Anda di halaman 1dari 14

Sosiologi Pendidikan

PENYIMPANGAN DAN PENGENDALIAN SOSIAL

Disusun Oleh :

Kelompok III

Alfia Warda Nisa : 190204064


Fitri Yani : 180204056
Irsal Munandar : 190204068
Nirma Wana : 190204092
Raihan Nabila : 190204091

Dosen Pembimbing :

Dra. Ida Meutiawati, M, Pd.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN FISIKA
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang
Penyipangan dan Pengendalian Sosial dengan baik.

Adapun makalah Sosiologi Pendidikan ini telah kami usahakan semaksimal mungkin
dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada
dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran
dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.

Makalah yang saya buat ini tentunya masih banyak kekurangan, oleh karena itu saya
mengharapkan saran dan masukan yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...............................................................................4


B. Rumusan Masalah...........................................................................4
C. Tujuan ............................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyimpangan........................................................5
B. Pengertian Pengendalian Sosial................................................11

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN.................................................................................................13

SARAN.............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kehidupan manusia bersifat dinamis yang berubah dan berkembang dari waktu ke
waktu. Perubahan tersebut tidak hanya terdapat pada pola masyarakat saja, tetapi juga
kebiasaan (life style), adat istiadat, serta nilai dan norma. Dapat kita lihat bahwa pola
kebudayaan suatu masyarakat tertentu berbeda dengan masyarakat
lainnya.Sehingga,terkadang ketidaksesuaian pola antara suatu masyarakat dengan masyarakat
yang lain dianggap sebagai suatu hal yang menyimpang.
B. Rumusan Masalah
Sejalan dengan perkembangan globalisasi, masalah prilaku menyimpang yang
menjadi ancaman nyata terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan sosial marak
terjadi. Sehingga, muncul banyak persepsi mengenai perilaku menyimpang itu sendiri dari
berbagai kalangan. Untuk itu, hal-hal yang perlu dibahas adalah:
1.      Apakah yang dimaksud dengan perilaku menyimpang baik secara umum maupun dari
berbagai macam perspektif?
2.      Apakah ada kriteria atau standar tertentu terhadap perilaku menyimpang?
3.      Bagaimana reaksi dan tanggapan masyarakat terhadap perilaku menyimpang?

C. Tujuan dan Manfaat


Untuk menambah pengetahuan tentang perilaku menyimpang dan kontrol sosial
secara lebih mendalam.

4
BAB II   PEMBAHASAN
PENYIMPANGAN DAN PENGENDALIAN SOSIAL

A. Pengertian Penyimpangan
Berdasarkan historis analisa dan studi mengenai perilaku menyimpang, bahwa pada
abad-18 para pendeta di Amerika dan Eropa Barat khususnya Inggris telah menulis beberapa
artikel mengenai jenis tingkahlaku yang kemudian digolongkan oleh ahli sosiologi sebagai
perilaku menyimpang. Secara akademis, hal ini mulai berkembang pada 1865 dengan
dibentuknya “American Social Science Association”. Dalam pengajarannya sebagai salah satu
disiplin ilmu sosiologi, perilaku menyimpang didefinisikan secara umum sebagai tingkah
laku menyimpang dari norma-norma sosial.
Dari definisi umum tersebut, perilaku menyimpang dipandang sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu lingkungan sosial tertentu.
Selain itu, para ahli juga mengembangkannya dalam berbagai konsep tergantung perspektif
yang mereka gunakan.
Beberapa ahli mendefinisikan perilaku menyimpang dari sudut pandang berbeda. Ada
yang fokus pada pelakunya “actor”, tindakannya “the act”, atau perhatiannya kepada aspek
dan fungsi kontrolnya “social control”. Berikut pendapat beberapa ahli mengenai perilaku
menyimpang:
1. James Vander Zander: semua tindakan yang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar
batas toleransi oleh sejumlah orang.

