Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH SEMINAR NASIONAL

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MISSOURI


MATHEMATICS PROJECT (MMP) DENGAN PENDEKATAN PROBLEM SOLVING
DALAM MENINGKATKAN KEMANDIRIAN BELAJAR DAN KEMAMPUAN
KOMUNIKASI MATEMATIKA PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1
MARIORIAWA KABUPATEN SOPPENG

BAHARUDDIN
181050701017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2019
A. PENDAHULUAN

Salah satu keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan teknologi


modern adalah keterampilan dalam bermatematika. Hal ini menjadi penting karena matematika
adalah ilmu universal yang menjadi dasar bagi perkembangan teknologi. Tidak hanya dalam
bidang teknologi, tetapi juga matematika sejak lama mempunyai konstribusi tersendiri bagi
ilmu-ilmu lainnya, misalkan dalam bidang kedokteran, astronomi, geografi, teknik, ekonomi,
dan lain sebagainya (Suherman, 2003). Berdasarkan pemaparan tersebut, menunjukkan bahwa
matematika merupakan bidang ilmu pengetahuan yang penting dan tidak terlepas dari
kehidupan dewasa ini.
Pentingnya matematika diungkapkan NCTM (2000:4) dalam Principle and Standard Of
Mathematics School dikatakan bahwa “the need to understand and be able to use mathematics
in everyday life and in the workplace has never been greater and will continue to increase”.
Pernyataan ini mengandung makna bahwa matematika penting untuk dipahami dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam dunia kerja yang semakin kompetitif.
Sejalan apa yang diungkapkan oleh Noyes (2007: 37) bahwa ”mathematics is all around us,
wheather people like it or not mathematics is everywhere, most of the time we are not
consciously performing mathematical operation...”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa
matematika adalah sekitar kita, suka atau tidak suka matematika ada di mana-mana dan
seringkali manusia tidak sadar telah melakukan perhitungan matematika.
Penguasaan matematika tidak terlepas dari pembelajaran yang terlaksana di sekolah.
Mata pelajaran matematika di sekolah mempunyai peranan tersendiri, yaitu membantu siswa
untuk membantu mengembangkan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan
kreatif serta kemampuan untuk bekerja dalam kelompok (Permendiknas No. 22 Tahun 2006).
Pada dasarnya matematika bukanlah sekedar ilmu pengetahuan yang hanya menyajikan sederet
angka, teorema untuk dibuktikan tetapi jauh lebih penting adalah ada komptensi-kompetensi
yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui bermatematika.
Salah satu aspek yang menjadi poin utama dalam pembelajaran matematika adalah
kemampuan komunikasi matematis (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun
2006). Pentingnya komunikasi juga dinyatakan dalam UNESCO yaitu learning to live together.
Maksudnya adalah melalui pendidikan akan tercipta interaksi dan komunikasi antar elemen-
elemen di dalamnya. Jika pada pembelajaran matematika didasarkan pada hal tersebut, maka
dengan matematika siswa diharapkan mampu berinteraksi dan berkomunikasi dalam konteks
matematika dengan siswa lainnya.
Relevan dengan yang dinyatakan oleh NCTM (2000:60) bahwa melalui matematika
siswa diharapkan mampu berpikir dan berdiskusi dalam konteks matematika, dan selanjutnya
mengkomunikasikan hasil pemikiran mereka kepada siswa lain baik itu secara lisan, tulisan,
maupun dalan bentuk visual serta mampu memberikan alasan yang logis atas ide matematika
yang mereka komunikasikan. Los Angeles County Office of Education (Mahmudi, 2009: 3)
menambahkan komunikasi dalam matematika dapat berupa keterampilan siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika. Hal tersebut menggambarkan kemampuan siswa untuk
menerapkan dan menghubungkan berbagai konsep untuk menyelesaikan masalah matematika.
Selain pada kemampuan komunikasi matematis, kemandirian siswa dalam belajar juga
merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan untuk mencapai hasil belajar yang
baik. Kemandirian belajar atau self-regulated learning diperlukan agar siswa mempunyai
tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya, selain itu dalam mengembangkan
kemampuan belajar atas kemauan sendiri (Fitriana, 2010). Kemandirian belajar menjadi salah
satu tujuan penting dalam proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 87 Tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karakter menyatakan
bahwa dalam rangka mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui penguatan nilai-nilai
religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cintai damai,
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab, perlu penguatan
pendidikan karakter.
Nilai kemandirian didefinisikan Kemendiknas (2010) sebagai “sikap dan perilaku
yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas- tugas”. Kemandirian
adalah perilaku siswa dalam mewujudkan kehendak atau keinginannya secara nyata dengan
tidak bergantung pada orang lain (Rachmayani, 2014). Kemandirian belajar adalah belajar
mandiri, tidak menggantungkan diri kepada orang lain, memiliki keaktifan dan inisiatif sendiri
dalam belajar. Setiap individu dikatakan mandiri bukan berarti tatkala seseorang mampu
melakukan aktivitasnya sendiri atau menyelesaikan permasalahan sendiri. Akan tetapi
mampu bekerjasama dengan orang lain juga termasuk dalam kategori mandiri.
