor C taraf ke-k
Keterangan :
Yijkl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dengan
ulangan ke-k
μ = nilai rata-rata umum
Ai = pengaruh faktor konsentrasi bahan aktif pada taraf ke-i (i = 15% dan
20%)
Bj = pengaruh faktor waktu ultrasonikasi pada taraf ke-j (j = 15, 20 dan
30 menit)
(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
εijk = pengaruh galat atau error dari faktor faktor A taraf ke-i, B taraf ke-j
Keterangan :
Yijkl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dengan
ulangan ke-k
μ = nilai rata-rata umum
Ai = pengaruh faktor jenis formulasi pada taraf i (i = jenis formulasi EC
dan nano-EC)
Bj = pengaruh faktor konsentrasi formulasi dalam air pada taraf ke-j (j =
0.05%, 0.1% dan 0.2%)
(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
εijk = pengaruh galat atau error dari faktor faktor A taraf ke-i, B taraf ke-j
15
60
50
40
30
20
10 304.61 549.09
225.53
0 0
99.0 319.2 539.4 759.6 979.8 1200.0
Mass (m/z)
Gambar 3 Spektrum LC-MS bobot molekul surfaktan kationik
Surfaktan kationik yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan
kationik yang mengandung asam lemak palmitat. Surfaktan kationik disintesis
dari produk turunan asam palmitat yaitu palmitil alkohol. Proses sintesis yang
dilalui adalah sintesis palmitil alkohol menjadi palmitil klorida (setil klorida). Sari
et al. 2017, telah berhasil mensitesis alkil halida dari produk turunan kelapa sawit
yaitu alkohol lemak (70%) yang mengandung asam palmitat. Hasil penelitian ini
menunjukkan reaksi palmitil alkohol dan tionil klorida dengan rasio mol 1:6,
menghasilkan setil klorida dengan bobot molekul 261.63 (m/z). Alkil halida yang
didapat merupakan produk antara (intermediate product). Hasil penelitian Sari et
al. (2017) menjadi acuan lebih lanjut dalam memproduksi surfaktan kationik.
Pada penelitian ini, proses sintesis alkil halida dilakukan dengan mereaksikan
palmitil alkohol (98%) dan tionil klorida dengan rasio mol 1:3 serta penambahan
piridin sebanyak 0.35% dari berat palmitil alkohol. Proses ini terjadi selama 24
jam dengan suhu refluks 80º C. Pada tahap sintesis ini, bahan baku setil alkohol
yang digunakan adalah sebesar 36 gram dan tionil klorida sebesar 33 mL, serta
piridin 130 µL. Hasil sintesis ini menghasilkan setil halida dengan berat total 38,4
gram (rendemen 43%). Hasil penelitian sebelumnya (Tsany 2018) menunjukkan
hasil FTIR produksi alkil halida, adanya pembentukan C-Cl pada panjang
gelombang 605.65-781.17 cm-1 dengan intensitas pembentukan 33.19-52.81%.
Tahapan selanjutnya adalah memproduksi surfaktan kationik. Surfaktan kationik
diproduksi dengan mereaksikan alkil halida dan trimetilamina dengan rasio mol
sebesar 1:3. Proses ini terjadi selama 6 jam dengan suhu refluks 50º C (Tsany
2018). Alkil halida yang dihasilkan akan direaksikan dengan trimetilamin sebesar
36.32 mL. Reaksi ini akan menghasilkan surfaktan kationik (setil trimetil
ammonium klorida (CTAC)) sebesar 27.86 gram (redemen 77.4% dari bahan baku
awal) (Lampiran 3). Hasil sintesis ini menunjukkan adanya perubahan massa dari
18
bahan baku palmitil alkohol (setil alkohol) sebesar 242.44 g/mol, menjadi produk
akhir surfaktan kationik dengan massa sebesar 284.6 g/mol (Gambar 3). Hasil
analisis menggunakan LC/MS menunjukkan intensitas kemurnian surfaktan
kationik cukup baik yaitu lebih besar dari 90%. Hasil penelitian sebelumnya
(Tsany 2018) menunjukkan adanya pembentukan ion nitrogen dan klorida dari
hasil FTIR dari surfaktan kationik. Hasil FTIR menunjukkan pada panjang
gelombang 1122.57-1354.03 cm-1 terbentuk ikatan antara C-N dengan intensitas
persentase 23/66-27.94%, adanya ikatan C-Cl pada panjang gelombang 636.51-
723.31 cm-1 sebesar 11.81-13.42%, ikatan C-H terbentuk pada panjang
gelombang 2852.72-2956.87 cm-1 sebesar 41.43-44.30% dan ikatan O-H
terbentuk pada panjang gelombang 3365.78-3547.09 cm-1 sebesar 24.69-30.43%.
Gambar 4 Produk dari hasil sintesis surfaktan kationik, (dari kiri ke kanan) alkil
halida, surfaktan kationik sebelum pemisahan, surfaktan kationik
Hasil analisis surfaktan kationik menunjukkan karakteristik surfaktan
kationik yaitu densitas sebesar 0.9946 g/cm3, tegangan permukaan 21.41 dyne/cm,
sudut kontak sebesar 20.39, pH sebesar 5.89 dan viskositas sebesar 27.65 cP
(Tabel 2). Nilai ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan surfaktan DEA.
Hasil penelitian Indrawijaya (2016) menunjukkan penambahan surfaktan kationik
mampu membantu dalam penyebaran insektisida pada permukaan daun kedelai.
Karakteristik surfaktan kationik menunjukkan bahwas alkohol lemak dari produk
turunan minyak kelapa sawit memiliki potensi untuk dikembangkan dan
diharapkan mampu membantu dalam memperbaiki stabilitas emulsi pada produk
insektisida yang dikembangkan. Hasil sintesis surfaktan kationik ini menunjukkan
bahwa produk yang dihasilkan memiliki karakteristik yang hampir sama dengan
produk komersial yaitu CTAB. Hasil pengujian menunjukkan tegangan
permukaan surfaktan hasil sintesis lebih rendah dibandingkan surfaktan CTAB
komersial (27.47 dyne/cm). Surfaktan ini juga memiliki warna dan bentuk yang
sama dengan surfaktan CTAB yaitu berwarna putih bersih dan berbentuk bubuk.
Formulasi Insektisida
hodrofilik. Hal ini menyebabkan penurunan tegangan antarmuka antar dua larutan
tersebut. Konsentrasi kritis misel (CMC) adalah konsentrasi tertentu suatu
monomer surfaktan membentuk misel dalam sebuah emulsi (Almoazen dan
simonelli 2007).
Perilaku ini adalah bentuk fungsi dari interaksi elektrostatik antara bagain
polar dengan rantai hidrokarbon yang bersifatt nonpolar (hidrofobik). Terdapat
banyak cara dalam mengukur CMC yaitu tegangan permukaan (Hiemenz dan
Rajagopalan (1997), Lin et al. 1999), konduktifitas dan konstanta dielektrik
(Rodriguez et al. 1998), kinetika reaksi antara OH dan surfaktan menggunakan
metode radiolisis (Perkowski et al. 1995), elektroforesis kapiler (Cifuentes et al.
1997), resonansi magnetik nulir (NMR) (Lasemann et al. 1998) dan metode
lainnya.