2. Robert M.Z. Lawang: semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku
dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dari
sistem itu untuk memperbaiki prilaku tersebut.
3. Bruce J. Cohen: setiap prilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak
masyarakat atau tingkahlaku melanggar, bertentangan, atau menyimpang dari aturan
normative maupun dari harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.
4. Paul B. Horton: setiap prilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-
norma masyarakat.
5. Lemert : perilaku menyimpang merupakan konsekwensi dari kontrol sosial.
Selain pendapat para ahli, berikut penjelasan perilaku menyimpang dari berbagai perspektif:
1. Perspektif Interaksionalisme Simbolis:

5
penganut perspektif ini mengembangkan beberapa teori untuk menjelaskan
penyimpangan diantaranya, teori asosiasi diferensial (orang belajar untuk menyimpang
dengan cara bergaul dengan orang lain), teori pengendalian (penyimpangan disebabkan
karena kurang memiliki pengendalian yang efektif), teori pemberian label (pemberian julukan
pada nama atau reputasi terhadap perilaku menyimpang), dan teknik netralisasi untuk terus
menganggap dirinya konformisguna menutupi perilaku menyimpang.
Seorang sosiolog penganut interaksionisme simbolis S. Howard Becker (1966)
mendeskripsikan penyimpangan sebagai reaksi dari pihak lain terhadap tindakan tersebut
yang menjadikannya sebagai suatu penyimpangan.
2. Perspektif Fungsionalis:
Para fungsionalis menunjukkan bahwa penyimpangan atau kejahatan merupakan
konsekuensi dari sosialisasi tanpa mengetahui cara untuk meraih sosialisasi yang baik.
Beberapa teorinya adalah, teori ketegangan (orang yang meninggalkan tujuan sehingga
memakai cara menyimpang untuk mencapainya), teori kesempatan tidak sah (menekankan
cara yang ilegal untuk mencapai tujuan).
Berdasarkan argumentasi Merton, terdapat empat jalur terjadinya perilaku
menyimpang yaitu, innovasi (orang yang menerima tujuan masyarakat, namun menggunakan
cara tidak sah untuk meraihnya), ritualism (orang yang putus asa dan menyerah dalam upaya
meraih tujuan, namun mereka masih berpegang pada peraturan perilaku yang konvensional),
pengunduran diri (menolak baik tujuan maupun peraturan perilaku yang konfensional, seperti
mereka yang meninggalkan kesuksesan dengan beralih ke alkohol), dan pemberontakan
(menggantikan tujuan yang ada dengan tujuan baru seperti para revolusioner)

Cara Adaptasi Tujuan Budaya Sarana Institusional

Inovasi Menerima Menolak

Ritualisme Menolak Menerima

Pengunduran Diri Menolak Menolak

Pemberontakan menolak/mengganti menolak/mengganti

3. Perspektif Konflik
Para ahli teori konflik mengambil posisi bahwa kelompok yang berkuasa (kelas
kapitalis) menutupi penyimpangan pada kelompok lain (kelas pekerja). Perspektif ini
menganggap bahwa kelas pekerja melakukan kejahatan secara jelas, sedangkan kelas
kapitalis mengatur dan menggunakan sistem pengadilan pidana untuk menghukum kejahatan
kelas pekerja sambil mengalihkan kejahatan mereka sendiri.

