Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Judul
1. Penetapan bilangan asam
2. Bilangan ester
3. Penetapan bilangan penyabunan
4. Penetapan bilangan iodium
5. Pengujian kadar minyak/lemak menggunakan cara soxhlet
6. Penetapan asam lemak bebas
7. Penetapan alkali bebas
8. Penetapan alkali total
9. Kadar lemak bebas yang tidak tersabunkan
10. Penetapan kadar zat pemberat/pengisi (fillers)

1.2 Tujuan
1. Menghitung banyaknya kadar asam lemak bebas didalam lemak/minyak.
2. Menentukan banyaknya asam lemak yang teresterkan pada gliserol didalam
lemak/minyak
3. Menentukan banyaknya total asam lemak yang bebas dan teresterkan dengan
lemak/minyak
4. Menentukan kadar ikatan tidak jenuh (ikatan rangkap) dalam rantai hidrokarbon pada
lemak/minyak
5. Menentukan kadar minyak/lemak pada bahan tekstil dari segala jenis serat/kain
6. Menentukan kadar asam lemak bebas didalam sabun yang tidak tersabunkan pada saat
pembuatan sabun
7. Menetapkan kadar alkali bebas didalam sabun yang tidak bereaksi pada pembentukan
sabun
8. Menetapkan kadar alkali total didalam sabun sebagai jumlah alkali bebas dan alkali terikat
9. Menentukan banyaknya lemak yang tidak tersabunkan apabila hasil analisa lemak tidak
tersabunkan >3%
10. Menetapkan kadar zat pemberat/pengisi didalam sabun
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan
minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa
lemak dan minyak merupakan ester yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan asam lemak
dan gliserol. Lemak merupakan jenis trigliserida yang dalam kondisi suhu ruang berwujud
padat, sedangkan minyak berwujud cair pada suhu ruang.
Menurut Sediaoetama (1985), lemak dan minyak merupakan suatu kelompok dari golongan
lipid. Lipid sendiri merupakan golongan senyawa organik yang tidak larut dalam air, tetapi
larut dalam pelarut nonpolar, seperti dietil eter, benzena, kloroform, dan heksana. Karena
tergolong dalam lipid, maka lemak dan minyak dapat larut juga dalam pelarut-pelarut nonpolar
seperti tersebut di atas. Kelarutan lemak dan minyak terhadap pelarut nonpolar tersebut
dikarenakan lemak dan minyak mempunyai kepolaran yang sama dengan pelarut tersebut,
yaitu nonpolar. Namun, kepolaran suatu senyawa dapat berubah akibat proses kimiawi.
Contohnya adalah apabila asam lemak dalam larutan KOH, maka asam lemak akan berada
dalam keadaan terionisasi dan menjadi lebih polar dibanding keadaan asalnya, sehingga
memungkinkan asam lemak ini larut dalam air. Perubahan kepolaran ini dapat dinetralkan
kembali dengan penambahan asam sulfat encer (10 N) sehingga asam lemak dapat kembali
ke keadaan semula yang tidak larut di air melainkan di pelarut nonpolar.
Menurut Poejiadi (1994), penggolongan lemak dan minyak dapat dibedakan berdasarkan
empat hal. Pertama, berdasarkan kejenuhannya. Asam lemak jenuh adalah asam lemak yang
rantai hidrokarbonnya terdapat ikatan tunggal. Asam lemak jenuh biasanya mempunyai rantai
zig-zag yang sesuai satu dengan yang lain, sehingga gaya tarik van der Waals nya tinggi.
Akibat gaya tarik yang tinggi itu, maka biasanya asam lemak jenuh berwujud padat.
Sebaliknya, asam lemak tak jenuh mempunyai satu ikatan rangkap pada rantai
hidrokarbonnya. Asam lemak yang mempunyai lebih dari satu ikatan rangkap pada rantai
hidrokarbonnya biasanya terdapat pada tumbuhan dan disebut trigliserida tak jenuh ganda
atau polyunsaturated yang cenderung berwujud cair seperti minyak. Contoh asam lemak
jenuh adalah asam butirat, asam palmitat, dan asam stearat. Contoh asam lemak tak jenuh
adalah asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat.
Kedua, berdasarkan sifat mengeringnya. Klasifikasi ini terutama untuk minyak. Ada jenis
minyak yang tidak mengering (non-drying oil). Biasanya minyak yang tidak mengering ini
termasuk tipe minyak zaitun (contoh: minyak zaitun dan minyak kacang), tipe minyak rape
(contoh: minyak mustard), dan tipe minyak hewani (contoh: minyak sapi). Ada jenis minyak
yang setengah mengering (semi-drying oil). Minyak ini mempunyai daya mengering yang
lebih lambat, contohnya minyak biji kapas dan minyak bunga matahari. Ada juga minyak yang
mengering (drying oil). Minyak ini dapat mengering jika terkena reaksi oksidasi dan dapat
berubah menjadi lapisan tebal yang kental dan membentuk seperti selaput apabila dibiarkan
di udara terbuka. Contohnya minyak kacang kedelai dan minyak biji karet.
Ketiga, berdasarkan sumbernya. Ada yang berasal dari tanaman (lemak dan minyak nabati),
yang umumnya berasal dari biji-biji palawija (contohnya minyak jagung), kulit buah tanaman
tahunan (contohnya minyak kelapa sawit), dan biji-biji tanaman tahunan (contohnya minyak
kelapa). Ada pula yang berasal dari hewan (lemak dan minyak hewani), yang umumnya
berasal dari susu hewan peliharaan, daging hewan peliharaan, serta dari hasil laut (contohnya
minyak ikan). Keempat berdasarkan kegunaannya. Penggolongan ini juga terutama untuk
minyak. Secara umum dibagi tiga golongan, yaitu minyak mineral (minyak bumi) yang
digunakan sebagai bahan bakar, minyak nabati atau hewani untuk bahan makanan manusia,
serta minyak atsiri (essential oil) untuk obat-obatan. Minyak atsiri ini mudah menguap pada
suhu ruang sehingga sering disebut minyak terbang.
Menurut Poejiadi (1994), lemak dan minyak juga memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan
pertama adalah ditinjau dari ikatan rangkap asam lemaknya. Pada lemak, asam lemaknya
memiliki sedikit ikatan rangkap (asam lemak jenuh), sedangkan pada minyak, asam lemaknya
memiliki banyak ikatan rangkap (asam lemak tak jenuh). Kedua ditinjau dari titik lelehnya.
Lemak memiliki titik leleh tinggi, sedangkan minyak memiliki titik leleh rendah. Ketiga ditinjau
dari wujudnya. Lemak biasanya berwujud padat pada suhu ruang, sedangkan minyak
berwujud cair pada suhu ruang. Keempat ditinjau dari sumbernya. Lemak umumnya berasal
dari hewan, sedangkan minyak umumnya dari tumbuhan. Terakhir ditinjau dari reaktifitasnya.
Lemak biasanya kurang reaktif sehingga tidak mudah tengik. Sedangkan minyak karena
memiliki ikatan rangkap pada asam lemaknya, maka lebih reaktif dan menyebabkan mudah
tengik.
Menurut Poejiadi (1994), lemak dan minyak dikatakan memiliki sifat-sifat fisik dan kimia
tertentu. Adapun sifat-sifat fisik lemak dan minyak antara lain:

1. Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.
2. Massa jenis lemak dan minyak umumnya ditentukan pada temperatur kamar.
3. Indeks bias minyak dan lemak digunakan pada pengenalan unsur kimia dan pengujian
kemurnian minyak dan lemak.
4. Minyak dan lemak tidak larut dalam air, kecuali minyak jarak (coaster oil). Minyak dan
lemak sedikit larut dalam alkohol dan larut sempurna dalam dietil eter, karbon disulfida,
dan pelarut halogen.
5. Titik didihnya meningkat seiring bertambah panjangnya rantai hidrokarbon dari asam
lemak penyusunnya.
6. Rasa pada lemak dan minyak selain terdapat secara alami, juga terjadi karena asam-
asam yang berantai sangat pendek sebagai hasil penguraian pada kerusakan minyak
atau lemak.
7. Titik kekeruhannya dapat ditetapkan dengan cara mendinginkan campuran lemak dan
minyak dengan pelarut lemak.
8. Titik lunak dari lemak dan minyak ditetapkan untuk mengidentifikasikan minyak dan
lemak.
9. Temperatur yang terjadi saat tetesan pertama dari minyak dan lemak disebut shot melting
point.

Emulsi merupakan suatu campuran yang tidak stabil dari dua cairan yang pada dasarnya
tidak saling bercampur. Seperti telah kita ketahui, bahwa minyak dan air tidak dapat larut.
Namun apabila minyak dan air dikocok dengan keras, maka akan terbentuk emulsi. Menurut
Suharsono (1970), emulsi yang terbentuk dari minyak dan air ini tidak stabil sehingga apabila
dibiarkan dalam beberapa waktu akan terjadi pemisahan kembali antara minyak dan air.
Untuk menstabilkan emulsi yang terbentuk, diperlukanlah suatu zat pengemulsi (emulsifying
agent) atau yang biasa disebut emulsifier atau emulgator. Beberapa contoh zat pengemulsi
antara lain gelatin, pektin, stearil alkohol, bentonit, dan zat surfaktan. Zat pengemulsi ini
strukturnya bersifat amfifilik karena memiliki molekul-molekul yang terdiri dari bagian
hidrofobik (oleofilik) dan hidrofilik (oleofobik). Dalam emulsi, terdapat fase terdispersi yang
dianggap sebagai fase dalam dan medium dispersi yang disebut sebagai fase luar. Emulsi
yang mempunyai minyak sebagai fase dalam dan air sebagai fase luar disebut emulsi minyak
dalam air dan ditulis emulsi “m/a”. Demikian pula berlaku sebaliknya. Fase luar dari suatu
emulsi bersifat kontinyu, suatu emulsi minyak dalam air diencerkan atau ditambah air atau
suatu preparat dalam air.
Kualitas dan sifat dari suatu sampel lemak dan minyak dapat ditentukan melalui serangkaian
uji laboraturium. Tiap ui yang dilakukan menunjukkan sifat tertentu dari sampel. Adapun
analisa lemak dan minyak yang umum dilakukan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok
berdasarkan tujuan analisanya.
Menurut Sudarmadji (1989), ketiga kelompok tersebut adalah:
1. Penentuan kualitatif, yaitu penentuan kadar lemak dan minyak yang terdapat dalam bahan
makanan atau bahan pertanian.
2. Penentuan kualitas minyak sebagai bahan makanan, yang berkaitan dengan proses
ekstraksinya, atau ada pemurnian lanjutan, misalnya penjernihan (refining), penghilangan
bau (deodorizing), dan penghilangan warna (bleaching). Penentuan tingkat kemurnian
minyak ini sangat erat kaitannya dengan daya tahannya selama penyimpanan, sifat
gorengnya, baunya, maupun rasanya. Tolak ukur kualitas ini adalah angka asam lemak
bebasnya (free fatty acid atau FFA), angka peroksida, tingkat ketengikan, dan kadar air.
Penentuan sifat fisik dan kimia yang khas atau mencirikan sifat minyak tertentu. Data ini
dapat diperoleh dari angka iodin, angka Reichert-Meissel, angka polenske, angka krischner,
angka penyabunan, indeks refraksi titik cair, angka kekentalan, titik percik, komposisi asam-
asam lemak, dan sebagainya.

