KONJUNGTIVITIS FLIKTEN
Disusun Oleh :
Pembimbing :
Dr. H SYAHRUDDIN H, SpM
Daftar Isi..................................................................................................................i
Daftar Gambar........................................................................................................ii
Pendahuluan ............................................................................................................ 1
Anatomi dan Fisiologi ............................................................................................. 3
Patofisiologi ............................................................................................................ 6
Klasifikasi ............................................................................................................. 10
Faktor Predisposisi ................................................................................................ 12
Diagnosis ............................................................................................................... 13
Penatalaksaan ........................................................................................................ 17
Prognosis ............................................................................................................... 18
Kesimpulan ........................................................................................................... 19
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 20
i
Daftar Gambar
i
Pendahuluan
Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak terutama pada anak dengan
gizi kurang atau sering mendapat radang saluran nafas atas. Sebuah penelitian
yang dilakukan di India menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab
tersering terjadinya konjungtivitis flikten, kemudian diikuti oleh helmintiasis dan
infeksi stafilokokus2. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana tuberkulosis
menjadi salah satu pencetus tersering pada anak dengan gizi kurang dan dapat
juga terjadi pada orang dewasa3.
Gejala subyektif yang sering dikeluhkan pasien adalah keluar air mata
berlebih, iritasi dengan rasa sakit, rasa silau ringan hingga berat, dan bila
mengenai kornea maka akan dikeluhan adanya blefarospasme. Sedangkan gejala
obyektif yang umum ditemukan adalah: mata merah dan terlihat kumpulan
pembuluh darah yang mengelilingi suatu tonjolan bulat dengan warna kuning
kelabu seperti seperti mikroabses di sekitar limbus1.
Penyakit yang disebabkan oleh reaksi antigen ini dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan dalam 2 minggu, namun tetap ada kemungkinan
terjadinya kekambuhan1. Pengobatan konjungtivitis flikten meliputi pemberian
1
steroid topikal, midriatika bila terjadi penyulit kornea, kacamata hitam untuk
menghindari silau yang sakit, antibiotik salep mata terutama saat sebelum tidur,
dan air mata buatan1. Namun, pengobatan yang paling tepat adalah mencari
penyebab dari konjungtivitis, seperti: tuberkulosis, blefaritis stafilokokus kronik,
dan limfogranuloma venerea1. Pengobatan tambahan untuk perbaikan gizi
terutama pada anak-anak seperti vitamin dan asupan makanan tambahan juga
berperan penting dalam proses penyembuhan1. Penyulit dalam kasus ini adalah
menyebarnya flikten ke dalam kornea atau terjadinya reaksi sekunder sehingga
timbul abses1.
2
Anatomi dan Fisiologi
3
Gambar 1: Anatomi konjungtiva
Sumber: http://www.medicalook.com/systems_images/Conjunctiva.jpg
Konjungtiva diperdarahi oleh arteri siliaris anterior yang berasal dari arteri
oftalmikus serta diperdarahi oleh arteri palpebra dimana kedua arteri ini
beranastomosis. Arteri siliaris anterior berjalan mengikuti otot rektus penggerak
bola mata kecuali otot rektus lateralis1,6. Konjungtiva mendapat persarafan dari
saraf oftalmikus cabang trigeminus. Sedangkan kelenjar getah bening lapisan-
lapisan kelopak mata berasal dari pleksus kelenjar getah bening6.
4
dibeberapa area mata dapat memiliki bentuk follicle-like tanpa sentral
germinatikum. Lapisan adenoid ini baru akan berkembang saat usia beranjak 2-3
bulan. Sedangkan lapisan fibrosa merupakan jaringan ikat yang melekat pada
tarsal. Selain itu, pada stroma konjungtiva juga terdapat kelenjar aksesoris
(kelenjar krause dan kelenjar wolfring) yang mirip dengan fungsi dan struktur
kelenjar lakrimasi. Kelenjar krause lebih banyak berada pada forniks superior dari
pada forniks inferior dan kelenjar wolfring berada pada margin superior tarsus
bagian atas3.
5
Patofisiologi
Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect3e.html
6
Hipersensitivitas tipe IV adalah reaksi lambat terhadap antigen eksogen.
Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ dan reaksi imunologis yang sama
juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan
IL17 berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ spesifik yang etiologinya
adalah proses inflamasi8. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1
akan didominasi oleh makrofag sedangkan, sel Th17 akan didominasi oleh
neutrofil8.
