KEDUDUKAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI
DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA (SUATU TINJAUAN KAUSALITAS) A. Pengantar Terdapat berbagai macam pengertian kedudukan dan fungsi Pancasila yang masing-masing harus dipahami sesuai dengan konteks kaualitasnya, da- larn pengertian proses terbentuknya Pancasila secara kausalitas. Misalnya Pan- casla sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan masih banyak kedudukan dan fungsi Pancasila lainnya. Seluruh kedu- dukar dan fungsi Pancasila itu bukanlah berdiri secara sendiri-sendiri namun bilamana kita kelompokkan maka akan kali pada dua kedudukan dan fungsi pokok Pancasila yaitu sebagai Dasar Filsafat Negara dan sebagai Pan- dangan Hidup Bangsa Indonesia. Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar Filsafat Ne- gara nilai-nilainya telah ada pada Bangsa Indonesia yang merupakan pan- dangan hidup yaitu berupa nilai-nilai adat-istiadat dan kebudayaan, serta sebagai kausa materialis Pancasila. Dalam pengertian inilah maka antara Pan- casila dengan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan sehingga Pancasila sebagai Jatidiri Bangsa Indonesia. Setelah bangsa Indonesia mendirikan nega- ra, maka oleh pembentuk Negara Pancasila disahkan menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu bangsa dan negara Indonesia memiliki cita-cita yang dianggap paling sesuai dan benar sehingga segala cita-cita, ga- gasan-gagasan, ide-ide tertuang dalam Pancasila maka dalam pengertian inilah Pancasila berkedudukan sebagai ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan sekaligus sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan bangsa dan Negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar filsafat nogara, secara objektif di- angkat dari pandangan hidup yang sekaligus juga sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia yang telah ada dalam sejarah bangsa sendiri. Jadi jikalau disimpul- kan berbagai kedudukan dan fungsi Pancasila tersebut, di antara satu dan lain- aya dala hubungan kausalitas. B. Pancasila sebagai Budaya Bangsa Indonesia. B. Pancasila sebagai Budaya Bangsa Indonesia Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan gara Indone- sia, bukan terbentnk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh sese- orang sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia, namun terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam proses terjadinya Pancasila dirumuskan oleh para pendiri Negara Indonesia (The Founding Fahers) dengan menggali nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia, dan disintesiskan dengan pemkiran-pemikiran besar dunia. Nilai-nilai terdapat dalam budaya Bangsa Indonesia sebelum mendirikan Negara. Untuk lebih memperjelas pengertian nilai-nilai Pancasila sebagai nilai budaya yang dimiliki Bangsa Indonesia, maka dipandang sangat penting untuk dijelaskan pengetian kebudayaan. Para pakar antropologi budaya Indonesia lazimnya sepakat bahwa kata kebudayaan' berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah. Kata buddhuyah adalah bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti 'budi daya' yang berarti daya dari budi' sehingga dibedakan antara 'budaya' yang berarti 'daya dari budi' yang berupa cipta, rasa dan karsa, dengan 'kebudayaan' yang berarti ha- sil dari cipta, rasa dan karsa manusia (Koentjaraningrat, 1980; Sulaiman, 1995: 12), sehingga secara luas dapat diambil pengertian bahwa 'kebudayaan adalah segala hal yang dihasilkan oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal Jikalau dilihat dari wujud hasil kebudayaan manusia, maka dapat berupa suatu kompleks gagasan, ide-ide, dan pikiran manusia, yang dalam hal ini bersifat abstrak. Hasil kebudayaan manusia ini imerupakan suatu nilai, yang hanya dapat dipahami, dihayati dan dimengerti oleh manusia. Misainya penge- tahuan, ideologi, etika, estetika (keindahan), hasil pikiran manusia (seperti lo- gika, materhatika, aritmetika, geometrika), norma, kaidah dan lain sebagainya. Dalam hubungannya dengan hilai-nilai agama, kebudayaan yang berupa nilai ini juga berasal dari nilai- nilai keagamaan, karena agama merupakan pandang- an hidup manusia dan merupakan suatu pedoman hidup manusia. Dalam pe ngertian inilah maka dalam Pancasila selain terdapat nilai kemani siaun juga terdapat nilai keagamaan. Selain itu wujud kebudayaan manusia yang bersifat kongkret yaitu be rupa aktivitas manusia dalam masyarakat, saling berinteraksi, schingga terwu- judlah suatu sistem sosial. Manusia adalah makhluk sosial selain sebagai individu, oleh karena itu ia senantiasa, membutuhkan orang lain dalam masya rakat. Sistem sosial ini tidak dapat dilepaskan dengan tatanan nilai sebagai su- atu dasar dan pedoman. Oleh karena itu pola-pola aktivitas manusia ditentu- kan oleh tata tilai yang merupakan hasil budaya abstrak manusia. Jikalau sua- tu tatanan sosial yang bersumber pada suatu sistem nilai dan sistem nilai itu bersumber pada nilai-nilai agama, make suatu keniscayaaun bahwa daiam suatu sistem masyarakat, suatu fenomena sosial budaya akan terkandung di dalam- nya suatu nilai keagamaan, nilai kemanusiaan dan nilai kebersamaan. Wujud budaya kongkret lainnya adalah bentuk-bentuk budaya fisik yang dihasilkan oleh manusia. Wujud budaya ini juga sering disebut sebagai benda-benda budaya. Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang ber budaya senantiasa berinteraksi dengan manusia lain dalam masyarakat. Dalam hubungan ini manusia senantiasa membutuhkan sarana fisik untuk mencapai tujuannya. Benda-benda budaya tersebut baik berupa sarana atau alat-alat da- lam kehidupan masyarakat, maupun sebagai hasil ekspresi'dan kreasi manusia. Benda-benda budaya ini baik berupa benda-benda bergerak, seperti kendaraan, uiesin, serta hasil teknologi lainnya maupun benda- benda yang tidak bergerak seperti, bengunan, tempat ibadah, sarana ibadah, pakaian, candi, gapura, sim- bol, mata uang dan lain sebagainya. Hasil budaya manusia yang berupa benda-benda budaya atau budaya isik ini senantiasa bersumber pada kebudayaan manusia yang berupa sistem uiai, yang merupakan pedoman dan pandangan hidup suatu masyarakat. Jika lau nilai-nilai tersebut sebagian besar berasal dari nilai-nilai keagamaan, maka sudah dapat dipastikan bahwa dalam karya budaya yang berupa benda-benda budaya tersebut senantiasa terkandung nilai-nilai keagamaan, nilai kemanu siaan dan nilai kebersamaan. Misalnya bangunan, tempat ibadah, gapura atau menara, peninggalan bertulis, karya pustaka, karya seni, bahasá, pakaian serta benda budaya lainnya. Jikalau kita pahami secara sistematik wujud sistem sosial-kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) sistem nilai (2) sistem social (3) Wujud fisik baik dalam kebudayaan maupun kehidupan masyarakat. Dalam hubungan ini Pancasila merupakan core values sistem sosial-kebu- dayaan masyarakat Indonesia, yaitu merupakan suatu esensi nilai kehidupan sosial- kebudayaan yang multikultural. Secara kausalitas Pancasila sebelum disahkan menjadi dasar filsafat negara nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai religius. Kemudian para pendiri negara Indonesia mengangkat nilai- nilai tersebut dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain dalam sidang-sidang BPUPK pertama, sidang Panitia Sembilan yang kemudian nenghasilkah Piagam Jakarta yang memuat Panca- sila yang pertama kali, kemudian dibahas lagi dalam sidang BPUPK kedua. Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum sidang resmi PPKI Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara dibahas serta disempurnakan kembali dan akhirmya pada tangga! 18 Agustus 1945 disahkan oleh PPKI sebagai dasar filsafat ne- gara Republik Indonesia. Oleh karena itu agar memiliki pengetahuan yang lengkap tentang proses terjadinya Pancasila, maka secara ilmiah harus ditinjau berdasarkan proses kausalitas. Maka secara kausalitas asal mula Pancasila dibedakan atas dua ma- cam yaitu: asal mula yang langsung dan asal mula yang tidak langsung. Ada- pun pengertian asal mula tersebut adalah sebagai berikut. 1. Asal Mula yang Langsung Pengertian asal mula secara ilmiah filsafat dibedakan atas empat macam yaitu: Kausa Materialis, Kausa Formalis, Kausa Eficient dan Kausa Finalis (Notonagoro, 1975)(Bagus, 1996: 158). Teori kausalitas ini dikembangkn oleh Aristoteles, adapun berkaitan dengan asal mula yang langsung tentang Pancasila adalah asal mula yang langsung terjadinya Pancasila sebagai dasar filsafat negara yaitu asal mula yang sesudah dan menjelang Proklamasi Ke- merdekaan yaitu sejak dirumuskan oleh para pendiri negara sejak sidang BPUPK pertama, Panitia Sembilan, sidang BPUPK kedua serta sidang PPKI sampai pengesahannya. Adapun rincian asal mula langsung Pancasila tersebut menurut Notonagoro adalah sebagai berikut Asal mula bahan (Kausa Materialis). Bangsa Indonesia adalah sebagai asal dari nilai-nilai Pancasila, sehingga Pancasila itu pada hakikatnya nilai-nilai yang merupakan unsur-unsur Pancasila digali dari bangsa Indonesia yang be- rupa nilai- nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Dengan detnikian asal bahan Pancasila adalah pada bangsa Indonesia sendiri yang terdapat dalam kepriba- dian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasiia sebagai local wisdom bangsa Indonesia. Asal mula beentuk (Kausa Formalis). Hal ini dimaksudkan bagaimans asal mula bentuk atau bagaimana bentuk Pancasila itu dirumuskan sebagaiimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Maka asal mula bentuk Pancasila ada- lah Ir. Soekarno bersama-sama Drs. Moh. Hatta serta anggot: BPUPK lainunya sebagai pembentuk Negara merumuskan dan membahas Pancasila terutama daiam hal bentuk, runusan serta nama Pancasila. Asal mula karya Kausa Efisien). Kausa effisien atau asal mula karya yaitu asal nula yang menjadikan Pancasila dari calon dasar negara menjadi dasar negara yang sah. Adapun asal mula karya adalah PPKI sebagai pembentuk negara dan atas kuasa pembentuk negara yang menge di dasar Negara yang. sah, setelah dilakukan pes:bahasan baik dalam sidang- sahkan Pancasila menjadi di dasar negara yang sah, setelah dilakukan pembahasan baik dalam sidang BPUPK, panitia Sembilan. Asal mula tujuan (Kausa Paalig). Pancasila dirumuskan dan dibakas dalam sidang-sidang para pendizi negara, tujuannya adalah untuk dijadikan sebagai dasar negara, oleh karena itu asal mula tujuan tersebut adalah para anggota BPUPKI dan Panitia Sembilan termasuk Soekarno dan Hatta yang menentu- kan tujuan dirumuskannya Pancasila sebelum ditetapkan oleh PPKi sebagai dasar negara yang sah. Demikian pula para pendiri negara tersebut juga ber- fungsi sebagai kausa relasional karena yang merumuskan dasar filsafat negara. ru ba pe 2. Asal Mula yang Tidak Langsung. Secara kausalitas asal mula yang tidak langsung Pancasila adalah asal mula sebelum proklamasi kemerdekaan. Berarti bahwa asal mula nilai-nilai Fancasila yang terdapat dalam adat-istiadat, dalam kebudayaan serta dalam nilai-nilai agama bangsa Indonesia, sehingga dengan demikian asal mula tidak langsung Pancasila adalah terdapat pada kepribadian serta dalam pandangan bidub sehari-hari bangsa Indonesia. Maka asal mula tidak langsung Pancasila St bilamana dirinci adalah sebagai berikut: (1). Unsur-unsur Pancasila tersebut sebelum secara langsung dirumuskan menjadi dasar filsafat negara, nilai-nilainya yaitu nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan teiah ada dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara. (2) Nilai-nilai tersebut terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indo- nesia sebelum membentuk negara, yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, nilai kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut menjadi pe- doman dalam memecahkan problema kehidupan sehari-hari bangsa Indo- nesia. (3) Dengan demikian dapąt disimpulkan bahwa asal mula tidak langsung Pan- casila pada hakikatnya bangsa Indonesia sendiri, atau dengan lain perka taan bangsa Indonesia sebagai Kausa Materialis' atau sebagai asal mula tidak langsung nilai-nilai Pancasila. . Demikianlah tinjauan pancasila dari segi kausalitas, sehingga membe- rikan dasar-dasar ilmiah bahwa Pancasila itu pada hakikatnya adalah sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, yang jauh sebelum bangsa Indonesia membentuk negara nilai-nilai tersebut telah tercermin dan teramalkan dalam kehidupan sehari ti secara ilmiah bahwa Pancasila bukan merupakan hasil perenungan atau pe- -hari. Selain itu tinjauan kausalitas tersebut memberikan bukti secara ilmiah bahwa pancasila bukan merupakan hasil perenungan atau pemikiran seseorang, atau sekelompok orang bahkan Pancasila juga bukan me- rupakan hasil sintesis paham- paham besar dunia saja, melainkan nilai-nilai Pancasila secara tidak langsung telah terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia. 3. Bangsa Indonesia ber-Pancasila dalam Tiga Asas. Berdasarkan tinjauan Pancasila secara kausalitas tersebut di atas maka memberikan pemahaman perspektif pada kita bahwa proses terbentuknya Pancasila melalui suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Dengan demikian kita mendapatkan suatu kesatuan pernahaman bahwa Pancasila sebelum di- sahkan oleh PPKI sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia secara yuridis, da- lam kenyataannya unsur-unsur Pancasila telah ada pada bangsa Indonesia te lah melekat pada bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari berupa nilai adat-istiadat, nilai- nilai kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai terse but yang kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara diolah dibahas yang kemudian disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 Berdasarkan pengertian tersebut maka pada hakikatnya bangsa Indonesia ber- Pancasila dalam tiga asas atau Tri Prakara' (menurut istilah Notona yang rinciannya adalah sebagai berikut: Pertama : Bahwa unsur-unsur Pancasila sebelum disahkan secara yuridis menjadi dasar filsafat Negara, sudah dimiliki oleh bangsa Indo- nesia sebagai asas- asas dalam adat-istiadat dan kebudayaan da lam arti luas (Pancasila Asas kebudayaan), Kedua : Demikian juga unsur-unsur Pancasila telah terdapat pada bang sa Indonesia sebagai asas-asas dalam agama-agama (nilai-nilai religius) (Pancasila Asas Religius) Ketiga : Unsur-unsur tadi kemudian diolah, dibahas dan dirumuskan se cara saksama oleh para pendiri negara dalam sidang-sidang PPUPK, Panitia Sembilan'. Setelai bangsa indonesia oi dea rumusan Pancasila calon dasar negara tersebut kenudian disah- kan oleh PPKI sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia dan terwujudlah Pancasila sebagai asas kenegaraan (Pancasila asas kenegaraan). Oleh karena itu Pancasila yang terwujud dalam tiga asas tersebut atau Tri Prakara' yaitu Pancasila asas kebudayaan, Pancasila asas religius, serta Pancasila sebagai asas kenegaraan dalam kenyataannya tidak depat diperten- a ketiganya terjalin dalam suatu proses kausalitas, sehingga ke- tiga hal tersebut pada hakikatnya merupakan unsur-unsur yang membentuk Pancasila (Notonagoro; 1975: 16,17. Berdasarkan pengertian tersobut maka ketiga asas yang terkandurg calam Pancasila yaitu asas kultural, asas religius dan asas kenegaraań, bukan merupakan suatu entitas nilai yang berdiri sendini sendiri, melainkan dalam satu hubungan yang bersifat koheren, yaitu hu an kausalitas. C. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Pancasila sebagai objek pembahasan ilmiah memiliki ruang lingkup yang sangat luns terutama berkaitan dengan kedudukan dan fungsi Pancasila Setiap kedudukan dan fungsi Pancasila pada hakikatnya memiliki makna serta dimensi masing-masing yang konsekuensinya aktualisasinyanun juga memi- liki aspek ynng berbeda-beda, walaupun hakikat dan sumbe.aya sama. Panca- sila sebagai dasar negara memiliki pengertian yang berbeda dengan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, demikian pula berkaitan dengan kedudukan dan fungsi Pancasila yang lainnya. Dari berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai titik sentral pembahasan adalah kedudukan dan fungsi pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, hal ini sesuai dengan kausa finalis Pancasila yang dirumuskan oleh pembentuk negara pada hakikatnya adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Namun hendaklah dipahami bahwa asal mula Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, adalah digali dari unsur- unsur yang berupa nilai- nilai yang terdapat pada bangsa Indonesia sendiri yang berupa pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu dari berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebenarnya dapat dikembalikan pada dua macam kedudukan dan fungsi Pancasila yang pokok yaitu sebagai Dasar Negara Republik Indonesia dan sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Namun yang terpenting bagi kajian ilmiah adalah bagaimana hubungan secara kausalitas di antara kedudukan dan fungsi Pancasila yang bermacam- macam tersebut. Oleh karena itu kedudukan dan fungsi Pancasila dapat dipa hami melalui uraian berikut. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dalam per juangan untuk mencapai kehidupan yang lebih sempurna, senantiasa memer- lukan nilai-nilai luhur yang dijunjungnya sebagai suatu pandangan hidup. Ni- lai-nilai luhur adalah merupakan suatu tolok ukur kebaikan yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mendasar dan abadi dalam hidup manusia, seperti cita-cita yang hendak dicapainya dalam hidup manusia, Pandangan hidup yang terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi sebagai kerangka acuan bail: atuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam interaksi antar manusia dalam masya- rakat serta alam sekitamya. Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial manusia tidaklah mung- kin memenuhi segała kebutuhannya sendiri, oleh karena itu untuk mengem- bangkan potensi kemanusiaannya, ia senantiasa memerlukan orang lain. Da- lam pengertian inilah maka manusia senantiasa hidup sebagai bagian dari lingkungan sosial yang lebih luas, secara berturut-turut lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan bangsa dan lingkungan negara yang meru pakan lembaga-lembaga masyarakat utama yang diharapkan dapat menya lurkan dan mewujudkan pandangan hidupnya. Dengan demikian dalam kehi dupan bersama dalam suatu negara membutuhkan suatu tekad kebersamaan, cita-cita yang ingin dicapainya yang bersumber pada pandangan hidupnya tersebut. Dalam pengertian inilah maka proses perumusan pandangan hidup ma syarakat dituangkan dan dilembagakan menjadi pandangan hidup bangsa dan selanjutnya pandangan hidup bangsa dituangkan dan dilembagakan menjadi pandangan hidup negara. Pandangan hidup bangsa dapat disebut sebagai eologi bangsa (nasional), dan pandangan hidup negara dapat disebut sebagai ideologi hegara. Dalam proses penjabaran dalam kehidupan modern antara pandangan hidup masyarakat dengan pandangan hidup bangsa memiliki hubungan yang bersifat timbal balik. Pandangan hidup bangsa diproyeksikan kembali kepada pandangan hidup masyarakat serta tercermin dalam sikap hidup pribadi war- ganya. Dengan demikian dalam negara Pancasila pandangan hidup masyarakart tercermin dalam kehidupan negare yaitu Pemerintah terikat oleh kewajiban konstitusional, yaitu kewajiban Pemerintah dan lain-lain penyelenggare negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur (Darmodihardjo, 1996: 35). Transformasi pandangan hidup masyarakat menjadi pandangan hid bangsa dan akbirnya menjadi dasar negara juga terjadi pada pandangan hidup Pancasila. Pancasila sebéelum dirumuskan menjadi dasar negara serta ideologi negara, nilai-nilainya telah terdapat pada bangsa Indonesia dalam adat- istiadat, dalam budaya serta dalam agama-agama sebagai pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pandangan yang ada pada masyarakat Indonesia tersebut kemudian menjelma menjadi pandangan hidup bangsa yang telah terintis sejak zaman Sriwijaya, Majapahit kemudian Sumpah Pemuda 1928, Kemudian diangkat dan dirurmuskan oleh para pendiri negara dalam sidang-sidang BPUPK, Pani- tia "Sembilan", serta sidang PPKI kemudian ditentukan dan disepakati sebagai dasar Negara Republik Indonesia, dan dalam pengertian inilah maka Pancasila sebagai Pandangan Hidup Negara dan sekaligus sebagai Ideologi Negara. Bangsa Indonesia dalam hidup bernegara telah memiliki suatu pandang an hidup bersama yang bersumber pada akar budayanya dan nilai-nilai reli- giusnya. Dengan pandangan hidup yang mantap maka bangsa Indonesia akan mengetahui ke arah mana tujtian yang ingin dicapainya. Dengan suatu pan- dangan hidup yang diyąkininya bangsa Indonesia akan mampu memandang dan memecahkan segala persoalan yang dihadapinya secara tepat sehingga tidalk terombapg-ambing dalam inenghadapi persoalan tersebut dengan suatu pandangan hidup yang jelas maka bangsa Indonesia akan memiliki pegangan dan pedomary bagaimana mengenal dan memecahkan berbagai masalah poli- ik osisl hudaya, ekonomi, hukum, hankam dan persoalan lainnya dalam gerak masyarakat yang semakin maju. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa tersebut terkandung di da- iamaya konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan, terkandung dasar pikiran terdalain dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Oleh karena Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yahg hidup dalam masyarakat Indonesia, maka pan- dangan hidup tersebut dijunjung tinggi oleh warganya karena pandangan hidup Pancasila berakar padá.budaya dan pandangan hidup masyarakat. Dengan demikian pandangan hidup Pancasila bagi bangsa Indonesia yang Bhin- neka Tunggal Ika tersebut harus merupakan asas pemersatu bangsa sehingga tidak boleh mematikan keanekaragaman Sebagai inti sari dari nilai budaya masyarakat Indonesia, maka Pancasila merupakan cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan rohaniah bagi bangsa untuk borperilaku luhur dalam kehidupan sehari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bemegara.
