Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KEPERAWATAN HIV AIDS

“TERAPI KOMPLEMENTER PADA PASIEN HIV”

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan HIV AIDS
Dosen : Dede Suharta, S.Kep.,M.Pd

Disusun Oleh :

1. Dina Agusti (KHGC.17069)


2. Farerine Fishshuri (KHGC.17079)
3. Fitria Budi Rochmawati (KHGC.17102)
4. Mega Rahayu (KHGC.17056)
5. Silvi Sri Wahyuni (KHGC.17089)

Kelas : 2B S1 keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Karsa Husada Garut

Program Studi S1 Keperawatan


2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini tepat waktu.

Makalah ini tentang Terapi Komplementer pada Pasien HIV yang disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan HIV AIDS.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan


dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam


penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran yang
bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi perbaikan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca baik itu mahasiswa
dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan yang berguna untuk kita semua. Akhir kata
kami ucapkan terima kasih.

Garut , 15 Mei 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................2


DAFTAR ISI ..........................................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………………4
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................5
1.3 Tujuan ................................................................................................................5
1.4 Manfaat ..............................................................................................................5
BAB II : PEMBAHASAN………………………………………………………..6
2.1 Definisi Terapi Komplementer ..........................................................................6
2.2 Macam-macam Terapi Komplementer ..............................................................9
2.3 Peran Perawat dalam Terapi Komplementer....................................................10
2.4 Penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS…………………………..11
BAB III : PENUTUP……………………………………………………………18
3.1 Simpulan ..........................................................................................................18
3.2 Saran .................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...…………………...………………………………….....19

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan terapi komplementer akhirakhir ini menjadi sorotan banyak
negara. Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam
pelayanan kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder & Lindquis,
2002). Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif
dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional (Smith et al., 2004).
Data lain menyebutkan terjadi peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer
di Amerika dari 33% pada tahun 1991 menjadi 42% di tahun 1997 (Eisenberg, 1998
dalam Snyder & Lindquis, 2002).
Klien yang menggunakan terapi komplemeter memiliki beberapa alasan.
Salah satu alasannya adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, yaitu
adanya harmoni dalam diri dan promosi kesehatan dalam terapi komplementer.
Alasan lainnya karena klien ingin terlibat untuk pengambilan keputusan dalam
pengobatan dan peningkatan kualitas hidup dibandingkan sebelumnya. Sejumlah
82% klien melaporkan adanya reaksi efek samping dari pengobatan konvensional
yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer (Snyder & Lindquis,
2002).
Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan pengobatan
masyarakat. Di berbagai tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien bertanya
tentang terapi komplementer atau alternatif pada petugas kesehatan seperti dokter
ataupun perawat. Masyarakat mengajak dialog perawat untuk penggunaan terapi
alternatif (Smith et al., 2004). Hal ini terjadi karena klien ingin mendapatkan
pelayanan yang sesuai dengan pilihannya, sehingga apabila keinginan terpenuhi
akan berdampak ada kepuasan klien. Hal ini dapat menjadi peluang bagi perawat
untuk berperan memberikan terapi komplementer.
Peran yang dapat diberikan perawat dalam terapi komplementer atau
alternatif dapat disesuaikan dengan peran perawat yang ada, sesuai dengan batas
kemampuannya. Pada dasarnya, perkembangan perawat yang memerhatikan hal ini

4
sudah ada. Sebagai contoh yaitu American Holistic Nursing Association (AHNA),
Nurse Healer Profesional Associates (NHPA) (Hitchcock et al., 1999). Ada pula
National Center for Complementary/Alternative Medicine (NCCAM) yang berdiri
tahun 1998 (Snyder & Lindquis, 2002).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Terapi Komplementer ?
2. Apa saja macam-macam Terapi Komplementer ?
3. Bagaimana peran perawat dalam Terapi Komplementer ?
4. Bagaimana penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS ?

1.3 Tujuan
1. Untuk memahami definisi dari Terapi Komplementer.
2. Untuk mengetahui macam-macam Terapi Komplementer.
3. Agar mengetahui bagaimana peran perawat dalam Terapi Komplementer.
4. Agar memahami bagaimana penerapan Terapi Komplementer pada
HIV/AIDS.

