Anda di halaman 1dari 25

TEKNIK PEMBUATAN AKTA

Pola pembuatan akta:

AWAL AKTA

ISI/ BADAN AKTA

AKHIR/PENUTUP AKTA

Awal akta berisi tentang: judul akta (mis: akta jual beli), kepala akta (mis: pada
hari ini, senin, tanggal duapuluh empat september duaribu delapan (24-09-2008), di
Kediri:, komparisi (mis: hotman parapat, swasta, bertempat tinggal di kota kediri, jalan
mawar 08, selanjutnya disebut: pihak kesatu), dan premis akta/recitals/sebab-sebab
mengapa akta perlu dibuat.

Isi/badan akta berisi tentang materi akta yang biasanya ditandai dengan
pencantuman pasal demi pasal.

Akhir/penutup akta berisi tentang redaksi penutup akta (mis: demikianlah akta
ini dibuat dan ditandatangani oleh para pihak, dibuat dalam rangkap dua serta
bermeterai cukup yang masing-masing rangkap mempunyai bunyi dan kekuatan
hukum yang sama), dan tanda tangan para pihak dan saksi-saksi, ditambah meterai
dan stempel.

- sp -
Penerapan pola pembuatan akta:

AKTA SEWA MENYEWA


(judul)

Pada hari ini, …… tanggal duapuluh empat September duaribu delapan (24-09-2008), di Kota
Kediri: (kepala)

I. Nyonya AMANDA, swasta, bertempat tinggal di Kota Kediri, Kecamatan Mojoroto,


Kelurahan Sukorame, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 01, setempat dikenal dengan
jalan Danau Singkarak No. 103, yang dalam melakukan tindakan hukum berdasarkan
akta ini telah mendapat persetujuan dari suaminya, yang ikut menandatangani akta ini
sebagai tanda persetujuannya, yaitu: Tuan ANWAR, swasta, bertempat tinggal sama
dengan istrinya tersebut di atas: selanjutnya disebut: Pihak Kesatu – Yang Menyewakan.
(komparisi).

II. Tuan BASTIAN, Sarjana Ekonomi, swasta, bertempat tinggal di Kabupaten


Tulungagung, … dst setempat dikenal dengan Perumahan …… dst, dalam hal ini
bertindak dalam jabatannya selaku Manager PT. Bank …. cabang Kediri, demikian
berdasarkan Surat Kuasa nomor: ____ tanggal ___, demikian sah mewakili Direksi dari
dan oleh karena itu untuk dan atas nama PT. Bank _______ , berkedudukan di Jakarta,
selanjutnya disebut: Pihak Kedua - Penyewa.

Pihak Kesatu dan Pihak Kedua (selanjutnya sepakat disebut “para pihak”), terlebih dahulu
menerangkan sebagai berikut: (premis)

a. Bahwa Pihak Kesatu adalah pemilik sah yang berhak dan berwenang atas:

“ bangunan rumah gedung berdinding tembok, atap genting, lantai keramik, lengkap
dengan segala sesuatu yang menjadi hubungan dan kesatuan dengan bangunan rumah
tersebut, yang meliputi fasilitas listrik 2200 (duaribu duaratus) Watt, air bersih dari
PDAM (Pemerintah Daerah Air Minum) Kota Kediri, dan saluran telepon dari
Perseroan Terbatas PT. Telekomunikasi Indonesia (TELKOM) Kediri, nomor: 0354-….,
berdiri di atas sebidang tanah sertipikat Hak Milik Nomor: …/Sukorame, seluas 200 m2
(duaratus meter persegi), terletak di Propinsi Jawa Timur, Kota Kediri, Kecamatan
Mojoroto, Kelurahan Sukorame, dengan batas-batas sebagaimana diuraikan dalam
Gambar Situasi tanggal duapuluh sembilan Oktober seribu sembilan ratus
sembilanpuluh (29-10-1990), nomor: …., dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota
Kediri, tanggal tigapuluh Nopember seribu sembilanratus sembilanpuluh (30-11-1990),
terakhir tertulis atas nama: AMANDA, selanjutnya disebut : Bangunan Kantor “.

b. Bahwa Pihak Kedua bermaksud akan menyewa Bangunan Kantor tersebut dari Pihak
Kesatu, untuk dipergunakan sebagai kantor unit usaha Pihak Kedua selama jangka waktu
3 (tiga) tahun berturut-turut.
c. Bahwa atas maksud Pihak Kedua tersebut, Pihak Kesatu menyatakan setuju, dengan harga
sewa menyewa sebesar Rp 16.000.000,- (enambelas juta rupiah) tiap tahun, sehingga
selama 3 (tiga) tahun sebesar Rp 48.000.000,- (empatpuluh delapan juta rupiah).

Berdasarkan hal-hal sebagaimana termaktub di atas, para pihak sepakat untuk membuat dan
menAndatangani Akta Sewa Menyewa (“Sewa Menyewa“) dengan syarat-syarat dan/ atau
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

Pasal 1
JANGKA WAKTU

(1) Dalam hal jangka waktu sewa menyewa ini berakhir, Pihak Kesatu akan memberi hak
prioritas pertama kepada Pihak Kedua untuk memperpanjang jangka waktu sewa
menyewa, dengan syarat-syarat dan/atau ketentuan-ketentuan yang akan diatur lebih
lanjut.

(2) Dalam hal Pihak Kedua tidak melanjutkan perpanjangan jangka waktu sewa menyewa
tersebut maka Pihak Kedua wajib mengosongkan Bangunan Kantor bebas dari penghuni
dan barang-barang penghuni dan selanjutnya menyerahkan Bangunan Kantor kepada
Pihak Kesatu dalam keadaan bersih dan baik, dengan biaya dan resiko semuanya menjadi
beban dan tanggung jawab Pihak Kedua.

Pasal 2
HARGA SEWA

(1) Sewa menyewa ini dilangsungkan dengan harga sebesar Rp 48.000.000,- (empatpuluh
delapan juta rupiah) untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut.

(2) Harga sewa menyewa akan dibayar lunas oleh Pihak Kedua kepada Pihak Kesatu setelah
akta ini ditandatangani, dan pembuktian bahwa Pihak Kedua telah melunasi harga sewa
kepada Pihak Kesatu hanya dibuktikan dari bukti pengiriman dan/atau validasi sah dari
Bank yang menerima pengiriman/transfer uang tersebut dari Pihak Kedua dan atas
penerimaan uang sewa tersebut maka Pihak Kesatu akan menerbitkan kuitansi
pembayarannya kepada Pihak Kedua.