37
Tegangan permukaan (dyne/cm)
36.5
36
35.5
35
34.5
34
33.5
33
32.5
32
31.5
1% 2% 3% 4% 5% 6% 7% 8% 9% 10%
Konsentrasi surfaktan nonionik
Gambar 5 Hasil analisis tegangan permukaan formula insektisida sebagai
konsentrasi kritis misel (CMC)
Penentuan nilai CMC dengan menggunakan metode pengukuran tegangan
permukaan dilakukan pada konsentrat formulasi insektisida. Data menunjukkan
pada konsentrasi surfaktan nonionik 1-10%, terjadi penurunan nilai tegangan
permukaan hingga konsentrasi surfaktan 5%, kemudian terjadi kenaikan nilai
tegangan permukaan pada konsentrasi 6-10% (Gambar 5). Nilai tegangan
permukaan pada dasarnya akan turun jika terjadi peningkatan konsentrasi
surfaktan. Depresiasi dalam nilai-nilai tegangan permukaan surfaktan dalam
larutan berair dapat dikaitkan dengan peningkatan adsorpsi molekul surfaktan
pada antarmuka larutan (Lin et al. 1999). Depresiasi ini disebut konsentrasi misel
kritis (CMC). Pada konsentrasi surfaktan yang berbeda, peningkatan rantai
panjang alkil mengurangi nilai tegangan permukaan. Hal ini disebabkan adanya
peningkatan hidrofobik karena peningkatan rantai panjang alkil yang memompa
molekul surfaktan ke antarmuka dan akibatnya menurunkan tegangan permukaan
(Aiad et al. 2017). Hal ini menunjukkan peningkatan surfaktan yang lebih tinggi
akan memecah emulsi yang terbentuk. Oleh karena itu, analisis ini sangat penting
dalam mengembangkan produk-produk emulsi. Hasil data ini akan menjadi acuan
dalam pemilihan konsentrasi surfaktan nonionik yang ditambahkan di dalam
formulasi insektisida. Berdasarkan data, konsentrasi surfaktan nonionik yang akan
ditambahkan adalah sebesar 4%, 5% dan 6% (Gambar 5).
20
Densitas
Densitas adalah nilai yang diperoleh dari hasil pembagian antara massa dan
volume (Ferdian et al. 2016). Densitas mempengaruhi pencampuran antara
formula dengan air. Air memiliki densitas sebesar 1 g/cm3. Jika densitas formula
mendekati densitas air, maka formula akan lebih stabil mengemulsi didalam air
(Murakami et al. 2014). Jenis emulsi yang akan terbentuk adalah emulsi minyak
di dalam air (O/W). Emulsi akan semakin baik terbentuk jika ukuran partikel
seragam. Pada formulasi insektisida, densitas akan mempengaruhi aplikasi
penyemprotan. Semakin tinggi densitas, maka larutan akan semakin rapat dan
sulit untuk disemprotkan, hal ini juga berkaitan dengan tingkat viskositas larutan
yang semakin tinggi. Aplikasi penyemprotan dilakukan dengan mencampurkan
formula insektisida dalam air.
Tabel 3 menunjukkan nilai densitas formulasi insektisida di dalam air
adalah sebesar 0.9949-0.9967 g/cm3. Rata-rata densitas ini menunjukkan adanya
stabilitas formulasi insektisida di dalam air. Pada aplikasi penggunaannya,
formulasi insektisida akan dicampurkan dengan air kemudian disemprotkan pada
tanaman. Densitas sediaan cairan semprot insektisida, menunjukkan angka yang
mendekati 1 g/cm3 (Tabel 3). Jika selisih densitas larutan insektisida kecil, maka
akan terbentuk emulsi yang sangat baik antara formulasi insektisida dengan air
(Murakami et al. 2014). Data menunjukkan penambahan surfaktan akan
memperbesar densitas formulasi yang terbentuk. Hasil analisis keragaman
menunjukkan konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% berpengaruh signifikan pada
densitas formulasi insektisida (Lampiran 4). Konsentrasi 15% dan 20%
menghasilkan densitas yang berbeda nyata, sedangkan rasio surfaktan DEA dan
APG berpengaruh secara signifikan terhadap densitas formulasi insektisida,
dimana rasio DEA : APG sebesar 60:40 dan 40:60 tidak berbeda nyata, akan
tetapi kedua rasio itu berbeda nyata dengan formulasi insektisida dengan rasio
DEA:APG sebesar 50:50. Konsentrasi surfaktan juga berpengaruh sangat nyata
densitas formulasi insektisida. Nilai densitas pada konsentrasi surfaktan 5%
beberda nyata dengan densitas pada konsentrasi surfaktan 4% dan 6%, akan tetapi
densitas pada konsentrasi surfaktan 4% dan 6% tidak berbeda nyata. Hasil analisis
keragaman interaksi konsentrasi dan rasio surfaktan nonionik menunjukkan nilai
densitas terbesar adalah pada perlakuan penambahan surfaktan nonionik 5% serta
rasio DEA : APG sebesar 40:60 (Lampiran 4).
Surfaktan DEA dan APG yang digunakan juga memiliki karakteristik
densitas yang baik. Densitas surfaktan APG dan DEA yang digunakan adalah
sebesar 0.9762 dan 0.9763 g/cm3 (Tabel 3). Penggunaan surfaktan DEA dan APG
pada umumnya tidak berpengaruh pada peningkatan densitas, hal ini disebabkan
oleh densitas kedua surfaktan yang tidak jauh berbeda. Selain itu, Surfaktan DEA
dan APG dengan rantai karbon C12 dan C14 yang memiliki kemampuan
meningkatkan stabilitas emulsi yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang
memiliki jumlah rantai karbon lebih sedikit (Aisyah 2011). Hal ini juga
menyebabkan surfaktan APG memiliki kemampuan hidrofobik dan mengikat
bahan nonpolar yang lebih baik. Pada emulsi minyak dalam air (O/W) surfaktan
APG akan mengikat minyak dengan baik dan membentuk globula yang seragam,
sehingga tingkat dispersi formula di dalam air akan semakin baik. Surfaktan DEA
dan APG pada umumnya banyak digunakan pada formulasi herbisida (Fakhirin
21
2017) karena kemampuannya larut dalam air lebih baik jika dibandingkan setelah
dicampurkan dengan pelarut xilen dan dilarutkan didalam air.
Tabel 3 Densitas (g/cm3) sediaan cairan semprot insektisida
Konsentrasi Konsentrasi emmamektin benzoat (%)
surfaktan (%) 15 20
Rasio DEA:APG (60:40)
4 0.9956 ± 0.00def 0.9955 ± 0.00def
5 0.9959 ± 0.00bc 0.9957 ± 0.00cd
6 0.9954 ± 0.00f 0.9956 ± 0.00de
Nilai pH
Formulasi insektisida yang beredar pada umumnya berbentuk konsentrat
dan perlu proses pencampuran dengan air pada penggunaannya. Air memiliki
kandungan mineral terlarut, bahan organik dan pH yang bergantung dari
sumbernya. Nilai pH merupakan derajat keasaman atau alkalinitas air yang
mengacu pada jumlah ion hidrogen (H+) dan hidroksil (OH-) dalam suatu larutan
(Schilder 2008). Air sebagai agen pendispersi harus memiliki nilai yang konstan,
karena memiliki pengaruh pada variasi tanaman yang dihasilkan akibat adanya
perubahan musim. Pengontrolan nilai pH air sebagai agen pendispersi konsentrat
formula insektisida dapat dilakukan dengan menambahkan buffer atau water
conditioning agents (Cloyd 2015). Nilai pH yang netral menunjukkan
keseimbangan antara dua ion tersebut, jika ion hidrogen lebih besar maka larutan
akan bersifat asam. Namun jika ion hidroksil lebih besar, maka larutan bersifat
basa (Dewi et al. 2017). Pengukuran nilai pH dilakukan pada rentang 0-14.