Kemandirian dalam belajar mengacu pada pembelajaran yang terjadi terutama dari
pengaruh pemikiran, perasaan, strategi, dan perilaku yang dihasilkan oleh siswa, yang
berorientasi pada pencapaian tujuan. Menurut Schunk (Fahinu, 2013) menyatakan bahwa
seseorang yang mempunyai kemandirian belajar memiliki kemampuan untuk
mengatur motivasi dirinya, tidak saja motivasi eksternal tetapi juga motivasi internal serta
mampu menekuni tugas jangka panjang sampai tugas itu diselesaikan.
Di era global ini kemandirian menjadi hal yang perlu diamati dan diperhatikan.
Ketidakmandirian dalam belajar akan berakibat pada rendahnya motivasi belajar siswa,
ketidakmampuan dalam mengambil keputusan dan rendahnya nilai hasil belajar (Elfira,
2013). Hal ini tentu akan menghambat tujuan pembelajaran, sehingga ketercapaian hasil
belajar tidak terpenuhi.
Menyikapi permasalahan tersebut, maka perlu diupayakan solusi yang tepat untuk
mengatasinya. Salah satu langkah yang dapat dimaksimalkan oleh guru adalah pemilihan
model, strategi, dan pendekatan yang tepat untuk meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis, dan kemandirian belajar siswa.
Ada beberapa pembelajaran yang berpotensi untuk bisa meningkatkan kemampuan
komunikasi matematis, dan kemandirian belajar siswa. Salah satunya adalah pembelajaran
dengan Missouri Mathematics Project. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Jannah, Triyanto,
dan Ekana (2013: 62) menjelaskan bahwa model pembelajaran missouri mathematics project
memberikan kesempatan siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam
kerja kelompok dan kemudian mengasah pengetahuannya dengan menyelesaikan masalah
secara mandiri siswa. Pendapat yang sama juga diungkapkan Handayani, Januar, dan Purwanto
(2018: 2) bahwa pembelajaran MMP siswa dituntut akitf bekerja secara mandiri dan
berkelompok untuk meningkatkan hasil belajar siswa
Pada penelitian pembelajaran MMP dikombinasikan dengan pendekatan problem
solving. Pendekatan problem solving adalah pendekatan pembelajaran yang berfungsi untuk
membantu siswa belajar menyelesaikan masalah melalui pengalaman pembelajaran hands-on
(Jacobsen, Eggen, dan Kauchack, 2009: 249). Artinya pembelajaran yang di dalamnya terdapat
interaksi atau keterlibatan langsung antara siswa dengan masalah yang diberikan. Pembelajaran
yang menggunakan pendekatan problem solving menuntut interaksi antar siswa dan
keterlibatan aktif siswa dalam memecahkan masalah yang diberikan (Kim dan Hannafin, 2011:
405). Masalah pun yang disajikan pada pembelajaran problem solving umumnya adalah
masalah yang berkaitan dengan dunia nyata (Kennedy, Tipps, dan Johnson, 2008:19). Masalah
dunia nyata menurut Sajadi, Amiripour, dan Malkhalifeh (2013: 7) merupakan elemen yang
mendukung kebermaknaan dalam pembelajaran matematika.
Terdapat juga penelitian yang membahas tentang pendekatan problem solving dalam
pembelajaran matematika, seperti hasil penelitian Cai dan Leaster (Nyala, 2016: 444)
mengungkapkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan problem solving membantu siswa
mengembangkan kemampuan pemahaman konsep, kemampuan penalaran, kemampuan
komunikasi matematis siswa, serta menumbuhkan rasa ingin tahu dan minat siswa terhadap
matematika.
Berdasarkan uraian dan masalah tersebut menunjukkan bahwa begitu pentingnya
kemandirian belajar dan kemampuan komunikasi matematika dalam pembelajaran matematika
dan model Pembelajaran missouri mathematics project (MMP) dengan pendekatan problem
solving merupakan salah satu solusi efektif yang mampu mengatasi permasalahan tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan model Pembelajaran
missouri mathematics project (MMP) dengan pendekatan problem solving dalam
Meningkatkan Kemandirian Belajar dan Kemampuan Komunikasi Matematika pada Siswa
Kelas VIII SMP Negeri 1 Marioriawa Kabupaten Soppeng.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk melakukan
sebuah penelitian dengan rumusan masalah: Apakah Penerapan Model Pembelajaran missouri
mathematics project (MMP) dengan pendekatan problem solving efektif dalam meningkatkan
kemandirian belajar dan kemampuan komunikasi matematika pada Siswa Kelas VIII SMP
Negeri 1 Marioriawa Kabupaten Soppeng?

