Anda di halaman 1dari 8

BARISAN DAN DERET

DAN APLIKASI DALAM EKONOMI


BY MARHAZNI

A. BARISAN/BANJAR
1. Pengertian Dan Konsep Barisan
Dalam bidang matematika, barisan atau banjar (Inggris: sequence) didefnisikan
sebagai urutan angka yang terbentuk dengan aturan tertentu. Dapat juga didefinisikan
sebagai sekumpulan bilangan yang memiliki pola tertentu. Angka atau bilangan yang
merupakan anggota suatu barisan disebut dengan “suku”. Jika suatu barisan
disimbolkan dengan Sn dan suku-sukunya dinyatakan dengan an maka barisan tersebut
dapat dinyatakan sebagai berikut:
Sn = a1, a2, a3, a4,..., an

Barisan merupakan sebuah fungsi yang memiliki wilayah asal (domain) serta
wilayah tujuan (kodomain). Domain dari suatu barisan adalah himpunan bilangan asli
(1, 2, 3,.., dst) yang dapat berupa semua bilangan asli yang tidak terbatas atau inisial
himpunan bilangan asli (barisan beberapa suku awal), sedangkan kodomainnya
merupakan sembarang himpunan. Jika sembarang bilangan asli dilambangkan dengan n,
maka suku-suku pada sebuah barisan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari n atau f(n).
Jika domain barisan adalah semua bilangan asli maka suku-suku barisan itu
berlanjut terus menerus, semakin besar nilai domain (n) maka akan semakin besar nilai
kodomain atau f(n). Dalam hal ini nilai fungsi f(n) tidak terbatas sehingga barisan
tersebut nerupakan barisan yang tidak memiliki batas (limit) atau barisan tak berhingga.
Sedangkan bila domainnya berupa inisial himpunan bilangan asli (artinya barisan
beberapa suku awal) maka suku-suku barisan itu akan memiliki batas atau disebut
dengan barisan berhingga. Berikut adalah beberapa contoh kelompok bilangan yang
merupakan barisan:
 f(n) = n2  1, 4, 9, 16, 25, 36,...
 f(n) = 2n  2, 4, 6, 8, 10,....
 f(n) = 1/n2  1, 1/2, 1/9, 1/16, 1/25,...
 f(n) = (1/2)n  1/2, 1/4, 1/8, 1/16, 1/32.....
Empat kelompok bilangan di atas merupakan contoh barisan yang memiliki pola
tertentu dan berbeda diantara masing-masing kelomok. Kelompok bilangan pertama
merupakan barisan bilangan yang terdiri dari bilangan berpangkat 2 (yaitu 12, 22, 32, 42,
52,...) atau dapat dinyatakan dalam fungsi f(n) = n2. Sedangkan kelompok bilangan
kedua merupakan barisan bilangan genap yang dapat dinyatakan dengan fungsi f(n) =
2n.
Kelompok bilangan barisan pertama yaitu f(n) = n2 serta barisan kedua yaitu f(n) =
2n merupakan dua contoh barisan yang tidak memiliki batas, artinya semakin besar nilai
n, maka semakin besar nilai f(n). Sedangkan kelompok bilangan pada barisan 3 yaitu
f(n) = (1/2)n dan kelompok bilangan pada barisan 4 yaitu f(n) = (1/2)n merupakan dua
contoh barisan yang memiliki batas atau limit. Pada kedua barisan tersebut, nilai f(n)
akan semakin mendekati nol dengan semakin besarnya nilai n (barisan dengan limit
nol).
2. Barisan Hitung (Barisan Aritmatika)
Barisan hitung atau barisan aritmatika adalah suatu barisan yang memiliki pola
dimana setiap dua suku yang berurutan (an dan an-1) memiliki selisih atau perbedaan
nilai yang sama besar atau konstan. Jika selisih nilai suku yang saling berurutan
disimbolkan dengan b, maka:
 a2 – a1 = b
 a3 – a2 = b
 an – an-1 = b
Berikut adalah beberapa contoh barisan hitung beserta polanya:
 f(n) = n:  1, 2, 3, 4, 5, 6,...  b = an – an-1 = 1
 f(n) = 2n:  2, 4, 6, 8, 10,...  b = an – an-1 = 2
 f(n) = 3n:  3, 6, 9, 12, 15,...  b = an – an-1 = 3
 f(n) = 5n:  5, 10, 15, 20,....  b = an – an-1 = 5
Dari berbagai contoh barisan hitung di atas, terlihat bahwa nilai untuk setiap suku
pada barisan hitung mengikuti pola/ketentuan berikut:
 S1 = a
 S2 = a+b
 S3 = a+2b
 Sn = a+(n-1)b
Berdasarkan pola tersebut, maka suku ke-n (Sn) dari suatu barisan aritmatika
dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Sn = a + (n – 1)b atau Sn = a + (bn – 1)