Pasal 3
KEADAAN BANGUNAN KANTOR

Sebelum akta ini ditandatangani oleh para pihak, Pihak Kedua telah meneliti dengan seksama
tentang fisik dan segala sesuatunya atas Bangunan Kantor, dan Pihak Kedua menyatakan
bahwa Bangunan Kantor berada dalam kondisi baik serta bebas dari cacat-cacat tersembunyi.
Pasal 4
JAMINAN PIHAK KESATU

Pihak Kesatu dengan ini menjamin Pihak Kedua bahwa:

(1) Bangunan Kantor adalah milik sah Pihak Kesatu dan berhak serta berwenang untuk
menyewakannya kepada Pihak Kedua.

(2) Bangunan Kantor tidak berada dalam perkara apapun juga baik Pidana maupun Perdata
termasuk bebas dari sita jaminan dan/atau dijadikan sebagai jaminan Hak Kebendaan
dalam bentuk apapun juga.

(3) Tentang segala apa yang diperjanjikan berdasarkan akta ini baik sekarang maupun
dikemudian hari, Pihak Kedua tidak akan mendapat gangguan, tuntutan dan/atau
gugatan dari siapapun, baik yang mengaku mempunyai atau pemegang hak lebih dahulu
atau sebagai akibat dilaksanakannya akta ini, dan untuk itu Pihak Kesatu dengan ini
membebaskan Pihak Kedua dari segala tuntutan dan/atau gugatan dari siapapun juga.

Pasal 5
JAMINAN PIHAK KEDUA

Pihak Kedua dengan ini menjamin Pihak Kesatu bahwa:

(1) Bangunan Kantor tidak akan disewakan baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak
lain.

(2) Bangunan Kantor tidak akan dipinjam pakai-kan baik sebagian maupun seluruhnya.

(3) Bangunan Kantor tidak akan dipergunakan oleh pihak lain baik dalam rangka kerja sama
(joint operation) atau dengan cara dan dalih apapun juga.

Pasal 6
PERBAIKAN (-PERBAIKAN)

(1) Semua perbaikan kecil yang seluruhnya bertujuan guna merawat Bangunan Kantor
dilakukan oleh Pihak Kedua dengan biaya dan resiko berkenaan dengan perawatan
tersebut menjadi beban dan resiko serta dibayar oleh Pihak Kedua.

(2) Dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Kesatu, maka Pihak Kedua
diperbolehkan untuk melakukan perubahan interior dan/atau penambahan yang bersifat
permanen atau non permanen atas Bangunan Kantor, dengan biaya dan resiko
sepenuhnya ditanggung oleh Pihak Kedua, dan apabila jangka waktu sewa berakhir dan
Pihak Kedua tidak memperpanjangnya lagi maka bentuk Bangunan Kantor wajib
dikembalikan oleh Pihak Kedua dengan biaya dan resiko sepenuhnya ditanggung oleh
Pihak Kedua seperti keadaan semula.

(3) Selama jangka waktu sewa menyewa berlangsung maka tagihan atas pemakaian listrik, air
dan telepon menjadi beban dan dibayar oleh Pihak Kedua, dan apabila Pihak Kedua tidak
melaksanakan dengan baik dan teratur segala kewajiban pembayaran listrik, air dan
telepon sehingga mengakibatkan langganan aliran listrik, air dan saluran telepon tersebut
dicabut, maka Pihak Kedua harus menanggung sepenuhnya kerugian-kerugian Pihak
Kesatu yang diakibatkan oleh hal tersebut.

(4) Pajak bumi dan bangunan (PBB) atas Bangunan Kantor menjadi beban dan dibayar oleh
Pihak Kesatu.

Pasal 7
PENGAKHIRAN

(1) Dengan mengesampingkan ketentuan pasal 1, Pihak Kesatu berhak untuk mengakhiri
sewa menyewa ini, yakni dalam hal:

a. Pihak Kedua menggunakan Bangunan Kantor menyimpang dari tujuan sewa


menyewa yang disepakati berdasarkan akta ini.

 b. Pihak Kedua melanggar ketentuan dalam pasal 5.

c. Musnahnya Bangunan Kantor yang disebabkan oleh keadaan di luar kehendak para
penghadap (Force Majeure).

(2) Mengenai pelaksanaan pengakhiran sewa menyewa ini, para pihak sepakat untuk
mengesampingkan pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata Indonesia.

Pasal 8
AKIBAT PENGAKHIRAN

(1) Segera setelah diakhirinya sewa menyewa berdasarkan pasal 7, maka paling lambat 15
(lima belas) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan tentang pengakhiran tersebut
dari Pihak Kesatu, Pihak Kedua harus menyerahkan Bangunan Kantor dalam keadaan
kosong, bebas dari penghuni dan barang-barang penghuni dan bersih kepada Pihak Kesatu
dengan biaya dan resiko semuanya menjadi beban dan tanggung jawab Pihak Kedua.

(2) Atas berakhirnya sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pihak Kedua
tidak dapat meminta pengembalian harga sewa menyewa baik seluruhnya maupun sebesar
jangka waktu sewa menyewa yang tersisa.
Pasal 9
FORCE MAJEURE

(1) Dalam akta ini yang masuk dalam kualifikasi Force Majeure hanyalah: gempa bumi, hura-
hara dan kebakaran.

(2) Atas peristiwa Force Majeure tersebut, maka Pihak Kesatu akan memberitahukannya
secara tertulis kepada Pihak Kedua dan sekaligus akan menegaskan tentang pengakhiran
sewa menyewa sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 kepada Pihak Kedua.

Pasal 10
PENYELESAIAN PERSELISIHAN & DOMISILI

(1) Dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak, maka perselisihan itu akan diselesaikan
secara musyawarah, dan jika dengan cara musyawarah perselisihan tersebut tidak dapat
diselesaikan, maka hal itu akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.

(3) Tentang akta ini dan akibat hukum yang timbul, para pihak memilih domisili/tempat
kedudukan di Pengadilan Negeri Kota Kediri.

Pasal 11
LAIN-LAIN

(1) Dalam hal jangka waktu sewa menyewa belum habis, tetapi Pihak Kedua bermaksud
untuk pindah, maka terhadap jangka waktu sewa menyewa yang tersisa Pihak Kedua
tidak berhak untuk meminta kembali harga sewa menyewa sebesar jangka waktu sewa
menyewa yang tersisa itu dari Pihak Kesatu.

