Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

KONJUNGTIVITIS FLIKTEN

Disusun Oleh :

MOHAMAD RIFKI ADLI


(110.2008.142)

Pembimbing :
Dr. H SYAHRUDDIN H, SpM

Kepaniteraan Klinik Bagian Mata RSU Dr. Slamet Garut


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Januari 2013
Daftar Isi

Daftar Isi..................................................................................................................i
Daftar Gambar........................................................................................................ii
Pendahuluan ............................................................................................................ 1
Anatomi dan Fisiologi ............................................................................................. 3
Patofisiologi ............................................................................................................ 6
Klasifikasi ............................................................................................................. 10
Faktor Predisposisi ................................................................................................ 12
Diagnosis ............................................................................................................... 13
Penatalaksaan ........................................................................................................ 17
Prognosis ............................................................................................................... 18
Kesimpulan ........................................................................................................... 19
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 20

i
Daftar Gambar

Gambar 1: Anatomi konjungtiva ............................................................................. 4


Gambar 2. Flikten pada konjungtiva tarsal ............................................................. 6
Gambar 3: Skema reaksi hipersensitivitas tipe IV .................................................. 7
Gambar 4: Konjungtivitis flikten .......................................................................... 10
Gambar 5: Konjungtivitis fliktenularis e.c infeksi sekunder bakteri .................... 11
Gambar 6: Lesi soliter pada konjungtivitis flikten simpel .................................... 13
Gambar 7: Konjungtivitis Flikten e.c Tuberkulosis .............................................. 14
Gambar 8: Ulserasi pada konjungtivitis flikten .................................................... 14
Gambar 9: Flikten multipel di sekeliling limbus................................................... 15
Gambar 10: Flikten multipel dengan tanda inflamasi yang jelas .......................... 15
Gambar 11: Bekas flikten pada limbus ................................................................. 18

i
Pendahuluan

Konjungtivitis flikten atau oftalmia fliktenularis adalah peradangan


konjungtiva bulbar yang terjadi akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe IV
terhadap bakteri atau antigen tertentu. Pada umumnya, reaksi ini terjadi terhadap
tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranulma venereal, leimaniasis, infeksi parasit,
dan infeksi di tempat lain dalam tubuh. Pada konjungtiva akan terlihat adanya
tonjolan kemerahan yang terdiri atas kumpulan sel limfoid dibawah sel epitel
yang disebut flikten1

Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak terutama pada anak dengan
gizi kurang atau sering mendapat radang saluran nafas atas. Sebuah penelitian
yang dilakukan di India menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab
tersering terjadinya konjungtivitis flikten, kemudian diikuti oleh helmintiasis dan
infeksi stafilokokus2. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana tuberkulosis
menjadi salah satu pencetus tersering pada anak dengan gizi kurang dan dapat
juga terjadi pada orang dewasa3.

Pada konjungtivitis flikten ditemukan bintik putih yang dikelilingi daerah


hiperemi, hal ini dapat terjadi unilateral ataupun mengenai kedua bola mata.
Sedangkan secara histopatologis akan terlihat kumpulan sel leukosit neutrofil
yang dikelilingi oleh sel limfosit, makrofag, dan sel datia berinti banyak4.

Gejala subyektif yang sering dikeluhkan pasien adalah keluar air mata
berlebih, iritasi dengan rasa sakit, rasa silau ringan hingga berat, dan bila
mengenai kornea maka akan dikeluhan adanya blefarospasme. Sedangkan gejala
obyektif yang umum ditemukan adalah: mata merah dan terlihat kumpulan
pembuluh darah yang mengelilingi suatu tonjolan bulat dengan warna kuning
kelabu seperti seperti mikroabses di sekitar limbus1.

Penyakit yang disebabkan oleh reaksi antigen ini dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan dalam 2 minggu, namun tetap ada kemungkinan
terjadinya kekambuhan1. Pengobatan konjungtivitis flikten meliputi pemberian

1
steroid topikal, midriatika bila terjadi penyulit kornea, kacamata hitam untuk
menghindari silau yang sakit, antibiotik salep mata terutama saat sebelum tidur,
dan air mata buatan1. Namun, pengobatan yang paling tepat adalah mencari
penyebab dari konjungtivitis, seperti: tuberkulosis, blefaritis stafilokokus kronik,
dan limfogranuloma venerea1. Pengobatan tambahan untuk perbaikan gizi
terutama pada anak-anak seperti vitamin dan asupan makanan tambahan juga
berperan penting dalam proses penyembuhan1. Penyulit dalam kasus ini adalah
menyebarnya flikten ke dalam kornea atau terjadinya reaksi sekunder sehingga
timbul abses1.

