Anda di halaman 1dari 60

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Senyawa yang ada di bumi ini dapat larut dalam pelarut tertentu jika
memiliki polaritas yang sama. Senyawa polar larut dengan pelarut non polar
begitu juga sebaliknya. Lemak/minyak termasuk kedalam non polar sehingga
mudah larut dalam pelarut non polar (kloroform, karbon disulfida). Tingkat
kelarutan dari lemak/minyak perlu diketahui untuk menentukan pelarut yang
digunakan untuk pengambilan lemak. Lemak ini terdapat pada makanan –
makanan yang dikonsumsi oleh manusia. Oleh karena itu uji lemak/minyak ini

perlu dilakukan karena dapat membantu kesehatan manusia.


Minyak/lemak disebut juga lipid. Minyak merupakan senyawa turunan ester
dari gliserol dan asam lemak. Lipid ini banyak terdapat di alam sekitar. Lipid
termasuk kedalam senyawa non polar, sesuai yang sudah dijelaskan di paragraf
sebelumnya maka lipid ini akan mudah larut dengan pelarut non polar.
Lipid dari sampel ini didadapat dengani uji lemak/minyak yang melalui
proses titrasi. Titrasi yang digunakan dalam uji lemak/minyak ini yaitu titrasi
bilangan penyabunan dan titrasi bilangan asam. Proses ini bertujuan untuk
menarik kandungan kimia yang larut sehingga dapat terpisah dari bahan yang
tidak larut. Cairan NaOH dan HCl diperlukan dalam titrasi ini untuk melakukan

uji minyak/lemak.

1.2. Tujuan
1. Menentukan bilangan penyabunan lemak/minyak
2. Menentukan bilangan asam lemak/minyak
3. Menentukan bilangan peroksida
1.3. Manfaat
1. Mengetahui bilangan penyabunan
2. Mengetahui bilangan asam
3. Mengetahui bilangan peroksida

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Sifat – Sifat Lemak
Menurut Indra (2006), Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah
dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak goreng
merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikomsumsi oleh berbagai
kalangan masyarakat. Minyak goreng biasanya digunakan sebagai media
menggoreng bahan makanan, penambah cita rasa. Minyak goreng yang dihasilkan
dari bahan yang berbeda mempunyai stabilitas yang berbeda karena stabilitas
minyak goreng dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti derajat ketidakjenuhan
asam lemak yang dikandungnya, penyebaran ikatan rangkap dan bahan-bahan
yang dapat mempercepat atau memperlambat proses kerusakan. Minyak goreng
yang baik mempunyai sifat tahan panas, stabil pada cahaya matahari, tidak
merusak rasa hasil penggorengan, menghasilkan produk dan rasa yang bagus,
asapnya sedikit setelah digunakan berulang-ulang, serta menghasilkan warna

keemasan pada produk.


Minyak goreng yang berulang kali dipakai atau yang lebih dikenal dengan
minyak jelantah adalah limbah yang berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti
minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya yang merupakan
minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga, dapat digunakan lagi untuk
keperluan lainnya, akan tetapi apabila melihat komposisi kimianya, minyak
jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, atau memicu
kanker, yang terjadi selama proses penggorengan (Sopianti et al., 2017).
Penggunaan minyak goreng dalam waktu lama dan berulang pada suhu tinggi
(160-180°C) disertai adanya kontak dengan udara dan air pada proses
penggorengan akan mengakibatkan terjadinya reaksi yang disebut degradasi atau
penurunan mutu dan kualitas. Reaksi degradasi adalah reaksi yang kompleks dan
menghasilkan berbagai senyawa hasil reaksi. Pada reaksi degradasi, minyak
goreng mengalami perubahan warna dari kuning menjadi gelap. Reaksi degradasi
ini menurunkan kualitas minyak dan akhirnya minyak tidak dapat dipakai lagi dan
harus dibuang. Produk reaksi degradasi yang terdapat dalam minyak ini juga akan
menurunkan kualitas bahan pangan yang digoreng dan menimbulkan pengaruh
buruk bagi kesehatan. Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan
semakin tinggi (Panagan et al., 2012).
2.1.1. Sifat Fisis Lemak
Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak, tersusun
atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa seperti
asam lemak bebas, sterol, posfolipid dan lipoprotein. Triasilgliserol penyusun
minyak atau lemak terbentuk dari asam lemak–asam lemak yang saling
berinteraksi satu sama lain sehingga mempengaruhi sifat dan wujud minyak
secara alamiah. Sifat fisik dan kimia lemak sangat ditentukan oleh profil
tiasilgliserol dan komposisi asam lemaknya. Tiasilgliserol dan asam lemak
penyusun minyak secara parsial mempunyai sifat fisik dan kimia tersendiri, oleh
karena itu pengaturan jenis dan jumlah tiasilgliserol dalam minyak akan sangat
merubah sifat alami minyak tersebut (Mursalin et al., 2015).
Menurut Epand (2006), Pengetahuan mengenai sifat–sifat lemak
menggambarkan mutu lemak itu sendiri dan kemungkinan penggunaannya
sebagai bahan baku proses pengolahan tertentu untuk membentuk produk tertentu.
Sifat fisis dari lemak sangat bergantung dari lemak itu sendiri, sifat fisis lemak
biasanya meliputi bobot jenis dari lemak dan minyak yang biasanya ditentukan
pada temperatur kamar, titik didih asam lemak yang semakin meningkat dengan
bertambahnya panjang rantai karbon, bau amis yang disebabkan karena
terbentuknya trimetil–amin dari lecithin, rasa pada lemak dan minyak, titik lunak
dari lemak dan minyak yang ditetapkan untuk proses indentifikasi, dan masih
banyak lagi.
Seperti yang kita ketahui, perbedaan lemak dan minyak terletak pada
wujudnya di suhu ruang, lemak berbentuk padat dan minyak berbentuk cair. Tidak
seperti protein, lemak mempunyai dua fungsi yaitu sebagai inherent catalytic
activity dan fungsi dalam isolasi. Banyak sekali fungsi dari lemak yang didapat
dari sifatnya dalam proses katalis. Sifat fisik lemak sama pentingnya dengan sifat
kimia lemak sesuai dengan fungsinya. Namun masih ada ketidakpastian
amengenai bagaimana pengukuran sifat fisik lemak yang disebabkan karena masih
kurangnya penelitian para ahli dan ilmuan (Vance, 2006).
2.1.2. Sifat Kimia Lemak
Lemak adalah senyawa yang tidak larut dalam air yang dapat dipisahkan
dari sel dan jaringan dengan cara ekstrasi menggunakan pelarut organik non polar.
Lemak merupakan komponen senyawa yang penting yang berkontribusi di
hamper semua makanan. Alam menyediakan lemak dalam jumlah yang sangat
besar yang dibedakan menurut sifat kimianya. Sifat kimia dalam lemak dapat
dijadikan faktor untuk membedakan antara lemak satu dan lemak lainnya.
Meskipun sturuktur lemak bermacam–macam, semua lemak mempunyai sifat

kimia yang spesifik (Sikorski dan Kolakowska, 2002).


Sifat kimia pada lemak menjadi bukti selama reaksi kimia dan perbedaan
karakteristik dari struktur molekul lemak. Hal ini disebabkan karena sifat kimia
lemak hanya bisa di deskripsikan pada reaksi tertentu. Beberapa sifat kimia pada
lemak telah digunakan sejak dulu untuk membedakan dan menjelaskan perbedaan
dan juga karakteristik–karakteristik yang terdapat dari bentuk lemak dan minyak

(Sikorski dan Kolakowska, 2011).


Menurut Herlina (2012), lemak memiliki beberapa sifat kimia yaitu
Proses esterifikasi bertujuan untuk asam-asam lemak bebas dari trigliserida,
menjadi bentuk ester. Reaksi esterifikasi dapat dilakukan melalui reaksi kimia
yang disebut interifikasi atau penukaran ester yang didasarkan pada prinsip
transesterifikasi Fiedel-Craft.Oksidasi,Oksidasi dapat berlangsung bila terjadi
kontak antara sejumlah oksigen dengan lemak atau minyak. Terjadinya reaksi
oksidasi ini akan mengakibatkan bau tidak sedap pada lemak atau minyak.
Hidrogenasi, Proses hidrogenasi bertujuan untuk menjernihkan ikatan dari rantai
karbon asam lemak pada lemak atau minyak. Setelah proses hidrogenasi selesai,
minyak didinginkan dan katalisator dipisahkan dengan disaring. Hasilnya adalah
minyak yang bersifat plastis atau keras, tergantung pada derajat kejenuhan.
Penyabunan, Reaksi ini dilakukan dengan penambahan sejumlah larutan basa
kepada trigliserida.Bila penyabunan telah lengkap, lapisan air yang mengandung
gliserol dipisahkan dan gliserol dipulihkan dengan penyulingan.