1.4 Manfaat
Untuk mengintegrasikan terapi komplementer pada HIV/Aids and long term care

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Terapi Komplementer


Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan
dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke
dalam pengobatan modern (Andrews et al., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai
terapi modalitas atau aktivitas yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam
pelayanan kesehatan (Crips & Taylor, 2001). Terapi komplementer juga ada yang
menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi
yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan
individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi
(Smith et al., 2004).
Pendapat lain menyebutkan terapi komplementer dan alternatif sebagai
sebuah domain luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem
kesehatan, modalitas, praktik dan ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara
berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang umum di masyarakat atau budaya
yang ada (Complementary and alternative medicine/CAM Research Methodology
Conference, 1997 dalam Snyder & Lindquis, 2002). Terapi komplementer dan
alternatif termasuk didalamnya seluruh praktik dan ide yang didefinisikan oleh
pengguna sebagai pencegahan atau pengobatan penyakit atau promosi kesehatan
dan kesejahteraan.
Definisi tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai pengembangan
terapi tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang
mempengaruhi keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan
spiritual. Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut ada yang telah lulus uji klinis
sehingga sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini sesuai dengan prinsip
keperawatan yang memandang manusia sebagai makhluk yang holistik (bio, psiko,
sosial, dan spiritual).
Prinsip holistik pada keperawatan ini perlu didukung kemampuan perawat
dalam menguasai berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk terapi

6
komplementer. Penerapan terapi komplementer pada keperawatan perlu mengacu
kembali pada teori-teori yang mendasari praktik keperawatan. Misalnya teori
Rogers yang memandang manusia sebagai sistem terbuka, kompleks, mempunyai
berbagai dimensi dan energi. Teori ini dapat mengembangkan pengobatan
tradisional yang menggunakan energi misalnya tai chi, chikung, dan reiki.
Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat dalam
mengembangkan terapi komplementer misalnya teori transkultural yang dalam
praktiknya mengaitkan ilmu fisiologi, anatomi, patofisiologi, dan lain-lain. Hal ini
didukung dalam catatan keperawatan Florence Nightingale yang telah menekankan
pentingnya mengembangkan lingkungan untuk penyembuhan dan pentingnya
terapi seperti musik dalam proses penyembuhan. Selain itu, terapi komplementer
meningkatkan kesempatan perawat dalam menunjukkan caring pada klien (Snyder
& Lindquis, 2002).
Hasil penelitian terapi komplementer yang dilakukan belum banyak dan
tidak dijelaskan dilakukan oleh perawat atau bukan. Beberapa yang berhasil
dibuktikan secara ilmiah misalnya terapi sentuhan untuk meningkatkan relaksasi,
menurunkan nyeri, mengurangi kecemasan, mempercepat penyembuhan luka, dan
memberi kontribusi positif pada perubahan psikoimunologik (Hitchcock et al.,
1999). Terapi pijat (massage) pada bayi yang lahir kurang bulan dapat
meningkatkan berat badan, memperpendek hari rawat, dan meningkatkan respons.
Sedangkan terapi pijat pada anak autis meningkatkan perhatian dan belajar. Terapi
pijat juga dapat meningkatkan pola makan, meningkatkan citra tubuh, dan
menurunkan kecemasan pada anak susah makan (Stanhope, 2004). Terapi
kiropraksi terbukti dapat menurunkan nyeri haid dan level plasma prostaglandin
selama haid (Fontaine, 2005).
Hasil lainnya yang dilaporkan misalnya penggunaan aromaterapi. Salah
satu aromaterapi berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat untuk mengatasi
infeksi bakteri dan jamur (Buckle, 2003). Minyak lemon thyme mampu membunuh
bakteri streptokokus, stafilokokus dan tuberkulosis (Smith et al., 2004). Tanaman
lavender dapat mengontrol minyak kulit, sedangkan teh dapat membersihkan
jerawat dan membatasi kekambuhan (Key, 2008). Dr. Carl menemukan bahwa