(2) Segala sesuatu yang timbul pada saat pelaksanaan akta ini, tetapi tidak cukup diatur
dalam akta ini, selanjutnya disepakati oleh para pihak untuk diatur kemudian secara
tertulis.

(3) Untuk setiap perubahan/penambahan terhadap pasal atau ayat dari isi akta ini, para pihak
setuju untuk membuat dan menandatangani akta tambahan (amandemen atau adendum
atau adenda) yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari akta
ini.

(4) Apabila salah satu atau lebih ketentuan akta ini menjadi batal, tidak berlaku atau tidak
dapat dilaksanakan karena sebab apapun juga, maka keabsahan dan daya berlakunya dari
ketentuan lainnya dari akta ini tetap sah dan berlaku.

Demikianlah akta ini dibuat dan ditanda tangani oleh para pihak, dalam rangkap dua, masing-
masing bermeterai cukup dan mempunyai bunyi dan kekuatan hukum yang sama.
(akhir/penutup akta)
Pihak Kesatu, Pihak Kedua,

(AMANDA) (ANWAR)) (BASTIAN, SE)

Saksi – Saksi,

1. _______________

2. _______________

- sp -
KOMENTAR HUKUM
TENTANG: TEKNIK PEMBUATAN AKTA

AWAL AKTA.

Sebagaimana telah diuraikan di muka, awal akta terdiri dari: judul, kepala,
komparisi dan premis/sebab-sebab, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Judul

Manfaat penggunaan judul dalam suatu akta adalah untuk mempercepat


para pembacanya mengetahui terkait tentang apa tujuan akta itu dibuat.

Judul akta harus dibuat secara singkat, jangan terlalu panjang. Judul akta
yang singkat misalnya:

AKTA SEWA MENYEWA

sedangkan judul akta yang panjang misalnya:

AKTA SEWA MENYEWA BANGUNAN RUMAH & TOKO


SEBAGAI KANTOR UNIT BANK SOPAR ARTHA DI KEDIRI

Judul akta ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan ditengah-tengah


marjin tanpa diakhiri tanda baca:

Contoh:
AKTA SEWA MENYEWA

Bisakah judul aktanya hanya ditulis “AKTA atau PERJANJIAN“ saja ?


Bisa juga, tetapi hal tersebut jelas akan memperlambat si pembacanya dalam
mengetahui terkait apa gerangan akta dimaksud, tentu si pembaca baru
mengetahui terkait hal apa akta itu dibuat setelah membaca pasal demi
pasal dari akta yang bersangkutan, jadi agak lama. Untuk itu, penulisan
judul yang hanya berjudul “AKTA atau PERJANJIAN” tidak perlu Anda
ikuti.
Bagaimana jika judul akta tidak sesuai dengan isi akta, mana yang
mengikat bagi para pihak, judul akta atau isi akta ? Yang mengikat bagi
para pihak adalah isi aktanya, dengan alasan hukum sebagai berikut:

a. Tidak satupun ketentuan perudangan-undangan yang melarang suatu


akta tanpa judul, artinya tanpa judulpun akta tetap sah, karena akta
tersebut tidak melanggar ps 1320 KUH Perdata tentang sahnya
perjanjian.

b. Kalaupun dikemudian hari terjadi perselisihan/sengketa atas akta,


misalnya karena perbedaan antara judul akta dan isi akta, maka maksud
para pihak (bedoeling van partijen) sebagaimana termaktub dalam isi akta
yang akan dijadikan hakim sebagai dasar pertimbangan hukumnya
dalam memeriksa dan memutus sengketa atas akta itu.

2. Kepala Akta

Penggunaan kepala akta, mis: Pada hari ini, selasa, tanggal duapuluh
empat september duaribu delapan (24-09-2008), di kota Kediri, bertujuan
untuk memastikan terkait hari apa, tanggal berapa dan dimana akta itu
dibuat.

Bandingkan kalau kepala akta ditulis dengan kata: “Yang bertanda tangan
di bawah ini“. Penggunaan kalimat “Yang bertanda tangan di bawah ini“
membuat tidak jelas terkait hari apa akta itu dibuat, tanggal berapa, dimana.
Memang pada akhir aktanya sering hari dan tanggalnya dibuat juga, namun
agak riskan, karena menyangkut penyakit lupa yang dapat menghinggapi
para pihak pembuat aktanya

Mengapa harus diberi tanggal ? Penulisan tanggal merupakan unsur


yang sangat menentukan, yakni apabila dikaitkan dengan persoalan tentang
kecakapan dan kewenangan para pihak dalam membuat akta atau
keabsahan menyangkut hal-hal yang diatur dalam aktanya (apakah hal-hal
yang diatur dalam akta/objek akta bertentangan atau tidak dengan
ketentuan hukum yang berlaku pada saat akta itu dibuat).

3. Komparisi
Komparisi merupakan penerapan atas ps 1320 KUH Perdata, khususnya
syarat tentang kecakapan dan kewenangan dalam membuat akta (syarat
subyektif).
Persoalan tentang kecakapan dalam membuat akta, harus kita kaitkan
dengan pertanyaan apakah orang tersebut telah: dewasa, tidak di bawah
pengampuan atau tidak dilarang oleh UU ?

Pengertian tentang orang dewasa pertama-tama selalu merujuk kepada


batasan umur, dan tentang batasan umur sampai saat ini tidak ada
keseragaman dalam pengaturan hukumnya.

Dalam ps 1330 KUH Perdata juncto ps 330 KUH Perdata seseorang


dikatakan dewasa apabila dia telah berumur 21 tahun, sebaliknya dalam ps
39 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris seseorang
dikatakan dewasa apabila telah berumur 18 tahun.

Selain batasan umur yang dapat kita jadikan sebagai patokan dalam
menentukan kedewasaan seseorang dalam membuat dan menandatangani
akta, maka faktor status perkawinan juga dapat kita jadikan sebagai
dasar/patokan yang kedua, artinya kalau dia sudah kawin maka yang
bersangkutan secara hukum dinyatakan telah dewasa sekalipun umurnya
belum genap 18 tahun.