Referat ini akan membahas konjungtivitis flikten secara menyeluruh.


Adapun referat ini dibuat guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik ilmu penyakit
mata Rumah Umum Sakit dr. Slamet Garut.

2
Anatomi dan Fisiologi

Konjungtiva merupakan selaput lendir atau disebut juga sebagai lapisan


mukosa. Konjungtiva terdiri atas epitel sel kolumnar bertingkat yang melapisi
bagian sklera bola mata dan kelopak mata bagian dalam. Pada epitel kolumnar
bertingkat terdapat sel goblet yang berfungsi untuk menghasilkan musin dan air
mata sehingga dapat melembabkan bola mata dan mempermudah kelopak mata
untuk membuka ataupun menutup. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian, yaitu1:

 Konjungtiva tarsal atau palpebra berada di bagian posterior kelopak mata


dan sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva tarsal superior dan inferior
akan menutupi jaringan episklera disepanjang bola mata sampai
berbatasan dengan konjungtiva bulbar.
 Konjungtiva bulbar menempel secara longgar pada septum orbital di
bagian forniks dan dapat dilipat berkali-kali, hal ini untuk mempermudah
pergerakan mata dan pembesaran kelenjar air mata. Konjungtiva bulbar
juga secara longgar kapsul tenon dan seluruh permukaan sklera.
 Konjungtiva fornises atau forniks merupakan tempat peralihan antara
konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbar.

3
Gambar 1: Anatomi konjungtiva

Sumber: http://www.medicalook.com/systems_images/Conjunctiva.jpg

Konjungtiva diperdarahi oleh arteri siliaris anterior yang berasal dari arteri
oftalmikus serta diperdarahi oleh arteri palpebra dimana kedua arteri ini
beranastomosis. Arteri siliaris anterior berjalan mengikuti otot rektus penggerak
bola mata kecuali otot rektus lateralis1,6. Konjungtiva mendapat persarafan dari
saraf oftalmikus cabang trigeminus. Sedangkan kelenjar getah bening lapisan-
lapisan kelopak mata berasal dari pleksus kelenjar getah bening6.

Histologis lapisan konjungtiva adalah epitel konjungtiva yang terdiri atas 2


sampai 5 lapis sel kolumnar, superfisial, dan basal. Epitel konjungtiva disekitar
limbus, karunkel, dan perbatasan kelopak mata terdapat sel epitel gepeng. Sel
epitel superfisial terdiri atas sel bulat atau sel goblet yang menghasilkan musin
dan air mata sehingga dapat melembabkan bola mata serta mempermudah kelopak
mata untuk membuka atau menutup. Sel epitel basal yang berada lebih dalam dari
pada sel epitel superfisial dan berada di sekitar limbus memiliki pigmen yang
memberi warna6.

Stroma konjungtiva terdiri atas lapisan adenoid di bagian superfisial dan


lapisan fibrosa di bagian dalam. Lapisan adenoid merupakan jaringan limfoid dan

4
dibeberapa area mata dapat memiliki bentuk follicle-like tanpa sentral
germinatikum. Lapisan adenoid ini baru akan berkembang saat usia beranjak 2-3
bulan. Sedangkan lapisan fibrosa merupakan jaringan ikat yang melekat pada
tarsal. Selain itu, pada stroma konjungtiva juga terdapat kelenjar aksesoris
(kelenjar krause dan kelenjar wolfring) yang mirip dengan fungsi dan struktur
kelenjar lakrimasi. Kelenjar krause lebih banyak berada pada forniks superior dari
pada forniks inferior dan kelenjar wolfring berada pada margin superior tarsus
bagian atas3.