Dimana: Sn adalah suku ke-n dari barisan; a adalah suku pertama dari barisan
aritmatika; dan b adalah beda antar suku barisan.
Contoh 1:
Suku ke-100 dari barisan 3, 6, 9, 12, 15,.... dapat dihitung sebagai berikut:
S100 = 3 + (100 – 1)3
S100 = 3 + 297 = 300  Jadi nilai suku ke-100 adalah 300
Contoh 2:
Jika nilai suku ke-100 (S100) dari barisan aritmatika adalah 200, sedangkan beda antar
suku adalah 2, maka suku ke-1 dan suku ke-10 dari barisan aritmatika adalah:
 a1 = 200 / 100 = 2  Jadi suku pertama barisan tersebut adalah 2
 a10 = 200 / 10 = 20  Jadi suku ke-10 barisan tersebut adalah 20

3. Barisan Ukur (Barisan Geometri)


Barisan ukur atau barisan geometri adalah barisan bilangan dimana diantara dua
suku yang berurutan memiliki rasio (hasil bagi) yang sama besarnya. Nilai setiap suku
pada barisan ukur diperoleh dari hasil perkalian suku sebelumnya dengan rasio (r).
Rasio atau hasil bagi disimbolkan dengan r dapat bernilai positif ataupun negatif. Dari
definisi barisan ukur dapat disimpulkan bahwa suatu barisan disebut sebagai barisan
ukur, apabila untuk tiap nilai n bilangan asli berlaku ketentuan:
 a2 / a1 = r
 a3 / a2 = r
 an / an-1 = r
Berikut adalah contoh-contoh dari barisan ukur:
 f(n) = (1/2) n:  1/2, 1/4, 1/8, 1/16, 1/32,...  r = ½ atau 0,5
 f(n) = (5.2 n-1):  5, 10, 20, 40, 80,... r=2
Dari contoh barisan hitung di atas, terlihat bahwa nilai untuk setiap suku pada
barisan hitung mengikuti pola/ketentuan berikut:
 S1 = a
 S2 = ar
 S3 = a(r2)
 Sn = a(rn-1)
Dengan demikian, suku ke-n (Sn) yang nilainya belum diketahui dari suatu
barisan geometri dapat dihitung dengan rumus berikut:
Sn = a(rn-1)

Dimana a adalah suku pertama dan r adalah rasio


Contoh1: Suku ke-8 (S8) dari fungsi f(n) = (1/2) n adalah:
S8 = 0.5(0.58-1)
S8 = 0.5(0.57 ) = 0.58 = 1/256 atau 0.00390625
Contoh 2: Suku ke-10 (S10) dari fungsi f(n) = (5.2 n-1) adalah:
S10 = 5(29)
S10 = 5(512) = 2560

B. DERET
1. Pengertian Deret
Deret merupakan karakteristik khusus dari barisan. Bila suku-suku pada suatu
barisan dijumlahkan, maka jumlah nilai dari suku-suku tersebut dinamakan dengan
deret. Dengan demikian, deret dapat diartikan sebagai penjumlahan dari sejumlah suku
pada suatu barisan. Jika urutan nilai suku ke-n dari suatu barisan (Sn) dinyatakan
dengan ai dimana i =1, 2, 3,...n, maka barisan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
Sn = a1, a2, a3,..., an
Maka penjumlahan dari suku pertama hingga suku ke-n pada barisan tersebut
merupakan suatu deret. Jika deret dari suku pertama hingga suku ke-n tersebut
disimbolkan dengan Dn maka:
Dn = a1 + a2 + a3 + ... + an atau
Dn= ∑𝑛𝑖=1 𝑎𝑖
Contoh: Misalkan dari barisan berikut: 2, 4, 6, 8, 10, 12,... Dapat dihitung misalnya
nilai deret ke-6 dan ke-7 sebagai berikut:
 D6 = 2 + 4 + 6 + 8 + 10 + 12 = 42
 D7 = 2 + 4 + 6 + 8 + 10 + 12 + 14 = 56
2. Deret Hitung (Deret Aritmatika)
Deret hitung atau deret aritmatika merupakan hasil penjumlahan dari suku
pertama hingga suku ke-n dari suatu barisan hitung. Seperti telah dijelaskan bahwa
suatu barisan hitung memiliki ciri-ciri yaitu selisih nilai diantara dua suku yang
berurutan (b) memiliki nilai yang tetap (konstan). Jumlah suku pertama pertama hingga
suku ke-n atau deret ke-n (Dn) dari barisan aritmatika dapat dihitung dengan rumus
berikut:
Dn = ½n (a + Sn)