Data menunjukkan bahwa pH dari larutan insektisida adalah normal. Rata-
rata pH larutan insektisida adalah 7.14-7.90. Hasil pengukuran ini telah memenuhi
standar nilai pH yang diharapkan oleh larutan insektisida didalam air yaitu 5.0-7.0
(Cloyd 2015). Analisis keragaman terhadap rasio surfaktan menunjukkan
pengaruh yang signifikan, dimana rasio DEA:APG sebesar 60:40 dan 40:60
bebeda nyata dengan nilai pH dengan rasio DEA:APG sebesar 50:50 (Lampiran
5). Hasil analisis keragaman juga menunjukkan konsentrasi surfaktan nonionik
memberikan pengaruh nyata pada nilai pH larutan insektisida dimana konsentrasi
4% dan 5% memiliki nilai pH yang berbeda nyata dengan konsentrasi surfaktan
6%. Surfaktan kationik tidak memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada
penambahan nilai pH. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi surfaktan kationik yang
22
digunakan cukup kecil yaitu 1%. Nilai pH dari bahan-bahan yang digunakan pada
umumnya menunjukkan nilai pH yang netral (Tabel 4).
Tabel 4 Nilai pH sediaan cairan semprot insektisida
Konsentrasi Konsentrasi emmamektin benzoat (%)
surfaktan (%) 15 20
Rasio DEA:APG (60:40)
4 7.45 ± 0.04de 7.45 ± 0.01de
5 7.75 ± 0.07ab 7.57 ± 0.01cd
6 7.90 ± 0.10a 7.46 ± 0.01de
Nilai pH yang sangat tinggi atau sangat rendah akan menyebabkan tingkat
toxisitasnya menjadi tinggi dan berakibat pada rusaknya tumbuhan yang menjadi
target. Pada umumnya, insektisida khususnya dari golongan organofosfat dan
karbamat lebih rentan terhadap hidrolisis alkali jika dibandingkan dengan
fungisida dan herbisida. Hal ini dapat menyebabkan waktu degradasi insektisida
menjadi semakin lebih cepat sehingga tidak efektif lagi untuk mengendalikan
hama. Menurut Schilder (2008), pH juga berpengaruh terhadap aplikasi
pemakaiannya dalam bentuk semprotan. Pada pH lebih dari 5, tingkat stabiltas
pestisida akan semakin baik.
Tegangan Permukaan
Surfaktan adalah senyawa organik yang memiliki gugus lipofilik dan
hidrofilik dalam molekulnya (Karsa 2006). Surfaktan merupakan agen penurun
tegangan permukaan. Tegangan permukaan merupakan salah satu faktor penting
dalam mengetahui kestabilan emulsi antara formula insektisida dengan air.
Pengukuran tegangan permukaan bertujuan untuk mengetahui aktivitas emulsi
pada permukaannya (Aiad et al. 2018). Emulsi dapat terbentuk karena perbedaan
fasa antara dua larutan atau zat. Kedua fase ini, memiliki kemampuan untuk
mempertahankan luas permukaannya sehingga terbentuk tegangan dipermukaan
larutan tersebut.
Tegangan permukaan merupakan faktor penting dalam mengetahui stabilitas
emulsi. Semakin rendah tegangan permukaan antara dua fasa, maka semakin baik
emulsi yang terbentuk. Penurunan tegangan permukaan dalam larutan juga dapat
menyebabkan peningkatan adsorpsi molekul surfaktan pada antarmuka larutan.
Adsorpsi molekul surfaktan pada larutan disebabkan oleh interaksi antara
surfaktan dan molekul air (Aiad et al. 2018). Pada aplikasi penggunaannya,
23
a
ab bc
c d d fe
d
30.00 e fe fg fe fe e
f
fg g h
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
4 5 6 4 5 6 4 5 6
Rasio DEA : APG Rasio DEA : APG Rasio DEA : APG
(60:40) (50:50) (40:60)
Sudut Kontak
Surfaktan merupakan salah satu bahan tambahan yang berperan sebagai
agen pembasah (wetting agent) (Castro et al. 2013). Parameter pengukuran untuk
mengetahui peran surfaktan dalam hal ini adalah sudut kontak cairan insektisida
pada permukaan daun. Sudut kontak adalah metode untuk mengukur sudut antara
permukaan padat dalam hal ini daun dan droplet cairan semprot insektisida
(Luepakdeesakoon et al. 2006). Daun sebagai objek target, pada umumnya
dilapisi dengan lilin. Jika air menetes pada daun, maka air tersebut dapat langsung
jatuh ke permukaan tanah. Penambahan surfaktan dapat membantu melekatkan
formula insektisida pada permukaan daun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sudut kontak larutan insektisida adalah
21.19-65.82º. Hasil penelitian menunjukkan semakin besar konsentrasi bahan
aktif yang ditambahkan, maka semakin kecil sudut kontak yang terbentuk
(Gambar 7). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi bahan
aktif memberikan pengaruh signifikan terhadap sudut kontak larutan insektisida.
Larutan insektisida dengan konsentrasi bahan aktif 15% menghasilkan nilai sudut
kontak yang berbeda nyata dengan larutan insektisida dengan konsentrasi bahan
aktif 20% (Lampiran 7). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa konsentrasi
bahan aktif yang digunakan lebih kecil jika dibandingkan penelitian Dewi et al.
(2017). Formulasi insektisida yang dihasilkan lebih baik dan lebih efektif jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Emamektin benzoat sebagai bahan
aktif memiliki tingkat kelarutan yang sangat rendah didalam air yaitu 24 mg/L.
Hal ini menyebabkan, perlu adanya proses pencampuran bahan aktif dengan
senyawa organik sehingga yang didapatkan adalah fase minyak. Aplikasi
penggunaan dengan pencampuran menggunakan air bertujuan untuk
mempertahankan aktifitas biologi dari bahan aktif, efisiensi, keamanan dan
kenyamanan penggunaan ketika dilakukan penyemprotan (Feng et al. 2016).
Penambahan surfaktan nonionik menunjukkan mampu memperkecil sudut
kontak yang dibentuk oleh cairan insektisida pada permukaan daun. Hasil analisis
keragaman menunjukkan konsentrasi surfaktan memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap nilai sudut kontak. Penambahan surfaktan dengan
konsentrasi 4%, 5% dan 6% memiliki nilai sudut kontak yang berbeda nyata.
Semakin besar konsentrasi surfaktan yang ditambahkan maka akan membantu
dalam memperkecil sudut kontak dan memperluas area kontak larutan insektisida
25
(Yang et al. 2013). Sudut kontak yang kecil menunjukkan kinerja surfaktan
sebagai agen pembasah serta penyebaran cairan insektisida sangat baik di atas
permukaan daun (Zhou 2007).