2.2. Asam Lemak


Lemak dan minyak adalah senyawa lipida yang paling banyak di alam.
Perbedaan antara keduanya adalah perbedaan sifat fisik pada suhu kamar. Dimana
lemak berbentuk padat pada suhu kamar, dan minyak berbentuk cair pada suhu
kamar. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan jumlah ikatan rangkap,
panjang rantai karbon, bentuk cis atau trans yang terkandung dalam asam lemak
tidak jenuh. Komponen dasar lemak adalah asam lemak dan gliserol yang
diperoleh dari hasil hidrolisi lemak, minyak maupun lipid. Asam lemak
pembentuk lemak dapat dibedakan berdasar kan jumlah atom C (karbon)., ada
atau tidaknya ikatan rangkap, jumlah ikatan rangkap, serta letak ikatan rangkap.
Berdasarkan struktur kimianya asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh
dan asam lemak tidak jenuh asam lemak jenuh adalah asam lemak yang tidak
memiliki ikatan rangkap, sedangkan asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak

yang memiliki ikatan rangkap (Ayu, 2016).


Asam lemak adalah suatu senyawa golongan asam karboksilat yang
mempunyai rantai alifatik panjang, baik jenuh maupun tidak jenuh. Asam lemak
alami mempunyai rantai dengan jumlah atom karbon genap dari 4 hingga 28.
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang tidak terikat pada molekul lain. Asam
lemak merupakan turunan dari trigliserida atau fosfolipid. Asam–asam lemak
dapat berasal dari tipe yang sama maupun yang tidak sama. Sifat trigliserida akan
tergantung pada perbedaan asam–asam lemak yang bergabung untuk membentuk
trigliserida. Perbedaan asam–asam lemak ini tergantung pada panjang rantai dan
derajat kejenuhannya (Pahan, 2012).
Umumnya asam lemak yang menyusun lemak bahan pangan secara alami
terdiri dari asam lemak dengan konfigurasi posisi cis minyak kelapa sawit,
kedelai, jagung dan kelapa. Kadar asam lemak bebas dapat di analisis
menggunakan metode titrasi asam basa. Selain dengan metode titrasi, kadar asam
lemak bebas di dalam minyak dapat dianalisis menggunakan FTIR (Fourier
Transformasi Infra Red) yang didasari pada vibrasi ikatan atom dari suatu
molekul (Alfiani et al., 2014).

2.3. Degradasi Lemak


Lemak atau Minyak goreng memang sulit dipisahkan dari kehidupan
masyarakat. Makanan yang digoreng dan mengandung lemak biasanya lebih lezat,
gurih, dan kenyal, tanpa membutuhkan tambahan bumbu bermacam–macam.
Dengan demikian menggoreng adalah cara yang paling praktis untuk memasak.
Dalam proses penggorengan, minyak goreng berperan sebagai media untuk
perpindahan panas yang cepat dan merata pada permukaan bahan yang digoreng.
Penggunaan minyak goreng secara berulang – ulang disertai adanya kontak
dengan udara dan air pada proses penggorengan akan mengakibatkan terjadinya
reaksi degradasi yang kompleks dalam minyaj dan menghasilkan berbagai
senyawa hasil reaksi. Minyak goreng juga mengalami perubahan warna dari
kuning menjadi warna gelap. Reaksi degradasi ini menurunkan kualitas minyak
dan akhirnya minyak tidak dapat dipakai lagi dan harus dibuang (Yustinah, 2011).
Minyak goreng yang sudah mengalami proses pemanasan berulang kali
sering disebut sebagai minyak jelantah. Selama proses penggorengan minyak
goreng akan mengalami reaksi degradasi yang disebabkan oleh panas, udara, dan
air sehingga mengakibatkan terjadinya oksidasi. Bila suhu pemanasan lebih tinggi
0 0
dari suhu normal (168 C–196 C), akan terjadi percepatan proses degradasi dan
oksidasi minyak goreng. Pada proses oksidasi dalam minyak goreng, akan terjadi
reaksi antara oksigen dengan lemak tidak jenuh dalam minyak, dimana ikatan
rangkap cis asam lemak tidak jenuh akan terisomerisasi menjadi konfigurasi trans

(Triyanto, 2013).
Produk reaksi degradasi yang terdapat dalam minyak atau lemak akan
menurunkan kualitas bahan pangan yang digoreng dan menimbulkan pengaruh
buruk bagi kesehatan. Walaupun menimbulkan dampak yang negatif, penggunaan
jelantah adalah hal yang biasa di masyarakat. Upaya untuk menghasilkan bahan
pangan yang berkualitas serta pertimbangan dari segi ekonomi, memacu minat
penelitian untuk pemurnian minyak goreng bekas agar dapat dipakai kembali
tanpa mengurangi kualitas bahan yang digoreng. Pemurnian minyak goreng bekas
merupakan pemisahan produk reaksi degradasi dari minyak itu sendiri (Mangallo
et al., 2014).

2.4. Bilangan Asam


Menurut Armando (2009), bilangan asam menunjukan kadar asam bebas
dalam suatu minyak. Bilangan asam yang semakin besar dapat mempengaruhi
kualitas, diantaranya mengubah bau khas minyak tersebut. Bilangan asam
merupakan suatu perhitungan yang bisa dijadikan faktor penentu kadar kualitas
suatu minyak. Angka asam menunjukan banyaknya asam lemak bebas yang
terdapat dalam suatu lemak atau minyak. Bilangan asam adalah ukuran dari
jumlah asam lemak bebas, serta dihitung berdasarkan berat molekul dari asam
lemak atau campuran asam lemak. Bilangan asam lemak ini dinyatakan sebagai
jumlah milligram NaOH 0,1 N yang digunakan untuk menetralkan asam lemak
bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak.
Nilai bilangan asam dapat digunakan untuk menentukan kualitas minyak,
semakin tinggi bilangan asam yang dikandung dalam minyak, maka semakin
tinggi tingkat kerusakan minyak. Pengujian bilangan asam dilakukan melalui
proses titrimetri. Bilangan asam adalah banyaknya milligram KOH yang
dibutuhkan untuk menetralkan asam – asam bebas didalam satu gram sampel
biodiesel. Selain itu kandungan asam lemak bebas yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya penyabunan dan menyulitkan proses pencucian biodiesel, sehingga
dapat mempengaruhi rendemen biodiesel yang dihasilkan (Prihandana et al.,

2006).
Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah kalium hidroksida dalam
milligram yang diperlukan untuk menetralkan 1 gram asam bebas. Dalam
penentuan bilangan asam, keberadaan alkali terlarut perlu diperhatikan karena
sifatnya yang dapat menyebabkan terjadinya safonifikasi bahkan dalam keadaan
dingin (basa kuat). Nilai bilangan asam juga berperan dalam proses
transesterifikasi minyak jarak menjadi metil ester atau biodiesel. Bilangan asam
suatu minyak akan bertambah dengan umur penyimpananya. Adanya reaksi
oksidasi dan hidrolisis ester akan meningkatkan bilangan asam. Oleh karena itu
minyak harus terhindar dari kontak dengan udara dan cahaya pada saat
penyimpanan. Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak
bebas yang terdapat dalam lemak dan minyak (Julianto, 2016).

