Anda di halaman 1dari 20

HALAMAN SAMPUL

DASAR KESEHATAN REPRODUKSI / KIA


“ SEJARAH DAN PERMASALAHAN IBU DAN ANAK ”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4

SITI DARFI (J1A1 17 268)


RENI PRATIWI.S (J1A1 17 258)
SUKMAWARNI (J1A1 17 274)
RATNA KOMBAIS (J1A1 17 257)
DWI FEBRIANTHI.S (J1A1 17 303)
DWI APRI (J1A117
SULIS WATI (J1A1 17 275)
EVI SRI ANUGRAHA (J1A1 17 304)
UMMU SYAKIRAH (J1A1 17 278)
WIWIK MUTHMAINNAH.S.S (J1A1 17 288)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2019

i
KATA PENGANTAR

Alhmadulillah, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Makalah ini berjudul “ Sejarah Dan Permasalahan Ibu Dan Anak ”.
makalah ini disusun dengan tujuan untuk menambah pengetahuan dalam
pembuatan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah manajemen pemasaran.
Dalam mempersiapkan, menyusun, dan menyelesaikan makalah ini, kami tidak
terlepas dari berbagai kesulitan dan hambatan yang dihadapi, baik dari
penyusunan kalimat maupun sistematikanya, namun akhirnya makalah ini dapat
diselesaikan.
Oleh karena itu kami berharap kritik dan saran utuk menyempurnakan
makalah ini. Kami juga menyadari bahwa makalah ini ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan berbagai masukkan yang bersifat
membangun dari semua pihak, guna kelengkapan dan kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam kelancaran tahap demi tahap dalam penyusunan hingga
menyelesaikan makalah ini.
Kendari, September 2019

Penyusun
Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 3
BAB II ..................................................................................................................... 4
2.1 Sejarah Masalah Kesehatan Ibu Dan Anak Di Indonesia (Johannes
Leimena 1946-1956) ........................................................................................... 4
2.2 Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak . 11
BAB III ................................................................................................................. 16
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan kesehatan ibu dan anak merupakan upaya pelayanan dan

pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, bayi, anak balita, serta anak prasekolah.

Layanan tersebut perlu ada di dalam suatu negara atas dasar keutamaan hak asasi

manusia juga atas dasar kepentingan negara dalam upaya menjamin

keberlangsungan perikehidupan dalam hal regenerasi bangsa. Indonesia semasa

kependudukan Belanda maupun Jepang juga tak luput dari upaya tersebut

tentunya dengan pelaksanaan yang berbeda dan atas dasar kepentingan

kolonialisme maupun imperialisme.

Pada tahun 1808, layanan kesehatan pada masa Belanda hanya

diperuntukkan bagi kalangan militer maupun kalangan elit kolonial Belanda. Satu

tahun berikutnya yaitu 1809, layanan kesehatan sipil didirkan di tiga kota besar

yaitu Batavia, Semarang, dan Surabaya. Perhatian layanan kesehatan bagi

masyarakat pribumi baru tergambar pada tahun 1851 dengan dibukanya Sekolah

Dokter Jawa disertai dengan program pendidikan bidan di Indonesia (Departemen

Kesehatan RI, 2009b, hlm. 29-46). Namun kenyataanya, subsidi dari pemerintah

Belanda terhadap rumah sakit Hindia Belanda, rumah sakit swasta, rumah sakit

pembantu, rumah sakit daerah tidak memperoleh subsidi yang merata. Maka,

sebenarnya Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat menjamin layanan kesehatan

yang merata bagi masyarakat pribumi termasuk dalam hal meningkatkan

kesehatan ibu dan anak.

1
Sementara pada masa pendudukan Jepang berita-berita mengenai layanan

kesehatan bagi masyarakat pribumi justru mengalami penurunan. Jepang hanya

mementingkan kemenangan perangnya di Asia sehingga dengan mudahnya

merebut fasilitas-fasilitas umum seperti rumah sakit untuk keperluan menyimpan

senjata. Kondisi kesehatan masyarakat Indonesia pada masa kependudukan

Jepang digambarkan dengan merebaknya krisis pangan yang hebat sehingga

banyak terjadi busung lapar dibeberapa daerah. Jepang sama sekali tidak

memberikan perhatian terhadap kesehatan ibu dan anak.

