Anda di halaman 1dari 7

Begini Kata Ahli soal MSG Bikin Bodoh

UNAIR NEWS – Pengetahuan masyarakat terkait penggunaan Monosodium Glutamat


(MSG) masih terbatas. Banyak asumsi yang tersebar bahwa MSG memberikan dampak
buruk. Salah satunya mengganggu kesehatan otak.

Mitos yang berkembang di masyarakat adalah mengonsumsi MSG bisa membuat


bodoh, alergi, hingga Chinese Restaurant Syndrome (CRS). Melihat kondisi itu,
Program Studi (Prodi) Ilmu GIZI Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)
Universitas Airlangga, PERGIZI PANGAN Jatim, dan Linisehat mengadakan Seminar
dan Demo Masak pada Sabtu, (20/10). Seminar yang bekerja sama dengan
Ajinomoto itu berlangsung di Aula Kahuripan Lantai 3, Gedung Rektorat, Kampus
C UNAIR. Tema “Mutu dan Keamanan Pangan serta Fakta Ilmiah MSG” dipilih dalam
seminar tersebut.

Tema itu dipilih karena seminar bertujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat


dan akademisi terkait pesan keamanan penggunaan MSG dan pengolahan pangan
yang aman. Kegiatan tersebut menghadirkan dua narasumber. Yakni, Dra. Retno
Chatulistiani, P, Apt. dan Dr. Ir Annis Catur Adi, MSi.

Paparan materi pertama disampaikan Retno Chatulistiani. Khususnya materi soal


”Hoaks Pangan dan Penanganannya”. Retno menekankan bahwa berita hoaks pangan
yang beredar di masyarakat bisa ditangani dengan tidak langsung percaya dan
menyebarkan berita tersebut.

”MSG sejatinya adalah Bahan Tambahan Pangan (BTP). Di mana pengonsumsiannya


aman asal tidak berlebihan,” ungkap Retno selaku kepala Bidang Informasi dan
Komunikasi BPOM Surabaya.

Menurut Retno, yang terpenting konsumsi BTP seperti MSG harus sesuai dengan
peraturan BPOM. Masyarakat diharapkan sangat jeli dalam memilih produk
makanan. Retno menyarankan masyarakat mengonsumsi makananan yang sudah punya
ijin edar untuk menjamin keamanan produk tersebut.

Sementara itu, sesi materi kedua dijelaskan Dr. Ir Annis Catur Adi, MSi
selaku ketua DPD PERGIZI PANGAN Jatim dan ketua Gizi Kesehatan UNAIR. Dia
memaparkan materi tentang ”Mitos dan Fakta Ilmiah MSG”. Annis Catur
menjelaskan bahwa BPOM dan WHO sudah mengklaim jika MSG aman untuk
dikonsumsi.

”MSG dibuat berdasar prosedur yang sudah terstandardisasi. Jadi, masyarakat


tidak perlu khawatir. MSG juga tidak menimbulkan penambahan intake energy,”
lanjutnya.

Satu hal yang perlu diingat, bahwa MSG bersifat self limiting. Yakni,
penambahan MSG berlebihan menimbulkan rasa tidak enak.

Pada akhir, kegiatan dilanjutkan dengan demo masak bersama Chef Yunita
Princess. Yakni, demo memasak yang bertajuk ”Jajanan Enak, Aman, dan Sehat“.
Terdapat dua menu yang disajikan, yaitu Patel Krispy dan Kroket Kacang Merah.
(*)

Penulis: Tunjung Senja Widuri

Editor: Feri Fenoria


Untuk Anak, Manfaatkan MSG dari Bahan
Alami

UNAIR NEWS – Di jaman serba instan seperti sekarang, tampaknya sulit


menghindar dari olahan makanan yang mengandung Monosodium glutamat MSG, atau
yang lebih akrab disebut micin atau vetsin. Ini yang membuat sebagian para
orang tua merasa khawatir ketika memberikan asupan makanan untuk buah
hatinya. Bagaimana sebaiknya menyikapi hal ini?

Sebenarnya, MSG tidak hanya ada pada penyedap rasa saja. Beberapa bahan alami
yang biasa kita konsumsi sebenarnya juga mengandung MSG. Seperti tomat, keju,
susu, ayam, bebek, daging, makarel, salmon , telur, ikan, bayam, kentang,
jagung, brokoli, kecap, bahkan daun pandan.

