Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hidrokuinon

Gambar 1. Hidrokuinon ( Departemen Kesehatan RI, 1995)

Hidrokuinon atau p-dihidroksibenzen memiliki nama IUPAC yaitu 1,4-


benzenediol, yang memiliki rumus molekul C6H6O2 dengan berat molekul 110,1 g/mol (
Departemen Kesehatan RI, 1995).
Pemerian berbentuk jarum halus, putih, mudah menjadi gelap jika terpapar
cahaya dan udara. Hidrokuinon mudah larut dalam air, dalam metanol, dan dalam eter
(Departemen Kesehatan RI , 1995).
Hidrokuinon merupakan salah satu senyawa golongan fenol. Fenol merupakan
senyawa yang mudah dioksidasi. Fenol yang dibiarkan di udara terbuka cepat berubah
warna karena pembentukan hasil-hasil oksidasi. Hidrokuinon (1,4- dihidroksibenzena),
reaksinya mudah dikendalikan dan menghasilkan 1,4-benzokuinon sering dinamakan
kuinon ( Hart, 1983).

Gambar 2. Kuinon (Hart, 1983)

Oksidasi hidrokuinon menjadi kuinon bersifat bolak-balik dan pertukaran ini


memainkan peranan penting dalam reaksi-reaksi oksidasi-reduksi biologi ( Hart,1983)

Hidrokuinon termasuk golongan obat keras yang hanya dapat digunakan


berdasarkan resep dokter (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009). Hidrokuinon
berkhasiat sebagai agen pencerah kulit yang telah dilakukan penelitian terhadap dua studi
yaitu terhadap hewan dan manusia. Secara klinis hidrokuinon telah diaplikasikan
kedalam sediaan topikal untuk pengobatan hipermelanosis (Wester et al., 1999).
Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal epidermis.
Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna
kulit (Wasitaatmadja, 1997).
Hidrokuinon telah disarankan sebagai obat yang aktif dalam kosmetik pemutih.
Bahan ini tidak hanya menghambat pembentukan melanin yang baru, namun juga
menghancurkan melanin yang sudah berkembang dan oleh karena itu hidrokuinon efektif
sebagai agen pemutih. Di sisi lain penggunaan hidrokuinon sering menimbulkan alergi
sehingga harus ditangani dengan perawatan khusus ( Stephan, 1970).
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, hidrokuinon dapat
menyebabkan toksisitas akut dan kronik. Hidrokuinon juga dilaporkan dapat
menyebabkan kelainan pada ginjal (nephropathy), proliferasi sel, dan berpotensi sebagai
karsinogenik dan teratogenik (Wester et al., 1999 ).

B. Floroglusin

Gambar 3. Floroglusin ( Robinson, 1995)

Turunan floroglusin alam yang paling sederhana ialah sekelompok triketon siklik
( tautomer floroglusin) yang tersebar luas dalam paku-pakuan keluarga Pteridaceae tetapi
ditemukan juga dalam minyak atsiri beberapa angiospermae (Robinson, 1995)
Turunan floroglusin ini sebagian besar berupa kristal tanwarna, meskipun
beberapa senyawa ( misalnya seroptena) berupa pigmen kuning. Senyawa yang
mempunyai gugus hidroksil fenol bebas menunjukan reaksi khas fenol misalnya
memberikan warna dengan besi (III) klorida. Pemanasan dengan natrium hidroksida dan
serbuk seng menghilangkan gugus asil-2 secara reduksi, dan senyawa turunan yang
terjadi memberikan warna merah dengan vanillin-asam klorida pekat ( Robinson, 1995 )
Floroglusin dengan adanya asam klorida memberikan warna merah terhadap
aldehid, jaringan lignin, produk viridin dan hidrokuinon teroksidasi serta dengan
komponen yang mengandung gugus allil. Reaksi tersebut telah diinvestigasi. Reaksi
terjadi pada aldehid dan hidrokuinon teroksidasi namun pada komponen allil murni tidak
terjadi reaksi (Ismay, 1950).
Sebelum direaksikan dengan floroglusin dan asam klorida, hidrokuinon dan
kuinon direaksikan dulu dengan gelembung oksigen kemudian dilarutkan dengan larutan
bersoda. Hidrokuinon setelah teroksidasi lalu direaksikan dengan floroglusin dan asam
klorida dan akan memberikan warna merah. Warna ini kemungkinan terjadi dari
komponen 3(C6H4O2) kuinon dan (2(C6H3(OH)3) floroglusin, yang terbentuk dari kuinon
dan floroglusin (Ismay, 1950)