Standar Mutu Minyak Goreng


KRITERIA UJI SATUAN SYARAT

Keadaan bau, warna dan Normal


-
rasa
Air % b/b Maks 0.30

Asam lemak bebas (dihitung Maks 0.30


% b/b
sebagai asam laurat)
Sesuai SNI. 022-M dan Permenkes
Bahan Makanan Tambahan No. 722/Menkes/Per/IX/88
Cemaran Logam :
- besi (Fe) Maks 1.5
- tembaga (Cu) Mg/kg Maks 0.1
- raksa (Hg) Mg/kg Maks 0.1
- timbal (Pb) Mg/kg Maks 40.0
- timah (Sn) Mg/kg Maks0.005
- seng (Zn) Mg/kg Maks
Mg/kg 40.0/250.0)*

Arsen (As) % b/b Maks 0.1

Angka Peroksida % mg 02/gr Maks 1

Catatan * Dalam kemasan kaleng

Begitu banyak jenis minyak yang beredar di pasaran saat ini. Di antaranya minyak bermerek,
minyak kelapa sawit, minyak curah dan lain-lain.Dari segi kandungan, minyak curah kadar
lemaknya lebih tinggi dan juga kandungan asam oleat dibanding minyak kemasan (Citra,
2007).
Mulai dari proses produksi, minyak goreng kemasan selalu melalui dua kali penyaringan,
sedangkan minyak goreng curah hanya melalui proses penyaringan satu, atau hanya sampai
pada tahap olein saja, sehingga masih mengandung minyak fraksi padat. Perbedaan proses
ini pula yang kemudian menyebabkan warna minyak goreng kemasan lebih jernih dari minyak
goreng curah. Adapun dari segi kandungannya, kadar lemak dan asam oleat pada minyak
curah juga lebih tinggi dibanding minyak kemasan (Cemerlang, 2013).
Ketika memilih minyak goreng ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan menurut Citra
(2007), yaitu:
1. Minyak goreng harus memiliki umur pakai yang lama dan ekonomis.
2. Tahan terhadap tekanan oksidatif.
3. Memiliki kualitas seragam.
4. Mudah untuk digunakan, baik dari segi bentuk (fluid shortening lebih mudah dari pada
solid shortening) maupun dari kemudahan pengemasan.
5. Memiliki titik asap yang tinggi dan kandungan asapnya rendah setelah digunakan untuk
menggoreng.
6. Mengandung flavor alami dan tidak menimbulkan off flavor pada produk yang digoreng.
7. Mampu menghasilkan tekstur, warna, dan tidak menimbulkan pengaruh greasy pada
permukaan produk.

Faktor Kerusakan Minyak

Faktor-faktor kerusakan minyak akibat pemanasan menurut Pasta (2011) adalah:

1. Lamanya minyak kontak dengan panas. Berdasarkan penelitian terhadap minyak jagung,
pada pemanasan 10-12 jam pertama, bilangan iod berkurang dengan kecepatan konstan.
Sedangkan jumlah oksigen dalam lemak bertambah dan selanjutnya menurun setelah
pemanasan 4 jam kedua berikutnya. Kandungan persenyawaan karbonil bertambah
dalam minyak selama proses pemanasan, kemudian berkurang sesuai dengan
berkurangnya jumlah oksigen.
2. Suhu, pengaruh suhu terhadap kerusakan minyak telah diselidiki dengan menggunakan
minyak jagung yang dipanaskan selama 24 jam pada suhu 120˚C, 160˚C dan 200˚C.
Minyak dialiri udara pada 150ml/menit/kilo. Minyak yang dipanaskan pada suhu 160˚C
dan 200˚C menghasilkan bilangan peroksida lebih rendah dibandingkan dengan
pemanasan pada suhu 120˚C. Hal ini merupakan indikasi bahwa persenyawan peroksida
bersifat tidak stabil terhadap panas. Kenaikan nilai kekentalan dan indek bias paling besar
pada suhu 200oC karena pada suhu tersebut jumlah senyawa polimer yang terbentuk
relatif cukup besar.
3. Akselerator oksidasi. Kecepatan aerasi juga memegang peranan penting dalam
menentukan perubahan-perubahan selama oksidasi termal. Nilai kekentalan naik secara
proporsional dengan kecepatan aerasi, sedangkan bilangan iod semakin menurun
dengan bertambahnya kecepatan aerasi. Konsentrasi persenyawaan karbonil akan
bertambahn dengan penurunan kecepatan aerasi. Senyawa karbonil dalam lemak-lemak
yang telah dipanaskan dapat berfungsi sebagai pro-oksidan atau sebagai akselerator
pada proses oksidasi.
4. Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan pangan yang digoreng.
Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan
dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan
sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak. Oksidasi minyak
dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak.Oksidasi
biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida.Tingkat selanjutnya
adalah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi
aldehid dan 25 keton serta asam-asam lemak bebas.Ketengikan (Rancidity) terbentuk
olehaldehida bukan oleh peroksida. Jadi kenaikan Peroxide Value (PV) hanya indikator
dan peringatan bahwa minyak akan berbau tengik (Stier, 2001).

Sifat Fisik dan Kimia Minyak

Sifat-sifat minyak goreng dibagi ke sifat fisik dan kimia. Sifat fisik terdiri dari warna, odor dan
flavor, kelarutan, titik cair dan polymorphism, titik didih (boiling point), titik lunak (softening
point), slipping point, shot melting point, bobot jenis, indeks bias, titik asap, dan titik kekeruhan
(turbidity point). Sedangkan sifat kimia terdiri dari hidrolisa, oksidasi, hidrogenasi, dan
esterfikasi (Anonim, 2011).