2.5. Bilangan Penyabunan


Menurut Ahmad (2014), pada reaksi antara lemak dan kalium hidroksida ini,
kita mengenal adanya suatu bilangan penyabunan. Bilangan penyabunan adalah
jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram lemak atau
minyak. Dalam penetapan bilangan penyabunanm misalnya larutan alkali yang
digunakan adalah larutan KOH, yang diukur dengan hati – hati ke dalam tabung
dengan buret atau pipet. Apabila sejumlah sampel minyak atau lemak disabunkan
dengan larutan KOH berlebih dalam alkohol, maka KOH akan bereaksi dengan
trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul minyak atau
lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan titrasi menggunakan HCL
sehingga KOH yang bereaksi dapat diketahui.
Besarnya jumlah ion yang diserap menunjukan banyaknya ikatan rangkap
atau ikatan tidak jenuh, ikatan rangkap yang terdapat pada minyak yang tak jenuh
akan bereaksi dengan iod. Bilangan penyabunan memberikan gambaran kepada
kita mengenai besar kecilnya molekul lemak. Makin besar bilangan penyabunan
suatu lemak, semakin kecil molekul lemak tersebut dan sebaliknya makin kecil
bilangan penyabunan suatu lemak, makin besar molekul lemaknya. Jika bilangan
penyabunan menurun, maka akan menurunkan bilangan asamnya. Sehingga asam

larutan tidak dapat menyabunkan lemak (Suamarjdo, 2009).


Angka penyabunan menunjukan berat molekul lemak dan minyak secara
kasar. Minyak yang disusun oleh asam lemak berantai karbon yang pendek berarti
mempunyai berat molekul yang relative kecil, akan mempunyai angka
penyabunan yang besar dan sebaliknya bila minyak mempunyai berat molekul
yang besar, maka angka penyabunan relative kecil. Angka penyabunan yang
diperoleh dapat digunakan untuk menentukan kadar ester di dalam biodiesel ester
alkil. Bilangan penyabunan mempunyai hubungan yang erat dengan bobot
molekul minyak. Peningkatan bilangan penyabunan disebabkan oleh adanya
pemanasan. Oleh karena itu, akibat peningkatan suhu dan lama pengempaan telah
menyebabkan terjadinya pemutusan rantai karbon pada minyak yang
mengakibatkan berkurangnya bobot molekul minyak, sehingga bilangan
penyabunan meningkat (Agribisnis, 2006).

2.6. Bilangan Peroksida


Bilangan peroksida adalah banyaknya miliekuivalen peroksida dalam 1000
gram lemak. Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat
kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat
oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida ini
dapat ditentukan dengan metode iodometri. Bilangan peroksida biasanya
pengukuran secara volumetri dengan metode yang telah dikembangkan oleh Lea.
Hal ini bergantung pada reaksi kalium iodide dalam suasana asam dengan
mengikat oksigen dan diikuti dengan titrasi dari pembebasan iodine dengan
natrium tiosulfat (Ritonga, 2010).
Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar
peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi
lemak. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti
menunjukan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa
disebabkan karena laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan
dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain. Hal ini berkaitan dengan sifat
kadar peroksida yang cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain

(Aminah, 2010).
Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi
dan hidrolitik. Diantara kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata
kerusakan karena autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa.
Usaha untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sebagai
angka peroksida atau angka asam thiobarbiturat. Bilangan peroksida merupakan
nilai untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak goreng. Bilangan
peroksida dapat meningkat akibat pemanasan minyak yang berlebihan sehingga
minyak akan teroksidasi menghasilkan za–zat radikal bebas. Selain itu adanya
frekuensi penggorengan yang berulang kali akan menghasilkan senyawa yang
dapat mengganggu kesehatan yang menyebabkan penyakit apabila dikonsumsi
dalam waktu yang lama, salah satunya adalah kanker (Islamiah, 2015)

2.7. Pelarut
Menurut Padmaningrum (2006), pelarut adalah zat yang digunakan sebagai
media untuk melarutkan zat lain. Dalam sebuah larutan, umumnya solven atau
pelarut jumlahnya yang terbanyak. Zat terlarut adalah komponen dari larutan yang
memiliki jumlah lebih sedikit dalam sistem larutan. Selain ditentukan oleh
kuantitas zat, istilah pelarut dan terlarut juga ditentukan oleh struktur. Pelarut
memiliki struktur yang tidak berubah.
Senyawa polar adalah Senyawa yang terbentuk akibat adanya suatu ikatan
antar elektron pada unsur-unsurnya. Senyawa yang bersifat polar akan mudah
larut dalam pelarut polar. Pelarut polar memiliki tingkat kepolaran yang tinggi,
cocok untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut
polar cenderung umum untuk digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap
dapat menyari senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Contoh
pelarut polar adalah air, metanol, etanol, asam asetat (Aziz et al., 2009).
Lemak atau lipida, seperti minyak, tidak akan larut atau bercampur dengan

air, akan tetapi, akan larut dalam pelarut non polar seperti PCl 5 dan n-heksana. N-
heksana dipakai dalam ekstraksi lipid dari biji-bijian kacang. Pelarut ini baik
untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut
polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh:
heksana, eter (Utomo, 2016).
2.7.1. Pelarut Polar
Menurut Hadyana (2002), prinsip dasar pemisahan campuran dengan
ekstrasi adalah perbedaan kelarutan zat dalam pelarut. Ada dua jenis pelarut, yaitu
pelarut polar dan pelarut non polar. Pelarut polar ialah senyawa dengan bentuk
yang simetris dalam artian, setiap sisinya mengikat jenis ion yang sama. Pelarut
polar selalu memiliki pasangan elektron bebas yang dapat digunakan untuk
bereaksi dengan senyawa polar lain. Pelarut polar dapat melarutkan senyawa-
senyawa polar juga. Contoh dari pelarut polar adalah air dan alkohol.
Ahli kimia zaman dahulu mencoba menemukan pelarut universal yang
dapat melarutkan segala macam zat. Mereka tidak menemukan zat pelarut yang
lebih baik dari air. Suatu senyawa tidak perlu berbentuk senyawa ionic agar dapat
larut dalam air. Senyawa polar merupakan senyawa yang dapat larut dalam pelarut
polar seperti air. Bahkan molekul sebesar protein dapat larut dalam air jika
memiliki daerah ionic dan daerah polar pada permukaanya. Air yang merupakan
contoh dari pelarut polar memegang peranan penting karena air merupakan
pelarut yang sangat serbaguna (Cairns, 2004).
Menurut Chang (2004), kelarutan merupakan ukuran banyaknya zat
terlarut yang akan melarut dalam pelarut pada suhu tertentu. Ungkapan yang
sejenis melarutkan yang sejenis membantu kita memprediksi kelarutan zat dalam
pelarut. Ungkapan ini menyatakan bahwa dua zat dengan jenis yang sama dan
besar gaya antar molekul yang sama akan cenderung saling melarutkan. Secara
umum kita meramalkan bahwa senyawa ionik akan jauh lebih larut dalam pelarut
polar seperti air, cairan ammonia, dan cairan hydrogen jika dibandingkan dengan
pelarut non polar. Hal ini terjadi karena molekul pelarut non polar tidak memiliki
momen dipol, molekul seperti ini tidak dapat secara efektif mensolvasi ion Na+
dan ion Cl-.
2.7.2. Pelarut Non Polar
Pelarut non polar merupakan senyawa yang terbentuk akibat adanya suatu
ikatan antara elektron pada unsur-unsur yang membentuknya. Hal ini terjadi
karena unsur yang berikatan mempunyai nilai elektronegatifitas yang sama.
Senyawa non polar biasanya tidak larut dalam air dan pelarut polar lainnya, tidak
memiliki kutub (+) dan kutub (-). Titrasi yang sangat bagus telah dilakukan dalam
pelarut non polar seperti benzene dan kloroform yang tidak mendorong diasosiasi
ke tingkat yang cukup. Pelarut non polar baik untuk mengekstrak senyawa-
senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar seperti heksana (Day

and Underwood, 2002).


