Anda di halaman 1dari 32

BAB V

KEDUDUKAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI


DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA (SUATU TINJAUAN
KAUSALITAS)
A. Pengantar
Terdapat berbagai macam pengertian kedudukan dan fungsi Pancasila yang
masing-masing harus dipahami sesuai dengan konteks kaualitasnya, da- larn
pengertian proses terbentuknya Pancasila secara kausalitas. Misalnya Pan- casla
sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, sebagai Dasar Filsafat Negara Republik
Indonesia, sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan masih banyak
kedudukan dan fungsi Pancasila lainnya. Seluruh kedu- dukar dan fungsi Pancasila
itu bukanlah berdiri secara sendiri-sendiri namun bilamana kita kelompokkan maka
akan kali pada dua kedudukan dan fungsi pokok Pancasila yaitu sebagai Dasar
Filsafat Negara dan sebagai Pan- dangan Hidup Bangsa Indonesia. Sebelum Pancasila
dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar Filsafat Ne- gara nilai-nilainya telah ada
pada Bangsa Indonesia yang merupakan pan- dangan hidup yaitu berupa nilai-nilai
adat-istiadat dan kebudayaan, serta sebagai kausa materialis Pancasila. Dalam
pengertian inilah maka antara Pan- casila dengan bangsa Indonesia tidak dapat
dipisahkan sehingga Pancasila sebagai Jatidiri Bangsa Indonesia. Setelah bangsa
Indonesia mendirikan nega- ra, maka oleh pembentuk Negara Pancasila disahkan
menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu bangsa dan negara
Indonesia memiliki cita-cita yang dianggap paling sesuai dan benar sehingga segala
cita-cita, ga- gasan-gagasan, ide-ide tertuang dalam Pancasila maka dalam pengertian
inilah Pancasila berkedudukan sebagai ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan
sekaligus sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan bangsa dan Negara Indonesia.
Dengan demikian Pancasila sebagai dasar filsafat nogara, secara objektif di- angkat
dari pandangan hidup yang sekaligus juga sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia
yang telah ada dalam sejarah bangsa sendiri. Jadi jikalau disimpul- kan berbagai
kedudukan dan fungsi Pancasila tersebut, di antara satu dan lain- aya dala hubungan
kausalitas. B. Pancasila sebagai Budaya Bangsa Indonesia.
B. Pancasila sebagai Budaya Bangsa Indonesia
Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan gara Indone- sia,
bukan terbentnk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh sese- orang
sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia, namun terbentuknya
Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam
proses terjadinya Pancasila dirumuskan oleh para pendiri Negara Indonesia (The
Founding Fahers) dengan menggali nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia, dan
disintesiskan dengan pemkiran-pemikiran besar dunia. Nilai-nilai terdapat dalam
budaya Bangsa Indonesia sebelum mendirikan Negara. Untuk lebih memperjelas
pengertian nilai-nilai Pancasila sebagai nilai budaya yang dimiliki Bangsa Indonesia,
maka dipandang sangat penting untuk dijelaskan pengetian kebudayaan. Para pakar
antropologi budaya Indonesia lazimnya sepakat bahwa kata kebudayaan' berasal dari
bahasa Sansekerta buddhayah. Kata buddhuyah adalah bentuk jamak dari kata buddhi
yang berarti 'budi daya' yang berarti daya dari budi' sehingga dibedakan antara
'budaya' yang berarti 'daya dari budi' yang berupa cipta, rasa dan karsa, dengan
'kebudayaan' yang berarti ha- sil dari cipta, rasa dan karsa manusia (Koentjaraningrat,
1980; Sulaiman, 1995: 12), sehingga secara luas dapat diambil pengertian bahwa
'kebudayaan adalah segala hal yang dihasilkan oleh manusia sebagai makhluk Tuhan
yang berakal Jikalau dilihat dari wujud hasil kebudayaan manusia, maka dapat berupa
suatu kompleks gagasan, ide-ide, dan pikiran manusia, yang dalam hal ini bersifat
abstrak. Hasil kebudayaan manusia ini imerupakan suatu nilai, yang hanya dapat
dipahami, dihayati dan dimengerti oleh manusia. Misainya penge- tahuan, ideologi,
etika, estetika (keindahan), hasil pikiran manusia (seperti lo- gika, materhatika,
aritmetika, geometrika), norma, kaidah dan lain sebagainya. Dalam hubungannya
dengan hilai-nilai agama, kebudayaan yang berupa nilai ini juga berasal dari nilai-
nilai keagamaan, karena agama merupakan pandang- an hidup manusia dan
merupakan suatu pedoman hidup manusia. Dalam pe ngertian inilah maka dalam
Pancasila selain terdapat nilai kemani siaun juga terdapat nilai keagamaan. Selain itu
wujud kebudayaan manusia yang bersifat kongkret yaitu be rupa aktivitas manusia
dalam masyarakat, saling berinteraksi, schingga terwu- judlah suatu sistem sosial.
Manusia adalah makhluk sosial selain sebagai individu, oleh karena itu ia senantiasa,
membutuhkan orang lain dalam masya rakat. Sistem sosial ini tidak dapat dilepaskan
dengan tatanan nilai sebagai su- atu dasar dan pedoman. Oleh karena itu pola-pola
aktivitas manusia ditentu- kan oleh tata tilai yang merupakan hasil budaya abstrak
manusia. Jikalau sua- tu tatanan sosial yang bersumber pada suatu sistem nilai dan
sistem nilai itu bersumber pada nilai-nilai agama, make suatu keniscayaaun bahwa
daiam suatu sistem masyarakat, suatu fenomena sosial budaya akan terkandung di
dalam- nya suatu nilai keagamaan, nilai kemanusiaan dan nilai kebersamaan. Wujud
budaya kongkret lainnya adalah bentuk-bentuk budaya fisik yang dihasilkan oleh
manusia. Wujud budaya ini juga sering disebut sebagai benda-benda budaya. Dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk yang ber budaya senantiasa berinteraksi dengan
manusia lain dalam masyarakat. Dalam hubungan ini manusia senantiasa
membutuhkan sarana fisik untuk mencapai tujuannya. Benda-benda budaya tersebut
baik berupa sarana atau alat-alat da- lam kehidupan masyarakat, maupun sebagai
hasil ekspresi'dan kreasi manusia. Benda-benda budaya ini baik berupa benda-benda
bergerak, seperti kendaraan, uiesin, serta hasil teknologi lainnya maupun benda-
benda yang tidak bergerak seperti, bengunan, tempat ibadah, sarana ibadah, pakaian,
candi, gapura, sim- bol, mata uang dan lain sebagainya. Hasil budaya manusia yang
berupa benda-benda budaya atau budaya isik ini senantiasa bersumber pada
kebudayaan manusia yang berupa sistem uiai, yang merupakan pedoman dan
pandangan hidup suatu masyarakat. Jika lau nilai-nilai tersebut sebagian besar berasal
dari nilai-nilai keagamaan, maka sudah dapat dipastikan bahwa dalam karya budaya
yang berupa benda-benda budaya tersebut senantiasa terkandung nilai-nilai
keagamaan, nilai kemanu siaan dan nilai kebersamaan. Misalnya bangunan, tempat
ibadah, gapura atau menara, peninggalan bertulis, karya pustaka, karya seni, bahasá,
pakaian serta benda budaya lainnya. Jikalau kita pahami secara sistematik wujud
sistem sosial-kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu
(1) sistem nilai
(2) sistem social
(3) Wujud fisik baik dalam kebudayaan maupun kehidupan masyarakat.
Dalam hubungan ini Pancasila merupakan core values sistem sosial-kebu-
dayaan masyarakat Indonesia, yaitu merupakan suatu esensi nilai kehidupan sosial-
kebudayaan yang multikultural. Secara kausalitas Pancasila sebelum disahkan
menjadi dasar filsafat negara nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa
Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai
religius. Kemudian para pendiri negara Indonesia mengangkat nilai- nilai tersebut
dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain
dalam sidang-sidang BPUPK pertama, sidang Panitia Sembilan yang kemudian
nenghasilkah Piagam Jakarta yang memuat Panca- sila yang pertama kali, kemudian
dibahas lagi dalam sidang BPUPK kedua. Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum
sidang resmi PPKI Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara dibahas serta
disempurnakan kembali dan akhirmya pada tangga! 18 Agustus 1945 disahkan oleh
PPKI sebagai dasar filsafat ne- gara Republik Indonesia. Oleh karena itu agar
memiliki pengetahuan yang lengkap tentang proses terjadinya Pancasila, maka secara
ilmiah harus ditinjau berdasarkan proses kausalitas. Maka secara kausalitas asal mula
Pancasila dibedakan atas dua ma- cam yaitu: asal mula yang langsung dan asal mula
yang tidak langsung. Ada- pun pengertian asal mula tersebut adalah sebagai berikut.
