Anda di halaman 1dari 3

METAFISIKA IBNU SINA

A. PENDAHULUAN
Filsafat Islam memiliki kontribusi yang sangat banyak dalam dunia Islam, karena hasil pemikiran
filsafat ini merupakan sumbangan para filosof muslim dengan pemikiran yang sangat maju dan
berusaha menjalin pemikiran filsafat Islam dengan muatan keilmuawan ilmiah.
Ibnu Sina banyak belajar dari pemikiran Al-Farabi, telah berhasil menegakkan bangunan
pemikiran Aristotelesptolemi secara kosmologi. Dalam pemikirannya Ibnu Sina dengan
mengadospi ilmu pemikiran Al-Farabi, ia berusaha menggabungkan konsep bernuansa Islami
dengan pemunculan alam wujud berdasarkan teori emanasi.
Kata yang tertulis di cover buku karangan Adelbert Sneijders yang berjudul Seluas segala
kenyataan. 2 Barangkali kata itu menimbulkan sebuah pertanyaan. Kata “seluas segala
kenyataan” itu merujuk pada metafisika. Mengenai metafisika, Aristoteles mengatakan bahwa
metafisika terfokus kepada “pengada sekedar pengada” (ens in quantum ens).
Metafisika Aristoteles dianggap sebagai metafisika yang pertama. Secara sederhana ia
merumuskan metafisika sebagai ada sejauh ada. Metafisika Aristoteles memiliki (actus prima)
potensi yang dimiliki dan (actus formalis) aktus jenis.3 Dalam perjalanan waktu, metafisika
Aristoteles diteruskan oleh para filsuf Arab. Salah satu dari filsuf Arab itu adalah Ibnu Sina.
Pemikiran Ibnu Sina tentang metafisika juga menyatukan pandangan dan pemikiran al-Farabi
dan Plotinos.
Dalam Islam, metafisika merupakan masalah utama sebagai landasan epistemology
(berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits). Ini karena seluruh orientasi kehidupan manusia selalu
mengarah kepada Tuhan. Tuhan dalam kajian filsafat Islam merupakan metafisika sebagai being
absolut. Bagi Al-Kindi, metafisika merupakan argumen rasional membuktikan wujud Tuhan.
Sementara itu, menurut Ibnu Sina, ia memposisikan metafisika sebagai bagian terakhir dari
filsafatnya.
B. METODOLOGI PENULISAN
Adapun penulisan jurnal ini menggunakan metodologi penelitian kajian pustaka atau biasa
disebut dengan library research. Data yang diperoleh dari berbagai referensi (buku)
dikumpulkan lalu dianalisis (content analisyst).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembuktian Adanya Wujud Tuhan Menurut Ibnu Sina secara Ontologis Dan Kosmologis
Kajian Ontologis adalah kajian yang berasal dari Yunani kuno dan merupakan kajian filsafat yang
paling tua, di dalamnya membahas tentang keberadaan Tuhan secara nyata. Adapun kajian
kosmologis adalah kajian mempelajari tentang sejarah dan struktur alam semesta dalam skala
besar yang berhubungan dengan asal mula kehidupan.
Para filosof Yunani yaitu seperti Aristoteles dan Plato membicarakan mengenai teori ketuhanan
lalu para filosof Arab mewarisis teori ketuhanan tersebut. 5 Salah satu contoh pemikiran yang
disampaikan oleh Aristoteles adalah mengatakan Tuhan sebagai “penggerak yang tidak
bergerak”. Dalam kajian metafisikanya bahwa Tuhan itu ada disebabkan adanya eksistensi
(keberadaanya) menurut Aristoteles.
Menurut teorinya Tuhan menggerakkan alam satu kali gerak saja, karena itu Aristoteles
menyebutkan Tuhan dengan “penggerak yang tidak bergerak. Pada abad ke Sembilan Belas
Masehi para filosof Islam yang muncul pertama seperrti al-Kindi dan akhirnya diikuti dengan
filosof-filosof Islam seperti Ar-Rozi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan yang lain-lainnya.
Para filosof menemukan hakikat ketuhanan dengan menggunakan dasar berfikir logis dengan
menggunakan akal yang murni lalu di kuatkan dengan pembuktian nash - nash Kitab suci,
sehingga mereka menemukan hakikat keberadaan Tuhan yang sebenarnya.
Untuk memahami secara mendalam kajian ontologi dan kajian kosmologis ini dalam kajian
filsafat, maka harus dipahami dahuli kajian filsafat dengan benar.

2. Argumentasi Ontologi Dan Kosmologi Ibnu Sina

Argumentasi ontologi dan kosmologi ini para filosof Islam memiliki pemahaman yang sama.
Menurut pendapat Al-Farabi ini tidak jauh berbeda dengan Ibnu Sina, ada dua sifat mengenai
akal pertama yang mempunyai yakni sifat wajib wujudnya sebagaimana pancaran dari Allah dan
sifat mumkin wujudnya. sehingga akal pertama mempunyai obyek pemikiran : (1) adanya Tuhan,
(2) Dirinya sebagai wajib wujudnya, (3) Dirinya sebagai mumkin wujudnya. Sehingga dari
pemikiran tentang Tuhan menghasilkan akal, dari pemikiran tentang dirinya wajib wujudnya
menghadirkan jiwa-jiwa.
Dengan demikian Ibnu Sina melalui pemikirannya bahwa alam semesta tercipta dari pancaran
Tuhan inilah yang disebut dengan teori emanasi. Adapun pemikiran para mutakallimin yang
merupakan para cendikiawan muslim ahli kalam dan ahli teologi Islam memiliki perbedaan
dengan pemikiran Ibnu Sina. para mutakallimin mengatakan bahwa antara qadim dan baharu
lebih sesuai dengan ajaran agama, sedangkan menurut Ibnu Sina bahwa ia ada sejak qadim yaitu
tidak berawal ataupun berpermulaan.
Berbeda dengan Al-Farabi yang berpendapat, bahwa akal pertama itu mempunyai satu sifat,
yaitu wujud. Dan setiap wujud hanya melahirkan dua macam, yaitu wujud berikutnya yaitu
langit atau planet. Adapun Ibnu Sina berpendapat, bahwa akal pertama mempunyai dua sifat,
yaitu sifat wajib wujud pancaran dari Tuhan dan sifat mungkin wujud, jika ditinjau dari hakikat
darinya. Dengan demikian ia mempunayi tiga obyek pemikiran, yaitu Tuhan, dirinya sebagai
wajib wujudnya artinya Allah itu benar adanya. Berasal dari pemikiran tentang Tuhan timbul
akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa, dan dari
pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.
Para filosof muslim Al-Farabi dan Ibnu Sina memalui pemikirannya mengajukan teori emanasi
dengan mentauhidkan Allah sepenuhnya. Dalam pandangannya Jika Tuhan berhubungan
langsung dengan alam yang plural ini, tentu dalam pemikiran Tuhan terdapat hal yang plural
pula. Hal ini tentu merusak citra tauhid, ke Esahan Tuhan menjadi ternoda karenanya, jadi
menurut Al-Farabi Tuhan tidak mampu menciptakan langsung dengan alam semesta yang
banyak itu karena, karena kalau ia menciptakan secara keseluruhan maka tuhan dianggap
banyak.

Anda mungkin juga menyukai