C. PEMBAHASAN

Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP)


Model Missouri Mathematics Project (MMP) ditujukan untuk membuat matematika lebih
mudah dipahami sehingga materi yang dipelajari siswa lebih bermakna dan dengan demikian
hasil belajar matematika siswa menjadi lebih meningkat. Menurut Good , Grouws, dan Ebmeier
yang dikutip Slavin dan Lake (2007: 31) mengatakan bahwa “missouri mathematics project or
MMP is a program designed to help teacher effectively use practices that had been identified
from earlier correlational research to be characteristic of teacher whose students made
outstanding gains in achievment”. Maksudnya adalah MMP merupakan suatu program yang
dirancang untuk membantu para guru dalam hal efektivitas penggunaaan latihan-latihan agar
siswa mencapai peningkatan prestasi belajar.
Selanjutnya Jannah, Triyanto dan Ekana (2013: 62) menjelaskan bahwa model
pembelajaran MMP dirancang untuk memfasilitasi siswa dalam memperoleh informasi yang
sebanyak-banyaknya pada kegiatan berkelompok dan mengasah kemampuannya secara
mandiri. Lebih lanjut Jannah, Triyanto, dan Ekana menambahkan bahwa pembelajaran
missouri mathematics project adalah pembelajaran yang menekankan pada pengajaran aktif
dalam hal efektivitas penggunaan latihan. Handayani, Januar, dan Purwanto (2018: 2)
mengungkapkan bahwa pembelajaran missouri mathematics project merupakan pembelajaran
yang terdiri dari tahapan kegiatan yang sistematik dan terstruktur yang di dalamnya terdapat
kegiatan secara berkelompok dan kegiatan individu dan diakhiri oleh menarik kesimpulan serta
penugasan.
Dalam penerapan pembelajaran missouri mathematics project guru memfasilitasi siswa
untuk melatih mereka saling bekerja sama dan berbagi pengetahuan dalam memecahkan
masalah yang disajikan dalam lembar kerja (Widyawati, 2017: 15). Dalam penelitiannya,
Setyawan (2017: 2) menambahkan bahwa “missouri mathematics project is a learning model
that structured idea development and expansion of mathematical concept”. Maksudnya adalah
pembelajaran MMP merupakan pembelajaran yang mengembangkan ide dan perluasan konsep
matematika dengan terstruktur.
Keefektifan Model pembelajaran missouri mathematics project (MMP) dikemukakan
Aprisal (2018 :152) bahwa pembelajaran matematika dengan missouri mathematics project
dengan pendekatan problem solving efektif ditinjau dari kemampuan penalaran matematika,
kemampuan komunikasi matematis, dan self-efficacy. Masriah et al (2015: 163) menambahkan
bahwa pembelajaram matematika dengan model MMP dengan pendekatan ATONG pada
materi geometri efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah dan karakter mandiri. Hal
yang sama dikemukakan Faroh, Sukestiyarno, dan Iwan ( 2014: 103) bahwa model
pembelajaran missouri mathematics project (MMP) dipadukan dengan TIK dapat
meningkatkan pembentukan karakter kemandirian belajar dan keterampilan pemecahan
masalah siswa pada setiap pertemuan.

Pendekatan Problem Solving


Problem Solving menurut Kim dan Hannafin (2011: 405) bahwa kegiatan yang
berorientasi pada keterlibatan atau interaksi antar siswa untuk memecahkan masalah yang
diberikan. Selain itu, problem solving menurut Cai dan Leaster (Nyala, 2016: 444) merupakan
pembelajaran yang membantu siswa mengembangkan kemampuan pemahaman konsep,
kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi matematis siswa, serta menumbuhkan rasa
ingin tahu dan minat siswa terhadap matematika.
Lester dan Schroeder (Kennedy, Tipps, dan Johnson, 2008:19) mendefinisikan
pendekatan problem solving sebagai pembelajaran yang menggunakan masalah kehidupan
sehari-hari atau situasi masalah yang disimulasi sebagai konteks untuk belajar matematika.
Hasil penelitian Sajadi, Amiripour, dan Malkhalifeh (2013: 7) menyebutkan bahwa masalah
kehidupan nyata merupakan elemen yang penting dalam pembelajaran matematika.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka pembelajaran problem solving pada pembelajaran
matematika adalah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan menitikberatkan
pada pemberian masalah matematika berupa soal-soal atau masalah yang berkaitan dengan
kehidupan sehari oleh guru kepada siswa untuk memperoleh konsep matematika tertentu yang
terdapat dalam proses pemecahan masalah tersebut.