1. Asal Mula yang Langsung
Pengertian asal mula secara ilmiah filsafat dibedakan atas empat macam yaitu:
Kausa Materialis, Kausa Formalis, Kausa Eficient dan Kausa Finalis (Notonagoro,
1975)(Bagus, 1996: 158). Teori kausalitas ini dikembangkn oleh Aristoteles, adapun
berkaitan dengan asal mula yang langsung tentang Pancasila adalah asal mula yang
langsung terjadinya Pancasila sebagai dasar filsafat negara yaitu asal mula yang
sesudah dan menjelang Proklamasi Ke- merdekaan yaitu sejak dirumuskan oleh para
pendiri negara sejak sidang BPUPK pertama, Panitia Sembilan, sidang BPUPK kedua
serta sidang PPKI sampai pengesahannya. Adapun rincian asal mula langsung
Pancasila tersebut menurut Notonagoro adalah sebagai berikut
Asal mula bahan (Kausa Materialis). Bangsa Indonesia adalah sebagai asal
dari nilai-nilai Pancasila, sehingga Pancasila itu pada hakikatnya nilai-nilai yang
merupakan unsur-unsur Pancasila digali dari bangsa Indonesia yang be- rupa nilai-
nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan
sehari-hari bangsa Indonesia. Dengan detnikian asal bahan Pancasila adalah pada
bangsa Indonesia sendiri yang terdapat dalam kepriba- dian dan pandangan hidup
bangsa Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasiia sebagai local wisdom
bangsa Indonesia.
Asal mula beentuk (Kausa Formalis). Hal ini dimaksudkan bagaimans asal
mula bentuk atau bagaimana bentuk Pancasila itu dirumuskan sebagaiimana termuat
dalam Pembukaan UUD 1945. Maka asal mula bentuk Pancasila ada- lah Ir.
Soekarno bersama-sama Drs. Moh. Hatta serta anggot: BPUPK lainunya sebagai
pembentuk Negara merumuskan dan membahas Pancasila terutama daiam hal bentuk,
runusan serta nama Pancasila.
Asal mula karya Kausa Efisien). Kausa effisien atau asal mula karya yaitu
asal nula yang menjadikan Pancasila dari calon dasar negara menjadi dasar negara
yang sah. Adapun asal mula karya adalah PPKI sebagai pembentuk negara dan atas
kuasa pembentuk negara yang menge di dasar Negara yang. sah, setelah dilakukan
pes:bahasan baik dalam sidang- sahkan Pancasila menjadi di dasar negara yang sah,
setelah dilakukan pembahasan baik dalam sidang BPUPK, panitia Sembilan.
Asal mula tujuan (Kausa Paalig). Pancasila dirumuskan dan dibakas dalam
sidang-sidang para pendizi negara, tujuannya adalah untuk dijadikan sebagai dasar
negara, oleh karena itu asal mula tujuan tersebut adalah para anggota BPUPKI dan
Panitia Sembilan termasuk Soekarno dan Hatta yang menentu- kan tujuan
dirumuskannya Pancasila sebelum ditetapkan oleh PPKi sebagai dasar negara yang
sah. Demikian pula para pendiri negara tersebut juga ber- fungsi sebagai kausa
relasional karena yang merumuskan dasar filsafat negara. ru ba pe
2. Asal Mula yang Tidak Langsung.
Secara kausalitas asal mula yang tidak langsung Pancasila adalah asal mula
sebelum proklamasi kemerdekaan. Berarti bahwa asal mula nilai-nilai Fancasila yang
terdapat dalam adat-istiadat, dalam kebudayaan serta dalam nilai-nilai agama bangsa
Indonesia, sehingga dengan demikian asal mula tidak langsung Pancasila adalah
terdapat pada kepribadian serta dalam pandangan bidub sehari-hari bangsa Indonesia.
Maka asal mula tidak langsung Pancasila St bilamana dirinci adalah sebagai berikut:
(1). Unsur-unsur Pancasila tersebut sebelum secara langsung dirumuskan menjadi
dasar filsafat negara, nilai-nilainya yaitu nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan teiah ada dan tercermin dalam
kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara.
(2) Nilai-nilai tersebut terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indo- nesia
sebelum membentuk negara, yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, nilai kebudayaan
serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut menjadi pe- doman dalam memecahkan
problema kehidupan sehari-hari bangsa Indo- nesia.
(3) Dengan demikian dapąt disimpulkan bahwa asal mula tidak langsung Pan- casila
pada hakikatnya bangsa Indonesia sendiri, atau dengan lain perka taan bangsa
Indonesia sebagai Kausa Materialis' atau sebagai asal mula tidak langsung nilai-nilai
Pancasila. . Demikianlah tinjauan pancasila dari segi kausalitas, sehingga membe-
rikan dasar-dasar ilmiah bahwa Pancasila itu pada hakikatnya adalah sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia, yang jauh sebelum bangsa Indonesia membentuk
negara nilai-nilai tersebut telah tercermin dan teramalkan dalam kehidupan sehari ti
secara ilmiah bahwa Pancasila bukan merupakan hasil perenungan atau pe- -hari.
Selain itu tinjauan kausalitas tersebut memberikan bukti secara ilmiah bahwa
pancasila bukan merupakan hasil perenungan atau pemikiran seseorang, atau
sekelompok orang bahkan Pancasila juga bukan me- rupakan hasil sintesis paham-
paham besar dunia saja, melainkan nilai-nilai Pancasila secara tidak langsung telah
terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia.
3. Bangsa Indonesia ber-Pancasila dalam Tiga Asas.
Berdasarkan tinjauan Pancasila secara kausalitas tersebut di atas maka memberikan
pemahaman perspektif pada kita bahwa proses terbentuknya Pancasila melalui suatu
proses yang cukup panjang dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Dengan demikian
kita mendapatkan suatu kesatuan pernahaman bahwa Pancasila sebelum di- sahkan
oleh PPKI sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia secara yuridis, da- lam
kenyataannya unsur-unsur Pancasila telah ada pada bangsa Indonesia te lah melekat
pada bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari berupa nilai adat-istiadat, nilai-
nilai kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai terse but yang kemudian
diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara diolah dibahas yang kemudian
disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 Berdasarkan pengertian tersebut
maka pada hakikatnya bangsa Indonesia ber- Pancasila dalam tiga asas atau Tri
Prakara' (menurut istilah Notona yang rinciannya adalah sebagai berikut:
Pertama : Bahwa unsur-unsur Pancasila sebelum disahkan secara yuridis
menjadi dasar filsafat Negara, sudah dimiliki oleh bangsa Indo- nesia sebagai asas-
asas dalam adat-istiadat dan kebudayaan da lam arti luas (Pancasila Asas
kebudayaan),
Kedua : Demikian juga unsur-unsur Pancasila telah terdapat pada bang sa
Indonesia sebagai asas-asas dalam agama-agama (nilai-nilai religius) (Pancasila Asas
Religius)
Ketiga : Unsur-unsur tadi kemudian diolah, dibahas dan dirumuskan se cara
saksama oleh para pendiri negara dalam sidang-sidang PPUPK, Panitia Sembilan'.
Setelai bangsa indonesia oi dea rumusan Pancasila calon dasar negara tersebut
kenudian disah- kan oleh PPKI sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia dan
terwujudlah Pancasila sebagai asas kenegaraan (Pancasila asas kenegaraan).
Oleh karena itu Pancasila yang terwujud dalam tiga asas tersebut atau Tri
Prakara' yaitu Pancasila asas kebudayaan, Pancasila asas religius, serta Pancasila
sebagai asas kenegaraan dalam kenyataannya tidak depat diperten- a ketiganya
terjalin dalam suatu proses kausalitas, sehingga ke- tiga hal tersebut pada hakikatnya
merupakan unsur-unsur yang membentuk Pancasila (Notonagoro; 1975: 16,17.
Berdasarkan pengertian tersobut maka ketiga asas yang terkandurg calam Pancasila
yaitu asas kultural, asas religius dan asas kenegaraań, bukan merupakan suatu entitas
nilai yang berdiri sendini sendiri, melainkan dalam satu hubungan yang bersifat
koheren, yaitu hu an kausalitas.
C. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pancasila sebagai objek pembahasan ilmiah memiliki ruang lingkup yang
sangat luns terutama berkaitan dengan kedudukan dan fungsi Pancasila Setiap
kedudukan dan fungsi Pancasila pada hakikatnya memiliki makna serta dimensi
masing-masing yang konsekuensinya aktualisasinyanun juga memi- liki aspek ynng
berbeda-beda, walaupun hakikat dan sumbe.aya sama. Panca- sila sebagai dasar
negara memiliki pengertian yang berbeda dengan fungsi Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia, demikian pula berkaitan dengan kedudukan dan fungsi
Pancasila yang lainnya. Dari berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila
sebagai titik sentral pembahasan adalah kedudukan dan fungsi pancasila sebagai
dasar Negara Republik Indonesia, hal ini sesuai dengan kausa finalis Pancasila yang
dirumuskan oleh pembentuk negara pada hakikatnya adalah sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Namun hendaklah dipahami bahwa asal mula Pancasila sebagai
dasar negara Republik Indonesia, adalah digali dari unsur- unsur yang berupa nilai-
nilai yang terdapat pada bangsa Indonesia sendiri yang berupa pandangan hidup
bangsa Indonesia. Oleh karena itu dari berbagai macam kedudukan dan fungsi
Pancasila sebenarnya dapat dikembalikan pada dua macam kedudukan dan fungsi
Pancasila yang pokok yaitu sebagai Dasar Negara Republik Indonesia dan sebagai
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Namun yang terpenting bagi kajian ilmiah
adalah bagaimana hubungan secara kausalitas di antara kedudukan dan fungsi
Pancasila yang bermacam- macam tersebut. Oleh karena itu kedudukan dan fungsi
Pancasila dapat dipa hami melalui uraian berikut. Manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa, dalam per juangan untuk mencapai kehidupan yang lebih
sempurna, senantiasa memer- lukan nilai-nilai luhur yang dijunjungnya sebagai suatu
pandangan hidup. Ni- lai-nilai luhur adalah merupakan suatu tolok ukur kebaikan
yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mendasar dan abadi dalam hidup
manusia, seperti cita-cita yang hendak dicapainya dalam hidup manusia, Pandangan
hidup yang terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah suatu
wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup
berfungsi sebagai kerangka acuan bail: atuk menata kehidupan diri pribadi maupun
dalam interaksi antar manusia dalam masya- rakat serta alam sekitamya. Sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial manusia tidaklah mung- kin memenuhi segała
kebutuhannya sendiri, oleh karena itu untuk mengem- bangkan potensi
kemanusiaannya, ia senantiasa memerlukan orang lain. Da- lam pengertian inilah
maka manusia senantiasa hidup sebagai bagian dari lingkungan sosial yang lebih luas,
secara berturut-turut lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan bangsa
dan lingkungan negara yang meru pakan lembaga-lembaga masyarakat utama yang
diharapkan dapat menya lurkan dan mewujudkan pandangan hidupnya. Dengan
demikian dalam kehi dupan bersama dalam suatu negara membutuhkan suatu tekad
kebersamaan, cita-cita yang ingin dicapainya yang bersumber pada pandangan
hidupnya tersebut. Dalam pengertian inilah maka proses perumusan pandangan hidup
ma syarakat dituangkan dan dilembagakan menjadi pandangan hidup bangsa dan
selanjutnya pandangan hidup bangsa dituangkan dan dilembagakan menjadi
pandangan hidup negara. Pandangan hidup bangsa dapat disebut sebagai eologi
bangsa (nasional), dan pandangan hidup negara dapat disebut sebagai ideologi
hegara. Dalam proses penjabaran dalam kehidupan modern antara pandangan hidup
masyarakat dengan pandangan hidup bangsa memiliki hubungan yang bersifat timbal
balik. Pandangan hidup bangsa diproyeksikan kembali kepada pandangan hidup
masyarakat serta tercermin dalam sikap hidup pribadi war- ganya. Dengan demikian
dalam negara Pancasila pandangan hidup masyarakart tercermin dalam kehidupan
negare yaitu Pemerintah terikat oleh kewajiban konstitusional, yaitu kewajiban
Pemerintah dan lain-lain penyelenggare negara untuk memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur
(Darmodihardjo, 1996: 35). Transformasi pandangan hidup masyarakat menjadi
pandangan hid bangsa dan akbirnya menjadi dasar negara juga terjadi pada
pandangan hidup Pancasila. Pancasila sebéelum dirumuskan menjadi dasar negara
serta ideologi negara, nilai-nilainya telah terdapat pada bangsa Indonesia dalam adat-
istiadat, dalam budaya serta dalam agama-agama sebagai pandangan hidup
masyarakat Indonesia. Pandangan yang ada pada masyarakat Indonesia tersebut
kemudian menjelma menjadi pandangan hidup bangsa yang telah terintis sejak zaman
Sriwijaya, Majapahit kemudian Sumpah Pemuda 1928, Kemudian diangkat dan
dirurmuskan oleh para pendiri negara dalam sidang-sidang BPUPK, Pani- tia
"Sembilan", serta sidang PPKI kemudian ditentukan dan disepakati sebagai dasar
Negara Republik Indonesia, dan dalam pengertian inilah maka Pancasila sebagai
Pandangan Hidup Negara dan sekaligus sebagai Ideologi Negara. Bangsa Indonesia
dalam hidup bernegara telah memiliki suatu pandang an hidup bersama yang
bersumber pada akar budayanya dan nilai-nilai reli- giusnya. Dengan pandangan
hidup yang mantap maka bangsa Indonesia akan mengetahui ke arah mana tujtian
yang ingin dicapainya. Dengan suatu pan- dangan hidup yang diyąkininya bangsa
Indonesia akan mampu memandang dan memecahkan segala persoalan yang
dihadapinya secara tepat sehingga tidalk terombapg-ambing dalam inenghadapi
persoalan tersebut dengan suatu pandangan hidup yang jelas maka bangsa Indonesia
akan memiliki pegangan dan pedomary bagaimana mengenal dan memecahkan
berbagai masalah poli- ik osisl hudaya, ekonomi, hukum, hankam dan persoalan
lainnya dalam gerak masyarakat yang semakin maju. Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa tersebut terkandung di da- iamaya konsepsi dasar mengenai kehidupan
yang dicita-citakan, terkandung dasar pikiran terdalain dan gagasan mengenai wujud
kehidupan yang dianggap baik. Oleh karena Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yahg hidup dalam masyarakat
Indonesia, maka pan- dangan hidup tersebut dijunjung tinggi oleh warganya karena
pandangan hidup Pancasila berakar padá.budaya dan pandangan hidup masyarakat.
Dengan demikian pandangan hidup Pancasila bagi bangsa Indonesia yang Bhin- neka
Tunggal Ika tersebut harus merupakan asas pemersatu bangsa sehingga tidak boleh
mematikan keanekaragaman Sebagai inti sari dari nilai budaya masyarakat Indonesia,
maka Pancasila merupakan cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman dan
kekuatan rohaniah bagi bangsa untuk borperilaku luhur dalam kehidupan sehari
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bemegara.

D. Pancasíla Sebagai Filsafat Bangsa dan Negara Indonesia


Negara modern yang melakukan pembaharuan dalam menegakkan de-
mokrasi niscaya mengembangkan prinsip konstitusionalisme. Menurut Ftie- derich,
negara modern yang melakukan proses pembaharuan demokrasi, prin- sip
konstitusionalisme adalah yang sangat efektif, terutama dalam rangka me- ngatur dan
membatasi pemerintahari negara melalui undang-undang. Basis po- kok adalah
kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara ma- yoritas rakyat,
méngenai bangunan yang diidealkan berkenaan d (Assiddiqie, 2005: 25). Organisasi
negara itu dipeciukan oleh warga masya dengan negara. Organisasi negara itu di
perlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat
dilindungi atau dipromo- sikan melalui pembentukan dan penggunaan melkanisme
yang disebut negara. Dalam hubungan ini sekali lagi kata kuncinya adalah consensus
atau general agreement.
Bagi bangsa Indonesia consensus itu terjadi tatkala disepakatinya Pia- gam
Jakarta 22 Juni 1945 (Endang S. Anshori). Jika kesepakatan itu runtulh, maka runtuh
pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada lirannya akan terjadi
suatu perang sipil (civil war), atau dapat juga suatu revolusi. Hal ini misalnya pernah
terjadi pada tiga peristiwa besar dalam se- jarah umat manusia, yaitu revolusi
Perancis tahun 1789, di Amerika pada ta- hun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917,
(Andrews, 1968: 12), adapun di Indonesia terjadi pada tahun 1965 dan 1998 yaitu
gerakan reformasi (Assid- diqie, 2005: 25).
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme negara modern pada
proses reformasi untuk mewujudkan demokrasi, pada umumnya bersan- dar pada tiga
elemen kesepakatan (consensus), yaitu: (1) Kesepakatan tentang juan dan cita-cita
bersama (the general goal of society or general accep- tance of the same philosophy
of government). (2) Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government). (3)
Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form
of institutions and procedures). (Andrews, 1968: 12).
