Disusun oleh:
Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran
Sumedang
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Body Body-Shaming
Objectification comments
Anxiety,
deprression, Self-
self- Objectification
monitoring
Body objectification yaitu evaluasi pada tubuh seseorang membuat seseorang melakukan
objektifikasi terhadap penampilan fisik seseorang, objektifikasi membuat seseorang
mengeluarkan komentar body-shaming pada foto yang menurutnya tidak mengikuti standar
ideal tubuh seseorang. Korban body-shaming akan mempunyai self-objectification yaitu
objektifikasi pada tubuhnya sendiri yang membuatnya memonitor tubuhnya dan timbul
kecemasan juga depresi. Self-objectification dapat mengarahkan pada tindakan body
objectification pada orang lain, lalu hal ini menjadi siklus yang akan terus berputar.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.2. Teori
2.2.1. Objectification Theory
Teori objektifikasi mengemukakan bahwa tubuh wanita dilihat, dievaluasi, dan selalu
berpotensi untuk dijadikan objek (Fredrickson & Roberts, 1997). Yang marak terjadi adalah
objektifikasi seksual, di mana tubuh wanita, bagian tubuhnya, maupun fungsi seksualnya
dipisahkan dari dirinya secara keseluruhan seakan bagian tersebut merepresentasikan seluruh
dirinya. Saat diobjektifikasi, perempuan diperlakukan seperti tubuh, yang digunakan untuk
kenikmatan. Objektifikasi tidak hanya terjadi pada wanita oleh pria. Objektifikasi dapat
terjadi pada wanita oleh wanita, pada pria oleh wanita, pun pada pria oleh pria. Objektifikasi
yang dilakukan orang lain dapat memengaruhi persepsi terhadap diri sendiri sehingga
menimbulkan self-objectification.
2.2.2. Self-Objectification
Self-objectification adalah bentuk dari evaluasi diri yang ditandai dengan pengawasan
ketat atau diikuti dengan mengobservasi orang lain yang mempunyai opini yang sama
sepertinya (self-surveillance) (Grabe, Hyde, & Lindberg, 2007). Kekhawatiran wanita tentang
penampilannya tidak didasarkan pada pilihan sendiri, namun perilaku self-surveillance adalah
sebuah bentuk strategi adaptif untuk menghindari pendapat negatif (McKinley & Hyde,
1996). Konsekuensi dari self-objectification adalah shame dan anxiety terkait tubuhnya,
hilangnya kesadaran tentang keadaan tubuh internal, motivasi yang sulit meningkat, performa
mental yang berkurang, dan risiko kesehatan yang memengaruhi kehidupan termasuk depresi
dan gangguan makan (Fredrickson & Roberts, 1997)
2.2.3. Body-Shaming
Istilah body-shaming tidak banyak terdapat pada penelitian ilmiah. Tidak ada
penjelasan ilmiah juga tentang perilaku body-shaming. Namun, body-shaming sering
dikaitkan dengan slut-shaming, yaitu perilaku mengkritisi orang, khususnya wanita, yang
dipersepsikan melewati batas perilaku dan penampilan terkait isu seksualitas (Friedman,
2011). Body-shaming tidak terbatas pada seksualitas, bentuk dan ukuran tubuh juga dapat
dijadikan shaming. Body-shaming dapat dikatakan sebagai perilaku yang mengkritisi semua
terkait tubuh seseorang yang dinilainya melewati batas persepsinya tentang tubuh seseorang.
3.3. Kuesioner
Penelitian tidak menggunakan kuesioner berdasarkan alat ukur dari penelitian-
penelitian yang ada sebelumnya. Intensi peneliti adalah meminta pendapat responden tentang
kesesuaian Pasal 45 UU ITE dengan perilaku body-shaming.
4.1. Hasil
Dari hasil kuesioner yang disebar, 16 responden mengemukakan hal yang sama
tentang pengertian body-shaming yang responden ketahui, yaitu perilaku mengomentari,
mengkritisi, dan menghina fisik seseorang. 12 dari 16 responden pernah mengalami body-
shaming, namun hanya 2 responden yang pernah mengalami body-shaming di media sosial
seperti Instagram, Line, dan sebagainya. 6 responden mengetahui adanya eksistensi UU ITE
tahun 2016. 50 persen responden menganggap bahwa UU ITE tahun 2016 tidak relevan untuk
korban body-shaming
Responden yang sepakat bahwa UU ITE tahun 2016 relevan untuk korban body-
shaming berargumen bahwa di dalam UU tersebut terdapat redaksi kata penghinaan di mana
body-shaming adalah perilaku menghina fisik dan berharap bahwa dengan hukuman dan
denda sebesar itu dapat membuat pelaku jera. Responden yang tidak sepakat bahwa UU ITE
tahun 2016 relevan untuk korban body-shaming memiliki argumen yang bervariasi. UU ITE
tahun 2016 dianggap tidak bisa diaplikasikan secara nyata dan kurang spesifik. UU tidak
mempunyai dampak langsung pada korban body-shaming, hanya kepada pelaku dan korban
tetap dapat mengalami kerugian psikologis. Selain itu, UU dinilai masih terlalu luas baik
dalam konteks maupun penggunaan katanya.