Odor dan flavor, terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena pembentukan
asam-asam yang berantai sangat pendek.Kelarutan, minyak tidak larut dalam air kecuali
minyak jarak (castor oil), dan minyak sedikit larut dalam alkohol, etil eter, karbon disulfida dan
pelarut-pelarut halogen. Titik cair dan polymorphism, minyak tidak mencair dengan tepat pada
suatu nilai temperatur tertentu. Polymorphism adalah keadaan dimana terdapat lebih dari satu
bentuk kristal. Titik didih (boiling point), titik didih akan semakin meningkat dengan bertambah
panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut. Titik lunak (softening point), dimaksudkan
untuk identifikasi minyak tersebut. Sliping point, digunakan untuk pengenalan minyak serta
pengaruh kehadiran komponen-komponennya. Shot melting point, yaitu temperatur pada saat
terjadi tetesan pertama dari minyak atau lemak. Bobot jenis, biasanya ditentukan pada
temperature 25˚C, dan juga perlu dilakukan pengukuran pada temperatur 40˚C. Titik asap,
titik nyala dan titik api, dapat dilakukan apabila minyak dipanaskan. Merupakan kriteria mutu
yang penting dalam hubungannya dengan minyak yang akan digunakan untuk menggoreng.
Titik kekeruhan (turbidity point), ditetapkan dengan cara mendinginkan campuran minyak
dengan pelarut lemak (Anonim, 2009). Sifat kimia minyak terdiri dari reaksi hidrolisa, minyak
akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol, reaksi hidrolisa yang dapat
mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapat sejumlah air dalam
minyak atau lemak, sehingga akan mengakibatkan rasa dan bau tengik pada minyak tersebut.
Reaksi oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen peda minyak
atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak.
Proses hidrogenasi sebagai suatu proses industri bertujuan untuk menjenuhkan ikatan
rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak atau lemak. Reaksi hidrogenasi ini
dilakukan dengan menggunakan hidrogen murni dan ditambahkan serbuk nikel sebagai
katalisator. Setelah proses hidrogenasi selesai, minyak didinginkan dan katalisator dipisahkan
dengan penyaringan. Hasilnya adalah minyak yang bersifat plastis atau keras, tergantung
pada derajat kejenuhannya. Proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak
dari trigliserida dalam bentuk ester. Reaksi esterifikasi dapat dilakukan melalui reaksi kimia
yang disebut interesterifikas atau pertukaran ester yang didasarkan pada prinsip
transesterifikasi friedel-craft. Dengan menggunakan prinsip reaksi ini, hidrokarbon rantai
pendek dalam asam lemak seperti asam lemak dan asam kaproat yang menyebabkan bau
tidak enak, dapat diukur dengan rantai panjang yang bersifat tidak menguap (Anonim, 2010).

Asam Lemak Bebas Pada Minyak

Asam lemak bebas (ALB) adalah suatu asam yang dibebaskan pada proses hidrolisis lemak
oleh enzim. Proses hidrolisis dikatalisis oleh enzim lipase yang juga terdapat dalam buah,
tetapi berada diluar sel yang mengandung minyak. Jika dinding sel pecah atau rusak karena
proses pembusukan atau karena pelukaan mekanik, tergores atau memar karena benturan,
enzim akan bersinggungan dengan minyak dan reaksi hidrolisis akan berlangsung dengan
cepat sehingga membentuk gliserol dan asam lemak bebas. Pembentukan asam lemak
bebas juga dapat terjadi oleh adanya mikroorganisme pada keadaan lembab dan kotor
(Anonim, 2012). Kadar asam lemak bebas yang memenuhi standar mutu PKS adalah
maksimal 3,5% dan untuk eksport (perdagangan) adalah maksimal 5%. Asam lemak bebas
pada CPO didalam storage tank tidak dapat dihilangkan, melainkan akan selalu bertambah
terlebih dalam waktu penyimpanan yang cukup lama. Jika kadar ALB pada CPO > 5%, maka
CPO tersebut sudah dinyatakan outspec atau melewati batas standar mutu dan tidak layak
untuk dipasarkan. ALB pada CPO outspec tersebut hanya dapat diturunkan dengan cara
melakukan blending (pencampuran) dengan CPO yang memiliki kadar ALB rendah (CPO
fresh), sehingga CPO outspec tersebut tidak dibuang dan dapat dipasarkan kembali (Anonim,
2009). Kombinasi lamanya pemanasan dan suhu yang tinggi mengakibatkan terjadinya
beberapa reaksi penyebab kerusakan minyak. Reaksi-reaksi yang terjadi adalah hidrolisa,
oksidasi dan polimerisasi. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses hidrolisis dan oksidasi
(Hariskal, 2009).
2.2 Sabun
Sabun adalah bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi, terdiri dari dua
komponen utama yaitu asam lemak dengan rantai karbon C16 dan sodium atau 8illigram.
Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia antara kalium atau natrium
dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani. Sabun yang dibuat dengan NaOH
dikenal dengan sabun keras (hard soap), sedangkan sabun yang dibuat dengan KOH dikenal
dengan sabun lunak (soft soap). Sabun dibuat dengan 8illigra yaitu proses saponifikasi dan
proses netralisasi minyak. Proses saponifikasi minyak akan memperoleh produk sampingan
yaitu gliserol, sedangkan proses netralisasi tidak akan memperoleh gliserol. Proses
saponifikasi terjadi karena reaksi antara trigliserida dengan alkali, sedangkan proses
netralisasi terjadi karena reaksi asam lemak bebas dengan alkali (Qisti, 2009).
Sabun merupakan senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti natrium 8illigra,
C17H35COONa+. Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan dari kekuatan pengemulsian
dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari air. Konsep ini dapat di pahami
dengan mengingat kedua sifat dari anion sabun (Achmad, 2004).