7
penderita kanker lebih cepat sembuh dan berkurang rasa nyerinya dengan meditasi
dan imagery (Smith et al., 2004). Hasil riset juga menunjukkan hipnoterapi
meningkatkan suplai oksigen, perubahan vaskular dan termal, mempengaruhi
aktivitas gastrointestinal, dan mengurangi kecemasan (Fontaine, 2005).
Hasil-hasil tersebut menyatakan terapi komplementer sebagai suatu
paradigma baru (Smith et al., 2004). Bentuk terapi yang digunakan dalam terapi
komplementer ini beragam sehingga disebut juga dengan terapi holistik.
Terminologi kesehatan holistik mengacu pada integrasi secara menyeluruh dan
mempengaruhi kesehatan, perilaku positif, memiliki tujuan hidup, dan
pengembangan spiritual (Hitchcock et al., 1999).
Terapi komplementer dengan demikian dapat diterapkan dalam berbagai
level pencegahan penyakit.
Terapi komplementer dapat berupa promosi kesehatan, pencegahan
penyakit ataupun rehabilitasi. Bentuk promosi kesehatan misalnya memperbaiki
gaya hidup dengan menggunakan terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan nutrisi
sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur akan meningkatkan kesehatan tubuh.
Intervensi komplementer ini berkembang di tingkat pencegahan primer, sekunder,
tersier dan dapat dilakukan di tingkat individu maupun kelompok misalnya untuk
strategi stimulasi imajinatif dan kreatif (Hitchcock et al., 1999).
Pengobatan dengan menggunakan terapi komplementer mempunyai
manfaat selain dapat meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh juga lebih
murah. Terapi komplementer terutama akan dirasakan lebih murah bila klien
dengan penyakit kronis yang harus rutin mengeluarkan dana. Pengalaman klien
yang awalnya menggunakan terapi modern menunjukkan bahwa biaya membeli
obat berkurang 200-300 dolar dalam beberapa bulan setelah menggunakan terapi
komplementer (Nezabudkin, 2007).
Minat masyarakat Indonesia terhadap terapi komplementer ataupun yang
masih tradisional mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengunjung
praktik terapi komplementer dan tradisional di berbagai tempat. Selain itu, sekolah-
sekolah khusus ataupun kursuskursus terapi semakin banyak dibuka. Ini dapat
dibandingkan dengan Cina yang telah memasukkan terapi tradisional Cina atau

8
traditional Chinese Medicine (TCM) ke dalam perguruan tinggi di negara tersebut
(Snyder & Lindquis, 2002).
Kebutuhan perawat dalam meningkatnya kemampuan perawat untuk
praktik keperawatan juga semakin meningkat. Hal ini didasari dari berkembangnya
kesempatan praktik mandiri. Apabila perawat mempunyai kemampuan yang dapat
dipertanggungjawabkan akan meningkatkan hasil yang lebih baik dalam pelayanan
keperawatan.

2.2 Macam-macam Terapi Komplementer


Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif. Contoh terapi
komplementer invasif adalah akupuntur dan cupping (bekam basah) yang
menggunakan jarum dalam pengobatannya. Sedangkan jenis non-invasif seperti
terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, terapi suara), terapi biologis (herbal,
terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin, hidroterapi colon dan terapi
sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki, rolfing, dan terapi lainnya
(Hitchcock et al., 1999)
National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM)
membuat klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima kategori.
Kategori pertama, mind-body therapy yaitu memberikan intervensi dengan
berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala
fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan (imagery), yoga, terapi musik,
berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai chi, dan terapi seni.
Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan
kesehatan yang mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari
Barat misalnya pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika,
cundarismo, homeopathy, naturopathy. Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM
adalah terapi biologis, yaitu natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya
misalnya herbal, makanan).
Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini
didasari oleh manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi,
macam-macam pijat, rolfing, terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. Terakhir,