6
Berdasarkan suatu perspektif sosiologis, penyimpangan bersifat relatif. Relatif dalam
hal ini adalah nilai dan norma yang berlaku di dalam suatu kelompok yang mungkin tidak
berlaku dikelompok lainnya. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan anggapan mengenai
perbuatan menyimpang dari berbagai golongan/kelompok, selain itu perilaku menyimpang
juga dianggap seperti gaya hidup, kebiasaan, dan mode yang dapat berubah dari waktu ke
waktu.Adanya sifat relatif tersebut menimbulkan:
1. Penyimpangan positif (perilaku minoritas yang tidak sejalan dengan perilaku
mayoritas) seperti: satu orang yang tekun beribadah di dalam kampung yang
mayoritas penduduknya berprilaku buruk. 
2. Penyimpangan negatif
Menurut Paul B. Horton, ciri-ciri perilaku menyimpang adalah:apakah dapat
merugikan banyak orang atau tidak, terkadang bernilai positif (bisa diterima) dan bernilai
negatif (ditolak), bersifat relatif (yang masih dapat ditoleran) atau mutlak (yang tidak dapat
ditolerir lagi), menyimpang terhadap budaya nyata dan budaya ideal, pelanggaran terhadap
norma-norma, dan bersifat adaptif (penyesuaian).
Selain itu, terdapat empat dimensi mengenai perilaku menyimpang, diantaranya:
1. Statistical: pendekatan ini berasumsi bahwa sebagian besar masyarakat dianggap
melakukan cara-cara dan tindakan yang benar. Sehingga, mayoritas penduduk yang
melakukan keburukan juga akan dianggap benar.
2. Absolut/mutlak: pendekatan ini banyak terjadi di pedesaan yang masih memegang teguh
adat istiadat.
3. Reaktive: pendekatan ini menilai bagaimana reaksi masyarakat atau agen kontrol sosial
terhadap tindakan yang dilakukan seseorang.
4. Normative: norma dalam hal ini adalah standar tentang apa yang seharusnya dan tidak
seharusnya dilakukan.
Kualitas tindakan menyimpang yang dilakukan seseorang juga dapat dikategorikan
berdasarkan rangkaian pengalamannya dalam melakukan tindakan tersebut. Ada dua jenis
rangkaian pengalaman seseorang yang dapat dikategorikan menyimpang
1. primary deviance,
dimana seseorang memulai tindakan penyimpangannya dari penyimpangan kecil yang
mungkin tidak disadarinya, sehingga si pelaku tidak sadar kalau perbuatannya itu dapat
menjerumuskannya ke arah penyimpangan yang lebih besar. Seperti, sekelompok anak yang
mengambil mangga tetangganya tanpa meminta izin hal ini terus menjadi kebiasaan, ketika
dewasa pun anak tersebut terbiasa melakukan pencurian bahkan terhadap tetangganya sendiri.

2. secondary deviance
terjadi bila si penyimpang itu mendapatkan dorongan dan kekuatan melalui
keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang. Seperti, para perampok
yang bekerjasama melakukan kejahatannya dalam kasus perampokan bank.

7
            Perilaku menyimpang sering berkaitan dengan status sosial. Perbedaan status sosial
cenderung memiliki gaya hidup yang berbeda pula.Berdasarkan skala Guttman, terdapat
empat aspek yang membedakan status social yaitu, kekayaan, pendidikan, kekuasaan, dan
kehormatan. Penyimpangan yang terjadi terkadang menekankan pada salah satu atau
beberapa dari empat kriteria tersebut.
            Penyimpangan sosial juga berkaitan dengan keinginan manusia untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan hidupnya. Menurut Freud, ada 3 aspek yang membentuk pribadi
manusia yaitu, Id, Ego, dan Superego. Tiga hal inilah yang menuntut kepuasan terhadap diri
manusia. Sehingga, apabila kepuasan tersebut tidak terpenuhi, maka akan berakibat
terjadinya perilaku menyimpang, terutama bagi mereka yang lemah kepribadiannya. Selain
itu, manusia cenderung melakukan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Sehingga, terkadang mereka menempuh cara yang tidak baik untuk
mendapatkannya.
Sejalan dengan perkembangan waktu serta pengaruh lingkungan sosial, maka terjadinya
perilaku menyimpang tak dapat dielakkan. Berbagai latar belakang dan faktor saling
mempengaruhi. Baik disadari maupun tanpa disadari telah menjerumuskan pelakunya pada
pelanggaran nilai dan norma. Beberapa faktor tersebut, diantaranya:
a. Dorongan kebutuhan ekonomi.
Adanya pranata sosial menimbulkan perkembangan ekonomi yang tidak merata.
Sehingga, terjadi ketimpangan ekonomi di mana yang kaya bertambah kaya begitu juga
sebaliknya yang memicu terjadinya perilaku menyimpang.  Hal ini banyak terjadi khususnya
di negara berkembang.Contoh perilaku menyimpang yang terjadi diantaranya, pencurian,
perampokan, penipuan, prostitusi, pemalsuan uang, korupsi, dll.

b.      Sikap mental yang tidak sehat.