D. Pancasíla Sebagai Filsafat Bangsa dan Negara Indonesia
Negara modern yang melakukan pembaharuan dalam menegakkan de- mokrasi niscaya mengembangkan prinsip konstitusionalisme. Menurut Ftie- derich, negara modern yang melakukan proses pembaharuan demokrasi, prin- sip konstitusionalisme adalah yang sangat efektif, terutama dalam rangka me- ngatur dan membatasi pemerintahari negara melalui undang-undang. Basis po- kok adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara ma- yoritas rakyat, méngenai bangunan yang diidealkan berkenaan d (Assiddiqie, 2005: 25). Organisasi negara itu dipeciukan oleh warga masya dengan negara. Organisasi negara itu di perlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromo- sikan melalui pembentukan dan penggunaan melkanisme yang disebut negara. Dalam hubungan ini sekali lagi kata kuncinya adalah consensus atau general agreement. Bagi bangsa Indonesia consensus itu terjadi tatkala disepakatinya Pia- gam Jakarta 22 Juni 1945 (Endang S. Anshori). Jika kesepakatan itu runtulh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada lirannya akan terjadi suatu perang sipil (civil war), atau dapat juga suatu revolusi. Hal ini misalnya pernah terjadi pada tiga peristiwa besar dalam se- jarah umat manusia, yaitu revolusi Perancis tahun 1789, di Amerika pada ta- hun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, (Andrews, 1968: 12), adapun di Indonesia terjadi pada tahun 1965 dan 1998 yaitu gerakan reformasi (Assid- diqie, 2005: 25). Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme negara modern pada proses reformasi untuk mewujudkan demokrasi, pada umumnya bersan- dar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu: (1) Kesepakatan tentang juan dan cita-cita bersama (the general goal of society or general accep- tance of the same philosophy of government). (2) Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government). (3) Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). (Andrews, 1968: 12). Kesepakatan pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat me- nentukan tegaknya koństitusi di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya memungkinkan untulk mencerminkan kese- maan- kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup ditengah-tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan untuk menjamin kebersamaan dalam ke- rangka kehiduprai bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai filsafat kenegaraan atau aatsidee (cita negara), yang berfungsi sebagai philosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar filsafat dalam kehidupan ber- sama itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai core philosophy negara Indone- t, Seningga konsekuensinya merupakan esensi staatsfundamentalnorm bagi reformasi konstitusionalisme. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam filsafat negara tersebut, sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan cita-cita dalam konteks kehidupan bernegara (Assiddiqie, 2005:26) Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar filsafat dalam kehidupan ber- sama itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai core philosophy negara Indone- sia, sehingga konsekuensinya merupakan esensi staatsfundamentalnorm bagi reformasi konstitusionalisme. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam filsafat negara terscbut, sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan cita-cita negara, bailt dalam arti tujuan prinsip konstitusioaalisme sobagai sunt hukum formal, maupun empat cita-cita kenegaraan yang terkandung tumpah darah Indonesis, (2) memajukan (meningkatkan) kesejahteraan u dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945, yaitu: () melindungi segenap bangsa dan selan (3) mencerdaskan kehicupan bangsa, dan (4) ikut melaksauakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kesepakatan kedua, adalah suatu kesepakaten bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan kedun ini juga ber sifat dasariah, karena menyangkut dasar-dasar dalam kehidupan garaan negara. Hal ini akan memberikan landasan bahwa dalarn segala hal yang dilakukan dalam penyelenggaraan negara, harusiah didasarkan pada prinsip rule of the game. yang ditentukan secara bersame, silah yang biasa digunakan uatuk prinsip ini adalah the rule of law (Dicey, 1973). Dalam hubungan ini hukum dipandang sebagai suatu kesatuan yang sistematis, yang di puncaknya terdapat suatu pengertian mengenai hukum dasar, baik dalam arti naskah tertulis atau Undang-Undang Dasar, maupun tidak tertulis atau convensi. Dalam pe-ngertian inilah maka dikenal istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri negara demokrasi modern (Muhtaj, 2005: 24) Kesepakatan ketiga, adalah berkenaan dengan (1) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (2) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (3) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan itulah maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang diruauskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan hersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Namun demikian kesepakatan untuk mewujudkan suatu bangsa tersebut bagi bangsa Indonesia terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, melalui suatu proses sejarah. Setiap bangsa di dunia termasuk bangsa Indonesia senan- tiasa memiliki suatu cita-cita serta pandangan hidup yang merupakan suatu basis nilai dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi oleh bangsa tersebut. Bangsa yang hidup dalam suatu kawasan negara bukan terjadi secara kebetulan melainkan melalui suatu perkembangan kausalitas, dan hal ini menurut Ernest Renan dan Hans Khons sebagai suatu proses sejarah terbenuknya suatu bangsa, sehingga unsur kesatuan atau nasionalism mmatu bangsa ditentukan juga oleh sejarah terbentuknya bangsa tersebut. Secara historis Pancasila adalah merupakan suatu pandangan hidup bangsa yang nilai-nilainya sudah ada sebelum secara yuridis bangsa Indonesia mem- bentuk negara. Bangsa Indonesia secara historis ditakdirkan oleh Tuhan YME, berkembang melalui suatu proses dan menemukan bentuknya sebagai suatu bangsa dengan jati- dirinya sendiri. Menurut M. Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu: pertama, zaman gara Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra (sejak 600) yang bercirikan kedatuan, kedua negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525) yang bercirikan keprabuan. Kedua fase kebangsaan Indonesia itu diistilahkan Yamin dengan kebangsaan Indonesia lama. Kemudian ketiga, negara kebangsaan modern, yaitu negara Indonesia yang merdeka (sekarang negara Proklamasi 17 Agustus 1945) (Sekretariàt Negara RI, 1995: 11), Secara kultural dasar-dasar pemikiran tentang Pancasila dan nilai-nilai Pan- casila berakar pada nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai religius yang dimilia oleh bangsa Indonesia sendiri sebelum mendirikan negara (Notonagordo, 1975). Adapun dalam proses pendirian negara, dengan diilhami pandangan- pandangan dunia tentang kenegaraan disintesiskan secara eklektis, sehingga merupakan suatu local genius dan sekaligus sebagai suatu local wisdom bang- sa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila sebelum terbentuknya negara dan bangsa Indonesia pada dasarnya terdapat secara sporadis dan fragmentaris dalam ke- budayaan bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara baik pada abad kedua puluh maupun sebelumnya, di mana masyarakat Indonesia telah meada- patkan kcsempatan untuk berkomunikasi dan berakulturasi dengan kebuda- yaan lain. Nilai-nilai tersebut melalui para pendiri bangsa dan negara ini ke- mudian dikembangkan dan secara yuridis disahkan sebagai suatu dasar negara, dan secara verbal tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Poespowardoyo, 1989: 5) Nilai-nilai kebudayaan dan nilai religius yang telah ada pada bangsa indonesia, kemudian dibahas dan dirumuskan oleh the founding fathers bang a indonesia, yang kemudian disepakati dalam suatu konsensus sebagai dasar itdup bersama dalam suatu negara Indonesia. Menurut Notonagoro nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan suatu sebab bahan (kausa naderialis), adapun BPUPKI kemudian juga PPKI adalah sebagai lembaga ag membentuk negara, yang juga dengan sendirinya yang menentukan Pan- casila sebagai dasar negara Republik Indonesia, disebut sebab bentuk (kausa formalis) (Notonagoro, 1975). Dalam hubungan inilah men (1968: 12), bahwa tegakya suatu negara modern harus dilandasi oleh konsensus yang tertuang dalarn suatu cita-cita serta tujuan bersema tu landasan filosofis, the general goal o stciety or general accept same philasophy of government (Kaelan, 2010). urut ance of the Dalam proses perumusan tentang cita-cita bersama yaitu dasan negara Indonesia, diawali dengan dibentukaya BPUPKI dan padaosOR capai suatu konsesnsus yang disebut dengan Piagam Jakarta pada 2 1945, yang dikenal dalam sejarah rumusan sila pertarmanya bei buavi Jui hanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi perneluke luknya'. Kemudian pada sidang PPKI 18 Agustus dilakukan s tao lap, sehingga menjadi Pancasila sebagaimana tercant um dalam Pesep koau Uadeng-Undang Dasar 1945. Berdasarkan fakta sejarah tersebut, mak Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara merupakan suatu hasil philot phical consernsas (konsesnsus filsafat), karena membahas dan menyepakath sustu dasar filsafat negara, dan polotical consensus (konsensus politik) awalnya ter- -peme-