4.2. Pembahasan
UU ITE nomor 19 tahun 2016 merupakan perubahan atas UU ITE nomor 11 tahun
2008. Jika dilihat dari redaksinya, yaitu “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik…”, tidak langsung menimbulkan interpretasi bahwa tindakan body-
shaming termasuk ke dalam informasi atau dokumen elektronik yang dimaksud. Undang-
undang tidak menjelaskan lebih lanjut yang dimaksud dengan pendistribusian muatan
penghinaan. Redaksi kata ‘penghinaan’ dapat menjadikan perilaku multitafsir. Dalam media
sosial, pelaku body-shaming sering kali berdalih bahwa apa yang ditulisnya adalah bercanda
atau tidak bermaksud menghina.
Body-shaming, sebagai sebuah bentuk perilaku di media sosial, sering dianggap
bentuk candaan tanpa adanya maksud penghinaan. Penelitian Bels dan kawan-kawan (2017)
mengungkapkan bahwa laki-laki sering menjadikan perempuan sebagai objek lewat candaan.
Candaan biasanya bersifat terbuka dan disampaikan secara langsung, dalam konteks media
sosial, ke kolom komentar atau pesan pribadi kepada objek. Candaan walaupun sama sekali
tidak bermaksud untuk menghina, termasuk salah satu gender harassment yang menurunkan
derajat wanita (Fairchild & Rudman, 2008). UU ITE seharusnya merinci hal-hal yang
dimaksud menghina sehingga tidak menghasilkan multitafsir yang dapat dijadikan alasan
untuk melakukan body-shaming.
Selain itu, kata ‘dengan sengaja’ juga dapat dijadikan alasan untuk menghindari
hukuman terkait body-shaming. Pemerintah tidak menyosialisasikan dengan jelas maksud
kata tersebut sehingga banyak kasus objektifikasi yang terjadi di media sosial tidak ditangani
dan ditanggulangi. Sekarang sangat mudah dilihat perilaku body-shaming dan objektifikasi
pada media sosial, foto dengan konten dan dalam konteks apapun tidak lepas dari komentar
objektifikasi dan body-shaming tanpa bisa diketahui intensi sesungguhnya dari pelaku. Perlu
adanya suatu standar pada UU ITE pasal 45 supaya perilaku dapat dikurangi dan dampak
pada korban dapat dicegah.
Jika dilihat dari sisi pelaku, standar yang abu-abu tentang redaksi kata yang
mengindikasikan objektifikasi dan body-shaming dapat menjadi permasalahan tersendiri.
Seseorang dapat mempunyai motivasi berbeda saat melaporkan apa yang ia anggap sebagai
bentuk objektifikasi, termasuk di dalamnya dendam dan pembungkaman kritik
(Wiradirgaredja, 2018). Saat tidak ada batas-batas yang jelas, UU ITE ini dapat
diinterpretasikan dengan terlalu luas dan dijadikan senjata untuk pihak-pihak yang tidak ingin
dirinya dikritik.
Keberadaan UU ITE pasal 45 pun tidak bisa serta merta menghilangkan perilaku
body-shaming. Pengetahuan masyarakat tentang UU ITE dapat mencakup body-shaming
yang baru disosialisasikan pada tahun 2018 pun tidak dapat mencegah peristiwa body-
shaming dan objektifikasi yang telah lalu. Dampak body-shaming dan objektifikasi di sosial
media telah muncul sejak lama. Penelitian yang dilakukan oleh Oxman (2017) menghasilkan
data bahwa depresi berkorelasi positif dengan self-objectification. Self-objectification dapat
terjadi karena adanya perilaku objektifitas termasuk body-shaming yang dilakukan di media
sosial.
Seseorang, terutama wanita, menyadari dirinya diawasi atau dijadikan objek termasuk
objek seksual, membawa mereka untuk melakukan self-objectification (Grabe, Hyde, &
Lindberg, 2007). Karena wanita sadar evaluasi eksternal tentang tubuh mereka adalah
kemungkinan yang konstan, perspektif self-objectification dikarakteristikkan menjadi
pengawasan habitual pada penampilan tubuh. Self-objectification menyebabkan wanita sangat
mengawasi tubuhnya dan meminta pendapat orang-orang tentang tubuhnya. Self-
objectification membuat wanita melakukan body objectification kepada orang lain. Hal ini
akan menjadi siklus yang terus menerus terjadi sehingga objektifikasi menjadi budaya yang
tidak bisa dihindarkan.