Jika pihaknya (subyek hukumnya) badan hukum berbentuk Perseroan


Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi, maka masalah kewenangan akan menjadi
persoalan lanjutan, yakni: apakah dia memiliki wewenang bertindak ? Dari
manakah kita mengetahui bahwa dia berwenang bertindak mewakili PT,
Yayasan atau Koperasi ? Apakah akibat hukumnya jika dia ternyata tidak
berwenang membuat dan menandatangani akta namun dia sudah
terlanjur menandatangani aktanya ?

Menjawab persoalan tentang kewenangan bertindak seseorang mewakili


badan hukum, kiranya dapat kita lihat dari anggaran dasarnya mulai dari
saat pendirian sampai perkembangan terakhir, untuk itu tindakan untuk
memeriksa anggaran dasarnya mulai dari awal pendirian sampai
perkembangannya yang terakhir, termasuk juga surat kuasa/surat
penunjukan, izin-izin untuk berdirinya atau beroperasionalnya badan
hukum dimaksud adalah kepastian untuk dilakukan, dan bilamana akta
terlanjur ditandatangani padahal dia ternyata tidak mempunyai
kewenangan untuk itu, maka hal tersebut akan membawa dirinya menjadi
bertanggung jawab secara pribadi menyangkut akta yang ditandatangani
tersebut, kecuali badan hukum yang bersangkutan bersedia untuk memikul
akibat kerugian yang timbul.
4. Penggunaan Premis.

Premis suatu akta biasanya diawali dengan kalimat seperti ini: “Para
pihak terlebih dahulu menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa ………. dst


- Bahwa ………. dst “

Premis akta memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang


menjadi latar belakang dan/atau alasan pembuatan akta. Dalam akta-akta
sederhana (mis: akta sewa menyewa rumah) penggunaan premis hampir
tidak pernah kita baca. Dalam akta sederhana seperti akta sewa menyewa,
para pihaknya biasanya langsung to the point mengatur pasal-pasal yang
disepakati dalam sewa menyewa dimaksud. Penggunaan premis lebih
sering pada akta-akta yang agak kompleks, seperti akta (-akta) jasa
konstruksi.

Apa manfaat penggunaan premis dalam suatu akta ? Manfaat


penggunaan premis dalam suatu akta kiranya untuk mempercepat guna
mengetahui apakah akta yang akan dibuat itu melanggar ps 1320 KUH
Perdata atau tidak, yakni berkenaan dengan syarat adanya sebab/kausa
yang halal (syarat objektif). Apakah sebab/kausa dari akta tersebut
bertentangan atau tidak dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum ? (ps 1337 KUH Perdata).

Bagaimana jika dalam suatu akta tidak ada premisnya, apakah hal
tersebut berarti bahwa akta itu tidak mempunyai kausa ? apakah akta
tersebut tidak sah ? Ps l336 KUH Perdata menegaskan, bahwa hal itu tidak
mengakibatkan akta tersebut menjadi tidak sah. Akta tersebut tetap sah,
sejauh apabila apa yang dimuat dalam akta itu merupakan hal-hal yang
tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

ISI AKTA
Isi akta biasanya dirumuskan dalam bentuk pasal demi pasal, dan untuk
merumuskan pasal-pasal yang relevan untuk dicantumkan dalam akta
diperlukan suatu strategi dalam merancangnya, yaitu:

- Mencari terlebih dahulu apa yang menjadi unsur esensial dari transaksi
tersebut.

Jika transaksi jual beli misalnya, maka unsur harga dan barang
harus kita masukkan dalam akta tersebut, karena jika harga dan
barang tidak kita masukkan maka transaksi tersebut tidak bisa
dikatakan sebagai transaksi jual beli, sebab esensi jual beli adalah
ada unsur harga dan barang).

Isi/substansi akta biasanya ditandai dengan pencantuman pasal demi pasal,


dan hal ini menurut sistem civil law merupakan penerapan dari syarat esensialia,
syarat naturalia dan syarat aksidentalia, dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Syarat Esensialia.

Syarat esensialia adalah suatu syarat/unsur yang wajib harus ada dimuat
dalam akta itu, yang tanpa adanya unsur tersebut akan mengakibatkan akta
menjadi cacat sehingga tidak mengikat bagi para pihak.

Contoh:

- Dalam akta jual beli, wajib dicantumkan mengenai barang dan harganya,
karena esensi jual beli adalah: barang dan harga. Jika barang dengan barang
itu masuk dalam lingkup tukar menukar, bukan jual beli.

- Dalam akta sewa menyewa, syarat esensinya adalah harga sewa, jangka
waktu sewa dan barang yang disewakan.

b. Syarat Naturalia.

Syarat naturalia adalah suatu syarat yang sudah pasti dianggap


melekat dan ada dalam suatu akta meskipun tidak diatur atau
kurang terperinci diatur dalam aktanya. Jadi, sekalipun Anda
kelupaan/lalai untuk menuliskan klausula bahwa si penjual
harus tidak menyembunyikan tentang cacat-cacat dari barang
yang hendak dia jual, hal ini tidak berarti bahwa si penjual
menjadi bebas/dibebaskan dari kewajibannya untuk
menanggung segala cacat-cacat dari barang yang dia perjual
belikan, karena KUH Perdata sudah mengatur secara agak rinci
tentang kewajiban penjual untuk memberitahukan kondisi fisik
barang yang akan dijual secara jujur kepada pembeli.

Contoh:

- Kalaupun di dalam akta sewa tidak dicantumkan tentang


klausula resiko, maka sejauh barang yang di sewa (mobil)
masih berada dalam penguasaan si penyewa dan ternyata
mobil tersebut rusak dan harus diperbaiki dengan jumlah
biaya yang besar, maka selama mobil tersebut masih di
dalam penguasaan si penyewa, si penyewa wajib
memperbaiki mobil sewa tersebut dengan biaya sendiri
tanpa meminta ganti rugi dari pihak yang menyewakan
(pemilik mobil), mengapa ? Karena mengenai ketentuan
kewajiban penyewa seperti itu sudah tegas di atur dalam ps
1560 KUH Perdata bahwa si penyewa harus bertindak
sebagai penyewa yang baik, dan ketentuan ps 1560 KUH
Perdata inipun telah diakui oleh Mahkamah Agung
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 3192
K/Pdt/1988, tanggal 13 Maret 1993.

- Apabila dalam suatu akta kredit lupa dicantumkan tentang


besarnya bunga kredit, maka yang berlaku adalah bunga
menurut undang-undang (6 % per tahun).

