Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bagi bangsa Indonesia, hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumadi (2019), bahwa Pancasila adalah
dasar dan ideologi bangsa indonesia yang mempunyai fungsi dalam kehidupan
bangsa dan negara indonesia. Pancasila dasar dari pelaksanaan segala aspek
kehidupan bagi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan.
Pancasila dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada di
Indonesia, termasuk menjadi dasar bagi segala Undang-undang dan peraturan di
bidang pendidikan. Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah
wujud dari falsafah Pancasila. Tujan pendidikan Nasional tercantum jelas di dalam
Sisdiknas yaitu “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab. "Pancasila merupakan dasar pandangan hidup rakyat
Indonesia yang di dalamnya memuat lima dasar yang isinya merupakan jati diri
bangsa Indonesia. Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental
dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara2. Pancasila telah disebut di dalam pebukaan Undang-Undang Dasar
1945 alinea keempat. Sila-sila dalam Pancasila menggambarkan pedoman hidup
berbangsa dan bernegara bagi manusia Indonesia seluruhnya dan seutuhnya.
Suatu masyarakat atau bangsa menjadikan filsafat sebagai suatu pandangan
hidup, yaitu merupakan asas dan pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan
kehidupan bangsa tersebut, tanpa terkecuali aspek pendidikan. Filsafat yang
dikembangkan harus berdasarkan filsafat yang dianut oleh suatu bangsa,
sedangkan pendidikan merupakan suatu cara atau mekanisme dalam menanamkan
dan mewariskan nilai-nilai filsafat tersebut. Pendidikan sebagai suatu lembaga
yang berfungsi menanamkan dan mewariskan sistem norma tingkah laku
perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh
lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat. Filsafat pendidikan
dimaknai sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan
aspek-aspek pelaksanaan filsafat dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-
prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat dalam upaya
memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis3.
Pancasila merupakan hasil konseptualisasi dan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Mengandung nilai-nilai luhur dan menjaga semangat perjuangan
bangsa4. Pancasila sebagai dasar negara, falsafah hidup bangsa, pandangan hidup
bangsa kepada seluruh warga khususnya kepada genrasi muda yang sedang
menempuh pendidikan di jenjang pendidikan formal, pendidikan moral pancasila
diajarkan di sekolah sejak tahun 1975 yang menggantikan mata pelajaran
kewarganegaraan yang diberlakukan sejak tahun 1968. Di tahun 1994 Pendidikan
Moral Pancasila diganti dengan Pendidikan Pancasila
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pancasila Sebagai Falsafah Negara
Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan falsafah bangsa dan pandangan
hidup. Syarbaini menjelaskan bahwa nilai-nilai Pancasila adalah falsafah hidup atau
pandangan hidup yang berkembang dalam sosial-budaya Indonesia. Nilai Pancasila
dianggap nilai dasar dan puncak atau sari budaya bangsa. Oleh karena itu, nilai ini
diyakini sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Dengan mendasarnya nilai ini dalam
menjiwai dan memberikan watak (kepribadian dan identitas), maka pengakuan atas
kedudukan Pancasila sebagai falsafah bangsa adalah wajar.5
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai falsafah bangsa sangat
relevan dengan sosial-budaya bangsa Indonesia. Dengan demikian, kebenaran
Pancasila sebagai falsafah bangsa tidak perlu dipertentangkan lagi dan bersifat mutlak
harus ditaati oleh bangsa Indonesia.
Selanjutnya langkah untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila secara tepat tentu harus melalui pendekatan filosofis. Winarno menjelaskan
bahwa Pancasila dalam pendekatan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mendalami
mengenai Pancasila6. Upaya mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
secara tepat haruslah melalui pendekatan filsafat.
Syarbaini menjelaskan, apabila kita berbicara tentang filsafat, terdapat dua hal
yang patut diperhatikan, yaitu filsafat sebagai metode dan filsafat sebagai suatu
pandangan. Keduanya akan berguna bagi ideologi Pancasila. Pancasila sebagai metode
menunjukkan cara berpikir dan cara mengadakan analisis yang dapat dipertanggung
jawabkan untuk dapat menjabarkan ideologi Pancasila. Sedangkan Pancasila sebagai
filsafat mengandung pandangan, nilai dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan
isi pembentukan ideologi Pancasila. Selanjutnya Syarbaini (2009) mendefinisikan
filsafat Pancasila secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila
sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan
pokok- pokok pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh. Syarbaini juga
menjelaskan bahwa pembahasan filsafat dapat dilakukan secara deduktif, yakni
dengan mencari hakikat Pancasila, serta menganalisis dan menyusunnya secara
sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif. Dapat pula dilakukan