70.00 a
b
60.00 c c
Sudut kontak 0 menit (º)
d
de
50.00 e
f
fg
40.00 h gh h
ih
ij ij
jk
30.00 k
l
20.00
10.00
0.00
4 5 6 4 5 6 4 5 6
Rasio DEA : APG Rasio DEA : APG Rasio DEA : APG
(60:40) (50:50) (40:60)
Gambar 7 Sudut kontak formulasi insektisida di dalam air ( ) dengan bahan
C
aktif 15% dan ( ) bahan aktif 20%
C
Jenis surfaktan nonionik yang digunakan didalam formulasi insektisida juga
mempengaruhi karakteristik formula yang dihasilkan. Surfaktan dengan HLB
yang lebih tinggi akan membantu dalam pembentukan emulsi minyak di dalam air
sedangkan formula dengan HLB rendah akan membantu emulsi air didalam
minyak (Chemmunique 1976). Larutan insektisida didalam air akan membentuk
emulsi minyak didalam air. Pada penelitian ini, penambahan surfaktan APG
dengan konsentrasi yang lebih besar dapat memperkecil sudut kontak antara daun
dan cairan insektisida yang disemprotkan. Hasil analisis karakteristik surfaktan
juga menunjukkan nilai sudut kontak surfaktan APG lebih kecil jika dibandingkan
dengan surfaktan DEA (Tabel 2). Hasil analisis keragaman juga menunjukkan
bahwa rasio surfaktan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap nilai
sudut kontak yang dihasilkan. Rasio DEA dan APG sebesar 60:40, 50:50 dan
40:60 memiliki nilai sudut kontak yang berbeda nyata. Pada penelitian terdahulu
(Indrawijaya 2016 dan Dewi et al. 2017) menunjukkan hasil sudut kontak yang
cukup baik. Akan tetapi, penambahan surfaktan APG mampu menghasilkan nilai
sudut kontak hingga 21.19º. Hasil penelitian Indrawijaya (2016) juga
menunjukkan dengan penambahan surfaktan kationik, sudut kontak yang
dihasilkan semakin kecil. Hal ini menunjukkan adanya peranan penting surfaktan
kationik dalam mengukat ion-ion yang terdapat didalam air. Hasil analisis
keragaman interaksi konsentrasi dan rasio surfaktan nonionik menunjukkan nilai
sudut kontak terbaik adalah pada perlakuan penambahan surfaktan nonionik 6%
serta rasio DEA : APG sebesar 40:60 (Lampiran 7). Nilai sudut kontak terbaik
pada konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% berturut-turut sebesar 35.81º dan
21.62º.
26
Ukuran Partikel
Surfaktan merupakan bahan pengemulsi yang baik. Surfaktan nonionik
adalah pengemulsi yang dapat digunakan untuk emulsi dengan tipe O/W ataupun
W/O (Tadros 2013). Campuran surfakan nonionik atau ionik dan nonionik akan
dapat lebih efektif dalam membentuk stabilitas emulsi. Pengukuran stabilitas
emulsi ini dapat dilakukan dengan mengetahui ukuran partikel emulsi. Analisis
ukuran partikel dilakukan dengan mengukur diameter tetesan emulsi didalam air
atau didalam minyak (Dewi et al. 2017). Surfaktan memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam pembentukan ukuran partikel dan kemampuan dispersi. Pada
formulasi insektisida, pembentukan emulsi minyak didalam air dapat dilihat
dengan keseragaman ukuran partikel yang dihasilkan (Feng et al 2016). Hal ini
juga mengidentifikasikan partikel formula insektisida tersebar merata didalam air.
Tabel 5 Ukuran partikel (µm) formulasi insektisida di dalam air
Konsentrasi Konsentrasi emmamektin benzoat (%)
surfaktan (%) 15 20
Rasio DEA:APG (60:40)
4 6.25 ± 2.24a 5.98 ± 1.34abc
5 6.04 ± 2.09ab 5.92 ± 1.22abc
6 5.34 ± 1.80cd 4.60 ± 0.78hij
6.00
5.00
4.64
Ukuran partikel (µm)
4.00 3.79
3.00
2.00
1.12a 0.82cd
0.70d
1.00
1.09ab 0.96bc 0.75d
0.00
0 15 30 45
Waktu sonikasi (menit)
BA 15% BA 20%
Gambar 9 Ukuran partikel formulasi insektisida di dalam air setelah sonikasi
Pada penelitian ini, proses sonikasi dilakukan pada formula insektisida
dengan karakteristik terbaik. Karakteristik sifat fisiko kimia terbaik adalah
memiliki tegangan permukaan dan sudut kontak terendah dari masing-masing
konsentrasi bahan aktif. Hasil penelitian menunjukkan formulasi insektisida
terbaik adalah dengan konsentrasi surfaktan nonionik 6% dan rasio DEA : APG
(40:60) yaitu tegangan permukaan 27.42 dan 25.38 dyne/cm serta sudut kontak
35.81º dan 21.62º. Hasil juga menunjukkan bahwa stabilitas emulsi setelah 24 jam
masih kurang baik, yaitu adanya pemisahan antara air dan formula isektisida.
Hasil terbaik ini kemudian dikecilkan ukurannya dengan metode ultrasonikasi.
Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 9) perubahan formula insektisida
setelah dilakukannya sonikasi yaitu jumlah bahan aktif tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap perubahan ukuran partikel dari formula insektisida. Hal ini
ditunjukkan dari ukuran partikel setelah sonikasi hampir sama untuk kedua
konsentrasi bahan. Akan tetapi, waktu sonikasi memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap pengecilan ukuran dari formula insektida. Ukuran partikel
29
(a) (b)
Gambar 11 Nilai tegangan permukaan (a) dan sudut kontak formulasi insektisida
nano EC di dalam air (b)
Nilai sudut kontak mengidentifikasikan tingkat keterbasahan (wetting). Pada
bidang pertanian, kemampuan pembasahan pestisida pada daun menjadi indikator
penting kemampuan pestisida dalam mengurangi hama, gulma dan penyakit
tanaman (Pandey et al. 2003). Nilai sudut kontak dihitung dari sudut antara
permukaan daun dengan pembentukan lapisan pestisida pada permukaan daun.
Hasil penelitian Yang et al. 2017 menunjukkan nilai sudut kontak emamektin
benzoat pada permukaan daun kubis adalah 98º. Sudut kontak dapat diperkecil
hingga 48ºC dengan formulasi solid nanodispersion dan adanya penambahan
surfaktan. Hasil penelitian ini menunjukkan, surfaktan dan teknologi nano mampu
mengecilkan sudut kontak pada daun kubis hingga 49%. Hasil penelitian
menunjukkan, terjadi peningkatan nilai sudut kontak pada waktu sonikasi 15
menit (Gambar 11). Peningkatan nilai diduga karena tidak maksimalnya proses
pengecilan ukuran karena sonikasi dilakukan pada waktu dan daya yang kecil.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi bahan aktif dan waktu
sonikasi mempengaruhi nilai sudut kontak larutan isnektisida (Lampiran 12). Nilai
sudut kontak akan semakin kecil jika waktu sonikasi semakin lama. Hal ini
menunjukkan pengecilan ukuran partikel akan terus berlangsung selama proses
sonikasi dilakukan. Akan tetapi, pengecilan ukuran dengan gelombang ultrasonik
akan membuat pelarut organik semakin mudah menguap. Sehingga semakin tinggi
waktu sonikasi, akan memperburuk penyimpanan formulasi insektisida ini.
Hasil analisis karakteristik menunjukkan formula dengan ukuran partikel
terendah yaitu pada waktu sonikasi 45 menit yaitu sebesar 0.70 dan 0.75 µm.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada nilai tegangan permukaan
dan sudut kontak terbaik adalah 24.74 dyne/cm dan 18.46º. Formula insektisida
terbaik yang dipilih dari penelitian ini adalah dengan menggunakan bahan aktif
pada konsentrasi 20% dan waktu sonikasi 45 menit. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa, peningkatan karakteristik formula insektisida EC dengan
teknologi nano adalah sebesar 5% dengan pengecilan ukuran partikel hingga 20%.
32
Spodoptera litura merupakan salah satu jenis hama penting yang merusak
tanaman kedelai dibandingkan dengan hama perusak daun lainnya (Adie et al.
2012). Hama ini bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang yang cukup
luas atau banyak inang, sehingga agak sulit dikendalikan. Hama ini dapat
tumbuh dan berkembang pada banyak jenis tanaman seperti tomat, kacang-
kacangan, bayam, padi, jagung, tebu, pisang dan tanaman pangan lainnya
(Ditlinhorti 2013). Ulat gerayak pada umumnya menyerang hampir keseluruhan
bagian tanaman. Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan
sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut
merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Serangan berat
menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat.
Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan
defoliasi daun yang sangat berat (Marwoto dan Suharso 2008).
Ulat grayak dipilih sebagai sasaran utama formula insektisida. Uji efikasi
pada ulat ini dilakukan dengan pengenceran formulasi insektisida dalam air
dengan konsentrasi 0.05%; 0.1% dan 0.2%. Formulasi insektisida terpilih adalah
formula EC dengan perlakuan konsentrasi surfaktan 6%, rasio DEA:APG sebesar
40:60 dan formula nano-EC terbaik pada konsentrasi bahan aktif 20% dengan
waktu sonikasi 45 menit. Hasil penelitian Dewi et al. (2017) dengan bahan aktif
profenofos 40% dan surfaktan natrium etoksida DEA 10%, mampu mematikan
ulat grayak dengan dosis LC50 sebesar 574 ppm. Pada pestisida komersial ABENZ
22 EC, dosis yang ampuh dapat digunakan untuk membunuh ulat grayak adalah 1
mL/L. Perbedaan ini disebabkan oleh jenis dan bentuk formulasi yang
dikembangkan. Uji efikasi pada penelitian ini dilakukan pada skala laboraorium.
Hasil analisis keragaman menunjukkan pada jam ke 24 dan 48 (Lampiran 14),
jenis formulasi dan konsentrasi bahan aktif mempengaruhi mortalitas larva
Spodoptera litura, sedangkan pada jam ke-72 tidak berpengaruh secara signifikan.
Hasil penelitian menunjukkan pada formulasi EC dengan perlakuan bahan
aktif 20%, tingkat mortalitas larva terbaik pada jam ke 24 adalah pada konsentrasi
formulasi 0.2% dengan persentase mortalitas larva sebesar 96% (Tabel 7).
Sementara itu, pada formulasi EC dengan konsentrasi bahan aktif 20%, tingkat
mortalitas larva terbaik pada jam ke 24 adalah pada konsentrasi formulasi 0.2%
dengan persentase mortalitas larva yaitu 96%. Pada formulasi nano EC, tingkat
mortalitas larva pada konsentrasi 0.05%, 0.10% dan 0.20% berturut-turut adalah
92%, 96% dan 98%. Hal ini menunjukkan formulasi dalam bentuk nano sangat
efektif membunh larva instar III dari Spodoptera litura. Konsentrasi formula
insektisida yang dicampurkan dalam sediaan larutan semprot, menunjukkan
bahwa semakin tinggi konsentrasi formula insektisida maka tingkat kematian
larva ulat grayak semakin tinggi. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa
konsentrasi bahan formula dalam larutan semprot pada jam ke 24 dan 48
berpengaruh secara signifikan, sedangkan pada jam ke 72 tidak berpengaruh
secara signifikan. Data menunjukkan semakin tinggi konsentrasi formula dalam
larutan semprot, maka semakin tinggi mortalitas ulat.
33
EC Bahan aktif 15%, surfaktan nonionik 6% dan rasio DEA:APG sebesar 40:60
0.05% 60 ± 7.1c 94 ± 5.5b 100 ± 0.0a
0.10% 76 ± 8.9b 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
0.20% 96 ± 5.4a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
EC Bahan aktif 20%, surfaktan nonionik 6% dan rasio DEA:APG sebesar 40:60
0.05% 80 ± 7.1b 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
0.10% 94 ± 8.9a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
0.20% 96 ± 8.9a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
Nano EC dengan waktu sonikasi 45 menit, bahan aktif 20%, surfaktan nonionik
6% dan rasio DEA:APG sebesar 40:60
0.05% 92 ± 4.5a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
0.10% 96 ± 5.4a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
0.20% 98 ± 4.5a 100 ± 0.0a 100 ± 0.0a
Simpulan
Surfaktan DEA dan CTAC disintesis dari produk turunan minyak kelapa
sawit. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik surfaktan DEA dan CTAC
berturut-turut adalah densitas 0.9762 dan 0.9946 g/cm3, tegangan permukaan
27.16 dan 21.41 dyne/cm, sudut kontak 18.18º dan 20.39º, pH 7.62 dan 5.89 serta
viskositas sebesar 257.35 dan 27.65 cP. Sementara itu, karakteristik formulasi
insektisida EC terbaik adalah menggunakan surfaktan nonionik 6% dengan rasio
DEA dan APG 40:60. Sifat fisiko kimia formula insektisida terbaik dengan
konsentrasi bahan aktif 15% dan 20% berturut-turut adalah densitas 0.9955 dan
0.9954 g/cm3, pH 7.81 dan 7.57, tegangan permukaan 27.42 dan 25.38 dyne/cm,
sudut kontak 35.81º dan 21.62º, serta ukuran partkel 4.64 dan 3.79 µm. Formulasi
nano-EC terbaik diperoleh dengan perlakuan konsentrasi bahan aktif 20% dan
waktu sonikasi 45 menit. Sifat fisiko-kimia formula insektisida adalah densitas
0.9958 g/cm3, pH 7.85, tegangan permukaan 24.74 dyne/cm, sudut kontak 18.46º,
serta ukuran partkel 0.75 µm. Hal ini menunjukkan bahwa surfaktan yang
dikembangkan efektif dalam membantu insektisida terdispersi dan tersebar
dengan baik pada permukaan daun. Konsentrasi formulasi EC terbaik yang
mampu menghasilkan mortalitas larva tertinggi pada jam ke 24 adalah konsentrasi
34
formulasi 0.20%. Mortalitas larva pada konsentrasi ini untuk konsentrasi bahan
aktif 15% dan 20% adalah 96%. Formulasi nano EC terbaik mampu menghasilkan
persentase mortalitas larva tertinggi pada konsentrasi 0.20% setelah 24 jam
perlakuan yaitu 98%.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bresman J. 2018. Perbaikan formulasi oil spill dispersant (OSD) dengan surfaktan
dietanolamida (DEA) dari asam oleat [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian
Bogor.
Castro MJL, Ojeda C, Cirelli AF. 2013. Advances in surfactants for
agrochemicals. J Environ Chem Lett. doi 10.1007/s10311-013-0432-4.
Chang Y, McClements DJ.2014. Optimization of orange oil nanoemulsion
formation by isothermal low-energy methods: influence of the oil phase,
surfactant, and temperiature. J Agric Food Chem. 62(10): 2306-2312.
Chemmunique. 1976. The HLB system-a time saving guide to emulsifier
selection. Newcastle (US): ICI America Inc.
Chen F, Wang Y, Zheng F, Wu Y, Liang W. 2003. Studies on cloud point of
agrochemical microemulsions. Colloids Surf A. 175:257–262.
Cifuentes A, Bernal JL, Masa JCD. 1997. Determination of critical micelle
concentration values using capillary electrophoresis instrumentation. J
Analytical Chemistry. 69(20): 4271-4274.
Cloyd RA. 2016. Effects of pH on Pesticides [Internet]. [diunduh pada 2018 Nov
4] http://gpnmag.com/wp-content/uploads/2016/07/GPNJuly_Dr.Bugs_.pdf.
Cox DL, Rabatin S. 1995. Toxicity and field efficacy of avermectin against
codling moth (Lep :Tortricidae) on apples. J Econ Entomol. 88: 708-715.
Darto. 2008. Pemanfaatan alkil poliglikosida (APG) berbasis alkohol lemak dari
minyak kelapa (C12) dan pati sagu sebagai surfaktan dalam formulasi herbisida
[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Dewi HS, Rahayuningsih M, Hambali E. 2017. Formulation of insecticide
profenofos using surfactant diethanolamide (DEA) based on palm olein. Di
dalam: Proceeding of International Conference on Biomass: Technology,
Application, and Sustainable Development. 65:1-12.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida
(Pestisida) dalam Pengendalian Vektor. Jakarta (ID) : Kementerian Kesehatan
RI.