9
terapi energi yaitu terapi yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh (biofields)
atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya terapetik sentuhan, pengobatan
sentuhan, reiki, external qi gong, magnet. Klasifikasi kategori kelima ini biasanya
dijadikan satu kategori berupa kombinasi antara biofield dan bioelektromagnetik
(Snyder & Lindquis, 2002).
Klasifikasi lain menurut Smith et al (2004) meliputi gaya hidup (pengobatan
holistik, nutrisi), botanikal (homeopati, herbal, aromaterapi); manipulatif
(kiropraktik, akupresur & akupunktur, refleksi, massage); mind-body (meditasi,
guided imagery, biofeedback, color healing, hipnoterapi). Jenis terapi
komplementer yang diberikan sesuai dengan indikasi yang dibutuhkan. Contohnya
pada terapi sentuhan memiliki beberapa indikasinya seperti meningkatkan
relaksasi, mengubah persepsi nyeri, menurunkan kecemasan, mempercepat
penyembuhan, dan meningkatkan kenyamanan dalam proses kematian (Hitchcock
et al., 1999).
Jenis terapi komplementer banyak sehingga seorang perawat perlu
mengetahui pentingnya terapi komplementer. Perawat perlu mengetahui terapi
komplementer diantaranya untuk membantu mengkaji riwayat kesehatan dan
kondisi klien, menjawab pertanyaan dasar tentang terapi komplementer dan
merujuk klien untuk mendapatkan informasi yang reliabel, memberi rujukan terapis
yang kompeten, ataupun memberi sejumlah terapi komplementer (Snyder &
Lindquis, 2002). Selain itu, perawat juga harus membuka diri untuk perubahan
dalam mencapai tujuan perawatan integratif (Fontaine, 2005).

2.3 Peran Perawat Dalam Terapi Komplementer


Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi
komplementer diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi
pelayanan langsung, koordinator dan sebagai advokat. Sebagai konselor perawat
dapat menjadi tempat bertanya, konsultasi, dan diskusi apabila klien membutuhkan
informasi ataupun sebelum mengambil keputusan. Sebagai pendidik kesehatan,
perawat dapat menjadi pendidik bagi perawat di sekolah tinggi keperawatan seperti
yang berkembang di Australia dengan lebih dahulu mengembangkan kurikulum

10
pendidikan (Crips & Taylor, 2001). Peran perawat sebagai peneliti di antaranya
dengan melakukan berbagai penelitian yang dikembangkan dari hasilhasil
evidence-based practice.
Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya
dalam praktik pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer
(Snyder & Lindquis, 2002). Perawat lebih banyak berinteraksi dengan klien
sehingga peran koordinator dalam terapi komplementer juga sangat penting.
Perawat dapat mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter yang merawat
dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat berperan untuk
memenuhi permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin
diberikan termasuk perawatan alternatif (Smith et al.,2004).

2.4 Penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS


Para pengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus), dengan pemenuhan
nutrisi dan ketenangan spiritual bisa memperpanjang harapan hidup mereka. Terapi
alternatif komplementer, seperti; akupunktur, akupressur, meditasi, dan
mengomsumsi tanaman obat dapat menambah daya tahan tubuh dan pertumbuhan
sel-sel imun. ketenangan spiritual dan nutrisi peningkat daya tahan membuat virus
lebih jinak dan memperlambat perkembangannya dalam tubuh manusia, sehingga
memberi kesempatan CD4 yaitu sel pembentuk daya tahan tubuh untuk
berkembang dan memperbanyak diri.
Akupunktur dan akupressur diberikan untuk memperkuat organ-organ vital,
seperti; paru-paru, ginjal, lambung, dan limpa, pada masa awal infeksi HIV.
Sebelum d aya tahan tubuh dan sel- sel CD4 turun karena infeksi HIV.
1. Terapi informasi
Untuk mengetahui ‘terapi informasi’, mungkin kita harus mencari arti kata
‘terapi’ terlebih dahulu. Dalam kamus, definisi terapi adalah “usaha untuk
memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit”. Tidak disebut “usaha medis” dan
juga tidak disebut penyembuhan penyakit. Maka kita bisa paham bahwa terapi
adalah lebih luas daripada sekedar pengobatan atau perawatan. Apa yang dapat