Komposisi Sabun
Sabun konvensional yang dibuat dari lemak dan minyak alami dengan garam alkali serta
sabun deterjen saat ini yang dibuat dari bahan sintetik,biasanya mengandung surfaktan,
pelumas, antioksidan, deodorant, warna, parfum, pengontrol Ph, dan bahan tambahan
khusus.
a. Surfaktan
Surfaktan adalah molekul yang memiliki gugus polar yang suka air (hidrofilik) dan gugus
non polar yang suka minyak (lipofilik) sehingga dapat memperasatukan campuran yang
terdiri dari minyak dan air yang bekerja menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan
merupakan bahan terpenting dari sabun. Lemak dan minyak yang dipakai dalam sabun
berasal dari minyak kelapa (asam lemak C12), minyak zaitun (asam lemak C16-C18),
atau lemak babi. Penggunaan bahan berbeda menghasilkan sabun yang berbeda, baik
secara fisik maupun kimia. Ada sabun yang cepat berbusa tetapi terasa airnya kasar dan
tidak stabil, ada yang lambat berbusa tetapi lengket dan stabil. Jenis bahan surfaktan
pada syndet dewasa ini mencapai angka ribuan (Anonima, 2013; Wasitaatmadja,1997).
b. Pelumas
Untuk menghindari rasa kering pada kulit diperlukan bahan yang tidak saja meminyaki
kulit tetapi juga berfungsi untuk membentuk sabun yang lunak, 8illig: asam lemak bebas,
fatty alcohol, gliserol, lanolin, paraffin lunak, cocoa butter, dan minyak almond, bahan
sintetik ester asam sulfosuksinat, asam lemak isotionat, asam lemak etanolamid, polimer
JR, dan carbon resin (polimer akrilat). Bahan-bahan selain meminyaki kulit juga dapat
menstabilkan busa dan berfungsi sebagai peramas (plasticizers) (Wasitaatmadja, 1997).
c. Antioksidan dan Sequestering Agents
Antioksidan adalah senyawa atau zat yang dapat menghambat, menunda, mencegah,
atau memperlambat reaksi oksidasi meskipun dalam konsentrasi yang kecil. Untuk
menghindari kerusakan lemak terutama bau tengik, dibutuhkan bahan penghambat
oksidasi, misalnya stearil hidrazid dan butilhydroxy toluene (0,02%-0,1%). Sequestering
Agents dibutuhkan untuk mengikat logam berat yang mengkatalis oksidasi EDTA. EHDP
(ethanehidroxy-1-diphosphonate) (Anonimb,2013; Wasitaatmadja, 1997).
d. Deodorant
Deodorant adalah suatu zat yang digunakan untuk menyerap atau mengurangi bau
menyengat. Deodorant dalam sabun mulai dipergunakan sejak tahun 1950, namun oleh
karena khawatir efek samping, penggunaannya dibatasi. Bahan yang digunakan adalah
TCC (trichloro carbanilide) dan 2-hidroxy 2,4,4- trichlodiphenyl ester (Anonimc,2013;
Wasitaatmadja, 1997).
e. Warna
Kebanyakan sabun toilet berwarna cokelat, hijau biru, putih, atau krem. Pewarna sabun
dibolehkan sepanjang memenuhi syarat dan peraturan yang ada pigmen yang digunakan
biasanya stabil dan konsentrasinya kecil sekali (0,01-0,5%). Titanium dioksida 0,01%
ditambahkan pada berbagai sabun untuk menimbulkan efek berkilau. Akhir-akhir ini dibuat
sabun tanpa warna dan transparan (Wasitaatmadja, 1997).
f. Parfum
Isi sabun tidak lengkap bila tidak ditambahkan parfum sebagai pewangi. Pewangi ini harus
berada dalam Ph dan warna yang berbeda pula. Setiap pabrik memilih 9illigr warna
sabunbergantung pada permintaan pasar atau masyarakat pemakainya. Biasanya
dibutuhkan wangi parfum yang tidak sama untuk membedakan produk masing-masing
(Wasitaatmadja, 1997).
g. Pengontrol Ph
Penambahan asam lemak yang lemah, misalnya asam sitrat, dapat menurunkan Ph
sabun (Wasitaatmadja, 1997).
h. Bahan tambahan khusus
Menurut Wasitaatmadja (1997), berbagai bahan tambahan untuk memenuhi kebutuhan
pasar, produsen, maupun segi ekonomi dapat dimasukkan ke dalam formula sabun.
Dewasa ini dikenal berbagai macam sabun khusus, misalnya:
1. Superfatty yang menambahkan lanolin atau paraffin.
2. Transparan yang menambahkan sukrosa dan gliserin.
3. Deodorant, yang menambahkan triklorokarbon, heksaklorofen, diklorofen,
triklosan, dan sulfur koloidal.
4. Antiseptik (medicated = carbolic) yang menambahkan bahan antiseptic, misalnya:
fenol, kresol, dan sebagainya.
5. Sabun bayi yang lebih berminyak, Ph netral, dan noniritatif.
6. Sabun netral, mirip dengan sabun bayi dengan konsentrasi dan tujuan yang
berbeda.
7. Apricot, dengan sabun menambahkan apricot atau monosulfiram.
Fungsi Sabun
Fungsi sabun dalam anekaragam cara adalah sebagai bahan pembersih. Sabun menurunkan
tegangan permukaan air, sehingga memungkinkan air itu membasahi bahan yang dicuci
dengan lebih efektif, sabun bertindak sebagai suatu zat pengemulsi untuk mendispersikan
minyak dan gemuk; dan sabun teradsorpsi pada butiran kotoran (Keenan, 1980). Kotoran
yang menempel pada kulit umumnya adalah minyak, lemak dan keringat. Zat-zat ini tidak
dapat larut dalam air karena sifatnya yang non polar. Sabun digunakan untuk melarutkan
kotoran-kotoran pada kulit tersebut. Sabun memiliki gugus non polar yaitu gugus –R yang
akan mengikat kotoran, dan gugus –COONa yang akan mengikat air karena sama-sama
gugus polar. Kotoran tidak dapat lepas karena terikat pada sabun dan sabun terikat pada air
(Qisti, 2009).
Proses Pembuatan Sabun
Sabun dapat dibuat melalui dua proses, yaitu:
1. Saponifikasi
Saponifikasi melibatkan hidrolisis ikatan ester gliserida yang menghasilkan pembebesan
asam lemak dalam bentuk garam dan gliserol. Garam dari asam lemak berantai panjang
adalah sabun (Stephen, 2004). Reaksi kimia pada proses saponifikasi adalah sebagai
berikut:

2. Netralisasi
Netralisasi adalah proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak,
dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya
sehingga membentuk sabun (Ketaren, 2008). Reaksi kimia pada proses saponifikasi
adalah sebagai berikut:

Syarat Mutu Sabun Mandi :


