Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Oklusi gigi merupakan hasil kontak permukaan gigi-geligi, otot, dan gerak
sendi temporomandibula. Hubungan ini merupakan hubungan yang terjadi sepanjang
hidup dan akan mengalami adaptasi atau perubahan jika mengalami gangguan fungsi
oklusi.1,2
Oklusi akan berjalan normal dan kedudukan mandibula akan stabil, apabila tiap
komponen yang terlibat dapat menjalankan aktifitasnya secara normal, dan antara
semua komponen terdapat interaksi yang serasi dan seimbang. Semua bentuk
penyimpangan dari oklusi normal dapat disebut sebagai maloklusi. Maloklusi
umumnya bukan merupakan proses yang patologis, tetapi penyimpangan dari
perkembangan normal. Maloklusi merupakan keadaan gigi yang tidak harmonis, secara
estetik mempengaruhi penampilan seseorang, dan mengganggu keseimbangan fungsi,
baik fungsi pengunyahan maupun bicara.1,4
Perubahan-perubahan kecil dalam hubungan kontak oklusi yang menghambat
dicapainya oklusi normal dapat memicu timbulnya gangguan pada jaringan penyangga,
otot, dan fungsi sendi temporomandibula.2,3,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GANGGUAN OKLUSI


Gangguan oklusi adalah setiap perubahan pada fungsi oklusal pada sistem
mastikasi. Gangguan pada sistem mastikasi dapat berupa gangguan struktural atau
gangguan fungsional.5,6
Gangguan struktural adalah gangguan yang disebabkan oleh perubahan struktur
akibat gangguan pertumbuhan, trauma eksternal, penyakit infeksi atau neoplasma.
Gangguan pertumbuhan kongenital berkaitan dengan hal-hal yang terjadi sebelum
kelahiran yang menyebabkan kelainan perkembangan yang muncul setelah kelahiran.
Umumnya gangguan tersebut terjadi pada kondilus yang menyebabkan kelainan selain
pada bentuk wajah yang menimbulkan masalah estetika juga masalah fungsional.5,7
Gangguan fungsional adalah gangguan yang timbul akibat fungsi yang
menyimpang karena adanya kelainan pada posisi dan fungsi gigi-geligi atau otot
kunyah. Penyebab gangguan fungsional antara lain:
1. Maloklusi
Maloklusi adalah pola hubungan rahang atas dan rahang bawah yang
menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk yang normal,
maloklusi dapat disebabkan karena tidak ada keseimbangan dentofasial, kehilangan
satu atau beberapa gigi. Hal ini mungkin melibatkan hubungan dari sisi vertikal,
transversal, dan sagital yang menyebabkan ketidakseimbangan neuromuskluar dan
mejadi predisposisi gangguan sendi temporomandibular. Faktor-faktor yang
mempengaruhi adalah keturunan, lingkungan, pertumbuhan dan perkembangan, etnik,
fungsional patologi.3,5
2. Trauma
Pada trauma yang besar, tekanan yang terjadi secara langsung dapat
menyebabkan perubahan pada bagian discus artikularis dan processus condylaris
secara langsung. Trauma besar yang tiba-tiba dapat mengakibatkan perubahan

2
struktural, seperti pukulan pada wajah atau kecelakaan. Sedangkan pada trauma ringan
posisi discus artikularis dan processus condylaris dapat berubah secara perlahan-lahan.
Trauma ringan dalam waktu yang lama seperti bruxism dan clenching dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal, sendi dan otot.3,5
3. Stres
Stres dapat mengakibatkan peningkatan aktifitas otot pada posisi istirahat
sehingga menimbulkan kelelahan dan spasme otot. Spasme otot yang terjadi akan
menimbulkan ketidakseimbangan otot serta arthritis. Stres juga dapat menyebabkan
respon saraf simpatis yang menyebabkan nyeri pada otot mastikasi.5,7
4. Aktifitas parafungsional
Aktifitas parafungsional adalah aktifitas diluar fungsi normal dan tidak
mempunyai tujuan fungsional. Contohnya antara lain bruxism, clenching, grinding,
menggigit kuku, pensil, tusuk gigi atau mengunyah permen karet. Pasien biasanya
mempunyai keluhan nyeri pada sendi rahang, gigi yang goyang atau kelelahan pada
otot wajah saat bangun tidur. 5,7
5. Fungsi unilateral
Adanya gigi yang tanggal atau sakit, kelainan gingiva atau mukosa dapat
menyebabkan mastikasi hanya terbatas pada satu sisi saja atau bahkan pada segmen
labial saja. Dan apabila terjadi penyimpangan seperti mengunyah pada satu sisi rahang
dalam jangka waktu lama maka akan menyebabkan posisi akhir kondilus kanan dan
kiri akan menjadi asimetris. 5,7