Seperti kita tahu, MSG berguna sebagai penambah cita rasa gurih pada makanan,
sehingga menambah nafsu makan. Lalu bagaimana memperkenalkan rasa gurih yang
aman bagi anak-anak?

Menurut dokter spesialis anak FK UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Dr. Irwanto dr.,
Sp.A(K), pengenalan rasa gurih melalui Makanan Pendamping ASI (MPASI)
sebenarnya bisa disiasati dengan memanfaatkan kandungan glutamat dari bahan
alami. Seperti dari sayuran dan bahan alami lainnya. Misalnya, memanfaatkan
gurihnya kaldu ayam dan kaldu daging dalam menyajikan MPASI.

“Bayi berusia enam bulan sudah bisa diperkenalkan sedikit demi sedikit dengan
rasa gurih melalui penyajian MPASI. Cara ini efektif supaya anak mengenal
rasa tapi nggak sampai berlebihan dan bisa dibatasi,” ungkap peraih
penghargaan Global Travel Award oleh Bill nad Melinda Gates Foundation ini.

Meskipun Food and Drug Administration (FDA) dan World Health Organization
(WHO) memperbolehkan penggunaan MSG, namun kadar pemakaian tetap harus
dibatasi sesuai dengan aturan. Kecuali pada orang-orang yang diketahui
alergi, maka perlu menghindari.

Sebenarnya penggunaan garam lebih dulu populer sebelum MSG. Ceritanya, tahun
1996 WHO memperbolehkan penggunaan MSG untuk mengurangi tingkat konsumsi
garam yang diketahui cukup tinggi pada saat itu.

“Dulu garam banyak dikonsumsi, akibatnya banyak yang mengalami hipertensi.


Untuk menghindari itu, WHO kemudian memperbolehkan MSG digunakan sebagai
penyedap rasa. Itu saja sebenarnya,” ungkapnya.

Bicara soal garam dan MSG, tampaknya sulit mengekang kegemaran lidah
masyarakat kita yang cenderung menggemari cita rasa masakan yang gurih.
Padahal sebenarnya garam lebih berbahaya ketimbang vetsin. Karena MSG
diketahui hanya mengandung 30 persen natrium lebih sedikit ketimbang pada
garam. Sayangnya sedikit dari kita yang menyadari hal itu.

Kesalahan pada cara memasak tentu sangat mempengaruhi jumlah penggunaan


garam. Untuk itu, Irwanto menyarankan sebaiknya pemberian garam dilakukan
setelah semua proses memasak berakhir.

“Jadi selama masak jangan dikasih garam dulu, nanti setelah matang baru
garamnya dimasukkan. Ini cara paling aman. Selain kita bisa mengoreksi
rasa, pemakaian garam pun juga akan terkendali,” ungkapnya.

Kontroversi pemakaian MSG sebenarnya telah berlangsung sekitar tahun 1960an.


Saat itu, New England Journal of Medicine mengungkap sebuah laporan terkait
komplain dari sekelompok orang yang mengeluh pusing dan muntah setelah makan
di sebuah restoran chinese food.

Berangkat dari laporan tersebut, sekitar tahun 1970 sejumlah peneliti mulai
mengembangkan penelitian chinese food syndrome. Dua kelompok manusia diuji.
Sebagian mengonsumsi makanan mengandung MSG, sebagian lain tidak. Ternyata,
kelompok yang mengonsumsi makanan mengandung MSG mengalami faringitis atau
gangguan tenggorokan, sementara sebagian lain tidak mengeluhkan gejala
apapun. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata efek faringitis terjadi
karena dampak alergi pada MSG.

FDA menegaskan bahwa reaksi alergi yang dialami bukan disebabkan karena MSG.
Semua tergantung pada tingkat sensivitas tubuh.

“Karena sensivitas setiap orang berbeda. Maka ada orang yang alergi MSG, ada
yang tidak,” ungkapnya.

Para peneliti sepakat bahwa pemberian MSG pada hewan coba berdampak pada sel
saraf serta menyebabkan terjadinya perubahan pada korteks yang terkait pada
fungsi kognitif.
Irwanto menekankan, pemberian MSG pada hewan coba memang terbukti membawa
efek toksik. Karena sampel dipapar MSG dengan takaran lebih tinggi dari yang
biasa dikonsumsi manusia. Namun hasil percobaan pada hewan belum bisa
memperkuat dugaan bahwa efek MSG juga sama bahayanya jika dikonsumsi manusia.