C. Kosmetika
Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti “berhias”. Bahan yang
dipakai dalam usaha untuk mempercantik diri ini, dahulu diramu dari bahan-bahan alami
yang terdapat disekitarnya. Sekarang kosmetik dibuat manusia tidak hanya dari bahan
alami tetapi juga bahan buatan untuk maksud meningkatkan kecantikan (Wasitaatmadja,
1997)
Definisi kosmetika dalam peraturan menteri kesehatan RI No.
445/MENKES/PERMENKES/1998 Tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat
Pengawet dan Tabir Surya pada Kosmetik adalah sebagai berikut : Kosmetika adalah
sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (
epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut
untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya
tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan, tetapi tidak dimaksudkan untuk
mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit ( Rostamailis et al., 2008).
Definisi tersebut jelas menunjukkan bahwa kosmetika bukan satu obat yang
dipakai untuk diagnosis, pengobatan maupun pencegahan penyakait. Obat bekerja lebih
kuat dan dalam, sehingga dapat mempengaruhi struktur faal tubuh (Wasitaatmadja,
1997).
Ilmu yang mempelajari tantang kosmetika disebut dengan “kosmetology”, yaitu
ilmu yang berhubungan dengan pembuatan, penyimpanan, aplikasi penggunaan, efek dan
efek samping kosmetika. Dalam kosmetologi berperan berbagai disiplin ilmu terkait
yaitu: teknik kimia, farmakologi, farmasi, biokimia, mikrobiologi, ahli kecantikan, dan
dermatologi. Dalam disiplin ilmu dermatologi yang menangani khusus peranan
kosmetika disebut “dermatologi kosmetik” (cosmetic dermatology) (Wasitaatmadja,
1997).
Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI yang dikutip dari berbagai
karangan ilmiah tentang kosmetika, membagi kosmetika dalam:
1. Preparat untuk bayi
2. Preparat untuk mandi
3. Preparat untuk mata
4. Preparat wangi-wangian
5. Preparat untuk rambut
6. Preparat untuk rias (make up)
7. Preparat untuk pewarna rambut
8. Preparat untuk kebersihan mulut
9. Preparat untuk kebersihan badan
10. Preparat untuk kuku
11. Preparat untuk cukur
12. Preparat untuk perawatan kulit
13. Preparat untuk proteksi sinar matahari
( Wasitaatmadja, 1997).