Sumber: http://library.med.utah.edu
a. Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+. Sel ini mengenali susunan peptida
yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan menyekresikan IL2 yang
berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi
antigen-responsived sel T. Perbedaan antara antigen-stimulated sel T
dengan Th1 atau Th17 terlihat pada produksi sitokin oleh APC (sel
7
dendritik dan makrofag) saat aktivasi sel T. APC memproduksi IL12 yang
menginduksi diferensiasi sel T menjadi Th1. IFN-γ akan diproduksi oleh
sel Th1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti
IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β
untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi Th17. Beberapa dari
diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory
pool selama waktu yang lama.
b. Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen
yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang
dipresentasikan oleh APC. Sel Th1 akan menyekresikan sitokin (umumnya
IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari
hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag yang akan
memfagositosis dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai
sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II,
yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga
menyekresikan TNF, IL1, dan kemokin yang akan menyebabkan
inflamasi. IL12 juga merupakan hasil produksi makrofag yang akan
memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan
mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi
tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi akan berlanjut
sehingga jaringan luka akan menjadi semakin luas10.
Th17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan self antigen dalam
penyakit autoimun. Sel Th17 akan menyekresikan IL17, IL22, kemokin, dan
beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan
berlanjut menjadi proses inflamasi. Th17 juga memproduksi IL12 yang akan
memperkuat proses Th17 sendiri10.
Reaksi oleh sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen.
Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak
penyakit yang dimediasi oleh sel T dengan langsung melawan histokompatibilitas
antigen tersebut. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan
infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul
8
MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+8.
Penghancuran sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi
tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel8.
Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang terlibat dalam reaksi
inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terpapar oleh
beberapa agen kontak8.
9
Klasifikasi
1. Konjungtivitis flikten
Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect3e.html
10
2. Konjungtivitis fliktenularis
Sumber:
http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/pages/phlyctenular-
conjunctivis.html
11
Faktor Predisposisi
1. Usia
2. Jenis kelamin
4. Lingkungan
Dapat terjadi pada setiap musim namun insidensi meningkat pada musim
panas.
12
Diagnosis
Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan menilai dari gejala dan hasil
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
a. Gejala subjektif
Sumber:
http://zdrave-hubnuti.cz/bmi/conjunctivalphlyctenulosis%26page%3D4
13
Konjungtivitis Flikten Necrotizing
Sumber:
http://infections.consultantlive.com/display/article/1145625/14043
17
Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/March_2004/sec2_4.htm
14
Konjungtivitis Flikten Milier
Sumber: http://www.optometric.com/article.aspx?article=102127
Sumber: http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/pages/PC-
phlyctenular-conjunctivis.html
15
c. Histopatologi
d. Laboratorium
16
Penatalaksaan
Penyebab primer dari penyakit ini harus diketahui dan ditangani terlebih
dahulu, misalnya melalui pencarian infeksi fokal di telinga, hidung, tenggorokan,
atau gigi5. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah, urine, feses
maupun foto toraks seringkali dilibatkan dalam usaha tersebut5.
17
Prognosis
Sumber: http://www.sciencesway.com/vb/t35644.html
Prognosis menjadi relatif lebih buruk jika terjadi flikten pada kornea,
abses kornea karena infeksi sekunder bakteri, dan perforasi kornea dalam luas
yang terbatas4. Namun beberapa keadaan penyulit tersebut dapat diatasi dengan
penatalaksanaan yang memadai.
18
Kesimpulan
Dengan terapi yang memadai, prognosis kasus ini umumnya baik, tanpa
komplikasi yang berarti.
19
Daftar Pustaka
1. Sidarta Ilyas. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3, Cetakan ke-3. Jakarta:
FKUI; 2009. Hal 2-3,25,134-135.
2. J. Rohatgi dan U. Dhaliwal. Phyctenular Eye Disease: A Reppraisal.
Elsevier Science Inc. 2000; 44-146-150.
3. Anonim. Referat konjungtivitis flikten[online]. 2007. Tersedia pada
http://www.alhamsyah.com/blog/artikel/referat-konjungtivitis-flikten.html
[dikutip 4 april 2011]
4. Arnold Sorsby The Aetiology of Phlyctenular Opthalmia. Pub Med
Central [online]. 2002.
Tersedia pada
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1143405/?page=8 [dikutip
29 Maret 2011]
5. American Optometric Association. Care of the Patient with Conjunctivitis,
Edisi ke-2. St. Louis; 2002
6. Reinhard Putz dan Reinhard Pabst. Sobotta, Atlas Anatomi Manusia. Edisi
ke-22, Jilid ke-1. Alih bahasa oleh dr. Y. Joko Suyono. Jakarta: EGC;
2007.
7. Gerard J. Tortora dan Bryan H. Derrickson. Principles of Anatomy and
Physiology. Edisi ke-5. New York: Wiley; 2005.
8. Ian R. Tizard. Immunology, an Introduction. Edisi ke-4. Orlando:
Saunders; 1994. Hal 298-299, 482-484.
9. Betram G. Katzung. Basic and Clinical Pharmacology. Edisi ke-10.
Singapura: McGraw-Hill; 2007. Hal 870.
10. Anonim. Makalah konjungtivitis. [online]. 2009. Tersedia pada
http://www.scribd.com/doc/22654876/MaKaLaH-KonJungTiVitiS
[dikutip tanggal 4 april 2011]
20