Kesepakatan pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat me-
nentukan tegaknya koństitusi di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang
pada puncak abstraksinya memungkinkan untulk mencerminkan kese- maan-
kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya
harus hidup ditengah-tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, dalam
kesepakatan untuk menjamin kebersamaan dalam ke- rangka kehiduprai bernegara,
diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga
disebut sebagai filsafat kenegaraan atau aatsidee (cita negara), yang berfungsi sebagai
philosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama
warga masyarakat Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar filsafat dalam kehidupan
ber- sama itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai core philosophy negara Indone- t,
Seningga konsekuensinya merupakan esensi staatsfundamentalnorm bagi reformasi
konstitusionalisme. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam filsafat negara tersebut,
sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan cita-cita dalam konteks
kehidupan bernegara (Assiddiqie, 2005:26)
Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar filsafat dalam kehidupan ber- sama
itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai core philosophy negara Indone- sia, sehingga
konsekuensinya merupakan esensi staatsfundamentalnorm bagi reformasi
konstitusionalisme. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam filsafat negara terscbut,
sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan cita-cita negara, bailt dalam arti
tujuan prinsip konstitusioaalisme sobagai sunt hukum formal, maupun empat cita-cita
kenegaraan yang terkandung tumpah darah Indonesis, (2) memajukan (meningkatkan)
kesejahteraan u dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembukaan
UUD 1945, yaitu: () melindungi segenap bangsa dan selan (3) mencerdaskan
kehicupan bangsa, dan (4) ikut melaksauakan ketertiban dunia berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kesepakatan kedua, adalah suatu kesepakaten bahwa basis pemerintahan
didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan kedun ini juga ber sifat
dasariah, karena menyangkut dasar-dasar dalam kehidupan garaan negara. Hal ini
akan memberikan landasan bahwa dalarn segala hal yang dilakukan dalam
penyelenggaraan negara, harusiah didasarkan pada prinsip rule of the game. yang
ditentukan secara bersame, silah yang biasa digunakan uatuk prinsip ini adalah the
rule of law (Dicey, 1973). Dalam hubungan ini hukum dipandang sebagai suatu
kesatuan yang sistematis, yang di puncaknya terdapat suatu pengertian mengenai
hukum dasar, baik dalam arti naskah tertulis atau Undang-Undang Dasar, maupun
tidak tertulis atau convensi. Dalam pe-ngertian inilah maka dikenal istilah
constitutional state yang merupakan salah satu ciri negara demokrasi modern
(Muhtaj, 2005: 24)
Kesepakatan ketiga, adalah berkenaan dengan (1) bangunan organ negara dan
prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (2) hubungan-hubungan antar organ
negara itu satu sama lain, serta (3) hubungan antara organ-organ negara itu dengan
warga negara. Dengan adanya kesepakatan itulah maka isi konstitusi dapat dengan
mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan
dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak
dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state).
Kesepakatan-kesepakatan itulah yang diruauskan dalam dokumen konstitusi yang
diharapkan dijadikan pegangan hersama untuk kurun waktu yang cukup lama.
Namun demikian kesepakatan untuk mewujudkan suatu bangsa tersebut bagi
bangsa Indonesia terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, melalui suatu proses
sejarah. Setiap bangsa di dunia termasuk bangsa Indonesia senan- tiasa memiliki
suatu cita-cita serta pandangan hidup yang merupakan suatu basis nilai dalam setiap
pemecahan masalah yang dihadapi oleh bangsa tersebut. Bangsa yang hidup dalam
suatu kawasan negara bukan terjadi secara kebetulan melainkan melalui suatu
perkembangan kausalitas, dan hal ini menurut Ernest Renan dan Hans Khons sebagai
suatu proses sejarah terbenuknya suatu bangsa, sehingga unsur kesatuan atau
nasionalism mmatu bangsa ditentukan juga oleh sejarah terbentuknya bangsa
tersebut.
Secara historis Pancasila adalah merupakan suatu pandangan hidup bangsa
yang nilai-nilainya sudah ada sebelum secara yuridis bangsa Indonesia mem- bentuk
negara. Bangsa Indonesia secara historis ditakdirkan oleh Tuhan YME, berkembang
melalui suatu proses dan menemukan bentuknya sebagai suatu bangsa dengan jati-
dirinya sendiri. Menurut M. Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan Indonesia
terbentuk melalui tiga tahap yaitu: pertama, zaman gara Sriwijaya di bawah wangsa
Syailendra (sejak 600) yang bercirikan kedatuan, kedua negara kebangsaan zaman
Majapahit (1293-1525) yang bercirikan keprabuan. Kedua fase kebangsaan Indonesia
itu diistilahkan Yamin dengan kebangsaan Indonesia lama. Kemudian ketiga, negara
kebangsaan modern, yaitu negara Indonesia yang merdeka (sekarang negara
Proklamasi 17 Agustus 1945) (Sekretariàt Negara RI, 1995: 11),
Secara kultural dasar-dasar pemikiran tentang Pancasila dan nilai-nilai Pan-
casila berakar pada nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai religius yang dimilia oleh
bangsa Indonesia sendiri sebelum mendirikan negara (Notonagordo, 1975). Adapun
dalam proses pendirian negara, dengan diilhami pandangan- pandangan dunia tentang
kenegaraan disintesiskan secara eklektis, sehingga merupakan suatu local genius dan
sekaligus sebagai suatu local wisdom bang- sa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila
sebelum terbentuknya negara dan bangsa Indonesia pada dasarnya terdapat secara
sporadis dan fragmentaris dalam ke- budayaan bangsa yang tersebar di seluruh
kepulauan nusantara baik pada abad kedua puluh maupun sebelumnya, di mana
masyarakat Indonesia telah meada- patkan kcsempatan untuk berkomunikasi dan
berakulturasi dengan kebuda- yaan lain. Nilai-nilai tersebut melalui para pendiri
bangsa dan negara ini ke- mudian dikembangkan dan secara yuridis disahkan sebagai
suatu dasar negara, dan secara verbal tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 (Poespowardoyo, 1989: 5)
Nilai-nilai kebudayaan dan nilai religius yang telah ada pada bangsa
indonesia, kemudian dibahas dan dirumuskan oleh the founding fathers bang a
indonesia, yang kemudian disepakati dalam suatu konsensus sebagai dasar itdup
bersama dalam suatu negara Indonesia. Menurut Notonagoro nilai-nilai yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia merupakan suatu sebab bahan (kausa naderialis), adapun
BPUPKI kemudian juga PPKI adalah sebagai lembaga ag membentuk negara, yang
juga dengan sendirinya yang menentukan Pan- casila sebagai dasar negara Republik
Indonesia, disebut sebab bentuk (kausa formalis) (Notonagoro, 1975).
Dalam hubungan inilah men (1968: 12), bahwa tegakya suatu negara modern
harus dilandasi oleh konsensus yang tertuang dalarn suatu cita-cita serta tujuan
bersema tu landasan filosofis, the general goal o stciety or general accept same
philasophy of government (Kaelan, 2010). urut ance of the Dalam proses perumusan
tentang cita-cita bersama yaitu dasan negara Indonesia, diawali dengan dibentukaya
BPUPKI dan padaosOR capai suatu konsesnsus yang disebut dengan Piagam Jakarta
pada 2 1945, yang dikenal dalam sejarah rumusan sila pertarmanya bei buavi Jui
hanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi perneluke luknya'.
Kemudian pada sidang PPKI 18 Agustus dilakukan s tao lap, sehingga menjadi
Pancasila sebagaimana tercant um dalam Pesep koau Uadeng-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, mak Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara
merupakan suatu hasil philot phical consernsas (konsesnsus filsafat), karena
membahas dan menyepakath sustu dasar filsafat negara, dan polotical consensus
(konsensus politik) awalnya ter- -peme-

E. Pancasila sebagai Dasar Fisafat Negara (Philosofische Gromdslag)


Kedudukan pokok Pancasila adalah sebagai dasar filsafat Negara Re publik
Indonesia. Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang bu- nyinya sebagai
berikut: "maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepadà
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan keralyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujud-kan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia"
Pengertian kata ".... Dengan berdasarkan kepada hal ini secara yu- ridis
memiliki makna sebagai dasar negara. Walaupun dalam kalimat terakhir Pembukaan
UUD 1945 tidak tercantum kata 'Pancasila' secara eksplisit namun anak kalimat ".
dengan berdasarkan kepada.... .Ini memiliki makna dasar negara adalah Pancasila.
Hal ini didasarkan atas interpretasi historis sebagaimana ditentukan oleh BPUPK
bahwa dasar negara Indonesia itu disebut dengan istilah 'Pancasila'
Sebagaimana telah ditentukan oleh pembentukan negara bahwa tujuan utama
dirumuskannnya Pancasila adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Oleh
karena itu fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Hal ini sesuai dengan dasar yuridis sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD
1945, ketetapan No XX/MPRS/1966. Dijelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber
tertib hukum Indonesia yang pada hakikat- a hukum serta cita-cita moral yang
meliputi suasana kebatinan serta watak dari banges nesia. Selanjutnya dikatakannya
bahwa cita-cita tersebut adalah meliputi ita mengenai kemerdekaan individu,
kemerdekaan bangsa, perikemanu- siaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan
mondial, cita-cita politik men- genai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita-cita moral
mengenai kehidupan ke- dari budi nurani ma- ny adalah merupakan suatu pandangan
hidup, kesadaran dan cita-cita icita-c lmasyarakatan dan keagamaan sebagai
pengejawantahan manusia
Dalam proses reformasi dewasa ini MPR melalui Sidang Istimewa tahun
1998, mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik iIndonesia
yang tertuang dalam Tap. No. XVII/MPR/1998. Oleh karena itu segala agenda dalam
proses reformasi, yang meliputi berbagai bidang selain mendasarkan pada kenyataan
aspirasi rakyat (Sila IV) juga hanus mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Refonmasi tidak mungkin serta menyimpang dari nilai Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyaian sorta. keadilan, bahkan harus bersumber
kepadanya.