- Jika dalam akta jual beli motor tidak diatur terkait siapa
yang menanggung biaya pengangkutan motor ke rumah
pembeli, maka berlaku hukum kebiasaan bahwa beban
biaya pengangkutan ditanggung oleh penjual.

c. Syarat Aksidentalia.

Syarat aksidentalia adalah syarat pelengkap dalam suatu akta, yang apabila
syarat tersebut tidak diatur secara tegas maka pihak-pihak yang bersangkutan
tidak wajib untuk melaksanakannya, karena dalam KUH Perdata pengaturan
hal sedemikian itu tidak diatur.

Contoh:

Terkait harga barang dalam tranksaksi jual beli, maka harus diperjanjikan
secara detil dan tuntas tentang bagaimana cara pembayaran harga barang.
(apakah sekaligus atau bertahap, tanggal berapa, dimana, dengan cara apa,
dan seterusnya), sebab kalau tidak diatur seperti itu akan timbul
permasalahan tersendiri nantinya, karena KUH Perdata tidak mengatur
tentang cara/teknis pembayaran harga barang apakah mesti sekaligus atau
bertahap dalam pembayarannya.

Tebal tipisnya suatu akta, sangat banyak dipengaruhi oleh faktor syarat
aksidentalia ini, karena Anda harus merumuskannya secara khusus bahkan
sampai detil mengenai segala sesuatu, hal mana kalau tidak Anda tulis dalam akta
sudah pasti ketentuan tersebut tidak akan berlaku bagi para pihak. Jadi Anda
mutlak harus menulisnya , biar berlaku bagi para pihak.

Yang termasuk sebagai klausula yang memenuhi syarat aksidentalia antara


lain sebagai berikut:

1. Hak dan Kewajiban Para Pihak.

Dalam transaksi bisnis, inti pembuatan akta adalah penuangan hak dan
kewajiban bagi para pihak, jika bagi Pihak Kesatu hal tersebut merupakan
hak, maka hal itu jelas merupakan kewajiban bagi Pihak Kedua, demikian
sebaliknya, jadi Anda harus menuangkannya sedetil mungkin mana yang
menjadi hak dan kewajiban para pihak, karena itulah hakekat dari suatu
hubungan hukum menurut Putusan Mahkamah Agung RI No. 374
K/Pdt/2005, tanggal 13 Maret 2007.

2. Pernyataan dan Jaminan Para Pihak.

Dalam praktek pembuatan akta, sering kita membaca istilah pernyataan


(representations), jaminan (warranty), guarantee dan indemnity. Dimanakah
perbedaannya ?

Klausula pernyataan (representations) dan jaminan (warranty) sering digabung


menjadi satu kesatuan dalam satu pasal, namun sekalipun digabung menjadi
satu pasal bukan berarti pernyataan (representations) dan jaminan (warranty)
tidak bisa dibedakan.

Secara ringkas perbedaaan antara klausula pernyataan dengan klausula


jaminan adalah sebagai berikut: Jika pernyataan, jelas ini berisi tentang
pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh para pihak tentang sesuatu hal,
sedangkan klausul jaminan, ini berisi tentang jaminan-jaminan dari para
pihak atas apa-apa yang telah dinyatakan oleh para pihak tersebut dalam akta
itu.

Contoh:
Pasal 8
PERNYATAAN & JAMINAN

Para pihak (kreditur dan debitur) dengan ini saling menyatakan dan menjamin hal-hal
sebagai berikut:

(1) Yang menandatangani akta kredit dan pemberian jaminan berdasarkan akta ini
adalah pihak yang mempunyai wewenang dan sah untuk mewakili kreditur dan
debitur.

(2) Anggaran dasar kreditur dan debitur serta semua perubahannya adalah benar,
yakni sebagaimana termaktub di dalam bagian komparisi akta kredit ini.

Terkait dengan klausula jaminan (warranty) yang sering tercantum dalam


suatu akta, mis: jaminan dari seorang debitur, maka kita harus mengetahui
bahwa hal itu merupakan penerapan dari dua sifat klausula jaminan
(warranty), yaitu:

- Jaminan bersifat aktif/berbuat sesuatu (affirmative covenat); dan


- Jaminan bersifat pasif/tidak berbuat sesuatu (negative covenant).

Contoh affirmative covenat:

Selama berlakunya akta ini, debitur wajib melakukan hal-hal sebagai berikut:

(1) Debitur harus menyerahkan kepada kreditur laporan keuangan tahunan yang
telah diaudit oleh akuntan publik.

(2) Memberitahukan kepada kreditur apabila ada perubahan susunan anggota direksi,
anggota dewan komisaris atau pemegang saham dan perubahan anggaran dasar
debitur.

Contoh negative covenat:

Tanpa persetujuan tertulis dari kreditur, debitur dilarang melakukan hal-hal sebagai
berikut:

(1) Menjaminkan kembali harta kekayaan debitur yang telah diserahkan kepada
kreditur sebagai jaminan atas kredit yang telah diterima oleh debitur kepada pihak
lain.

(2) Merubah susunan anggota direksi dan/atau dewan komisaris.

(3) Menjual saham sebagian atau seluruhnya.


3. Klausula Antisipasi.

Sesuai dengan namanya “klausula antisipasi”, jelas klausula ini bersifat


antisipasi saja, yakni manakala terjadi sesuatu hal, misalnya:

- Jika terjadi pengakhiran akta (mengakhiri akta sebelum berakhirnya masa


berlakunya akta sesuai dengan kesepakatan yang ditulis dalam akta), maka
para pihak mempunyai prosedur khusus untuk mengantisipasi kejadian
pengakhiran akta itu.

- Jika terjadi suatu keadaan yang mengakibatkan salah satu ketentuan dalam
akta bertentangan atau tidak dapat dilaksanakan berdasarkan hukum yang
berlaku, maka ketentuan tersebut dianggap tidak berlaku, sedangkan
ketentuan-ketentuan lain dalam aktanya tetap berlaku sebagaimana
mestinya.

Contoh:
Pasal 8
AKIBAT PENGAKHIRAN

(1) Segera setelah diakhirinya sewa menyewa berdasarkan pasal 7, maka paling
lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan tentang
pengakhiran tersebut dari Pihak Kesatu, Pihak Kedua harus menyerahkan
Bangunan Kantor dalam keadaan kosong, bebas dari penghuni dan barang-
barang penghuni dan bersih kepada Pihak Kesatu dengan biaya dan resiko
semuanya menjadi beban dan tanggung jawab Pihak Kedua.