Dalam pembelajaran, masalah berperan sebagai media untuk membelajarkan
matematika. Masalah yang diberikan pada umumnya terbagi atas dua yaitu, masalah yang
sifatnya rutin (routine problem) maupun masalah tidak rutin (non-routine problem). Masalah
rutin adalah masalah yang biasanya berupa soal-soal yang sering dijumpai oleh siswa yang
penyelesaianya pun langsung menerapkan konsep atau rumus matematika yang telah ada.
Dalam hal ini ketika masalah yang diberikan kepada siswa sudah familiar maka mereka dengan
mudah menerapkan strategi pemecahan masalah (Chen, 2010: 294). Sementara itu, masalah
tidak rutin adalah masalah yang disajikan, tidak dapat akses langsung untuk menyelesaikan
masalah/soal tersebut. Artinya selain siswa menggunakan konsep atau rumus yang ada mereka
juga membutuhkan pengamatan, pemahaman, dan penalaran untuk menyelesaikannya (Wijaya,
2012: 58). Artinya dalam pembelajaran problem solving membutuhkan keterampilan yang
analitis dan kreatif untuk memecahkan masalah yang demikian (She et al, 2012: 751).
Terkait dengan pembelajaran matematika, Polya (1988: 84) menyatakan bahwa masalah
pada matematika terdiri atas dua, yaitu (a) masalah untuk menemukan, yaitu mencari suatu
solusi atau sebuah nilai dari masalah yang ada. Bagian utama dari masalah itu adalah apa yang
dicari?, bagaimana data yang diketahui?, bagaimana syaratnya?, (b) masalah untuk
membuktikan yaitu untuk menunjukkan kebenaran suatu pertanyaan. Siswa harus menjawab
pertanyaan apakah pernyataan itu benar atau salah. Sedikit berbeda dengan pendapat Polya,
Van de Walle (2007: 39) mengemukan bahwa masalah dapat berupa soal-soal yang diberikan
secara tidak rutin untuk dipecahkan dengan menggunakan keterampilan matematika yang
tinggi setelah siswa memilki dasar matematika dan pemahaman konsep yang baik.
Selanjutnya Pimta, Tayruakham, dan Nuangchalerm (2009: 381) menyatakan bahwa
masalah matematika merupakan alat yang membantu siswa untuk melatih dan
mengembangkan keterampilan mereka dalam memecahkan masalah di kehidupan sehari-
harinya. Dengan demikian, masalah dalam matematika dapat diartikan sebagai soal-soal tidak
rutin yang diberikan kepada siswa di mana tidak ada prosedur langsung atau prosedur yang
jelas untuk memecahkan soal tersebut.

Kemandirian Belajar
Kemandirian sangat diperlukan seseorang, dengan adanya kemandirian akan timbul rasa
percaya diri, kemampuan sendiri, mengendalikan kemampuan sendiri, sehingga puas terhadap
apa yang dikerjakan atau dilakukan. Menurut Hargis (2000) mengemukakan dengan
kemandirian, siswa cenderung belajar lebih baik, mampu memantau, mengevaluasi, dan
mengatur belajarnya secara efektif, menghemat waktu secara efisien dan memperoleh skor
yang tinggi dalam sains. Hal ini sejalan dengan Sharon et al (2011) kemandirian belajar adalah
proses yang membantu siswa dalam mengatur pikiran, tingkah laku, dan perasaan mereka agar
membuat mereka berhasil dalam melayari pengalaman belajar mereka.
Sunaryo Johnson dan Medinnus (Nurhayati, 2011:131), mengungkapkan bahwa
kemandirian sebagai kekuatan motivasional dalam diri individu untuk mengambil keputusan
dan menerima tanggung jawab atas konsekuensi. Hal tersebut juga diungakapkan Darmayanti,
Islam, & Asandhimitra (2004:36) menyatakan kemandirian belajar sebagai bentuk belajar
yang memiliki tanggung jawab utama untuk merencanakan, melakukan, dan mengevaluasi
usahanya.
Menurut penelitian Eko & Kharisudin (2010:79), menyebutkan beberapa indikator
kemandirian belajar diantaranya (1) percaya diri, (2) tidak menyandarkan diri pada orang lain,
(3) mau berbuat sendiri, (4) bertanggung jawab, (5) ingin berprestasi tinggi, (6) menggunakan
pertimbangan rasional dalam memberikan penilaian, mengambil keputusan, dan memecahkan
masalah, serta menginginkan rasa bebas, dan (7) selalu mempunyai gagasan baru.