secara induktif, yakni dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat,
merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala itu7. Dengan
menggunakan kedua pendekatan tersebut sehingga secara filosofis dapat ditemukan
makna dan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila.
Upaya menemukan pengertian yang mendasar, kita harus tahu atau mengetahui
pula secara mendalam tentang sila-sila yang membentuk Pancasila itu. Dari masing-
masing sila, kita cari intinya, hakikat dari inti dan selanjutnya pokok-pokok yang
terkandung di dalamnya, demikian penjelasan yang diberikan Winarno8. Artinya
untuk mengetahui apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila kita harus tahu
dan menelusurinya dalam masing-masing sila tersebut.
Kaelan dalam Winarno menjelaskan berdasarkan pemikiran falsafati, Pancasila
sebagai filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai. Untuk menemukan nilai
masing- masing sila tersebut kita harus tahu tentang isi Pancasila. Rumusan Pancasila
sebagai dasar negara RI yang sah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea
ke IV yang memuat sebagai berikut:
“.....maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Kalimat tersebut menjadi sadar negara RI, dan kalimat inilah yang kita kenal
sebagai Pancasila. (1) ketuhanan Yang Maha Esa, (2) kemanusiaan yang adil dan
beradab, (3) persatuan Indonesia, (4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5) keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu nilai. Adapun nilai-nilai
yang terkandung dalam masing-masing sila dari Pancasila adalah sebagai berikut: (1)
nilai ketuhanan, (2) nilai kemanusiaan, (3) nilai persatuan, (4) nilai kerakyatan, (5)
nilai keadilan.
Nilai-nilai tersebut selanjutnya menjadi nilai penggerak bagi bangsa Indonesia
dalam membangun hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Nilai yang
terkandung dalam Pancasila menjadi motivator hidup dalam negara. Sistem negara
dijalankan atas dasar nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pancasila, selain mengandung sejumlah nilai juga mengandung harapan.
Harapan yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu
berupa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh wilayah bangsa Indonesia. Secara
teoritis nilai menjadi pendorong atau motivator hidup manusia. Hal ini disebabkan
karena semua aktivitas manusia didorong oleh nilai. Misalnya kekayaan, maka semua
orang akan melakukan dengan segala upaya untuk mencapai kekayaan. Begitu juga
dengan nilai kepandaian misalnya, maka peserta didik akan melakukan segala upaya
dengan belajar yang rajin untuk menjadi pandai.
Nilai pada dasarnya memiliki tingkatan-tingkatan, dan nilai tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan. Hal ini sebagaimana di jelaskan oleh prof.
Notonagoro dalam Winarno (2007), bahwa nilai tersebut diklasifikasikan ke dalam
tiga tingkatan, yaitu: (1) nilai materiil, suatu yang berguna bagi jasmani manusia, (2)
nilai vital, suatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakan kegiatan, (3)
nilai kerohanian yang dibedakan menjadi empat, yaitu; (a) nilai kebenaran bersumber
pada akal pikir manusia (rasio, budi, cipta). (b) nilai estetika (keindahan) bersumber
pada rasa manusia. (c) nilai kebaikan atau nilai moral bersumber pada kehendak keras,
karsa hati, nurani manusia. (d) nilai religius (ketuhanan) bersifat mutlak bersumber
pada keyakinan manusia9.
Manusia dalam kehidupannya selalu digerakkan oleh nilai tersebut, begitu pula
dalam kehidupan bangsa Indonesia selalu digerakkan oleh nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Selanjutnya Winarno (2007) juga menambahkan bahwa dalam
filsafat Pancasila terdapat tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan
nilai praksis. Ketiga tingkatan nilai ini dijelaskan secara ringkas yaitu: (1) nilai dasar,
nilai yang mendasari nilai instrumental. Nilai dasar yaitu asas-asas yang kita terima
sebagai dalil yang bersifat sedikit banyak mutlak. Kita menerima nilai dasar itu
sebagai suatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. (2) nilai instrumental,
nilai sebagai pelaksanaan umum dari nilai dasar. Umumnya berbentuk norma sosial
dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan
mekanisme lembaga-lembaga negara. (3) nilai praksis, nilai yang sesungguhnya kita
laksanakan dalam kenyataan. Nilai praksis sesungguhnya menjadi batu ujian, apakah
nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat Indonesia10.
Sehubungan dengan penjelasan ini Darji Darmodiharjo, menjelaskan bahwa
nilai- nilai Pancasila termasuk golongan nilai kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang
mengakui pentingnya nilai material dan nilai vital secara seimbang (harmonis). Hal ini
dapat dibuktikan dengan susunan sila-sila Pancasila yang dimulai dari sila pertama
(Ketuhanan Yang Maha Esa) sampai dengan sila kelima, yang tersusun secara
sistematis- hierarkis11.
Pancasila tergolong sebagai nilai kerohanian, yang di dalamnya terdapat pula
nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai estetik (keindahan), nilai etik (moral),
dan nilai religius (ketuhanan).
B. Hakikat Filsafat Pancasila