(2) Atas berakhirnya sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
Pihak Kedua tidak dapat meminta pengembalian harga sewa menyewa baik
seluruhnya maupun sebesar jangka waktu sewa menyewa yang tersisa.

Contoh :
Pasal 21
KEPATUHAN PADA HUKUM

(1) Apabila salah satu ketentuan dalam akta ini bertentangan dengan atau tidak
dapat dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku, maka ketentuan tersebut
dianggap tidak berlaku, sedangkan ketentuan-ketentuan lain dalam akta ini
tetap berlaku sebagaimana mestinya.

(2) Apabila salah satu pihak mengetahui bahwa berdasarkan hukum atau ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, ada suatu tindakan yang wajib dilakukan
oleh salah satu pihak atau setiap pihak dalam akta ini, hal mana bila tidak
dilakukan akan mengakibatkan pelanggaran hukum, maka pihak tersebut akan
segera memberitahukan hal itu kepada pihak yang lain.

(3) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tersebut di
atas, atau jika terjadi perubahan hukum selain dari perubahan keuangan atau
moneter negara Indonesia, maka pihak yang dirugikan oleh hal-hal tersebut
akan segera mengusulkan perubahan dari ketentuan-ketentuan yang
bersangkutan dalam akta ini sehingga perubahan tersebut dapat mengatasi
kerugian yang dapat terjadi sebagai akibat hal-hal tersebut, dan tidak
menciptakan kerugian bagi pihak lain.

(4) Apabila usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tersebut di atas
tidak disetujui oleh pihak yang lain maka akta ini dapat diakhiri.

4. Jangka Waktu Berlakunya Akta.

Tentang jangka waktu berlakunya akta, kadang ada yang membuatnya


secara jelas dalam suatu akta namun ada yang tidak.

Kapan suatu akta dinyatakan mulai berlaku ? Apabila di dalam


aktanya secara jelas dicantumkan klausula jangka waktu mulai
berlakunya akta maka itulah saatnya suatu akta dinyatakan mulai
berlaku, dan jika klausula jangka waktunya tidak tegas dicantumkan
dalam akta maka bagaimana caranya menyimpulkan awal masa
berlakunya akta ? Caranya adalah dengan menyimpulkannya
berdasarkan saat tanggal kapan mereka menandatangani akta tersebut
atau saat tanggal kapan telah dipenuhinya syarat-syarat tertentu dalam
aktanya.

Contoh klausula yang menyatakan secara tegas kapan suatu akta


dinyatakan mulai berlaku:

Pasal
JANGKA WAKTU

(1) Sewa menyewa ini dilangsungkan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut,


terhitung sejak tanggal satu Juni duaribu lima (01-06-2005) sampai
dengan tanggal satu Juni duaribu delapan (01-06-2008).

Kapan suatu akta dinyatakan berakhir ? Titik akhir masa berlakunya


akta seharusnya dicantumkan secara jelas dalam akta, namun demikian
adakalanya pencantuman tentang titik akhir suatu akta tidak jelas tegas
dicantumkan, jika demikian halnya bagaimana kita menyimpulkan
saat berakhirnya akta tersebut ? Caranya adalah dengan
menyimpulkannya dari isi akta itu sendiri, mis:

- Dengan pelunasan seluruh hutang debitur, maka demi hukum


dianggap masa berlakunya akta telah berakhir; atau

- Dengan adanya pembaharuan utang dengan cara mencari debitur


baru menggantikan debitur lama, maka demi hukum dianggap masa
berlakunya akta yang lama yang terkait dengan debitur lama
menjadi berakhir; atau

- Dalam hal suatu perkawinan yang dilangsungkan dengan akta


kawin/ perjanjian kawin, maka dengan putusnya perkawinan,
dianggap secara hukum bahwa jangka waktu akta kawin/perjanjian
kawin tersebut telah berakhir

Disamping penentuan batas masa berlakunya suatu akta dilakukan


dengan cara pencantumannya secara tegas dalam suatu akta, dikenal
juga titik akhir berlakunya suatu akta diketahui berdasarkan
pengakhiran (termination).

Esensi pengertian pengakhiran (termination) suatu akta adalah ada suatu


akta yang diakhiri masa berlakunya sebelum berakhirnya masa berlaku
akta sebagaiamana yang telah jelas tegas ditentukan bersama dalam
aktanya, hal mana ini bisa terjadi karena sebab-sebab, antara lain:

- Para pihak melanggar salah satu pasal yang dapat menyebabkan


berakhirnya masa berlaku akta; atau
- Wanprestasi; atau
- Force majeure.

Contoh klausula pengakhiran:

Pasal 7
PENGAKHIRAN

(1) Dengan mengesampingkan ketentuan pasal 1, Pihak Kesatu berhak untuk


mengakhiri sewa menyewa ini, yaitu dalam hal:

a. Pihak Kedua menggunakan Bangunan Kantor menyimpang dari


tujuan sewa menyewa yang disepakati berdasarkan akta ini.
b. Pihak Kedua melanggar ketentuan sebagaimana termaktub dalam pasal
5 akta ini.

c. Musnahnya Bangunan Kantor yang disebabkan oleh keadaan di luar


kehendak para pihak (Force Majeure).

(2) Mengenai pelaksanaan pengakhiran sewa menyewa ini, para pihak sepakat
untuk mengesampingkan pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata Indonesia.

5. Cidera Janji (Wanprestasi)

Cidera janji bisa kita artikan bahwa:

a. Isi Akta tidak dilaksanakan sama sekali ; atau


b. Pelaksanaannya tidak tepat waktu; atau
c. Isi akta dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan isi akta yang telah
disepakati;
d. Tidak melakukan kewajibannya atau membiarkan suatu keadaan
berlangsung sedemikian rupa, sehingga pihak lain dirugikan.

Pernyataan wanprestasi perumusannya bermacam-macam, ada yang


dibuat sekaligus dalam aktanya dan ada yang dibuat secara terpisah
lewat akta pernyataan wanprestasi tersendiri baik yang dikirim
langsung oleh si Kreditur maupun via pengadilan (ps 1238 KUH
Perdata).