Yang dimaksud dengan mental tidak sehat adalah jika keadaan jiwa seseorang atau
sekelompok orang tidak stabil sehingga berperilaku di luar batas manusia umumnya. Perilaku
itu biasanya dilatarbelakangi oleh depresi, deprivasi sosial dan psikopati.

c.       Pelampiasan rasa kecewa.


Yang timbul apabila seseorang atau sekelompok orang tidak terpenuhi keinginan dan
harapannya, serta ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini akan muncul apabila keluarga
tidak dapat menjaga keutuhannya seperti, mengalami broken home atau kegagalan dalam
menjalankan fungsi keluarga (kebutuhan seks, pemeliharaan, sosialisasi dan fungsi lainnya).

8
d. Proses belajar yang menyimpang dan keinginan untuk dipuji.
Yaitu proses di mana anak-anak mengidentifikasi perilaku di lingkungannya yang
menyimpang, terutama dari kelompok seusia dan sepermainan mereka. Seperti, perkelahian
antar pelajar dan mahasiswa. Padahal masalah yang diperdebatkan adalah hal sepele. Pada
masa ini, para remaja khususnya pelajar sangat peka dan labil terhadap tindakan kejahatan,
sehingga mereka mudah terpengaruh dengan keadaan lingkungan.

e.     Proses sosialisasi nilai-nilai subkultur menyimpang.


Subkultur menyimpang adalah penyimpangan yang dilakukan secara berkelompok
dan subkultur itu sendiri artinya sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, atau gaya
hidup yang berbeda dari kultur dominan.

f.       Ketidaksanggupan menyerap norma.


Hal ini terjadi bukan karena tidak pernah diserapnya norma-norma dan nilai-nilai
konformis saat proses sosialisasi, melainkan karena dia terjerumus dalam perilaku
menyimpang. Seperti, Perilaku seks di luar nikah dan homoseks dan penyimpangan seksual
lainnya.
Hal ini ditimbulkan karena perubahan struktur phisik yang menimbulkan keinginan
untuk mengetahui sesuatu secara berlebihan, salah satunya tentang sex. Dan bagi mereka
yang tidak bisa mengontrol hal ini, maka akan terjebak dalam skandal yang tidak diinginkan
dan berdampak pada pencemaran nama baik keluarga.

g.        Kegagalan proses sosialisasi


Dalam hal ini, intensitas pergaulan sangat berpengaruh pada berhasil atau gagalnya
proses sosialisasi. Namun, tak jarang banyak yang mengartikannya dengan maksud lain
karena merupakan pelarian dari permasalahan yang dihadapi. Seperti, Seperti,
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang serta alkoholisme.
Efek obat ini dapat mendatangkan ketenangan dan kenyamanan terhadap si pemakai,
maka banyak orang yang mengonsumsinya. Namun, apabila dikonsumsi tidak sesuai bahakan
berlebih dari dosis yang seharusnya, maka akan menimbulkan kecanduan dan berdampak
pada kesehatan. Seperti, hilangnya koordinasi tubuh, kerusakan alat respirasi, hilangnya
kendali otot gerak dan hilangnya nafsu makan. Sebagai tambahan, para pecandu narkoba
biasanya lebih dekat dengan tindakan kriminal.

h.       Adanya ikatan sosial yang berlainan.