5
Patofisiologi

Flikten adalah tonjolan sebesar jarum pentul yang terutama terletak di


daerah limbus, berwarna kemerah-merahan. Flikten konjungtiva mulai berupa lesi
kecil, umumnya diameter 1-3 mm, keras, merah, menonjol dan dikelilingi zona
hiperemi1. Flikten umumnya bersifat unilateral dan terjadi di limbus, namun ada
juga yang terjadi di kornea, bulbus dan tarsus. Pada limbus sering berbentuk
segitiga dengan apeks mengarah ke kornea. Di daerah ini terbentuk pusat putih
kelabu yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari1. Secara
histologis, flikten adalah kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel limfosit,
makrofag dan kadang-kadang sel datia berinti banyak9.

Gambar 2. Flikten pada konjungtiva tarsal

Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect3e.html

Timbulnya flikten adalah manifestasi hipersensitivitas tipe IV terhadap


terhadap patogen yang biasanya adalah m. tuberkulosis, stafilokokus,
coccidioidomikosis, candida, helmintes, virus herpes simpleks, toksin dari
moluscum contagiosum yang terdapat pada margo palpebra dan infeksi fokal pada
gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital1.

6
Hipersensitivitas tipe IV adalah reaksi lambat terhadap antigen eksogen.
Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ dan reaksi imunologis yang sama
juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan
IL17 berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ spesifik yang etiologinya
adalah proses inflamasi8. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1
akan didominasi oleh makrofag sedangkan, sel Th17 akan didominasi oleh
neutrofil8.

Gambar 3: Skema reaksi hipersensitivitas tipe IV

Sumber: http://library.med.utah.edu

Reaksi yang terjadi pada hipersensitivitas ini dibagi menjadi 2 tahap


utama:

a. Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+. Sel ini mengenali susunan peptida
yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan menyekresikan IL2 yang
berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi
antigen-responsived sel T. Perbedaan antara antigen-stimulated sel T
dengan Th1 atau Th17 terlihat pada produksi sitokin oleh APC (sel

7
dendritik dan makrofag) saat aktivasi sel T. APC memproduksi IL12 yang
menginduksi diferensiasi sel T menjadi Th1. IFN-γ akan diproduksi oleh
sel Th1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti
IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β
untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi Th17. Beberapa dari
diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory
pool selama waktu yang lama.
b. Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen
yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang
dipresentasikan oleh APC. Sel Th1 akan menyekresikan sitokin (umumnya
IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari
hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag yang akan
memfagositosis dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai
sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II,
yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga
menyekresikan TNF, IL1, dan kemokin yang akan menyebabkan
inflamasi. IL12 juga merupakan hasil produksi makrofag yang akan
memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan
mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi
tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi akan berlanjut
sehingga jaringan luka akan menjadi semakin luas10.

Th17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan self antigen dalam
penyakit autoimun. Sel Th17 akan menyekresikan IL17, IL22, kemokin, dan
beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan
berlanjut menjadi proses inflamasi. Th17 juga memproduksi IL12 yang akan
memperkuat proses Th17 sendiri10.

Reaksi oleh sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen.
Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak
penyakit yang dimediasi oleh sel T dengan langsung melawan histokompatibilitas
antigen tersebut. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan
infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul

8
MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+8.
Penghancuran sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi
tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel8.

Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh


sel T yaitu CTLs yang mengenali sel target akan menyekresikan kompleks yang
berisikan perforin, granzymes, dan protein yang disebut serglisin yang akan
masuk ke sel target melalui proses endositosis8. Dalam sitoplasma, sel target
perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah
enzim protease yang memecah dan mengaktivasi kaspase, yang akan menginduksi
apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan fast ligand,
molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat berikatan dengan fast expressed
pada sel target dan memicu apoptosis8.

Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang terlibat dalam reaksi
inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terpapar oleh
beberapa agen kontak8.

9
Klasifikasi

Secara klinis konjungtivitis flikten dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu3:

1. Konjungtivitis flikten

Tanda-tanda inflamasi tidak jelas, tidak menyebar, hanya terbatas pada


tempat flikten, sekret hampir tidak ada

Gambar 4: Konjungtivitis flikten

Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect3e.html

10
2. Konjungtivitis fliktenularis

Tanda-tanda inflamasi jelas dan sekret dapat berupa mukopurulen.


Konjungtivitis fliktenularis biasanya timbul karena infeksi sekunder
bakteri.