[Ditlinhorti]. Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2013. Ulat Grayak. Jakarka
(ID): Direktorat Perlindungan Hortikultura.
Dora 2017. Penggandaan skala produksi surfaktan DEA pada reaktor 25 liter dan
pemanfaatannya dalam insektisida nabati minyak mimba [tesis]. Bogor(ID):
Institut Pertanian Bogor.
Edser C. 2007. Multifaceted role for surfactants in agrochemicals. Focus Surfact.
2007(3):1-2.
Fakhirin R. 2017. Penggunaan surfaktan nonionik dan kationik pada formulasi
dan aplikasi herbisida berbahan aktif glifosat [skripsi]. Bogor(ID):Institut
Pertanian Bogor.
Farn RJ. 2006. Chemistry and Technology of Surfactants. Oxford (GB): Blackwell
Publishing Ltd
Feng L, Cui B, Yang D, Wang C, Zeng Z, Wang Y, Sun C, Zhao X, Cui H. 2016.
Preparation and evaluation of emamectin benzoate solid microemulsion. J
Nanomaterial. doi: 10.1155/2016/2386938.
Ferdian MA, Hambali E, Rahayuningsih M. 2016. Studi perbandingan produk
insektisida formulasi EC (Emulsifiable Concentrate) dengan penambahan
surfaktan dietanoamida menggunakan vortex, mixer dan homogenizer. J Tek
Ind Pertanian. 26(1):60-67.
36
Fernandes CP, Almeida FB, Silveira AN, Gonzales MS, Mello CB, Feder D,
Apolinario R, Santos MG, Carvalho JCT, Tietbohl LAC, Rocha L, Falcao DQ.
2014. Development of an insecticidal nanoemulsion with Manilkara subsericea
(Sapotaceae) extract. J Nanobiotechnology. 12:22-32.
Gadberry JF. 1990. Miscellaneous Non-nitrogen Containing Cationic Surfactants.
Rizhmond JM, editor. Cationic Surfactans, Organic Chemistry (Surfactant
Science Series 34). New york(US): Marcel Dekker.
Gupta PK, Gupta S, Pandit JK, Kumar A, Sawaroop P. 2010. Pharmaceutical
nanotechnology novel nanoemulsion high energy emulsification preparation,
evaluation and application. The Pharma Research. 2010(3): 117-138.
Gupta A, Eral HB, Hatton TA, Doyle PS. 2016. Nanoemulsions: formation,
properties and applications. J The Royal Society of Chemistry.
doi:10.1039/c5sm02958a.
Hiemenz PC. Rajagopalan R. 1997. Principles of Colloid and Surface Chemistry,
Revised and Expanded. New York(US): Marcel Dekker, Inc
Howe CM, Berrill M, Pauli BD, Helbing CC, Werry K, Veldhoen N. 2004.
Toxicity of glyphosate-based pesticides to four North American frog species. J.
Environ Toxicol Chem. 23(8):1923-1938.
Indrawijaya B. 2016. Formulasi pestisida nabati minyak mimba menggunakan
surfaktan dietanolamida untuk pengendalian hama ulat grayak pada tanaman
kedelai [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Jafari SM, He Y, Bhandari B. 2007. Nano-emulsion production by sonication and
microfluidization-a comparison. International Journal of Food Properties.
9(3): 475-485. DOI: 10.1080/10942910600596464.
Jensen PK, Olesen MH. 2014. Spray mass balance in pesticide application: A
review. J Crop Protection. 61:23–31
Johnson S, Dureja P. Effect of surfactants on persistence of azadirachtin-A (neem
based pesticide). J Environ Sci Health B. 37(1):75-80.
Jones R. 2004. Overview of the Ecological Risk Assessment Process in the Office
of Pesticide Programs. Washington (US): Office of Prevention, Pesticides and
Toxic Substances Office of Pesticide Programs
Karsa DR. 2006. What are surfactants? In: Richard D. Fan (ed). Chemistry
and Technology of Surfactant. Oxford (GB): Balckwell publishing, pp 2-13.
Kawahar A, Morinaga K, Nakamura M, Shimono S, Fumoto S, Ozawa S. 2003.
Agricultural compositions. US Patent Application 0,013,684.
Knowles DA. 1998. Chemistry and Technology of Agrochemical Formulations.
Netherland (NL): Kluwer Academic Publisher.
Komariah S. 2011. Kombinasi Emulsi dan Ultrasonikasi dalam Nanoenkapsulasi
Ibuprofen Tersalut Polipaduan Poli(asam laktat) dan Poli(ε- kaprolakton)
[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Koroleva MY, Yurtov EV. 2012. Nanoemulsions: the properties, methods of
preparation and promising applications. Russian Chemical Reviews. 81(1): 21-
43.
Lasemann M, Kim YJ, Thirumoorthy K, Jonas J. 1998. Pressure dependence of
the critical micelle concentration of a nonionic surfactant in water studied by 1
H-NMR. Langmuir. 14(19):5339-5341
37
Laura. 2004. Pengaruh rasio mol reaktan dan lama reaksi dalam pembuatan
dietanolamida sebagai surfaktan berbasis minyak inti sawit [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Lee GWJ, Tadros TF. 1982. Formation and stability of emulsions produced by
dilution of emulsifiable concentrates. Part I. An investigation of the dispersion
on dilution of emulsifiable concentrates containing cationic and non-ionic
surfactants. Colloids Surf 5:105–115
Lin SY, Lin YY, Chen EM, Hsu CT, Kwan CC. 1999. A study of the equilibrium
surface tension and the critical micelle concentration of mixed surfactant
solutions. Artikel. Langmuir. 15(13): 4370-4376.
Luepakdeesakoon B, Saiwan C, Scamehorn JF. 2006. Contact angle of surfactant
solution on precipitated surfactant surface III. Effect of subsaturated anionic
and nonionic surfactants and NaCl. J Surfactant and Detergents. 9(2): 125-136.
Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian
ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Litbang
Pertanian. 27(4): 131–136.
McClements DJ. 2007. Critical Review of Techniques and Methodologies for
Characterization of Emulsion Stability. Critical Reviews in Food Science and
Nutrition. 47(7):611-649.
Moustafa MAM, Kakai A, Awad M, Fonagy A. 2016. Sublethal effects of
spinosad and emamectin benzoate on larval development and reproductive
activities of the cabbage moth, Mamestra brassicae L. (Lepidoptera:
Noctuidae). J Crop Protection. 90 : 197-204.
Muamalah S 2006, uji insektisida emamektin benzoat terhadap mortalitas larva
Crocidolomia pavonrina (fabricius) padatanaman kubis di cisarua bandung
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Murakami R, Motiyama H, Noguchi T, Yamamoto M, Binks BP. 2014. Effects of
the density difference between water and oil on stabilization of powdered oil in
water emulsions. Artikel. Langmuir. 30:496-500.
Noveriza R, Mariana M, Yuliani S. 2017. Keefektifan formula nanoemulsi
minyak serai wangi terhadap potyvirus penyebab penyakit mosaik pada
tanaman nilam. Bul Littro. 28(1):47-56.
[NRA] National Registration Authority for Agriculture and Veterinary Chemical.
2011. Emamectin. Australia (AU): National Registration Authority
Pandey S, Nagar PK. 2003. Patterns of leaf surface wetness in some important
medicinal and aromatic plants of Western Himalaya. Flora-Morphology
Distribution Functional Ecology of Plants. 198(5):349-357.