Dimana: Dn adalah deret sampai suku ke-n; n adalah jumlah suku; a adalah nilai suku
pertama; dan Sn adalah nilai suku ke-n.
Contoh: Jumlah deret hingga suku ke-100 (D100) dari suatu barisan artimatika dengan
suku pertama 2, dan beda antar suku 2 dapat dihitung sebagai berikut:
S100 = 2 + (100 - 1)2 = 200
D100 = ½(100) (2 + 200)
D100 = 50(202) = 10100
3. Deret Ukur (Deret Geometri)
Deret ukur merupakan jumlah dari suku pertama hingga suku ke-n (Dn) dari suatu
barisan ukur. Dalam barisan ukur berlaku ketentuan dua suku yang berurutan memiliki
rasio atau hasil bagi (r) yang sama besarnya. Nilai setiap suku pada barisan ukur
dihitung dengan rumus Sn = arn-1. Sedangkan jumlah deret ukur yaitu jumlah suku
pertama hingga suku ke-n (Dn) dari suatu barisan ukur dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
Apabila nilai rasio (r) lebih besar dari 1 dihitung dengan rumus berikut:

Dn = a(rn – 1) / (r – 1)

Apabila nilai rasio (r) lebih kecil dari 1 (0 < r < 1) dihitung dengan rumus berikut:
Dn = a(1 – rn) / (1 – r)

Untuk r yang kecil dari 1 (0 < r < 1), maka nilai rn akan semakin mendekati nol apabila
n mendekati tak terhingga, sehingga rumus kedua di atas dapat ditulis:
Dn = a(1 ) / (1 – r)

Contoh 1: f(n) = (5.2 n-1):  5, 10, 20, 40, 80,...  r = 2 (r > 1)


Jumlah deret ke-10 (D10) dari barisan ukur di atas adalah:
D10 = 5(210 – 1) / (2 – 1)
D10 = 5115
Contoh 2: f(n) = (1/2) n:  1/2, 1/4, 1/8, 1/16, 1/32,...  r = ½ (r < 1)
Jumlah deret ke-10 dari barisan ukur tersebut adalah:
D10 = 0,5(1 – 0,510) / (1 – 0,5)
D10 = 0.9990234375

C. APLIKASI BARISAN DAN DERET DALAM EKONOMI


Konsep barisan/banjar dan deret diaplikasikan secara luas di dalam bidang
ekonomi dan juga bisnis. Berikut ini akan dibahas beberapa bentuk aplikasi konsep
barisan dan deret dalam bidang ekonomi
1. Model Pertumbuhan
Berbagai model pertumbuhan dalam ekonomi dan bisnis menggunakan konsep
barisan dan deret dalam perhitungannya. Salah satu model pertumbuhan yang sangat
terkenal adalah model pertumbuhan penduduk yang dikemukakan oleh Malthus yang
menyatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk mengikuti deret ukur sedangkan
pertumbuhan bahan pangan mengikuti deret hitung. Model pertumbahan penduduk ini
secara matematis dapat ditulis:
Pt = Po (1 + r)n

Dimana: Pt adalah jumlah penduduk pada tahun ke-t; Pto adalah jumlah penduduk pada
tahun awal; n adalah interval/periode waktu yaitu selisih tahun Pt dan Po.
Contoh kasus:
Misalkan jika penduduk DKI Jakarta pada tahun 2015 berjumlah 10,5 juta jiwa dengan
tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 2 persen pertahun. Maka perkiraan jumlah
penduduk DKI Jakarta sepuluh tahun ke depan (tahun 2025) adalah sebagai berikut:
Pt = 10,5(1 + 0,02)10
Pt = 10,5(1.21899)
Pt = 12,79940
Rumus ini juga dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan nilai pendapatan
nasional ataupun pendapatan suatu wilayah. Rumus di atas dapat ditulis kembali untuk
menghitung nilai pendapatan nasional sebagai berikut:
PDBt = PDBo (1 + r)n

Dimana: PDBt adalah nilai Produk Domestik Bruto pada tahun ke-t; PDBo adalah nilai
PDB pada tahun awal.