Namun biasanya, rumusan klausula wanprestasi sekaligus dimuat satu


paket dengan klausula sanksi pada aktanya, jadi jika Anda mencantumkan
klausula sanksi maka sebaiknya klausula tentang wanprestasi pun mesti
Anda buat juga, sebab bukankah penjatuhan suatu hukuman (sanksi)
didasarkan atau sehubungan dengan adanya pelanggaran alias
wanprestasi ?

Macam bentuk sanksi bermacam-macam, misalnya:

a. Pengakhiran masa berlakunya akta/pembatalan akta saja; atau


b. Pengakhiran masa berlakunya akta/Pembatalan akta disertai dengan ganti rugi;
atau
c. Pemenuhan isi akta; atau
d. Pemenuhan isi akta disertai ganti rugi;
e. Ganti rugi saja.
Contoh:

Pasal 10
SANKSI

(1) Dalam hal Pihak Pertama sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana diatur dalam akta ini, hal mana tidak perlu dibuktikan melalui
atau lewat pengadilan, melainkan cukup bilamana Pihak Kedua mengetahui
terjadinya hal tersebut, maka Pihak Kedua berhak untuk
mengakhiri/membatalkan akta ini dan sebagai akibatnya Pihak Pertama
wajib mengembalikan kepada Pihak Kedua harga pekerjaan yang telah
diterimanya ditambah dengan pembayaran ganti rugi sebesar 20 %
(duapuluh persen) dari harga pekerjaan.

Catatan: rumusan sanksi pasal 10 ayat (1) tersebut di atas merupakan


penerapan sanksi: Pengakhiran masa berlakunya akta/
Pembatalan akta disertai dengan ganti rugi, namun jika
sampai berperkara di muka pengadilan maka tuntutan
“uang paksa” (dwangsom), tidak dapat dibebankan kepada
pihak yang melakukan wanprestasi (mis: debitur) atas
tuntutan pembayaran sejumlah uang ganti rugi, demikian
Putusan Mahkamah Agung RI No. 275 K/Pdt/1994, tanggal
23 Maret 2007.

(2) Dalam hal Pihak Pertama melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sesuai
dengan yang ditentukan dalam akta ini, hal mana tidak perlu dibuktikan
melalui atau lewat pengadilan, cukup bilamana Pihak Kedua mengetahui
terjadinya hal tersebut, dan karenanya Pihak Pertama wajib
memperbaiki/melengkapi pekerjaan pada saat diperingatkan Pihak Kedua
atau pada saat diketahuinya kerusakan/ketidaklengkapan tersebut.

Catatan: rumusan sanksi pasal 10 ayat (2) tersebut di atas merupakan


penerapan sanksi: Pemenuhan isi akta.

6. Keadaan Memaksa (Force Majeure)

Keadaan memaksa atau force majeure adalah suatu keadaan di luar


kemampuan dan kekuasaan salah satu atau semua pihak, yang
berdasarkan ps 1244 KUH Perdata dan ps 1245 KUH Perdata dapat
menjadi alasan pembenar bagi salah satu atau semua pihak untuk
tidak melaksanakan isi akta atau tidak tepat waktu/terhalang dalam
melaksanakan isi akta sebagaimana mestinya, dan karenanya tidak
dibebankan untuk membayar/ mengganti biaya, kerugian dan bunga
sebagaimana dimaksud dalam ps 1239 KUH Perdata jo ps 1243 KUH
Perdata.

Peristiwa force majeure sangat banyak macamnya, misalnya: gempa


bumi, banjir, tanah longsor, dll, itulah sebabnya mengapa macam
peristiwa force majeure tersebut sering dibatasi atau diperinci dalam
suatu akta (dasar hukum pembatasannya adalah ps 1338 KUH
Perdata, azas kebebasan berkontrak), yakni dengan tujuan bahwa
hanya force majeure yang sudah terperinci dalam akta itu saja yang bisa
dijadikan debitur sebagai alasan pembenar untuk tidak memenuhi isi
akta atau tidak tepat waktu/terhalang dalam melaksanakan isi akta
sebagaimana mestinya.

Contoh:
Pasal 9
FORCE MAJEURE

(1) Yang masuk dalam kualifikasi Force Majeure hanya: gempa


bumi, banjir, tanah longsor, atau pernyataan atau
keputusan Pemerintah yang berlaku umum.

(2) Pihak yang mengalami force majeure wajib segera melaporkan


secara tertulis kepada pihak lainnya dalam waktu paling
lambat 3 x 24 jam sejak force majeure terjadi dan pihak
lainnya akan menyetujui atau menolak secara tertulis keadaan
force majeure tersebut paling lambat 3 x 24 jam sejak
diterimanya laporan.

Apa akibatnya kalau macam peristiwa force majeure tersebut tidak


tegas disebutkan satu persatu dalam akta? Akibatnya adalah ps 1244
KUH Perdata dan ps 1245 KUH Perdata akan berlaku bagi para
pihak, dan pihak debitur atau pihak yang melakukan kelalaian
prestasi itu akan secara mudah mendalihkan peristiwa force majeure
sebagai suatu strategi untuk melepaskan diri dari tanggung jawabnya
untuk memenuhi isi akta.

7. Pengalihan (assignment)

Apakah pelaksanaan isi akta dapat dialihkan oleh para pihak ?


Dapat, sejauh ketentuan pengalihan itu ditegaskan secara tertulis
dalam aktanya.
Terkait pengalihan ini, ada dua istilah yang perlu kita tegaskan betul
dalam akta, yaitu: “pemberitahuan” (notification) dan “persetujuan”
(consent), karena ada perbedaan akibat hukum antara keduanya.

Istilah “pemberitahuan” biasanya digunakan bagi kepentingan


pemberi kerja (Pihak Kesatu), sedangkan “persetujuan” digunakan
untuk kepentingan penerima kerja (Pihak Kedua)

Contoh:

Pasal 15
PENGALIHAN HAK DAN TANGGUNG JAWAB

(1) Pengalihan hak, kewajiban dan tanggung jawab Pihak Kesatu


sebagaimana termaktub dalam akta ini dapat dilakukan setiap
saat oleh Pihak Kesatu kepada pihak lain yang atas tindakan
pengalihan tersebut akan diberitahukan secara tertulis
kepada Pihak Kedua.

(2) Hak, kewajiban dan tanggung jawab Pihak Kesatu yang


tercantum dalam akta ini tidak dapat dialihkan kepada pihak
lain kecuali bila disetujui secara tertulis oleh Pihak Kesatu.