Setelah Indonesia merdeka, rupanya upaya peningkatan kesehatan ibu dan

anak juga mengalami hambatan. Perjuangan di masa revolusi menyebabkan

pemerintah Republik Indonesia lebih mengutamakan upaya perlawanan maupun

pertahanan untuk menjaga kedaulatan Republik Indonesia, baik secara fisik

maupun non fisik seperti diplomasi.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1945 ialah Dr. Boentaran

Martoatmodjo, namun tidak sampai satu tahun menjabat sebagai Menteri

Kesehatan RI kemudian Dr. Boentaran Martoatmodjo digantikan oleh dr. Darma

Setiawan, dr. Darma Setiawan juga tidak lama menjabat sebagai Menteri

Kesehatan hingga akhirnya digantikan oleh Dr. Johannes Leimena yang

sebelumnya menjabat sebagai Menteri Muda Kesehatan pada tahun 1946 dan

mengakhiri amanahnya sebagai Menteri Kesehatan RI pada tahun 1956

(Departemen Kesehatan RI, 2009a, hlm.15).

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan sejarah masalah kesehatan ibu dan anak di indonesia (johannes

leimena 1946-1956) ?

2. Jelaskan faktor determinan permasalahan pelayanan kesehatan ibu dan anak

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui sejarah masalah kesehatan ibu dan anak di indonesia

(johannes leimena 1946-1956)

2. Untuk mengetahui faktor determinan permasalahan pelayanan kesehatan ibu

dan anak

II PEMBAHASAN

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Masalah Kesehatan Ibu Dan Anak Di Indonesia (Johannes

Leimena 1946-1956)

Dr. Johannes Leimena lahir di Ambon pada tanggal 6 Maret 1905. Pada

tahun 1922, Dr.Johannes Leimena menjadi mahasiswa STOVIA dan pada tahun

1930 Dr. Johannes Leimena menjadi dokter di CBZ (Centrale Burgerlijke

Ziekeninrichting) atau yang sekarang disebut dengan Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo (Panitia Buku Kenangan Dr. J. Leimena, 1980, hlm. 36). Dr.

Johannes Leimena pertama kali menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI pada

tahun 1946 sebagai Menteri Muda Kesehatan di bawah Menteri Kesehatan dr.

Darma Setiawan pada masa cabinet Perdana Menteri Soetan Sjahrir.

Pada masa Dr. Johannes Leimena menjabat sebagai Menteri Muda

Kesehatan maupun setelah menjadi Menteri Kesehatan RI, Dr. Johannes Leimena

dihadapkan pada berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia dan salah satunya

ialah permasalahan angka kematian ibu dan anak yang cukup tinggi di Indonesia.

Pada tahun 1951-an untuk rumah sakit besar yaitu angka kematian ibu hamil

(maternity death rate) mencapai 12-16% artinya terdapat 12 hingga 16 kematian

Ibu per 1000 Ibu yang melahirkan, dan angka kematian bayi (infant mortality rate)

mencapai 115-300‰ yang berarti terdapat 115-300 kematian bayi per 1000

kelahiran bayi (Leimena, 1955, hlm. 14). Tingginya angka kematian ibu dan anak

di Indonesia pada tahun 1951 dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,

karena sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak di wilayah-

wilayah pelosok. Kedua, upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak juga perlu

4
ditinjau dari sudut sosial budaya. Ketiga, kondisi pangan di Indonesia juga

mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat Indonesia termasuk kesehatan

mengikuti pendidikan dukun bayi. ibu dan anak.

Berdasakan permasalahan tersebut, inilah yang membuat Dr. Johannes

Leimena betul-betul memprioritaskan kesehatan ibu dan anak dengan mendirikan

BKIA (Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak) pada tahun 1951. Latar belakang

program tersebut baru dapat diselenggarakan tahun 1951 disebabkan karena

berbagai faktor. Faktor revolusi yang berpengaruh kepada stabilitas politik dan

sosial masyarakat. Sehingga perhatian pemerintah terhadap pembangunan baru

dilaksanakan selepas Indonesia menerima kedaulatan dari Belanda pada tahun

1949.