UU ITE Pasal 45 menerapkan hukuman maksimal 4 tahun penjara dan denda ratusan
juta pada pelaku body-shaming dan objektifikasi, namun dampak dari perbuatan pelaku pada
korban tidak dapat dibayar dengan hukuman penjara maupun denda yang tidak diterima
korban. Dampak psikologis tidak dapat dihindarkan. Perlu dibuat undang-undang yang
mengatur perlindungan dan pemulihan kesehatan mental korban body-shaming di media
sosial sehingga keadilan didapatkan dari segi hukum juga untuk korban.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
UU ITE Pasal 45 merupakan undang-undang yang dibuat untuk pelaku objektifikasi
dan body-shaming. Namun, tidak terdapat undang-undang yang mengatur tentang korban
objektifikasi dan body-shaming. Konten dari UU ITE Pasal 45 dinilai tidak sesuai dengan
perbuatan karena dapat diinterpretasikan secara luas. Perancang undang-undang tidak
memikirkan relevansi undang-undang dengan korban sehingga dengan hukuman yang
diberikan kepada pelaku, korban tetap tidak mendapatkan apa-apa selain perasaan self-
objectification yang dapat dihasilkan dari trauma psikis akibat objektifikasi dan body-
shaming.
5.2. Saran
Penelitian ini memiliki banyak kekurangan yang diharapkan dapat diperbaiki ke
depannya:
Kuesioner dapat disebarkan berdasarkan alat ukur yang telah ada sebelumnya.
Sampel harus diperhatikan agar dapat merepresentasikan populasi pada
umumnya.
Penelitian harus dirancang secara matang agar analisis yang didapatkan lebih
rapi dan kredibel.
DAFTAR PUSTAKA
Arluke, A. B. (1988). Sacrificial Symbolism in Animal Experimentation: Object or Pet? Anthrozoös, 2(2), 98–
117. doi:10.2752/089279389787058091
Bels, A., & Van den Bulck, H. . (2017). Objectification as an Issue of Preteen Television Content. Objecting to
sex?, 91.
Fairchild, K., & Rudman, L. A. (2008). Everyday stranger harassment and women’s objectification. Social
Justice Research, 21(3), 338-357.
Fredrickson, B. L., & Roberts, T. A. (1997). Objectification theory: Toward understanding women's lived
experiences and mental health risks. Psychology of women quarterly, 21(2), 173-206.
Friedman, J. (2011). What You Really Really Want: The Smart Girl's Shame-Free Guide to Sex and Safety. Seal
Press.
Grabe, S., Hyde, J. S., & Lindberg, S. M. (2007). Body Objectification and Depression in Adolescents: The
Role of Gender, Shame, and Rumination. Psychology of Women Quarterly, 31(2), 164–175.
doi:10.1111/j.1471-6402.2007.00350.x
Kaplan, A. M., & Haenlein, M. (2012). Social media: back to the roots and back to the future. Journal of
Systems and Information Technology, 14(2), 101–104. doi:10.1108/13287261211232126
McKinley, N. M., & Hyde, J. S. (1996). The objectified body consciousness scale: Development and validation.
Psychology of Women Quarterly, 20, 181–215.
Miller, K. (2016). The Shocking Results of Yahoo Health's Body-Positivity Survey. Retrieved from
https://www.yahoo.com/lifestyle/the-shocking-results-of-yahoo-1332510105509942.html
Oxman, A. T. (2017). The Relationship between Social Media, Self-Objectification and Self-Esteem in Young
Adult Women (Doctoral dissertation, Pace University).
Pertiwi, W. K. (2018). Riset Ungkap Pola Pemakaian Medsos Orang Indonesia. Retrieved from
https://tekno.kompas.com/read/2018/03/01/10340027/riset-ungkap-pola-pemakaian-medsos-orang-
indonesia
Santoso, A. (2018). Polisi: Ancaman Pidana Pelaku Body Shaming 9 Bulan-6 Tahun Penjara. Retrieved from
https://news.detik.com/berita/d-4321608/polisi-ancaman-pidana-pelaku-body-shaming-9-bulan-6-tahun-
penjara
Wargadiredja, A. T. (2018). Publik Jangan Mendukung UU ITE Dipakai Buat Mempidanakan Hinaan Fisik di
Medsos. Ri-buat-etrieved from https://www.vice.com/id_id/article/yw7wyg/publik-jangan-mendukung-uu-
ite-dipakamempidanakan-hinaan-fisik-di-medsos.