Perkowki J, Mayer J, Ledakowicz S. 1995. Determination of critical micelle
concentration of non-ionic surfactants using kinetic approach. Colloids and
Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects. 101(1):103-106.
Pratap AP, Bhowmick DN. 2008. Pesticides as microemulsion formulations.
Journal of Dispersion Science andTechnology. 29(9): 1325–1330.
Putri KSS. 2010. Optimasi nisbah mol pati tapioka-butanol dan nisbah mol pati
tapioka-fatty alcohol C10 pada proses pembuatan surfaktan nonionik alkil
poliglikosida (APG)[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Qian L, Li T. 2005. Review of reproductive toxicity of environmental chemical
pollutants. J Environmental and Occupational Medicine. 22(2): 167–171.
38
LAMPIRAN
41
Analisa Bobot Jenis atau Densitas (SOP for Densitymeter Anton Paar DMA
4500M) (Dora 2017)
Densitymeter DMA 4500M Anton Paar dinyalakan. Pada alat densitymeter
sebelum digunakan, dilakukan warming up selama 15 menit. Selanjutnya dipilih
mode Density, kemudian selang pompa disambungkan ke adapter dan alat dapat
diaktifkan. Alat ini perlu dikalibrasi hingga nilai densitas udara pada 20 oC
terbaca 0.00120 gram/cm3 (faktor koreksi ± 0.00005), dalam rentang 0.00125
hingga 0.00115. Pengukuran dilakukan pada temperatur maksimal alat, yaitu
sebesar 70 oC. Sampel yang telah disiapkan, diinjeksikan ke Densitymeter dengan
menggunakan syringe. Pembacaan dapat dilakukan setelah data dinyatakan valid
oleh alat. Setelah hasil pengukuran terbaca, U-Tube dibilas dengan menggunakan
aquades minimal 5 kali. U-Tube dibilas kembali dengan menggunakan pelarut
yang mudah mengering sebanyak 2 atau 3 kali. Pembersihan akan membuat
akurasi alat pada pengukuran selanjutnya menjadi akurat.
Analisa Sudut Kontak (SOP for Contact Angle Phoenix 300 )(Dora 2017)
Sudut kontak adalah sudut di mana antarmuka cairan memenuhi permukaan
padatan. Analisa sudut kontak dilakukan untuk mengetahui besaran atau nilai
sudut kontak antara surfaktan yang telah diencerkan hingga 5% pada permukaan
daun kedelai. Analisis ini berguna untuk mengetahui kemampuan surfaktan DEA
dalam bahan aktif pada permukaan daun kedelai. Analisa dilakukan menggunakan
alat Contact Angle Phoenix 300. Setiap sampel dianalisa sebanyak 2 kali ulangan
dengan pengukuran sudut kontak saat tetesan pertama (0 menit) dan sudut kontak
setelah 10 menit.
Analisa Viskositas (SOP for Rheometer Brookfield DV-III Ultra) (Dora 2017)
Alat spindle yang tersedia dipasang ke viscometer dan kemudian diturunkan
perlahan sehingga spindle masuk ke dalam sampel. Volume sampel yang
digunakan adalah sebesar 15-30 ml, hal ini berkaitan pada kalibrasi alat.
Ketinggian cairan diatur segaris dengan batang spindle kira-kira 3.2 mm di atas
bagian atas spindle yang meruncing dan kabel pengukur suhu pada alat
dipasangkan. Alat Rheometer kemudian dijalankan dengan kecepatan 6 rpm dan
kemudian dibaca nilai viskositas setiap 2 detik selama 1 menit. Nilai viskositas
akan terbaca secara otomatis oleh alat. Data hasil pembacaan dipindahkan ke
dalam format .xlsx dan beberapa data pertama dari hasil pembacaan dibuang
42
karena dianggap kondisi putaran spindle belum stabil. Pengambilan data dimulai
dari nilai yang mulai terbaca stabil.
43
Analisis Sudut Kontak (SOP for Contact Angle Analyzer Phoenix 300)
(Indrawijaya 2016)
Sudut kontak merupakan sudut di mana antarmuka cairan memenuhi
permukaan padatan, dalam penelitian ini adalah daun gulma. Nilai sudut kontak
didapatkan antara formulasi yang telah diencerkan sesuai perlakuan penyemprotan
di lapang. Formulasi tersebut diteteskan hingga 1% pada permukaan daun gulma.
Analisis ini bertujuan mengetahui kemampuan larutan surfaktan DEA dalam
menyebarkan bahan aktif emamektin benzoat pada permukaan daun kedelai.
Masing – masing sampel uji dianalisa sebanyak 2 kali ulangan pada saat tetesan
setelah 10 menit.
Analisis Ukuran Droplet (SOP for Microskop Leica ICC 50 HD) (Feng et al.
2016)
Analisis ini digunakan pada formulasi insektisida yang telah dilarutkan
didalam air sebesar 1%. Pengukuran droplet dapat menggunakan alat mikroskop
leica ICC 50 HD. Sebelum menggunakan alat tersebut, terlebih dahulu diatur nilai
satuan hasil pembacaan diameter droplet sesuai yang diinginkan misalnya µm atau
nm. Langkah pertama yakni dengan menyiapkan kaca preparat dan cover glass
yang telah dibersihkan menggunakan alkohol. Kemudian sampel uji ±1 tetes
44
diletakkan pada kaca preparat kemudian ditutup dengan cover glass. Saat
penutupan dengan cover glass dipastikan tidak ada gelembung udara karena akan
dapat mengganggu pengamatan. Setelah itu diamati pada mikroskop dan
disesuaikan pembesaran lensa objektif yang akan digunakan dan diatur
pencahayaan serta fokus kamera mikroskop dan diamati objek yang diinginkan.
Setelah memperoleh objeknya dilakukan pengukuran diameter droplet.
