PENDAHULUAN
uji minyak/lemak.
1.2. Tujuan
1. Menentukan bilangan penyabunan lemak/minyak
2. Menentukan bilangan asam lemak/minyak
3. Menentukan bilangan peroksida
1.3. Manfaat
1. Mengetahui bilangan penyabunan
2. Mengetahui bilangan asam
3. Mengetahui bilangan peroksida
(Triyanto, 2013).
Produk reaksi degradasi yang terdapat dalam minyak atau lemak akan
menurunkan kualitas bahan pangan yang digoreng dan menimbulkan pengaruh
buruk bagi kesehatan. Walaupun menimbulkan dampak yang negatif, penggunaan
jelantah adalah hal yang biasa di masyarakat. Upaya untuk menghasilkan bahan
pangan yang berkualitas serta pertimbangan dari segi ekonomi, memacu minat
penelitian untuk pemurnian minyak goreng bekas agar dapat dipakai kembali
tanpa mengurangi kualitas bahan yang digoreng. Pemurnian minyak goreng bekas
merupakan pemisahan produk reaksi degradasi dari minyak itu sendiri (Mangallo
et al., 2014).
2006).
Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah kalium hidroksida dalam
milligram yang diperlukan untuk menetralkan 1 gram asam bebas. Dalam
penentuan bilangan asam, keberadaan alkali terlarut perlu diperhatikan karena
sifatnya yang dapat menyebabkan terjadinya safonifikasi bahkan dalam keadaan
dingin (basa kuat). Nilai bilangan asam juga berperan dalam proses
transesterifikasi minyak jarak menjadi metil ester atau biodiesel. Bilangan asam
suatu minyak akan bertambah dengan umur penyimpananya. Adanya reaksi
oksidasi dan hidrolisis ester akan meningkatkan bilangan asam. Oleh karena itu
minyak harus terhindar dari kontak dengan udara dan cahaya pada saat
penyimpanan. Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak
bebas yang terdapat dalam lemak dan minyak (Julianto, 2016).
(Aminah, 2010).
Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi
dan hidrolitik. Diantara kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata
kerusakan karena autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa.
Usaha untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sebagai
angka peroksida atau angka asam thiobarbiturat. Bilangan peroksida merupakan
nilai untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak goreng. Bilangan
peroksida dapat meningkat akibat pemanasan minyak yang berlebihan sehingga
minyak akan teroksidasi menghasilkan za–zat radikal bebas. Selain itu adanya
frekuensi penggorengan yang berulang kali akan menghasilkan senyawa yang
dapat mengganggu kesehatan yang menyebabkan penyakit apabila dikonsumsi
dalam waktu yang lama, salah satunya adalah kanker (Islamiah, 2015)
2.7. Pelarut
Menurut Padmaningrum (2006), pelarut adalah zat yang digunakan sebagai
media untuk melarutkan zat lain. Dalam sebuah larutan, umumnya solven atau
pelarut jumlahnya yang terbanyak. Zat terlarut adalah komponen dari larutan yang
memiliki jumlah lebih sedikit dalam sistem larutan. Selain ditentukan oleh
kuantitas zat, istilah pelarut dan terlarut juga ditentukan oleh struktur. Pelarut
memiliki struktur yang tidak berubah.
Senyawa polar adalah Senyawa yang terbentuk akibat adanya suatu ikatan
antar elektron pada unsur-unsurnya. Senyawa yang bersifat polar akan mudah
larut dalam pelarut polar. Pelarut polar memiliki tingkat kepolaran yang tinggi,
cocok untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut
polar cenderung umum untuk digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap
dapat menyari senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Contoh
pelarut polar adalah air, metanol, etanol, asam asetat (Aziz et al., 2009).
Lemak atau lipida, seperti minyak, tidak akan larut atau bercampur dengan
air, akan tetapi, akan larut dalam pelarut non polar seperti PCl 5 dan n-heksana. N-
heksana dipakai dalam ekstraksi lipid dari biji-bijian kacang. Pelarut ini baik
untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut
polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh:
heksana, eter (Utomo, 2016).