11
memberi kesenangan, baik fisik maupun mental, pada seseorang yang sedang sakit
dapat dianggap terapi.
Kita cenderung menganggap ‘terapi’ sebagai suatu yang fisik: pil, jamu, pijat,
akupuntur. Jarang kita dengar ‘informasi dianggap sebagai terapi. Terapi informasi
melatarbelakangi semua bentuk terapi lain. Tanpa informasi, bagaimana kita dapat
mengetahui tentang berbagai terapi yang ada? Apakah terapi itu efektif? Untuk
gejala apa? Dimana terapi itu tersedia? Bagaimana kita dapat memperolehnya? Dan
berapa harganya?
Terapi informasi bukan sekedar penegtahuan. Kita ambil contoh seseorang yang
baru dites HIV dan hasilnya ternyata positif. Setelah lewat rasa terkejut (shock),
banyak pertanyaan akan muncul: apa itu AIDS? Apa bedanya dengan HIV?
Bagaimana kelanjutanya? Bagaimana penularanya? Apa pengobatanya? Gejalanya
apa? Orang yang baru ditentukan terinfeksi HIV (serta keluarga dan sahabatnya)
pertama akan merasa mati kutu. Konseling pasca (atau sesudah) tes yang paling
sempurna pun tidak mungkin dapat menjawab semua pertanyaan kita dan kita tidak
berada dalam keadaan untuk bertanya, atau pun menangkapi jawaban. Pasti kita
merasa muram, kita tidak dapat membayangkan masa depan. Apa pengobatan untuk
dperesi ini? Bukan obta, bukan pengobatan medis, tetapi jawaban terhadap
pertanyaan kita. Informasi, dengan bentuk dan bahasa yang dapat kita pahami dn
pada waktu kita perlukan. Informasi akan mengobati ketidakpahaman kita, depresi
kita, memulihkan dan menyelakan jiwa kita. Dan seperti halnya berbagai macam
terapi, terapi informasi adalah suatu perjalanan, sebuah proses yang akan
berlangsung secara terus-menerus.
Ketakutan terhadap hal yang tak dikenal adalah macam ketakutan yang buruk.
Kita semua pernah mengalami kekhawatiran yang diakibatkan oleh ketakutan kita
tahu dampaknya terhadap tidur, nafsu makan, terhadap kemampuan kita untuk
melanjutkan kehidupan kita sehari-hari. Kita semua tahu bagaimana ketakutan ini
dapat memepengaruhi kesehatan kita sendiri. Adalah terkenal bahwa stres dapat
mempengaruhi system kekebalan tubuh kita, jadi dalam keadaan stres, kita lebih
mungkin terinfeksi penyakit seperti flu dan ini juga akan menambah rasa khawatir
dan takut, terutama bagi odha.

12
Pertolongan perta auntuk mengobati ketakutan terhadap hal yang tak diketahui
adalah informasi yang jelas dan tepat. Bila kita mulai memahami apa arti menjadi
HIV-positif, kita dapat mulai menerima penyakit ini, mungkin bahwa itu bukan
vonis mati, dan mulai merencanakan tanggapan kita sendiri yaitu kumpulan terapi
lain yang kita akan mengukutinya. Dengan perncanaan begitu dan tindakanya dan
rasa ketakutan kita akan berkurang dan stress yang terkait denganya akan mulai
menurun juga. Jadi, informasi untuk membantu kita jadi paham.
2. Terapi spiritual
Dewasa ini konsep kedokteran moderen mengenai pengobatan ialah dengan
pertimbangan aspek biopsikososial. Artinya pengobatan tidak hanya berusaha
untuk mengembalikan fungsi fisik seseorang tetapi juga fungsi psikis dan social.
Pendekatan ini menepatkna kembali pengobatan spiritual sebagai salah satu cara
pengobatan dalam upaya penyembuhan penderita.
Di Indonesia pengobatan spiritual biasanya dikaitkan dengan agama. Seseorang
pemeluk agama islam misalnya cenderung untuk menjalani pengobatan spiritual
yang dilaksanakan sesuai ajaran agama islam, misalnya berzikir, berdoa, berpuasa,
sholat hajat dll. Dalam agama lain juga terdapat kegiatan ritual untuk penyembuhan
baik yang dibimbing oleh rohaniawan maupun yang dilakukan sendiri. Odha dapat
memilih untuk menjalankana pengobata spiritual yang sesuai dengan agamanya
atau pengobatan spiritual yang berlaku umum. Bila dia memilih pengobatan
spiritual yang sesuai dengan agamanya maka kegiatan tersebut tidak asing lagi
baginya serta mendukung jemaah yang dikenal dan akrab akan mempermudah
sosialisasi.
3. Terapi nutrisi
Nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV /AIDS untuk
mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi system imun, meningkatkan
kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, dan menjaga orang yang hidup dengan
HIV/AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai
pada orang degan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak dini walaupun pada
ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi terjadi karena
HIV menyebabkan kehilangan nafsu makan dan gangguan absorbs zat gizi. Di unti