Hidayanti & Listyani (2010) merumuskan enam indikator kemandirian belajar siswa
yaitu (1) ketidaktergantungan terhadap orang lain; (2) memiliki kepercayaan diri; (3)
berperilaku disiplin; (4) memiliki rasa tanggungjawab; (5) berperilaku berdasarkan inisiatif
sendiri; dan (6) melakukan kontrol diri. Sedangkan menurut Moore dan Keegan (Nurhayati,
2011:142) kemandirian belajar dapat dilihat dalam hal: (1) menentukan tujuan belajar, (2)
menentukan cara belajar, (3) evaluasi hasil belajar. Lebih lanjut menurut Moore,
pembelajaran yang memiliki kemandirian dalam menentukan tujuan dan cara belajar menjadi
ciri penting yang membedakan dengan pembelajar yang tidak mandiri. Karena perbedaan ini
pulalah hasil belajar yang diperoleh dapat dievaluasi sendiri untuk bahan pembelajaran lebih
lanjut.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan
yang menekankan kemandirian belajar dapat dilihat dari seberapa besar pembelajaran
diberikan kemandirian, baik secara individu atau kelompok dalam menentukan: (1) apa yang
ingin dicapai; (2) apa saja yang ingin dipelajari dan dari mana sumber belajarnya; (3)
bagaimana mencapainya; serta kapan dan bagaimana keberhasilan belajarnya diukur.
Kemampuan Komunikasi Matematika
Pentingnya komunikasi dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika
diungkapkan oleh Kilpatrick, Hoyles, Skovsmose & Valero (2005: 114) bahwa “
communication has been a prerequisite to the development of mathematics”. Artinya
komunikasi merupakan prasyarat untuk mengembangkan matematika. Hal ini disebabkan
karena komunikasi dalam matematika menjadi salah faktor yang mendukung peningkatan
kemampuan matematika lainnya, semisal kemampuan memecahkan masalah (Qohar, 2011: 3).
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kemampuan matematika siswa dapat berkembang dan
meningkat melalui komunikasi.
Pentingnya kemampuan komunikasi dalam pembelajaran matematika juga diungkapkan
oleh Cheah (2007: 7) bahwa
communication is an assential part of the mathematical classroom. Students may use
verbal language to communicate their thoughts, extend thinking, and understand
mathematical concepts. They may also use written language to explain, reason, and
prosess their thinking of the mathematical ideas. Communication thus becomes a tool
which can assisst pupils to form question or ideas about concepts. Classroom that
focuses on promoting mathematical thinking.
Artinya komunikasi dalam kelas matematika (pembelajaran matematika) penting karena
dengan komunikasi siswa dapat menggunakan bahasa verbal dan bahasa tertulis untuk
menyampaikan dan menjelaskan pemikiran mereka serta melalui komunikasi siswa dapat
memahami konsep-konsep matematika. Oleh karena itu, komunikasi dapat menjadi alat untuk
mengembangkan cara berpikir matematika siswa. Dengan demikian, kemampuan komunikasi
matematis menjadi salah satu aspek yang wajib dimiliki dan dikembangkan oleh siswa untuk
berhasil dalam bermatematika.
Depdiknas (2004: 24) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis adalah
kecakapan seorang siswa untuk dapat menyatakan dan menafsirkan ide matematika secara
lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan apa yang ada dalam soal matematika. Dalam
pembelajaran matematika, siswa diharapkan mampu untuk berkerja sama satu sama lain,
sehingga ide-ide matematika dapat dinyatakan dalam bentuk ucapan, tulisan, demonstrasi,
ataupun merepresentasikannya secara visual dalam berbagai bentuk yang berbeda, memahami,
menafsirkan, serta mengevaluasi ide yang disajikan dalam lisan, tulisan, atau dalam bentuk-
bentuk visual. Selanjutnya siswa diharapkan juga mampu untuk mengkonstruk, menafsirkan
dan menghubungkan berbagai bentuk ide matematika dan hubungannya serta membuat
observasi dan dugaan, memformulasikan pertanyaan-pertanyaan, dan mengumpulkan serta
mengevaluasi informasi, menghasilkan, dan menyajikan argumen-argumen persuasif. Kegiatan
semacam tersebut menurut English (2004: 32) disebut dengan kemampuan komunikasi
matematis.
Lebih lanjut Ontario Ministry of Education (2005: 17) menyatakan bahwa
communication is the process of expressing mathematical ideas and understanding
orally, visually, and in writing, using numbers, symbols, pictures, graphs, diagrams, and
words. Students communicate for the various purpose and for different audiences, such
as the teacher, a peer, a group of students, or the whole class.