Pancasila juga merupakan sebuah filsafat karena pancasila merupakan acuan intelektual
kognitif bagi cara berpikir bangsa, yang dalam usaha-usaha keilmuan dapat terbangun ke
dalam sistem filsafat yang kredibel. Menurut Abdulgani (dalam Ruyadi, 2003), Pancasila
merupakan filsafat negara yang lahir sebagai collective ideologie (cita-cita bersama) dari
seluruh bangsa Indonesia. Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang dalam, yang
kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat. Sedangkan Notonagoro (dalam
Ruyadi, 2003) menyatakan bahwa Filsafat Pancasila memberikan pengetahuan dan
pengertian ilmiah, yaitu tentang hakikat dari Pancasila.

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat, memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan
dasar aksiologis tersendiri yang membedakannya dengan sistem filsafat lain. Secara
ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui
hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Notonagoro (dalam Ganeswara, 2007) menyatakan
bahwa hakikat dasar ontologis Pancasila adalah manusia, sebab manusia merupakan subjek
hukum pokok dari Pancasila. Selanjutnya, hakikat manusia itu adalah semua kompleksitas
makhluk hidup, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Secara
lebih lanjut, hal ini bisa dijelaskan bahwa yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang
berkeadilan sosial adalah manusia.

Kajian epistemologis filsafat Pancasila, dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat
Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Menurut Titus (dalam Kaelan, 2007) terdapat
tiga persoalan mendasar dalam epistemology, yaitu: (1) tentang sumber pengetahuan
manusia; (2) tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; dan (3) tentang watak
pengetahuan manusia. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana diketahui
bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri serta dirumuskan
secara bersama-sama oleh “The Founding Fathers” kita. Jadi bangsa Indonesia merupakan
Kausa Materialis-nya Pancasila. Selanjutnya, Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan
memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-silanya maupun
isi arti dari sila-silanya. Susunan sila-sila Pancasila bersifat hierarkis piramidal.
Selanjutnya, sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan
dasar aksiologinya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga
merupakan suatu kesatuan.

Prinsip-Prinsip Filsafat Pancasila

Pancasila ditinjau dari kausal Aristoteles dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Kausa Materialis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan materi/bahan,


dalam hal ini Pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa
Indonesia sendiri.

b. Kausa Formalis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan bentuknya, Pancasila


yang ada dalam pembukaan UUD ’45 memenuhi syarat formal (kebenaran formal).

c. Kausa Efisiensi, maksudnya kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan
merumuskan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka.

d. Kausa Finalis, maksudnya berhubungan dengan tujuannya, tujuan diusulkannya


Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

Inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi:

a. ke-Tuhanan, yaitu sebagai kausa prima;

b. kemanusiaan, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial;

c. kesatuan, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri;

d. kerakyatan, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong; dan

e. keadilan, yaitu memberikan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang
menjadi haknya.

