Menurut Retno, yang terpenting konsumsi BTP seperti MSG harus sesuai dengan
peraturan BPOM. Masyarakat diharapkan sangat jeli dalam memilih produk
makanan. Retno menyarankan masyarakat mengonsumsi makananan yang sudah punya
ijin edar untuk menjamin keamanan produk tersebut.
Sementara itu, sesi materi kedua dijelaskan Dr. Ir Annis Catur Adi, MSi
selaku ketua DPD PERGIZI PANGAN Jatim dan ketua Gizi Kesehatan UNAIR. Dia
memaparkan materi tentang ”Mitos dan Fakta Ilmiah MSG”. Annis Catur
menjelaskan bahwa BPOM dan WHO sudah mengklaim jika MSG aman untuk
dikonsumsi.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa MSG bersifat self limiting. Yakni,
penambahan MSG berlebihan menimbulkan rasa tidak enak.
Pada akhir, kegiatan dilanjutkan dengan demo masak bersama Chef Yunita
Princess. Yakni, demo memasak yang bertajuk ”Jajanan Enak, Aman, dan Sehat“.
Terdapat dua menu yang disajikan, yaitu Patel Krispy dan Kroket Kacang Merah.
(*)
Sebenarnya, MSG tidak hanya ada pada penyedap rasa saja. Beberapa bahan alami
yang biasa kita konsumsi sebenarnya juga mengandung MSG. Seperti tomat, keju,
susu, ayam, bebek, daging, makarel, salmon , telur, ikan, bayam, kentang,
jagung, brokoli, kecap, bahkan daun pandan.
Seperti kita tahu, MSG berguna sebagai penambah cita rasa gurih pada makanan,
sehingga menambah nafsu makan. Lalu bagaimana memperkenalkan rasa gurih yang
aman bagi anak-anak?
Menurut dokter spesialis anak FK UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Dr. Irwanto dr.,
Sp.A(K), pengenalan rasa gurih melalui Makanan Pendamping ASI (MPASI)
sebenarnya bisa disiasati dengan memanfaatkan kandungan glutamat dari bahan
alami. Seperti dari sayuran dan bahan alami lainnya. Misalnya, memanfaatkan
gurihnya kaldu ayam dan kaldu daging dalam menyajikan MPASI.
“Bayi berusia enam bulan sudah bisa diperkenalkan sedikit demi sedikit dengan
rasa gurih melalui penyajian MPASI. Cara ini efektif supaya anak mengenal
rasa tapi nggak sampai berlebihan dan bisa dibatasi,” ungkap peraih
penghargaan Global Travel Award oleh Bill nad Melinda Gates Foundation ini.
Meskipun Food and Drug Administration (FDA) dan World Health Organization
(WHO) memperbolehkan penggunaan MSG, namun kadar pemakaian tetap harus
dibatasi sesuai dengan aturan. Kecuali pada orang-orang yang diketahui
alergi, maka perlu menghindari.
Sebenarnya penggunaan garam lebih dulu populer sebelum MSG. Ceritanya, tahun
1996 WHO memperbolehkan penggunaan MSG untuk mengurangi tingkat konsumsi
garam yang diketahui cukup tinggi pada saat itu.
Bicara soal garam dan MSG, tampaknya sulit mengekang kegemaran lidah
masyarakat kita yang cenderung menggemari cita rasa masakan yang gurih.
Padahal sebenarnya garam lebih berbahaya ketimbang vetsin. Karena MSG
diketahui hanya mengandung 30 persen natrium lebih sedikit ketimbang pada
garam. Sayangnya sedikit dari kita yang menyadari hal itu.
“Jadi selama masak jangan dikasih garam dulu, nanti setelah matang baru
garamnya dimasukkan. Ini cara paling aman. Selain kita bisa mengoreksi
rasa, pemakaian garam pun juga akan terkendali,” ungkapnya.
Berangkat dari laporan tersebut, sekitar tahun 1970 sejumlah peneliti mulai
mengembangkan penelitian chinese food syndrome. Dua kelompok manusia diuji.
Sebagian mengonsumsi makanan mengandung MSG, sebagian lain tidak. Ternyata,
kelompok yang mengonsumsi makanan mengandung MSG mengalami faringitis atau
gangguan tenggorokan, sementara sebagian lain tidak mengeluhkan gejala
apapun. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata efek faringitis terjadi
karena dampak alergi pada MSG.
FDA menegaskan bahwa reaksi alergi yang dialami bukan disebabkan karena MSG.
Semua tergantung pada tingkat sensivitas tubuh.
“Karena sensivitas setiap orang berbeda. Maka ada orang yang alergi MSG, ada
yang tidak,” ungkapnya.
Para peneliti sepakat bahwa pemberian MSG pada hewan coba berdampak pada sel
saraf serta menyebabkan terjadinya perubahan pada korteks yang terkait pada
fungsi kognitif.
Irwanto menekankan, pemberian MSG pada hewan coba memang terbukti membawa
efek toksik. Karena sampel dipapar MSG dengan takaran lebih tinggi dari yang
biasa dikonsumsi manusia. Namun hasil percobaan pada hewan belum bisa
memperkuat dugaan bahwa efek MSG juga sama bahayanya jika dikonsumsi manusia.
Sejauh ini penelitian seputar MSG masih sebatas pada hewan coba, dan belum
ada peneliti yang mengaplikasikan pada manusia. Mengingat sampai sejauh ini
belum ada laporan kasus yang mendesak para peneliti untuk melakukan riset
lebih lanjut.
“Sejauh ini hanya didapatkan observasi berupa keluhan pusing dan muntah
sebagai efek dari chinese food syndrome. Dan itu terjadi karena alergi,”
ungkap wisudawan terbaik UNAIR tahun 2013 tersebut.
Dalam pelatihan kali ini, para ibu rumah tangga diajari untuk membuat makanan
cepat saji bebas micin. Pelatihan dibagi menjadi tiga sesi diawali dengan
pemaparan materi tentang penggunaan monosodium glutamat dilanjutkan dengan
pembuatan nugget dan bakso ayam.
Pelatihan terbagi menjadi dua sesi, pelatihan membuat nugget ayam yang
dipandu M. Gandul Atik Yuliani, M.Kes., drh., sedangkan pelatihan membuat
bakso ayam dipandu oleh Dr. Nove Hidajati, M.kes., drh.
“Ibu-ibu dapat langsung menggoreng nugget yang telah dilapisi tepung panir.
Namun, dapat pula dicetak sesuai selera menggunakan cetakan kue,” jelas
Gandul saat memandu pelatihan membuat nugget.
Selepas penggorengan, Ibu-ibu yang hadir mencicipi nugget yang dibuat secara
bersama-sama tersebut. Sebagian mengaku rasanya tak kalah enak dengan merk
yang dijual di pasaran, meskipun pembuatannya tidak menggunakan MSG atau
micin.
Hal tersebut senada dengan pelatihan membuat bakso ayam, Nove pun menjelaskan
secara gamblang bahan yang diperlukan beserta proses pembuatan bakso ayam.
“Untuk membuat bakso ayam bahan yang diperlukan ayam giling, garam, bawang
putih, merica bubuk, tepung sagu, dan putih telur. Dan takarannya disesuaikan
setiap porsi,” jelas dosen yang kerap disapa Nove tersebut.
Terlepas dari pembuatan produk cepat saji, juga dipaparkan analisis usaha.
Harapannya, ibu-ibu yang hadir tidak hanya memproduksi untuk konsumsi rumah
tangga, melainkan dapat dikomersilkan untuk menambah penghasilan.
“Kegiatan seperti ini ternyata menambah pengetahuan. Saya jadi tertarik
mencobanya di rumah,” kata Diah, salah satu warga yang hadir.