Kosmetika dikenakan pada kulit manusia untuk membersihkan, memelihara,


menambah daya tarik serta mengubah rupa. Karena terjadi kontak antara kosmetika
dengan kulit, maka ada kemungkinan kosmetika diserap oleh kulit dan masuk ke bagian
yang lebih dalam dari tubuh. Jumlah kosmetika yang terserap kulit bergantung pada
beberapa faktor, yaitu keadaan kulit pemakai, keadaan kosmetika yang dipakai, dan
kondisi kulit pemakai. Kontak kosmetika dengan kulit menimbulkan akibat positif berupa
manfaat kosmetika, dan akibat negatif atau merugikan berupa efek samping kosmetika
(Wasitaatmadja, 1997).
Penghentian pemakaian kosmetik baik secara keseluruhan atau hanya terhadap
kosmetika yang diduga sebagai penyebab harus dilakukan sebelum pengobatan.
Pengobatan efek samping ditujukan terhadap jenis efek samping yang terjadi :
1. Dermatitis kontak alergik/iritan, maka pengobatan diberikan sesuai dengan prinsip
dalam dermatologi, yaitu kompres bila basah, krim atau salep bila kering. Terapi
sistemik dengan kortikosteroid, antigatal dan antihistamin.
2. Akne kosmetika, pengobatan sesuai dengan pengobatan pada akne tidak beradang
pada umumnya yaitu asam salisilat, sulfur, resorsin, asam vitamin A topical,
sedangkan secara sistemik dapat diberikan antibiotik (tetrasiklin HCl) (
Wasitaatmadja, 1997).
3. Fotosensitivitas, dapat diberikan tabir surya yang mengandung PABA (para amino
benzoic acid) atau non-PABA, misalnya titanium oksida. Kortikosteroid topical
diberikan pula sebelumnya sedangkan kortikosteroid sistemik dapat
dipertimbangkan diberikan pada keadaan berat.
4. Pigmented cosmetic dermatitis, dapat diberikan aplikasi topikal hidrokuinon dan
vitamin C dosis tinggi.
5. Bentuk-bentuk efek samping lain pengobatannya sesuai dengan kelainan yang
terjadi. Kelainan yang terjadi pada rambut, kuku, mata dan lainnya menjadi pangkal
pemikiran pengobatan yang akan diberikan ( Wasitaatmadja, 1997).

D. Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih
bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara
tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi
relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang
ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam
air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air,
yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan
estetika. Krim juga dapat digunakan untuk pemberiaan obat secara vaginal (Departemen
Kesehatan RI, 1995).
Istilah krim secara luas digunakan dalam farmasi dan industri kosmetik, dan
banyak produk dalam perdagangan disebut sebagai krim tetapi tidak sesuai dengan bunyi
definisi diatas. Banyak hasil produk yang nampaknya seperti krim tetapi tidak
mempunyai dasar dengan jenis emulsi, biasanya disebut krim ( Ansel, 1989)

E. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada
tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan
elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan
atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan
yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca,
pelat aluminium, atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat
dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gandjar dan Rohman, 2007).

Cara pemisahan dengan adsorpsi pada lapisan tipis adsorben yang dikenal dengan
kromatografi lapis tipis (thin layer chromatography atau TLC) telah meluas
penggunannya dan diakui merupakan cara pemisahan yang baik, khususnya untuk
kegunaan analisis kualitatif. Kini TLC dapat digunakan untuk memisahkan berbagai
senyawa seperti ion-ion organik, kompleks senyawa-senyawa organik dengan anorganik,
dan senyawa-senyawa organik baik yang terdapat di alam dan senyawa-senyawa organik
sintetik (Adnan, 1997).

Kelebihan pengguanaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan


kromatografi kertas ialah karena dihasilkannya pemisahan yang lebih sempurna,
kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat. Banyak
pemisahan yang memakan waktu berjam-jam bila dikerjakan dengan kromatografi kertas,
tetapi dapat dilaksanakan hanya beberapa menit saja bila dikerjakan dengan TLC (thin
layer chromatography) (Adnan, 1997).
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil
dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase
diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT
dalam hal efisiensi dan resolusinya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Tabel 1. Beberapa penjerap fase diam yang digunakan pada KLT

Penjerap Mekanisme sorpsi Penggunaan


Silika gel Adsorpsi Asam amino,
hidrokarbon, vitamin,
alkaloid.
Silika yang dimodifikasi Partisi termodifikasi Senyawa–senyawa non
dengan hidrokarbon. polar.

Serbuk selulosa Partisi Asam amino, nukleotida,


karbohidrat.
Alumina Adsorpsi Hidrokarbon, ion logam,
pewarna makanan,
alkaloid.
Kieselguhr Partisi Gula, asam–asam lemak.
(tanah diatomae)
Selulosa penukar ion Pertukaran ion Asam nukleat,
nukleotida, halida, dan
ion-ion logam.
Gel sephadex Eksklusi Polimer, protein,
kompleks logam.