2. Perhitungan Nilai Sekarang (Present Value)


Salah satu aplikasi banjar dalam ekonomi adalah dalam perhitungan nilai sekarang
(present value) dari sejumlah uang yang akan diterima pada masa yang akan datang
Konsep time value of money menyatakan bahwa kita akan lebih memilih menerima
sejumlah uang pada saat ini dibandingkan menerima sejumlah uang yang sama dimasa
datang. Nilai nominal uang yang sama akan lebih bernilai pada saat ini dibandingkan
dimasa datang. Hal ini dikenal dengan istilah preferensi waktu.
Karena 1 rupiah saat ini lebih bernilai dibanding satu tahun kedepan, maka untuk
menilai berapa nilai sekarang dari pendapatan yang akan kita peroleh dimasa depan,
pendapatan tersebut perlu didiskontokan.Nilai sekarang (PV) dari sejumlah uang (F)
yang akan diterima pada t periode dari sekarang dengan tingkat bunga sebesar r persen
perperiode yang diperhitungkan pada setiap akhir periode dinyatakan dengan rumus:

PV = F / (1+r)t atau
PV = F (1+r)-t

Nilai (1+r)t merupakan merupakan faktor pendiskonto (discount factor) yang


merupakan suatu barisan dengan domain t = 1, 2, 3..., yaitu suatu barisan tak terbatas,
sehingga semakin lama periode waktu (semakin besar t) semakin besa pula (1+r)t. Jika t
mendekati tak terhingga, maka nilai (1+r)t juga mendekati tak terhingga, sehingga nilai
PV akan semakin mendekati 0. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin
lama periode pendapatan/uang akan diterima maka semakin kecil nilai sekarang dari
pendapatan/uang tersebut.
Contoh Kasus:
Misalkan Anda akan menerima pendapatan dari investasi yang anda lakukan pada saat
ini dengan nilai pendapatan masing-masing sebesar 5 juta yang akan anda terima pada 2
tahun dan 3 tahun dari sekarang. Jika tingkat suku bunga atau discoun rate (r)
diperhitungkan sebesar 10% pertahun, berapakah present value masing-masing
penerimaan tersebut?
 Present value uang yang akan diterima pada 2 tahun ke depan:
PV = 5 juta / (1+r)2
PV = 5 juta / (1+0,10)2
PV = 4,132,231.405
 Present value untuk penerimaan pada 3 tahun ke depan:
PV = 5 juta / (1+r)3
PV = 5 juta / (1+0,10)3
PV = 3,756,574.004

3. Perhitungan Nilai Masa Depan (Future Value)


Nilai masa depan (future value) adalah nilai di masa mendatang dari sejumlah
uang/modal yang diinvestasikan pada saat sekarang. Bagi pemberi pinjaman (kreditur),
future value merupakan nilai masa depan dari pinjaman yang diberikan pada saat
sekarang, sedangkan bagi peminjam (debitur), future value merupakan jumlah uang atau
dana yang harus dikembalikan dimasa datang dari sejumlah uang/dana yang dipinjam
pada saat sekarang.
Jadi future value (FV) adalah kebalikan dari present value (PV), sehingga secara
umum future value dinyatakan sebagai berikut:
FV = M (1 + r)t atau
FV = M /(1 + r)-t