9
Perbedaan ikatan sosial antarkelompok dengan perbedaan niali dan norma yang ada
akan menimbulkan perbedaan penilaian tentang perilaku masing-masing anggota
masyarakatnya.
i. Pengaruh lingkungan dan media massa.
Hal ini menunjukkan bahwa masyrakat, lingkungan sosial bahkan televisi memiliki peran
yang kuat kepada pelaku perilaku menyimpang. Seperti, berita dan informasi mengenai para
koruptor dari pejabat-pejabat pemerintah yang disiarkan, sehingga dapat memengaruhi
perspektif masyarakat dan pandangan masyarakat terhadap pemerintah.
Banyaknya penyimpangan yang terjadi menimbulkan respon dan reaksi dari
masyarakat. Mulai dari menasehati dengan lisan hingga kekerasan atau menghukum sesuai
dengan hukuman yang berlaku. Ada tiga sanksi yang digunakan di dalam usaha menciptakan
tertib sosial, diantaranya:
1.      Sanksi fisik, misalnya didera, dipenjara, diikat dll.
2.      Sanksi psikologis, misalnya diumumkan kejahatannya di berbagai media massa.
3.      Sanksi ekonomik, misalnya membayar ganti rugi.
Ada insentif (reward) positif bagi pihak-pihak yang berperilaku konform (sesuai
dengan norma), diantaranya:
1.      Insentif fisik, misalnya ucapan selamat dengan jabatan tangan
2.      Insentif psikologis, misalnya pemberian tanda jasa
3.      Insentif ekonomik, misalnya pemberian hadiah bagi siswa berprestasi.
Adanya reaksi atau respon masyarakat menandakan adanya pengawasan berupa
pengendalian sosial. Dalam pengendalian sosial, fungsi pranata sosial juga sangat
dibutuhkan. Karena, pranata sosial berkaitan dengan norma-norma sosial, sehingga orang-
orang yang tergabung di dalamnya dapat dipilih untuk melakukan kontrol sosial terhadap
perilaku menyimpang.
Dalam pemberian sanksi, terdapat lembaga-lembaga tertentu yang berwenang untuk
menangani perilaku menyimpang, yaitu lembaga pengendalian formal/resmi sperti: lembaga
kepolisian, pengadilan, dan lembaga pendidikan. Sedangkan lembaga informalnya berupa:
lembaga adat, lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, organisasi sosial seperti LSM dan
lembaga penyiaran dan pemberitaan
Pengendalian sosial atau dikenal juga dengan kontrol sosial adalah suatu proses baik
yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing,
atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi nilai-nilai dan kaedah-kaedah yang
berlaku. Pengendalian sosial mencakup: pengawasan dari individu terhadap individu lain,
individu terhadap kelompok, kelompok terhadap kelompok, dan kelompok terhadap individu.
           

10
B. Pengertian Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial bersifat preventif dan represif. Preventif yaitu, usaha yang dilakukan
sebelum terjadi pelanggaran, tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
Sedangkan represif merupakan usaha pemulihan setelah terjadi perilaku menyimpang kepada
situasi dan keadaan semula.
      Selain itu, dalam menangani perilaku menyimpang dibutuhkan mekanisme
pengendalian sosial yang merupakan cara-cara pengawasan terhadap anggota masyarakat
agar berperilaku konform. Cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan fungsi
kontrol sosial adalah:
1. Pengendalian secara persuasif, yaitu bentuk pengendalian sosial yang dilakukan
dengan cara tidak menggunakan kekerasan
2. Pengendalian secara koersif, yaitu bentuk tindakan pengendalian oleh pihak-
pihak yang berwenang dengan menggunakan kekerasan atau paksaan.
Pengendalian ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Kompulsi (paksaan), yaitu keadaan yang sengaja diciptakan oleh yang berwenang agar
seseorang atau sekelompok orang dengan terpaksa menuruti atau mengubah sifatnya tidak
langsung.
b. Pervasi (pengisian), yaitu suatu cara penanaman atau pengenalan norma secara berulang-
ulang, dengan harapan hal yang berulang-ulang itu akan masuk ke dalam kesadaran
seseorang sehingga orang akan mengubah sikapnya sesuai dengan yang diinginkan.
pengendalian sosial menurut Koentjoroningrat yaitu:

1. Mempertebal keyakinan anggota-anggota masyarakat akan kebaikan norma-norma


kemasyarakatan.
2. Memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang taat pada norma-norma
kemasyarakatan.
3. Mengembangkan rasa malu dalam diri atau jiwa anggota masyarakat jika mereka
menyimpang atau menyeleweng dari norma dan nilai kemasyarakatan yang berlaku.
4. Menimbulkan rasa takut (shock teraphy) di dalam diri seseorang atau sekelompok
orang tersebut berupa risiko dan ancaman.
5. Menciptakan sistem hukum, yaitu sistem tata tertib dengan sanksi-sanksi yang tegas
bagi para penyelenggara yang biasanya dapat dilihat di dalam sistem hukum tiap-tiap
struktur masyarakat yang berlaku.
Adanya sistem pengendalian yang baik tidak berarti bahwa penyelewengan dan
penyimpangan tidak akan terjadi. Hal itu bisa saja terjadi apabila:
1. Adanya nilai-nilai yang ternyata tidak memuaskan bagi pihak-pihak tertentu.
2. Tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan masyarakat secara merata.
3. Terkadang sarana pengendalian sosial tertentu tidak dapat diterapkan secara
terus menerus.
4. Terjadinya konflik antara peranan yang dipegang oleh warga-warganya.

11
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Perilaku menyimpang tidak hanya merupakan pelanggaran dari nilai dan norma saja,
para ahli dengan berbagai macam perspektif memiliki kriteria dan penilaian yang berbeda
tentang bagaimana suatu perilaku dikatakan menyimpang. Namun secara umum, perilaku

12
menyimpang merupakansemua prilaku manusia yang dilakukan baik secara individual
maupun secara kelompok yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di dalam
kelompok tersebut.Dapat dikatakan bahwa, nilai dan norma merupakan aspek terpenting
sekaligus menjadi tolak ukur terhadap perilaku menyimpang.Dikarenakan maraknya perilaku
menyimpang, masyarakat tidak tinggal diam dan bertindak dengan melakukan pengawasan
dan kontrol sosial baik secara adat istiadat atau hukum yang berlaku. Hukuman yang
diberikan mulai dari hukuman ringan hingga hukuman berat, tergantung tindakan
menyimpang yang dilakukan. Dengan adanya kontrol sosial, maka perilaku menyimpang
dapat diminimalisir dan ditindaklanjuti, sehingga tidak merugikan masyarakat banyak.

Saran
Dalam rangka pembelajaran, tentunya tulisan ini belum sepenuhnya sempurna. Untuk itu,
diperlukan kritik dan saran untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan agar paper ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.


Harskamp, Anton van. Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial. Kanisius: Yogyakarta, 2005.
Henslin, James M. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. 6. Diedit oleh Wibi Hardani.
Diterjemahkan oleh Kamanto Sunarto. Jakarta: Erlangga, 2006.
Partowisastro, Koestoer. Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga, 1983.

13
Philipus, dan Nurul Aini. Sosiologi dan Politik. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Sadili, Saparinah. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang. Jakarta: Bulan
Bintang,1977
Soekanto, Soerjono. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
Svalastoga, Kaare. Diferensiasi Sosial. Jakarta: Bina Aksara, 1989.
Saparinah Sadili, Persepsi Sosial Mengenai Periku Menyimpang (Jakarta, 1977), hal.
18.
James M. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, (Jakarta, 2007), hal. 159-
160.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta, 2011), hal. 201-202.
Kaare Svalatoga, Diferensiasi Sosial, (Jakarta, 1989), hal. 132.
Koestoer Partowisastro, Dinamika Psikologi Sosial, (Jakarta, 1983), hal. 39 dan 71.
Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi, (Jakarta, 1985), hal. 48

14

Anda mungkin juga menyukai