2.7.1. Pelarut Polar
Menurut Hadyana (2002), prinsip dasar pemisahan campuran dengan
ekstrasi adalah perbedaan kelarutan zat dalam pelarut. Ada dua jenis pelarut, yaitu
pelarut polar dan pelarut non polar. Pelarut polar ialah senyawa dengan bentuk
yang simetris dalam artian, setiap sisinya mengikat jenis ion yang sama. Pelarut
polar selalu memiliki pasangan elektron bebas yang dapat digunakan untuk
bereaksi dengan senyawa polar lain. Pelarut polar dapat melarutkan senyawa-
senyawa polar juga. Contoh dari pelarut polar adalah air dan alkohol.
Ahli kimia zaman dahulu mencoba menemukan pelarut universal yang
dapat melarutkan segala macam zat. Mereka tidak menemukan zat pelarut yang
lebih baik dari air. Suatu senyawa tidak perlu berbentuk senyawa ionic agar dapat
larut dalam air. Senyawa polar merupakan senyawa yang dapat larut dalam pelarut
polar seperti air. Bahkan molekul sebesar protein dapat larut dalam air jika
memiliki daerah ionic dan daerah polar pada permukaanya. Air yang merupakan
contoh dari pelarut polar memegang peranan penting karena air merupakan
pelarut yang sangat serbaguna (Cairns, 2004).
Menurut Chang (2004), kelarutan merupakan ukuran banyaknya zat
terlarut yang akan melarut dalam pelarut pada suhu tertentu. Ungkapan yang
sejenis melarutkan yang sejenis membantu kita memprediksi kelarutan zat dalam
pelarut. Ungkapan ini menyatakan bahwa dua zat dengan jenis yang sama dan
besar gaya antar molekul yang sama akan cenderung saling melarutkan. Secara
umum kita meramalkan bahwa senyawa ionik akan jauh lebih larut dalam pelarut
polar seperti air, cairan ammonia, dan cairan hydrogen jika dibandingkan dengan
pelarut non polar. Hal ini terjadi karena molekul pelarut non polar tidak memiliki
momen dipol, molekul seperti ini tidak dapat secara efektif mensolvasi ion Na+
dan ion Cl-.
2.7.2. Pelarut Non Polar
Pelarut non polar merupakan senyawa yang terbentuk akibat adanya suatu
ikatan antara elektron pada unsur-unsur yang membentuknya. Hal ini terjadi
karena unsur yang berikatan mempunyai nilai elektronegatifitas yang sama.
Senyawa non polar biasanya tidak larut dalam air dan pelarut polar lainnya, tidak
memiliki kutub (+) dan kutub (-). Titrasi yang sangat bagus telah dilakukan dalam
pelarut non polar seperti benzene dan kloroform yang tidak mendorong diasosiasi
ke tingkat yang cukup. Pelarut non polar baik untuk mengekstrak senyawa-
senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar seperti heksana (Day
(Hadyana, 2002).
Senyawa non polar terbentuk akibat adanya suatu ikatan antar elektron
pada unsur–unsur yang membentuknya. Hal ini terjadi karena unsur yang
berikatan mempunyai nilai elektronegatifitas yang sama atau hampir sama.
Kebanyakan golongan terpenoid bersifat non polar, sehingga larut ke dalam
pelarut non polar dan semi polar. Heksana, benzana, dan petroleum eter bersifat
non polar. Ekstrak heksana memberikan kelarutan dalam etanol lebih tinggi
daripada ekstrak air yang merupakan senyawa polar. Kelarutan aquades tertinggi
pada ekstrak air dan kelarutan terendah adalah ekstrak heksana. Contoh dari
pelarut non polar adalah benzena, karbon tetraklorida, dan dietil eter (Saifudin,
2014).
2.7.3. Pelarut Semi Polar
Pelarut semi polar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan senyawa –
senyawa semi polar dari tumbuhan. Mayoritas metabolit sekunder bersifat semi
polar sehingga larut dalam pelarut organik. Adapun kebanyakan golongan
terpenoid bersifat non polar sehingga larut ke dalam pelarut non polar dan semi
polar. Metode kromatografi baik fase normal atau terbalik yang saat ini diterapkan
dan berkembang kebanyakan kompatibel dengan senyawa semi polar, sehingga
senyawa yang sangat polar atau non polar tidak kompatibel dengan metode
pemisahan kromatografi (Saifudin, 2014).