2.2 AKIBAT GANGGUAN OKLUSI TERHADAP JARINGAN


PERIODONTAL
Sistem pengunyahan adalah unit kompleks yang dirancang untuk melaksanakan
tugas mengunyah, menelan dan berbicara. Tugas tersebut dilakukan dengan sistem
neuromuskular yang kompleks. Batang otak mengatur aksi otot sesuai dengan sensorik
yang diterima. Ketika terdapat masukan sensorik yang tidak terduga, maka mekanisme
refleks perlindungan diaktifkan.8,9

3
Struktur jaringan periodontal yang sehat yang terdiri dari gingiva, sementum,
ligamen periodontal dan tulang alveolar. Struktur ini dipengaruhi oleh kekuatan oklusi
fungsional yang mengaktivasi mekano-reseptor periodontal pada fisiologi sistem
mastikasi. Kekuatan oklusi menstimulasi reseptor pada ligamen periodontal untuk
mengatur pergerakan rahang dan kekuatan oklusi. Kekuatan fungsi oklusal ditahan
oleh trabekula tulang dan susunan dinding penopang tulang rahang atas dan rahang
bawah. Bila jaringan periodonsium utuh dan sehat, tulang alveolar dapat mengatasi
kekuatan oklusi.8,9

Gambar 1. (a) Penyebaran kekuatan oklusal pada akhir penutupan geligi lengkap yang
berperiodonsium utuh. (b) Penyebaran oklusal pada akhir penutupan dengan berkurangnya
penunjang tulang dan kehilangan gigi.7

2.2.1 Klasifikasi trauma oklusi yang mempengaruhi jaringan periodontal


Trauma karena oklusi yang menyertai lesi inflamasi aktif di periodontal dapat
bertindak sebagai faktor dalam destruksi jaringan periodontal dan mengakibatkan
poket yang lebih dalam serta kerusakan tulang alveolar. Trauma oklusi dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan etiologi yang terjadi, yaitu :10,11
1. Trauma oklusi primer
Terjadi jika terdapat peningkatan kekuatan dan durasi dari tekanan oklusal yang
berlebihan pada jaringan periodonsium normal atau sehat (tidak terdapat kelainan
gingiva, kehilangan jaringan ikat ataupun migrasi apikal dari epitel junctional). Lesi
yang ditimbulkan dari trauma oklusi ini pada dasarnya tidak mengalami kehilangan
tulang alveolar, tetapi dapat atau tidak dapat terjadi peradangan pada jaringan marginal

4
periodonsium. Contoh penyebab trauma oklusi primer antara lain restorasi yang terlalu
tinggi, pemasangan protesa yang menyebabkan tekanan berlebih pada gigi penyangga
atau pergerakan gigi yang berlebih. Perubahan yang terjadi antara lain pelebaran ruang
ligamen periodontal, tidak menyebabkan kehilangan perlekatan periodontal, rasa sakit
serta kegoyangan gigi. Perubahan yang terjadi biasanya bersifat reversible, dapat
hilang jika oklusi traumatik dikoreksi atau dilakukan penyesuaian oklusi yang baik.
2. Trauma oklusi sekunder
Terjadi ketika tekanan oklusal normal yang diterima menjadi berlebihan karena
telah terdapat kehilangan jaringan yang parah atau berkurangnya kemampuan jaringan
periodonsium untuk menahan tekanan oklusal. Tekanan normal yang diterima menjadi
tidak normal pada jaringan pendukung yang sudah terkena penyakit dan akan menjadi
semakin parah. Gigi yang mengalami trauma oklusi sekunder dapat mengalami
kerusakan tulang alveolar yang cepat dan juga mengakibatkan pembentukan poket.11

Gambar 2. Trauma Oklusi Primer dan Trauma Oklusi Sekunder3


Trauma oklusi dapat juga bersifat akut atau kronis. Trauma oklusi akut didapat
dari tekanan oklusal yang tiba-tiba seperti ketika menggigit benda keras, restorasi atau
alat prostetik lain yang dapat merubah arah tekanan oklusal pada gigi. Gejala yang
ditimbulkan berupa gigi terasa sakit, sensitif terhadap perkusi dan peningkatan
mobilitas gigi. Jika tekanan ini dapat dihilangkan atau dikoreksi, gejala akan hilang

5
atau sembuh. Tetapi jika tidak dikoreksi, luka pada jaringan periodonsium akan
semakin parah dan dapat menimbulkan nekrosis jaringan. Sedangkan, trauma oklusi
kronis lebih sering ditemukan dan menunjukkan gejala yang lebih signifikan daripada
trauma oklusi akut. Trauma bentuk ini disebabkan karena perubahan secara bertahap
dari oklusi akibat pergeseran gigi, ekstrusi gigi, serta kebiasaan parafungsi seperti
bruxism.10,11

2.2.2 Akibat Gangguan Oklusi Terhadap Jaringan Periodontal


Tekanan oklusal yang berlebihan dapat mengakibatkan perubahan pada:
1. Respon sementum terhadap gangguan oklusi
Akar gigi dilindungi oleh sementum. Sementum merupakan struktur yang
menyerupai tulang, dan sementum lebih resisten terhadap resorpsi daripada tulang
karena sementum lebih keras dan lebih termineralisasi dibandingkan tulang. Namun
bila kekuatan besar diberikan pada gigi, sementum juga dapat mengalami resorpsi.
Beberapa studi mengatakan bahwa tekanan yang ringan dan intermiten dapat memicu
terjadinya hipersementosis pada akar gigi.12
2. Respon ligamen periodontal terhadap gangguan oklusi
Jika gigi mendapat tekanan yang melebihi kapasitas adaptif, maka akan terjadi
respon berupa pelebaran pada ruang ligamen pada ruang periodontal, serta
penambahan dan pelebaran pada serat-serat ligamen periodontal. Tingkat keparahan
lesi trauma oklusal pada ruang ligamen periodontal tergantung pada besarnya
kekuatan. Pada kekuatan yang rendah, perubahan mikroskopis berupa peningkatan
vaskularisasi, terganggunya fibroblas dan serat kolagen. Pada kekuatan sedang,
osteoklas terlihat pada permukaan alveolus dan membentuk jala resorpsi tulang. Pada
kekuatan yang lebih tinggi, dapat menyebabkan nekrosis jaringan ligamen periodontal,
gangguan pada pembuluh darah, serta hialinisasi serat kolagen.11,12
3. Respon tulang alveolar terhadap gangguan oklusi
Trauma oklusi dapat menyebabkan kerusakan tulang baik ada atau tidak ada
inflamasi. Jika tidak ada inflamasi, perubahan disebabkan oleh berubahnya trauma

6
oklusi dari peningkatan tekanan dan regangan dari ligamen periodontal serta
peningkatan osteoklas dari tulang alveolar, nekrosis ligamen periodontal dan tulang
serta resorpsi dari struktur tulang dan gigi. Perubahan ini bersifat reversible karena
dapat diperbaiki jika sumber tekanan dihilangkan. Bagaimanapun trauma yang terus
menerus dari oklusi menghasilkan pelebaran yang berbentuk corong dari bagian
puncak ligamen periodontal dan resorpsi dari tulang di sekitarnya. Perubahan ini dapat
menyebabkan resorpsi puncak tulang yang berbentuk angular, dan bentuk resorpsi ini
dapat memperlemah penyangga gigi dan menyebabkan mobilitas gigi. Bila terdapat
inflamasi maka trauma oklusi dapat mempercepat kerusakan tulang.12
4. Mobilitas gigi
Mobilitas atau goyangnya gigi bisa disebabkan oleh tekanan oklusal yang
berlebihan. Namun tanpa adanya lesi gingiva atau periodonsium maka gigi akan
kembali stabil jika trauma oklusal tersebut dihilangkan. Jika terdapat lesi
periodonsium, trauma oklusal dapat memperberat mobilitas. Oleh karena itu, cups
interference merupakan penyebab kontak prematur dan pergeseran gigi dan bisa
disebabkan oleh kerusakan periodonsium.11,12
5. Migrasi gigi
Migrasi mengacu pada gerakan gigi dengan kerusakan periodontal yang
disebabkan karena aksi gigi antagonis atau otot tanpa bisa mengalami reposisi. Gigi
akan bergerak sampai mencapai posisi stabil antara otot-otot atau gigi yang
berlawanan.11,12

Gambar 3. Gigi insisivus maksila yang mengalami migrasi patologis bergerak ke labial
dan ekstrusi10

7
6. Ulserasi mukosa
Biasanya akibat cedera insisvus bawah mengenai mukosa palatal insisivus atas.
Penyebabnya adalah overclosure yang progresif dari mandibula dan biasanya
berhubungan dengan tanggalnya gigi-geligi posterior. Selain rasa nyeri karena
menutup mulut dan iritasi pada waktu mengunyah makanan dapat juga mengakibatkan
terlukanya mukosa pada permukaan gigi yang terkena.12
Pemeriksaan klinis trauma oklusal dapat berupa peningkatan mobilitas dan
migrasi atau penyimpangan gigi, fremitus serta rasa tidak nyaman saat makan.
Peningkatan mobilitas gigi (hipermobilitas) yang terjadi sebagai akibat dari trauma
oklusi dideteksi dengan adanya penurunan perlekatan periodontal pada pasien.

2.2.3 Gambaran Klinis dan Radiografis


Gambaran klinis yang khas pada trauma oklusi adalah kegoyangan gigi.
Gambaran klinis lain, yaitu sensitif pada perkusi, dan kehilangan tulang alveolar.
Trauma oklusi tidak menyebabkan gingivitis ataupun poktet periodontal, namun dapat
menjadi faktor resiko keparahan penyakit periodontal.
Gambaran radiografis pada jaringan periodontal yang mengalami trauma,
antara lain:10
1. Pelebaran ruang ligamen periodontal
2. Kehilangan tulang alveolar
3. Penebalan lamina dura
4. Radiolusensi pada furkasi
5. Destruksi vertikal pada interdental septum
6. Resorpsi akar

8
Gambar 4. Gambaran radiologis jaringan periodontal yang mengalami trauma.10

2.2.4 Tahap-Tahap Reaksi Jaringan Periodontal


Reaksi jaringan periodontal terhadap gangguan oklusi terdiri dari 3 tahap
yaitu:1,9-11
1. Tahap I Cedera (injury)
Cedera pada jaringan periodontal disebabkan oleh daya oklusal yang
berlebihan. Jika daya tersebut bersifat kronis maka ligamen periodontal akan
mengalami pelebaran yang berdampak terhadap kehilangan tulang. Tegangan yang
berlebihan merangsang resorpsi tulang alveolar dan pelebaran ligamen periodontal.
Dalam area yang mengalami peningkatan tekanan, pembuluh darah menjadi banyak
dan ukurannya mengecil. Tekanan yang besar akan menyebabkan terjadinya perubahan
pada jaringan periodonsium, dimulai dengan tekanan dari serat-serat yang
menimbulkan hialinisasi. Kerusakan fibroblas dan kematian sel-sel jaringan ikat
kemudian terjadi yang mengarah kepada nekrosis ligamen periodontal. Perubahan
pembuluh darah terjadi selama 30 menit, hambatan pembuluh darah terjadi selama 2
sampai 3 jam, pembuluh darah terlihat bersama eritrosit yang mulai terbagi menjadi
kepingan-kepingan dan dalam waktu 1 sampai 7 hari, terjadi disintegrasi dinding
pembuluh darah dan melepaskan isinya ke jaringan sekitarnya. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan resorpsi tulang alveolar dan permukaan gigi.
2. Tahap II Perbaikan (repair)
Perbaikan selalu terjadi secara konstan dalam jaringan periodonsium yang
normal dan trauma oklusi menstimulasi peningkatan aktivitas perbaikan. Jaringan yang

9
rusak dihilangkan, sel-sel dan serat-serat jaringan ikat, tulang dan sementum dibentuk
dalam usaha untuk menggantikan jaringan periodonsium yang rusak. Ketika tulang
teresorpsi akibat tekanan oklusal yang berlebihan, tubuh berusaha menggantikan tulang
trabekula yang tipis dengan tulang baru. Proses ini dinamakan buttressing bone
formation yang merupakan gambaran proses reparatif yang berhubungan dengan
trauma oklusi.
3. Tahap III Adaptasi jaringan periodonsium
Ketika proses perbaikan tidak dapat menandingi kerusakan yang diakibatkan,
jaringan periodonsium merubah bentuk dalam usaha untuk menyesuaikan struktur
jaringan dimana tekanan tidak lagi melukai jaringan. Hasil dari proses ini adalah
penebalan pada ligamen periodontal dimana mempunyai bentuk seperti tabung pada
puncak tulang dan kerusakan angular pada tulang tanpa pembentukan poket dan terjadi
peningkatan vaskularisasi.
Tahap cedera menunjukkan peningkatan daerah resorpsi dan penurunan
pembentukan tulang. Tahap perbaikan penurunan resorpsi dan peningkatan
pembentukan tulang setelah adaptasi periodontium, resorpsi dan pembentukan tulang
berjalan normal.

2.3 AKIBAT GANGGUAN OKLUSI TERHADAP OTOT PENGUNYAHAN


Mastikasi merupakan hasil pergerakan pembukaan dan penutupan rahang yang
memerlukan koordinasi yang baik antara gigi, rahang dan otot pengunyahan, di bawah
kontrol neurologis susunan saraf pusat. Semua otot mastikasi berfungsi pada semua
pergerakan mandibula baik untuk fase kontraksi maupun fase relaksasi. Kelainan oklusi
memicu kerusakan otot baik saat mandibula bekerja maupun pada saat istirahat.
Mengingat aktifitas mastikasi mengandalkan kerja otot, maka keterkaitan antara
gangguan oklusi dan kerja otot serta kerusakan pada jaringan otot bisa dihubungkan
dengan jelas.12,13
Ada empat karakteristik klinis gangguan otot mastikasi, yaitu disfungsi
struktural dimana terjadi penurunan pergerakan, tapi pasien dapat melakukan gerakan

10
normal jika diminta; sakit minimal pada saat posisi istirahat; sakit meningkat pada saat
otot berfungsi; dan pasien merasakan adanya kelemahan otot.13 Ogus dan Toller (1990)
menyatakan bahwa setiap orang memiliki ambang batas yang berbeda dan penerimaan
yang berbeda terhadap rasa nyeri. Daerah penyebaran rasa sakit yang paling sering
adalah telinga, pipi dan daerah temporal.15
Adapun otot-otot yang berperan di dalam proses mastikasi antara lain:1,12
1. Otot temporalis, mencakup seluruh daerah gigi rahang atas dan wajah bagian atas.
Sakit kepala dan sakit gigi merupakan keluhan yang sering ditemui. Insersi otot
temporal dapat dipalpasi secara intra oral dengan satu jari menelusuri ke arah batas
anterior ramus asenden, tendon berinsersi ke prosesus koronoideus.

Gambar 5. Lokasi sakit yang melibatkan otot temporal.2


2. Otot masseter, titik pemicu yang terletak di lapisan superfisial otot masseter
merujuk ke gigi-geligi posterior rahang atas dan bawah serta pada wajah, sakit gigi,
sakit telinga dan keterbatasan dalam pembukaan rahang merupakan keluhan yang
paling sering ditemui. Otot masseter diperiksa dengan cara palpasi bimanual,
meletakkan satu jari di intra oral dan jari yang lain di pipi.

Gambar 6. Lokasi sakit yang melibatkan otot masseter.2

11
3. Otot pterygoideus lateral superior, titik pemicu ini merujuk ke daerah zigomatikus.
Nyeri biasanya menyebar ke daerah molar.

Gambar 7. Lokasi sakit yang melibatkan otot pterygoideus lateral superior.2


4. Otot pterygoideus lateral inferior, titik pemicu pada daerah temporomandibula.
Maloklusi ringan dianggap sebagai disoklusi gigi-geligi posterior dan oklusi
prematur gigi anterior kontralateral.

Gambar 8. Lokasi sakit yang melibatkan otot pterygoideus lateral inferior.2


5. Otot pterygoideus internus, zona rujukan untuk otot ini mencakup bagian posterior
mulut dan tenggorokan. Nyeri tenggorokan merupakan keluhan yang paling sering
ditemukan.

Gambar 9. Lokasi sakit yang melibatkan otot pterygoideus internus.2

12
6. Otot Digastrikus (Area Hyoid), jika otot digastrikus dan area hyoid terlibat, maka
mandibula akan maju ke depan menghidari adanya hambatan. Banyak pasien
mengalami protrusi rahang karena merespon ketidakseimbangan oklusal, sehingga
terjadi defleksi.

Gambar 10. Lokasi sakit yang melibatkan area hyoid.2


7. Otot Sternocleidomastoideus (SCM), jika otot ini tegang saat dipalpasi, operator
harus mengevaluasi posisi kepala dan / atau adanya misalignment servikal. Dan
harus diperhatikan jika disharmoni oklusal bukan hanya penyebab masalah otot
kepada dan leher.

Gambar 11. Lokasi sakit yang melibatkan sternocleidomastoideus.2


8. Otot Trapezius, ganguan pada sendi temporomandibular dapat menyebar ke
bahu dan punggung, karena penelitian menunjukan gejala menghilang saat
oklusi diperbaiki.

13
Gambar 12. Lokasi sakit yang melibatkan otot trapezius.2
Disfungsi tatanan stomatognatik atau pengunyahan dapat menimbulkan:
1. Spasme otot
Kebiasaan buruk seperti bruxism pada malam hari dapat mengakibatkan
kelelahan dan kekakuan m. masseter karena adanya pengkerutan otot terus menerus
dan penambahan tenaga otot.13
2. Nyeri
Nyeri disfungsi rahang bawah sering timbul pada otot daerah pelipis (m.
temporal), m. masseter, dan m. pterigoideus. Selain itu juga pada nyeri daerah leher
belakang kepala (serviko-oksipital). Nyeri sisi kepala timbul karena otot daerah pelipis.
Nyeri di daerah sudut dan cabang (ramus) rahang bawah berasal dari otot kunyah muka
lateral dan dari otot pterygoideus medialis. Di daerah lengkung tulang pipi (zigomatik)
nyeri timbul melampaui daerah insersi otot pelipis ke prosessus coronoideus dan dari
perlekatan otot kunyah pada lengkung tulang pipi. Nyeri yang berkaitan dengan sendi
temporomandibula sering disebabkan karena tegangan dan kekejangan otot
pterygoideus lateral.13
Bruxism dapat menyebabkan keadaan tanpa zat asam (anoksia) akibat
penutupan pembuluh darah yang memasok zat asam di daerah tersebut dan
pengambilan hasil metabolisme menyebabkan nyeri iskemia dalam otot. Sedangkan
kekejangan otot dihasilkan oleh rasa nyeri dan gerak pengkerutan tak sengaja yang
hebat.13

14
3. Hipertropi dan atrofi otot
Seseorang yang mempunyai riwayat kebiasaan buruk bruxism yang sudah
berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat terjadi hipertropi otot penutup, yang
mengakibatkan otot masseter yang membesar dan kencang yang dapat dengan mudah
dilihat pada ramus dan sudut rahang bawah. Kebiasaan mengunyah satu sisi juga dapat
mengakibatkan terjadinya hipertropi otot pada sisi yang aktif, sementara pada sisi yang
lainnya yang jarang digunakan dapat menyebabkan atrofi pada otot.13
Manifestasi lain yang disebabkan oleh trauma oklusi di antaranya yang
berkaitan dengan tegangan otot pada daerah serviko-oksipital. Gejala telinga
berdengung, melemahnya pendengaran, perasaan tekanan dan sumbatan pada telinga
merupakan sebagian gejala disfungsi rahang bawah. Bunyi dengungan atau siulan
terjadi karena tegangan dan kekejangan otot peregang rongga telinga (sensor timpani).
Gejala penyumbatan, kehilangan pendengaran, perubahan tekanan atmosfer tiba-tiba
bisa disebabkan karena tegangan dan kekejangan otot palatum. Fungsi otot ini adalah
untuk meregangkan palatum lunak dan membuka tuba eustachius ketika menelan.13

2.4 AKIBAT GANGGUAN OKLUSI TERHADAP FUNGSI


Sendi temporomandibula merupakan salah satu komponen dari sistem
pengunyahan yang terdiri dari sepasang sendi kiri dan kanan yang masing-masing
dapat bergerak bebas dalam batas-batas tertentu. Mekanismenya unik karena sendi kiri
dan kanan harus bergerak secara sinkron pada saat berfungsi. Ketidakstabilan oklusal
antara geligi bawah dan geligi, serta maloklusi ortodontik adalah penyebab utama
gangguan pada sendi temporomandibular, sehingga fungsi mandibular terganggu.
Gangguan fungsi ini merupakan kumpulan gejala klinik yang melibatkan otot
pengunyahan, sendi rahang atau keduanya.1,14

2.4.1 Disfungsi Mandibula


Dalam sistem stomatognati, fungsi fisiologis dari pergerakan rahang ditunjang
oleh keharmonisan oklusi gigi. Oklusi yang baik dibentuk oleh susunan gigi dan

15
lengkung rahang yang seimbang dalam posisi oklusi sentrik. Perubahan pola oklusi
gigi-geligi ini menyebabkan terjadinya perubahan dimensi vertikal, sehingga akan
mengakibatkan peningkatan tekanan biomekanik pada sendi temporomandibula yang
dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan perubahan adaptif dan degenerative
pada sendi. Beberapa perubahan sendi temporomandibula yang sering terjadi,
yaitu:15,16
1. Internal derangement
Perubahan ini didefinisikan sebagai hubungan abnormal dari diskus artikularis
yang berhubungan dengan kondilus mandibular, fossa, dan eminensia artikularis.
Terdapat dua kondisi yaitu disc displacement without reduction (DDNR) dimana
pergerakkan diskus tidak lebih kecil dari pergerakan normal. Dikus terletak pada
anterior kondilus dan eminensia artikularis dalam posisi rahang tertutup dan terbuka.
Kondisi ini berhubungan dengan keterbatasan membuka mulut dan rasa sakit. Kondisi
kedua disc displacement reduction (DDR), dimana diskus bergeser baik secara anterior,
medial, lateral, atau gabungan gerakan tersebut dalam posisi rahang tertutup, dan
gerakannya lebih kecil pada posisi normalnya dalam posisi rahang terbuka, dengan
band posterior berada ada bagian superior kondilus, kondisi ini bianya berhubungan
dengan bunyi clicking.1,2
Clicking adalah suara tunggal dengan durasi singkat, dan biasanya keras. Bunyi
sendi diperiksa dengan meletakan jari pada permukaan lateral sendi, dan pasien diminta
untuk membuka dan menutup mulutnya. Biasanya sendi ini dapat dirasakan oleh jari,
atau bisa juga dengan menggunakan stetoskop atau alat perekam lain. Keterbatasan
gerak sendi sering dihubungkan dengan adanya gangguan pada otot. Clicking sendi
dihubungkan dengan oklusi yang tidak benar. Kehilangan gigi, malposisi gigi serta
ekstrusi gigi akan mengakibatkan perubahan keseimbangan sehingga mengakibatkan
ketidakharmonisan oklusi. Kehilangan gigi dapat mengganggu keseimbangan gigi-
geligi yang masih tersisa, gangguan dapat berupa migrasi, rotasi serta ekstrusi gigi yang
masih tersisa pada rahang. Malposisi akibat kehilangan gigi tersebut mengakibatkan
disharmoni oklusal serta dapat menyebabkan kelainan TMJ karena ada perbedaan

16
oklusi dan relasi sentris. Adanya perubahan oklusi menghasilkan suatu perubahan
koordinasi otot-otot.14,16 Ekstruksi gigi antagonis juga akan mengakibatkan kurva spee
berubah, sehingga menimbulkan benturan antara gigi bawah dan atas saat mandibula
bergerak. Perubahan oklusi yang tidak sesuai dengan aksi otot-otot dan TMJ akan
menghasilkan hiperaktifitas otot dan perubahan posisi diskus. Kehilangan gigi anterior,
khususnya gigi kaninus menyebabkan pola oklusi menjadi lebih datar karena
berkurangnya tinggi tonjolan. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya tinggi gigitan
dan dimensi vertikal, yang dapat mengakibatkan dislokasi diskus ke anterior. Hal ini
terjadi pada saat membuka mulut kondilus bergerak ke depan mendorong diskus ke
anterior sehingga terjadi lipatan dari diskus. Pada keadaan tertentu dimana diskus tidak
dapat didorong lagi, kondilus akan melompati lipatan tersebut dan bergerak ke bawah
diskus yang menyebabkan timbulnya bunyi ”click”.17

Gambar 13. Proses terjadinya “clicking” akibat kondilus bergerak melalui diskus
artikularis dari posterior, saat proses membuka mulut. B. “Clicking” juga terjadi saat
proses penutupan mulut, saat kondilus kembali pada tempatnya.10

Gambar 14. Tahapan Internal Derangement TMJ.


2. Asimetri kondilus

17
Posisi mandibula pada akhir gerakan menutup mulut sangat ditentukan oleh
panduan kontak pertama antara gigi-geligi rahang bawah dan atas. Bila kedua kontak
tersebut lancar dan terjadi secara bersamaan antara semua gigi posterior maka posisi
mandibula akan stabil. Apabila ada kontak prematur salah satu gigi, maka geseran
kontak tersebut menjadi tidak lancar dan akan membuat mandibula akan menyimpang
dari pola gerakannya yang normal sehingga posisi akhir yang dicapai juga menyimpang
dari normal. Apabila penyimpangan ini berjalan lama maka kondilus kanan dan kiri
akan menjadi asimetri, karena salah satunya dapat mengalami hiperplasia atau
hipoplasia.17

Gambar 15. Asimetri kondilus yang disebabkan oleh hyperplasia unilateral.


3. Arthritis Temporomandibula
Trauma oklusi atau kehilangan gigi posterior dapat menyebabkan kelainan pada
sendi temporomandibula berupa arthritis karena hal ini mengakibatkan pemakaian
sebagian gigi hiperfungsi sehingga terjadi tekanan yang lebih besar pada sendi.
Perubahan pola oklusi gigi-geligi ini menyebabkan terjadinya perubahan dimensi
vertikal oklusi ataupun perubahan relasi sentris akan mengakibatkan perubahan
kondilus dan akan menyebabkan pergeseran rahang.1,17
4. Nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial ataupun
penggambaran kondisi dari kerusakan tersebut.13-15

18
Gambar 16. Rasa nyeri pada area sekitar TMJ akibat gangguan oklusi.

2.4.2 Perawatan Pada Sendi Rahang Yang Mengalami Gangguan


Perawatan yang dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan sendi
rahang, antara lain:1,2,17
1. Mengistirahatkan rahang
Pasien dianjurkan untuk menghindari mengunyah permen karet atau memakan
makanan yang keras, kenyal dan garing seperti sayuran mentah, permen atau kacang-
kacangan. Pasien juga dilarang untuk memakan makanan yang memerlukan
pembukaan mulut yang lebar.
2. Terapi dingin atau panas
Terapi ini membantu mengurangi tegangan dan spasme otot-otot. Terapi panas
dilakukan selama 15 – 20 menit dan bisa diulang sepanjang hari. Jika tidak efektif,
terapi dingin bisa dilakukan tidak lebih dari 5 menit, karena jaringan terasa kebal untuk
mengurangi rasa sakit.

Gambar 17. Terapi dingin atau panas.1

19
3. Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan sebagai anti peradangan antara lain aspirin,
naproxen, ibuprofen atau steroid dapat membantu mengontrol peradangan. Perelaksasi
otot seperti diazepam atau valium dapat membantu dalam mengurangi spasme otot.
4. Penanganan stres
Konsultasi psikolog serta obat-obatan dapat membantu mengurangi ketegangan
otot.
5. Koreksi kelainan gigitan
Terapi koreksi gigi, seperti restorasi, penyesuaian oklusal, penggunaan splint,
pemasangan gigi tiruan atau alat orthodontik mungkin diperlukan untuk mengkoreksi
gigitan yang abnormal agar lebih stabil.

Gambar 18. Occlusal splint.1


6. Terapi fisik
Pasien dianjurkan untuk melakukan pembukaan dan penutupan rahang secara
pasif serta melakukan massage untuk membantu mengurangi rasa sakit.

Gambar 19. Beberapa terapi fisik yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pergerakan
rahang.1

20
7. Terapi Bedah
Terapi bedah diindikasikan pada kasus-kasus dimana terapi medis gagal. Ini
dilakukan sebagai jalan terakhir. TMJ arthroscopy, ligament tightening, restrukturisasi
rahang (joint restructuring), dan penggantian rahang (joint replacement)
dipertimbangkan pada kebanyakan kasus yang berat dari kerusakan rahang atau
perburukan rahang.

21
BAB III
PENUTUP

Oklusi normal dan keteraturan gigi secara anatomis dan fungsional di lengkung
masing-masing penting untuk pengembangan dan pemeliharaan gigi yang sehat.
Reaksi tulang dan ligamen tergantung pada besarnya, durasi dan arah tekanan. Trauma
oklusi diketahui menyebabkan perubahan pada jaringan periodontal. Trauma dari
oklusi dapat diklasifikasikan menjadi trauma primer dan sekunder.
Terdapat banyak hal yang dapat mengganggu keharmonisan oklusi dari gigi
termasuk adanya occlusal interference baik secara fisiologis maupun patologis yang
dapat menyebabkan kerusakan dan gangguan pada jaringan periodontal, otot kunyah,
bahkan gangguan temporo mandibular joint (TMJ).

22
DAFTAR PUSTAKA

(1) Okeson. J.P. Management of Temporomandibular Disorders and Occlusion.


4th edition. W.B Saunders Company, Philadelphia; 1998. Hal. 1-28,353-
389,391-411,474-502,519-530,555-575.
(2) Dawson PE. Functional Occlusion From TMJ to Smile Design. Mosby, St.
Louis. 2007. Hal. 265-306.
(3) Houston WJB. Orthodontic diagnosis. Bristol: John Wright and Sons LTD;
1975.
(4) Ramfjord, S., and Ash M. M. Occlusion. 3rd edition. W.B. Saunders Company,
Philadelphia; 1983. Hal. 130-13
(5) Bishara E. Samir. Textbook of orthodontics. Philadelphia: Saunders;2001.
(6) Staley RN dan Reske NT. Essential of Orthodontics: Diagnosis and
Treatment.Iowa : Wiley-Blackwell; 2011.
(7) Gross, Martin D. 1991. Oklusi dalam Kedokteran Gigi Restoratif. Penerjemah:
Krisnowati. Surabaya: Airlangga University Press.
(8) Pedersen G, W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Jakarta. EGC: 1996.
(9) Rateitschak KH, Wolf HF. Color Atlas of Dental Medicine, Periodontology.
3rd edition. New York: Thieme; 2004.
(10) Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA. Carranza’s Clinical
Periodontology. 12th edition. St Louis, Saunders Elsevier; 2015.
(11) Jan Lindhe. Clinical periodontology and Implant Dentistry 4th edition.
Blackwell; 2003.
(12) Pramono, Coen. Mastikasi, Oklusi, dan Artikulasi. FKG Airlangga.
(13) Gross, Martin D. Oklusi dalam Kedokteran Gigi Restoratif. Penerjemah:
Krisnowati. Surabaya: Airlangga University Press; 1991
(14) Okeson JP. Orofacial Pain: Guidelines for Assesmement, diagnosis and
Management. Chicago. Quintessence Publish Inc; 1996.

23
(15) Ogus, H.D., and Toller, P.A, 1990 , Gangguan Sendi Temporomandibula, p.
43-50 Hipokrates, Jakarta.
(16) Pullinger AG, Seligman DA. Temporomandibular Disorders, Part II: Occlusal
Factor Associated With Temporomandibular Joint Tenderness and Functions.
J of Prosthetic Dentistry; 1988. Hal. 53-363.
(17) Haryo, M. Gangguan Nyeri dan Bunyi Kliking Pada Sendi Temporomandibula.
Kajian Ilmiah Prostodontia. FKG UGM, Yogyakarta; 2008.

24

Anda mungkin juga menyukai