13
perawatan intermediet penyakit terdapat 87% ODHA dengan berat badan di bawah
normal.
Sebagian besar para ODHA dan keluarga mengatakan bahwa nafsu makanya
menurun sehingga frekuensi makan juga berkurang. Keadaan ini dimanfaatkan oleh
HIV untuk berkembang lebih cepat. Di samping itu daya tahan tubuh untuk
melawan HIV menjadi berkurang. Untuk mendapatkan nutrisi yang sehat dan
berimbang, ODHA sebaiknya mengosumsi makanan yang bervariasi, seperti
makanan pokok, kacang-kacangan, produk susu, daging, serta sayur dan buah-
buahan setiap hari, lemak dan gula, dan meminum banyak air bersih dan aman. Bila
diperlukan bisa diberikan zat gizi mikro dalam bentuk supleme makanan sera jus
buah dan sayur.
A. Pentingnya nutrsi bagi pasien HIV/AIDS
Nutrisi yang sehat dan sembang harus selalu diberikan pada klien dengan
HIV/AIDS pada semua tahap infeksi HIV. Perawatan dan dukungan nutrisi
bagi pasien berfungsi untuk
1. mempertahankan kekuatan tubuh dan berat badan
2. mengganti kehilangan vitamin dan minerl
3. meningkatkan fungsi sitem imun dan kemampuan tubuh untuk memerangi
infeksi
4. memperpanjang periode dari infeksi hingga perkembangan menjadi
panyakit AIDS
5. meningkatkan respon terhadap pengobatan, mengurangi waktu dan uang
yang dihabiskan untuk perawatan kesehatan
6. menjaga orang yang hidup dengan HIV/AIDS agar dapat tetap aktif,
sehingga memungkinkan mereka untuk merawat diri sendiri, keluarga dan
anak-anak mereka
7. menjaga orang dengan HIV/AIDS agar tetap produktif, mampu berkerja,
tumbuh baik dan tetap berkontribusi terhadap pemasukan kelurga mereka
(FAO-WHO, 2002).