Salah satu contoh pelarut semipolar adalah etil asetat. Etil asetat
merupakan senyawa yang dihasilkan dari pertukaran gugus hidroksil pada asam
karboksilat dengan gugus hidrokarbon pada etanol. Etil asetat merupakan pelarut
semi polar yang bersifat volatil (mudah menguap). Etil asetat merupakan bukan
suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat
asam(Nuryoto, 2008).
Etil asetat merupakan pelarut yang bersifat semi polar sehingga dapat
menarik senyawa yang bersifat polar maupun non polar seperti senyawa aglikon
maupun glikon dari kulit buah manggis. Tetapi etil asetat sebagai pelarut semi
polar tidak mampu menarik senyawa yang terlalu polar maupun terlalu non polar.
Etil asetat juga sering disintesis dengan katalisator cair seperti asam sulfat (Putri
et al., 2013).
2.8. Titrasi
Menurut Padmaningrum (2006), Titrasi merupakan suatu proses analisis
dimana suatu volum larutan standar ditambahkan ke dalam larutan dengan tujuan
mengetahui komponen yang tidak dikenal. Larutan standar adalah larutan yang
konsentrasinya sudah diketahui secara pasti. Berdasarkan kemurniannya larutan
standar dibedakan menjadi larutan standar primer dan larutan standar sekunder.
Proses asidimetri merupakan reaksi netralisasi yang berarti reaksi yang
berasal dari reaksi antara ion hidrogen dari asam dan ion hidroksida dari basa.
Hasil dari proses ini adalah molekul air. Contoh yang biasa digunakan pada materi
ini adalah HCl. Garam yang tercipta dari reaksi titrasi asidimetri adalah netral
karena terjadi reaksi ionisasi. Contoh asidimetri yang umum adalah pentitrasian
NaOH yang berupa basa kuat oleh HCl yang berupa asam kuat, reaksi keduanya
menghasilkan garam netral dari proses ionisasi. Pada asidimetri asam kuat dan
basa kuat, titik ekuivalen beraada di pH 7, yaitu pada kondisi netral (Chang,
2004).
Menurut Andari (2013), Alkalimetri dapat didefinisikan sebagai metode untuk
menetapkan kadar asam dari suatu bahan menggunakan larutan basa yang sesuai.
Asam menurut Arrhenius adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air terurai
menjadi ion hydrogen dan anion, sedangkan basa adalah senyawa yang jika
dilarutkan dalam air, terurai menjadi ion hidroksida dan kation. Pada titrasi
alkalimetri, mempunyai kurva titrasi yang mengarah naik, karena titrasi ini
dilakukan dengan meneteekan perlahan-lahan larutan basa standar pada larutan
asam, sehingga secara logika pH akan naik perlahan.
2.8.1. Titrasi Asidimetri
Asidimetri merupakan tipe reaksi penetralan yang ada pada titrasi asam
basa. Asidimetri adalah penentuan atau pengukuran konsentrasi larutan asam
dalam suatu campuran. Biasanya dilakukan dengan cara titrasi bersama dengan
larutan basa yang telah diketahui konsentrasinya, yaitu larutan baku dan suatu
indikator untuk menunjukkan titik akhir suatu titrasi. Titik dalam titrasi dimana
titran yang telah ditambahkan cukup untuk bereaksi secara tepat dengan senyawa
yang ditentukan disebut titik ekuivalen. Contoh pelaksanaan yang dilakukan
dengan titrasi asidimetri yaitu untuk senyawa yang tidak dapat larut dalam air
dapat larut dalam pereaksi yang mudah didapatkan. Jadi, untuk menentukan
kadarnya tidak kesulitan mencari pelarut yang lain untuk melarutkannya dan
pegerjaannya tidak memerlukan peralatan khusus (Day dan Underwood, 2012).