E. Pancasila sebagai Dasar Fisafat Negara (Philosofische Gromdslag)
Kedudukan pokok Pancasila adalah sebagai dasar filsafat Negara Re publik Indonesia. Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang bu- nyinya sebagai berikut: "maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepadà Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan keralyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujud-kan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" Pengertian kata ".... Dengan berdasarkan kepada hal ini secara yu- ridis memiliki makna sebagai dasar negara. Walaupun dalam kalimat terakhir Pembukaan UUD 1945 tidak tercantum kata 'Pancasila' secara eksplisit namun anak kalimat ". dengan berdasarkan kepada.... .Ini memiliki makna dasar negara adalah Pancasila. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis sebagaimana ditentukan oleh BPUPK bahwa dasar negara Indonesia itu disebut dengan istilah 'Pancasila' Sebagaimana telah ditentukan oleh pembentukan negara bahwa tujuan utama dirumuskannnya Pancasila adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Oleh karena itu fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan dasar yuridis sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, ketetapan No XX/MPRS/1966. Dijelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia yang pada hakikat- a hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari banges nesia. Selanjutnya dikatakannya bahwa cita-cita tersebut adalah meliputi ita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanu- siaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita politik men- genai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita-cita moral mengenai kehidupan ke- dari budi nurani ma- ny adalah merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita icita-c lmasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan manusia Dalam proses reformasi dewasa ini MPR melalui Sidang Istimewa tahun 1998, mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik iIndonesia yang tertuang dalam Tap. No. XVII/MPR/1998. Oleh karena itu segala agenda dalam proses reformasi, yang meliputi berbagai bidang selain mendasarkan pada kenyataan aspirasi rakyat (Sila IV) juga hanus mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Refonmasi tidak mungkin serta menyimpang dari nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyaian sorta. keadilan, bahkan harus bersumber kepadanya. Bila mana kita rinci secara sistematis kedudukan Pancasila sebagai asas kerokhanian negara dapat disusun secara bertingkat seluruh kehidupan negara sebagai penjelmaan pancasila. Unzsur-unsur ini terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV . Susunan tersebut menunjukkan bahwa Pancasila pada hakikatnya merupakan dasar, atau basis filosofi bagi negara dan tertib hukum Indonesia. Hal itu dapat di rinci sebagai berikut: 1. Pancasila merupakan dasar filsafat negara (asas kerokhanian negara) zt pandangan hidup dan filsafat hidup. 2. Di atas basis (dasar) itu berdirilah negara Indonesia, dengan asas poli- tik negara (kenegaraan) yaitu berupa Republik yang berkodamulatan rakyat. 3. Kedua-duanya menjadi basis penyelenggaraan Kemerdekaan kebang- saan Indonesia, yaitu pelaksanaan dan penyelenggaraan negara seba- gaimana tercantum dalam hukum positif Indonesia, terouat dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. 4. Selanjutnya di atas Undang-Undang Dasar (yaitu sebagai basis) maka berdirilah bentuk susunan pemerintahan dan keseluruban peraturan hukum positif yang lainnya, yang mencakup segenap bangsa Indonesia dalam suatu kesatuan hidup bersama yang berasas kekluargaan. 5. Segala sesuatu yang disebutkan di atas adalah demi tercapainya suatu tujuan bersama, yaitu tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara tersebut yaitu kebahagiaan bersama, baik jasmaniah maupun rokhaniah, serta tuhaniah. Dengan demikian seluruh aspek penyelenggaraan negara tersebut diliputi dan dijelmakan oleh asas kerokhanian Pancasila, dan dalam pengertian initalh maka kedudukan Pencasile sebagai asas kerokhanian dan dasar ilsafat negara Indonesia. (Notonagoro, tanpa tahun: hal 32). Bilamana kita pahami hakikat negara adalah merupakan suatu lembacn ke manusitn, lahir dan batin. Negara sebagai iembaga kemenusiaan dalam hal hidup bersama baik menyangkut kehidupan lahir maupun batin, yaitu bidan kehidupan manusia selengkapnya. Sehingga dengan dermikian maka seluruh hidup kenegaraan kebangsaan Indonesia senantiasa diliputi oleh asas kerokha- nian Pancasila. Maka seluruh kehidupan negara Indonesia yang berdasarkan hukunu positif, terselenggara dalam hubungan kesatuan dengan hidup kejiwaan yang realisasinya dalam bentuk penyesuaian kehidupan kenegaraan dengaa nilai-nilai hidup kemanusiaan, yang tersimpulkan dalam asas kerokhanian Pancasila, yaitu kebenaran dan kenyataan, keindahan kejiwaan, kebaikan atau kelayakan (kesusílaan), kemanusiaan, hakikat manusia dan hidup manu- sia sebagai makhluk Tuhan. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa Pembukaan UUD 1945 men- gandung dasar, rangka dan suasana bagi negara Han tertib hukum Indonesia yang pada hakikatnya tersimpul dalam asas kerokhanian Pancasila. Dengan demikian konsekuensinya Pancasila asas yang mutlak bagi adanya tertib hu- kurm Indonesia, yang pada akhimya harus direalisasikan dalam setiap aspek penyelenggaraan Negara. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia, atau dengan lain perkataan sebagai sum- ber tertib hukum Indonesia yang tercantum dalam ketentuan tertib hukum ter tinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kermudian dijelmakan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Yang pada hakikatnya perlu dikongkritisasikan (dijabarkan) dalam UUD 1945 (pa- sal-pasal UUD 1945) serta hukum positif yang lainnya. Kedudukan Pancasila yang demikian ini dapat dirinci sebagai berikut: 1. Pancasile adalah merupakan sumber darí segala sumber hukim (aum- ber tertib hukum) Indonesia, Sehingga Pancasila merupakan asas ke-rokhanian tertib hukum yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok pikiran. 2. Meliputi suasana kebatinan (geistlichenhintergrund) dari Undang-Undang Dasar 3. Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis) 4. Mengandung, norma yang mengharuskan Undang-Undang Dasar Undang Dasar dasar tertulis maupun tidak tertulis) mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penye lenggara negara (termasuk pada penyelenggara partai dan golongan fungsional) untuk memelihara budi pekerti (moral) kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagaimana tersimpul dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya "Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, me- nurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab" 5. Merupakan sumber semangat bagi UUD 1945, bagi para penyeleng- gara negara, para pelaksana pemerintahan (Guga para penyelenggara partai dan golongan fungsiónal). Hal ini dapat dipahami karena se- mangat adalah penting dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan ne- gara, karena masyarakat dan Negara Indonesia selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan perubahan zaman serta dinamika masya rakat. Dengan semangat yang bersumber pada asas kerokhanian ne- gara sebagai pandangan hidup bangsa maka dinamika masyarakat dan negara akan tetap diliputi dan diarahkan asas kerokhanian Pan casila.
F. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indoncsis Pengertian Ideologi.