Gambar 5: Konjungtivitis fliktenularis e.c infeksi sekunder bakteri

Sumber:

http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/pages/phlyctenular-
conjunctivis.html

11
Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi terjadinya konjungtivitis flikten, yaitu5:

1. Usia

Umumnya terjadi pada usia 3-15 tahun.

2. Jenis kelamin

Lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.

3. Nutrisi atau gizi

Sering terjadi pada anak dengan gizi kurang.

4. Lingkungan

Faktor kebersihan yang kurang memadai dan lingkungan yang padat


penduduk dapat meningkatkan resiko konjungtivitis flikten.

5. Musim atau cuaca

Dapat terjadi pada setiap musim namun insidensi meningkat pada musim
panas.

12
Diagnosis

Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan menilai dari gejala dan hasil
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

a. Gejala subjektif

Konjungtivitis flikten menyebabkan iritasi dengan keluhan rasa sakit, mata


merah, dan lakrimasi. Jika kornea ikut terlibat maka akan ditemukan
keluhan fotofobia dan gangguan penglihatan1.
b. Gejala objektif

 Konjungtivitis Flikten Simpel

Terlihat nodul putih kemerahan yang dikelilingi daerah hiperemis


(pelebaran pembuluh darah konjungtiva) pada daerah sekitar limbus
dan konjungtiva bulbar. Pada umumnya nodul hanya soliter namun
dapat juga tumbuh lebih dari satu1.

Gambar 6: Lesi soliter pada konjungtivitis flikten simpel

Sumber:

http://zdrave-hubnuti.cz/bmi/conjunctivalphlyctenulosis%26page%3D4

13
 Konjungtivitis Flikten Necrotizing

Terdapat flikten besar yang disertai proses nekrosis dan ulserasi


sehingga memungkin terjadinya severe pustular congjunctivitis11

Gambar 7: Konjungtivitis flikten e.c Tuberkulosis

Sumber:
http://infections.consultantlive.com/display/article/1145625/14043
17

Gambar 8: Ulserasi pada konjungtivitis flikten

Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/March_2004/sec2_4.htm

14
 Konjungtivitis Flikten Milier

Terdapat multipel flikten yang berbentuk lingkaran disekitar limbus


ataupun menyebar secara tidak merata10.

Gambar 9: Flikten multipel di sekeliling limbus

Sumber: http://www.optometric.com/article.aspx?article=102127

Gambar 10: Flikten multipel dengan tanda inflamasi yang jelas

Sumber: http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/pages/PC-
phlyctenular-conjunctivis.html

15
c. Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan kumpulan sel leukosit netrofil


yang dikelilingi oleh sel limfosit, sel makrofag, dan sel datia berinti
banyak. Pembuluh darah yang memperdarahi flikten mengalami proliferasi
endotel dan sel epitel dibagian atas mengalami degenerasi1,11.

d. Laboratorium

Dapat dilakukan pemeriksaan tinja jika dicurigai helmintiasis,


pemeriksaan darah untuk mengetahui infeksi, dan kultur konjungtiva.
Pemeriksaan sekret dengan pewarnaan gram dapat membantu
mengidentifikasi penyebab maupun infeksi sekunder1.

16
Penatalaksaan

Penyebab primer dari penyakit ini harus diketahui dan ditangani terlebih
dahulu, misalnya melalui pencarian infeksi fokal di telinga, hidung, tenggorokan,
atau gigi5. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah, urine, feses
maupun foto toraks seringkali dilibatkan dalam usaha tersebut5.

Kortikosteroid topikal seperti Dexamethasone atau Prednisolone dalam


sediaan obat tetes atau salep mata perlu diberikan karena dasar dari timbulnya
konjungtivitis fliktenularis adalah hipersensitivitas tipe lambat10. Kerja dari
kortikosteroid adalah menginhibisi aktivasi sel T sebagai mediator inflamasi yang
utama dalam proses ini, sehingga respon proliferatif dan produksi sitokin
berkurang10.

Kombinasi kortikosteroid dengan antibiotik seperti Kloramfenikol lebih


dianjurkan mengingat banyak kemungkinan terdapat infeksi bakteri sekunder10.
Jika terdapat kondisi blefaritis atau masalah dermatologis yang lain, pemberian
Doksisiklin oral dapat dipertimbangkan5. Pada anak-anak dengan usia di bawah 8
tahun dan wanita hamil, Eritromisin dapat menggantikan penggunaan
Doksisiklin10.