Asidimetri merupakan suatu titrasi terhadap larutan basa bebas atau garam
yang berasal dari basa lemah dengan larutan standar asam. Proses asidimetri
merupakan reaksi netralisasi yang berarti reaksi yang berarti reaksi yang berasal
dari asam antara ion hidrogen dan ion hidroksida yang berasal dari basa. Pada
+ -
proses ini terjadi penggabungan ion H dan ion OH dan menghasilkan molekul
air. Contoh yang biasa digunakan pada metode ini adalah HCl. Indikator titrasi
asam basa adalah asam atau basa lemah dengan warna yang berbeda. Warna
indikator harus berbeda sesuai konsentrasi H+ dan PH (Day dan Underwood,
2012).
Menurut Day dan Underwood (2012), Titrasi asidimetri merupakan titrasi
yang berhubungan dengan asam – basa. Asidimetri merupakan pengukuran atau
penentuan konsentrasi larutan asam dalam suatu campuran. Untuk menentukan
titik akhir titrasi biasanya dilakukan jalan titrasi bersama larutan basa yang
konsenrasinya telah diketahui. Contoh metode asidimetri adalah penetapan kadar
boraks. Untuk senyawa yang tidak dapat larut di air, dapat larut dalam pereaksi
yang mudah didapatkan. Menentukan kadar tidak kesulitan mencari pelarut untuk
melarutkannya.
2.8.2. Titrasi Alkalimetri
Menurut Andari (2013), Alkalimetri merupakan metode titrasi yang
berdasarkan pada reaksi netralisasi, yaitu reaksi antara ion hydrogen yang berasal
dari asam dengan ion hidroksida yang berasal dari basa yang membentuk molekul
air. Alkalimetri dapat didefinisikan sebagai metode titrasi untuk menentukan kadar
asam dari suatu bahan menggunakan larutan bersifat basa yang sesuai. Dalam
titrasi alkalimetri, kita menggunakan larutan standar untuk menentukan
konsentrasinya. Larutan standar adalah larutan yang dengan tepat dapat diketahui
konsentrasinya. Indikator pada titrasi adalah asam atau basa organik lemah yang
mampu berada dalam dua macam bentuk warna yang berbeda. Warna dalam
bentuk ion dan warna dalam bentuk molekul sehingga dapat saling berubah
warna.
Menurut Andari (2013), Alkalimetri termasuk reaksi netralisasi, yaitu
reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari asam dengan ion hidroksida yang
berasal dari basa untuk menghasilkan air yang sifatnya netral. Dilakukannya
pembakuan larutan bertujuan untuk menyamakan larutan yang digunakan untuk
titrasi alkalimetri dengan standar larutan baku. Dalam alkalimetri kita
menggunakan larutan standar untuk menentukaan konsentrasinya. Larutan standar
itu sendiri yaitu larutan yang dengan tepat dapat diketahui konsentrasinya dan
digunakan sebagai pereaksi.
Titer yang digunakan pada alkalimetri adalah NaOH atau KOH.
Hidroksida – hidroksida dari natrium, kalium, dan barium umumnya digunakan
sebagai larutan standar alkalis yaitu bersifat basa. NaOH memiliki keunggulan
disbanding KOH dalam harga. NaOH dan KOH mudah bereaksi dengan karbon
dioksida membentuk garam karbonat. Garam natrium karbonat lebih mudah
dipisahkan dari NaOH daripada garam kalium karbonat yang sulit dipisahkan dari
KOH. Hal ini akan mengganggu reaksi yang terjadi. Sifat basa dari karbonat akan
mengganggu reaksi yang terjadi pada alkalimetri, sehingga pelarut air yang
digunakan harus terbebas dari karbon dioksida (Day dan Underwood, 2012).
2.8.3. Titrasi Iodo-Iodimetri
Iodometri adalah suatu proses analisis tak langsung yang melibatkan iod.
Dalam proses analisis, iod digunakan sebagai zat pengoksidasi pada titrasi
iodimetri dan ion iodida digunakan sebagai zat produksi dalam titrasi iodometri.
Dalam titrasi iodometri, ion iodida sebagai pereduksi diubah menjadi iodium –
iodium yang terbentuk dititrasi. Jadi cara iodometri digunakan untuk menentukan
zat pengoksidasi. Iodometri umumnya digunakan untuk menentukan jumlah aktif
hipoklorit dalam pemutih yang bertanggung jawab terhadap tindakan pemutihan.