Istilah “pemberitahuan” dan “persetujuan” tersebut di atas dapat kita


bedakan sebagai berikut:

- Kata “pemberitahuan”, mengandung pengertian bahwa Pihak


Kesatu sewaktu-waktu dapat menggantikan Pihak Kedua jika
Pihak Kedua tidak becus bekerja dan untuk pengalihan tersebut
cukup diberitahukan saja kepada Pihak Kedua.

- Kata “persetujuan”, mengandung pemahaman bahwa perlu


persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Kesatu apabila
Pihak Kedua bermaksud mengalihkan hak dan kewajiban serta
tanggung jawabnya kepada ketiga. Hal mana apabila Pihak Kesatu
tidak menyetujuinya maka beban dan tanggung jawab atas
pelaksanaan serta akibat hukum apapun tetap melekat pada Pihak
Kedua.

Bagaimana jika dalam aktanya tidak secara tegas diatur terkait


“pengalihan”, apakah pengalihan masih dapat dilakukan ? Dapat,
sejauh para pihak menyetujuinya.
11. Penyelesaian Perselisihan

Anda harus menetapkan cara apa yang dipakai untuk


menyelesaikan perselisihan antara para pihak (settlement of dispute),
sebab jika tidak, akan timbul penafsiran terkait cara-cara
penyelesaianya.

Dalam menetapkan cara penyelesaian tersebut, Anda seyogianya


harus memulainya dengan cara baik-baik (amicable settelement),
pertimbangannya adalah karena cara damai inilah yang
sesungguhnya merupakan cara yang tercepat dan termurah. Dan
jika upaya damai gagal, barulah boleh menggunakan alternatif cara
lain, bisa lewat pengadilan atau arbitrase, dan semua cara
penyelesaian perselisihan tersebut haruslah ditetapkan dalam akta.

Contoh:
Pasal 17
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

(1) Setiap perselisihan, pertentangan dan perbedaan pendapat


terkait dengan pelaksanaan akta ini, sejauh memungkinkan
diselesaikan secara musyawarah dan mufakat antara para
pihak.

(2) Apabila penyelesaian secara musyawarah dan mufakat tersebut


tidak berhasil, maka setiap perselisihan, pertentangan dan
perbedaan pendapat terkait dengan pelaksanaan akta ini akan
diselesaikan secara tuntas melalui badan peradilan umum.

(3) Sambil menunggu pengumuman putusan pengadilan yang


berkekuatan hukum tetap, para pihak akan terus melaksanakan
isi akta ini, kecuali bila akta ini telah diakhiri, satu dan lain hal
tanpa mengurangi kekuatan berlakunya penyelesaian
berdasarkan putusan pengadilan.

12. Yurisdiksi

Persoalan Yurisdiksi adalah menyangkut hukum manakah yang


hendak digunakan terhadap akta itu dan forum apakah yang hendak
digunakan jika terjadi perselisihan diantara para pihak.

Jika para pihaknya sama-sama Warga Negara Indonesia atau objek


perjanjiannya terletak di Indonesia apakah penting mencantumkan
klausula Yurisdiksi dalam akta ? Tidak Penting, sebab rumusan
klausula Yurisdiksi hanya penting kita cantumkan jika salah satu
pihaknya adalah Warga Negara Asing atau objek barangnya terletak
di luar negeri.

Dengan demikian, jika ada akta yang para pihaknya ternyata orang
Indonesia dan objek barangnya pun terletak di atas, maka sangatlah
berlebihan jika Anda merumuskan klausula Yurisdiksi ini dalam
aktanya, sekalipun dengan alasan demi detilnya pembuatan akta itu,
sebab perumusan klausula akta sampai yang sedetil-detilnya mesti
juga dibarengi dengan pemilahan objektif kira-kira mana yang cocok
untuk Anda masukkan dalam aktanya.

F. AKHIR/ PENUTUP AKTA

Akhir akta berisi: redaksi penutup akta, tanda tangan, ditambah meterai dan
stempel, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Redaksi Penutup Akta

Apakah redaksi penutup akta harus ada ? Tidak, namun seperti halnya
sebuah kata sambutan atau khotbah, agak janggal rasanya jika tidak diakhiri
dengan kata-kata penutup, Anda bisa bayangkan jika suatu kata sambutan
tiba-tiba ditutup dengan kata: Sekian dan Terima Kasih, atau khotbah yang
tiba-tiba ditutup dengan kata: Amin, tanpa didahului dengan salam penutup,
misalnya Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.

Demikian jugalah suatu akta, seyogianya diakhiri dengan redaksi penutup,


misalnya seperti ini:

“ Demikianlah akta sewa menyewa ini dibuat dan ditandatangani oleh para
pihak, dibuat dalam rangkap dua serta bermeterai cukup yang masing-masing
rangkap mempunyai bunyi dan kekuatan hukum yang sama ”.

2. Tanda Tangan

Apa arti juridis penandatanganan suatu akta ? Pembubuhan tanda tangan


merupakan fakta hukum (rechtsfeit) bahwa yang bersangkutan dianggap
setuju dan sanggup menanggung tentang kebenaran yang tertulis dalam akta
serta bertanggung jawab tentang apa yang ditulis dalam akta itu. Tanda
tangan merupakan patokan dasar dari dan sekaligus penerapan dari syarat
sahnya akta sebagaimana ditentukan dalam ps 1320 KUH Perdata, yaitu
adanya kesepakatan dari para pihak (syarat subyektif).
Apabila salah satu pihak, saat itu sedang ditahan di sel tahanan kepolisian,
kemudian pihak lain datang ke sel tahanan dan menyodorkan suatu akta,
dengan permintaan agar akta tersebut ditandatangani oleh pihak yang sedang
ditahan dengan selipan kalimat, bila akta tersebut ditandatanganinya, maka
dia akan dibantu untuk penangguhan penahanannya. Tindakan seperti itu
sangat jelas merupakan tindakan penyalahgunaan keadaan (misbruik van de
omstandigheiden), karena salah satu pihak berada dalam keadaan tidak bebas
untuk menyatakan kehendaknya, dan akibat hukumnya akta itu menjadi batal
menurut hukum atau dinyatakan batal, demikian berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung RI No. 3641 K/Pdt/2001, Tanggal 11-09-2002, dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa tindakan penandatanganan suatu akta
harus bebas dari keadaan paksaan (baik fisik maupun psikis), penipuan dan
kekeliruan (ps 1321 KUH Perdata).

Anda mungkin juga menyukai