Nilai-Nilai Pancasila
Nilai adalah suatu ide atau konsep tentang apa yang seseorang pikirkan merupakan hal
yang penting dalam hidupnya. Nilai dapat berada di dua kawasan: kognitif dan afektif.
Nilai adalah ide, bisa dikatakan konsep dan bisa dikatakan abstraksi (Simon, 1986). Nilai
merupakan hal yang terkandung dalam hati nurani manusia yang lebih memberi dasar dan
prinsip akhlak yang merupakan standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata
hati (potensi). Langkah- langkah awal dari “nilai” adalah seperti halnya ide manusia yang
merupakan potensi pokok human being. Nilai tidaklah tampak dalam dunia pengalaman.
Dia nyata dalam jiwa manusia. Dalam ungkapan lain ditegaskan oleh Simon (1986) bahwa
sesungguhnya yang dimaksud dengan nilai adalah jawaban yang jujur tapi benar dari
pertanyaan “what you are really, really, really, want.”

Studi tentang nilai termasuk dalam ruang lingkup estetika dan etika. Estetika cenderung
kepada studi dan justifikasi yang menyangkut tentang manusia memikirkan keindahan,
atau apa yang mereka senangi. Misalnya, mempersoalkan atau menceritakan si rambut
panjang, pria pemakai anting-anting, nyanyian-nyanyian bising, dan bentuk-bentuk seni
lainnya. Sedangkan etika cenderung kepada studi dan justifikasi tentang aturan atau
bagaimana manusia berperilaku. Ungkapan etika sering timbul dari pertanyaan-pertanyaan
yang mempertentangkan antara benar- salah, baik-buruk. Pada dasarnya, studi tentang
etika merupakan pelajaran tentang moral yang secara langsung merupakan pemahaman
tentang apa itu benar dan salah.

Bangsa Indonesia sejak awal mendirikan negara, berkonsensus untuk memegang dan
menganut Pancasila sebagai sumber inspirasi, nilai dan moral bangsa. Konsensus bahwa
Pancasila sebagai anutan untuk pengembangan nilai dan moral bangsa ini secara ilmiah
filosofis merupakan pemufakatan yang normatif. Secara epistemological, bangsa Indonesia
punya keyakinan bahwa nilai dan moral yang terpancar dari asas Pancasila ini sebagai
suatu hasil sublimasi dan kritalisasi dari sistem nilai budaya bangsa dan agama yang
kesemuanya bergerak vertikal dan horizontal serta dinamis dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, untuk mensinkronkan dasar filosofis-ideologi menjadi wujud jati diri bangsa
yang nyata dan konsekuen secara aksiologikal bangsa dan negara Indonesia berkehendak
untuk mengerti, menghayati, membudayakan dan melaksanakan Pancasila. Upaya ini
dikembangkan melalui jalur keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Refleksi filsafat yang dikembangkan oleh Notonegoro untuk menggali nilai-nilai abstrak,
hakikat nilai-nilai Pancasila, ternyata kemudian dijadikan pangkal tolak pelaksanaannya
yang berujud konsep pengamalan yang bersifat subjektif dan objektif. Pengamalan secara
objektif adalah pengamalan di bidang kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan yang
penjelasannya berupa suatu perangkat ketentuan hukum yang secara hierarkis berupa
pasal-pasal UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang Organik dan peraturan-peraturan
pelaksanaan lainnya. Pengamalan secara subjektif adalah pengamalan yang dilakukan oleh
manusia individual, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat ataupun
sebagai pemegang kekuasaan yang penjelmaannya berupa tingkah laku dan sikap dalam
hidup sehari-hari. Nilai-nilai yang bersumber dari hakikat Tuhan, manusia, satu rakyat dan
adil dijabarkan menjadi konsep Etika Pancasila, bahwa hakikat manusia Indonesia adalah
untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi- Ketuhanan Yang Maha Esa, berperi-
Kemanusiaan, berperi-Kebangsaan, berperi-Kerakyatan, dan berperi-Keadilan Sosial.

Anda mungkin juga menyukai