Pelarut non polar tidak dapat membentuk suatu ikatan hidrogen dengan
non elektrolit. Pelarut non polar memiliki konstanta dielektrik rendah. Hal ini
akan menyebabkan daya tarik ion tidak dapat dikurangi oleh pelarut non polar.
Pelarut non polar adalah pelarut yang dapat bercampur dengan lemak atau
minyak). Contoh dari pelarut non polar adalah eter dan aseton. Zat terlarut non
polar dapat dilarutkan oleh pearut non polar dengan menggunakan gaya Van der
Walls. Contoh: larutan minyak dan lemak dalam karbon tetraklorida atau benzena

(Hadyana, 2002).
Senyawa non polar terbentuk akibat adanya suatu ikatan antar elektron
pada unsur–unsur yang membentuknya. Hal ini terjadi karena unsur yang
berikatan mempunyai nilai elektronegatifitas yang sama atau hampir sama.
Kebanyakan golongan terpenoid bersifat non polar, sehingga larut ke dalam
pelarut non polar dan semi polar. Heksana, benzana, dan petroleum eter bersifat
non polar. Ekstrak heksana memberikan kelarutan dalam etanol lebih tinggi
daripada ekstrak air yang merupakan senyawa polar. Kelarutan aquades tertinggi
pada ekstrak air dan kelarutan terendah adalah ekstrak heksana. Contoh dari
pelarut non polar adalah benzena, karbon tetraklorida, dan dietil eter (Saifudin,
2014).
2.7.3. Pelarut Semi Polar
Pelarut semi polar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan senyawa –
senyawa semi polar dari tumbuhan. Mayoritas metabolit sekunder bersifat semi
polar sehingga larut dalam pelarut organik. Adapun kebanyakan golongan
terpenoid bersifat non polar sehingga larut ke dalam pelarut non polar dan semi
polar. Metode kromatografi baik fase normal atau terbalik yang saat ini diterapkan
dan berkembang kebanyakan kompatibel dengan senyawa semi polar, sehingga
senyawa yang sangat polar atau non polar tidak kompatibel dengan metode
pemisahan kromatografi (Saifudin, 2014).
Salah satu contoh pelarut semipolar adalah etil asetat. Etil asetat
merupakan senyawa yang dihasilkan dari pertukaran gugus hidroksil pada asam
karboksilat dengan gugus hidrokarbon pada etanol. Etil asetat merupakan pelarut
semi polar yang bersifat volatil (mudah menguap). Etil asetat merupakan bukan
suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat

asam(Nuryoto, 2008).
Etil asetat merupakan pelarut yang bersifat semi polar sehingga dapat
menarik senyawa yang bersifat polar maupun non polar seperti senyawa aglikon
maupun glikon dari kulit buah manggis. Tetapi etil asetat sebagai pelarut semi
polar tidak mampu menarik senyawa yang terlalu polar maupun terlalu non polar.
Etil asetat juga sering disintesis dengan katalisator cair seperti asam sulfat (Putri

et al., 2013).
2.8. Titrasi
Menurut Padmaningrum (2006), Titrasi merupakan suatu proses analisis
dimana suatu volum larutan standar ditambahkan ke dalam larutan dengan tujuan
mengetahui komponen yang tidak dikenal. Larutan standar adalah larutan yang
konsentrasinya sudah diketahui secara pasti. Berdasarkan kemurniannya larutan
standar dibedakan menjadi larutan standar primer dan larutan standar sekunder.
Proses asidimetri merupakan reaksi netralisasi yang berarti reaksi yang
berasal dari reaksi antara ion hidrogen dari asam dan ion hidroksida dari basa.
Hasil dari proses ini adalah molekul air. Contoh yang biasa digunakan pada materi
ini adalah HCl. Garam yang tercipta dari reaksi titrasi asidimetri adalah netral
karena terjadi reaksi ionisasi. Contoh asidimetri yang umum adalah pentitrasian
NaOH yang berupa basa kuat oleh HCl yang berupa asam kuat, reaksi keduanya
menghasilkan garam netral dari proses ionisasi. Pada asidimetri asam kuat dan
basa kuat, titik ekuivalen beraada di pH 7, yaitu pada kondisi netral (Chang,
2004).
Menurut Andari (2013), Alkalimetri dapat didefinisikan sebagai metode untuk
menetapkan kadar asam dari suatu bahan menggunakan larutan basa yang sesuai.
Asam menurut Arrhenius adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air terurai
menjadi ion hydrogen dan anion, sedangkan basa adalah senyawa yang jika
dilarutkan dalam air, terurai menjadi ion hidroksida dan kation. Pada titrasi
alkalimetri, mempunyai kurva titrasi yang mengarah naik, karena titrasi ini
dilakukan dengan meneteekan perlahan-lahan larutan basa standar pada larutan
asam, sehingga secara logika pH akan naik perlahan.
2.8.1. Titrasi Asidimetri
Asidimetri merupakan tipe reaksi penetralan yang ada pada titrasi asam
basa. Asidimetri adalah penentuan atau pengukuran konsentrasi larutan asam
dalam suatu campuran. Biasanya dilakukan dengan cara titrasi bersama dengan
larutan basa yang telah diketahui konsentrasinya, yaitu larutan baku dan suatu
indikator untuk menunjukkan titik akhir suatu titrasi. Titik dalam titrasi dimana
titran yang telah ditambahkan cukup untuk bereaksi secara tepat dengan senyawa
yang ditentukan disebut titik ekuivalen. Contoh pelaksanaan yang dilakukan
dengan titrasi asidimetri yaitu untuk senyawa yang tidak dapat larut dalam air
dapat larut dalam pereaksi yang mudah didapatkan. Jadi, untuk menentukan
kadarnya tidak kesulitan mencari pelarut yang lain untuk melarutkannya dan
pegerjaannya tidak memerlukan peralatan khusus (Day dan Underwood, 2012).
Asidimetri merupakan suatu titrasi terhadap larutan basa bebas atau garam
yang berasal dari basa lemah dengan larutan standar asam. Proses asidimetri
merupakan reaksi netralisasi yang berarti reaksi yang berarti reaksi yang berasal
dari asam antara ion hidrogen dan ion hidroksida yang berasal dari basa. Pada
+ -
proses ini terjadi penggabungan ion H dan ion OH dan menghasilkan molekul
air. Contoh yang biasa digunakan pada metode ini adalah HCl. Indikator titrasi
asam basa adalah asam atau basa lemah dengan warna yang berbeda. Warna
indikator harus berbeda sesuai konsentrasi H+ dan PH (Day dan Underwood,
2012).
Menurut Day dan Underwood (2012), Titrasi asidimetri merupakan titrasi
yang berhubungan dengan asam – basa. Asidimetri merupakan pengukuran atau
penentuan konsentrasi larutan asam dalam suatu campuran. Untuk menentukan
titik akhir titrasi biasanya dilakukan jalan titrasi bersama larutan basa yang
konsenrasinya telah diketahui. Contoh metode asidimetri adalah penetapan kadar
boraks. Untuk senyawa yang tidak dapat larut di air, dapat larut dalam pereaksi
yang mudah didapatkan. Menentukan kadar tidak kesulitan mencari pelarut untuk

