Konflik Dan Negosiasi
Konflik Dan Negosiasi
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perilaku Organisasi
Disusun oleh:
KELAS 4
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul, “Konflik dan
Negosiasi”. Tak lupa shalawat serta salam, semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, para keluarganya, sahabat-sahabatnya,
tabiit-tabiitnya sampai pada kita selaku umatnya.
Makalah ini merupakan tugas yang disusun sebagai salah satu tugas mata
kuliah Perilaku Organisasi di Politeknik Negeri Bandung. Dalam penyusunan
makalah ini penulis banyak mendapatkan kendala, namun berkat bantuan dari
banyak pihak dalam bentuk motivasi pengarahan maupun informasi maka
makalah ini dapat diselesaikan.
1. Kedua orang tua dan seluruh anggota keluarga penulis yang selalu
memberikan bantuan dan dukungan.
2. Ibu Nurlaila Fadjarwati selaku dosen mata kuliah Perilaku Organisasi
kelas 4 Administrasi Bisnis D4 yang telah memberikan ilmu dan
pengabdian terbaiknya.
3. Seluruh teman-teman penulis yang sudah mengisi hari-hari penulis dan
memberi motivasi dan bantuannya.
Dengan segala kerendahan hati, penulis siap menerima saran maupun kritik
yang konstruktif dari siapapun. Walaupun makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca.
Bandung, 22 Oktober 2014
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
3
b. Interactionist view of conflict, yang menyatakan bahwa konflik bukan sekedar
sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak perlu
untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja positif. Oleh karena itu konflik
harus diciptakan. Pandangan ini didasari keyakinan bahwa organisasi yang
tenang, harmonis, damai ini justru akan membuat organisasi itu menjadi statis,
stagnan dan tidak inovatif. Dampaknya dalam kinerja organisasi menjadi
rendah.
c. Resolution-focused view of conflict, pandangan ini menyatakan bahwa konflik
merupakan sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak terelakan dalam setiap
kelompok manusia. Konflik tidak selalu buruk karena memiliki potensi
kekuatan yang positif di dalam menentukan kinerja kelompok, yang oleh
karena itu konflik harus dikelola dengan baik.
Menurut Robbins & Judge (2013) proses konflik dapat dipahami sebagai
sebuah proses yang terdiri atas lima tahapan yaitu, potensi pertentangan atau
ketidakselarasan, kognisi dan personalisasi, maksud, perilaku, dan hasil.
4
Tahap 1 : Potensi Pertentangan atau Ketidakselarasan
5
ketergantungan memungkinkan satu kelompok mendapat hasil sembari merugikan
kelompok lain,daya konflik pun akan terangsang.
Tahap 3 : Maksud
6
Kedua, sifat tegas (kadar sampai mana salah-satu pihak berupaya
memperjuangkan kepentingannya sendiri). Adapun lima maksud penanganan
konflik berhasil diidentifikasikan, yaitu sebagai berikut: bersaing (tegas dan tidak
kooperatif), bekerja sama (tegas dan kooporatif), menghindar (tidak tegas dan
tidak kooperatif), akomodatif (tidak tegas dan kooperatif), dan kompromis
(tengah-tengah antara tegas dan kooperatif).
- Menghindar, merupakan hasrat untuk menarik diri dari atau menekan sebuah
konflik.
Tahap 4 : Perilaku
Meliputi pernyataan aksi dan reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang
berkonflik. Dengan demikian dalam konflik dibutuhkan teknik-teknik manajemen
konflik sehingga mendorong konflik mencapai tingkat konflik yang diinginkan.
Untuk meredakan konflik yang ada, diperlukan untuk mempelajari teknik-teknik
manajemen konflik. Manajemen konflik adalah pemanfaatan teknik-teknik
resolusi dan dorongan (stimulasi) untuk mencapai tingkat konflik yang
diinginkan.