Pada awalnya BKIA dirancang untuk memberi pelatihan formal kepada para

bidan dan staf medis. Namun dalam perkembangannya, BKIA kemudian

mencakup penyuluhan untuk ibu, pelatihan untuk dukun beranak, imunisasi

(Kasmiyati, 2017). Pelaksanaan peningkatan kesehatan ibu dan anak ini pun

dibantu atas sumbangan dari lembaga internasional yaitu UNICEF. Sebesar

402.000 dolar disumbangkan dari UNICEF untuk kesehatan ibu dan anak,

keperluan peningkatan gizi, dan keperluan obat-obatan di Indonesia. Fasilitas lain

yang diberikan UNICEF kepada Kementerian Kesehatan RI ialah dengan

membiayai Direktur Departemen Kesehatan Ibu dan Anak yaitu Dr.

Tjokroamodjo untuk melakukan studi di beberapa rumah sakit di London,

Birmingham, dan Stratford. Dr. Johannes Leimena kembali mendapat bantuan

dana dari UNICEF sebesar 24.000 dolar untuk beasiswa bagi para tenaga

5
kesehatan ibu dan anak (De Locomotief, 10 Juni 1950). Sehingga diharapkan

dengan bertambahnya tenaga kesehatan ibu dan anak kader-kader penyuluhan

kesehatan di Indonesia semakin tersebar dan pengetahuan masyarakat mengenai

kesehatan ibu dan anak semakin bertambah. Permasalahan selanjutnya yang harus

segera dituntaskan oleh Dr. Johannes Leimena ialah masalah kekurangan gizi dan

kalori yang dialami masyarakat Indonesia khususnya para ibu dan anak.

Permasalahan tersebut diatasi dengan cara meningkatkan swasembada beras

(Neelakantan, 2013, hlm. 81). Saat itu, Indonesia hanya mampu memenuhi

kebutuhuan beras kepada rakyatnya. Ini memberikan gambaran betapa miskinnya

Indonesia saat itu. Namun pemerintah terus berupaya melakukan swasembada

beras dengan peningkatan produksi beras dilakukan dengan cara intensifikasi

budidaya padi di Jawa, dan perluasan lahan tani diluar pulau Jawa. Selain itu, juga

Indonesia aktif ikut serta dalam konferensi di Rangoon, Myanmar yang membahas

mengenai benih berkualitas Dr. Tjokroamodjo juga diberikan pelatihan dan

metode yang baik dalam bertani (Java kursus pediatri (De Locomotief, 22 Juli

953).

Upaya memberikan edukasi kepada masyarakat oleh kader kesehatan dalam

menangani kurangnya pengetahuan masyarakat dalam memberikan penyuluhan

kesehatan ibu dan anak diawali dengan penyelenggaraan pendidikan para tenaga

kesehatan ibu dan anak. Dalam menyelenggarakan pendidikan tersebut, Dr.

Johannes Leimena kembali mendapat bantuan dana dari UNICEF sebesar 24.000

dolar untuk beasiswa bagi para tenaga kesehatan ibu dan anak (De Locomotief, 10

Juni 1950). Sehingga diharapkan dengan bertambahnya tenaga kesehatan ibu dan

6
anak kader-kader penyuluhan kesehatan di Indonesia semakin tersebar dan

pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan ibu dan anak semakin bertambah.

Alternatif lain yang dimanfaatkan Dr. Johannes Leimena dalam upaya

meningkatkan gizi masyarakat ialah dengan membentuk Lembaga Makanan

Rakyat yang diketuai oleh Poorwo Soedarmo pada tahun 1951. Lembaga

Makanan Rakyat membentuk Panitia Negara Perbaikan Makanan. Panitia tersebut

bertugas untuk memberikan nasehat dalam masalah makanan dan kesehatan.