Bila mana kita rinci secara sistematis kedudukan Pancasila sebagai asas
kerokhanian negara dapat disusun secara bertingkat seluruh kehidupan negara sebagai
penjelmaan pancasila. Unzsur-unsur ini terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
alinea IV . Susunan tersebut menunjukkan bahwa Pancasila pada hakikatnya
merupakan dasar, atau basis filosofi bagi negara dan tertib hukum Indonesia. Hal itu
dapat di rinci sebagai berikut:
1. Pancasila merupakan dasar filsafat negara (asas kerokhanian negara) zt
pandangan hidup dan filsafat hidup.
2. Di atas basis (dasar) itu berdirilah negara Indonesia, dengan asas poli- tik
negara (kenegaraan) yaitu berupa Republik yang berkodamulatan rakyat.
3. Kedua-duanya menjadi basis penyelenggaraan Kemerdekaan kebang- saan
Indonesia, yaitu pelaksanaan dan penyelenggaraan negara seba- gaimana tercantum
dalam hukum positif Indonesia, terouat dalam Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia.
4. Selanjutnya di atas Undang-Undang Dasar (yaitu sebagai basis) maka
berdirilah bentuk susunan pemerintahan dan keseluruban peraturan hukum positif
yang lainnya, yang mencakup segenap bangsa Indonesia dalam suatu kesatuan hidup
bersama yang berasas kekluargaan.
5. Segala sesuatu yang disebutkan di atas adalah demi tercapainya suatu
tujuan bersama, yaitu tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara tersebut yaitu
kebahagiaan bersama, baik jasmaniah maupun rokhaniah, serta tuhaniah.
Dengan demikian seluruh aspek penyelenggaraan negara tersebut diliputi dan
dijelmakan oleh asas kerokhanian Pancasila, dan dalam pengertian initalh maka
kedudukan Pencasile sebagai asas kerokhanian dan dasar ilsafat negara Indonesia.
(Notonagoro, tanpa tahun: hal 32). Bilamana kita pahami hakikat negara adalah
merupakan suatu lembacn ke manusitn, lahir dan batin. Negara sebagai iembaga
kemenusiaan dalam hal hidup bersama baik menyangkut kehidupan lahir maupun
batin, yaitu bidan kehidupan manusia selengkapnya. Sehingga dengan dermikian
maka seluruh hidup kenegaraan kebangsaan Indonesia senantiasa diliputi oleh asas
kerokha- nian Pancasila. Maka seluruh kehidupan negara Indonesia yang berdasarkan
hukunu positif, terselenggara dalam hubungan kesatuan dengan hidup kejiwaan yang
realisasinya dalam bentuk penyesuaian kehidupan kenegaraan dengaa nilai-nilai
hidup kemanusiaan, yang tersimpulkan dalam asas kerokhanian Pancasila, yaitu
kebenaran dan kenyataan, keindahan kejiwaan, kebaikan atau kelayakan (kesusílaan),
kemanusiaan, hakikat manusia dan hidup manu- sia sebagai makhluk Tuhan.
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa Pembukaan UUD 1945 men-
gandung dasar, rangka dan suasana bagi negara Han tertib hukum Indonesia yang
pada hakikatnya tersimpul dalam asas kerokhanian Pancasila. Dengan demikian
konsekuensinya Pancasila asas yang mutlak bagi adanya tertib hu- kurm Indonesia,
yang pada akhimya harus direalisasikan dalam setiap aspek penyelenggaraan Negara.
Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari
segala sumber hukum Indonesia, atau dengan lain perkataan sebagai sum- ber tertib
hukum Indonesia yang tercantum dalam ketentuan tertib hukum ter tinggi yaitu
Pembukaan UUD 1945, kermudian dijelmakan lebih lanjut dalam pokok-pokok
pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Yang pada hakikatnya
perlu dikongkritisasikan (dijabarkan) dalam UUD 1945 (pa- sal-pasal UUD 1945)
serta hukum positif yang lainnya. Kedudukan Pancasila yang demikian ini dapat
dirinci sebagai berikut:
1. Pancasile adalah merupakan sumber darí segala sumber hukim (aum- ber
tertib hukum) Indonesia, Sehingga Pancasila merupakan asas ke-rokhanian tertib
hukum yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat
pokok pikiran.
2. Meliputi suasana kebatinan (geistlichenhintergrund) dari Undang-Undang
Dasar
3. Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara (baik hukum dasar
tertulis maupun tidak tertulis)
4. Mengandung, norma yang mengharuskan Undang-Undang Dasar Undang
Dasar dasar tertulis maupun tidak tertulis) mengandung isi yang mewajibkan
pemerintah dan lain-lain penye lenggara negara (termasuk pada penyelenggara partai
dan golongan fungsional) untuk memelihara budi pekerti (moral) kemanusiaan yang
luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagaimana
tersimpul dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya "Negara berdasarkan atas
Ketuhanan yang Maha Esa, me- nurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab"
5. Merupakan sumber semangat bagi UUD 1945, bagi para penyeleng- gara
negara, para pelaksana pemerintahan (Guga para penyelenggara partai dan golongan
fungsiónal). Hal ini dapat dipahami karena se- mangat adalah penting dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan ne- gara, karena masyarakat dan Negara Indonesia
selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan perubahan zaman serta dinamika
masya rakat. Dengan semangat yang bersumber pada asas kerokhanian ne- gara
sebagai pandangan hidup bangsa maka dinamika masyarakat dan negara akan tetap
diliputi dan diarahkan asas kerokhanian Pan casila.

F. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indoncsis Pengertian Ideologi.


Istilan ideologi berasal dari kata idea' yang berati ga- gasan, konsep, pengertian dasar,
cita-cita' dan "logos' yang berarti Hr Kata 'idea' berasal dari kata bahasa Yunani
'eidos' yang artinya 'hentut Di samping itu ada kata 'idein' yang artinya 'melihat' Maka
secara harfiah, ideo- logi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide (the science of
ideas), atau aja- ran tentang pengertian-pongertian dasar. Delam pengertian sehari-
hari, 'idea samnkan artinya dengan 'cita-cita'. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-cita
yang bersifat tetap, yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu
sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham. Memang pada hakikat- nya antara
dasar dan cita-cita itu sebenamya dapat merupakan satu kesatuan. Dasar ditetapkan
kerena ada cita-cita yang mau dicapai. Sebaliknya, cita-cita dietapkan berdasarkan
atas suatu landasan, asas atau dasar yang telah ditetap kan pula. Dengan demikian
idevlógi moucakup pengartian tentang idea-idea, pengertian dasar, gagasan-gagnsan
dan cita-cita. Apabila ditelusuri sovara istilah ide pertama kali di pakai dan dikeumi-
kakan oleh seorang Perancis, Destut de Tracy, pada tahun 1796, Seperti hal- nya
Leibnitz, de Tracy mempunyai cita-cita untuk meabangun stratu sistem pengetahuan.
Apabila Leibnitz menyebutkan impian-impiannya sebağai one great system of truth',
dimana tergabung segala cabang ilmu dan segala kebe- naran ilmu, maka de Tracy
menyebutkan 'ideologie', yaitu 'science of ideas suatu program yang diharapkan dapat
imembawa perubahan instiusional da- lam masyarakr: Perancis. Namun Napoieon
mencemoobkannya. subagai suatu khayalan belaka, yang tidak mempunyai arti
praktis. Hal semacam itu hanya irupiai belaka yang tidak akan menemukan kenyataan
(Pranara, 1985). Perhatisn kepada konsep ideologi menjadi berkembaug lagi antara
lain karena pengaruh Karl Marx. Ideologi menjadi voknbular penting di. dalam
pemikiran politik maupun ekonorni Karl Marx mengartikan ideologi sebagai
pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepontingan golongan atau keios
sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. Dalam arti ini, ideologi
menjadi bagian dari apa yang disebutnya Uberbau atau suprastruktur (bangunan atas)
yang didirikan di atas kekuatan-kekuatan yang memiliki fak tor-faktor produksi yang
menentukan coraknya dan karena itu mencerminkan uatu pola ekonomi tertentu, Oleh
karena itu kadar kebenarannya relatif, dan semata-mata hanya untuk golongan
tertentu. Dengan demikian maka ideologi lalu merupakan keseluruhan ide yang
relatif, karena itu mencerminkan,kekua tan lapisan tertentu. Seperti halnya filsafat,
ideologi pun metniliki pengertian yang berbeda- beda. Begitu pula dapat ditemukan
berbagai macam definisi, batasan pengar- tian tentang ideologi. Hal ini antara lain
disebabkan juga tergantung dari filsa- fat apa yang dianut, karena sesungguhnya
ideologi itu.bersumber kepada suatu filsafat.