Iodometri titrasinya dalam suasana asam. Titran dalam titrasi iodometri sebagai
reduktor. Iodometri termasuk ke dalam titrasi tidak langsung (Day dan
Underwood, 2012).
Iodimetri merupakan suatu metode titrasi iodometri secara langsung yang
mengacu pada titran dengan suatu larutan iod standar. Salah satu sifat dari iodium
adalah harga potensial starndar iodium berada pada daerah pertengahan yaitu
iodium dapat digunakan sebagai indikator maupun reduktor walaupun pada
dasarnya iodium akan lebih mudah untuk mengoksidasi dan mereduksi. Untuk
menguji kualitas karbon aktif pada penjernihan air, perlu pH standar air bersih
yaitu 6,5 – 9,0. Metode iodimetri merupakan metode yang sederhana dan mudah
diterapkan dalam suatu penelitian. Dasar dari metode iodimetri bersifat mereduksi
asam karbonat (Day dan Underwood, 2012).
Titrasi larutan iodimetri dalam suasana asam dengan penambahan asam
asetat. Fungsi penambahan asam asetat adalah supaya iodium dapat bereaksi
dengan hidroksida dan asam asetat lalu akan menjadi ion iodide dan Erlenmeyer
yang berisi larutan iodium ditutup menggunakan plastik hitam karena iodium
mudah teroksidasi oleh cahaya dan udara sehingga akan sulit dititrasi
menggunakan natrium tiosulfat. Pada titrasi larutan dilakukan dalam suasana asam
dengan cara penambahan asam asetat. Fungsi dari penambahan asam asetat adalah
supaya iodium bereaksi dengan hidroksida dari asam asetat dan akn menjadi
iodida (Day dan Underwood, 2012).
2.9. Indikator
Menurut Chang (2004), Titrasi adalah reaksi yang dilakukan dengan cara
menambahkan satu larutan ke suatu larutan dengan sangat terkendali. Tujuan dari
titrasi adalah untuk dihentikan pada titik ketika kedua reaktan telah bereaksi
dengan sempurna yaitu titik ekuivalen. Didalam laboratorium modern, instrument
pengukur yang memadai digunakan sebagai penanda titik ekuivalen telah tercapai.
Namun masih ada yang memakai cara tradisional, yaitu ketika suatu larutan atau
cairan ditambahkan ke dalam campuran, maka akan terjadi perubahan warna pada
campuran. Terdapat berbagai jenis zat yang dapat digunakan sebagai indikator,
antara lain Phenolphtalein (PP), dan amilum.
Menurut Padmaningrum (2006), Titrasi asam-basa, menggunakan suatu
zat bernama indikator yang mana akan memberi atau membuat perubahan warna
yang mencolok pada medium asam-basa. Larutan indikator tidak selalu berupa zat
kimia, tetapi dapat juga menggunakan media atau bahan asal lain, seperti buah.
Indikator yang paling umum adalah kertas lakmus namun berbentuk padat, untuk
indikator cair, dapat menggunakan ekstraksi kubis merah, dan sayuran atau buah-
buahan lain, dikatakan indikator apabila bise memberi atau membuat perubahan
warna saat dicampurkan kedalam suatu cairan asam-basa.
Menurut Petrucci (2008), Di dalam laboratorium modern, instrument
pengukur yang memadai digunakan sebagai penanda titik ekuivalen telah tercapai.
Namun masih ada yang memakai cara tradisional, yaitu ketika suatu larutan atau
cairan ditambahkan ke dalam campuran, maka akan terjadi perubahan warna pada
campuran, zat seperti ini dinamakan indikator, contoh indikator asam-basa yang
sering digunakan adalah Phenolphtalein atau biasa disingkat PP. PP biasa
digunakan dalam titrasi metode alkalimetri yakni menentukan kadar asam dengan
larutan standar basa, sehingga pada alkalimetri, PP memberikan warna pink pada
trayek pH 8,4-10, yang mana merupakan titik akhir dari titrasi alkalimetri.