Panitia tersebut kemudian berganti nama menjadi Dewan Bahan Makanan

(Departemen Kesehatan RI, 2009b, hlm. 34). Pada tahun 1952, Poerwo Soedarmo

membuat slogan ‘empat sehat lima sempurna’ yang diadopsi dari slogan AS yaitu

‘eat the basic seven everyday’. Kampanye makanan ‘empat sehat lima sempurna’

ini meliputi karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur-buah, dan susu.

Namun karena kebanyakan masyarakat Indonesia tidak mampu menyempurnakan

komposisi makanan hariannya disebabkan karena faktor ekonomi. Maka Poorwo

Soedarmo mengganti slogannya dengan ‘murah tapi bergizi’ (Neelakanta, 2014,

hlm. 56). Setelah Dr. Johannes Leimena berupaya untuk meningkatkan kesehatan

ibu dan anak melalui program BKIA, penyuluhan kesehatan, dan peningkatan gizi

masyarakat. Maka hasil dari upaya tersebut memperlihatkan penuruan angka

kematian ibu dan bayi dapat dilihat dari tahun 1951-1955.

Tabel 1 Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia Tahun 1951dan 1955

7
Sumber: Kementerian Kesehatan (dalam Biro Perantjang Negara, 1958,

hlm. 201).

Perkembangan pembangunan sarana kesehatan, dari tahun 1951 sampai

tahun 1954 mengalami kemajuan pesat salah satunya jumlah BKIA (Balai

Kesejahteraan Ibu dan Anak) yang hanya 387 buah bertambah menjadi 1100 unit.

Jumlah bidan pun bertambah yaitu pada tahun 1950 sebanyak 1.446 maka pada

tahun 1954 menjadi 1.838 (Departemen Kesehatan RI, 2009b, hlm. 21-22). Dari

data tersebut maka peningkatan jumlah bidan dari tahun 1950-1954 berkisar 21%.

Meskipun bertambah, nampaknya keberadaan bidan maupun dokter masih belum

merata di Indonesia. Seperti di Bandung pada tahun 1954 yang belum bisa

menurunkan angka kematian ibu dan anak disebabkan karena kurangnya tenaga

dokter yang memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak (Neelakantan, 2014a,

hlm. 85).

Berdasarkan permasalah tersebut maka keberadaan dukun bayi di desa

dimanfaatkan untuk mengatasi kurangnya tenaga dokter dan bidan dengan cara

memberikan pelatihan yang juga dilakukan oleh BKIA. Namun begitu masih ada

dukun bayi yang enggan untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh

BKIA karena alasan kekhawatiran akan bersaing dengan praktik kesehatan

modern (Neelakantan, 2013, hlm. 84). Inovasi tersebut tentu akan menimbulkan

culture shock bagi mereka yang berpegang teguh kepada tradisi. Namun,

keberadaan BKIA ternyata memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat desa

sebab BKIA seringkali membagikan sabun, susu, dan vitamin secara gratis yang

diperoleh atas kerjasama dengan UNICEF. Sehingga BKIA betul-betul menjadi

8
garda terdepan dalam melayani kesehatan masyarakat pedesaan (Baha’Uddin,

2008, hlm. 8).

Peningkatan gizi masyarakat Indonesia, khususnya ibu dan anak juga

mengalami peningkatan walaupun, program swasembada beras yang dicanangkan

oleh Dr. Johannes Leimena untuk meningkatkan gizi masyarakat Indonesia

kenyataannya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok seluruh rakyat Indonesia.

Hal ini disebabkan karena pertama, koordinasi yang tidak baik antara

Kementerian Kesehatan, Departemen Kesehatan Provinsi dan Pemerintah Daerah

(Neelakantan, 2014, hlm. 60-68). Kedua, jumlah penduduk terus meningkat di

mana setiap tahunnya meningkat sebanyak 2%. Upaya swasembada beras yang

meskipun gagal pada tahun 1951, namun upaya ini pada awalnya dapat membantu

mengurangi angka mortalitas ibu dan anak hingga penduduk Indonesia bertambah

pada tahun berikutnya. Meski begitu pemerintah tetap melakukan pendistribusian

beras kepada masyarakat miskin. Hal ini didasarkan pada pernyataan dari Dr.