Artinya komunikasi dalam matematika adalah proses untuk mengungkapkan dan
memahami ide-ide matematika secara lisan, visual, dan dalam bentuk tulisan dengan
menggunakan angka, tabel, simbol, grafik, diagram, maupun kata-kata. Siswa
mengkomunikasi ide-ide tersebut dengan berbagai tujuan dan kepada orang yang berbeda
semisal kepada guru, teman kelas, kelompok siswa, atau kepada seluruh kelas. Dalam
pembelajaran matematika, salah satu tujuan siswa mengkomunikasikan idenya adalah untuk
lebih memahami makna dari ide atau konsep matematika serta membantu mereka dalam
kebermaknaan belajar (Kosko, 2012: 112). Van de Walle, Karp, dan Bay-Williams (2010: 4)
mengungkapkan bahwa komunikasi terkait dengan kemampuan siswa untuk berbicara,
menuliskan, mendeskripsikan, dan menjelaskan tentang ide-ide matematika. Menurut Kaur dan
Lam (2012: 2) mengatakan bahwa komunikasi matematis merupakan kemampuan dalam
menggunakan bahasa matematika untuk mengungkapkan ide-ide matematika secara tepat,
ringkas, dan logis. Dengan demikian, komunikasi matematika secara umum dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk mengkomunikasi ide matematika secara baik dan efektif (Wood,
2012: 110).
Berdasarkan penjelasan tersebut, komunikasi matematis secara garis besar terbagi dua
yaitu komunikasi lisan dan tertulis. Komunikasi menurut Kennedy, Tipps, dan Johnson (2008:
21) berupa diskusi tentang gagasan matematika antar siswa. Kemampuan berdiskusi dan
beradu argumen merupakan salah satu kemampuan komunikasi matematis. Sejalan dengan
pendapat Yang, et al (2016: 166) bahwa komunikasi matematika menekankan pada interaksi
dan pertukaran gagasan antar siswa. Hal ini dibutuhkan karena menjadi kemampuan siswa
untuk mengekspresikan konsep matematika mereka serta memahami dan mengevaluasi
pemahaman konsep siswa yang lain.
Di sisi lain, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa komunikasi matematis tidak
sekedar terbatas pada kata-kata atau secara lisan, tetapi selama diskusi pada kelas matematika
siswa juga belajar untuk membuat pola, generalisasi, dan menggunakan representasi
matematika untuk mengungkapkan dan mendukung ide-ide matematika (Moschkovich, 2012:
18) Representasi yang dimaksud adalah menyatakan ide dan konsep matematika dengan
menggunakan teks, angka, tabel, gambar, diagram atau simbol-simbol matematika (Mooney,
et al, 2014: 136). Ekspresi simbol dalam komunikasi matematika diperlukan untuk membuat
model matematika atau memodelkan masalah dunia nyata serta untuk membuat grafik
(Hammill, 2010: 1). Komunikasi tertulis dalam matematika juga dapat berupa keterampilan
siswa dalam menyelesaikan masalah matematika (Mahmudi, 2009: 3). Hal tersebut
menggambarkan kemampuan siswa untuk menerapkan dan menghubungkan berbagai konsep
untuk menyelesaikan masalah matematika.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan kajian teori tentang Model pembelajaran Missouri Mathematics Project


(MMP), Pendekatan problem solving, Kemandirian belajar, dan Kemampuan komunikasi
matematika terdapat hubungan antar komponen tersebut. Model pembelajaran Missouri
Mathematics Project dirancang untuk memfasilitasi siswa dalam memperoleh informasi yang
sebanyak-banyaknya pada kegiatan berkelompok dan mengasah kemampuannya secara
mandiri. Selain itu, Model pembelajaran missouri mathematics project juga dapat
memfasilitasi siswa untuk berbagi pengetahuan dalam memecahkan masalah yang disajikan
dalam kelompok serta mengembangkan ide dan perluasan konsep matematika dengan
terstruktur. Pendekatan Problem Solving merupakan kegiatan yang berorientasi pada
keterlibatan atau interaksi antar siswa untuk memecahkan masalah yang diberikan serta
membantu siswa mengembangkan kemampuan pemahaman konsep, kemampuan penalaran,
kemampuan komunikasi matematis siswa, serta menumbuhkan rasa ingin tahu dan minat siswa
terhadap matematika. Jadi, Model pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP),
Pendekatan problem solving dipandang efektif dalam meningkatkan kemandirian belajar dan
kemampuan komunikasi matematika
Dalam mengimplementasikan model pembelajaran Missouri Mathematics Project
(MMP) dengan pendekatan problem solving dalam meningkatkan kemandirian belajar dan
kemampuan komunikasi matematika siswa, maka dikemukakan beberapa saran yaitu dapat
memberikan masalah yang lebih bervariasi sehingga siswa dapat memahami materi dengan
lebih baik dan pengorganisasian siswa di dalam kelas perlu diperhatikan sehingga siswa aktif
dalam mengikuti pembelajaran yang berlangsung serta perlu perencanaan yang lebih matang
seperti penyediaan saran dan prasarana yang mendukung pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Aprisal. (2018).Keefektifan pembelajaran missouri mathematics project dengan


pendekatan problem solving ditinjau dari kemampuan penalaran
matematika, kemampuan komunikasi matematis, dan self-efficacy. Tesis
Magister, tidak diterbitkan. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Cheah, Ui Hock. (2007). Conceptualizing a frame work for mathematics communication in
malaysian primary schools. Diambil pada tanggal 20 Juli
2019,darihttp://www.rescam.edu.my/rndpdf/R&D%20Research%20Paper/Mathemati
cal%20Communications_CheahUH.pdf
Chen, C., H. (2010). Promoting collage students’ knowledge acquisition and ill-structured
problem solving: web-based integration and procedure prompts. Computer &
Education, 55(2010), 292-303.
Darmayanti, T., Islam, S., & Asandhimitra. (2004). Pendidikan Tinggi Jarak Jauh:
Kemandirian Belajar pada PTJJ. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka.
Depdiknas. (2004). Pedoman penilaian kelas. Jakarta
Depdiknas. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006, tentang
Standar Isi.
Eko, B. & Kharisudin, I. (2010). Improving the Autodidact Learning of Student On
Kalkulus Through Cooperative Learning “Student Teams Acievement
Division” By Portofolio Programed. Jurnal Penelitian Pendidikan, 27(1):
78- 83. Tersedia di http://journal.unnes.ac.id [Diaskses 27-08-2019].
Elfira, N. 2013. Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa Melalui Layanan
BimbinganKelompok. Jurnal Ilmiah Konseling, 2 (1): 279 – 282.
English, L. (2004). Mathematical and analogical mathematical reasoning of young learner.
Mahwah: Lawrence Elbaurn.
Fahinu. (2013). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian
Belajar Matematika Pada Mahasiswa Melalui Pembelajaran
Generatif. Disertasi. Bandung: UPI.
Faroh, Nailil., Sukestiyarno., & Iwan Junaedi (2014).Model missouri mathematics
project terpadu dengan TIK untuk meningkatkann pemecahan masalah dan
kemandirian belajar. Unnes Journal of Mathematics Education . Volume 3,
Nomor 2, Hal 99-103.
Fitriana, L. (2010). Pengaruh Model Pembelajaran Cooperative Tipe
Group Investigation (GI) dan STAD terhadap Prestasi Belajar
Matematika Ditinjau dari Kemandirian Belajar Siswa. Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY : 319 – 336.
Hammill, L. (2010). The interplay of text, symbols, and graphics in mathematics education.
Transformative Dialogues: Teaching & Learning Journal, 3(3), 1-8.
Handayani, I., Januar, R. L., & Purwanto, S. E. (2018). The effect of missouri mathematic
project learning model on students’ mathematical problem solving ability. IOP Con.
Series: Journal of Physics, DOI: 10.1088/1742-6596/948/1/012046.
Hargis, J. (2000). The Self-Regulated Learner Advantage: Learning Science on the
Internet. Online. Tersedia di http://wolfweb.unr.edu/homepage/crowthe
r/ejse/hargis.html [Diakses 15-08-2019].
Hidayanti, K. & E. Listiyani. (2010). Pengembangan Instrument Kemandirian
Belajar Mahasiswa. Journal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. 14(1): 84-
99.
Jacobsen, D. A., Eggen, P., & Kauchak, D. (2009). Methods for teaching (metode-metode
pengajaran): Meningkatkan belajar siswa tk-sma. (Terjemahan Achmad Fawaid &
Khoirul Anam). Upper Saddle River: Pearson Education, Inc. (Buku asli diterbitkan
tahun 2009).
Jannah, M., Triyanto, dan Ekana, H. (2013). Penerapan model missouri mathematics project
(mmp) untuk meningkatkan pemahaman dan sikap positif siswa pada materi fungsi.
Jurnal Pendidikan Matematika Solusi, 1(1), 2013.
Kaur, B., & Lam, T. T. (2012). Reasoning, communication, and connection in mathematics:
yearbook 2012 association of mathematics educators. Singapore: Word Scientific
Publishing.
Kemendiknas, ( 2010). Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta: Dir. Pembinaan SMP/A Ditjen Mandikdasmen
Kemendiknas.
Kennedy, L. M., Tipps, S., & Johnson, A. (2008). Guiding children’s learning of mathematics
(11𝑡ℎ 𝑒𝑑). Belmot: Thomson Wadsworth.
Kilpatrick, J., Hoyles, C., Skovsmose. O., & Valero, P. (2005). Meaning teaching in
mathematics education. New York: Springer.
Kim, M. C., & Hannafin, M. J. (2011). Scaffolding problem solving in technology-enhanced
learning environments (TELEs): bridging research and theory with practice. Computer
& Education, 56(2011), 403-417.
Kosko, W. K. (2012). Student enrollment in classes with frequent mathematical discussion nd
its longitudinal effect on mathematics achievment. The Mathematics Enthusiast, 9, 111-
147.
Mahmudi, A. (2009). Komunikasi dalam pembelajaran matematika. Jurnal MIPA UNHALU.
Volume 8, Nomor 1, 1-9.
Masriah., Sukestiyarno., & B.E Susilo (2015). Pengembangan Karakter Mandiri
dan Pemecahan Masalah melalui Model Pembelajaran MMP Pendekatan
ATONG materi Geometri.Journal of Mathematics Education. 4(2). Jurusan
Matematika FMIPA UNNES. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujme
[Diakses 27 Agustus 2019].
Mooney, C., Hansen, A., Ferrie, L., Fox, S., & Wrathmell, R. (2014). Primary mathematics:
knowledge and understanding. Exeter: Learning Matters.
Moschkovich, J. (2012). Mathematics, the common core, and language: recommendations for
mathematics instruction for Els aligned eith the common core. In Understanding
Language: Language, Literacy, and Learning in the Content Area. Stanford:
Understanding Language.
National Council of Teacher of Mathematics (NCTM). (2000). Principle and standards for
school mathematics. Reston, VA: NCTM.
Noyes, A. (2007). Rethinking school mathematics. London: Paul Chapman Publishing.
Nurhayati, Eti. (2011). Psikologi Pendidikan inovatif. Yogyakarta: Pusta Pelajar.
Nyala, P., Assuah, C., Ayebo, A., & Tse, N. (2016). The prevalent rate of problem-solving
aprroach in teaching mathematics in Ghanaian basic schools. International Journal
Research in Education and Science (IJRES), 2(2), 444-452.
Ontario Ministry of Education. (2005). The ontario curriculum grades 1-8 mathematics (Rev.
ed). Toronto: Queen’s Printer for Ontario.
Peraturan Presiden RI. (2017). Penguatan Pendidikan Karakter Nomor 87 tahun
2017.
Pimta, S., Tayruakham, S., & Nuangchalerm, P. (2009). Factor influencing mathematics
problem solving ability of sixth grade student. Journal of Social Science, 5(4), 301-385.
Polya, G. (1988). How to solve it: a new aspect of mathematical method, Second Edition,
Princeton University Press.
Qadri, Abdul. (2011). Keefektifan Model Kooperatif Tipe TGT Dengan Penerapan
Teori Permainan Dienes Dalam Pembelajaran Matematika di Kelas VII
SMP Negeri 2 Mappadeceng Kabupaten Luwu Utara. Tesis Tidak
Diterbitkan. Makassar: PPs UNM.
Rachmayani, D. (2014). “Penerapan Pembelajaran Reciprocal Teaching untuk
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian
Belajar Siswa”. Jurnal Pendidikan UNSIKA, 1(2).
Sajadi, M., Amiripour, P., & Malkhalifeh, M. R. (2013). The examining mathematical word
problems solving ability under efficient representation aspect. ISPACS, 2013, 1-11.
Setyawan, I., Budiyono, & Slamet, I. (2017). The comparasion of missouri mathematics project
and teams games tournament viewed from emotional quotient eight grade student of
junior school. AIP Conference Proceeding 1868, DOI: 10.1063/1.4995140.
Sharon et al. (2011). Encouraging Self-Regulated Learning in the Classroom. A
review of literature. Virginia Commonwealth University.
She, H. C., Cheng, M. T., Li, T. W., Wang, C. Y., Chiu, H. T., Lee, P. Z., Chou, W. C., &
Chuang, M. H. (2012). Web-based undergarduate chemistry problem-solving: the
interplay of task perfomance, domain knowlwdge and web-searching strategies.
Computers & Education, 59 (2012), 750-761.
Slavin, R., & Lake, C. (2007). Effective programs in elementary mathematics: a best –evidence
synthesis. U.S: John Hopkins University.
Suherman, E. (2003). Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung: JICA-
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Van De Walle, J. A. (2007). Elementary and middle school mathematics: teaching
developmentally (6𝑡ℎ 𝑒𝑑). New York, NY: Pearson Education, Inc.
Van de Walle, J. A., Karp, K. S., & Bay-Williams, J. M. (2010). Elementary and Middle School
Mathematics: teaching developmentally. New York: Pearson Education.
Widyawati, N. (2017). Applying missouri mathematics project model in enhancing math
learning outcomes. International Journal of Managerial Studies and Research
(IJMSR), 5(1), 15-18.
Wijaya, A. (2012). Pendidikan matematika realistik suatu alternatif pendekatan pembelajaran
matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wood, L. N. (2012). Practice and conceptions: communicating mathematics in the workplace.
Educ Stud Math, 79, 109-125.
Yang, E. F. Y., Chang, B., Cheng, H. N. H., & Chan, T. (2016). Improving pupils’ mathematics
communication abilities through computer-supported reciprocal peer teaching tutoring.
Educational Technology & Society, 19(3), 157-169.

Anda mungkin juga menyukai