14
Makanan penting bagi tubuh kita untuk: (1). berkembang, mengganti dan
memperbaiki sel-sel dan jaringan, (2). memproduksi energy agar tetap hangat,
bergerak dan berkerja, (3). membawa proses kimia misalnya pencernaan makanan,
(4). melindungi melawan, bertahan terhadap infeksi serta mambantu proses
penyembuhan penyakit. Makan terdiri atas zat gizi mikro dan makro. Zat gizi mikro
dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil, sedangkan zat gizi makro (kabohidrat,
protein dan lemak) dibutuhkan dalam jumlah yang lebih banyak (FAO-WHO,
2002).
B. Bahan makanan yang dianjurkan dikonsumsi pasien
Berbagai bahan makanan yang banyak di dapatkan di Indonesia seperti
tempe, kelapa, wortel, kembang kol, sayuran dan kacang-kacangan dapat
diberikan dalam penatalaksanaan gizi pada pasien.
1. Tempe atau produknya mengandung protein dan vitamin B12 untuk mencukupi
kebutuhan pasien dan mengandung bakterisida yang dapat mengobati dan
mencegah diare.
2. Kelapa dan produknya dapat memenuhi kebutuhan lemak sekaligus sebagai
sumber energy karena mengandung medium chain trigliserida (MCT) yang
mudah diserap dan tidak menyebabkan diare. MCT merupakan sumber energy
yang dapat digunakan untuk pembentukan sel.
3. Wortel kaya kandungan beta karoten sehingga dapat meningkatkan daya tahan
tubuh dan sebagai bahan pembentukan CD4, vitamin C, vitamin E, dan beta
karoten berfungsi sebagai antiradical bebas yang dihasilkan oleh perusakan
oleh HIV pada sel tubuh.
4. Sayuran hijau dan kacang-kacangan, mengandung vitamin neurotropik yakni
vitamin B1, B6, B12 dan zat gizi mikro lainya yang berfungsi untuk pembentukan
CD4 dan pencegahan anemia.
5. Buah alpukat mengandung banyak lemak yang sangat tinggi dan dapat
dikonsumsi sebagai bahan makanan tambahan. Lemak tersebut dalam bentuk
MUFA (mono unsaturated fatty acid) yang 63% dari jumlah tersebut berfungsi
sebagai antioksidan dan dapat menurunkan HDL, selain itu alpukat juga
mengandung glutation untuk menghambat replikasi HIV.

15
C. Jus buah dan sayur
Orang yang terinfeksi HIV akan kehilangan selerah makan dan sulit menguyah
makanan, daya serap pencernaan dan tubuh juga lemah, oleh karenyanya pasien
membutuhkan makanan yang mudah dikunya dan diserap tubuh serta
meningkatlkan nafsu makan. Olahan berupa jus dibutuhkan agar kandungan gizinya
mudah dan cepat diserap oleh tubuh sehingga energi akan meningkatnkan dan tuuh
lebih sehat.
Gizi yang terkandung dalam jus buah dan sayuran tergolong lengkap seperti
protein, kabohidrat, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral. Lemak yang
terkandung dalam buah dan sayur termaksud lemak yang menguntungkan yang
berperan sebagai komponen sel saraf, membrane sel, homon dalam tubuh.
Jus mengandung enzim alami yang bermanfaat untuk pencernaan sehinggah
tubuh tidak mengeluarkan enzim pencernaan dan energy dapat dihemat
untukperbaikan peremajaan sel. Jus hanya memerlukan waktu penyerapan 5 menit
sedangkan makanan yang lain memerlukan waktu 3-5 jam (putu, oka 2005).
4. Terapi fisik
Terapi fisik adalah upaya yang bisa dijadikan alternatif pelengkap dalam upaya
memperbaiki disfungi yang berikatan dengan tubuh yang disebabkan HIV, virus
penyebab AIDS. Ada beberapa jenis terapi fisik yang bisa dilakukan. Antara lain
terapi makanan dan jamani.
Pada asanya terapi yang dilakukan bisa membuat daya tahan tubuh atau keadaan
kekebalan ODHA bisa dipertahankan secara maksimal, juga kondisi fisiknya tetap
dilatih agar lebih kuat. Misalnya massa otot orang pada masa AIDS yang biasanya
akan menurun drastis, semakin kurus. Saat seseorang mulai menunjukan gejala,
masa otot dan lemak berkurang perlahan namun pasti. Kalau dari awalnya masa
otot tidak diperhatikan, maka penampilan serta daya tahan akan sangat
berpengaruh.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa olahraga dengan tigkat/ kadar sedang
ternyata bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh menjadi lebih tinggi. Selama
berolahraga, tubuh mengelurkan berbagai hormon. Antara lain yang berfungsi
meningkatnkan mutu dan jumlah limfosit B dan T, serta endfrin, dan enkafalin,