melarutkannya.
2.8.2. Titrasi Alkalimetri
Menurut Andari (2013), Alkalimetri merupakan metode titrasi yang
berdasarkan pada reaksi netralisasi, yaitu reaksi antara ion hydrogen yang berasal
dari asam dengan ion hidroksida yang berasal dari basa yang membentuk molekul
air. Alkalimetri dapat didefinisikan sebagai metode titrasi untuk menentukan kadar
asam dari suatu bahan menggunakan larutan bersifat basa yang sesuai. Dalam
titrasi alkalimetri, kita menggunakan larutan standar untuk menentukan
konsentrasinya. Larutan standar adalah larutan yang dengan tepat dapat diketahui
konsentrasinya. Indikator pada titrasi adalah asam atau basa organik lemah yang
mampu berada dalam dua macam bentuk warna yang berbeda. Warna dalam
bentuk ion dan warna dalam bentuk molekul sehingga dapat saling berubah
warna.
Menurut Andari (2013), Alkalimetri termasuk reaksi netralisasi, yaitu
reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari asam dengan ion hidroksida yang
berasal dari basa untuk menghasilkan air yang sifatnya netral. Dilakukannya
pembakuan larutan bertujuan untuk menyamakan larutan yang digunakan untuk
titrasi alkalimetri dengan standar larutan baku. Dalam alkalimetri kita
menggunakan larutan standar untuk menentukaan konsentrasinya. Larutan standar
itu sendiri yaitu larutan yang dengan tepat dapat diketahui konsentrasinya dan
digunakan sebagai pereaksi.
Titer yang digunakan pada alkalimetri adalah NaOH atau KOH.
Hidroksida – hidroksida dari natrium, kalium, dan barium umumnya digunakan
sebagai larutan standar alkalis yaitu bersifat basa. NaOH memiliki keunggulan
disbanding KOH dalam harga. NaOH dan KOH mudah bereaksi dengan karbon
dioksida membentuk garam karbonat. Garam natrium karbonat lebih mudah
dipisahkan dari NaOH daripada garam kalium karbonat yang sulit dipisahkan dari
KOH. Hal ini akan mengganggu reaksi yang terjadi. Sifat basa dari karbonat akan
mengganggu reaksi yang terjadi pada alkalimetri, sehingga pelarut air yang
digunakan harus terbebas dari karbon dioksida (Day dan Underwood, 2012).
2.8.3. Titrasi Iodo-Iodimetri
Iodometri adalah suatu proses analisis tak langsung yang melibatkan iod.
Dalam proses analisis, iod digunakan sebagai zat pengoksidasi pada titrasi
iodimetri dan ion iodida digunakan sebagai zat produksi dalam titrasi iodometri.
Dalam titrasi iodometri, ion iodida sebagai pereduksi diubah menjadi iodium –
iodium yang terbentuk dititrasi. Jadi cara iodometri digunakan untuk menentukan
zat pengoksidasi. Iodometri umumnya digunakan untuk menentukan jumlah aktif
hipoklorit dalam pemutih yang bertanggung jawab terhadap tindakan pemutihan.
Iodometri titrasinya dalam suasana asam. Titran dalam titrasi iodometri sebagai
reduktor. Iodometri termasuk ke dalam titrasi tidak langsung (Day dan
Underwood, 2012).
Iodimetri merupakan suatu metode titrasi iodometri secara langsung yang
mengacu pada titran dengan suatu larutan iod standar. Salah satu sifat dari iodium
adalah harga potensial starndar iodium berada pada daerah pertengahan yaitu
iodium dapat digunakan sebagai indikator maupun reduktor walaupun pada
dasarnya iodium akan lebih mudah untuk mengoksidasi dan mereduksi. Untuk
menguji kualitas karbon aktif pada penjernihan air, perlu pH standar air bersih
yaitu 6,5 – 9,0. Metode iodimetri merupakan metode yang sederhana dan mudah
diterapkan dalam suatu penelitian. Dasar dari metode iodimetri bersifat mereduksi
asam karbonat (Day dan Underwood, 2012).
Titrasi larutan iodimetri dalam suasana asam dengan penambahan asam
asetat. Fungsi penambahan asam asetat adalah supaya iodium dapat bereaksi
dengan hidroksida dan asam asetat lalu akan menjadi ion iodide dan Erlenmeyer
yang berisi larutan iodium ditutup menggunakan plastik hitam karena iodium
mudah teroksidasi oleh cahaya dan udara sehingga akan sulit dititrasi
menggunakan natrium tiosulfat. Pada titrasi larutan dilakukan dalam suasana asam
dengan cara penambahan asam asetat. Fungsi dari penambahan asam asetat adalah
supaya iodium bereaksi dengan hidroksida dari asam asetat dan akn menjadi
iodida (Day dan Underwood, 2012).

2.9. Indikator
Menurut Chang (2004), Titrasi adalah reaksi yang dilakukan dengan cara
menambahkan satu larutan ke suatu larutan dengan sangat terkendali. Tujuan dari
titrasi adalah untuk dihentikan pada titik ketika kedua reaktan telah bereaksi
dengan sempurna yaitu titik ekuivalen. Didalam laboratorium modern, instrument
pengukur yang memadai digunakan sebagai penanda titik ekuivalen telah tercapai.
Namun masih ada yang memakai cara tradisional, yaitu ketika suatu larutan atau
cairan ditambahkan ke dalam campuran, maka akan terjadi perubahan warna pada
campuran. Terdapat berbagai jenis zat yang dapat digunakan sebagai indikator,
antara lain Phenolphtalein (PP), dan amilum.
Menurut Padmaningrum (2006), Titrasi asam-basa, menggunakan suatu
zat bernama indikator yang mana akan memberi atau membuat perubahan warna
yang mencolok pada medium asam-basa. Larutan indikator tidak selalu berupa zat
kimia, tetapi dapat juga menggunakan media atau bahan asal lain, seperti buah.
Indikator yang paling umum adalah kertas lakmus namun berbentuk padat, untuk
indikator cair, dapat menggunakan ekstraksi kubis merah, dan sayuran atau buah-
buahan lain, dikatakan indikator apabila bise memberi atau membuat perubahan
warna saat dicampurkan kedalam suatu cairan asam-basa.
Menurut Petrucci (2008), Di dalam laboratorium modern, instrument
pengukur yang memadai digunakan sebagai penanda titik ekuivalen telah tercapai.
Namun masih ada yang memakai cara tradisional, yaitu ketika suatu larutan atau
cairan ditambahkan ke dalam campuran, maka akan terjadi perubahan warna pada
campuran, zat seperti ini dinamakan indikator, contoh indikator asam-basa yang
sering digunakan adalah Phenolphtalein atau biasa disingkat PP. PP biasa
digunakan dalam titrasi metode alkalimetri yakni menentukan kadar asam dengan
larutan standar basa, sehingga pada alkalimetri, PP memberikan warna pink pada
trayek pH 8,4-10, yang mana merupakan titik akhir dari titrasi alkalimetri.
2.9.1. Indikator Amillum
Indikator adalah zat yang warnanya berbeda dalam lingkungan asam dan
lingkungan basa. Larutan asam dan basa akan memberi warna tertentu apabila
direaksikan dengan indikator. Dengan adanya indikator, kita akan mengetahui
tingkat kekuatan dari suatu asam maupun basa. Beberapa indikator tersebut
terbuat dari zat warna alami tanaman, tetapi adapula yang dibuat secara sintesis di
laboratorium. Indikator buatan yang sering digunakan biasanya dalam bentuk
kertas, missal lakmus merah dan lakmus biru (Lestasi, 2016).
Pada titrasi iodometri secara tidak langsung, natrium tiosulfat digunakan
sebagai titran dengan indikator larutan amilum. Natrium tiosulfat akan bereaksi
dengan larutan iodin yang dihasilkan oleh reaksi antara analit dengan larutan KI
berlebih. Sebaiknya indikator amilum ditambahkan pada saat titrasi mendekati
titik ekivalen karena amilum dapat membentuk kompleks yang stabil dengan
iodin. Indikator amilum sebaiknya ditambahkan sesaat sebelum titik ekivalen
terjadi, yaitu ketika larutan yang dititrasi telah berubah warna. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi kesalahan titrasi, sebab kompleks iod amilum
tidak larut secara sempurna dalam palarut air (Padmaningrum, 2008).
Identifikasi iodium dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk
pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan cara penambahan beberapa pereaksi
yang diuji untuk membuktikan keberadaan iodium di dalam sampel. Pereaksi
yang khas digunakan untuk uji kualitatif menggunakan indikator amilum karena
amilum akan membentuk ikatan dengan sampel berupa ikatan iod-amilum
berwarna khas yaitu biru. Pemeriksaan secara kuantitatif dilakukan dengan
metode titrasi iodometri dimana sampel yang berupa oksidator bereaksi dengan KI
dan menghasilkan iodium.terbentuknya warna biru merupakan hasil reaksi
komplek iod amilum. Titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang. Hilangnya
warna biru merupakan titik akhir dari suatu titrasi (Padmaningrum, 2008).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Hari, tanggal : Senin, 25 Maret 2019
Waktu : 09.40 – 11.20 WIB
Tempat : Laboratorium Biokimia Gedung E Lantai 1,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Diponegoro, Semarang.
3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat Praktikum


Tabel 1. Alat dan Bahan Praktikum

No Nama Alat Gambar Fungsi


1. Buret dan Untuk melakukan
Statif proses titrasi.

2. Erlenmeyer Wadah untuk


sampel dan
minyak.

3. Pipet Tetes Untuk meneteskan


indikator.

4. Kompor Untuk
memanaskan
larutan.

5. Penjepit Untuk menjepit


erlenmeyer saat
dipanaskan.
6. Gelas Ukur Untuk mengukur
volume NaOH.