1. Asam lemak bebas merupakan asam lemak pada sabun yang tidak terikat sebagai
senyawa natrium atau pun senyawa trigliserida (lemak netral). Tingginya asam lemak
bebas pada sabun akan mengurangi daya membersihkan sabun, karena asam lemak
bebas merupakan komponen yang tidak diinginkan dalam proses pembersihan. Sabun
pada saat digunakan akan menarik komponen asam lemak bebas yang masih terdapat
dalam sabun sehingga secara tidak langsung mengurangi kemampuannya untuk
membesihkan minyak dari bahan yang berminyak (Qisti, 2009).
2. Kadar air merupakan bahan yang menguap pada suhu dan waktu tertentu. Maksimal
kadar air pada sabun adalah 15%, hal ini disebabkan agar sabun yang dihasilkan cukup
keras sehingga lebih efisien dalam pemakaian dan sabun tidak mudah larut dalam air.
Kadar air akan mempengaruhi kekerasan dari sabun (Qisti, 2009).
3. Jumlah asam lemak merupakan jumlah total seluruh asam lemak pada sabun yang telah
atau pun yang belum bereaksi dengan alkali. Sabun yang berkualitas baik mempunyai
kandungan total asam lemak minimal 70%, hal ini berarti bahan-bahan yang ditambahkan
sebagai bahan pengisi dalam pembuatan sabun kurang dari 30%. Tujuannya untuk
meningkatkan efisiensi proses pembersihan kotoran berupa minyak atau lemak pada saat
sabun digunakan. Bahan pengisi yang biasa ditambahkan adalah madu, gliserol,
waterglass, protein susu dan lain sebagainya. Tujuan penambahan bahan pengisi untuk
memberikan bentuk yang kompak dan padat, melembabkan, menambahkan zat gizi yang
diperlukan oleh kulit (Qisti, 2009).
4. Alkali bebas merupakan alkali dalam sabun yang tidak diikat sebagai senyawa. Kelebihan
alkali bebas dalam sabun tidak boleh lebih dari 0,1% untuk sabun Na dan 0,14% untuk
sabun KOH karena alkali mempunyai sifat yang keras dan menyebabkan iritasi pada kulit.
Kelebihan alkali bebas pada sabun dapat disebabkan karena konsentrasi alkali yang
pekat atau berlebih pada proses penyabunan. Sabun yang mengandung alkali tinggi
biasanya digunakan untuk sabun cuci (Qisti, 2009). Mutu sabun sangat ditentukan oleh
kadar alkali bebas di dalamnya. Jika terlalu basa alkali bebas dapat merusak kulit bila
dipakai. Oleh karena itu, kadar alkali bebasnya tidak boleh lebih dari 0,1% untuk sabun
Na dan 0,14% untuk sabun KOH. Kadar alkali bebas juga dapat dipakai sebagai 11illigram
dari tidak sempurnanya proses penyabunan (Nandawai, 2009).
5. Minyak mineral merupakan zat atau bahan tetap sebagai minyak, namun saat
penambahan air akan terjadi emulsi antara air dan minyak yang ditandai dengan
kekeruhan. Minyak mineral adalah minyak hasil penguraian bahan 11illigr oleh jasad renik
yang terjadi berjuta-juta tahun. Minyak mineral sama dengan minyak bumi beserta
turunannya. Contoh minyak mineral adalah: bensin, minyak tanah, solar, oli, dan
sebagainya. Kekeruhan pada pengujian minyak mineral dapat disebabkan juga oleh
molekul hidrokarbon dalam bahan (Qisti,2009).

2.3 Bilangan Asam dan Bilangan Ester


Bilangan asam menunjukkan banyaknya asam lema bebas dalam minyak dan dinyatakan
dengan mg basa per 1 gram minyak. Bilangan asam juga merupakan parameter penting
dalam penentuan kualitas minyak. Bilangan ini menunjukkan banyaknya asam lemak bebas
yang ada dalam minyak akibat terjadi reaksi hidrolisis pada minyak terutama pada saat
pengolahan . Asam lemak merupakan struktur kerangka dasar untuk kebanyakan bahan lipid
(Agoes, 2008). Bilangan 11illigram angka asam adalah jumlah 11illigram KOH (Kalium
Hidroksida) yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram
minyak atau lemak. Bilangan Asam dipergunakan untuk mengukur jumlahasam lemak bebas
yang terdapat dalam lemak dan minyak. Bilangan asam adalah ukuran jumlah asam bebas
yang dihitung berdasar bobot molekul asam lemak atau campuran asam lemak. Bilangan
asam dinyatakan sebagai jumlah 11illigram KOH 0,1 N yang dibutuhkan untuk menetralkan
asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak. Bilangan asam ini menyatakan
jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak, dan biasanya dihubungkan
dengan telah terjadinya hidrolisis minyak berkaitan dengan mutu minyak.
Reaksi yang terjadi adalah : R–COOH + KOH → R–COOK + H2O

Bilangan ester adalah bilangan yang menyatakan berapa mg KOH yang diperlukan untuk
menyabunkan ester yang terdapat dalam 1 gram lemak atau minyak. Jadi, bilangan ester
merupakan suatu ukuran kadar ester yang terdapat dalam minyak atau lemak. Penetapan BE
dapat terganggu jika dalam lemak terdapat suatu anhidrida atau suatu lakton. Teknik yang
digunakan untuk mengidentifikasi bilangan ester adalah dengan cara merefluks campuran
lemak atau minyak dengan KOH berlebih, sampai terbentuk sabun. Kelebihan KOH yang
ditambahkan selanjutnya dititrasi.
Tahap reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
1. Trigliserida + KOH → Gliserol + R–COOK (sabun)
2. KOH (sisa) + HCl → KCl + H2O

2.4 Bilangan Penyabunan dan Bilangan Iodium


Bilangan penyabunan adalah bilangan yang menunjukkan berapa mg KOH diperlukan untuk
membentuk 1 gram sabun secara sempurna. Teknik yang digunakan adalah titrasi asidimetri
setelah proses penyabunan sempurna. Teknik untuk mengidentifikasi bilangan penyabunan
sama seperti dengan penentuan bilangan ester. Dengan cara merefluks campuran lemak
atau minyak dengan KOH berlebih dan mentitrasi kelebihan KOH.

Bilangan iodin adalah bilangan yang menunjukkan berapa mg halogen (dinyatakan sebagai
iodin) yang dapat diikat oleh 100 mg lemak, atau berapa persen halogen yang dapat diikat
lemak. Senyawa halogen yang digunakan untuk penentuan bilangan iodin adalah senyawa
antar halogen, yaitu Iodobromida (Ibr, senyawa hanus). Senyawa hanus bereaksi dengan
lemak melalui reaksi adisi pada ikatan rangkap.