Dimana: FV adalah nilai uang di masa depan; M adalah nilai awal uang yang
diinvestasikan; r adalah tingkat bunga/tingkat pengembalian modal; t adalah periode
waktu investasi.
Contoh Kasus:
Modal (M) sebesar 10 juta didepositokan di bank dengan tingkat bunga sebesar 10
persen pertahun. Jika tingkat suku bunga deposito dihitung pada akhir tahun, maka nilai
deposito tersebut pada akhir tahun ke-5 dapat dihitung sebagai berikut:
FV = 10(1+0,1)5
FV = 10(1.61051)
FV = 16.1051 juta
Apabila perhitungan bunga dilakukan beberapa kali dalam satu periode (misalnya
m kali), maka kita perlu membagi tingkat bunga perperiode dengan m kali pembayaran
bunga, serta mengalikan lama periode investasi/pinjaman dengan jumlah pembungaan
dalam 1 periode (1 tahun). Dengan demikian rumus perhitungannya menjadi:
FV = M
Contoh (1 + r/m)tm atau
Kasus:
Dana
FV =sebesar
M /(1 +100 -tmdidepositokan di sebuah bank dengan bunga majemuk sebesar 6
juta
r/m)
persen pertahun. Apabila dana tersebut didepositokan selama 2 tahun (t = 2) dan
perhitungan bunga dilakukan setiap tiga bulan (m=4), maka nilai deposito pada akhir
tahun kedua adalah:
FV = M(1 + r/m )t.m
FV = 100 (1+ 0,06/4)2.4
FV = 100 (1+ 0,015)8
FV = 100 (1,1265) = 112,65 juta

4. Angka Pengganda Keynes (Multiplier Pendapatan Nasional)


Salah satu aplikasi konsep deret ukur dalam bidang ekonomi makro adalah dalam
konsep angka pengganda Keynes atau yang dikenal dengan konsep Angka Pengganda
Pendapatan atau Multiplier Pendapatan (Multiplier Effect). Angka pengganda
pendapatan merupakan konsep penting dalam analisis keseimbangan perekonomian
model Keynesian baik pada perekonomian 2 sektor, perekonomian 3 sektor maupun
pada perekonomian 4 sektor. Angka pengganda Keynes merupakan suatu koefisien
yang menunjukkan besarnya perubahan pendapatan nasional (∆Y) sebagai akibat
perubahan pada pengeluaran agregat atau aggregat expenditure (∆AE). Jika angka
pengganda disimbolkan dengan AP, maka hubungan antara pendapatan nasional, angka
pengganda dan pengeluaran agregat adalah:
AP = Y / AE
Y = AP x AE

Jika dinyatakan dalam bentuk perubahan, maka dinyatakan sebagai berikut:

AP = ∆Y / ∆AE
∆Y = AP x ∆AE

Besar kecilnya angka pengganda pendapatan ditentukan oleh nilai hasrat


konsumsi marjinal atau marginal propensity to consumpt (MPC) masyarakat. MPC
merupakan suatu rasio yang menunjukkan besarnya perubahan konsumsi sebagai akibat
perubahan pada tingkat pendapatan atau MPC = ∆C / ∆Y. Semakin besar MPC maka
semakin besar angka pengganda dan sebaliknya. Besaran nilai angka pengganda
ditentukan oleh rumus berikut:
AP = 1 / (1 – MPC)

Sehingga besarnya perubahan pada pendapatan nasional dinyatakan sebagai berikut:


∆Y = ∆AE / (1 – MPC)
)
Contoh Kasus:
Misalkan diasumsikan nilai MPC adalah 0,75. Misalkan, pemerintah mengambil
kebijakan menaikkan gaji PNS sebesar 1 triliun. Akibat aktivitas pemerintah tersebut
maka pendapatan nasional sekarang bertambah 1 triliun yaitu berupa kenaikan
pendapatan yang diterima oleh PNS. Dengan MPC sebesar 0,75, maka kenaikan
pendapatan PNS sebesar 1 triliun akan meningkatkan jumlah pengeluaran konsumsi
PNS sebesar 0,75 x 1 triliun = 0,75 triliun. Kenaikan pengeluaran PNS tersebut
selanjutnya akan menyebabkan kenaikan pendapatan kelompok masyarakat lainnya
(misalnya pedagang dan petani) sebesar 0,75 triliun, dan ini akan menaikkan
pengeluaran konsumsi kelompok masyarakat tersebut sebesar 0,75 x 0,75 triliun =
0,5625 triliun. Putaran tersebut akan terus berlanjut sampai tidak ada lagi pertambahan
pendapatan yang tercipta.
Proses diatas dapat digambarkan dalam bentuk suatu deret geometri yaitu sebagai
berikut:
∆Y = 1 + 1(0,75) + 1(0,752) + 1(0,753) +......
Deret geometri di atas memiliki suku pertama yaitu a = 1, serta beda antar suku-suku (r)
sebesar 0,75. Dengan demikian jumlah deret (∆Y) dapat dihitung sebagai berikut:
∆Y = 1 / (1 – 0,75) = 4

Anda mungkin juga menyukai