7. Corong Untuk menuangkan


NaOH dan HCl
kedalam buret.

8. Timbangan Untuk menimbang


minyak.

9. Lemari Menyimpan larutan


asam asam asetat

10. Gunting Membuka minyak


ikan

11. Alat tulis Menulis hasil

12. Ponsel Mendukemntasikan

13. Botol Wadah larutan


reagen
14. Pengaduk Mengaduk larutan

15. Panci Wadah air saat


pemanasan

3.2.2 Bahan Praktikum


Tabel 2. Bahan Praktikum
No Nama Alat Gambar Fungsi
1. Minyak Sebagai sampel
Ikan yang akan diuji

2. Minyak Sebagai sampel


Jelantah yang akan diuji

3. Larutan Sebagai larutan


NaOH 0,1 pengasaman
N

4. Larutan Sebagai waktu


HCl 0,5 N penyabunan

5. Etanol 90% Sebagai titrat


6. Asam Sebagai titran
Asetat 5 ml
+
Kloroform
1ml
7. Amylum Sebagai indikator

8. KI 0,5 N Sebagai indikator

9. Phenolphtal Sebagai indikator


ein

10. Natrium Sebagai titrat


Tiosulfat

0,01N

11. Aquadest Untuk


membersihkan
buret

12. Tisu kering Membersihkan alat


dan basah

13. Alumunium Menutup


Foil Erlenmeyer
14. Lateks Melindungi tangan
dari zat berbahaya

15. Masker Melindungi dari


bau tidak sedap

3.3. Metode
3.3.1. Cara Kerja
3.3.1.1. Cara Kerja Penyabunan
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Minyak ikan diambil sebanyak 2 butir dan ditimbang
3. Minyak ikan dimasukkan kedalam 1 erlenmeyer
4. Kulit Minyak ikan ditimbang
5. Larutan NaOH 0,1N dimasukkan ke 2 erlenmeyer masing –

masing 15ml
6. Larutan dipanaskan selama 3menit
7. Kedua larutan ditetesi indikator PP sebanyak 2
8. Larutan dititrasi menggunakan titrasi dengan HCl 0,5N
3.3.1.2. Cara Kerja Pengasaman
1. Alat dan Bahan disiapkan
2. Minyak ikan diambil sebanyak 2 butir dan ditimbang
3. Dua minyak ikan dimasukkan kedalam 1 erlenmeyer
4. Kulit minyak ikan ditimbang
5. Minyak ikan ditambahkan dengan 15ml etanol
6. Larutan dipanaskan 3 menit lalu didinginkan
7. Kedua larutan ditetesi indikator PP sebanyak 2 tetes
8. Larutan dititrasi dengan NaOH sampai berubah warna
3.3.1.3. Perhitungan Bilangan Peroksida
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Erlenmeyer diisi minyak jelantah 1g
3. Erlenmeyer ditambahkan dengan larutan asam asetat dan kloroform6ml
4. Larutan ditambah dengan indikator KI sebanyak 10 tetes
5. Erlenmeyer ditutup rapat dengan alumuniumfoil dan didiamkan 2 menit
6. Larutan ditetesi Aquades sebanyak 6 ml
7. Larutan ditetesi amilum sebanyak 0,5 ml
8. Larutan dititrasi menggunakan larutan Natrium tiosulfat 0,1
3.3.2. Diagram Alir
3.3.2.1. Penentuan Bilangan Penyabunan

Mulai

Alat dan bahan disiapkan

Minyak ikan ditimbang dengan neraca digital

Kapsul minyak ikan sedikit dilubangi menggunakan gunting dan isinya


dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1 tanpa mengenai dinding Erlenmeyer

NaOH ditambahkan ke dalam Erlenmeyer sebanyak 15 ml ke


Erlenmeyer 1 dan 2

Kedua erlenmeyer dipanaskan selama 3 menit dengan penjepit di


dalam panci berisi air diatas kompor

Kedua erlenmeyer didiamkan hingga tidak terlalu panas

Larutan indikator PP diteteskan sebanyak 2 tetes ke masing-masing


erlenmeyer (warna larutan menjadi merah muda)
HCl dimasukkan kedalam buret

Larutan sampel dan blanko dititrasi dengan HCl hingga warna larutan
berubah menjadi bening

Volume HCl hasil titrasi dicatat

Bilangan penyabunan di hitung dengan rumus ((Vb-Vs) . N HCl . BM

NaOH) : berat minyak (g))

Selesai

Gambar 1. Diagram alir Bilangan Penyabunan


3.3.2.2. Penentuan Bilangan Asam

Mulai

Alat dan bahan disiapkan

Minyak ikan ditimbang dengan neraca digital

Kapsul minyak ikan sedikit dilubangi menggunakan gunting dan isinya

dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1`tanpa mengenai dinding Erlenmeyer

Etanol 96% ditambahkan ke dalam Erlenmeyer sebanyak 15 ml ke


Erlenmeyer 1 dan 2

Kedua erlenmeyer dipanaskan selama 3 menit dengan penjepit di dalam panci

berisi air diatas kompor

Kedua erlenmeyer didiamkan hingga tidak terlalu panas

Larutan indikator PP diteteskan sebanyak 2 tetes ke masing-masing


erlenmeyer (warna larutan bening)

NaOH 0,1N dimasukkan kedalam buret

Larutan sampel dan blanko dititrasi dengan NaOH 0,1N hingga


warna larutan berubah menjadi merah muda
Volume NaOH hasil titrasi dicatat

Bilangan penyabunan di hitung dengan rumus ((Vs-Vb) . N NaOH .

BM etanol) : berat minyak (g))

Selesai

Gambar 2. Diagram Alir Bilangan Pengasaman


3.3.2.3. Penentuan Bilangan Peroksida

Mulai

Alat dan bahan disiapkan

Minyak jelantah ditimbang dengan neraca digital sebanyak 1 gram

Minyak jelantah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer

Larutan asam asetat dan kloroform diambil sebanyak 6 ml dalam ruang


asam dan dicampurkan kedalam erlenmeyer berisi minyak jelantah

Larutan dalam erlenmeyer ditetesi laruta KI dan didiamkan selama 2


menit dengan ditutup kertas alumunium foil

Larutan yang telah didiamkan 2 menit ditambahkan Aquades


sebanyak 6 ml dan indikator amilum sebanyak 0,5ml

Na2S2O3 dimasukkan kedalam buret

Larutan sampel dititrasi dengan Na2S2O3


Volume Na2S2O3 hasil titrasi dicatat

Bilangan peroksida di hitung dengan rumus ((V s .Np .8 . 100) : berat


minyak (g))

Selesai

Gambar 3. Diagram Alir Bilangan Peroksida


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Penentuan Bilangan Penyabunan

Vb = 3,5 Vs = 3

N HCl = 0,5 N BM NaOH = 40

Berat Minyak = 2,15 g

Bilangan penyabunan =

= 4,651

Gambar 4. Sebelum titrasi Gambar 5. Sesudah titrasi

4.1.2 Penentuan Bilangan Asam

Vb = 0,5 Vs = 1

N NaOH = 0,1 N BM NaOH = 40

Berat Minyak = 2,15 g

Bilangan penyabunan =

= 0,069
Gambar 6. Sebelum titrasi Gambar 7. Sebelum titrasi
4.1.3 Penentuan Bilangan Peroksida