Pengertian "Ideologi" secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan gagásan-
gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh
dan sistematis, yang menyangkut dan mengatur tingkah laku sekelompok manusia
tertentu dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini menyangkut
a. Bidang politik (termasuk di dalamnya bidang pertahanan dan keamanan)
b. Bidang sosial
c. Bidang kebudayaan
d. Bidang keagamaan (Soemargono, Ideologi Pancasila sebagai Penjelmaan Filsafat
Pancasila dan Pelaksanaannya dalam Masyarakat Kita Dewasa ini. Suatu makalah
diskusi dosen Fakultas Filsafat, hal 8).
Masalah ideologi Negara dalam arti cita-cita Negara atau cita-cita yang
menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan
Bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian yang antara
lain memiliki ciri sebagai berikut
a. Mempunyai derajad yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan.
b. Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan dunia, pandangan
hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan,
dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan
kesediaan berkorban (Notonagoro, Pancasila Yuridis Kenegaraan, tanpa tahun hal. 2,
3) Ideologi Terbuka dan Ideologi Tertutup. Ideologi sebagai suatu sistem pe-
mikiran (System of thought), maka ideologi terbuka itu merupakan suatu sistem
pemikiran terbuka. Sedangkan ideologi tertutup itu merupakan suatu sistem
pemikiran tertutup. Suatu ideologi tertutup dapat dikenali dari beberapa ciri khas.
Ideologi itu bukan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan
merupakan cita-cita satu kelompok orang yang mendasari suatu program untuk
mengubah dan memperbaharui masyarakat. Dengan demikian adalah menjadi ciri
ideologi tertutup, bahwa atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan
yang dibebankan kepada masyarakat. Demi ideologi masyarakat harus berkorban, dan
kesediaan itu untuk menilai kepercayaan ideologi para warga masyarakat serta
kesetiaannya masing-masing sebagai warga masyarakat. Tanda pengenal menemukan
bahwa penyelenggaraan negara berdasarkan pandangan-pandangan dan nilai-nilai
dasar tertentu. Kadang-kadang dasar normatif itu tidak dirumuskan secara eksplisit.
Akan tetapi dalam kebanyakan negara, undang-undang dasar (konstitusi) memuat
bagian yang merumuskan dasar normatif itu. Dasar normatis itu dapat pula disebut
dasar filsafat negara, yang diperlukan sebagai landasan untuk menyelenggarakan
negara. Dan ini merupakan kesepakatan bersama yang berlandaskan kepada nilai-
nilai dasar cita-cita masyarakat. Dengan demikian maka merupakan ciri ideologi
terbuka yakni bahwa isinya tidak operasional. Ia baru menjadi operasional apabila
sudah dijabarkan ke dalam perangkat yang berupa atau peraturan perundangan
lainnya. Oleh karena itu setiap generasi baru dapat menggali kembali dasar filsafat
negara itu untuk menemukan apa implikasinya bagi situasi atau zaman itu masing-
masing (Suseno, 1987).
Hubungan antara Filsafat dan Ideologi. Filsafat sebagai pandangan hidup
peda hakikatnya merupakan sistem nilai yang secara epistemologis kebenarannya
telah diyakini sehingga dijadikan dasar atau pedoman bagi mans dalam memandang
realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa negara, tentang makna hidup
serta sebagai dasar dan pedoman bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi dalam hidup dan kehidupan. filsafat dalam pengertian yang demikian ini
telah menjadi suatu sistem cita atau keyakinan-keyakinan (belief-system) yang telah
menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu
kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya. Hal itu berarti bahwa
filsafat telah beralih dan menjelma menjadi ideologi (Abdulgani, 1986).
Tiap ideologi sebagai suatu rangkaian kesatuan cita-cita yang mendasar dan
menyeluruh yang jalin-menjalin menjadi suatu sistem pemikiran (System of thought)
yang logis, adalah bersumber kepada filsafat. Dengan lain kata, ideologi sebagai
suatu system of thought mencari nilai, norma dan cita-cita yang bersumber kepada
filsafat, yang bersifat mendasar dan nyata untuk diaktualisasikan artinya secara
potensial mempunyai kemungkinan pelaksanaan yang tinggi, sehingga dapat
memberi pengaruh positif, karena mampu membangkitkan dinamika masyarakat
tersebut secara nyata ke arah kemajuan. Ideologi dapat dikatakan pula sebagai konsep
operasionalisasi dari suatu pandan atau filsafat hidup akan merupakan norma ideal
yang melanda karena norma itu akan dituangkan dalam perilaku, juga dalam
kelembagaan sosial, politik, ekonomi, pertahanán keamanan dan sebagainya. Jadi
filsafat sebagai dasar dan sumber bagi perumusan ideologi yang juga menyangkut stra
tegi dan doktrik, dalam menghadapi permasalahan yang timbul di dalam kehidupan
bangsa dan negara; termasuk di dalamnya menentukan sudut pandang dan sikap
dalam menghadapi berbagai aliran atau sistem filsafat yang lain. Dari uraian diatas,
maka permasalahan ideologi merupakan permasalahan yang di samping berkadar
kefilsafatan sekaligus menyangkut praksis. Ideologi memiliki kadar kefilsafatan
karena bersifat cita-cita dan norma, dan sekaligus praksis karena menyangkut
operasionalisasi, strategi dan doktrin. Sebab ideologi juga menyangkut hal-hal yang
berdasarkan satu ajaran yang menyeluruh tentang makna dan nilai-nilai hidup,
ditentukan secara konkrit bagaimana manusia harus bersikap dan bertindak. Ideologi
itu tidak hanya menuntut misalnya agar setiap orang bertindak adil, saling tolong-
menolong, saling menghormati antara sesama manusia, lebih mengutamakan
kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi atau kepentingan golongan dan
seba- gainya, melainkan juga ideologi akan menuntut ketaatan kongkrit, harus me-
laksanakan ini atau itu, dan bahkan seringknli menuntut dengan mutlak orang harus
bersikap dan bertindak.
Dari tradisi sejarah filsafat Barat dapat dibuktikan bahwa tumbuhnya ideologi
seperti liberalismne, kapitalisme, marxisme leninisme, maupun naziisme dan fasisme,
adalah bersumber kepada aliran-aliran filsafat yang berkembang di sana. Persepsi
mengenai kebebasan yang tumbuh pada zaman Renaisance dan Aufklarung
mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya ideologi liberal dan kapitalis di Barat.
Demikian pula dengan pemikiran-pemikiran Karl Marx dan Engels yang historis
materialistik dan dialektik telalh menumbuh suburkan ideologi
marxisme/Leninisme/komunisme di negara-negara soalis komunis. Begitu pula
dengan pemikian Nietzche tentang Ulbermenshe superman) dan Wille zur Macht
(kehendak untuk berkuasa) telah mendorong Hittler untuk mengembangkan Naziisme
yang militeristis. Namun harus dikemukakan pula bahwa ada aliran-aliran filsafat
terutama yang timbul di Barat yang tidak berfungsi sebagai ideologi dalam suatu
negara. Begitu pula ada juga negara-negara yang tidak menganut pada suatu ideologi
tertentu. Hanya unsur-unsur suatu aliran filsafat yang dikembangkan secara aktif,
sistematik dan dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang menjelma menjadi ideologi
Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka. Pancasila sebagai suatu ideologi tidak
bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa
ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antsipatif dan senantiasa mampu
menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Kcterbukaan ideologi Pancasila bukan
berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila namun mengeksplisitkan wawasannya
secara kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan
masalah-masalah baru dan aktual.
Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar yang
bersifat tetap dan tidak berubah, dan tidak langsung bersifat operasional, oleh karena
itu setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplisitasi dilakukan dengan menghadapkannya
pandangan hidup berbagai masalah yang selalu silih berganti melalui refleksi yang
rasional terungkap makna operasionalnya. Dengan demikian penjabaran ideologi
dilaksanakan dengan interpretstasi yang kritis dan rasional (Poespowardoo, 1991;
59). Sebagai suatu contoh keterbukaan (pers Pancasila, dalam kaitannya dengan
pendidikan, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum, kebudayaan dan bidang-bindang
lainnya). Sebagai suatu ideologi yang berşifat terbuka maka Pancasila memiliki
dimensi sebagai berikut:
Dimensi idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila
yang bersifat sistematis dan rasional yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam
lima sila Pancasila: ketuhanan, kemausiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan,
maka dimensi idealistis Pancasila bersumber pada nilai-nilai flosofis yaitu filsafat
Pancasila. Oleh karena itu dalam setiap ideologi bersumber pandangan hidup nilai-
nilai filosofis (Pespowardoyo, 1991: 50). Kadar dan kualitas idealismę yang
terkandung dalam ideologi Pancasila mampu memberikan harapan, optimisme serta
mampu menggugah motivasi yang dicita-citakan (Wibisono, 1989).