Fatty alkohol
(36 gram)
Fatty klorida
(38,40 gram)
Trimetilamina Refluks
(36.32 mL) T : 50ºC, t : 6 Jam
Surfaktan kationik
(setil trimetil ammonium klorida)
(68.54 gram)
Pemisahan
Padatan berwarna coklat
T : 27ºC
(39. 41 gram)
Surfaktan kationik
(setil trimetil ammonium klorida) crude
(29.131 gram)
Pencucian Metanol
Metanol 19 mL
20 mL
Surfaktan kationik
(setil trimetil ammonium klorida) murni
(27.86 gram)
46
Keterangan :
A = Persentase bahan aktif
B = Rasio surfaktan DEA dan APG
C = Persentase surfaktan nonionik
e. Hasil analisis duncan persentase bahan akti dan rasio DEA serta APG
Duncan Grouping Mean N A*B
A 0.9957 6 20*40:60
A 0.9956 6 20*60:40
A 0.9956 6 15*60:40
A 0.9956 6 20*50:50
A 0.9955 6 15*40:60
A 0.9954 6 15*50:50
47
g. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG dengan persentase
surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N B*C
A 0.9961 4 40:60*5
B A 0.9958 4 60:40*5
B C 0.9956 4 60:40*4
B C 0.9955 4 50:50*6
B C 0.9955 4 60:40*6
B C 0.9955 4 50:50*5
B C 0.9955 4 40:60*6
B C 0.9955 4 50:50*4
C 0.9952 4 40:60*4
h. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif. rasio surfaktan DEA dan APG
dengan persentase surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N A*B*C
A 0.9967 2 20*40:60*5
B 0.9960 2 20*50:50*6
C B 0.9959 2 15*60:40*5
C D 0.9957 2 20*60:40*5
E D 0.9956 2 20*60:406
E D F 0.9956 2 15*50:50*5
E D F 0.9956 2 15*60:40*4
E D F 0.9956 2 15*40:60*5
E D F 0.9955 2 20*60:40*4
E D F 0.9955 2 15*40:60*6
E D F 0.9955 2 20*50:50*4
E F 0.9955 2 15*50:50*4
E F 0.9955 2 15*40:60*4
E F 0.9954 2 20*40:60*6
F 0.9954 2 20*50:50*5
F 0.9954 2 15*60:40*6
G 0.9951 2 15*50:50*6
G 0.9950 2 20*40:60*4
48
e. Hasil analisis duncan persentase bahan akti dan rasio DEA serta APG
Duncan Grouping Mean N A*B
A 7.70 6 15*60:40
A 7.69 6 20*50:50
A 7.64 6 20*40:60
A 7.54 6 15*40:60
B A 7.49 6 20*60:40
B 7.32 6 15*50:50
49
g. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG dengan persentase
surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N B*C
A 7.70 4 50:50*6
A 7.69 4 40:60*6
A 7.68 4 60:40*6
A 7.66 4 60:40*5
A 7.64 4 40:60*4
B A 7.49 4 60:40*5
B A 7.45 4 60:40*4
B A 7.44 4 40:60*5
B 7.34 4 60:40*4
h. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif, rasio surfaktan DEA dan APG
dengan persentase surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N A*B*C
A 7.90 2 15*60:40*6
B A 7.83 2 20*40:60*4
B A 7.83 2 20*50:50*6
B A 7.81 2 15*40:60*6
B A 7.75 2 15*60:40*5
B C 7.71 2 20*50:50*5
D C 7.57 2 20*40:60*6
D C 7.57 2 20*60:40*5
D C 7.56 2 15*50:50*6
D E 7.53 2 20*50:50*4
D E 7.51 2 20*40:60*5
D E 7.46 2 20*60:40*6
D E 7.45 2 15*40:60*4
D E 7.45 2 20*60:40*4
D E 7.45 2 15*60:40*4
F E 7.37 2 15*40:60*5
F G 7.26 2 15*50:50*5
G 7.14 2 15*50:50*4
50
e. Hasil analisis duncan persentase bahan akti dan rasio DEA serta APG
Duncan Grouping Mean N A*B
A 31.04 6 15*60:40
A 29.78 6 15*50:50
A 29.44 6 15*40:60
B 27.72 6 20*50:50
B 27.33 6 20*60:40
B 27.19 6 20*40:60
51
g. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG dengan persentase
surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N B*C
A 30.48 4 60:40*4
A 29.93 4 50:50*4
A 29.91 4 40:60*4
B A 29.00 4 60:40*5
B A 28.63 4 40:60*5
B A 28.28 4 50:50*5
B A 28.08 4 60:40*6
B A 28.04 4 50:50*6
B 26.40 4 40:60*6
h. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif, rasio surfaktan DEA dan APG
dengan persentase surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N A*B*C
A 32.54 2 15*60:40*4
B A 31.91 2 15*50:50*4
B C 31.47 2 15*40:60*4
C 30.84 2 15*60:40*5
D 29.75 2 15*60:40*6
D 29.43 2 15*40:60*5
D 29.36 2 15*50:50*5
E 28.43 2 20*60:40*4
E 28.35 2 20*40:60*4
F E 28.08 2 15*50:50*6
F E 28.00 2 20*50:50*6
F E 27.95 2 20*50:50*4
F E 27.83 2 20*40:60*5
F 27.42 2 15*40:60*6
F G 27.21 2 20*50:50*5
F G 27.16 2 20*60:40*5
G 26.41 2 20*60:40*6
H 25.38 2 20*40:60*6
52
e. Hasil analisis duncan persentase bahan akti dan rasio DEA serta APG
Duncan Grouping Mean N A*B
A 61.13 6 15*60:40
B 50.80 6 15*50:50
C 40.64 6 15*40:60
D 35.06 6 20*60:40
D 33.56 6 20*50:50
E 24.71 6 20*40:60
53
g. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG dengan persentase
surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N B*C
A 52.39 4 60:40*4
A 48.37 4 60:40*5
B A 44.94 4 50:50*4
B A 43.53 4 60:40*6
B A 42.21 4 50:50*5
B A 39.40 4 50:50*6
B A 36.47 4 40:60*4
B A 32.85 4 40:60*5
B 28.71 4 40:60*6
h. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif, rasio surfaktan DEA dan APG
dengan persentase surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N A*B*C
A 65.79 2 15*60:40*4
B 61.21 2 15*60:40*5
C 56.41 2 15*60:40*6
C 53.70 2 15*50:50*4
D 50.71 2 15*50:50*5
E D 48.01 2 15*50:50*6
E 45.20 2 15*40:60*4
F 40.93 2 15*40:60*5
G F 38.99 2 20*60:40*4
G H 36.19 2 20*50:50*4
H 35.81 2 15*40:60*6
H 35.53 2 20*60:40*5
I H 33.71 2 20*50:50*5
I J 30.78 2 20*50:50*6
I J 30.65 2 20*60:40*6
K J 27.75 2 20*40:60*4
K 24.78 2 20*40:60*5
L 21.62 2 20*40:60*6
54
e. Hasil analisis duncan persentase bahan akti dan rasio DEA serta APG
Duncan Grouping Mean N A*B
A 5.88 6 15*60:40
B A 5.64 6 15*50:50
B A 5.50 6 20*60:40
B 5.18 6 15*40:60
C 4.60 6 20*50:50
C 4.36 6 20*40:60
55
g. Hasil analisis duncan rasio surfaktan DEA dan APG dengan persentase
surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N B*C
A 6.11 4 60:40*4
B A 5.98 4 60:40*5
B C 5.34 4 50:50*4
B C 5.29 4 40:60*4
B C 5.20 4 50:50*5
D C 4.97 4 60:40*6
D C 4.83 4 50:50*6
D C 4.80 4 40:60*5
D 4.22 4 40:60*6
h. Hasil analisis duncan persentase bahan aktif, rasio surfaktan DEA dan APG
dengan persentase surfaktan nonionik
Duncan Grouping Mean N A*B*C
A 6.25 2 15*60:40*4
B A 6.04 2 15*60:40*5
B A C 5.98 2 20*60:40*4
B A C 5.92 20*60:40*5
B A C D 5.79 2 15*50:50*4
B C D E 5.68 2 15*40:60*4
B C D E 5.62 2 15*50:50*5
C D E 5.52 2 15*50:50*6
F D E 5.34 2 15*60:40*6
F G E 5.22 2 15*40:60*5
F G H 4.91 2 20*40:60*4
F G H 4.89 2 20*50:50*4
I G H 4.78 2 20*50:50*5
I H 4.64 2 15*40:60*6
I H J 4.60 2 20*60:40*6
I J 4.39 2 20*40:60*5
K J 4.15 2 20*50:50*6
K 3.79 2 20*40:60*6
56
Lampiran 9 Hasil analisis keragaman konsentrasi bahan aktif dan waktu sonikasi
terhadap densitas formulasi insektisida
Keterangan :
A = Konsentrasi bahan aktif (15% dan 20%)
B = Waktu sonikasi (15, 30 dan 45 menit)
d. Hasil analisis duncan jenis formula dan konsentrasi formula dalam larutan
semprot
Duncan Grouping Mean N A*B
A 10.00 5 EC20%*0.05%
A 10.00 5 EC20%*0.10%
A 10.00 5 EC20%*0.20%
A 10.00 5 NanoEC20%*0.05%
A 10.00 5 NanoEC20%*0.10%
A 10.00 5 NanoEC20%*0.20%
A 10.00 5 EC15%*0.20%
A 10.00 5 EC15%*0.10%
B 9.40 5 EC15%*0.05%
63
RIWAYAT HIDUP