Sikloplegik hanya dibutuhkan jika dicurigai adanya iritis5. Dapat juga


diberikan Roboransia yang mengandung vitamin A, B kompleks, dan C untuk
memperbaiki keadaan secara general1. Pada pemberian kortikosteroid lokal dalam
jangka waktu lama perlu diwaspadai kontraindikasi dan adanya berbagai faktor
penyulit antara lain infeksi sekunder jamur atau virus, munculnya Glaukoma
maupun Katarak4.

17
Prognosis

Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, umumnya konjungtivitis


flikten akan sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas
kecuali flikten pada limbus1.

Gambar 11: Bekas flikten pada limbus

Sumber: http://www.sciencesway.com/vb/t35644.html

Prognosis menjadi relatif lebih buruk jika terjadi flikten pada kornea,
abses kornea karena infeksi sekunder bakteri, dan perforasi kornea dalam luas
yang terbatas4. Namun beberapa keadaan penyulit tersebut dapat diatasi dengan
penatalaksanaan yang memadai.

18
Kesimpulan

Konjungtivitis flikten adalah radang pada konjungtiva dengan


pembentukan satu atau lebih tonjolan kecil (flikten), yang diakibatkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe IV.

Kondisi ini merupakan reaksi alergi terhadap endogen tuberkulosis,


stafilokokus, coccidioidomikosis, candida, helmintes, virus herpes simpleks,
toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada margo palpebra dan infeksi
fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital.

Gejala klinis biasanya ringan, berupa lakrimasi berlebihan, mata merah


setempat, dan iritasi dengan rasa sakit. Blefarospasme dapat terjadi jika terdapat
pus mukopuruluen karena infeksi bakteri. Konjungtivitis fliktenularis harus
dibedakan dengan kondisi serupa yang juga bersifat superfisial melalui prosedur
anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi secara seksama.

Dasar dari penatalaksanaan penyakit ini adalah mengatasi penyakit yang


mendasarinya dengan proses diagnostik dan terapi yang komprehensif.
Korstikosteroid topikal wajib digunakan dalam kasus ini. Antibiotik topikal dan
sistemik dapat digunakan sebagai terapi kombinasi jika terdapat infeksi sekunder.

Dengan terapi yang memadai, prognosis kasus ini umumnya baik, tanpa
komplikasi yang berarti.

19
Daftar Pustaka

1. Sidarta Ilyas. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3, Cetakan ke-3. Jakarta:
FKUI; 2009. Hal 2-3,25,134-135.
2. J. Rohatgi dan U. Dhaliwal. Phyctenular Eye Disease: A Reppraisal.
Elsevier Science Inc. 2000; 44-146-150.
3. Anonim. Referat konjungtivitis flikten[online]. 2007. Tersedia pada
http://www.alhamsyah.com/blog/artikel/referat-konjungtivitis-flikten.html
[dikutip 4 april 2011]
4. Arnold Sorsby The Aetiology of Phlyctenular Opthalmia. Pub Med
Central [online]. 2002.
Tersedia pada
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1143405/?page=8 [dikutip
29 Maret 2011]
5. American Optometric Association. Care of the Patient with Conjunctivitis,
Edisi ke-2. St. Louis; 2002
6. Reinhard Putz dan Reinhard Pabst. Sobotta, Atlas Anatomi Manusia. Edisi
ke-22, Jilid ke-1. Alih bahasa oleh dr. Y. Joko Suyono. Jakarta: EGC;
2007.
7. Gerard J. Tortora dan Bryan H. Derrickson. Principles of Anatomy and
Physiology. Edisi ke-5. New York: Wiley; 2005.
8. Ian R. Tizard. Immunology, an Introduction. Edisi ke-4. Orlando:
Saunders; 1994. Hal 298-299, 482-484.
9. Betram G. Katzung. Basic and Clinical Pharmacology. Edisi ke-10.
Singapura: McGraw-Hill; 2007. Hal 870.
10. Anonim. Makalah konjungtivitis. [online]. 2009. Tersedia pada
http://www.scribd.com/doc/22654876/MaKaLaH-KonJungTiVitiS
[dikutip tanggal 4 april 2011]

20

Anda mungkin juga menyukai