Anda di halaman 1dari 5

NAMA: M.

Januarsyah Alvin Nujaimi


NIM : 2348201031
Kelas : 1A farmasi
Matkul: Keterampilan belajar dan litersasi

SISI POSITIF MICIN


BAGI KESEHATAN
Tubuh

MSG atau micin telah lama menjadi bumbu


wajib dalam masakan Asia Timur, bahkan
telah menjadi budaya. Di Indonesia, micin
hampir bisa ditemukan di setiap makanan
yang kita beli. Namun, kita berkali-kali
diperingatkan bahwa makanan yang sehat
adalah makanan yang tidak mengandung
MSG. Menyebabkan rasa pusing, jantung
berdebar, mati rasa, hingga nausea. Tak
hanya itu, mengkonsumsi MSG bahkan
disebut-sebut bisa memicu kanker otak.

Sejak saat itu, penggunaan MSG atau


tidak menggunakan MSG telah menjadi
acuan bagi orang-orang untuk memilih
makanan yang mereka konsumsi. Namun,
ternyata ada banyak sekali informasi
simpang siur yang menyelimuti MSG. Dan
meski banyak penelitian sudah dilakukan,
nyatanya hingga kini belum ada penelitian
yang mengkonfirmasi dampak buruk MSG
terhadap kesehatan manusia.
Ditemukannya MSG
MSG atau Monosodium Glutamat pertama
kali ditemukan pada tahun 1908 oleh Dr.
Kikunae Ikeda, seorang ahli kimia dari
Tokyo Imperial University. Ikeda
merupakan penemu rasa gurih atau dalam
bahasa Jepang disebut "umami". Rasa
kelima ini melengkapi empat rasa dasar
yang telah ada sebelumnya yaitu asin,
manis, asam, dan pahit. Ketika sedang
melakukan studi di Jerman, Ikeda mencoba
tomat, asparagus, daging, dan keju. Pada
makanan-makanan ini, ia mendeteksi
karakteristik rasa di luar empat rasa dasar
yang ada
Namun perjalanannya menemukan umami
baru dimulai tahun 1907 ketika istrinya
membuat kelp dashi--kaldu yang terbuat
dari rumput laut yang telah dikeringkan.
Ikeda menyadari rasa yang ia temukan di
tomat, asparagus, dan keju ketika di
Jerman, juga ada dalam kuah kaldu
tersebut. Maka ia pun berusaha untuk
membuat "umami"-nya sendiri. Ikeda
kemudian mengidentifikasi asam glutamat
sebagai elemen penting dari rasa kuah
kaldu tersebut. Ikeda kemudian mencoba
menetralisir asam glutamat dengan
menggunakan sodium dan voila,
terciptalah produk penyedap yang hingga
kini banyak digunakan dalam industri
makanan. Ikeda mungkin adalah penemu
bumbu "umami", tapi dalam rangka
komersialisasi MSG ia didukung oleh
Saburosuke Suzuki II, pendiri
Ajinomoto Co., Inc. Menurut Ajinomoto
sendiri, proses pembuatan MSG dilakukan
dengan melakukan fermentasi terhadap
sari tetes tebu atau tepung tapioka.
Sehingga, MSG tidak memiliki efek
samping dan aman untuk dikonsumsi.
Hoaks Bernada Rasis dan Mitos MSG
Lalu, apabila proses pembuatannya
menggunakan bahan alami, dari mana
munculnya informasi yang mengatakan
bahwa MSG berdampak buruk bagi
kesehatan? Faktanya cukup mengejutkan.
Stigma buruk terhadap MSG bermula dari
sebuah hoaks. Pada tahun 1968, seorang
dokter anak bernama Dr. Robert Ho Man
Kwok mengirim surat kepada The New
England Journal of Medicine. Dalam
tulisannya itu, ia menceritakan gejala-
gejala yang ia alami setelah makan di
restoran Cina di Amerika, termasuk mati
rasa di bagian belakang leher. Sebenarnya,
Kwok tidak menyimpulkan secara pasti
kalau penyebabnya adalah MSG, ia
menyebutkan MSG sebagai salah satu dari
beberapa dugaan yang ia miliki. Tulisan
Kwok memicu kepanikan massal yang
diperparah oleh media dan serangkaian
penelitian oleh ilmuwan yang bersikeras
membuktikan bahaya MSG. Bahkan, pada
waktu itu muncul istilah yang bernada
rasis, yaitu "Chinese Restaurant
Syndrome", yang menyudutkan restoran-
restoran Cina di Amerika dan menuntut
mereka untuk membuka ke publik
mengenai penggunaan MSG dalam
masakan mereka.
Namun, ternyata surat tersebut adalah
hoaks yang ditulis oleh seseorang bernama
Dr. Howard Steel. Ia mengaku menulis
surat itu sebagai bentuk prank yang
dijadikan bahan taruhan bersama
temannya. Semua yang ditulis dalam surat
itu palsu, termasuk nama dan institutinya.
Jadi, pada dasarnya, mitos mengenai
dampak buruk MSG dimulai dari hoaks
yang ditulis oleh seorang dokter kulit
putih.
Fakta bahwa mitos ini berawal dari hoaks
baru diketahui belakangan, tepatnya pada
tahun 2018 ketika professor Jennifer
LeMesurier menerima telepon dari Howard
Steel yang mengaku kepadanya sebagai
dalang dibalik pembuatan surat tersebut.
Stigma buruk terhadap MSG sudah
terlanjur melekat kuat, dan ilmuwan-
ilmuwan sudah bersusah payah mencari
tahu efek samping MSG. Apakah ada
sedikit kebenaran dalam hoaks yang ditulis
Steel?
Fakta Ilmiah
Hingga saat ini, belum ada penelitian yang
benar-benar bisa membuktikan bahwa
MSG berdampak signifikan terhadap
kesehatan manusia. Salah satu penelitian
untuk menelusuri ini dilakukan terhadap
tikus. Hasilnya, monosodium glutamat
menyebabkan tumbuhnya jaringan mati di
otak sehingga ketika tikus itu dewasa akan
mengalami kegemukan dan mandul di
beberapa kasus. Namun, MSG tidak
terbukti memiliki dampak yang signifikan
pada manusia.
Pada tahun 1990an, Federation of
American Societies for Experimental
Biology melakukan eksperimen untuk
menelusuri seberapa amannya MSG untuk
dikonsumsi. Konklusi dari eksperimen
mereka adalah MSG aman untuk
dikonsumsi. Efek samping seperti pusing,
mati rasa, jantung berdebar, dan rasa
kantuk hanya muncul ketika individu yang
terbiasa makan sehat mengkonsumsi 3
gram atau lebih MSG tanpa makanan
(hanya dilarutkan dalam air). Sedangkan,
normalnya MSG yang terkandung dalam
makanan tidak lebih dari 0.5 gram. Dengan
demikian, dampak buruk MSG hanya
muncul ketika dikonsumsi dalam dosis
tinggi, yang sebenarnya sangat kecil
kemungkinannya untuk terkandung dalam
makanan sehari-hari.
Jadi, apakah MSG buruk untuk kesehatan?
Kata kuncinya terletak pada "konsumsi
berlebih". Dalam porsi sehari-hari, kecil
kemungkinannya MSG akan memicu reaksi
terhadap tubuh kita. Jadi, apabila kita
mengkonsumsinya secara wajar, tidak
perlu khawatir.

Anda mungkin juga menyukai