β-siklodekstrin Interaksi adsorpsi Campuran enansiomer.


stereospesifik.

(Sumber : Gandjar dan Rohman, 2007)


Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan
mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling
sederhana adalah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua
pelarut ini mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara
optimal (Gandjar dan Rohman, 2007).

Berikut adalah petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :

1. Fase gerak harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakn
teknik yang sensitif.
2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara
0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas
fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solute yang berarti juga menentukan
nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam
pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.
4. Solut-solut ionic dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai
fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu.
Penambahan sedikit asam etanoat atau ammonia masing-masing akan meningkatkan
solut-solut yang bersifat basa dan asam (Gandjar dan Rohman, 2007).

F. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis)


Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi yang
memakai sumber radiasi eleltromagnetik ultraviolet dekat (190-380) dan sinar tampak
(380-780) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995:26).
Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul
yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis
kuantitatif ketimbang kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995: 26)
Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer
menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer
adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi.
Spektrofotometer tersususun atas sumber spektrum yang kontinyu, monokromator, sel
pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat untuk mengukur pebedaan
absorpsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 1990: 216)
Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang
berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan
pelarut yang dipakai antara lain:
1. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada
struktur molekulnya dan tidak berwarna.
2. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.
3. Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.
(Mulja dan Suharman, 1995: 28)

Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:

1. Sumber tenaga radiasi yang stabil, sumber yang biasa digunakan adalah lampu
wolfram.
2. Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis.
3. Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah tampak menggunakan kuvet kaca atau kuvet
kaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV mengguanakan sel kuarsa karena gelas
tidak tembus cahaya pada daerah ini.
4. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat. Peranan
detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang
gelombang (Khopkar, 1990: 216)

Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visibel
tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Serapan ultraviolet dan visible dari
senyawa-senyawa organik berkaitan erat transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan
tenaga elektronik. Disebabkan karena hal ini, maka serapan radiasi ultraviolet atau
terlihat sering dilkenal sebagai spektroskopi elektronik. Transisi-transisi tersebut
biasanya antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital non ikatan tak jenuh
atau orbital anti ikatan. Panjang gelombang serapan merupakan ukuran dari pemisahan
tingkatan-tingkatan tenaga dari orbital yang bersangkutan. Spektrum ultraviolet adalah
gambar antara panjang gelombang atau frekuensi serapan lawan intensitas serapan
(transmitasi atau absorbansi). Sering juga data ditunjukkan sebagai gambar grafik atau
tabel yang menyatakan panjang gelombang lawan serapan molar atau log dari serapan
molar, Emax atau log Emax (Sastrohamidjojo, 2001: 11)

Dalam mempelajari serapan secara kuantitatif, berkas radiasi dikenakan pada


cuplikan dan intensitas radiasi yang ditransmisikan bila spesies penyerap tidak ada
dengan intensitas yang ditransmisikan bila spesies penyerap ada (Sastrohamidjojo, 2001:
12).

Sumber tenaga radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi menuju ke tingkat yang
lebih tinggi oleh sumber listrik bertegangan tinggi atau oleh pemanasan listrik.
Monokromator adalah suatu piranti optis untuk memencilkan radiasi dari sumber
berkesinambungan. Digunakan untuk memperoleh sumber sinar monokromatis. Alat
dapat berupa prisma atau grating (Khopkar, 1990). Pengukuran pada daerah UV harus
menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Sel yang
biasa digunakan berbentuk persegi maupun berbentuk silinder dengan ketebalan 10 mm.
sel tersebut adalah sel pengabsorpsi, merupakan sel untuk meletakkan cairan ke dalam
berkas cahaya spektrofotometer. Sel haruslah meneruskan energi cahaya dalam daerah
spektral yang diminati. Sebelum sel dipakai dibersihkan dengan air atau dapat dicuci
dengan larutan detergen atau asam nitrat panas apabila dikehendaki (Sastrohamidjojo,
2001: 39-41)

Anda mungkin juga menyukai