Istilan ideologi berasal dari kata idea' yang berati ga- gasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita' dan "logos' yang berarti Hr Kata 'idea' berasal dari kata bahasa Yunani 'eidos' yang artinya 'hentut Di samping itu ada kata 'idein' yang artinya 'melihat' Maka secara harfiah, ideo- logi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide (the science of ideas), atau aja- ran tentang pengertian-pongertian dasar. Delam pengertian sehari- hari, 'idea samnkan artinya dengan 'cita-cita'. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap, yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham. Memang pada hakikat- nya antara dasar dan cita-cita itu sebenamya dapat merupakan satu kesatuan. Dasar ditetapkan kerena ada cita-cita yang mau dicapai. Sebaliknya, cita-cita dietapkan berdasarkan atas suatu landasan, asas atau dasar yang telah ditetap kan pula. Dengan demikian idevlógi moucakup pengartian tentang idea-idea, pengertian dasar, gagasan-gagnsan dan cita-cita. Apabila ditelusuri sovara istilah ide pertama kali di pakai dan dikeumi- kakan oleh seorang Perancis, Destut de Tracy, pada tahun 1796, Seperti hal- nya Leibnitz, de Tracy mempunyai cita-cita untuk meabangun stratu sistem pengetahuan. Apabila Leibnitz menyebutkan impian-impiannya sebağai one great system of truth', dimana tergabung segala cabang ilmu dan segala kebe- naran ilmu, maka de Tracy menyebutkan 'ideologie', yaitu 'science of ideas suatu program yang diharapkan dapat imembawa perubahan instiusional da- lam masyarakr: Perancis. Namun Napoieon mencemoobkannya. subagai suatu khayalan belaka, yang tidak mempunyai arti praktis. Hal semacam itu hanya irupiai belaka yang tidak akan menemukan kenyataan (Pranara, 1985). Perhatisn kepada konsep ideologi menjadi berkembaug lagi antara lain karena pengaruh Karl Marx. Ideologi menjadi voknbular penting di. dalam pemikiran politik maupun ekonorni Karl Marx mengartikan ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepontingan golongan atau keios sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. Dalam arti ini, ideologi menjadi bagian dari apa yang disebutnya Uberbau atau suprastruktur (bangunan atas) yang didirikan di atas kekuatan-kekuatan yang memiliki fak tor-faktor produksi yang menentukan coraknya dan karena itu mencerminkan uatu pola ekonomi tertentu, Oleh karena itu kadar kebenarannya relatif, dan semata-mata hanya untuk golongan tertentu. Dengan demikian maka ideologi lalu merupakan keseluruhan ide yang relatif, karena itu mencerminkan,kekua tan lapisan tertentu. Seperti halnya filsafat, ideologi pun metniliki pengertian yang berbeda- beda. Begitu pula dapat ditemukan berbagai macam definisi, batasan pengar- tian tentang ideologi. Hal ini antara lain disebabkan juga tergantung dari filsa- fat apa yang dianut, karena sesungguhnya ideologi itu.bersumber kepada suatu filsafat. Pengertian "Ideologi" secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan gagásan- gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut dan mengatur tingkah laku sekelompok manusia tertentu dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini menyangkut a. Bidang politik (termasuk di dalamnya bidang pertahanan dan keamanan) b. Bidang sosial c. Bidang kebudayaan d. Bidang keagamaan (Soemargono, Ideologi Pancasila sebagai Penjelmaan Filsafat Pancasila dan Pelaksanaannya dalam Masyarakat Kita Dewasa ini. Suatu makalah diskusi dosen Fakultas Filsafat, hal 8). Masalah ideologi Negara dalam arti cita-cita Negara atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan Bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian yang antara lain memiliki ciri sebagai berikut a. Mempunyai derajad yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan. b. Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban (Notonagoro, Pancasila Yuridis Kenegaraan, tanpa tahun hal. 2, 3) Ideologi Terbuka dan Ideologi Tertutup. Ideologi sebagai suatu sistem pe- mikiran (System of thought), maka ideologi terbuka itu merupakan suatu sistem pemikiran terbuka. Sedangkan ideologi tertutup itu merupakan suatu sistem pemikiran tertutup. Suatu ideologi tertutup dapat dikenali dari beberapa ciri khas. Ideologi itu bukan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan merupakan cita-cita satu kelompok orang yang mendasari suatu program untuk mengubah dan memperbaharui masyarakat. Dengan demikian adalah menjadi ciri ideologi tertutup, bahwa atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat. Demi ideologi masyarakat harus berkorban, dan kesediaan itu untuk menilai kepercayaan ideologi para warga masyarakat serta kesetiaannya masing-masing sebagai warga masyarakat. Tanda pengenal menemukan bahwa penyelenggaraan negara berdasarkan pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar tertentu. Kadang-kadang dasar normatif itu tidak dirumuskan secara eksplisit. Akan tetapi dalam kebanyakan negara, undang-undang dasar (konstitusi) memuat bagian yang merumuskan dasar normatif itu. Dasar normatis itu dapat pula disebut dasar filsafat negara, yang diperlukan sebagai landasan untuk menyelenggarakan negara. Dan ini merupakan kesepakatan bersama yang berlandaskan kepada nilai- nilai dasar cita-cita masyarakat. Dengan demikian maka merupakan ciri ideologi terbuka yakni bahwa isinya tidak operasional. Ia baru menjadi operasional apabila sudah dijabarkan ke dalam perangkat yang berupa atau peraturan perundangan lainnya. Oleh karena itu setiap generasi baru dapat menggali kembali dasar filsafat negara itu untuk menemukan apa implikasinya bagi situasi atau zaman itu masing- masing (Suseno, 1987). Hubungan antara Filsafat dan Ideologi. Filsafat sebagai pandangan hidup peda hakikatnya merupakan sistem nilai yang secara epistemologis kebenarannya telah diyakini sehingga dijadikan dasar atau pedoman bagi mans dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa negara, tentang makna hidup serta sebagai dasar dan pedoman bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. filsafat dalam pengertian yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita atau keyakinan-keyakinan (belief-system) yang telah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya. Hal itu berarti bahwa filsafat telah beralih dan menjelma menjadi ideologi (Abdulgani, 1986). Tiap ideologi sebagai suatu rangkaian kesatuan cita-cita yang mendasar dan menyeluruh yang jalin-menjalin menjadi suatu sistem pemikiran (System of thought) yang logis, adalah bersumber kepada filsafat. Dengan lain kata, ideologi sebagai suatu system of thought mencari nilai, norma dan cita-cita yang bersumber kepada filsafat, yang bersifat mendasar dan nyata untuk diaktualisasikan artinya secara potensial mempunyai kemungkinan pelaksanaan yang tinggi, sehingga dapat memberi pengaruh positif, karena mampu membangkitkan dinamika masyarakat tersebut secara nyata ke arah kemajuan. Ideologi dapat dikatakan pula sebagai konsep operasionalisasi dari suatu pandan atau filsafat hidup akan merupakan norma ideal yang melanda karena norma itu akan dituangkan dalam perilaku, juga dalam kelembagaan sosial, politik, ekonomi, pertahanán keamanan dan sebagainya. Jadi filsafat sebagai dasar dan sumber bagi perumusan ideologi yang juga menyangkut stra tegi dan doktrik, dalam menghadapi permasalahan yang timbul di dalam kehidupan bangsa dan negara; termasuk di dalamnya menentukan sudut pandang dan sikap dalam menghadapi berbagai aliran atau sistem filsafat yang lain. Dari uraian diatas, maka permasalahan ideologi merupakan permasalahan yang di samping berkadar kefilsafatan sekaligus menyangkut praksis. Ideologi memiliki kadar kefilsafatan karena bersifat cita-cita dan norma, dan sekaligus praksis karena menyangkut operasionalisasi, strategi dan doktrin. Sebab ideologi juga menyangkut hal-hal yang berdasarkan satu ajaran yang menyeluruh tentang makna dan nilai-nilai hidup, ditentukan secara konkrit bagaimana manusia harus bersikap dan bertindak. Ideologi itu tidak hanya menuntut misalnya agar setiap orang bertindak adil, saling tolong- menolong, saling menghormati antara sesama manusia, lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi atau kepentingan golongan dan seba- gainya, melainkan juga ideologi akan menuntut ketaatan kongkrit, harus me- laksanakan ini atau itu, dan bahkan seringknli menuntut dengan mutlak orang harus bersikap dan bertindak. Dari tradisi sejarah filsafat Barat dapat dibuktikan bahwa tumbuhnya ideologi seperti liberalismne, kapitalisme, marxisme leninisme, maupun naziisme dan fasisme, adalah bersumber kepada aliran-aliran filsafat yang berkembang di sana. Persepsi mengenai kebebasan yang tumbuh pada zaman Renaisance dan Aufklarung mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya ideologi liberal dan kapitalis di Barat. Demikian pula dengan pemikiran-pemikiran Karl Marx dan Engels yang historis materialistik dan dialektik telalh menumbuh suburkan ideologi marxisme/Leninisme/komunisme di negara-negara soalis komunis. Begitu pula dengan pemikian Nietzche tentang Ulbermenshe superman) dan Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) telah mendorong Hittler untuk mengembangkan Naziisme yang militeristis. Namun harus dikemukakan pula bahwa ada aliran-aliran filsafat terutama yang timbul di Barat yang tidak berfungsi sebagai ideologi dalam suatu negara. Begitu pula ada juga negara-negara yang tidak menganut pada suatu ideologi tertentu. Hanya unsur-unsur suatu aliran filsafat yang dikembangkan secara aktif, sistematik dan dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menjelma menjadi ideologi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka. Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antsipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Kcterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila namun mengeksplisitkan wawasannya secara kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru dan aktual. Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar yang bersifat tetap dan tidak berubah, dan tidak langsung bersifat operasional, oleh karena itu setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplisitasi dilakukan dengan menghadapkannya pandangan hidup berbagai masalah yang selalu silih berganti melalui refleksi yang rasional terungkap makna operasionalnya. Dengan demikian penjabaran ideologi dilaksanakan dengan interpretstasi yang kritis dan rasional (Poespowardoo, 1991; 59). Sebagai suatu contoh keterbukaan (pers Pancasila, dalam kaitannya dengan pendidikan, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum, kebudayaan dan bidang-bindang lainnya). Sebagai suatu ideologi yang berşifat terbuka maka Pancasila memiliki dimensi sebagai berikut: Dimensi idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang bersifat sistematis dan rasional yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila: ketuhanan, kemausiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan, maka dimensi idealistis Pancasila bersumber pada nilai-nilai flosofis yaitu filsafat Pancasila. Oleh karena itu dalam setiap ideologi bersumber pandangan hidup nilai- nilai filosofis (Pespowardoyo, 1991: 50). Kadar dan kualitas idealismę yang terkandung dalam ideologi Pancasila mampu memberikan harapan, optimisme serta mampu menggugah motivasi yang dicita-citakan (Wibisono, 1989). Dimensi normatif, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tertib hukum Indonesia. Dalam pengertian ini maka Pembukaan yang di dalamnya memuat Pancasila dalam alinea IV, berkedudukan sebagai 'staatsfundamentalnorm (pokok kaidah negara yang fundamental), agar mampu dijabarkan ke dalam langkah operasional perlu memiliki norma yang jelas (Poepowardoyo, 1991). Dimensi realistis, suatu ideologi harus mampu mencerminkan ralitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila selain memiliki dimensi nilai-nilai ideal normatif, maka Pancasila harus dijabarka dalam kehidupan nyata sehari-hari. baik dalam kaitannya bermasyarakat maupun dalam segala aspek penyelenggaraan negara. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat utopis' yang hanya berisi ide-ide yang gawang, namun bersifat .realistis artinya mampu dijabarkan dalam kehidupan yang nyata dalam berbagai bidang Berdasarkan hakikat ideologi Pancasila yang bersifat terbuka yang memiliki tiga dimensi tersebut maka ideologi Pancasila tidak bersifat 'utopis’ yang hanya merupakan sistem ide-ide belaka yang jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Selain itu ideologi Pancasila bukan merupakan doktrin belaka, karena doktrin hanya memiliki pada ideologi yang hanya bersifat normatif dan demikian pula ideologi Pancasila bukanlah merupakan ideologi pragmatis yang hanya menekankan segi praktis dan ralistis belaka tanpa idea- lisme yang rasional. Maka ideologi Pancasila yang bersifat terbuka pada haki- katnya, nilai-nilai dasar (hakikat) sila-sila Pancasila yang bersifat tetap adapun penjabaran dan realisasinya senantiasa dieksplisitkan secara dinamis, terbuka tertutup dan senantiasa mengikuti perkembangan jaman. Keterbukaan ideologi Pancasila juga menyangkut keterbukaan dalam menerima budaya asing. Manusia pada hakikatnya selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu sebagai makhluk sosial senantiasa hidup bersama sehingga terjadilah akulturasi budaya. Oleh karena pancasila sebagai ideologi terbuka senantiasa terbuka terhadap pengaruh budaya asing, namun nilai- nilai esensial Pancasila bersifat tetap. Dengan perkataan lain Pancasila menerima pengaruh budaya asing dengan ketentuan hakikat atau substansi Pancasila yaitu: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, ke rakyatan serta keadilan bersifat tetap. Secara strategis keterbukaan Pancasila dalam menerima budaya asing dengan jalan menolak nilai-nilai yang bertentangan dengan Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan serta menerima nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila tersebut. Demikianlah maka bangsa Indonesia yang berideologi Pancasila sebagai bangsa yang berbudaya tidak menutup diri dalam pergaulan budaya antar bangsa di dunia. Hal ini bukan saja merupakan kebijaksanaan kultural namun secara filosofis nilai-nilai budaya yang ada pada bangsa indonesia sehagai kausa materialis Pancasila yang memiliki sifat terbuka. Dalam sejarah telah kita ketahui telah melakukan proses akulturasi, yaitu menerima masuknya budaya asing yang sesuai kemudian dikembangkan dalam kehidupan masyarakat sehingga merupakan local wisdom bangsa Indonesia. Misalnya masuknya budaya India dengan agama Hindu dan Budha, yang pada gilirannya menghasilkan karya besar sebagai budaya bangsa seperti candi Borobudur, candi, candi Prambanan, dan lain sebagainya. Demikian juga pengaruh Islam, dengan berkembangnya berbagai budaya Islam, seperti tempat ibadah, karya sastra dan lainnya, demikian pula pengaruh Kristen dengan berbagai bangunan tempat ibadah dan lain sebagainya.
G. Pancasila Sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan Bangsa Iadonesia
Telah dijelaskan dimuka bahwa sebelum Pancasila ditentukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala, yaitu sejak lahirnya bangsa Indonesia sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Namun demikian keoeradaan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang hidup mandiri di antara bangsa-bangsa lain di dunia tidak hanya ditentukan oleh ciri- ciri etnis, melainkan oleh sejumlah unsur khas yang ada pada bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain. Pengertian bangsa pada awal mulanya dari kata "nation" (natie, bangsa) yang ditinjau secara ilmiah pada tahun 1882 oleh Ernest Renan Dalam suatu ceramahnya di universitas Sorbone yang berjudul "Qu'est ce que c'es un Na- tion"? (Apakah bangsa itu?) Menurut Renan bangsa adalah : 1. Suatu jiwa, suatu asas kerokhanian. 2. Suatu solidaritas yang besar. 3. Suatu hasil sejarah, karena sejarah itu berjalan terus. Sejarah tidak abadi, bergerak secara dinamis dan begabah-ubah untuk maju. 4. Bangsa bukanlah soal abadi. Selain itu juga terdapat "geopolitik' yang dipelopori oleh Frederich Ratzel dalam bukunya "politik Geography" (1987) yang menyatakan bahwa: negara merupakan suatu organisme yang hidup, dan supaya dapat hidup subur dan kuat maka memerlukan ruangan untuk hidup (Lebernsraum). (Ismaun, 1975: 42). Bagi bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Dilahirkan dari satu nenek moyang sehingga kita memiliki kesatuan darah 2. Memiliki satu wilayah di mana kita dilahirkan, hidap bersama dan mencari sumber-sumber kehidupan. 3. Memiliki satu wilayah di mana kita dilahirkan, hidup bersama dan mencari sumber-sumber kehidupan. 4. Memiliki kesatuan sejarah, yaitu bangsa Indonesia dibesarkan di bawah gemilangnya kerajaan-kerajaan, Sriwijaya, Majapahit, mataram dan lain sebagainya. 5. Memiliki kesamaan nasib yaitu berada di dalam kesenangan dan kesusahan, dijajah Belanda, Jepang dan lainnya. 6. Memiliki satu ide, cita-cita satu kesatuan jiwa atau asas kerokhanian, dan satu tekad untuk hidup bersama dalam suatu negara Republik Indonesia. Dengan lain perkataan bangsa Indonesia memiliki satu asas kerokha- nian, satu pandangan hidup, dan satu ideologi yaitu Pancasila, yang ada dalam suatu negara Proklamasi 17 Agustus 1945 (Notoganoro, 1975:15). Bagi bangsa Indonesia adanya kesatuan asas krokhanian, kesatuan pandangan hidup, kesatuan ideologi tersebut itu adalah amat bersifat sentral, karena suatu bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui ke arah mána tujuan bangsa itu ingin dicapai maka bangsa itu harus memiliki satu pandangan hidup, ideologi maupun satu asas kerokhanian. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang dengan sendirinya memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang berbeda-beda pula. Namun demikian bangsa perbedaan itu harus disadari sebagai sesuatu yang memang senantiasa ada pada setiap manusia (suku bangsa) sebagai makhluk pribadi, dan dalam masalah ini bersifat biasa. Namún demikian dengan adanya kesatuan asas kerokhanian yang kita miliki, maka perbedaan itu harus dibina ke arah suatu kerjasama dalam memperoleh kebahagiaan bersama. Dengan adanya kesamaan dan kesatuan asas kerokhanian dan kesatuan ideologi, maka perbedaan itu perlu diarahkan pada suatu persatuan. Maka di sinilah letak fungsi dan kedudukan asas, Pancasila sebagai asas kerokhanian, sebagai asas persatuan, kesatuan dan asas kerjasama bangsa Indonesia. Dalan masalah ini maka membina, membangkitkan, memperkuat dan mengembangkan persatuan dalam suatu pertalian kebangsaan menjadi sangat penting artinya, sehingga persatuan dan kesatuan tidak hanya bersifat statis namun harus bersifat dinamis. Perbedaan adalah merupakan bawaan dari manusia sebagai makhluk pribadi. Namun demikian bahwa sifat manusia adalah sebagai individu dan makhluk sosial dan kedua sifat kodrat manusia tersebut harus senantiasa ada dalam keseimbangan yang serasi dan harmonis yang harus dilaksanakan penjelmaannya dalam hidup bersama yaitu dalam sustu negara Indonesia. Hal inilah yang sering disebut sebagai asas kekeluargaan (gotong-royong). Maka perbedaan-perbedaan itu tidaklah mempengaruhi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, karena memiliki daya penarik ke arah kerjasama yang saling dapat diketemukan dalam si perbedaan dan sintesis yang memperkaya masyarakat sebagai suatu bangsa. Maka bagi bangsa Indonesia dalam filsafat yang merupakan asas kerokhanian Pancasila, merupakan asas pemersatu dan asas hidup bersama. Dalam masalah ini Pancasila dalam kenyataan objektifnya sebagai suatu persatuan dan kesatuan yang telah ditentukan bersama setelah Proklamasi sebagai dasar filsafat negara. H. Pancasila Sebagai Jatidiri Bangsa Indonesia Proses terjadinya Pancasila tidak seperti ideologi-ideologi lainnya yang hanya merupakan hasil pemikiran seseorang saja namun melalui suatu proses kausalitas yaitu sebelumnya disahkan menjadi dasar negara nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sebagai Pandangan hidup Bangsa, dan sekaligus sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. Dalam pengertian inilah maka bangsa indonesia sebagai kausa materialis dari Pancasila. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia yang menimbulkan tekad bagi dirinya untuk mewujudkannya dalam sikap tingkah laku dan perbuatannya. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu merupakan motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya. Dari pandangan hidup inilah maka dapat diketahui cita-cita yang ingin dicapai bangsa, gagasan- gagasan kejiwaan apakah yang hendak diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa Indonesia nilai-nilai Pancasila itu telah tercermin dalam khasanah adat-istiadat, kebudayaan serta kehidupan keagamaannya. Ketika para pendiri negara Indonesia menyiapkan berdirinya negara Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental 'di atas dasar apakah negara Indonesia merdeka didirikan?'. Dengan jawaban yang mengandung makna hidup bagi bangsa Indonesia sendiri yang merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini di hayati kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan bangsa sejak lahir. Nilai-nilai itu sebagai buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka menciptakan tata nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan kerokhanian bangsa yang memberi corak, watak dan ciri masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan masyarakat atau bangsa lain. Kenyataan yang demikian ini merupakan suatu kenyataan objektif, yang merupakan jati diri bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala merupakan bangsa yang religius dalam pengertian bangsa yang percaya terhadap Tuhan penciptanya. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai kepercayaan dan agama yang ada di Indonesia. Bukti-bukti sejarah yang menunjukkan manifestasi bangsa Indonesia atas kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa antara lain kira-kira tahur 2000 S.M. di Zaman Neoliticum dan Megaliticum antara lain berupa "Menhir" yaitu sejenis tiang atau tugu dari batu, kubur batu, punden berundak-undak yang diketemukan di Pasemah di pegunungan antara wilayah Palembang da Jambi, di daerah Besuki Jawa Timur, Cepu, Cirebon, Bali dan Sulawesi. Menhir yang berupa tiang batu yang didirikan di tengah-tengah tersebut pada prinsipnya merupakan ungkapan manusia atas Dhat yang tertinggi, Hyang Tunggal artinya yang maha esa yaitu Tuhan. Selain itu ungkapan atas pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tercermin antara lain Tuh (Kalimantan), Sang Hyang (Jawa), Ompu Debata atau Debata Malajadi nasional Bolon (Batak), To Lotang (Bugis), Gae Dewa (Ngada). Selain ungkapan-ungkapan yang menggambarkan akan hubungan antara manusia dengan Dhat yang Maha Kuasa antara lain bahwa orang yang meninggal dunia itu disebut berpulang atau kembali kepada Sang Penciptanya. Bangsa Indonesia dalam struktur kehidupan sosialnya, eksistensi (kebe- radaan) setiap manusia sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial diakui dihargai dan dihormati. Dalam kaitannya dengan hakikat sila kedua 'kemanusiaan yang adil dan beradab' nilai-nilainya tercermin dalam sikap tolong menolong, menghormati manusia lain bersikap adil dan men- junjung tinggi kejujuran dan sebagainya. "Apa yang dilakukan oleh manusia Indonesia itu tidak hanya untuk kepentingannya sendiri melainkan juga demi kepentingan manusia lain dan masyarakat dan pengabdiannya kepada Tuhan yang Maha Esa. Hak-hak asasi manusia dihormati dan dijunjung tinggi yang antara lain tercermin dalam ungkapan 'sedumuk bathuk senyari bumi'. Kesemuanya itu sebagai ungkapan cita-cita kemanusiaan dalam masyarakat darn bangsa Indonesia. Selain itu juga terdapat cita- cita terwujudnya hubungan yang harmonis dan serasi antara manusia dengan dirinya sendiri, antara manusia dengan sang Penciptanya yaitu Tuhan yang Maha Esa. Keselarasan dan keharmonisan tersebut sebagai makna dari ungkapan keadilan dan kebenaran manusia sebagainama terkandung dalam sila kedua Pancasila. Cita-cita dan kesatuan tercermin dalam berbagai ungkapan dalam bahasa- bahasa daerah di seluruh nusantara sebagai budaya bangsa, seperti pengertian- pengertian atau ungkapän-ungkapan 'tanah air sebagai ekspresi pengertian persatuan antara tanah dan air, kesatuan wilayah yang terdiri atas pulau-pulau, lautan dan udara: 'tanah tumpah darah' yang mengungkapkan persatuan antara manusia dan alam sekitarnya, kesatuan antara orang dan bumi tempat tinggainya ‘Bhinneka tunggal ika' yang mengungkapkan cita-cita kemanusiaan dan persatuan sekaligus. Perwujudan dari cita-cita persatuan kesatuan ini dalam sejarah bangsa Indonesia juga terungkap bahwa sejarah mencatat adanya kerajaan yang dapat digolongkan bersifat nasional' yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Semangat 'gotong-royong', 'siadapari', 'masohi', 'sanbatan' gugur gunung' dan sebagainya, mengungkapkan cita-cita kerakyatan, kebersamaan dan solidaritas sosial. Berdasarkan semangat gotong royong dan asas kekeluargaan, negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar atau bagian yang tetkuat dalam masyarakat, baik politik, ekonomis, maupun sosio-kultural. Negara menempatkan diri di atas golongan dan bagian masyarakat, dan mempersatukan diri dengan seluruh lapisan masyarakat. Rakyat tidak untuk negara, tetapi negara adalah untuk rakyat, sebab pengambilan keputusan selalu digunakan asas musyawarah untuk mufakat, seperti yang dilakukan dalam 'rembug desa, kerapatan nagari', 'kuria', 'wanua, banua, mua. Selanjutnya struktur kejiwaan bangsa Indonesia mengakui, menghormati serta menjunjung tinggi hak dan kewajiban tiap manusia, tiap golongan tiap bagian masyarakat, Sebaliknya, setiap anggota masyarakat, setiap golongan dan setiap bagian sadar akan kedudukannya sebagai bagian organik dari masyarakat seluruhnya, dan oleh karena itu wajib meneguhkan kehidupan yang harmonis antara semua bagian. Hubungan antara hak, kewajiban serta kedudukan yang seimbang itu merupakan cita-cita keadilan sosial. Ide tentang keadilan sosial ini bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Cita-cita akan masyarakat yang 'gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja suatu keyakinan yang ada dalam masyarakat (terutama Jawa), yang menyatakan bahwa masyarakat adil dan makmur akan terwujud dengan datangnya Ratu Adil, dapat membuktikan adanya cita-cita keadilan sosial tersebut. Dengan berpangkal tolak dari struktur sosial dan struktur kerohanian asli bangsa Indonesia, serta diilihami oleh ide-ide besar dunia, maka para pendiri negara kita yang terhimpun dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) dan terutama dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memurnikan dan memadatkan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini dan dihayati kebenarannya oleh bangsa Indonesia menjadi Pancasila yang rumusannya seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Dalam hubungan seperti inilah maka Pancasila yang kausa materialisnya bersumber pada nilai-nilai budaya bangsa ini, meminjam istilah Margareth Mead, Ralp Linton, dan Abraham Kardiner dalam Anthropology to Day, disebut sebagai National Character. Selanjutnya Linton lebih condong dengan istilah Peoples Character, atau dalam suatu negara disebut sebagai National Identity (Kroeber, 1954; Ismaun, 1981: 7), atau menurut istilah populer disebut sebagai 'Jatidiri' bangsa Indonesia.