2.9.1. Indikator Amillum
Indikator adalah zat yang warnanya berbeda dalam lingkungan asam dan
lingkungan basa. Larutan asam dan basa akan memberi warna tertentu apabila
direaksikan dengan indikator. Dengan adanya indikator, kita akan mengetahui
tingkat kekuatan dari suatu asam maupun basa. Beberapa indikator tersebut
terbuat dari zat warna alami tanaman, tetapi adapula yang dibuat secara sintesis di
laboratorium. Indikator buatan yang sering digunakan biasanya dalam bentuk
kertas, missal lakmus merah dan lakmus biru (Lestasi, 2016).
Pada titrasi iodometri secara tidak langsung, natrium tiosulfat digunakan
sebagai titran dengan indikator larutan amilum. Natrium tiosulfat akan bereaksi
dengan larutan iodin yang dihasilkan oleh reaksi antara analit dengan larutan KI
berlebih. Sebaiknya indikator amilum ditambahkan pada saat titrasi mendekati
titik ekivalen karena amilum dapat membentuk kompleks yang stabil dengan
iodin. Indikator amilum sebaiknya ditambahkan sesaat sebelum titik ekivalen
terjadi, yaitu ketika larutan yang dititrasi telah berubah warna. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi kesalahan titrasi, sebab kompleks iod amilum
tidak larut secara sempurna dalam palarut air (Padmaningrum, 2008).
Identifikasi iodium dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk
pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan cara penambahan beberapa pereaksi
yang diuji untuk membuktikan keberadaan iodium di dalam sampel. Pereaksi
yang khas digunakan untuk uji kualitatif menggunakan indikator amilum karena
amilum akan membentuk ikatan dengan sampel berupa ikatan iod-amilum
berwarna khas yaitu biru. Pemeriksaan secara kuantitatif dilakukan dengan
metode titrasi iodometri dimana sampel yang berupa oksidator bereaksi dengan KI
dan menghasilkan iodium.terbentuknya warna biru merupakan hasil reaksi
komplek iod amilum. Titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang. Hilangnya
warna biru merupakan titik akhir dari suatu titrasi (Padmaningrum, 2008).
III. MATERI DAN METODE
4. Kompor Untuk
memanaskan
larutan.
0,01N
3.3. Metode
3.3.1. Cara Kerja
3.3.1.1. Cara Kerja Penyabunan
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Minyak ikan diambil sebanyak 2 butir dan ditimbang
3. Minyak ikan dimasukkan kedalam 1 erlenmeyer
4. Kulit Minyak ikan ditimbang
5. Larutan NaOH 0,1N dimasukkan ke 2 erlenmeyer masing –
masing 15ml
6. Larutan dipanaskan selama 3menit
7. Kedua larutan ditetesi indikator PP sebanyak 2
8. Larutan dititrasi menggunakan titrasi dengan HCl 0,5N
3.3.1.2. Cara Kerja Pengasaman
1. Alat dan Bahan disiapkan
2. Minyak ikan diambil sebanyak 2 butir dan ditimbang
3. Dua minyak ikan dimasukkan kedalam 1 erlenmeyer
4. Kulit minyak ikan ditimbang
5. Minyak ikan ditambahkan dengan 15ml etanol
6. Larutan dipanaskan 3 menit lalu didinginkan
7. Kedua larutan ditetesi indikator PP sebanyak 2 tetes
8. Larutan dititrasi dengan NaOH sampai berubah warna
3.3.1.3. Perhitungan Bilangan Peroksida
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Erlenmeyer diisi minyak jelantah 1g
3. Erlenmeyer ditambahkan dengan larutan asam asetat dan kloroform6ml
4. Larutan ditambah dengan indikator KI sebanyak 10 tetes
5. Erlenmeyer ditutup rapat dengan alumuniumfoil dan didiamkan 2 menit
6. Larutan ditetesi Aquades sebanyak 6 ml
7. Larutan ditetesi amilum sebanyak 0,5 ml
8. Larutan dititrasi menggunakan larutan Natrium tiosulfat 0,1
3.3.2. Diagram Alir
3.3.2.1. Penentuan Bilangan Penyabunan
Mulai
Larutan sampel dan blanko dititrasi dengan HCl hingga warna larutan
berubah menjadi bening
Selesai
Mulai
Selesai
Mulai
Selesai
4.1 Hasil
4.1.1 Penentuan Bilangan Penyabunan
Vb = 3,5 Vs = 3
Bilangan penyabunan =
= 4,651
Vb = 0,5 Vs = 1
Bilangan penyabunan =
= 0,069
Gambar 6. Sebelum titrasi Gambar 7. Sebelum titrasi
4.1.3 Penentuan Bilangan Peroksida
Berat Sampel = 1 g
Bilangan penyabunan =
= 760
4.2. Pembahasan
Larutan HCl 0,5N digunakan sebagai titran dalam penentuan bilangan
penyabunan karena merupakan asam kuat dan telah diketahui konsentrasinya
secara pasti. HCl digunakan dalam menetukan bilangan penyabunan karena, HCl
memiliki nilai kelaurtan yang baik, HCl memiliki sifat kelarutan yang mudah larut
dalam air. Selain itu, HCl merupakan golongan alkali yang biasa digunakan dalam
proses penyabunan.