Johannes Leimena bahwa “Kemiskinan penduduk merupakan hambatan utama

untuk mencapai peningkatan gizi masyarakat. Oleh karena itu, perlu terlebih

dahulu memperbaiki kondisi kesejahteraan, pendidikan dan sosial penduduk

sebelum dilakukan perbaikan di bidang gizi” (Java Bode, 24 Juni 1953).

Kegagalan koordinasi Kementerian Kesehatan, Departemen Kesehatan

Provinsi, dan Pemerintah Daerah berdampak pada kegagalan swasembada beras di

Indonesia. Namun, kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI dengan lembaga

internasional seperti WHO dan UNICEF, serta Menteri Pendidikan RI semakin

erat. Ini berdampak pada meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya

9
memenuhi gizi harian yang seimbang. Sehingga masyarakat Indonesia meningkat

sejumlah 2% setiap tahunnya.

Lembaga makanan di Jakarta pada tahun 1954, membuka pelatihan bagi

para ibu, dan organisasi wanita. Dalam kursus tersebut pemerintah juga

memperkenalkan slogan ‘makan murah tetapi sehat’ (Het Nieuwsblad voor

Sumatra, 1 Februari 1954). Kemudian untuk menyukseskan program pelatihan

gizi tersebut Menteri Kesehatan RI bekerjasama dengan Menteri Pendidikan RI

yaitu dengan mengikutsertakan para tenaga pendidik atau guru. Hal ini didasarkan

pada pertimbangan bahwa sebetulnya peran guru sama dengan bidan yang

merupakan kerangka kerja terpenting dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan

anak di Indonesia.

Setelah konferensi Nairobi tahun 1987 terjadi perubahan kebijakan dan

strategi KIA yaitu program safe matherhood yang kemudian program ini diadopsi

oleh pemerintah Indonesia. Tahun 1990, dicanangkan program penempatan bidan

desa di seluruh Indonesia dengan sistem kontrak yang dikenal dengan bidan

pegawai tidak tetap (PTT). Pada akhir tahun 1996, dikembangkan program

Gerakan Sayang Ibu (GSI), program ini lebih ditonjolkan pada peran ,masyarakat

dalam upaya penurunan AKI.

Kemudian pada tahun 2000 pemerintah mengembangkan kebijakan Making

Pregnancy Safer (MPS) dengan 3 pesan kunci sebagai upaya penurunan angka

kematian ibu dan anak yaitu:

1. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.

10
2. Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pertolongan yang cukup

dan professional.

3. Setiap perempuan usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan

kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi pasca

keguguran.

Upaya selanjutnya yaitu pada tahun 2007, pemerintah RI mencanangkan

program-program perencanaan persalinan dan pencegahan Komplikasi (P4K).

Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan AKI di

Indonesia.

Undang-Undang no 36 tahun 2009 pada bab VII pasal 126 menyebutkan

bahwa upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu

sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta

mengurangi angka kematian ibu. Upaya ini meliputi promotif, preventif, kuratif

dan rehabilitatif.

2.2 Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

1. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Kehamilan, Persalinan, dan

Nifas Ibu (Maternal)

Beberapa variabel secara statistik berhubungan bermakna dengan

praktik responden terkait kesehatan maternal. Variabel tersebut adalah cara

pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, Pengaruh

orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan,

11
pengetahuan responden tentang kesehatan ibu, serta sikap ibu terhadap

pelayanan kesehatan maternal.

2. Hubungan Faktor Sosiokultural dengan Praktik Masyarakat terkait Pelayanan

Kesehatan Ibu dan Anak

Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-

nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Sebanyak 274 orang yang

menjawab pernyataan kebiasaan/tradisi yang diterapkan/dipercayai dalam

keseharian responden yang berhubungan dengan kesehatan maternal

didapatkan data bahwa ada 124 (45,26%) yang memiliki kepercayaan yang

tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Kepercayaan yang tidak sesuai

tersebut sebagian besar terkait aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan

menyusui (31,32%) dan aspek kepercayaan ketika hamil (29,52%).

Selanjutnya, pernyataan kebiasaan yang dipercayai dalam keseharian

responden yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan anak balita

didapatkan bahwa yang memiliki kepercayaan tidak sesuai dengan nilai-nilai

kesehatan sebesar 23,62%. Kepercayaan yang keliru tersebut sebagian besar

terkait aspek gizi pada bayi dan balita atau tidak mendukung air susu ibu

(ASI) eksklusif (42,62%) dan aspek kepercayaan terhadap penanganan

kesehatan pada bayi dan anak balita (27,87%).

3. Faktor Pemungkin (Enabling) yang Berhubungan dengan Pelayanan

Kesehatan Ibu dan Anak

Secara umum, jumlah bidan yang merupakan tenaga kesehatan utama

dalam pelayanan KIA di Provinsi Riau sudah memadai. Jumlah lulusan

12
pendidikan minimal diploma 3 (D3) kebidanan sudah memenuhi demand

bidan di Provinsi Riau. Namun, berdasarkan rasio tenaga bidan dan jumlah

penduduk di Provinsi Riau masih belum mencukupi (37 per 100.000

penduduk). Distribusi tenaga bidan di Provinsi Riau masih belum merata,

seperti terlihat dari beberapa desa/kelurahan belum ada tenaga bidan,

terutama pada kategori desa sangat terpencil. Beberapa desa justru berlebih

tenaga bidan, tetapi di beberapa desa jumlah tersebut tidak sesuai dengan

cakupan wilayah kerja. Berdasarkan kualitas ketenagaan pemberi pelayanan

KIA, sebagian besar informan mengatakan berdasarkan jenjang pendidikan

cukup ideal, sebagian besar bidan minimal berijazah D3 kebidanan. Namun,

dari pendidikan-pelatihan untuk peningkatan kompetensi (asuhan persalinan

normal, APN; manajemen terpadu bayi muda, MTBM serta penatalaksanaan

asfiksia neonatorum) masih kurang. Beberapa puskesmas sudah ada yang

mengikuti, tetapi tidak terdistribusi merata ke semua bidan (rata-rata yang

sudah mengikuti pelatihan kurang dari 50%). Begitu juga terhadap jenis

pelatihan yang seharusnya diikuti. Selain tenaga bidan, tenaga pendukung

pelayanan KIA lainnya seperti ahli gizi juga masih belum memadai. Tidak

Semua puskesmas memiliki ahli gizi (minimal pendidikan D3 gizi).

4. Ketersediaan dan Ketercukupan Sarana Pendukung Pelayanan Kesehatan Ibu

dan Anak

aspek sarana pendukung pelayanan KIA pada kategori belum memadai.

Beberapa hal yang belum memadai adalah peralatan pendukung pelayanan

KIA (sarana laboratorium, sterilisasi alat, dan lain-lain). Kekurangan sarana

13
ini terutama untuk daerah yang jauh, di puskesmas pembantu (pustu) maupun

pondok bersalin desa (polindes). Banyak hal yang menyebabkan sarana ini

masih kurang, antara lain keterbatasan dana karena ada pengembangan atau

penambahan puskesmas baru. Kendala lain adalah fasilitas yang belum

termanfaatkan. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh tidak ada pelatihan

pengoperasian alat, tidak ada tenaga teknisi/analis yang kompeten atau tidak

tersedia sarana pendukung pengoperasian alat tersebut, seperti daya listrik.

5. Faktor Pendorong (Reinforcing) yang Berhubungan dengan Pelayanan

Kesehatan Ibu dan Anak

Kebijakan yang menjadi acuan dalam pelayanan KIA secara umum

adalah mengimplementasikan kebijakan nasional terkait pelayanan KIA.

Sasaran yang dicapai adalah berdasarkan standar pelayanan minimal bidang

kesehatan (SPM BK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Acuan

operasional pelaksanaan di daerah adalah surat keputusan bupati/walikota

terkait SPM yang sudah ada. Namun untuk hal-hal teknis lain, seperti

pengaturan kompetensi tenaga kesehatan belum diatur melalui kebijakan

daerah seperti peraturan daerah (peraturan gubernur dan bupati/walikota).