Persamaan Reaksinya :

Dengan demikian, bilangan iodin merupakan ukuran banyaknya ikatan rangkap dalam asam
lemak. Teknik yang digunakan untuk menentukan bilangan iodin adalah titrasi iodometri.
Titrasi dilakukan setelah reaksi adisi berlangsung sempurna. Kelebihan bromin direaksikan
dengan KI agar terbentuk I2, selanjutnya I2 direaksikan dengan natrium tiosulfit.
Reaksi keseluruhan adalah :
BAB

METODA PRATIKUM
3.1 Alat dan Bahan
(Bilangan Asam dan Bilangan Ester)
1. Timbangan analitik
2. Erlenmeyer 250 ml
3. Buret 50 ml
4. Pipet volume 10 ml
(Bilangan Penyabunan dan Bilangan Iodium)
1. Pipet tetes
2. Neraca analitik
3. Batu didih
4. Erlenmeyer 250 ml
5. Pipet volume 10 ml
6. Bunsen dan kaki tiga
7. Pipet volume 10 ml
(Penetapan Kadar Minyak/Lemak Menggunakan Soxhlet)
1. Pengestrak soxhlet lengkap
2. Labu lemak
3. Tabung soxhlet
4. Pendingin gondok
5. Penangas listrik
6. Oven
7. Eksikator
8. Kertas saring tabung
9. Neraca Analitik
10. Pipet volume 10ml
(Penetapan Asam Lemak Bebas)
1. Neraca Analitik
2. Erlenmeyer 250ml
3. Buret 50ml
4. Pipet Volume 10ml
5. Batu didih
(Penetapan Alkali Bebas)
1. Erlenmeyer 250 ml
2. Buret 50 ml
3. Tabung ukur
4. Piala Gelas
5. Neraca Analitik
6. Penangas
(Penetapan Alkali Total)
1. Neraca Analitik
2. Buret 50 ml
3. Erlenmeyer 250 ml
4. Tabung ukur 50 ml
5. Piala gelas
6. Pipet volume 25 ml
(Kadar Lemak Tidak Tersabunkan)
1. Neraca analitik
2. Penangas air
3. Erlenmeyer 250 ml
4. Corong pemisah
5. Piala gelas
6. Labu lemak
7. Soxhlet
8. Oven
9. Eksikator
10. Pipet volume 10ml
(Penetapan Kadar Zat Pemberat)
1. Erlenmeyer 250 ml
2. Tabung ukur 100 ml
3. Alat Refluks
4. Piala gelas
5. Buret 50 ml
6. Corong pemisah
7. Kertas saring
8. Pipet tetes

3.2 Pereaksi
(Penetapan Bilangan Asam)
1. Eter:Alkohol Netral 1:2
2. KOH Alkohol 0,1N
3. Indikator PP
Reaksi : RCOOH + KOH → RCOOK + H2O
(Penetapan Bilangan Ester)
1. KOH Alkohol 0,5 N
2. HCL 0,5 N
3. Indikator PP
Reaksi : R(COO)3C3H5 + KOH
KOH + HCl
(Penetapan Bilangan Penyabunan)
1. Alkohol KOH 0,5 N
2. HCL 0,5 N
3. Indikator PP
Reaksi : R(COO)3C3H5 + 3 KOH → 3RCOOK + CaH(OH)
(Penetapan Bilangan Iodium)
1. Larutan Hanus 0,5 N
2. Chloform 0,5 N
3. Larutan Tiosulfat 0,1 N
4. Indikator Kanji 0,5 %
5. Kalium Iodida 10%
HH

Reaksi : CH = CH + HBr → H-C-C-H


H Br
(Penatapan Kadar Minyak/Lemak Menggunakan Cara Soxhlet)
1. Benzena
2. Etanol
3. Karbon tetraklorida
4. Trikloro Etilena
5. Campuran Benzena : Etanol 1:1
(Penetapan Asam Lemak Bebas)
1. Alkohol netral
2. Indikator PP
3. KOH Alkohol 0,1 N
Reaksi : RCOOH + KOH → RCOOH + H2O
(Penetapan Alkali Bebas)
1. Alkohol Netral
2. HCl 0,1000 N
3. Indikator PP
Reaksi : NaOH + HCl → NaCl +H2O
KOH + HCl → KCl + H2O
(Penetapan Alkali Total )
1. Larutan HCl 0,5000 N
2. Indikator MO
3. 50 ml air suling
Reaksi : RCOONa + H2O → RCOOH + NaOH
NaOH + HCl → NaCl + H2O
(Kadar Lemak Bebas Yang Tidak Tersabunkan)
1. Eter
2. NaHCO3
(Penatapan Kadar Zat Pemberat )
1. Alkohol 95%