Dimensi normatif, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu
dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945 yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tertib hukum Indonesia. Dalam
pengertian ini maka Pembukaan yang di dalamnya memuat Pancasila dalam alinea
IV, berkedudukan sebagai 'staatsfundamentalnorm (pokok kaidah negara yang
fundamental), agar mampu dijabarkan ke dalam langkah operasional perlu memiliki
norma yang jelas (Poepowardoyo, 1991).
Dimensi realistis, suatu ideologi harus mampu mencerminkan ralitas yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila selain memiliki
dimensi nilai-nilai ideal normatif, maka Pancasila harus dijabarka dalam kehidupan
nyata sehari-hari. baik dalam kaitannya bermasyarakat maupun dalam segala aspek
penyelenggaraan negara. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak
bersifat utopis' yang hanya berisi ide-ide yang gawang, namun bersifat .realistis
artinya mampu dijabarkan dalam kehidupan yang nyata dalam berbagai bidang
Berdasarkan hakikat ideologi Pancasila yang bersifat terbuka yang memiliki tiga
dimensi tersebut maka ideologi Pancasila tidak bersifat 'utopis’ yang hanya
merupakan sistem ide-ide belaka yang jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Selain
itu ideologi Pancasila bukan merupakan doktrin belaka, karena doktrin hanya
memiliki pada ideologi yang hanya bersifat normatif dan demikian pula ideologi
Pancasila bukanlah merupakan ideologi pragmatis yang hanya menekankan segi
praktis dan ralistis belaka tanpa idea- lisme yang rasional. Maka ideologi Pancasila
yang bersifat terbuka pada haki- katnya, nilai-nilai dasar (hakikat) sila-sila Pancasila
yang bersifat tetap adapun penjabaran dan realisasinya senantiasa dieksplisitkan
secara dinamis, terbuka tertutup dan senantiasa mengikuti perkembangan jaman.
Keterbukaan ideologi Pancasila juga menyangkut keterbukaan dalam
menerima budaya asing. Manusia pada hakikatnya selain sebagai makhluk individu
juga sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu sebagai makhluk sosial senantiasa hidup
bersama sehingga terjadilah akulturasi budaya. Oleh karena pancasila sebagai
ideologi terbuka senantiasa terbuka terhadap pengaruh budaya asing, namun nilai-
nilai esensial Pancasila bersifat tetap. Dengan perkataan lain Pancasila menerima
pengaruh budaya asing dengan ketentuan hakikat atau substansi Pancasila yaitu:
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, ke rakyatan serta keadilan bersifat tetap. Secara
strategis keterbukaan Pancasila dalam menerima budaya asing dengan jalan menolak
nilai-nilai yang bertentangan dengan Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan
serta keadilan serta menerima nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai dasar Pancasila tersebut.
Demikianlah maka bangsa Indonesia yang berideologi Pancasila sebagai
bangsa yang berbudaya tidak menutup diri dalam pergaulan budaya antar bangsa di
dunia. Hal ini bukan saja merupakan kebijaksanaan kultural namun secara filosofis
nilai-nilai budaya yang ada pada bangsa indonesia sehagai kausa materialis Pancasila
yang memiliki sifat terbuka. Dalam sejarah telah kita ketahui telah melakukan proses
akulturasi, yaitu menerima masuknya budaya asing yang sesuai kemudian
dikembangkan dalam kehidupan masyarakat sehingga merupakan local wisdom
bangsa Indonesia. Misalnya masuknya budaya India dengan agama Hindu dan Budha,
yang pada gilirannya menghasilkan karya besar sebagai budaya bangsa seperti candi
Borobudur, candi, candi Prambanan, dan lain sebagainya. Demikian juga pengaruh
Islam, dengan berkembangnya berbagai budaya Islam, seperti tempat ibadah, karya
sastra dan lainnya, demikian pula pengaruh Kristen dengan berbagai bangunan tempat
ibadah dan lain sebagainya.

G. Pancasila Sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan Bangsa Iadonesia


Telah dijelaskan dimuka bahwa sebelum Pancasila ditentukan sebagai dasar
filsafat negara Indonesia, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman
dahulu kala, yaitu sejak lahirnya bangsa Indonesia sebelum Proklamasi 17 Agustus
1945. Namun demikian keoeradaan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang
hidup mandiri di antara bangsa-bangsa lain di dunia tidak hanya ditentukan oleh ciri-
ciri etnis, melainkan oleh sejumlah unsur khas yang ada pada bangsa Indonesia yang
membedakannya dengan bangsa lain. Pengertian bangsa pada awal mulanya dari kata
"nation" (natie, bangsa) yang ditinjau secara ilmiah pada tahun 1882 oleh Ernest
Renan Dalam suatu ceramahnya di universitas Sorbone yang berjudul "Qu'est ce que
c'es un Na- tion"? (Apakah bangsa itu?) Menurut Renan bangsa adalah :
1. Suatu jiwa, suatu asas kerokhanian.
2. Suatu solidaritas yang besar.
3. Suatu hasil sejarah, karena sejarah itu berjalan terus. Sejarah tidak abadi, bergerak
secara dinamis dan begabah-ubah untuk maju.
4. Bangsa bukanlah soal abadi.
Selain itu juga terdapat "geopolitik' yang dipelopori oleh Frederich Ratzel
dalam bukunya "politik Geography" (1987) yang menyatakan bahwa: negara
merupakan suatu organisme yang hidup, dan supaya dapat hidup subur dan kuat maka
memerlukan ruangan untuk hidup (Lebernsraum). (Ismaun, 1975: 42).
Bagi bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Dilahirkan dari satu nenek moyang sehingga kita memiliki kesatuan darah
2. Memiliki satu wilayah di mana kita dilahirkan, hidap bersama dan mencari
sumber-sumber kehidupan.
3. Memiliki satu wilayah di mana kita dilahirkan, hidup bersama dan mencari
sumber-sumber kehidupan.
4. Memiliki kesatuan sejarah, yaitu bangsa Indonesia dibesarkan di bawah
gemilangnya kerajaan-kerajaan, Sriwijaya, Majapahit, mataram dan lain sebagainya.
5. Memiliki kesamaan nasib yaitu berada di dalam kesenangan dan kesusahan, dijajah
Belanda, Jepang dan lainnya.
6. Memiliki satu ide, cita-cita satu kesatuan jiwa atau asas kerokhanian, dan satu
tekad untuk hidup bersama dalam suatu negara Republik Indonesia.
Dengan lain perkataan bangsa Indonesia memiliki satu asas kerokha- nian,
satu pandangan hidup, dan satu ideologi yaitu Pancasila, yang ada dalam suatu negara
Proklamasi 17 Agustus 1945 (Notoganoro, 1975:15). Bagi bangsa Indonesia adanya
kesatuan asas krokhanian, kesatuan pandangan hidup, kesatuan ideologi tersebut itu
adalah amat bersifat sentral, karena suatu bangsa yang ingin berdiri kokoh dan
mengetahui ke arah mána tujuan bangsa itu ingin dicapai maka bangsa itu harus
memiliki satu pandangan hidup, ideologi maupun satu asas kerokhanian. Bangsa
Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang dengan sendirinya memiliki
kebudayaan dan adat-istiadat yang berbeda-beda pula. Namun demikian bangsa
perbedaan itu harus disadari sebagai sesuatu yang memang senantiasa ada pada setiap
manusia (suku bangsa) sebagai makhluk pribadi, dan dalam masalah ini bersifat
biasa. Namún demikian dengan adanya kesatuan asas kerokhanian yang kita miliki,
maka perbedaan itu harus dibina ke arah suatu kerjasama dalam memperoleh
kebahagiaan bersama. Dengan adanya kesamaan dan kesatuan asas kerokhanian dan
kesatuan ideologi, maka perbedaan itu perlu diarahkan pada suatu persatuan. Maka di
sinilah letak fungsi dan kedudukan asas, Pancasila sebagai asas kerokhanian, sebagai
asas persatuan, kesatuan dan asas kerjasama bangsa Indonesia. Dalan masalah ini
maka membina, membangkitkan, memperkuat dan mengembangkan persatuan dalam
suatu pertalian kebangsaan menjadi sangat penting artinya, sehingga persatuan dan
kesatuan tidak hanya bersifat statis namun harus bersifat dinamis.
Perbedaan adalah merupakan bawaan dari manusia sebagai makhluk pribadi.
Namun demikian bahwa sifat manusia adalah sebagai individu dan makhluk sosial
dan kedua sifat kodrat manusia tersebut harus senantiasa ada dalam keseimbangan
yang serasi dan harmonis yang harus dilaksanakan penjelmaannya dalam hidup
bersama yaitu dalam sustu negara Indonesia. Hal inilah yang sering disebut sebagai
asas kekeluargaan (gotong-royong). Maka perbedaan-perbedaan itu tidaklah
mempengaruhi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, karena memiliki daya
penarik ke arah kerjasama yang saling dapat diketemukan dalam si perbedaan dan
sintesis yang memperkaya masyarakat sebagai suatu bangsa.