Aspek prasarana pendukung pelayanan KIA sebagian besar berada pada

kategori memadai. Beberapa hal yang dianggap sudah baik adalah kebijakan

yang jelas terhadap pelayanan KIA, khusus untuk masyarakat miskin tersedia

panduan kegiatan (dalam bentuk buku atau modul). Pada beberapa

puskesmas, walaupun pedoman sudah ada terkadang jumlahnya belum

mencukupi.

14
Kecukupan dana untuk mendukung pelayanan KIA ada yang merasa

sudah memadai, namun ada juga yang mengatakan belum memadai. Dana

untuk kegiatan rutin/kegiatan tugas pokok dan fungsi dari tenaga kesehatan

seperti antenatal care (ANC) di pelayanan primer dianggap cukup memadai.

Beberapa daerah terjadi penurunan anggaran untuk pelayanan KIA. Untuk

kegiatan tertentu, anggaran tersebut tidak tersedia, terutama untuk

pengembangan program dan peningkatan kualitas tenaga kesehatan.

Pelayanan KIA untuk masyarakat sudah tersedia dana yang memadai,

mengingat kebijakan pelayanan gratis terutama untuk masyarakat miskin.

Beberapa kegiatan dalam pelayanan KIA juga melibatkan lintas sektoral

seperti pembinaan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) dengan

pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK) (pos pelayanan terpadu,

posyandu; bina keluarga balita, BKB; tanaman obat keluarga, toga; dan lain-

lain), dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (unit kesehatan

sekolah, UKS; pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat, PHBS; serta bulan

imunisasi anak sekolah) serta dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan

(peningkatan gizi masyarakat). Kegiatan yang dilakukan secara lintas sektoral

secara umum tidak bermasalah. Namun, jumlah kegiatan lintas sektoral masih

banyak yang belum terealisasi sehingga kegiatan ini hanya dilakukan oleh

dinas kesehatan sehingga tidak mencapai target. Berbagai kendala yang

masih dihadapi antara lain pola koordinasi kegiatan belum dirumuskan dan

tidak diikat dengan memorandum of understanding (MOU) yang jelas.B III

PENUTUP

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Pada masa Dr. Johannes Leimena menjabat sebagai Menteri Muda Kesehatan

maupun setelah menjadi Menteri Kesehatan RI, Dr. Johannes Leimena

dihadapkan pada berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia dan salah

satunya ialah permasalahan angka kematian ibu dan anak yang cukup tinggi

di Indonesia. Tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia pada tahun

1951 dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena sulitnya

mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak di wilayah-wilayah pelosok,

Kedua, upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak juga perlu ditinjau dari

sudut sosial budaya. Ketiga, kondisi pangan di Indonesia juga mempengaruhi

tingkat kesehatan masyarakat Indonesia termasuk kesehatan mengikuti

pendidikan dukun bayi. ibu dan anak.

2. Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak :

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Kehamilan, Persalinan, dan

Nifas Ibu (Maternal), Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik

Kesehatan Bayi dan Anak, Hubungan Faktor Sosiokultural dengan Praktik

Masyarakat terkait Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak, Faktor Pemungkin

(Enabling) yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak,

Ketersediaan dan Ketercukupan Sarana Pendukung Pelayanan Kesehatan Ibu

dan Anak, Faktor Pendorong (Reinforcing) yang Berhubungan dengan

Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

16
DAFTAR PUSTAKA

Astiannis, Rella. Saripudin, D. (2018). Johannes Leimena Dalam Kesehatan Ibu

Dan Anak Di Indonesia (1946-1956). Departemen Pendidikan Sejarah FPIPS

UPI, Volume 7, 203–214.

Zahtamal, Restuastuti, T., & Chandra, F. (2007). Kesehatan Ibu dan Anak

Determinant Factor Analysis on Mother and Child Health Service Problem.

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran

Universitas Riau, vol.6(1), 9–16.

yusran s, akifah, wa ode sitti nur zalmaryah A. (2017). Sejarah dan Permasalahan

Kesehatan Ibu dan Anak (1st ed.; S. Yusran, ed.). kendari: cv.metro graphia

kendari.

17

Anda mungkin juga menyukai