3.3 Cara Kerja


(Bilangan Asam)
1. Timbang 1-2 gram lemak
2. Larutkan lemak dalam 25 ml eter, alkohol netral
3. Bubuhi 2 tetes indikator PP
4. Dititar cepat dengan alkohol KOH 0,1 N sampai warna merah jambu muda (sisa
larutan jangan dibuang)
(Bilangan Ester)
1. Pada sisa cairan bekas penetapan ditambahkan 10ml alkohol 0,5 N dan batu didh
2. Kemudian refluks selama 15 menit dari waktu mendidih sewaktu-waktu harus
dikocok
3. Teteskan indikator PP, dinginkan sebentar sampai warna merah jambu hilang
4. Dititar dengan HCl 0,5 N
(Bilangan Penyabunan)
1. Timbang teliti ( empat angka dibelakang koma ) 1-2 gram contoh minyak yang
sudah bebas air dan asam mineral
2. Tambahkan 10 ml tepat alkohol KOH 0,5 N dengan batu didih, kemudian panaskan
selama 15-30 menit
3. Pada akhir pendidihan, bubuhi 2-3 tetes indikator PP dan harus bewarna, jika
sudah bewarna berarti penambahan alkohol 0,5 N sudah cukup. Jika tidak
bewarna tambahkan lagi 10 ml alkohol KOH 0,5 N dan refluks kembali selama 15-
30 menit
4. Angkat dan dinginkan sebentar, lalu dititar dengan HCl 0,6 N sampai tepat warna
larutan merah hilang
5. Lakukan titrasi blanko terhadap 10 ml Alkohol KOH 0,5 N dengan larutan yang
sama dengan contoh.
(Bilangan Iodium)
1. Timbang teliti kedalam Erlenmeyer tutup asah contoh minyak/lemak 0,1-0,2 gram
untuk minyak/lemak yang mempunyai bilangan Iodium seperti minyak
kacang,jarak,minyak biji kapas dan timbangkan contoh minyak/lemak yang
mempunyai bilangan iodium seperti minyak kelapa,sawit, dan lemak sapi
2. Larutkan dengan 5 ml Chloroform
3. Tambahkan 10 ml tepat larutan hanus 0,1 N melalui buret
4. Erlenmeyer asah segera ditutup, digoyangkan dan disimpan pada tempat yang
gelap seperti lemari selama kira-kira 15 menit supaya reaksi sempurna
5. Kemudian kedalam larutan berlebih ditambahkan 10 ml larutan KI 10% dan
encerkan dengan air suling
6. Iodium dibebaskan segera dititar dengan larutan Tiosulfat 0,1 N sampai warna
kuning muda. Lalu ditambahkan 1-2ml Indikator kanji
7. Titrasi dilanjutkan sampai larutan menjadi tidak bewarna
8. Lakukan titrasi blanko terhadap 10 ml larutan hanus 0,1 N dan 5 ml larutan
Chloroform, simpan ditempat gelap/lemari selama 30 menit, titar dengan larutan
tiosulfat 0,1 N
(Penetapan Kadar Lemak/Minyak Menggunakan Soxhlet)
1. Contoh uji ditimbang teliti
2. Keringkan labu lemak yang telah diisi batu didih dalam oven pengering suhu
105OC-110OC selama 1 jam, kemudian pindahkan dan letakan dalam eksikator
dan timbang teliti
3. Contoh uji dimasukan kedalam kertas saring tabung yang diketahui beratnya
4. Contoh uji dimasukan kedalam labu lemak
5. Masukan zat pelarut minyak/lemak sebanyak 2 kali yang telah dilengkapi labu
lemak kemudian dinginkan dengan alat pendingin
6. Letakan pengestrak soxhlet
7. Lakukan ekstraksi selama kurang lebih 2 jam
8. Setelah ekstraksi selesai, keluarkan contoh uji dari labu lemak
9. Pisahkan minyak/lemak dari pelarut dalam labu lemak dengan cara pencucian
sampai pelarut hamper habis. Hilangkan sisa pelarut dalam labu lemak dengan
cara di oven
10. Kemudian timbang berat akhir
(Penetapan Asam Lemak Bebas)
1. Timbang teliti empat angka dibelakang koma 2-3 gram sabun
2. Contoh uji masukan kedalam Erlenmeyer 250 ml
3. Larutkan dengan 25 ml alkohol netral
4. Tambahkan 1-2 butir batu didih
5. Didihkan dengan penangas air
6. Refluks selama 20-30 menit
7. Dinginkan sebentar,bubuhi 2 tetes indicator PP
8. Titar dengan KOH alkohol 0,1000 N sampai warna merah muda hilang
(Penetapan Alkali Bebas)
1. Timbang teliti empat angka dibelakang koma 1-2 gram sabun
2. Contoh uji masukan kedalam Erlenmeyer 250 ml
3. Larutkan dengan 25 ml alkohol netral
4. Tambahkan 1-2 butir batu didih
5. Didihkan sampai larut
6. Dinginkan sebentar
7. Bubuhi 2 tetes indicator PP
8. Titar dengan HCl alkohol 0,1000 N sampai warna merah hilang
(Penetapan Alkali Total)
1. Timbang teliti empat angka dibelakang koma 0,5 -1 gram sabun
2. Contoh uji masukan kedalam Erlenmeyer 250 ml
3. Larutkan dengan 50 ml air suling panas
4. Bubuhi 2 tetes indicator MO
5. Titar dengan HCl alkohol 0,5000 N sampai warna merah jingga muda
(Penetapan Kadar Lemak Bebas Yang Tidak Tersabunkan)
1. Timbang teliti 5-10 gram contoh sabun
2. Larutkan dengan 100 ml larutan NaHCO3 1%
3. Panaskan diatas penangas air jangan dikocok untuk menghindari busa, NaHCO3
gunanya untuk menghisap alkali bebas yang mungkin ada. Hal ini dilakukan agar
asam lemak tidak terikat oleh alkali bebas tersebut dan lemak netralnya tidak
tersabunkan
4. Dinginkan sampai suhu kamar, pindahkan sabun contoh yang sudah larut kedalam
corong pemisah secara kuantitatif, piala dibilas dengan NaHCO3 1 %
5. Kedalam corong pemisah,masukan 10-20ml larutan eter. Lalu dikocok dan biarkan
beberapa menit sampai terlihat lapisan pemisah. Kemudian pisahkan
6. Lapisan bawah yang terdiri dari larutan NaHCO3 1% masukan kembali kedalam
piala gelas semula, sedangkan lapisan eter masukan kedalam labu lemak yang
telah diketahui bobotnya
7. Larutan contoh dan NaHCO3 1 % dalam piala gelas tersebut dimasukan kembali
dalam corong pemisah, tambahkan lagi 10-25 ml eter, kocok biarkan dan pisahkan
lagi seperti tadi. Diulangi pengerjaan tersebut selama 3 kali berturut-turut
8. Larutan eter yang sudah terkumpul disulingkan dengan alat soxhlet
9. Residu yang tertinggal dalam labu lemak, kemudian dikeringkan dalam oven pada
suhu 110OC selama 30 menit, dinginkan pada eksikator dan timbang sampai bobot
tetap.
(Penetapan Kadar Zat Pemberat)
1. Timbang teliti empat angka dibelakang koma 1-2 gram sabun
2. Contoh uji masukan kedalam Erlenmeyer 250 ml
3. Larutkan dengan 50-100 ml alkohol 95%
4. Refluks dengan menggunakan pendingin tegak diatas penangas air
5. Sabunkan dan hidroksida alkali pada sabun akan larut, sedangkan karbonat tidak
akan larut
6. Bagian yang tidak larut

BAB IV
PEMBAHASAN

Anda mungkin juga menyukai