7
Tabel2.1
Teknik-teknik manajemen konflik
8
Memasukkan orang Menambahkan karyawan ke suatu kelompok dengan
luar latar belakang, nilai-nilai, sikap, atau gaya
manajerialnya berbeda dari anggota-anggota yang
ada sekarang
Restrukturisasi Menata ulang kelompok-kelompok kerja, mengubah
organisasi aturan dan ketentuan, meningkatkan
kesalingketergantungan, dan membuat perubahan
struktural yang diperlukan untuk menggoyang status
quo
Membuat kambing Menunjuk seorang pengkritik untuk secara sengaja
hitam mendebat posisi mayoritas yang digenggam oleh
kelompok
Sumber : Robbins, 2006
Tahap 5: Hasil
1. Hasil Fungsional
9
2. Hasil Disfungsional
10
untuk mencari jalan keluar untuk menyelesaikan pertentangan yang sesuai
kesepakatan bersama.
Pihak A dan B mewakili kedua perunding. Tiap titik sasaran menetapkan apa
yang ingin dicapainya. Masing-masing juga mempunyai titik penolakan
(resistance point) yang menandai hasil terendah yang dapat diterima.
b. NegosiasiIntegratif
11
Negosiasidistributif, pemecahan masalah integratif berjalan dengan pengandaian
bahwa terdapat satu atau lebih penyelesaian yang akan menciptakan pemecahan
masing-masing.
12
2.6 Proses Negosiasi
Menurut Robbins & Judge (2013)proses negosiasi memiliki suatu model
yang memiliki lima langkah, yaitu seperti pada gambar berikut:
Dan juga beberapa hal mengenai pendirian pihak lain terhadap tujuan
perundingan yaitu seperti sebagai berikut:
13
- Apa yang mungkin mereka minta?
- Seberapa besar mereka bertahan pada posisi mereka?
- Apa yang penting bagi mereka?
- Apa yang ingin mereka selesaikan?
Dengan menyiapkan beberapa poin diatas, maka pada saar perundingan
berlangsung akan semakin siap dalam mengatasi pendirian lawan dan siap untuk
melawan argumen-argumen lawan dengan fakta dan angka yang mendukung.
Dan mengembangkan strategi dengan menetapkan BATNA (Best alternative
to a negotiated agreement). BATNA adalah alternatif terbaik pada suatu
persetujuan yang dirundingkan; nilai terendah yang dapat diterima pada seorang
individu untuk suatu persetujuan yang dirundingkan.
Pada tahap ini, pihak-pihak terkait juga akan mempertukarkan usulan atau
tuntutan mereka.
14
Pada tahap ini, kedua belah pihak memberi informasi mengenai persoalan,
mengapa persoalam ini penting, dan bagaimana keinginan masing-masing pihak.
Di tahap ini lah hakikat dari proses perundingan yaitu beri dan ambil yang
aktual dalam upaya memperbincangkan suatu persetujuan. Di tahap ini juga kedua
belah pihak perlu membuat sebuah konsesi (kontrak).
15
2. Perbedaan Gender dalam Negosiasi
16
2. Arbitrator adalah di mana pihak ketiga memiliki wewenang memaksa
terjadinya kesepakatan. Kelebihan arbitrase dibanding mediasi adalah bahwa
arbitrase selalu menghasilkan penyelesaian.
3. Konsiliator adalah seseorang yang dipercaya oleh kedua pihak dan bertugas
menjembatani proses komunikasi pihak-pihak yang bersitegang. Seorang
konsiliator tidak memiliki kekuasaan formal untuk mempengaruhi hasil akhir
negosiasi seperti seorang mediator.
17
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus
18
Pada kesempatan terpisah, KSAL Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno
mengemukakan, hingga kini pembahasan batas laut antara Indonesia dengan
Malaysia, terutama di Ambalat, belum selesai. "Malaysia dengan kita memang
beda paham soal batas wilayah itu," katanya seusai pelantikan perwira lulusan
Pendidikan Pembentukan Perwira di Komando Pengembangan dan Pendidikan
TNI AL (Kobangdikal), Surabaya.
Kasus diatas merupakan cerita lama antara dua negara tetangga dan
serumpun yang masih memperebutkan wilayah teritorial, hubungan kedua negara
tetangga tersebut mengalami ketegangan yang mencemaskan. Setelah kasus
Sipadan dan Ligitan, blok Ambalat sampai sekarang masih menjadi
persengketaan, saling mengklaim antar kedua negara tersebut tidak dapat
dihindari, karena masing-masing pihak merasa pihaknya yang paling benar.
Permasalahan antara RI-Malaysia ini pun akan semakin tegang dan menyeret
konflik yang lebih luas. Seperti yang dikutip dari kasus diatas “Terkait itu,
menurut Panglima TNI, persoalan di Ambalat akan dibahas pada Komite Tingkat
19
Tinggi GBC Malindo, yakni forum bilateral antara panglima angkatan bersenjata
RI-Malaysia”. Proses negosiasi atas inisiatif kedua belah pihak masih tidak
menggunakan pihak ketiga yakni antara dua pihak yang bersengketa saja yaitu
forum bilateral angkatan panglima bersenjata RI-Malaysia yang menurut
pemberitaan kerap kali bersitegang, saat keduanya melakukan patroli di blok
Ambalat yang diakuinya sebagai bagian dari kedaulatan masing-masing negara.
Dalam kasus diatas akan terjadi proses negosiasi yang diprakarsai oleh dua
negara yang bersengketa melalui forum GBC Malindo. Seperti dikatakan
Robbins& Judge (2013) ada 5 tahapan dalam proses negosiasi, dan bila
diaplikasikan ke dalam kasus akan menjadi seperti ini:
20
memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Hal ini sama halnya dengan penggunaan
Traktat 1904 dalam penegasan perbatasan RI dengan Timor Leste.
Disni baik dari pihak RI dan Malaysia harus menentukan aturan main dari
negosiasi seperti yang disebutkan poin-poin diatas dengan proposal awal atas
tuntutan dari masing-masing kedua belah pihak bisa saling dipertukarkan di tahap
ini, karena antar keduanya pun disinyalir terdapat perbedaan paham, seperti yang
dikutip dari kasus “Pada kesempatan terpisah, KSAL Laksamana Tedjo Edhy
Purdijatno mengemukakan, hingga kini pembahasan batas laut antara Indonesia
dengan Malaysia, terutama di Ambalat, belum selesai. "Malaysia dengan kita
memang beda paham soal batas wilayah itu". Pemahaman yang baik dari segi
ilmiah, teknis dan hukum yang baik oleh kedua pihak diharapkan akan
mengurangi langkah-langkah provokatif yang tidak perlu. Pemahaman seperti ini
tentu saja tidak cukup bagi pemerintah saja, melainkan juga masyarakat luas
untuk bisa memahami dan mendukung terwujudkannya penyelesaian yang adil
dan terhormat.
Pada tahap selanjutnya, yang harus dilakukan adalah semua pihak untuk
memaparkan, menerangkan, mengklarifikasi, mempertahankan dan menjustifikasi
tuntutan awal, pada fase ini juga mungkin perlu untuk memberikan segala
dokumentasi kepada pihak lain yang akan mebantu mendukung posisi kita.
21
Prof Hasyim Djalal mengemukakan bahwa “dari sisi hukum, Malaysia
adalah negara pantai biasa. Oleh karena itu dia hanya bisa memakai dua tipe, yaitu
normal baseline dan straight baseline untuk semua wilayah laut. Kalau Indonesia
bisa memakai garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline). Itu bisa kita
tetapkan mana pulau-pulau terluar kita. Karang Unarang adalah sebenarnya
baseline yang ingin kita pakai sebagai pengganti baseline kita di Sipadan Ligitan.
Kalau dilihat ke PP 38/2002, Sipadan dan Ligitan masih masuk dalam garis
pangkal. Itu sebelum putusan. Namun sebagai negara yang baik dan menerima
putusan, sekarang PP itu sedang dirubah dan kita sedang mengukur-ukur kembali
dan Karang Unarang menjadi pilihan base line kita. Karang Unarang sendiri
berada dalam 12 mil laut dari (pulau) Sebatik yang bagian Indonesia. Kita berhak
sampai 100 mil laut. Kalau ada karang kita masih bisa klaim bahwa itu titik terluar
kita. Karang Unarang sendiri bukan pulau, itu adalah elevasi pasang surut. Jadi
kalau air laut pasang dia tidak terlihat, begitu pula sebaliknya. Namanya law tide
elevation harus ada permanent structure, maka itu kita buat mercusuar sekarang
ini. Sipadan Ligitan sendiri adalah pulau kecil yang jauh dari daratan utama
Malaysia. Lagipula mereka kan bukan negara kepulauan, jadi mereka tidak bisa
menuntut itu. Dari yurisprudensi hukum internasional, penetapan batas landas
kontinen pulau-pulau kecil itu tidak ada. Jadi posisi tawar untuk Indonesia jelas
lebih besar, bargaining position Indonesia sendiri untuk kasus Ambalat ini sangat
besar. Seperti yang diaktakan oleh, ia ingin tahu dasar hukum apa yang dipakai
oleh Malaysia dalam mengklaim blok Ambalat tersebut. Karena kalau anda lihat
dan otak-atik UNCLOS, mereka tidak punya dasar hukum. Sipadan Ligitan
sendiri bisa menjadi as an island, tapi kalau dalam perundingan batas landas
kontinen itu tidak bisa dipaksakan. Dari segi hukum internasional posisi kita
kuat.”
Pada tahap ini hakikatnya dari proses negosiasi yang terletak pada
tindakan memberi dan menerima dengan baik apa yang sesungguhnya guna
22
mencari suatu kesepakatan. Proses Negosiasidilakukan akan terjadi kealotan
dalam proses ini, dikareenakan ini permasalahan yang menyangkut kedaulatan
suatu bangsa, tinggal bagaimana salah satu pihak bisa mengkuatkan bahwa
argumen yang dia bawa itu ada benar adanya tentunya diserrtai dengan bukti-bukti
otentik yang dilindungi oleh hukum.
Pada tahap ini merupakan tahap terakhir dalam proses negosiasi, yaitu
memformalkan kesepakatan yang telah dicapai dan menyusun prosedur-prosedur
yang diperlukan untuk mengimplementasikannya dan mengawasi pelaksanaannya.
Tetapi pada kebanyakan kasus, penutupan proses negosiasi tidak lebih formal dari
sekedar berjabat tangan.Ini bila kesepakatan bisa tercapai sendiri oleh kedua belah
pihak yang bersengketa saja, maka akan lebih baik seperti itu, tapi jika
kesepakatan pada pertemuan yang diselenggarkan di GBC Malindo belum adanya
kata sepakat maka alternatif bisa menggunakan negosiasi pihak ke 3.
Seperi yang disebutkan Robbins & Judge, bahwa pihak ketiga ini memiliki
tiga peran pokok. Peran tersebut antara lain mediator, arbitrator, dan konsiliator.
Pihak ketiga tersebut adalah yang membantu dalam proses negosiasi antara pihak
pertama dan kedua dalam menyelesaikan konflik.
23
suasana win-win yang menuju pada kesepakatan bersama, terlebih pada kasus
persengketaan wilayah batas negara, yang merupakan hal krusial bagi tiap-tiap
negara yang bersengketa. Berbagai faktor dapat mempengaruhi suasana negosiasi
dan dapat menurunkan rasa percaya antar-pihak yang berunding. Apabila hal ini
tidak diatasi, maka negosiasi yang sebenarnya merupakan sarana strategis dapat
berbalik menjadi sarana destruktif yang akibatnya dapat berkepanjangan.
Apabila perjalanan sengketa ini tidak menemui titik terang, maka tidak
mungkin kejadian Papua Barat saat menggunakan pihak ketiga. Dimana setelah
perang dunia ke-II PBB menyeruhkan agar segala persoalan harus diselesaikan
secara damai. Penyelesaian damai dilakukan melalui badan Arbitrase dan organ
PBB yaitu Mahkamah Internasional.
1. Badan Arbitrase
Pelajaran dari kasus ini agar tidak terulang pada kasus Ambalat adalah
dalam pemilihan dan penjukan arbitrator harus pihak-pihak yang tidak
mempunyai kepentingan baik ekonomi, politik atau hal lainnya, seperti tidak
memilih negara Inggris dan Belanda yang mempunyai kepentingan ekonomi atas
blok Ambalat, karena perusahaan Shell yang mendapat izin pengeksplorasian dari
24
negara Malaysia akan ditengarai cenderung lebih berpihak kepada salah satu
pihak saja.
Dan Indonesia Belajar dari kasus Sipadan dan Ligitan, kasus tersebut
langsung dibawa ke Mahkamah Internasional, karena kurang sabarnya melakukan
usaha-usaha penyelesaian secara politis, melalui jalan diplomasi kasus itu berakhir
dengan hasil Pulai Sipadan dan Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia.
Dan penyelesaian kasus ini sampai pada saat ini masih menggunakan
menggunakan strategi Negosiasidistributif, strategi Negosiasiini berusaha untuk
membagi sejumlah tetap sumber daya seperti menurut Luthan (2005) bahwa
hakikat strategi jenis ini adalah menegosiasikan siapa yang mendapat bagian apa
dari sebuah kue yang besarnya sama dan tetap (fixed pie). Maksud kue tersebut
adalah bahwa pihak-pihak yang saling menawar meyakini hanya ada sejumlah
barang atau jasa untuk dibagi. Karena itu, kue tetap adalah permainan zero-sum
dalam arti bahwa dalam kasus ini kue yang dimaksud adalah blok Ambalat, yang
apabila telah dimiliki oleh satu pihak maka pihak yang lain berarti kehilangan
sepenuhnya atas hak kedaulatan blok kepulauan tersebut.
25
BAB IV
SIMPULAN
Konflik adalah suatu bentuk pertentangan yang terjadi antara dua pihak
atau lebih di mana salah satu pihak merasa dirugikan atau dipengaruhi secara
negatif sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap perilaku pihak lain.
Konflik dalam organisasi bisa terjadi dalam diri individu pegawai, antar individu,
dalam kelompok, antar kelompok dan antar organisasi, baik secara vertikal
maupun horizontal sebagai akibat adanya perbedaan karakteristik individu,
masalah komunikasi dan struktur organisasi. Kemampuan manajemen konflik dari
seorang manajer dituntut untuk mengoptimalkan semua konflik menjadi
fungsional. Kegagalan dalam manajemen konflik mengakibatkan efektivitas
organisasi dipertaruhkan. Terdapat tiga pandangan dalam konflik, yaitu
pandangan tradisional, pandangan hubungan manusia, dan pandangan
interaksionis. Proses konflik terdiri atas lima tahapan yaitu, potensi pertentangan
atau ketidakselarasan, kognisi dan personalisasi, maksud, perilaku, dan akibat.
26
BAB V
SARAN
Konflik akan selalu timbul jika pandangan satu pihak berbeda dengan
pandangan pihak lawan. Agar konflik dapat memberikan manfaat yang optimal
dalam negosiasi dan mengurangi efek negatifnya, konflik dapat dikelola dengan
melakukan pencegahan dan penanganan konflik sehingga tujuan dan sasaran
dalam negosiasi dapat tercapai. Setiap konflik harus dilakukan manajemen
konfliknya dengan benar agar konflik yang dihadapi dapat menimbulkan dampak
positif untuk organisasi tersebut.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN