Tugas utama sebuah epistemologi (teori pengetahuan) menurut saya adalah
menunjukkan bagaimana ilmu itu mungkin secara filosofis. Jika ilmu itu sendiri kita definisikan sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”, tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana ”pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya” mungkin secara filosofis. Namun, pengetahuan tentang sesuatu bagaimana adanya itu baru mungkin diperoleh hanya apabila kita yakin akan keberadaan atau, lebih tepat lagi, status ontologis dari sesuatu yang kita jadikan objek penelitian kita. Kalau tidak yakin akan keberadaan sebuah objek, bagaimana mungkin kita bisa mengetahuinya sebagaimana adanya. Oleh karena itu, kita menjadi sadar betapa pentingnya pembicaraan tentang status ontologis dari objek-objek apapun yang kita teliti sebelum berbicara tentang klasifikasi ilmu ataupun metologi ilmiah karena diskusi kita tentangstatus ontologis objek-objek ilmu akan bertindak sebagai basis bagi sebuah epistemologi mana pun. Sebenarnya, diskusi tentang status ontologis ini tidak akan begitu penting andai saja tidak terjadi “deviasi” yang dilakukan oleh filsafat Barat terhadap latar belakang medieval-nya. Akibat deviasi tersebut, pada saat ini telah terjadi dua sistem epistemologi yang secara fundamental berbeda satu sama lain, yaitu epistemologi Barat modern sekuler dan epistemologi Aristotelian, termasuk ke dalamnya epistemologi islam. Pangkal perbedaan ini adalah timbulnya perbedaan yang radikal dari cara memandang status ontologis objek-objek ilmu di antara keduanya. Setelah melalui proses yang cukup panjang (terutama masa pascaRenaisans), epistemologi Barat akhirnya cenderung menolak status ontologis objek-objek metafisika, dan lebih memusatkan perhatiannya pada objek-objek fisik, atau apa yang disebut oleh August Comte dengan “positivistik”. Sementara itu, epistemologi islammasih mempertahankan status ontologis tidak hanya objek-objek fisik, tetapi juga objek-objek matematika dan metafisika. Perbedaan cara pandang serta keyakinan terhadap status antologis ini telah menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan (dan perlu sekali dipahami) antara kedua sistem epistemologi tersebut dalam masalah-masalah yang menyangkut soal klasifikasi ilmu dan metode-metode ilmiah. Nah, sementara soal klasifikasi ilmu dan metodenya akan kita bahas secara berturut- turut dalam Bab lima dan Enam, marilah sekarangkita beralih pada teori ontologi yang dikembangkan olehpara filosof muslim, yang akan sangat berpengaruh terhadap sistem klasifikasi dan metode ilmiahnya. Sebagai orang-orang beriman, kebanyakan filosof muslim (falasifah) meyakini keberadaan (statu ontologis), tidak hanya objek-objek fisik, tetapi juga objek-objek metafisika. Lebih dari itu, mereka telah menyusun hierarki wujud (martabah al- maujudat) dimulai dari entitas-entitas metafisika, dengan Tuhan dipuncaknya, kemudian menurun melalui alam “antara” (barzakh) yang bisa kita lihat percampuran antara unsur- unsur metafisika dan fisik dengan bentuk yang unik menuju alam fisik, tempat kita hidup dan berkembang. Dalam salah satu skemanya, Al-Farabi mengemukakan hierarki wujud (atau maujudat dalam istilahnya sendiri) sebagai berikut: 1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan wujud yang lain 2. Para malaikat yang merupakan wujud-wujud yang sama sekali imateriil; 3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial); dan 4. Benda-benda bumi (terrestrial). Sebenernya, banyak skema serupa yang dikemukakan oleh para pemikir/filosof muslim tentang hierarki wujud, seperti yang dikemukakan oleh ibn Sab’in dalam kitabnya, Budd Al-‘Arif, dengan istilah martabah al-maujudat. Namun, apa yang dikemukakan oleh Al- Farabi kiranya telah cukupmewakili pandanganontologis para filosof muslim. Berdasarkan skema tersebutlah, saya akan mencoba membahas lebih lanjut tentang status ontologis berbagai tingkat wujud tersebut untuk kemudian kita jadikan sebagai basis ontologis bagi klasifikasi dan metode ilmiah islam yang menjadi tema utama karya ini. Marilah kita mulai dengan Tuhan yang berada di puncak hierarki wujud. Tuhan telah dipandang oleh banyak filosof muslim, termasuk Al-Kindi, sebagai Sebab Pertama (al-illah al-ula). Sebagai sebab pertama, Dia, seperti yang telah kita kita kutip dari Al-Faribi, merupakan sebab bagi keberadaan wujud yang lain, termasuk alam mereriil ini yang tidak lain adalah akibat-akibatnya. Dari sudut status ontologis, Tuhan, sebagaisebab Pertama, tentu akan jauh lebih utama dibandingkan status ontologis alam fisik ini karena sementara Tuhan adalah sebab, sumber atau prinsip, alam materiil ini tak lain adalah akibat derivat dari Tuhan. Tentu status sebab akan lebih tinggi dibandingkan akibatnyakarena sementara sebab bisa dibayangkan adanya tanpa memerhatikan akibat, akibat tidak bisa dibayangkan adanya tanpa sebab, sebagaimana tak bisa dibayangkan adanya derivat tanpa mengandaikan adanya sumber. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa, sekalipunTuhan bersifat imateriil dalam pandangan para filosof muslim, Dia lebih riil, dan lebih prinsipiil dari pada dunia materiil yang kasatmata. Sebaliknya, bagi para pemikir Barat sekuler, yang materiilah yang lebih riil, sedangkan yang gaib (imateriil) sering dipandang sebagai ilusi atau elusi. Keutamaan Tuhan dari sudut status ontologis juga dapat dilihat dari konsep Tuhan Ibn Sina sebagai Wajib Al-Wujud (Wujud Niscaya) yang dipersandingkan dengan status ontologis alam sebagai mumkin al-wujud (wujud yang mungkin/potensial). Sebagai wujud yang mungkin dalam arti potensial, alam sangat bergantung keberadaannya pada Wujud Niscaya, dalam arti Wujud Yang Senantiasa Aktual. Tanpa adanya Wujud Yang Senantiasa Aktual, alam sebagai wujud yang mungkin (potensial) akan tetap berada dalam keadaan potensial. Ia memang tidak mustahil untuk mengada, tetapi ia bisa mengada hanya apabila ada wujud lain yang telah aktualyang dapat mengubah potensi alam itu menjadi aktualitas. Lagi-lagi jelas sekali bahwa sebagai Wajib Al-Wujud Yang Senantiasa Aktual, Tuhan akan lebih tinggi derajatnya dan lebih fundamental status ontologisnya karena kalau alam materiil saja telah dipandang begitu tinggi status ontologisnya oleh para pemikir Barat, padahal ia hanya sebagai akibat, apalagi status ontologis Tuhan, sebagai Wajib Al-Wujud, satu-satunya Sebab Awal kebaradaan alam semesta, tentu jauh lebih riil dan lebih fundamental! Deskripsi lain dari Tuhan dalam kaitannya dengan alam adalah bahwa Dia Sang Penggerak Yang Tidak Digerakkan (The Unmoved Mover), sebagaimana dideskripsikan oleh Al-Kindi. Jika Ibn Sina menjelaskan asal-usul gerak alam semesta, Al-Kindi dengan idenya itu mennjukkan asal-usul gerak alam semesta yang tanpa-Nya tidak tergambar oleh akal, bagaimana alam semesta bisa bergerak. Ide bahwa Tuhan adalah penggerak, kita tahu berasal dari Aristoteles yang kemudian memang memengaruhi banyak pemikiran filosof sesudahnya, termasuk filosof kita, Al-Kindi. Di sini, kita bisa mengerti mengapa bagi Al-Kindi dan filosof yang berpandangan serupa dengannya, Tuhan lebih riildan fundamental dari pada alam fisik. Karena sementara yang pertama, atau tuhan, adalah agen (al-fa’il) atau pelaku, alam semesta adalah pasien (al-maf’ul), yakni yang menerima akibat dari tindakan yang pertama. Tentu saja, seperti Ibn Sina, Al-Kindi juga menyebut Tuhan sebagai sumber dari segala yang ada, dalam arti pencipta (Al-Badi’) langit dan bumi, dan segala yang ada di alam semesta. Nah, sekarang marilah kita beralih pada urutan kedua dari hierarki wujud, yaitu malaikat, yang digambarkan oleh Al-Farabi sebagai “wujud yang sama sekali imateriil”. Dari sudut filsafat, malaikat memiliki nama dan deksripsi yang berbeda-beda. Ia terkadang disebut akal (Al-Farabi da Ibn Sina), seperti dalam istilah akal aktif (al-‘aql al-fa’al) untuk Malaikat Jibril, yang mengadakan kontak (ittishal) dengan para nabi ataupun filosof. Ia juga terkadang disebut cahaya (Al-Suhrawardi), seperti al-nur al-aqrab untuk malaikat pertama yang muncul dengan intensitas cahaya yang karena dekatnya hampir sama dengan Tuhan, “Cahaya dari sega;a cahaya” (nur al-anwar). Namun, apapun nama yang disandangnya, satu hal yang jelas bahwa nama para malaikat itu bersifat imeteriil. Dengan menyebut mereka imeteriil, berarti malaikat-malaikat itu bersifat impersonal.(ini tentunya berbeda dengan pengertian yang biasanya kita anut yang menggambarkan malaikat secara personal, bahkan memiliki bentuk seperti manusia yang bersayap.) Karena bersifat impersonal, malaikat dengan mudah ditukar oleh Suhrawardi dengan cahaya, atau sebaliknya, cahaya dengan malaikat. Bahkan, ide-ide plato, yang tentunya bersifat abstrak, juga disebut malaikat olehnya, sedangkan salah seorang sufi kontemporer, Syaikh Hisyam Kabbani, dari tarekat Naqsyabandiyyah, dalam bukunya, Angel, Unveiled, menyamakan malaikat dengan energi yang tidak tampak pada indra kita, tetapi yang dapat dirasakan pengaruhnya. Adapun tentang status ontologes para malaikat ini, sebagai hierarki wujud kedua setelah Tuhan, malaikat-malaikat ini dipandang oleh para filosof Muslim memiliki status ontologis yang lebih tinggi dan riil dibandingkan alam materi, sebagai wujud terakhir dalam hierarki wujud. Malaikat-malaikat, yang menyandang pelbagai nama dan deskripsi ini, lebih unggul status ontologisnya dari pada alam materi karena pengaruhnya yang besar terhadap pembentukan benda-benda fisik, seperti planet-planet dan bumi kita sendiri. Akal aktif, dalam filsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina, merupakan agen penting dalam pembentukan (formasi) dunia dibawah bulan (sublunae world) dan isinya. Ibn Sina, misalnya, menyebut agen tersebut sebagai shahib al-shuwar, pemberi bentuk atas alam fisik bias dilihat, misalnya dari kenyataan bahwa terbentuknya alam fisik ini merupakan hasil kegiatan berupa pemberian bentuk akal aktif pada alam yang bersifat materiil karena hanya ketika “materi” bergabung dengan “bentuk”, alam materi ini bias mewujud, sebuah ajaran yang dalam kasus filsafat disebut ajaran hylomorfis. Dengan demikian, jelaslah keutamaan para malaikat ini atas alam materiil karena tanpa tindakan mereka, alam materi ini tidak akan pernah terwujud. Keunggulan status para malaikat ini atas dunia fisik bias dilihat dalam sistem filsafat Suhrawardi. Seperti telah disinggung, salah satu jenis malaikat adalahide-ide Platonik. Ide- ide platonik ini dipandang sebagai “prototipe” atau dalam istilahnya sendiri arhab al-ashnam dari benda benda yang ada di dunia ini, uang ia sebut ashnam. Istilah arbab al-ashnam tentu saja merupakan istilah yang dengan sangat kuat menunjukkan keunggulan status ide-ide tersebut karena kata arbab (bentuk jamak dari rabb) biasanya diterjemahkan sebagai Tuhan atau tuan (Lord), sedangkan kata ashnam (yang arti harfiahnya adalah berhala-berhala) merujuk pada benda-benda derivatif sebagai objek penderita atau “hamba”. Karena “Tuan” tentunya mempunyai posisi yang lebih kuat daripada hambanya, demikian juga status ontologis dari ide-ide Plato (malaikat dalam pikiran Suhrawardi), tentu lebih fundamental dan lebih riil daripada benda-benda fisik. Dapat dikatakan bahwa ide-ide ini mengambil bentuk sebab, sedangkan benda-benda fisik merupakan akibat. Tentu saja, status ontologis sebab, dalam bentuk apapun, akan lebih unggul, riil, dan fundamental dari pada status ontologis akibat-akibatnya. Marilah kita kini beralih pada strata ketiga dari hierarki wujud yang dikemukakan oleh Al-Farabi diatas, yaitu “benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial)”. Berbeda dengan malaikat yang bersifat imateriil, disatu pihak, dan dengan benda-benda fisik, yang bersifat melulu materi, dipihak lain, benda-benda angkasa merupakan gabungan antara benda-benda imateriil dan benda-benda fisik. Namun, justru karena benda-benda ini tidak murni fisik, tetapi berbagi dengan malaikat sifat-sifat nonfisik-karena dalam oemikiran Ibn Sina mereka memiliki jiwa-status ontologies benda-benda langit lebih tinggi dan riil dibandingkan status ontologis benda-benda murni fisik. Posisi hierarkies benda-benda angkasa ini dengan baik ditunjukkan oleh Suhrawardi dalam sistem emanasinya sebagai berada pada posisi Middle Occident (Barat Tengah) yang dibedakan dengan posisi entitas- entitas imateriil (para malaikat) yang menduduki posisi Oriental (Dunia Timur) diatas mereka, dan dengan posisi benda-benda fisik (mineral, tumbuhan, dan hewan) dibawah mereka yang masuk ke dalam dunia Occident (Barat murni). Keunggulan status ontologis benda-benda angkasa ini terhadap benda-benda fisik dapat dilihat dari kenyataan bahwa, menurut Ibn Sina, selain akal aktif, benda-benda angkasa dipandang memiliki pengaruh besar terhadap benda-benda fisik di bawah bulan. Menurutnya, seperti yang telah disinggung pada Bab Dua, daya-daya yang berperan dalam mengatur interaksi atau reaksi-reaksi kimiawi dan fisik pada unsur-unsur (atau atom-atom dan molekul- molekul dalam istilah modernnya) tak lain adalah daya-daya yang diberikan oleh benda- benda angkasa tersebut. Selain itu, karena tidak mungkin ada dinamika dalam alam tanpa gerak-gerak yang dipengaruhi oleh daya-daya benda angkasa, kita bias melihat pentingnya peranan yang dimainkan oleh benda-benda angkasa ini terhadap gerak, dinamika, dan perkembangan dinamis alam semesta selanjutnya. Selain itu pula, sebagai pemberi pengaruh terhadap dinamika alam semesta, status ontologies benda-benda angkasa tentu akan lebih fundamental dan riil-sekalipun tentunya tidak sefundamental dan serial status ontologis sebab pertama dan para malaikat-daripada status ontologis benda-benda materiil. Dengan uraian tersebut diatas, sampailah kita sekarang pada pembahasan strata hierarki wujud terakhir yang disinggung oleh Al-Farabi. “yaitu benda-benda bumi (terrestrial)”. Dalam penjelasannya tentang benda-benda bumi ini, Al-Farabi mengemukakan lima macam benda (dari yang terendah hingga yang tertinggi), yakni (1) unsur-unsur; (2) mineral; (3) tumbuh-tumbuhan; (4) hewan nonrasional; dan (5) hewan rasional (manusia). Dalam filsafat islam dan atas pengaruh dari filsafat Yunani, terutama Aristoteles, unsur- unsur sebagai bagian yang terendah dari hierarki wujud biasanya dikatakan berjumlah empat, yaitu tanah, air, udara, dan api. Unsur-unsur ini tentunya harus dipahami sebagai empat unsur utama karena ilmuwan-ilmuwan Muslim, pada masa Al-Farabi, telah mengenal puluhan unsur kimia derifat. Keempat unsur tersebut berpadanan dengan empat sifat utama yang menjadi ciri benda alami-yaitu tunduk pada “kejadian” (generasi) dan “kehancuran” (korupsi)-yaitu panas dan dingin, basah dan kering. Keempat unsur ini merupakan dasar bagi pembentukan benda benda alami lainnya-dengan komposisi unsur yang berbeda-beda- yaitu mineral, tumbuhan, dan hewan. Tentang status ontologis benda-benda alami (bumi) ini pada umumnya, dan unsur-unsur pada khususnya, filsafat islam mempunyai pandangan yang sama sekali bersebrangan dengan pandangan ilmiah modern. Karena sementara bagi filsafat islam, status ontologies dari apa yang sering disebut sebagai elementary particles-karena keadaannya didasar hierarki wujud- menduduki peringkat terendah, status ontologies mereka dalam pandangan ilmiah modern menempati posisi yang sangat tinggi, bahkan prinsipiil. Bagi sains modern, status ontologies berbeda-beda fisik inilah yang justru diangkat ke tempat yang paling tinggi, sedangkan status ontologies entitas-entitas imateriil (metafisika) menjadi sangat menurun, bahkan sering dipandang sebagai ilusi atau halusinasi. Padahal, bagi filsafat islam, justru yang terakhirlah- yakni entitas-entitas spiritual-yang menduduki peringkat pertama. Pandangan yang secara diametris berbeda satu sama lain inilah yang, menurut saya, bias menjelaskanprioritas yang diberikan oleh sains modern terhadap “materi” dan prioritas islam pada “spiritualitas” dan pengabdian oleh dunia modern terhadap spiritualitas serta pengabaian oleh filsafat islam terhadap dunia materi. Status ontologies benda-benda mineral dalam pandangan filosifis islam barangkali sedikit saja lebih tinggi disbanding status yang sama dari unsur-unsur elementer. Benda- benda mineral biasanya dibagi kedalam dua bagian besar, yaitu batu-batuan dan logam- logaman. Tentu saja,logam-logam dan batu-batuan tersebut terdiri dari unsur-unsur dasar yang sama, tetapi dengan proporsi dan, barangkali, property (sifat-sifat) yang berbeda. Namun, tidak seperti unsur-unsur yang-karena kesederhanaannya-tidak terlalu terlihat hierarki ontologisnya, benda-benda mineral telah dengan jelas memperlihatkan tingkat atau derajat yang secara hierarki tersusun, misalnya, dari batu-batuan yang kasar (seperti batukoral)