Vs = 9,5 N HCl = 0,5 N BM NaOH = 40

Berat Sampel = 1 g

Bilangan penyabunan =

= 760

Gambar 8. Sebelum titrasi Gambar 9. Setelah titrasi

4.2. Pembahasan
Larutan HCl 0,5N digunakan sebagai titran dalam penentuan bilangan
penyabunan karena merupakan asam kuat dan telah diketahui konsentrasinya
secara pasti. HCl digunakan dalam menetukan bilangan penyabunan karena, HCl
memiliki nilai kelaurtan yang baik, HCl memiliki sifat kelarutan yang mudah larut
dalam air. Selain itu, HCl merupakan golongan alkali yang biasa digunakan dalam
proses penyabunan.
Pada penentuan bilangan penyabunan,Larutan sampel yang digunakan ada
dua yaitu, larutan sampel minyak dan larutan blangko yang berfungsi sebagai
larutan pembanding, larutan blangko memiliki komposisi yang sama dengan
larutan sampel minyak ikan hanya saja campurannya tidak menggunakan minyak
ikan. Larutan sampel minyak ikan digunakan sebagai bahan yang akan dicari nilai
bilangan penyabunannya. Larutan sampel minyak ikan mengandung kadar lipid,
lipid merupakan senyawa organik yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam
pelarut organik non-polar. Larutan blangko berfungsi sebagai larutan pembanding
atau sebagai pembanding dalam analisis sebuah pengujian. Larutan blangko

sendiri didalamnya terdapat larutan NaOH. Larutan ini merupakan larutan yang
sifatnya non-polar, tingkat kelarutannya yaitu mudah larut dalam air.
Pada penentuan bilangan asam,larutan NaOH 0,1 N digunakan sebagai
titran dalam penentuan bilangan asam karena merupakan basa kuat dan telah
diketahui konsentrasinya secara pasti. NaOH digunakan pada saat proses titrasi
karena NaOH bersifat basa, sedangkan etanol sifatnya asam, dan penambahan ke
dalam campuran minyak ikan akan menyebabkan kenaikan pH dari campuran
alkohol dan minyak ikan dan memiliki sifat mudah larut dalam air. Penambahan
dengan NaOH dimaksudkan karena NaOH dapat mereaksikan minyak ikan
(trigliserida) sehingga menghasilkan gliserol dan garam alkali Na (sabun).
Larutan indikator yang digunakan dalam titrasi menentukan bilangan
penyabunan yaitu larutan indikator PP (Fenoftalein). Larutan indikator PP
digunakan karena pada kondisi asam larutan PP tidak berwarna, sedangkan pada
kondisi basa akan berubah warna menjadi merah muda keunguan, proses
perubahan warna tersebut dalam berjalannya titrasi dapat digunakan sebagai acuan
titk akhir dari proses titrasi dengan adanya perubahan warna. Larutan indikator PP
memiliki trayek pH antara 8,3 – 10 Selain itu, larutan indikator PP memiliki sifat
kelarutan yang rendah terhadap air.
Larutan indikator PP sendiri berpengaruh terhadap perubahan warna,
karena proses perubahan warna yang terjadi pada saat larutan sampel ditetesi oleh
larutan indikator PP yaitu larutan menjadi ungu yang menunjukan larutan bersifat
basa, setelah dititrasi larutan berubah warna menjadi bening yang berarti larutan
saat mencapai pH > 14 atau batas maksimum pH basa. Proses yang terjadi sesuai
dengan ketentuan bahwa larutan indikator PP digunakan karena pada kondisi asam
larutan indikator PP tidak berwarna, sedangkan pada kondisi basa akan berubah
warna menjadi merah muda keunguan.
Larutan indikator yang digunakan dalam titrasi menentukan bilangan asam
yaitu larutan indikator PP (Fenoftalein). Larutan indikator PP digunakan karena
pada pada kondisi basa akan berubah warna menjadi merah muda keunguan
sedangkan pada kondisi asam larutan PP tidak berwarna, proses perubahan warna
tersebut dalam berjalannya titrasi dapat digunakan sebagai acuan titk akhir dari
proses titrasi dengan adanya perubahan warna. Larutan indikator PP memiliki
trayek pH antara 8,0 – 9,6. Selain itu, larutan indikator PP memiliki sifat kelarutan
yang rendah terhadap air.
Larutan indikator PP sendiri berpengaruh terhadap perubahan warna,
karena proses perubahan warna yang terjadi pada saat larutan sampel ditetesi oleh
larutan indikator PP yaitu larutan sampel tetap berwarna putih atau tidak terjadi
perubahan warna menunjukan larutan sampel bersifat asam, setelah dititrasi
larutan berubah warna menjadi ungu. Proses yang terjadi sesuai dengan ketentuan
bahwa larutan indikator PP digunakan karena pada kondisi asam larutan indikator
PP tidak berwarna, sedangkan pada kondisi basa akan berubah warna menjadi

merah muda keunguan.


Berdasarkan proses titrasi yang telah dilakukan pada penentuan bilangan
penyabunan didapat hasil bilangan penyabunan yang positif yaitu sebesar 4,657.
Nilai positif yang didapat disebabkan karena pelarut yang digunakan dalam
melarutkan lemak bersifat non-polar, sebagaimana larutan NaOH merupakan
larutan yang sifatnya non-polar. Hal tersebut berkaitan juga dengan fungsi dan
tujuan dari penentuan bilangan penyabunan itu sendiri. Tujuan dari penentuan
bilangan penyabunan yaitu untuk mengetahui jumlah basa yang dibutuhkan untuk
menyabunkan 1 gram sampel. Fungsi dari penentuan bilangan penyabunan yaitu
untuk memendekkan rantai karbon pada lemak atau minyak, dimana semakin
besar angka penyabunan maka rantai karbon pada lemak atau minyak akan
semakin pendek yang artinya lemak atau minyak akan sukar larut.
Berdasarkan proses titrasi yang telah dilakukan pada penentuan bilangan
asam didapat hasil bilangan asam yang positif yaitu sebesar 0,069 gram. Nilai
positif yang didapat disebabkan karena pelarut yang digunakan dalam melarutkan
lemak bersifat non-polar, sebagaimana larutan alkohol merupakan larutan yang
sifatnya non-polar. Hal tersebut berkaitan juga dengan fungsi dan tujuan dari
penentuan bilangan asam itu sendiri. Tujuan dari penentuan bilangan asam yaitu
untuk mengetahui jumlah asam yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram
sampel. Fungsi dari penentuan bilangan asam yaitu untuk mengetahui jumlah
NaOH untuk menetralkan asam lemak bebas pada alkohol.
Metode titrasi yang digunakan yaitu metode titrasi asidimetri karena
menggunakan larutan standar asam dimana larutan standarnya yaitu HCl. Titrasi
asidimetri merupakan salah satu bagian analisis volumetri kuantitatif yang
berdasarkan reaksi netralisasi. Titrasi asidimetri adalah titrasi netralisasi dengan
menggunakan asam sebagai larutan standar.
Metode titrasi yang digunakan yaitu metode titrasi alkalimetri karena
menggunakan larutan standar basa dimana larutan standarnya yaitu NaOH. Titrasi
alkalimetri merupakan salah satu bagian analisis volumetri kuantitatif yang
berdasarkan reaksi netralisasi. Alkalimetri merupakan suatu teknik analisis untuk
mengetahui kadar keasaman dengan menggunakan larutan standar basa.
Kesimpulan yang didapat dari penetuan bilangan asam yaitu, bahwa nilai
bilangan asam yang didapat sebesar 1 gram. Hasil yang didapat sudah tepat karena
bernilai positf. Nilai V2 menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan
nilai V1. Selain itu, hasil yang tepat didukung juga dengan terjadinya perubahan
warna yang benar pada proses titrasi yaitu perubahan warna pada larutan daro
warna bening dititrasi menjadi pink.
Pada percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan minyak
berdasarkan bilangan peroksidanya. Jumlah senyawa peroksida dapat ditentukan
dengan cara iodometri, yaitu senyawa dalam lemak (minyak) akan dioksidasi oleh
Kalium iodide (KI) dan Iod yang dilepaskan dititrasi dengan natrium tiosulfat
(Na2S2O3). Angka peroksida dapat digunakan untuk menentukan kualitas
(ketengikan) dari minyak goreng. Peroksida terbentuk karena asam lemak tak
jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya membentuk peroksida dan
akhirnya membentuk aldehid yang akan menyebabkan bau tengik pada minyak.
Peroksida terbentuk pada tahap inisiasi oksidasi, pada tahap ini hidrogen diambil
dari senyawa oleofin menghasikan radikal bebas. Keberadaan cahaya dan logam
berperan dalam proses pengambilan hidrogen tersebut.
Uji ini untuk menentukan derajat ketidak jenuhan asam lemak. Dengan
prinsip Iodium dapat bereaksi dengan ikatan rangkap dalam asam lemak. Tiap
molekul iodium mengadakan reaksi adisi pada suatu ikatan rangkap. Oleh
karenanya makin banyak ikatan rangkap, makin banyak pula iodium yang dapat
bereaksi. Suatu minyak dikatakan mengandung peroksida ditunjukkan dengan
pembebasan iodin. Uji positif ini dapat dilakukan dengan menggunakan indikator
amilum 1%. Oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah
oksigen dengan lemak atau minyak. Reaksi oksidasi lemak akan berlangsung
dalam tiga tahap. Pada tahap awal terjadi reaksi pembentukan radikal lemak
bebas.
Tahap kedua adalah tahap perkembangan, di mana berlangsung reaksi
antara radikal bebas yang terbentuk pada langkah permulaan dengan oksigen dan
senyawa organik.Tahap terakhir merupakan tahap penghentian, di mana terjadi
pembentukan senyawa yang tidak lagi merupakan radikal bebas.
Nilai peroksida dari sampel minyak jelantah adalah 200. Hal ini
menunjukan bahwa minyak jelantah yang digunakan pada praktikum tidak boleh
digunakan lagi atau dikonsumsi karena bilangan peroksidanya yang tinggi.
Semakin tinggi bilangan peroksida maka semakin tinggi pula tingkat ketengikan
suatu minyak serta tidak layak untuk dikonsumsi karena tidak melebihi
persyaratan. Tentu saja, bilangan peroksida ini tidak bisa digunakan kembali
kemungkinan besar hal ini diakibatkan karena kondisi minyak yang sudah lama
atau sudah tidak murni lagi dan juga bisa diakibatkan oleh reagen yang digunakan
yang sudah kadaluarsa atau konsentrasi indikator amilum yang kurang tepat.
Etanol sendiri digunakan karena sesuai fungsinya yang dapat mengikat
asam. Pada penentuan bilangan peroksida amilum dipanaskan terlebih dahulu
supaya cepat larut dengan pelarutnya. Kloform sendiri berfungsi untuk
membuktikan minyak yang bersifat non polar, melarutkan lemak, melepaskan
asam, dan melepaskan iodin pada minyak jelantah.
IV. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Hasil penghitunganbilangan penyabunan yang terdapat pada sampel
minyak ikan yaitu sebesar -2 gram
2. Hasil penghitungan bilangan asam yang terdapat pada sampel minyak
ikan yaitu sebesar 13,82 gram.
3. Hasil perhitungan bilangan peroksida yang terdapat pada sampel minyak
goreng bekas yaitu sebesar 480 gram.