16
serta homon yang berfungsi menurunkan kekebalan seperti suatu hormone yang
disebut ACTH. ACTH bekerja meningkatkan kadar kortisol yang berperan
menekan produksi sel kekebalan.
Keluarnya hormen tersebut sangat beraneka ragam tergantung beberapa factor,
antara lain beratnya latihan. Latihan ringan sampai sedang akan mengelurkan
hormone yang merangsang pembentukan system kekebalan. Sementara latihan
berat yang menimbulkan kelelahan justru sebaliknya, yaitu menekan produksi sel
kekebalan.
Agar keadaan tubuh tetap stabil lebih baik memilih jenis olahraga yang tidak
menimbulkan stress. Seperti jalan kaki dan renag. Terapi jenis jasmani lain yang
bisa dilakukan adalah tehnik aromaterapi. Beberapa alhi menyarankan penggunaan
wewangian berbagai jenis tumbuhan, seperti lavender. Yoga, meditasi, dan
pemijatan merupakan tehnik yang baik untuk dipilih sebagai alternative terapi fisik-
jasmani yang lain. Beberapa penelitian membuktikan bahwa jenis olah fisik tersebut
mampu menghilangkan stress dan membuat tubuh tenang. Ketenangan yang
diperoleh bisa meningkat pembuatan sel kekebalan tubuh di dalam tubuh.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Masyarakat Indonesia sudah mengenal adanya terapi tradisional seperti jamu
yang telahberkembang lama. Kenyataannya klien yang berobat di berbagai jenjang
pelayanan kesehatantidak hanya menggunakan pengobatan Barat (obatkimia) tetapi
secara mandiri memadukan terapitersebut yang dikenal dengan terapi
komplementer.Perkembangan terapi komplementer ataualternatif sudah luas,
termasuk didalamnya orangyang terlibat dalam memberi pengobatan
karenabanyaknya profesional kesehatan dan terapis selaindokter umum yang
terlibat dalam terapikomplementer. Hal ini dapat meningkatkanperkembangan ilmu
pengetahuan melaluipenelitian-penelitian yang dapat memfasilitasiterapi
komplementer agar menjadi lebih dapat dipertanggungjawabkan.

3.2 Saran
Perawat sebagai salah satu profesional kesehatan, dapat turut serta
berpartisipasi dalam terapi komplementer. Peran yang dijalankan sesuaidengan
peran-peran yang ada. Arah perkembangankebutuhan masyarakat dan keilmuan
mendukunguntuk meningkatkan peran perawat dalam terapikomplementer karena
pada kenyataannya,beberapa terapi keperawatan yang berkembangdiawali dari
alternatif atau tradisional terapi. Kenyataan yang ada, buku-buku
keperawatanmembahas terapi komplementer sebagai isu praktikkeperawatan abad
ke 21. Isu ini dibahas dari aspekpengembangan kebijakan, praktik
keperawatan,pendidikan, dan riset. Apabila isu ini berkembangdan terlaksana
terutama oleh perawat yangmempunyai pengetahuan dan kemampuan tentangterapi
komplementer, diharapkan akan dapatmeningkatkan pelayanan kesehatan
sehinggakepuasan klien dan perawat secara bersama-samadapat meningkat (HH,
TH).

18
DAFTAR PUSTAKA

- Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., & Johnson, P.H.
(2003). Nurse’s handbook of alternative and complementary therapies.
Pennsylvania: Springhouse.
- Buckle,S.(2003).Aromatherapy.http// .www.naturalhealthweb.com/articles,
diperoleh 25 Januari 2008.
- Fontaine, K.L. (2005). Complementary & alternative therapies for nursing
practice. 2th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
- Hitchcock, J.E, Schubert, P.E., Thomas, S.A. (2006). Community health
nursing: Caring in action. USA: Delmar Publisher.
- Key, G. (2008). Aromatherapy beauty tips. http// .www.naturalhealthweb.
com/articles/ georgekey3.html, diperoleh 25 Januari 2008.
- Nezabudkin, V. (2007). How to research alternatif treatment before using
them.http// .www.naturalhealthweb.com/articles/ Nezabudkin1.html,
diperoleh 25 Januari 2008.
- Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C. (2004). Clinical nursing skills: Basic
to advanced skills. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
- Snyder, M. & Lindquist, R. (2002). Complementary/alternative therapies in
nursing. 4th ed. New York: Springer.
- Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community & public health nursing.
6th ed. St. Louis: Mosby Inc.

19

Anda mungkin juga menyukai