Pada penentuan bilangan penyabunan,Larutan sampel yang digunakan ada
dua yaitu, larutan sampel minyak dan larutan blangko yang berfungsi sebagai
larutan pembanding, larutan blangko memiliki komposisi yang sama dengan
larutan sampel minyak ikan hanya saja campurannya tidak menggunakan minyak
ikan. Larutan sampel minyak ikan digunakan sebagai bahan yang akan dicari nilai
bilangan penyabunannya. Larutan sampel minyak ikan mengandung kadar lipid,
lipid merupakan senyawa organik yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam
pelarut organik non-polar. Larutan blangko berfungsi sebagai larutan pembanding
atau sebagai pembanding dalam analisis sebuah pengujian. Larutan blangko
sendiri didalamnya terdapat larutan NaOH. Larutan ini merupakan larutan yang
sifatnya non-polar, tingkat kelarutannya yaitu mudah larut dalam air.
Pada penentuan bilangan asam,larutan NaOH 0,1 N digunakan sebagai
titran dalam penentuan bilangan asam karena merupakan basa kuat dan telah
diketahui konsentrasinya secara pasti. NaOH digunakan pada saat proses titrasi
karena NaOH bersifat basa, sedangkan etanol sifatnya asam, dan penambahan ke
dalam campuran minyak ikan akan menyebabkan kenaikan pH dari campuran
alkohol dan minyak ikan dan memiliki sifat mudah larut dalam air. Penambahan
dengan NaOH dimaksudkan karena NaOH dapat mereaksikan minyak ikan
(trigliserida) sehingga menghasilkan gliserol dan garam alkali Na (sabun).
Larutan indikator yang digunakan dalam titrasi menentukan bilangan
penyabunan yaitu larutan indikator PP (Fenoftalein). Larutan indikator PP
digunakan karena pada kondisi asam larutan PP tidak berwarna, sedangkan pada
kondisi basa akan berubah warna menjadi merah muda keunguan, proses
perubahan warna tersebut dalam berjalannya titrasi dapat digunakan sebagai acuan
titk akhir dari proses titrasi dengan adanya perubahan warna. Larutan indikator PP
memiliki trayek pH antara 8,3 – 10 Selain itu, larutan indikator PP memiliki sifat
kelarutan yang rendah terhadap air.
Larutan indikator PP sendiri berpengaruh terhadap perubahan warna,
karena proses perubahan warna yang terjadi pada saat larutan sampel ditetesi oleh
larutan indikator PP yaitu larutan menjadi ungu yang menunjukan larutan bersifat
basa, setelah dititrasi larutan berubah warna menjadi bening yang berarti larutan
saat mencapai pH > 14 atau batas maksimum pH basa. Proses yang terjadi sesuai
dengan ketentuan bahwa larutan indikator PP digunakan karena pada kondisi asam
larutan indikator PP tidak berwarna, sedangkan pada kondisi basa akan berubah
warna menjadi merah muda keunguan.
Larutan indikator yang digunakan dalam titrasi menentukan bilangan asam
yaitu larutan indikator PP (Fenoftalein). Larutan indikator PP digunakan karena
pada pada kondisi basa akan berubah warna menjadi merah muda keunguan
sedangkan pada kondisi asam larutan PP tidak berwarna, proses perubahan warna
tersebut dalam berjalannya titrasi dapat digunakan sebagai acuan titk akhir dari
proses titrasi dengan adanya perubahan warna. Larutan indikator PP memiliki
trayek pH antara 8,0 – 9,6. Selain itu, larutan indikator PP memiliki sifat kelarutan
yang rendah terhadap air.
Larutan indikator PP sendiri berpengaruh terhadap perubahan warna,
karena proses perubahan warna yang terjadi pada saat larutan sampel ditetesi oleh
larutan indikator PP yaitu larutan sampel tetap berwarna putih atau tidak terjadi
perubahan warna menunjukan larutan sampel bersifat asam, setelah dititrasi
larutan berubah warna menjadi ungu. Proses yang terjadi sesuai dengan ketentuan
bahwa larutan indikator PP digunakan karena pada kondisi asam larutan indikator
PP tidak berwarna, sedangkan pada kondisi basa akan berubah warna menjadi
5.1. Kesimpulan
1. Hasil penghitunganbilangan penyabunan yang terdapat pada sampel
minyak ikan yaitu sebesar -2 gram
2. Hasil penghitungan bilangan asam yang terdapat pada sampel minyak
ikan yaitu sebesar 13,82 gram.
3. Hasil perhitungan bilangan peroksida yang terdapat pada sampel minyak
goreng bekas yaitu sebesar 480 gram.
5.2 . Saran
1. Praktikan diharapkan lebih fokus dan tidak bercanda disaat praktikum
berjalan bertujuan agar praktikan lebih memahami proses praktikum
yang berlangsung.
2. Praktikan perlu lebih berhati-hati kembali dalam menggunakan alat
selama praktikum agar tidak terjadi kerusakan.
3. Praktikan diharapkan mempelajari materi terlebih dahulu
DAFTAR PUSTAKA
Agribisnis, Seri et al,. 2006. Jarak Pagar tanaman Penghasil Biodiesel. Bogor ;
Penebar Swadaya.
Ahmad, Nuril. 2014. Analisis Minyak Hati Ikan Hius Botol Di Pantai Prigi
Watulimo Trenggalek. Jurnal Agrina. 1(1) 1-4.
Alfiani, S et al,. 2014. Analisis Kadar Asam Lemak Bebas Dalam Minyak Hasil
Penggorengan Berulang Dengan Metode Titrasi Asam Basa. Jurnal
Ayu, Ratu D.S. 2016. Pengaruh Asam Lemak Jenuh, Tidak Jenuh dan Asam
Lemak Trans Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Aziz T, Ratih C. K N dan Asima F .2009. Pengaruh Pelarut Heksana dan Etanol,
Volume Pelarut, dan Waktu Ekstraksi Terhadap Hasil Ekstraksi Minyak
Kopi. Jurnal Teknik Kimia, 16(1) : 19-24.
Day, R.A dan A.L. Underwood. 2012. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta ;
Erlangga.
Dalam Terbitan.
Lestari, P. 2016. Kertas Indikator Bunga Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Untuk Uji Larutan Asam – Basa. Jurnal Pendidikan Madrasah. 1(1) : 69 –
70
Mangallo, Bertha et al,. 2014. Efektivitas Arang Aktif Kulit Salak pada
Permunian Minyak Goreng Bekas. Jurnal Kimia. 7(2).
Mursalin et al,. 2015. Karakteristik Sifat Fisika Kimia Minyak Kelapa. Jurnal
Teknologi Pertanian.
Nuryanti, Siti et al,. 2010. Indikator Titrasi Asam – Basa dari Ekstrak Bunga
Sepatu. Jurnal Agritech. 30(3).
Nuryoto. 2008. Studi Kinerja Katalisator Lewatit Monoplus s-100 pada Reaksi
Esterifikasi antara Etanol dan Asam Asetat. Jurnal Rekayasa Proses.
2(1).
Padmaningrum, Regina T. 2012. Titrasi Asidimetri. Jurdik Kimia.
Putri, W. S et al,. 2013. Skrining Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Kulit Buah
Manggis. Jurnal Farmasi.
Ritonga, Rimadani. 2010. Penentuan Bilangan Peroksida pada Minyak Inti
Kelapa Sawit. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.