Sejauh ini penelitian seputar MSG masih sebatas pada hewan coba, dan belum
ada peneliti yang mengaplikasikan pada manusia. Mengingat sampai sejauh ini
belum ada laporan kasus yang mendesak para peneliti untuk melakukan riset
lebih lanjut.

“Sejauh ini hanya didapatkan observasi berupa keluhan pusing dan muntah
sebagai efek dari chinese food syndrome. Dan itu terjadi karena alergi,”
ungkap wisudawan terbaik UNAIR tahun 2013 tersebut.

Bahkan berdasarkan riset baru-baru ini oleh Staging di University of Iowa


menyimpulkan bahwa MSG tidak berdampak pada anak yang mengalami hiperaktif
atau gangguan perilaku yang lain. (*)

Penulis : Sefya Hayu Istighfaricha

Editor: Binti Q. Masruroh


Dosen FKH Ajari Warga Tuban Bikin
Nugget Tanpa Micin

UNAIR NEWS – Para dosen Departemen Kedokteran Dasar Veteriner Fakultas


Kedokteran Hewan Universitas Airlangga menggelar pengabdian masyarakat, Sabtu
(22/7). Pengabdian masyarakat digelar di Desa Selogabus, Kecamatan Parengan,
Tuban.

Dalam kegiatan bertajuk “Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga Melalui Pelatihan


Produksi Pangan Cepat Saji”, para dosen memberikan berbagai macam pelatihan
pengolahan makanan. Pelatihan terbagi menjadi dua sesi yakni pelatihan
membuat nugget ayam dan bakso ayam.

Dalam pelatihan kali ini, para ibu rumah tangga diajari untuk membuat makanan
cepat saji bebas micin. Pelatihan dibagi menjadi tiga sesi diawali dengan
pemaparan materi tentang penggunaan monosodium glutamat dilanjutkan dengan
pembuatan nugget dan bakso ayam.

Pelatihan terbagi menjadi dua sesi, pelatihan membuat nugget ayam yang
dipandu M. Gandul Atik Yuliani, M.Kes., drh., sedangkan pelatihan membuat
bakso ayam dipandu oleh Dr. Nove Hidajati, M.kes., drh.

Sebelum praktik langsung pembuatan, Gandul menjelaskan sekilas bahan-bahan


yang diperlukan untuk membuat nugget ayam seperti daging ayam giling, tepung
roti halus, telur, susu, bawang putih, merica, garam, gula, dan tepung panir.
Kemudian dilanjutkan dengan demo memasak nugget.

Masyarakat Desa Selogabus antusias mengikuti tahapan pembuatan bakso dan


nugget. Bahkan tak segan-segan untuk mencetak nugget sesuai dengan seleranya.

“Ibu-ibu dapat langsung menggoreng nugget yang telah dilapisi tepung panir.
Namun, dapat pula dicetak sesuai selera menggunakan cetakan kue,” jelas
Gandul saat memandu pelatihan membuat nugget.

Selepas penggorengan, Ibu-ibu yang hadir mencicipi nugget yang dibuat secara
bersama-sama tersebut. Sebagian mengaku rasanya tak kalah enak dengan merk
yang dijual di pasaran, meskipun pembuatannya tidak menggunakan MSG atau
micin.

Hal tersebut senada dengan pelatihan membuat bakso ayam, Nove pun menjelaskan
secara gamblang bahan yang diperlukan beserta proses pembuatan bakso ayam.

“Untuk membuat bakso ayam bahan yang diperlukan ayam giling, garam, bawang
putih, merica bubuk, tepung sagu, dan putih telur. Dan takarannya disesuaikan
setiap porsi,” jelas dosen yang kerap disapa Nove tersebut.

Terlepas dari pembuatan produk cepat saji, juga dipaparkan analisis usaha.
Harapannya, ibu-ibu yang hadir tidak hanya memproduksi untuk konsumsi rumah
tangga, melainkan dapat dikomersilkan untuk menambah penghasilan.
“Kegiatan seperti ini ternyata menambah pengetahuan. Saya jadi tertarik
mencobanya di rumah,” kata Diah, salah satu warga yang hadir.

Penulis: Siti Nur Umami

Editor: Defrina Sukma S

Anda mungkin juga menyukai