5.2 . Saran
1. Praktikan diharapkan lebih fokus dan tidak bercanda disaat praktikum
berjalan bertujuan agar praktikan lebih memahami proses praktikum
yang berlangsung.
2. Praktikan perlu lebih berhati-hati kembali dalam menggunakan alat
selama praktikum agar tidak terjadi kerusakan.
3. Praktikan diharapkan mempelajari materi terlebih dahulu
DAFTAR PUSTAKA

Agribisnis, Seri et al,. 2006. Jarak Pagar tanaman Penghasil Biodiesel. Bogor ;
Penebar Swadaya.

Ahmad, Nuril. 2014. Analisis Minyak Hati Ikan Hius Botol Di Pantai Prigi
Watulimo Trenggalek. Jurnal Agrina. 1(1) 1-4.

Alfiani, S et al,. 2014. Analisis Kadar Asam Lemak Bebas Dalam Minyak Hasil
Penggorengan Berulang Dengan Metode Titrasi Asam Basa. Jurnal

Pharmascience. 1(1) 7-13.


Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat
Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan

dan Gizi. 1(1).


Andari, S. 2013. Perbandingan Penetapan Kadar Ketoprofen Tablet Secara
Alkalimetri dengan Spektrofotometri. Jurnal Eduhealth. 3(2) : 115 – 116

Ayu, Ratu D.S. 2016. Pengaruh Asam Lemak Jenuh, Tidak Jenuh dan Asam
Lemak Trans Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat.

Aziz T, Ratih C. K N dan Asima F .2009. Pengaruh Pelarut Heksana dan Etanol,
Volume Pelarut, dan Waktu Ekstraksi Terhadap Hasil Ekstraksi Minyak
Kopi. Jurnal Teknik Kimia, 16(1) : 19-24.

Cairns, Donald. 2004. Intisari Kimia Farmasi. London ; Medical Publisher.

Chang, Raymond. 2004. Kimia Dasar. Jakarta ; Erlangga.

Day, R.A dan A.L. Underwood. 2012. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta ;
Erlangga.

Epand, Richard. 2006. Lipid Polymorphism and Membrane Properties. Canada ;


Academic Press.

Hadyana, P.A. 2002. Kamus Kimia. Jakarta ; Balai Pustaka.


Herlina, Netti., Ginting M.H. 2012. Lemak dan Minyak. Medan ; Universitas
Sumatera Utara.

Islamiah, Sarah D. 2015. Efek Lama Pemanasan Terhadap Perubahan Bilangan


Peroksida Minyak Goreng yang Berpotensi Karsinogenik Pada
Pedagang Gorengan. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

Julianto, Tatang S. 2016. Minyak Atsiri Bunga Indonesia. Yogyakarta ; Katalog

Dalam Terbitan.
Lestari, P. 2016. Kertas Indikator Bunga Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Untuk Uji Larutan Asam – Basa. Jurnal Pendidikan Madrasah. 1(1) : 69 –

70
Mangallo, Bertha et al,. 2014. Efektivitas Arang Aktif Kulit Salak pada
Permunian Minyak Goreng Bekas. Jurnal Kimia. 7(2).

Mursalin et al,. 2015. Karakteristik Sifat Fisika Kimia Minyak Kelapa. Jurnal

Teknologi Pertanian.
Nuryanti, Siti et al,. 2010. Indikator Titrasi Asam – Basa dari Ekstrak Bunga
Sepatu. Jurnal Agritech. 30(3).

Nuryoto. 2008. Studi Kinerja Katalisator Lewatit Monoplus s-100 pada Reaksi
Esterifikasi antara Etanol dan Asam Asetat. Jurnal Rekayasa Proses.

2(1).
Padmaningrum, Regina T. 2012. Titrasi Asidimetri. Jurdik Kimia.

Padmaningrum, P.T. 2006. Titrasi Asidimetri. Jurnal Pendidikan Kimia.


Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Pahan, Iyung. 2012. Kelapa Sawit. Jakarta ; Penebar Swadaya.

Prihandana, Rama et al,. 2006. Menghasilkan Biodiesel Murah. Jakarta ; PT


Agromedia Pustaka.

Putri, W. S et al,. 2013. Skrining Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Kulit Buah
Manggis. Jurnal Farmasi.
Ritonga, Rimadani. 2010. Penentuan Bilangan Peroksida pada Minyak Inti
Kelapa Sawit. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Saifudin, Azis. 2014. Senyawa dalam Metabolit Sekunder. Yogyakarta ;


Deepublish.

Sikorski, Zdzislaw dan Anna K. 2011. Chemical, Biological and Functional


Aspects of Food Lipids. New York ; CRC Press.

Sikorski, Zdzislaw dan Anna K. 2002. Chemical and Functional Properties of

Food Lipids. New York ; CRC Press.


Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia. Jakarta ; Penerbit Buku Kedokteran.

Triyanto, Agus. 2013. Peningkatan Kualitas Minyak Goreng Bekas Menggunakan


Arang Ampas Tebu Teraktivasi dan Penetralan. Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam.


Utomo, Suratmin. 2016. Pengaruh Konsentrasi Pelarut (n-Heksana) Terhadap
Rendemen Hasil Ekstraksi Minyak Biji Alpukat Untuk Pembuatan Krim
Pelembab Kulit. Konversi, 5(1): 39-41.

Vance, D. E dan J. E. Vance. 2006. Biochemistry of Lipids, Lipoprotein and


Membranes. Amsterdam ; Elsevier BV.

Yustinah, Hartini. 2011. Ardsobsi Minyak Goreng Bekas Menggunakan Arang


Aktif dari Sabut Kelapa. Jurnal Teknik Kimia.
DOKUMENTASI

Gambar 10. Proses titrasi Gambar 11. Pemberian indikator

Gambar 12. Penuangan HCl Gambar 13. Penimbangan larutan

Gambar 14. Penuangan etanol Gambar 15. Pengambilan larutan sampel

Gambar 16. Pemanasan larutan Gambar 17.Larutan yang digunakan

Anda mungkin juga menyukai