Maka bagi bangsa Indonesia dalam filsafat yang merupakan asas kerokhanian
Pancasila, merupakan asas pemersatu dan asas hidup bersama. Dalam masalah ini
Pancasila dalam kenyataan objektifnya sebagai suatu persatuan dan kesatuan yang
telah ditentukan bersama setelah Proklamasi sebagai dasar filsafat negara.
H. Pancasila Sebagai Jatidiri Bangsa Indonesia
Proses terjadinya Pancasila tidak seperti ideologi-ideologi lainnya yang hanya
merupakan hasil pemikiran seseorang saja namun melalui suatu proses kausalitas
yaitu sebelumnya disahkan menjadi dasar negara nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari sebagai Pandangan hidup Bangsa, dan sekaligus sebagai
filsafat hidup bangsa Indonesia. Dalam pengertian inilah maka bangsa indonesia
sebagai kausa materialis dari Pancasila. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu
merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia
yang menimbulkan tekad bagi dirinya untuk mewujudkannya dalam sikap tingkah
laku dan perbuatannya. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu merupakan motor
penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya. Dari pandangan
hidup inilah maka dapat diketahui cita-cita yang ingin dicapai bangsa, gagasan-
gagasan kejiwaan apakah yang hendak diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa Indonesia nilai-nilai Pancasila itu telah
tercermin dalam khasanah adat-istiadat, kebudayaan serta kehidupan keagamaannya.
Ketika para pendiri negara Indonesia menyiapkan berdirinya negara Indonesia
merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang
fundamental 'di atas dasar apakah negara Indonesia merdeka didirikan?'. Dengan
jawaban yang mengandung makna hidup bagi bangsa Indonesia sendiri yang
merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini di
hayati kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah perkembangan
dan pertumbuhan bangsa sejak lahir.
Nilai-nilai itu sebagai buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan dasar
bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka menciptakan tata
nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan kerokhanian bangsa
yang memberi corak, watak dan ciri masyarakat dan bangsa Indonesia yang
membedakannya dengan masyarakat atau bangsa lain. Kenyataan yang demikian ini
merupakan suatu kenyataan objektif, yang merupakan jati diri bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala merupakan bangsa yang religius
dalam pengertian bangsa yang percaya terhadap Tuhan penciptanya. Hal ini terbukti
dengan adanya berbagai kepercayaan dan agama yang ada di Indonesia. Bukti-bukti
sejarah yang menunjukkan manifestasi bangsa Indonesia atas kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa antara lain kira-kira tahur 2000 S.M. di Zaman Neoliticum
dan Megaliticum antara lain berupa "Menhir" yaitu sejenis tiang atau tugu dari batu,
kubur batu, punden berundak-undak yang diketemukan di Pasemah di pegunungan
antara wilayah Palembang da Jambi, di daerah Besuki Jawa Timur, Cepu, Cirebon,
Bali dan Sulawesi. Menhir yang berupa tiang batu yang didirikan di tengah-tengah
tersebut pada prinsipnya merupakan ungkapan manusia atas Dhat yang tertinggi,
Hyang Tunggal artinya yang maha esa yaitu Tuhan. Selain itu ungkapan atas
pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tercermin antara lain Tuh (Kalimantan),
Sang Hyang (Jawa), Ompu Debata atau Debata Malajadi nasional Bolon (Batak), To
Lotang (Bugis), Gae Dewa (Ngada). Selain ungkapan-ungkapan yang
menggambarkan akan hubungan antara manusia dengan Dhat yang Maha Kuasa
antara lain bahwa orang yang meninggal dunia itu disebut berpulang atau kembali
kepada Sang Penciptanya.
Bangsa Indonesia dalam struktur kehidupan sosialnya, eksistensi (kebe-
radaan) setiap manusia sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial
diakui dihargai dan dihormati. Dalam kaitannya dengan hakikat sila kedua
'kemanusiaan yang adil dan beradab' nilai-nilainya tercermin dalam sikap tolong
menolong, menghormati manusia lain bersikap adil dan men- junjung tinggi
kejujuran dan sebagainya. "Apa yang dilakukan oleh manusia Indonesia itu tidak
hanya untuk kepentingannya sendiri melainkan juga demi kepentingan manusia lain
dan masyarakat dan pengabdiannya kepada Tuhan yang Maha Esa. Hak-hak asasi
manusia dihormati dan dijunjung tinggi yang antara lain tercermin dalam ungkapan
'sedumuk bathuk senyari bumi'. Kesemuanya itu sebagai ungkapan cita-cita
kemanusiaan dalam masyarakat darn bangsa Indonesia. Selain itu juga terdapat cita-
cita terwujudnya hubungan yang harmonis dan serasi antara manusia dengan dirinya
sendiri, antara manusia dengan sang Penciptanya yaitu Tuhan yang Maha Esa.
Keselarasan dan keharmonisan tersebut sebagai makna dari ungkapan keadilan dan
kebenaran manusia sebagainama terkandung dalam sila kedua Pancasila.
Cita-cita dan kesatuan tercermin dalam berbagai ungkapan dalam bahasa-
bahasa daerah di seluruh nusantara sebagai budaya bangsa, seperti pengertian-
pengertian atau ungkapän-ungkapan 'tanah air sebagai ekspresi pengertian persatuan
antara tanah dan air, kesatuan wilayah yang terdiri atas pulau-pulau, lautan dan udara:
'tanah tumpah darah' yang mengungkapkan persatuan antara manusia dan alam
sekitarnya, kesatuan antara orang dan bumi tempat tinggainya ‘Bhinneka tunggal ika'
yang mengungkapkan cita-cita kemanusiaan dan persatuan sekaligus. Perwujudan
dari cita-cita persatuan kesatuan ini dalam sejarah bangsa Indonesia juga terungkap
bahwa sejarah mencatat adanya kerajaan yang dapat digolongkan bersifat nasional'
yaitu Sriwijaya dan Majapahit.
Semangat 'gotong-royong', 'siadapari', 'masohi', 'sanbatan' gugur gunung' dan
sebagainya, mengungkapkan cita-cita kerakyatan, kebersamaan dan solidaritas sosial.
Berdasarkan semangat gotong royong dan asas kekeluargaan, negara tidak
mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar atau bagian yang tetkuat dalam
masyarakat, baik politik, ekonomis, maupun sosio-kultural. Negara menempatkan diri
di atas golongan dan bagian masyarakat, dan mempersatukan diri dengan seluruh
lapisan masyarakat. Rakyat tidak untuk negara, tetapi negara adalah untuk rakyat,
sebab pengambilan keputusan selalu digunakan asas musyawarah untuk mufakat,
seperti yang dilakukan dalam 'rembug desa, kerapatan nagari', 'kuria', 'wanua, banua,
mua.
Selanjutnya struktur kejiwaan bangsa Indonesia mengakui, menghormati serta
menjunjung tinggi hak dan kewajiban tiap manusia, tiap golongan tiap bagian
masyarakat, Sebaliknya, setiap anggota masyarakat, setiap golongan dan setiap
bagian sadar akan kedudukannya sebagai bagian organik dari masyarakat seluruhnya,
dan oleh karena itu wajib meneguhkan kehidupan yang harmonis antara semua
bagian. Hubungan antara hak, kewajiban serta kedudukan yang seimbang itu
merupakan cita-cita keadilan sosial. Ide tentang keadilan sosial ini bukanlah hal yang
baru bagi bangsa Indonesia. Cita-cita akan masyarakat yang 'gemah ripah loh jinawi
tata tentrem karta raharja suatu keyakinan yang ada dalam masyarakat (terutama
Jawa), yang menyatakan bahwa masyarakat adil dan makmur akan terwujud dengan
datangnya Ratu Adil, dapat membuktikan adanya cita-cita keadilan sosial tersebut.
Dengan berpangkal tolak dari struktur sosial dan struktur kerohanian asli
bangsa Indonesia, serta diilihami oleh ide-ide besar dunia, maka para pendiri negara
kita yang terhimpun dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPK) dan terutama dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), memurnikan dan memadatkan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini dan dihayati
kebenarannya oleh bangsa Indonesia menjadi Pancasila yang rumusannya seperti
yang tertuang dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945.
Dalam hubungan seperti inilah maka Pancasila yang kausa materialisnya
bersumber pada nilai-nilai budaya bangsa ini, meminjam istilah Margareth Mead,
Ralp Linton, dan Abraham Kardiner dalam Anthropology to Day, disebut sebagai
National Character. Selanjutnya Linton lebih condong dengan istilah Peoples
Character, atau dalam suatu negara disebut sebagai National Identity (Kroeber, 1954;
Ismaun, 1981: 7), atau menurut istilah populer disebut sebagai 'Jatidiri' bangsa
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai