Anda di halaman 1dari 58

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Remaja

2.1.1.1 Definisi remaja

Menurut Ali dan Asrori (2009) Remaja yang dalam bahasa

aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere

yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai

kematangan” bangsa primitif dan orang-orang purbakala

memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan

priode lain dalam rentan kehidupan.

Remaja adalah masa transisi usia dimana seseorang belum

dikatakan dewasa namun bukan lagi dikatakan anak. Remaja

merupakan salah satu tahap perkembangan yang unik terjadi di

antara usia 11 sampai 20 tahun, dimana terjadi perubahan dalam

pertumbuhan dan perkembangan.

Remaja harus mengahadapi perubahan fisik, kognitif dan

emosional yang dapat menimbulkan kondisi stres dan memicu

prilaku unik remaja (Stuart, 2016).

2.1.1.2 Karakteristik Masa Remaja

Menurut Bischof (1983) dalam Ali dan Asrori (2009) masa

remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh

Erickson disebut dengan identitas ego (ego identity).

9
10

Remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-

anak dan masa kehidupan orang dewasa. Remaja jika ditinjau

dari segi fisiknya, remaja sudah bukan anak-anak lagi melainkan

seperti orang dewasa, tetapi jika mereka diperlakukan sebagai

orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan sifat dewasa.

a. Kegelisahan

Remaja mempunyai banyak idealisme, angan-angan atau

keinginan yang hendak diwujudkan dimasa depan karena

sesuai dengan fase perkembangannya. Remaja belum

memilki banyak kemampuan yang memadai untuk

mewujudkan semua itu, remaja seringkali memiliki angan-

angan dan keinginanya jauh lebih besar dibandingkan dengan

kemampuannya.

b. Pertentangan

Remaja berada pada situasi psikologis antara ingin

melepaskan diri dari orangtua dan perasaan masih belum

mampu untuk mandiri. Remaja pada umumnya sering

mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan

pendapat antara mereka dengan orangtua.

c. Mengkhayal

Remaja saat memiliki keinginan untuk menjelajah dan

bertualang tidak semuanya tersalurkan, biasanya

hambatannya dari segi keuangan atau biaya. Lingkungan


11

sekitar yang luas akan membutuhkan biaya yang banyak,

padahal kebanyakan remaja hanya memproleh uang dari

pemberiang orangtuanya. Remaja akan memiliki kebiasaan

seperti, mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan melalui

khayalannya melalui dunia fantasi.

d. Aktivitas Berkelompok

Remaja seringkali memiliki keinginan yang tidak dapat

terpenuhi karena bermacam-macam kendala, dan yang sering

terjadi adalah tidak tersedia biaya. Orangtua ketika memberi

larangan seringkali melemahkan atau bahkan mematahkan

semangat para remaja. Remaja seringkali menemukan jalan

keluar dari kesulitannya setelah mereka berkumpul dengan

rekan sebaya untuk melakukan kegiatan bersama. Remaja

melakukan suatu kegiatan secara berkelompok sehingga

berbagai kendala dapat diatasi bersama-sama.

e. Keinginan mencoba segala sesuatu

Remaja pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yang

tinggi (high curiosity). Remaja memiliki ciri khas seperti rasa

ingin tahu yang tinggi, remaja cendrung ingin bertualang,

menjelajah segala sesuatu, dan mencoba segala sesuatu yang

belum pernah dialaminya.

Remaja sangat membutuhkan bimbingan agar rasa ingin

tahunya yang tinggi dapat terarah kepada kegiatan-kegiatan


12

yang positif, kreatif, dan produktif, misalnya ingin

menjelajah alam sekitar untuk kepentingan penyelidikan dan

ekspedisi. Keinginan semacam itu mendapatkan bimbingan

dan penyaluran yang baik, akan menghasilkan kreativitas

remaja yang sangat bermanfaat, seperti kemampuan membuat

alat-alat elektronika untuk kepentingan komunikasi,

menghasilkan temuan ilmiah remaja bermutu, menghasilkan

karya ilmiah remaja yang berbobot, meghasilkan kolaborasi

musik dan sebagainya.

2.1.1.3 Remaja Dan Tugas Perkembangan

a. Tugas Perkembangan

Seorang ahli psikologi yang dikenal luas dengan teori

tugas-tugas perkembangan adalah Robert J.Havighust dalam

Ali dan Asrori (2009). Tugas perkembangan adalah tugas

yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari

kehidupan individu dan jika berhasil akan menimbulkan fase

bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakann

tugas-tugas berikutnya. Remaja yang mengalami kegagalan

akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam

menghadapi tugas-tugas berikutnya. Tugas-tugas

perkembangan tersebut diantaranya muncul sebagai akibat

kematangan fisik, sedangkan yang lain berkembang karena

adanya aspirasi budaya, sementara antara lain lagi tumbuh


13

dan berkembang karena nilai-nilai dan aspirasi individu.

Tugas-tugas perkembangan mempunyai tiga macam tujuan

yang sangat bermanfaat bagi individu dalam menyelesaikan

tugas perkembangan, yaitu sebagai berikut:

1) Sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa

yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia-usia

tertentu.

2) Memberikan motivasi kepada setiap individu untuk

melakukan apa yang diharapkan oleh kelompok sosial

pada usia tertentu sepanjang kehidupannya.

3) Menunjukkan kepada setiap individu tentang apa yang

akan mereka hadapi dan tindakan apa yang diharapkan

dari mereka jika nantinya akan memasuki tingkat

perkembangan berikutnya.

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada

upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kenakan

serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan

berperilaku seccara dewasa. Tugas-tugas perkembangan

masa remaja Hurlock (1991) dalam Ali dan Asrori (2009),

yaitu:

1) Mampu menerima keadaan fisiknya.

2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.


14

3) Mampu menerima hubungan baik dengan anggota

kelompok yang berlinan jenis.

4) Mencapai kemandirian emosional.

5) Mencapai kemandirian ekonomi.

6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang

sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai aggota

masyarakat.

7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang

dewasa dan orang tua.

8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab social yang di

perlukan untuk memasuki dunia dewasa

a. Aspek tumbuh kembang remaja

Menurut Stuart (2016), ada enam teori tentang remaja

yaitu:

1) Psikologis analitik

Pubertas dianggap sebagai tahap genital dimana

ketertarikan seksual mulai timbul. Perubahan biologis

membuat ketidakseimbangan antara ego dan ide, serta

solusi baru harus dinegosiasikan dengan remaja.

2) Biologis

Menekankan pada pertumbuhan fisik, perilaku dan

lingkungan yang memengaruhi perasaan, pikiran dan

tindakan.
15

3) Psikososial

Remaja mencoba mengembangkan identitasnya dalam

lingkungan sosial. Remaja berusaha mengkoordinasikan

rasa aman, keintiman dan kepuasan seksual dalam

berhubungannya.

4) Kognitif

Remaja dalam tahap kognitif lebih lanjut dimana

kemampuan untuk memberi alasan terhadap cara berpikir

konkrit dan lebih kearah berpikir abstrak, yang

digambarkan sebagai cara berpikir formal operasional.

5) Budaya

Tahap ini berakhir ketika masyarakat memberikan

kekuasaan penuh dan status sebagai seorang dewasa. .

2.1.2 Teori Adaptasi

2.1.2.1 Definisi Adaptasi

Menurut WHO (2006) rasa percaya diri (Self Confidince)

yaitu perilaku membuat individu memiliki pandangan positig

dan realistis mengenai diri mereka sendiri dan situasi yang ada

disekelilingnya, yakin dengan kemampuan mereka, memiliki

kontrol yang baik dalam kehidupan.


16

Menurut Scheiders (1964) dalam Agustiani (2009)

mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan satu proses

yang meliputi respon-respon mental dan tingkah laku, yang

merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan,

ketegangan, konflik dan frustasi dalam dirinya. Individu tersebut

berusaha dengan tujuan untuk memproleh keselarasan dan

keharmonisan agar tuntutan dalam diri dengan apa yang

diharapkan oleh lingkungan.

Menurut potter & Perry (2005), adaptasi adalah proses

dimana dimensi fisiologis dan psikososial berubah dalam

berespon terhadap stress, karena banyak stressor tidak dapat

dihindari, promosi sering difokuskan pada adaptasi individu,

keluarga atau komunitas terhadap stress.

Adaptasi disimpulkan sebagai proses penyesuaian.

Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial

terhadap norma-norma, proses perubahan ataupun suatu

kondisi yang diciptakan. Penyesuaian diri mempunyai tujuan-

tujuan tertentu, di antaranya: mengatasi halangan-halangan dari

lingkungan, menyalurkan ketegangan sosial, mempertahankan

kelanggengan kelompok atau unit sosial, bertahan hidup.

2.1.2.2 Teori Adaptasi Menurut Roy

Individu, keluarga, kelompok, komunitas, atau sosial adalah

penerima jasa asuhan keperawatan. Perawat memperlakukan hal


17

tersebut sebagai sistem adaptasi yang holistik dan terbuka.

Sistem terbuka tersebut berdampak pada pembukaan yang

konstan terhadap informasi, kejadian, dan energi antarsistem dan

lingkungan. Interaksi yang konstan anatara individu dan

lingkungan dicirikan oleh perubahan internal dan eksternal.

Individu harus mempertahankan integritas dirinya yaitu untuk

beradaptasi secara kontinu

a. Input

Adaptasi adalah sistem yang mempunyai input yang berasal

dari internal individu. Roy mengidentifikasikan input sebagai

suatu stimulus. Stimulus merupakan suatu unit informasi,

kejadian, atau energi yang berasal dari lingkungan. Sejalan

dengan adanya stimulus, tingkat adaptasi individu direspon

sebagai suatu input dalam sistem adaptasi. Tingkat adaptasi

tersebut bergantung dari stimulus yang didapatkan berdasarkan

kemampuan individu. Tingkat respon antara individu sangat

unik dan bervariasi bergantung pada pengalaman yang

didapatkan sebelumnya, status kesehatan individu, dan stressor

yang diberikan.
18

b. Proses

1) Roy menggunakan istilah mekanisme koping untuk

menjelaskan proses kontrol dari individu sebagai suatu

sistem adaptasi. Roy menekankan ilmu keperawatan yang

unik untuk mengontrol mekanisme koping. Mekanisme

tersebut dinamakan regulator dan kognator.

2) Subsistem regulator mempunyai sistem komponen input,

proses internal, dan output. Stimulus input berasal dari

dalam atau luar individu. Perantara sistem reguator berupa

kimiawi, saraf, atau endokrin.

3) Subsistem kognator berasal dari faktor internal dan

eksternal. Perilaku output subsistem regulator dapat menjadi

umpan balik terhadap stimulus subsistem kognator. Proses

kontrol kognator berhubungan dengan fungsi otak yang

tertinggi terhadap persepsi atau proses informasi juga

berhubungan dengan seleksi perhatian, kode, dan ingatan.

Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan dan

khususnya emosi untuk mencari kesembuhan, dukungan

yang efektif, dan kebersamaan.

4) Kognator dan regulator bekerja secara bersamaan dalam

mempertahankan integritas seseorang. Seseorang dalam

melakukan adaptasi dipengaruhi oleh perkembangan

individu dan penggunaan mekanisme koping. Adaptasi


19

dikatakan baik apabila penggunaan mekanisme koping

seseorang tersebut maksimal sehingga dapat meningkatkan

tingkat rangsangan sehingga individu dapat merespon

secara positif.

c. Efektor

Sistem adaptasi proses internal yang terjadi pada individu

didefinisikan sebagai sistem efektor. Empat efektor atau model

adaptasi tersebut meliputi fisiologis, kosep diri, fungsi peran,

dan ketergantugan (interdependen). Mekanisme regulator dan

kognator bekerja pada model adaptasi, perilaku yang

berhubungan dengan model adaptasi merupakan manisfestasi

dari tingkat adaptasi individu dan mengakibatkan

digunakannya mekanisme koping. Berikut ini adalalah

penjelasan dari 4 model adaptasi:

1) Fisiologis

Efektor secara fisiologis dapat dilihat dari beberapa hal

sebagai berikut:

a) Oksigenasi: menggambarkan pola penggunaan oksigen

yang berhubungan dengan respirasi dan sirkulasi.

b) Nutrisi: menggambarkan pola penggunaan nutrisi untuk

memperbaiki kondisi dan perkembangan tubuh klien.

c) Eliminasi: menggambarkan pola eliminasi.


20

d) Aktivitas dan istirahat: menggambarkan pola aktivitas,

latihan, istirahat, dan tidur.

e) Integritas kulit: menggambarkan fungsi fisiologis kulit.

f) Rasa: menggambarkan fungsi sensori perseptual yang

berhubungan dengan panca indra: penciuman, perabaan,

pengecapan, dan pendengaran.

g) Cairan dan elektrolit: menggambarkan pola fisiologis

penggunaan cairan dan elektrolit.

h) Fungsi neurologis: menggambarkan pola kontrol dan

pengaturan termasuk respon stres dan sistem reproduksi.

2) Konsep Diri (Psikis)

Konsep diri mengidentifikasi pola nilai, kepercayaan,

dan emosi yang berhubungan dengan ide diri sendiri.

Perhatian ditunjukkan pada kenyatan keadaan diri sendiri

tentang fisik, individual, dan moral-etik.

3) Fungsi Peran (Sosial)

Fungsi peran mengidentifikasi tentang pola interaksi

sosial seseorang yang berhubungan dengan orang lain

akibat dari peran ganda yang dijalankannya.

4) Ketergantungan (Interdependen)

Interdependen mengidentifikasi pola nilai-nilai manusia,

kehangatan, cinta, dan memiliki. Proses tersebut terjadi


21

melalui hubungan interpersonal terhadap individu maupun

kelompok.

d. Output

Perilaku seseorang berhubungan dengan metode adaptasi.

Koping yang tidak efektif akan berdampak terhadap respon

sakit (maladaptif). Seseorang yang masuk pada zona

maladaptif maka akan mempunyai masalah keperawatan

(adaptasi).

Roy mendefinisikan bahwa tujuan keperawatan adalah

meningkatkan respon adaptasi yang berhubungan dengan

empat model respon adaptasi. Perubahan internal, eksternal,

dan stimulus input bergantung dari kondisi koping individu.

Kondisi koping menggambarkan tingkat adaptasi seseorang.

Tingkat adaptasi ditentukan oleh stimulus fokal, kontekstual,

dan residual. Stimulus fokal adalah suatu respon yang

diiberikan secara langsung terhadap input yang masuk.

Penggunaan fokal pada umumnya bergantung pada tingkat

perubahan yang berdampak terhadap seseorang. Stimulus

kontekstual adalah semua stimulus lain yang merangsang

seseorang baik internal maupun eksternal serta memengaruhi

situasi dan dapat diobservasi, diukur, dan secara subjektif

disampaikanm oleh individu. Stimulus residual adalah

karakteristik/riwayat seseorang dan timbul secara relevan


22

sesuai dengan situasi yang dihadapi tetapi sulit diukur secara

objektif.

2.1.2.3 Karakteristik Penyesuaian Diri

Individu tidak selamanya berhasil dalam melakukan

penyesuaian diri karena kadang-kadang ada rintangan-

rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan

penyesuaian diri. Rintangan-rintangan itu mungkin terdapat

dalam dirinya atau mungkin diluar dirinya. Seseorang tidak

dapat menyesuaikan diri maka hal inilah yang di sebut dengan

istilah perilaku maladaptif. Hubungannya dengan rintangan-

rintangan tersebut ada individu- individu yang dapat

melakukan penyesuaian diri secara positif, namun adapula

individu-individu yang melakukan penyesuaian diri yang salah.

Berikut ini akan ditinjau karakteristik penyesuaian diri yang

posit if dan penyesuaian diri yang salah.

a. Penyesuaian Diri Secara Positif

Individu yang tergolong mampu melakukan penyesuaian

diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut:

1) Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional

2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme

psikologis
23

3) Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri

4) Mampu dalam belajar

5) Menghargai pengalaman

6) Bersikap realistik dan objektif.

Melakukan penyesuaian diri secara positif, individu akan

melakukan dalam berbagai bentuk, antara lain:

1) Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara

langsung

2) Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan)

3) Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba

4) Penyesuaian dengan substansi (mencari pengganti)

5) Penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri

6) Penyesuaian dengan belajar

7) Penyesuaian dengan inhibis dan pengendalian diri

8) Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat.

b. Penyesuaian Diri yang Salah

Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah yaitu:

1) Reaksi Bertahan

Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya,

seolah- olah tidak menghadapi kegagalan, ia selalu

berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak

mengalami kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:


24

a) Rasionalisasi, yaitu bertahan dengan mencari-cari

alasan untuk membenarkan tindakannya

b) Represi, yaitu berusaha untuk menekankan

pengalamannya yang dirasakan kurang enak ke alam

tidak sadar.

c) Proyeksi, yaitu dengan memutarbalikkan kenyataan

2) Reaksi menyerang

Reaksi-reaksinya tampak dalam tingkah laku:

a) Selalu membenarkan diri sendiri

b) Mau berkuasa dalam setiap situasi

c) Bersikap senang mengganggu orang lain

d) Menggertak dengan ucapan maupun dengan perbuatan

e) Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka

f) Menunjukkan sikap menyerang dan merusak

g) Keras kepala dalam perbuatannya

h) Bersikap balas dendam

i) Memperkosa hak orang lain

j) Tindakkam serampangan

k) Marah secara sadis


25

3) Reaksi Melarikan Diri

Reaksi ini orang yang mempunyai penyesuaian diri

yang salah akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan

kegagalan, reaksinya tampak dalam tingkah laku sebagai

berikut, berfantasi yaitu memuaskan keinginan yang tidak

tercapai dalam bentuk angan-angan (seolah-olah sudah

tercapai), banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri,

menjadi pecandu ganja, narkotika dan regresi yaitu kembali

kepada tingkah laku yang semodel dengan tingkat

perkembangan yang lebih awal seperti misalnya orang

dewasa yang bersikap dan berwatak seperti anak kecil.

2.1.2.4 Kategori Penyesuain diri (adaptasi)

Schneiders (1964) dalam Agustiani (2009), membagi

penyesuai diri kedalam beberapa kategori salah satu

pembagian itu adalah pembagian berdasarkan konteks

situasional dari respon dimunculkan individu, yang terdiri dari

penyesuaian personal, penyesuaian sosial, penyesuaian

perkawinan, penyesuaian vokasional. Penyesuaian sosial

merupakan penyesuaian yang dilakukan individu terhadap

lingkungan diluar dirinya, seperti lingkungan rumah, sekolah,

dan masyarakat, adapun definisi dari penyesuaian sosial adalah

sebagai berikut:
26

Penyesuaian sosial merupakan suatu kapasitas atau

kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu untuk dapat

bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas,

situasi, dan relasi sosial, sehingga kriteria yang harus dipenuhi

dalam kehidupan sosialnya dapat terpenuhi dengan cara-cara

yang dapat diterima dan memuaskan. Penyesuaian diri yang

dilakukan oleh individu dapat dipengaruhi oleh berbagai

faktor, yaitu sebagai berikut:

a. Faktor kondisi fisik, yang meliputi faktor keturunan,

kesehatan, bentuk tubuh dan hal-hal lain yang berkaitan

dengan fisik.

b. Faktor perkembangan dan kematangan, yang meliputi

perkembangan intelektual, sosial, moral dan kematangan

emosional.

c. Faktor psikologis, yaitu faktor-faktor pengalaman individu,

frustasi dan konflik yang dialamai, dan kondisi-kondisi

psikologis seseorang dalam penyesuaian diri.

d. Faktor lingkungan, yaitu kondisi yang ada pada lingkungan,

seperti kondisi keluarga, kondisi rumah, dan sebagainya.

e. Faktor budaya, termasuk adat istiadat dan agama yang turut

mempengaruhi penyesuaian diri seseorang.


27

2.1.2.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Scheiders dalam Ali (2011) ada 5 faktor yang

mempengaruhi proses penyesuaian diri khususnya remaja adalah

sebagai berikut:

a. Hereditas Dan Kondisi Fisik.

Penyesuaian diri lebih digunakan pendekatan fisik

karena hereditas dipandang lebih dekat dan tak terpisahkan

dari mekanisme fisik. Prinsip umum bahwa semakin dekat

kapasitas pribadi, sifat atau kecenderungan berkaitan

dengan konstitusi fisik maka akan semakin besar

pengaruhnya terhadap penyesuaian diri. Kecenderungan

kearah maladjustment diturunkan secara genetis khususnya

melalui media temperamen. Temperamen merupakan

komponen utama karena dari temperamen itu muncul

karakteristik yang paling dasar dari kepribadian, khususnya

dalam memandang hubungan emosi dengan penyesuaian diri.

b. Sistem Utama Tubuh

Sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap

penyesuaian diri adalah sistem saraf, kelenjar dan otot.

Sistem saraf yang berkembang dengan normal dan sehat

merupakan syarat mutlak bagi fungsi-fungsi psikologis agar

dapat berfungsi secara maksimal yang akhirnya berpengaruh

secara baik pula kepada penyesuaian diri.


28

c. Kesehatan Fisik.

Penyesuaian diri seseorang akan lebih mudah

dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang

sehat dibandingkan dengan yang tidak sehat. Kondisi

fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri,

kepercayaan diri, harga diri dan sejenisnya yang akan

menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses

penyesuaian diri. Kondisi fisik yang tidak sehat dapat

mengakibatkan perasaan rendah diri, kurang percaya diri,

atau menyalahkan diri sehingga akan berpengaruh

kurang baik bagi proses penyesuaian diri.

d. Kepribadian

1) Kemauan dan kemampuan untuk berubah

(modifiability).

Kemauan dan kemampuan untuk berubah

merupakan karakteristik kepribadian yang

pengaruhnya sangat menonjol terhadap proses

penyesuaian diri. Penyesuaian diri merupakan proses

yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian diri

membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam

bentuk kemauan, prilaku, sikap, dan karakteristik

sejenis lainnya. Semakin kaku dan tidak ada kemaua

serta kemampuan untuk merespon lingkungan,semakin


29

besar kemungkinannya untuk mengalamai kesulitan

dalam penyesuaian diri.

2) Pengaturan diri (self regulation).

Pengaturan diri sama pentingnya dengan

penyesuaian diri dan pemeliharaan stabilitas mental,

kemampuan untuk mengatur diri, dan mengarahkan diri.

Kemampuan mengatur diri dapat mencegah individu dari

keadaan malasuai dan penyimpangan kepribadian.

Kemampuan pengaturan diri dapat mengarahkan

kepribadian normal mencapai pengendalian diri dan

realisasi diri.

3) Realisasi diri (self relization)

Pengaturan kemampuan diri mengimplikasikan

potensi dan kemampuan kearah realisasi diri. Proses

penyesuaian diri dan pencapaian hasilnya secara bertahap

sangat erat kaitannya dengan perkembangan kepribadian.

Perkembangan kepribadian yang berjalan normal

sepanjang masa kanak-kanak dan remaja, didalamnya

tersirat potensi dalam bentuk sikap, tanggung jawab,

penghayatan nilai-nilai, penghargaan diri dan lingkungan,

serta karakteristik lainnya menuju pembentukan

kepribadian dewasa.
30

4) Intelegensi

Kemampuan pengaturan diri sesungguhnya muncul

tergantung pada kualitas dasar lainnya yang penting

perananya dalam penyesuaian diri seseorang ditentukan

oleh kapasitas intelektualnya atau intelegensinya.

Intelegensi sangat penting bagi perolehan gagasan, prinsip,

dan tujuan yang memainkan peranan penting dalam proses

penyesuaian diri, misalnya kualitas pemikiran seseorang

dapat memungkinkan orang tersebut melakukan pemilihan

dan pengambilan keputusan penyesuaian diri secara

intelegensi dan akurat.

e. Proses belajar (Education)

1) Belajar

Kemauan belajar merupakan unsur terpenting

dalam penyesuaian diri individu karena pada umumnya

respon-respon dan sifat-sifat kepribadian yang diperlukan

bagi penyesuaian diri diperoleh dan menyerap kedalam

diri individu melalui proses belajar. Kemauan untuk

belajar sangat penting karena proses belajar akan terjadi

dan berlangsung dengan baik dan berkelanjutan manakala

individu yang bersangkutan memiliki kemauan yang kuat

untuk belajar. Kematangan belajar akan muncul dalam

bentuk kapasitas dari dalam atau disposisi terhadap


31

respon. Perbedaan pola-pola penyesuaian diri sejak dari

yang normal sampai dengan yang tidak, sebagian besar

merupakan hasil perbuatan yang dipengaruhi oleh belajar

dan kematangan.

2) Pengalaman

Pengalaman terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang

memiliki nilai signifikan terhadap proses penyesuaian diri,

yaitu (1) pengalaman yang menyehatkan (salutary

experiences) dan (2) pengalaman traumatic (traumatic

experiences). Pengalaman yang menyehatkan adalah

peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu dan

dirasakan sebagai mutu yang mengenakkan,

mengasyikkan, dan bahkan di rasa ingin mengulangnya

kembali. Pengalaman seperti ini akan dijadikan dasar

untuk ditransfer oleh individu ketika harus menyesuaikan

diri dengan lingkungan yang baru. Pengalaman trauma

adalah peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu

dan dirasakan sebagai sesuatu yang sangat tidak

mengenakkan, menyedihkan, atau bahkan sangat

menyakitkan sehingga individu tersebut sangat tidak ingin

peristiwa itu terulang lagi.


32

3) Latihan

Latihan merupakan proses balajar yang

diorientasikan kepada perolehan keterampilan atau

kebiasaan. Penyesuaian diri sebagai suatu proses yang

kompleks yang mencakup didalamnya proses psikologis

dan sosiologis maka memerlukan latihan yang

sungguh-sungguh agar mencapai hasil penyesuaian diri

yang baik. Seseorang tidak jarang yang sebelumnya

memiliki kemampuan penyesuaian diri yang kurang baik

dan kaku, tetapi melakukan latihan secara

sungguh-sungguh, akhirnya lambat laun menjadi bagus

dalam setiap penyesuaian diri dengan lingkungan baru.

4) Determinasi diri.

Penyesuaian diri adalah sesungguhnya individu itu

sendiri untuk memerlukan proses penyesuaian diri.

f. Lingkungan

1) Lingkungan Keluarga

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan utama

yang sangat penting atau bahkan tidak ada yang lebih

penting dalam kaitannya dengan penyesuaian diri

individu.
33

2) Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah menjadi kondisi yang

memungkinkan untuk berkembangnya atau terhambatnya

proses berkembangnya penyesuaian diri. Sekolah

dipandang sebagai media yang sangat berguna untuk

mempengaruhi kehidupan dan perkembangan intelektual,

sosial, nilai-nilai, sikap, dan moral peserta didik.

3) Lingkungan Masyarakat

Konsistensi nilai-nilai, sikap, aturan-aturan, norma,

moral, dan perilaku masyarakat akan diidentifikasi oleh

individu yang berada dalam masyarakat tersebut sehingga

akan berpengaruh terhadap proses perkembangan

penyesuaian dirinya.

g. Agama Dan Budaya

Agama berkaitan erat dengan faktor budaya agama

memberikan sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-

praktik yang memberikan makna yang sangat mendalam,

tujuan, serta kestabilan dan keseimbangan hidup individu.

Agama secara konsisten dan terus menerus mengingatkan

manusia yang diciptakan oleh Tuhan, bukan sekadar nilai-

nilai instrumental sebagaimana yang dihasilkan oleh

manusia. Budaya merupakan factor yang berpengaruh

terhadap kehidupan individu, hal ini terlihat jika dilihat


34

dari karakteristik budaya yang diwariskan kepada individu

melalui berbagai media dalam lingkungan keluarga,

sekolah, maupun masyarakat. Faktor agama serta budaya

memberikan sumbangan yang berarti terhadap perkembangan

penyesuaian diri indvidu.

2.1.2.6 Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Diri

Menurut Adler (1956) dalam Agustiani (2009), tuntutan

untuk mencapai sukses sebagai manusia yang berada

dilingkungan sosial adalah peranan yang besar, berasal dari

perasaan diri. Tuntutan untuk sukses sebagai manusia

dilingkungan sosial berasal dari perasaan infentory.

a. Infentory

Perasaan yang kompleks tentang perasaan rendah diri yang

diungkap oleh Adler ternyata berasal dari pertahanan diri yang

berbentuk akibat perbuatan dan ketidakmampuan untuk bicara

atau spesifik seperti secara fisik kurang tangkas, kurang tinggi

atau juga kurang terampil secara akademik.

b. Gaya Hidup

Gaya hidup mencerminkan keperibadian seseorang. Tujuan

hidup seseorang harus kita mengerti, maka kita akan mengerti

arah yang akan kita ambil, dan hal itu merupakan keperibadian

dari individu yang bersangkutan.


35

c. Minat Sosial

Minat sosial merupakan potensi yang dimilki individu,

tetapi individu yang berbeda akan mengaktualisasikannya

pada tingkatan yang berbeda pula, beberapa orang

mengembangkan gaya hidup secara efektif dan mampu untuk

mengatasi ketidakpercayaan akan dirinya. Individu seperti ini

mengembangkan minat sosianya secara kuat dan memiliki

rasa kesatuan dengan orang lain. Individu yang tidak berhasil

mengatasi kurang percaya diri, ia akan menjadi orang yang

pemalu, terlalu memperhatikan diri sendiri, cemas dan

pesimis.

2.1.2.7 Faktor-faktor Penyesuaian Diri

a. Peer Relation

Faktor ini mengacu pada upaya individu untuk menyesuaikan

diri dan bekerja sama dengan orang lain.

b. Dependency

Faktor ini mengcu pada upaya kurangnya individu untuk dapat

berpikir dan mengerjakan sendiri tanpa meminta pertolongan

dari orang lain.

c. Hostility

Faktor ini mengacu pada kemampuan individu untuk

mengendaikan keinginanya jika tidak terpenuhi.


36

e. Productivity

Faktor ini mengacu pada kemampuan individu untuk sungguh-

sungguh mengerjakan tugas dan kewajiban yang diberikan.

f. Withdrawal

Faktor ini mengacu pada ketidakmampuan individu untuk

melakukan sesuatu dengan sigap dan tidak duduk termenung

tanpa melakukan sesuatu.

2.1.2.8 Alat Ukur Penyesuaian Diri

Penilaian peneyesuaian diri adalah hasil dari penyesuaian

diri seseorang terhadap kejadian yang dihadapinya termasuk

adaptif atau maladaptif. Individual Adaptability (I-Adapt).

Kuesioner ini terdiri dari 55 item pertanyaan. Individual

Adaptability (I-Adapt) adalah seperangkat skala subjektif yang

dibentuk untuk mengukur kemampuan adaptasi seseorang yang

meliputi respon mental, tingkah laku, dan usaha individu dalam

berinteraksi secara sosial (Ployhart.R.E, 2006).

2.1.3 Teori Stres

2.1.3.1 Definisi Stres

Menurut teori Lazarus dan Folkman (1986) dalam

Manurung (2016) stres adalah keadaan internal ya diakaibatkan

oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial

yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau

melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.


37

Menurut terminologi Indonesia dalam Rochman (2010)

stress disebut juga dengan istilah cemas. Secara etimologi stress

berasal dari pengertian istilah Yunani yaitu ‘merimnao’ yang

merupakan paduan dua kata, yaitu ‘meriza’(membelah,

bercabang) dan ‘nous’ artinya (pikiran). Kedua istilah ini

pengertian stress berarti membagi pikiran antara minat-minat

yang baik dengan pikiran-pikiran yang merusak.

Menurut Selye dalam Rochman (2010) stress merupakan

reaksi tubuh yang tidak menentu terhadap segala jenis tuntutan

(stressor) yang diberikan kepada individu tersebut. Stres sebagai

kaitan tertentu antara seseorang dan lingkungannya dimana

kondisi tersebut sebagai sesuatu yang membebaninya atau

melebihi kesanggupannnya dan membahayakan

kesejahteraannya.

Stres dapat disimpulkan yaitu sebagai sebuah keadaan yang

kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan

yang diterima dengan kemampuan untuk mengatasinya.

2.1.3.2 Jenis-Jenis Stres

Hans Selye dalam Hidayat (2009) membagi stress menjadi 3

yaitu:
38

a. Eustress

Eustress adalah respon stress ringan yang menimbulkan

rasa bahagia, senang, dan menantang dan menggairahkan.

Tekanan yang terjadi bersifat positif, misanya lulus dari

ujian, atau kondisi ketika menghadapi perkawinan.

b. Distress

Distress merupakan respon stress yang buruk dan

menyakitkan, sehingga tidak mampu lagi diatasi.

c. Optimal Stres (Neustress)

Optimal stress atau neustress adalah stress yang berada

antara eustress dengan distress, merupakan respon stres yang

menekan namun masih seimbang sehingga seseorang merasa

tertantang untuk menghadapi masalah yang mengacu umtuk

lebih bergairah, berprestasi, meningkatkan produktivitas kerja

dan berani bersaing.

2.1.3.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stres

Menurut Rochman (2010) ada tiga faktor utama pemicu

munculnya stress, yaitu:

a. Faktor Perilaku

Faktor ini muncu ketika seseorang menjumpai stressor

dalam lingkungannya, ada dua karakteristik pada stressor

tersebut yang akan mempengaruhi reaksinya terhadap

stressor itu yaitu, berapa lamanya (duration) seseorang harus


39

menghadapi stressor itu dan beberapa terduganya stressor itu

(predictability).

b. Faktor Psikologis

Ada tiga faktor psikologis yang terlibat disini:

1) Perceived control

Faktor ini adalah dimana keyakinan seseorang dapat

mengusai stressor itu. Orang dengan Internal Locus Of

Control (peristiwa yang terjadi karena dipengaruhi oeh

perilakunya) cendrung lebih mampu menghadapi stress

dibanding dengan orang yang External Locus Of Control

(peristiwa yang terjadi tergantung pada nasib,

keberuntungan atau orang lain).

2) Learned Helplessness

Faktor ini adalah reaksi tidakk berdaya akubat

seringnya mengalami peristiwa diluar kendalinya.

Produk akhirnya adalah motivational deficit

(menyimpulkan bahwa semua usaha adalah sia-sia),

cognitive deficit (kesulitan mempeljarai semua respon

yang dapat membawa hasil yang positif) dan emotional

deficit (rasa tertekan karena melihat bahwa ia tidak dapat

berbuat apa-apaa dan situasinya tak terkendaikan lagi).


40

3) Hairdiness

Faktor ini disebut dengan faktor keberanian, dan

ketangguhan, yang terdiri dari tiga karakteristik:

komitmen, keterlibatan, dan makna pada apa yang

dilakukannya, hari demi hari, dan fleksibel untuk

beradaptasi dengan perubahan yang terjadi

c. Faktor Sosial

Salah satu faktor sosial yaitu peristiwa penting dalam

hidup seperti pernikahan atau kehilangan pekerjaan

merupakan stressor sosial yang berpengaruh.

2.1.3.4 Penyebab Stres

Menurut Stuart (2016) ada dua faktor penyebab stres, yaitu:

a. Stressor Presdiposisi

faktor Presdiposisi merupakan faktor resiko dan protektif

yang memengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat

digunakan seseorang untuk mengatasi stres. Faktor

presdiposisi tersebut terdiri dari aspek biologis, psikologis,

dan sosial budaya.

1) Presdiposisi biologis meliputi latar belakang genetik,

status nutrisi, kepekaan biologis, kesehatan secara umum,

dan keterpaparan racun.

2) Presdiposisi psikologis meliputi intelegensi, keterampilan

verbal, moral, keperibadian, pengalaman masa lalu, kosep


41

diri dan motivasi, pertahanan psikologis, dan fokus

kendali, atau suatu perasaan pengendalian terhadap nasib

sendiri.

3) Presdiposisi sosial budaya meliputi usia, gender,

pendidikan, penghasilan, pekerjaan, latar belakang

budaya, keyakin religi, afilitasi politik, pengalaman

sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial atau keterhubungan.

b. Stressor Presipitasi

Stressor prespitasi adalah stimulus yang menantang dan

menuntut individu. Individu memerlukan energi tambahan

dan mengakibatkan suatu ketegangan dan stres. Stressor ini

dapat bersifat biologis, psikologis, atau sosial budaya.

Stimulus ini berasal baik dari lingkungan internal atau

eksternal manusia. Perhatikan waktu stressor, yang

mencangkup kejadian stressor, berapa lama seseorang

terpapar stressor, dan seberapa sering terjadi. Faktor terakhir

adalah jumlah stressor yang dialami individu dalam masa

tertentu karena kejadian yang menimbulkan stres mungkin

lebih sulit diatasi apabila terjadi beberapa kali dalam waktu

berdekatan.

2.1.3.5 Penilaian Terhadap Stressor

Menurut Stuart (2016) mengemukakan bahwa penilaian

terhadap stressor melibatkan penetapan makna dan pemahaman


42

tentang dampak dari suatu situsi yang menimbulkan stres pada

individu. Hal ini termasuk respon kognitif, afektif, fisiologis,

perilaku, dan sosial. Penilaian adalah suatu evaluasi tentang

kemaknaan suatu peristiwa terkait dengan kesejahteraan

seseorang.

a. Respons Kognitif

Respon kognitif merupakan bagian penting dari model ini.

Faktor kognitif memainkan peran sentral dalam adaptasi.

Faktor-faktor yang dianggap berdampak pada kejadian yang

dapat menimbulkan stres, pilihan pola koping yang digunakan,

reaksi emosional, fisiologis, perilaku, dan sosial.

Penilaian kognitif memediasi secara fisiologis antara

manusia dan lingkungan pada setiap menghadapi stres. Kondisi

ini berarti bahwa kerusakan atau potensi kerusakan dari suatau

situasi yang dapat membahayakan serta ketersediaan sumber

yang dimiliki seseorang untuk menetralisir atau mentoleransi

bahaya. Tiga jenis respons kognitif terhadap stres adalah

sebagai berikut:

1) Bahaya atau kehilangan yang sudah terjadi.

2) Ancaman tentang antisipasi bahaya atau bahaya yang akan

terjadi.

3) Tantangan yang lebih berfokus pada potensi pertumbuhan,

atau penguasaan daripada resiko yang mungkin terjadi.


43

b. Respons Afektif

Respon afektif adalah suatau perasaan yang muncul pada

penilaian stressor, respons afektif yang utama adalah reaksi

gembira, sedih, takut, marah, menerima, tidak percaya,

antisipasi atau takjub.

c. Respon Fisiologis

Respon fisiologis mereflesikan interaksi dari beberapa

akses neuroendokrin yang melibatkan pertumbuhan hormon

prolaktin, hormon adrenokortikotropik (ACTH), hormon

luteinizing, hormon stimulasi folikel, hormon stimulasi tiroid,

vasopressin, oksitosin, insulin dan berbagai neurotransmiter

lain diotak. respon fisiologis fight or fight menstimulasi divisi

simpatetik saraf otonom dan meningkatkan aktifitas aksis

pituitari adrenal. Stres dibuktikan dapat mempengaruhi

sistem kekebalan tubuh, sehingga mempengaruhi seseorang

untuk melawan penyakit.

d. Respon Perilaku

Respons perilaku adalah sebagai hasil dari respons

fisiologis dan emosional, begitu juga analisis kognitif dari

suatu situasi yang menimbulkan stres.


44

e. Respons Sosial

Respon sosial adalah respons yang memungkinkan

ditampilkan terhadap stres dan penyakit cukup banyak dan

dibagi pada tiga aktifitas, yaitu:

1) Mencari makna, individu mencari infirmasi tentang

masalah mereka. Hal ini diperlukan untuk menyiapkan

strategi koping, karena dengan hanya memiliki pandangan

tentang apa yang terjadi, seseorang dapat merespon

dengan tepat.

2) Atribusi sosial, seseorang mencoba untuk mengidentifikasi

faktor-faktor yang berkontribusi pada situasi. Klien yang

melihat masalah mereka sebagai akibat dari pengabaian

mereka sendiri kemungkinan “menghambat” penggunaan

koping yang tepat. Seseorang cendrung melihat masalah

mereka sebagai tanda dari kegagagalan pribadi mereka

dan menyalahkan diri sendiri serta berperilaku pasif,

pesimis, dan menarik diri.

3) Perbandingan sosial, di mana orang membandingkan

keterampilan dan kapasitas dengan orang lain dengan

mempunyai masalah yang sama. Pengkajian diri seseorang

sangat tergantung pada hal-hal yang mereka bandingkan.


45

2.1.3.6 Fisiologi Stres

Stres fisik atau emosional mengaktivasi amygdala yang

merupakan bagian dari sistem limbik yang berhubungan dengan

komponen emosional dari otak. Respon emosional yang timbul

ditahan oleh input dari pusat yang leih tinggi diforebrain.

Respon neurologis dari amygdala ditransmisikan dan

menstimulasi respon hormonal dari hipotalamus. Hipotalamus

akan melepaska hormon Corticotropin-releasing Factor (CRF)

yang menstimulasi hipofisis melepaskan hormon lain yaitu

Adrenocorticotropic hormone (ACTH) kedalam darah.

Adrenocorticotropic hormone (ACTH) sebagai gantinya

menstimulasi kelenjar adrenal untuk menghasilkan kortisol,

suatu kelenjar kecil yang berada diatas ginjal. Semakin berat

tingkat stress, kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol

semakin banyak dan menekan sistem imun.

Hipotalamus secara stimultan, bekerja secara langsung

pada sistem otonom untuk merangsang respon yang segera

terhadap stress. Sistem otonom sendiri, jangka pendek, dan satu

respon hormonal diperlukan dalam menjaga keseimbangan

tubuh. Sistem otonom terbagi menjadi dua sistem yaitu simpatis

dan parasimpatis, sistem simpatis bertanggung jawab terhadap

adanya stimulasi dan stress reaksi yang timbul berupa

peningkatan denyut jantung, nafas cepat, penurunan aktivitas


46

gastrointestinal, sementara sistem parasimpatis membuat tubuh

kembali dalam keadaan istirahat memulai penurunan denyut

jantung, perlambatan pernafasan, meningkatkan aktivitas

gastrointestinal. Perangsang yang berkelanjutan terhadap sistem

simpatis menimbulkan respon stress berulang-ulang dan

menempatkan sistem otonom pada ketidakseimbangan.

Keseimbangan antara kedua sistem ini sangat penting bagi

kesehatan tubuh, dengan demikian tubuh dipersiapkan untuk

melawan atau reaksi menghindar melalui satu mekanisme

rangkap: satu respon saraf, jangka pendek, dan satu respon

hormonal yang bersifat lebih lama.

2.1.3.7 Reaksi Terhadap Stres

Menurut Walter Canon (dalam Manurung 2016). Terdapat 2

reaksi terhadap stress, yaitu:

1) Aspek fisiologis

Aspek ini memberika n deskripsi mengenai bagaimana

reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam

reaksi ini sebagai fight-or-fight response karena respon

fisiologis mempersiapkan individu untuk mengahadapi atau

menghindari situasi yang mengancam tersebut. Reaksi ini

juga menyebabkan individu dapat berespon dengan cepat

terhadap situasi yang mengancam.


47

Menurut Selye dalam sarafino (2008), mempelajari

akibat yang diproleh bila stressor terus menerus muncul

serta mengembangkan istilah General Adaption Syndrome

(GAS) yang terdiri atas rangkaian terhadap reaksi fisiologis

terhadap stressor, yaitu:

a) Fase Reaksi yang mengejutkan (alarm reaction) pada

fase ini individu secara fisiologis merasakan adanya

ketidasesuaian seperti jantung berdegup, keluar keringat

dingin, muka pucat, leher tegang, nadi bergerak cepat

dan sebagaianya. Fase ini merupakan pertanda awal

orang terkena stres.

b) Fase perlawanan (Stage of Resistence) pada fase ini

tubuh membuat mekanisme perlawanan pada fase stres,

sebab pada tingkat tertentu stres akan membahayakan.

Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres

dibiarkan berlarut-larut. Tubuh selama masa perlawanan

harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena

tubuh sedang melakukan kerja keras.

c) Fase keletihan (Stage of Exhaustion) fase disaat orang

sudah tak mampu lagi melakukan perlawanan.


48

Seseorang akan masuk kefase yang lebih parah

apabila sampai pada fase ini adalah penyakit yang dapat

menyerang bagian-bagian tubuh yang lemah.

2) Aspek Psikologis

Reaksi Psikologis terhadap stressor meliputi:

a) Kognis cohen menyatakan bahwa stres dapat

melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktifitas

kognitif.

b) Emosi cendrung terkait stres, individu sering

menggunakan keadaan emosionalnya, reaksi emosional

terhadap stress yaitu: rasa takut, phobia, kecemasan,

depresi, perasaan sedih dan marah.

c) Perilaku sosial stres dapat mengubah perilaku individu

terhadap oranglain. Individu dapat berperilaku individu

terhadap orang lain. Individu dapat berperilaku menjadi

positif dan negatif.

2.1.3.8 Tahapan Stres

Menurut Dr.Robert J.Van Amberg (1979) dalam Hawari

(2001) gejala-gejala stres pada diri seseoang seringkali tidak

disadari karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara

lambat.
49

Gejala baru dirasakan apabila tahapan gejala sudah lanjut dan

menganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik dirumah,

ditempat kerja ataupun dipergaulan lingkungan sosialnya, terdapat

tahapan-tahapan stres yaitu:

1) Stres Tahap 1

Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan,

dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai

berikut:

a) Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting).

b) Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya.

c) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih biasanya,

namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan (all out)

disertai rasa gugup yang berlebihan.

d) Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin

bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi

semakin menipis.

2) Stres Tahap II

Dalam tahapan ini dampak stres yang semula

“menyenangkan” sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas

mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang

disebabkan karena cadangan energi tidak cukup waktu untuk

beristirahat. Lakukan istirahat dengan tidur yang cukup dengan

tidur yang cukup bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan


50

cadangan energi yang mengalami defisit. Analogi dengan hal

ini adalah misalnya handphone (HP) yang sudah lemah harus

kembali diisi ulang (charger) agar dapat digunakan lagi

dengan baik. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh

seseorang yang berada pada stress tahap II adalah sebagai

berikut:

1) Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya

merasa segar.

2) Merasa sudah lelah sesudah makan siang.

3) Lekas letih menjelang sore hari.

4) Sering mengeluh sakit lambung atau perut tidak nyaman

(bowel discomfort).

5) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-

debar).

6) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang.

7) Tidak bisa santai dalam melakukan sesuatu.

3) Stres Tahap III

Seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya

tanpa menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan

pada stress tahap II tersebut diatas, maka yang bersangkutan

akan menunjukkan keluhan keluhaan yang semakin nyata dan

menganggu, yaitu:
51

a) Gangguan lambung dan usus semakin nyata: misalnya

keluhan maag (gastritis), buang air besar tidak teratur.

b) Ketegangan otot-otot semakin nyata.

c) Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional

semakin meningkat.

d) Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk

mulai masuk tidur (early insomnia), atau terbangun tengah

malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau

bangun terlalu pagi/dini hari dan tidak dapat untuk tidur

kembali (late insomnia).

e) Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong dan serasa

mau pingsan). Seseorang pada tahaapan ini sudah harus

berkonsultasi kedokter untuk memperoleh terapi, atau juga

bebaan stress hendaknya dikurangi dan tubuh memproleh

kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai

energi yang mengalami defisit.

4) Stres Tahap IV

Seseorang pada waktu memeriksakan diri kedokter

sehubung dengan keluhan-keluhan stres tahap III diatas, oleh

dokter dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-

kelainan fisik pada organ tubuhnya. Seseorang yang

bersangkutan apabila terus memaksakan diri untuk bekerja


52

tanpa mengenal istirahat, maka gejala tahap stres muncul,

yaitu:

a) Bertahan sepanjang hari saja sudah teramat sulit.

b) Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan

c) dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa

lebih sulit.

d) Semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan

kemampuan untuk merespon secara memadai (adequate).

e) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin

sehari-hari.

f) Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang

menegangkan.

g) Seringkali menolak ajakan (negativism) karena tidak ada

semangat dan gairah.

h) Daya konsentrasi dan daya ingat menurun.

i) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat

dijelaskan apa penyebabnya.

5) Stres Tahap V

Seseorang yang mengalami stres berlanjut akan

menimbulkan itu akan jatuh dalam stres tahap V yang ditandai

dengan hal-hal sebagai berikut:


53

a) Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam

(Physical and Phychological Exhaustion).

b) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-

hari yang ringan dan sederhana.

c) Gangguan sistem pencernaan semakin berat

(gastrointestinal disorder).

d) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin

meningkat, mudah bingung dan panik.

6) Stress Tahap VI

Tahapan ini merupakan tahapan akhir, seseorang

mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut

mati. Orang yang mengalami stress tahap VI ini berulang-

ulang kali dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD), meskipun

pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan

fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai

berikut:

a) Debaran jantung teramat keras.

b) Susah bernafas (sesak dan megap-megap).

c) Sekujur badan terasa gemetar, dingin, keringat bercucuran.

d) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan.

e) Pingsan atau kolaps (collapse)


54

Seseorang daalam fase ini apabila dikaji maka keluhan

atau gejala-gejala sebagaimana digambarkan diatas lebih

didominasi oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh

sebagai akibat stressor psikososial yang melebihi kemampaun

seseorang untuk mengatasinya.

2.1.3.9 Dampak Stress

Menurut Safarino (2008) dalam Manurung (2016) stres

dapat berpengaruh pada kesehatan dengan dua cara pertama,

perubahan yang diakibatkan oleh stres secara langsung

mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi

kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi

perilaku individu sehingga menyebabkan timbulnya penyakit

atau memperburuk kondisi yang sudah ada. Kondisi dari stres

memiliki dua aspek: fisik/biologis (melibatkan materi atau

tantangan yang menggunakan fisik) dan psikologis (melibatkan

bagaimana individu memandang situasi dalam hidup mereka).

a. Aspek Biologis

Gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang sedang

mengalami stres, diantaranya adalah sakit kepala yang

berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak, gangguan

pencernaan hilangnya nafsu makan, gangguan kulit, dan

produksi keringat yang berlebihan diseluruh tubuh.


55

b. Aspek Psikologis

Gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang sedang

menjalani stres terbagi menjadi 3, yaitu: kognisi, gejala

emosi, dan gejala tingkah laku.

2.1.3.10 Langkah-Langkah Menghadapi Stress

Cara yang dilakukan untuk menghadapi stres dapat

dilakukan berbagai cara, yaitu dengan mereduksi

(mengurangi) tingkat stres dan mengelolanya. Menurut

Atwater (1963) dalam Hidayat (2009) cara yang dilakukan

umumnya untuk mereduksi stres adalah:

a. Mekanisme Pertahanan Diri (Self Defence mechanism)

Proses psikologis yang termotivasi secara defensif.

Mekanisme pertahanan diri terjadi secara otomatis dan

dilakukan secara tidak disadari untuk menjadi cara

mengurangi stres. Contoh mekanisme pertahanan diri

adalah represi (menekan ingatan ke alam tak sadar),

rasionalisme, proyeksi, sublimasi, fantasi, dan sebagainya.

b. Mekanisme pengendalian diri (Coping Mechanism)

Mekanisme ini merupakan cara-cara yang digunakan

untuk beradaptasi terhadap stres. Mekanisme pengendalian

diri mencakup keseluruhan kemampuan individu untu k

menghadapi stres, pengubahan tingkah laku sehingga


56

menjadi lebih adaptif, mengubah cara berpikir, cara

bertindak.

2.1.3.11 Tingkatan Stres

Menurut Potter & Perry (dalam Wulandari 2012)

menjelaskan perbedaan antara tingkatan stres ringan, sedang dan

berat.

a. Stres Ringan

Stres ringan adalah stres yang dihadapi secara

teratur, biasanya dirasakan setiap individu, misalnya lupa,

banyak tidur, kemacetan dan kritikan. Fase ini seseorang

mengalami peningkatan kesadaran dan lapang persepsinya.

Stres dalam fase ini biasanya berakhir dalam beberapa menit

atau jam dan tidak menimbulkan penyakit kecuali jika

dihadapi secara terus-menerus.

b. Stres Sedang

Stres sedang adalah stres yang terjadi lebih lama, dari

beberapa jam sampai hari. Fase ini ditandai dengan

kewaspadaan, fokus pada indra penglihatan dan pendengaran,

peningkatan ketegangan dalam batas toleransi, dan mampu

mengatasi situasi yang dapat mempengaruhi dirinya.

c. Stres Berat

Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa

minggu sampai tahun. Semakin sering dan situasi stres,


57

semakin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan. Hal

tersebut terjadi karena pada tahap ini individu tidak mampu

menggunakan koping yang adaptif, tidak mampu melakukan

kontrol aktifitas fisik dalam jangka waktu yang lama, dan

sulit fokus pada suatu hal terutama dalam memecahkan

masalah.

2.1.3.12 Alat Ukur Tingkat Stres

Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat

sedangnya stres yang dialami seseorang. Tingkatan stres ini bisa

diukur dengan banyak skala. Depression Anxiety Stres Scale 42

(DASS 42). Psycometric Propeties of The Depression Anxiety

Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42 item. DASS adalah

seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur

status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres.

DASS 42 dibentuk tidak hanya mengukur secara konvensional

mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut

untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku

dimanapun dari status emosional, secara signifikan biasanya

digambarkan sebagai stres (Lovibond, 2015).


58

2.1.3.13 Teori Pondok Pesantren

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 18

Tahun 2014. Tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada

Pondok Pesantren.

a. Bab I Ketentuan Umum. Peraturan Menteri ini yang

dimaksud dengan:

1) Satuan pendidikan muadalah pada pondok pesantren

yang selanjutnya disebut satuan pendidikan muadalah

adalah satuan pendidikan keagamaan Islam yang

diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren

dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan

pesantren dengan basis kitab kuning atau dirasah

islamiyah dengan pola pendidikan muallimin secara

berjenjang dan terstruktur yang dapat disetarakan

dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah di

lingkungan Kementerian Agama.

2) Pendidikan keagamaan Islam adalah pendidikan yang

mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan

peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan

tentang ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu

agama Islam dan mengamalkan ajaran agama Islam.


59

3) Kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab

yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di

pesantren.

4) Dirasah islamiyah adalah kumpulan kajian tentang ilmu

agama Islam yang tersusun secara sistematik, terstruktur,

dan terorganisasi (madrasy).

5) Pola pendidikan mu’allimin adalah sistem pendidikan

pesantren yang bersifat integratif dengan memadukan

ilmu agama Islam dan ilmu umum dan bersifat

komprehensif dengan memadukan intra, ekstra dan

kurikuler.

6) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan

mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran, dan cara yang

digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

7) Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian,

penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap

berbagai komponen pendidikan pada pendidikan diniyah

dan pesantren sebagai bentuk pertanggungjawaban

penyelenggaraan pendidikan.
60

b. Pasal 2 Penyelenggaraan satuan pendidikan muadalah

bertujuan untuk:

1. Menanamkan kepada peserta didik untuk memiliki

keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wa

Ta’ala (SWT).

2. Mengembangkan kemampuan, pengetahuan, sikap dan

keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu

agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan menjadi muslim

yang dapat mengamalkan ajaran agama Islam dalam

kehidupannya sehari-hari.

3. Mengembangkan pribadi akhlakul karimah bagi peserta

didik yang memiliki kesalehan individual dan sosial

dengan menjunjung tinggi jiwa keikhlasan,

kesederhanaan, kemandirian, persaudaran sesama umat

Islam (ukhuwah Islamiyah), rendah hati (tawadhu),

toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), moderat

(tawasuth), keteladanan (uswah), pola hidup sehat, dan

cinta tanah air.


61

2.2 Jurnal Terkait

No Nama Peneliti Judul Penelitian Metode Hasil penelitian

penelitian

1. Yuni Shelma dan Intensitas Belajar Deskriptif Tidak terdapat hubungan


Arfiza Ridwan Dengan Tingkat korelatif dengan antara intensitas belajar
Stres Pada Siswa pendekatan Cross dengan tingkat stres pada
Pesantren, JIM Sectional Study siswa pondok pesantren (p
FKEP Vol.III No.3 dengan teknik value =0,47), selanjutnya
2018. pengambilan bila dilihat dari
sampel yaitu subvariabel didapatkan
Proportional tidak terdapat hubungan
Random motivasi (p value =0,86),
Sampling. durasi kegiatan
(p value=0,43), frekuensi
kegiatan (p value=0,26),
arah sikap (p value=0,81),
minat (p value=0,47)
dengan tingkatan stres.

2. Ahsan dan Ahofi Hubungan Antara Observasional Nilai korelasi sebesar -


Khaqul Ilmy Pemenuhan Tugas analitik dengan 0,519. Antara pemenuhan
Perkembangan desain cross tugas perkembangan
Emosional Dengan sectional dengan emosional dengan tingkat
Tingkat Stress Pada teknik sampling stress pada remaja SMA
Remaja, J.K stratified random Negri 1 Sumber Pucung
Mencephalon, sampling. dengan tingkat korelasi
Vol.3 No.3, April sedang dan hubungan
2018. yang terbalik.

3. Elly Ghofiniyah Hubungan antara Kuantittatif Ada hubungan yang


dan Erni Agustina kematanagan emosi koreasional signifikan antara
Setiowati. dan keterampilan menggunkan kematangan emosi dengan
sosial dengan simple random penyesuaian diri dengan
penyesuaian diri sampling. mengontrol variabel
pada santri pondok keterampilan sosial
pesantren Daar Al- dengan penyesuaian diri
Furqon kudus dengan mengontrol
Vol.12 (1) 2017, 1- kematangan emosi.
6 ISSN: 1907-8455
62

No Nama Peneliti Judul Penelitian Metode Hasil penelitian

penelitian

4. María Guadalupe, stres pada Siswa Studi Cross Sebagian besar siswa
et.al SMA: Studi Sectional melaporkan tingkat stres
Deskriptif menggunakan normal (54%) atau lebih
Vol 1 issue 1. cluster sampling. rendah (39%), tetapi
Sampel adalah wanita melaporkan tingkat
335 siswa sekolah stres yang lebih tinggi
menengah antara secara signifikan daripada
usia 15 dan 19 pria (p <0,05).
tahun di ENMS di
Guanajuato,
Meksiko.

5. Nayereh Siswa menghadapi Metode Siswa sekolah menengah


shahmohammadi Stres di tingkat pengambilan yang tertekan adalah
sekolah menengah sampel yang 26,1%. Tingkat sepuluh
terutama pada digunakan di sini stresor teratas di antara
tanggal 11 adalah siswa takut tidak
& kelas 12 pengambilan mendapatkan tempat di
sampel bertingkat. pendidikan tinggi, ujian,
terlalu banyak konten
untuk dipelajari, kesulitan
dalam memahami subjek
yang telah dipelajari,
terlalu banyak pekerjaan
rumah, dan jadwal sekolah
terlalu padat. Semua stres
terkait dengan masalah
akademik.
63

2.3 Kerangka Teori

Faktor-faktor yang mempengaruhi


adaptasi: Presdiposisi
1. Faktor Kondisi Fisik
- Keturunan 1. Biologis
- Kesehatan 2. Fisiologis
- Bentuk tubuh 3. Sosial
2. Faktor Perkembangan dan Budaya
Kematangan.
Adaptif
- Perkembangan intelektual
- Sosial
- Moral
- Kematangan emosional tres Tingkat Stres Kemampuan
3. Faktor Psikologis Individu Beradaptasi
- Faktor-faktor pengalaman
individu
- Frustasi dan konflik yang
dialami. Maladaptif
4. Faktor Lingkungan. Presipitasi
- Kondisi keluarga
1. Sifat
- Kondisi rumah
2. Asal
- Kondisi lingkungan baru
3. Waktu
5. Faktor Budaya
4. Jumlah
- Adat istiadat
- Agama

Gambar 2.3 KerangkaTeori

Sumber: Agustiani (2009), Callista Roy (dikutip oleh Nursalam, 2007), Stuart
(2016), Ali (2011).
64

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan penjelasan tentang konsep-konsep yang

terkandung didalam asumsi teoritis yang akan digunakan untuk

mengabstraksikan (mengistilahkan) unsur-unsur yang terkandung didalam

fenomena yang akan diteliti dan bagaimana hubungan diantara konsep-

konsep tersebut (Dharma, 2011).

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Stres Kemampuan Beradaptasi

Gambar 2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini akan menghubungkan antara variabel

independen dan variabel dependen yaitu Hubungan Tingkat Stres Dengan

Kemampuan Beradaptasi Pada Remaja Kelas VII.


65

2.5 Definisi Operasional


Variabel Definisi Operasional Alat dan Hasil Ukur Skala
Cara Ukur Ukur

Variabel Respon diri atau Individual Hasil ukur Ordinal


Dependen tingkah laku seseorang Adaptability kemampuan
Kemampuan yang (I-ADAPT) beradaptasi dengan
Beradaptasi menggambarkkan Teori Robert cut off point by
respon diri seseorang E. Ployhart mean dapat dinilai
yang meliputi respon- dan Paul D. berdasarkan skor
respon mental, dan Bliese: dibawah ini:
tingkah laku yang dengan 1. Jika skor < 59
merupakan usaha kuesioner 55 maka disebut
individu. item adaptif
menggunaka 2. Jika skor > 59
n skala likert Maka di sebut
0 = sangat maladaptif
tidak setuju
1 = tidak
setuju
2 = setuju
3 = sangat
setuju

Variabel Tingkatan tekanan Kuisioner Hasil ukur Ordinal


Independen didalam diri seseorang Anxiety Stres penilaian tingkatan
Tingkat Stres yang menggambarkan Scale 42 stres dengan cut off
sedang beratnya stres (DASS) terdir point by mean
yang dialaminya. i dari 14 dapat dinilai
Tingkatan ini akan item dengan berdasarkan skor
mengukur dari 3 menggunaka dibawah ini:
aspek, yaitu: Aspek n skala likert. 1. Jika skor < 35
Kognitif, Aspek 0 = sangat maka disebut
Afektif, Aspek tidak setuju. Tingkat Stres
Psikomotor. 1 = tidak Sedang.
setuju 2. Jika skor > 35
2 = setuju Maka di sebut
3= sangat Tingkat Stres
setuju Berat.

Karakteristik

1. Usia Usia responden pada Kuesioner 1. 13 tahun Interval


saat penelitian 2. 14 tahun
dilakukan. 3. 15 tahun

2. Jenis Jenis kelamin Kuesioner 1. laki-laki Nominal


Kelamin responden pada saat 2.perempuan
penelitian dilakukan. 1.
66

Variabel Definisi Operasional Alat dan Hasil Ukur Skala


Cara Ukur Ukur

Suku asal responden


2. Kuesioner 1. Jawa Nominal
3. Suku yang dimana 2. Sunda
Budaya didalamnya memiliki 3. Sumatera
nilai kebudayaan 4. Dll
tertentu.

4. Perkem Nilai akhir prestasi Kuesioner 1. Sangat baik Ordinal


bangan akademik yang (85-100)
belajar diperoleh oleh siswa 2. Baik (75-84)
semester bagaimana evaluasi 3. Cukup (65-74)
ganjil dan pembelajaran sehari-hari. 4. Kurang (55-64)
genap

2.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari pertanyaan penelitian.

Hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variable, yaitu

variabel bebas dan variable terikat yang berfungsi untuk menentukan ke arah

pembuktian (Notoatmodjo, 2012). Berdasarkan kerangka konsep, maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.6.1 Ha: Ada Hubungan Antara Tingkat Stres Dengan Kemampuan

Beradaptsi Pada Remaja Kelas VII Di SMPIT Pondok Pesantren An-

Nuqthah Kota Tangerang.

Anda mungkin juga menyukai