Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU BEDAH UMUM


LAPARATOMI

Nama : Juned Andreansyah


NIM : 165130100111035
Kelas : 2016 C
Kelompok : 8
Asisten : Made Ayu Putri Antarayami

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sterilisasi pada hewan yang dilakukan saat ini dapat dibedakan secara
medis, dengan tindakan operasi pengambilan organ reproduksi hewan jantan
(kastrasi) atau hewan betina (ovariohisterectomy) dan non medis, tindakan tanpa
operasi yang dilakukan dengan cara yang bervariasi umumya dengan kontrasepsi
hormon . Dalam prosedurnya seorang dokter hewan harus mampu melakukan
laparotomy dengan baik dan benar demi menunjang kesembuhan pasca operasi agar
dapat sembuh total, baik dan cepat. Untuk itu perlu dipelajari lebih dalam mengenai
laparotomy, agar seorang dokter hewan mampu melakukan laparotomy dengan baik
dan benar (Stiandari,2016).
Pemilik hewan umumnya memutuskan untuk melakukan steril pada
hewannya di klinik hewan yang penanganannya aman dan mensejahterakan
hewan dengan operasi, namun dari biaya cenderung mahal. Didapati pemilik
hewan yang memutuskan untuk melakukan steril pada hewannya tidak di klinikhewan,
dengan pertimbangan dari pemilik dalam pembiayaan tidak mahal tetapi
semua disertai resiko, hewan yang ditangani kontrasepsi akan tersiksa, kesakitan
dan dapat memunculkan penyakit lain (Stiandari,2016).
1.2 Tujuan
1. Menemukan dan mengetahui uterus yang ada di dalam ruang abdominal
secara langsung
2. Dapat melakukan teknik sterilisasi pada kucing betina.
3. Dapat melakukan tindakan post operasi pada kucing betina.

1.3 Manfaat
1. Mahasiswa dapat melakukan operasi sterilisasi pada kucing betina
2. Melaksanakan program sterilisasi kucing liar.
3. Menekan populasi kucing liar.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ovariohisterectomy

Ovariohysterectomy merupakan istilah kedokteran yang terdiri dari


ovariectomy dan histerectomy. Ovariectomy adalah tindakan mengamputasi,
mengeluarkan dan menghilangkan ovarium dari rongga abdomen. Sedangkan
histerectomy adalah tindakan mengamputasi, mengeluarkan dan menghilangkan uterus
dari rongga abdomen. Pengertian ovariohysterectomy merupakan gabungan dari
pengetian diatas yaitu tindakan pengambilan ovarium, corpus uteri dan cornua uteri.
Ovariohysterectomy dilakukan pada kasus-kasus pyometra, metritis, dan salphingitis
ataupun keduanya.
Post operatif Ovariohysterectomy merupakan tahapan setelah proses
pembedahan pada area abdomen (laparatomi) dilakukan. Dalam Perry dan Potter
(2005) dipaparkan bahwa tindakan post operatif dilakukan dalam 2 tahap yaitu periode
pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase post operatif. Proses
pemulihan tersebut membutuhkan perawatan post laparatomi. Perawatan post
laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang di berikan kepada klien yang
telah menjalani operasi pembedahan abdomen.

2.2 Anatomi Kucing

Pada rongga abdomen kucing terdapat beberapa organ yaitu gastric, hepar,
spleen, ren, lien, intestine, bladder dan organ genitalia. Hepar adalah kelenjer terbesar
di dalam tubuh yang terletak di bagian teratas dalam rongga abdomen di sebelah kanan
di bawah diafragma. Gastric adalah organ berfungsi untuk membantu mengolah dan
mencerna makanan. Lapisan lambung bagian dalam mengeluarkan asam dan enzim
untuk memecah makanan. Setelah proses awal pencernaan perut selesai,
keluarnya makanan yang dicerna sebagian lambung melalui
daerah sfingter pilorus dan kemudian memasuki duodenum (bagian pertama dari usus
kecil). struktur seperti tabung, yang membentang antara perut dan usus besar
merupakan bagian terpanjang saluran usus dan sekitar dua setengah kali panjang total
tubuh hewan. Usus kecil di kucing memiliki tiga bagian, bagian pertama yang
menempel pada gastric adalah duodenum, bagian terpanjang disebut jejunum dan
bagian terpendek adalah ileum, yang menghubungkan ke usus besar. Usus besar pada
kucing pada dasarnya menghubungkan usus kecil ke anus, usus besar lebih besar dari
diameter usus kecil, fungsi utamanya adalah untuk menyerap air dari tinja yang
diperlukan, sehingga menjaga tingkat hidrasi tubuh yang konstan sedangkan fungsi
lainnya adalah untuk menyimpan bagian kotoran yang akan dikeluarkan dari tubuh
(Prasetya,2012).
Pada dasarnya, fungsi sistem reproduksi hewan betina adalah memproduksi
oocyte dan menyediakan lingkungan untuk pertumbuhan serta nutrisi bagi fetus yang
berkembang setelah terjadinya fertilisasi dari oocyte (sel telur) yang matang dan
spermatozoa. Organ reproduksi utama betina terdiri dari ovarium, tuba fallopi dan
uterus yang berada dalam rongga abdominal, dimana masing-masing difiksir oleh
ligamentum. Saluran reproduksi posterior terdiri dari vagina, vestibulum, dan vulva
sebagai organ kopulatoris dan jalan kelahiran (March,2017).

1.M. psoas; 2. aorta; 3. vena cava caudal; 4,4’. ginjal kiri dan ureter; 5.
ovarium; 5’. Pembuluh darah ovarium; 6. mesovarium; 7. cornua Uterus; 8. corpus
uterus; 9. rectum; 10. vesika urinaria
2.3 Fisiologi Normal Kucing
Pemeriksaan fisik dari hewan penderita yang akan menjalani tindak
pembedahan adalah langkah awal dalam penentuan potensi resiko dalam pelaksanaan
pemberian anestesi. Sistem sirkulasi hewan terdiri dari suatu pompa empat ruang,
yaitu jantung dan sistem pembuluh yang mengedarkan darah baik dari jantung (arteri)
maupun ke jantung (vena). Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang
bentuknya menyerupai kerucut. Sementara itu sistem respirasi memiliki 2 fungsi
utama, yaitu sebagai penyedia oksigen bagi darah dan mengambil karbondioksida dari
dalam darah. Pusat pernafasan adalah sekelompok neuron yang tersebar luas dan
terletak bilateral medulla oblongata dan pons (Ulva,2017).
Suhu tubuh adalah suhu bagian dalam (suhu inti), bukan suhu permukaan yang
merupakan suhu kulit atau jaringan bawah kulit. Suhu inti relatif konstan kecuali bila
terjadi demam, sedangkan suhu permukaan lebih dipengaruhi lingkungan. Pada
kedokteran hewan pengukuran suhu tubuh hewan khususnya kucing dengan
menggunakan termometer yang diletakkan di rektum. Ketika melakukan pengukuran
suhu melalu rektum lakukan saat tidak ada feses di dalam, agar suhu yang muncul
melalui termometer menjadi wakil dari suhu tubuh keseluruhan. Suhu normal pada
kucing yaitu 38,00 C – 39,30 C. Pada semua hewan, suhu tubuh berubah-ubah
sepanjang hari, pada pagi hari suhu tubuh lebih rendah, tengah hari agak tinggi, dan
mencapai puncak pada sore hari jam 18.00 (rentang suhu dalam sehari adalah ± 0,80
C) (Ulva, 2017).
Menurut Ifianti frekuensi normal nafas kucing adalah berkisar antara 20-30 kali
per menit sedangkan denyut jantung normal kucing adalah berkisar antara 110-130
kali per menit. Saat hewan sakit, suhu kulit dapat tidak terbagi rata dan dapat lebih
rendah atau lebih tinggi secara lokal atau secara umum. Pembagian panas yang tidak
merata dapat terjadi pada demam tinggi, sakit umum, kedinginan, kelemahan jantung,
dan lain sebagainya. Suhu kulit pada seluruh tubuh akan menurun menjelang kematian
dan juga pada waktu kehilangan darah dalam jumlah besar.
2.4 Pramedikasi
Premedikasi prabedah merupakan komponen penting dalam pemberian anestesi
terutama pada pasien kucing. Sekitar 70% pasien kucing diperkirakan mengalami stres
dan juga kecemasan prabedah, sehingga diperlukan premedikasi yang bertujuan untuk
menurunkan serta menghilangkan kecemasan tersebut. kegunaan khusus pemberian
premedikasi melancarkan proses induksi anestesi, dan menurunkan insidensi gangguan
perilaku dan juga tidur pascabedah. Persiapan fisik dan psikologi pasien harus
diperhatikan untuk menciptakan periode perioperatif yang lancar. Obat premedikasi
dapat diberikan melalui beberapa macam rute, yaitu oral, nasal, rektal, intravena, atau
intramuskular. (Aripin,2015).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Tomoki Nishiyama (2004) midazolam


dengan dosis 0,05 mg/kgbb IV sudah dapat menimbulkan efek sedasi dan antiansietas,
serta dengan dosis tersebut cukup sig nifikan mempengaruhi penurunan tekanan darah
serta laju nadi.

Menurut Ratnasari (2016) macam – macam obat pramedikasi berupa :

2.4.1.Analgesik

Narkotik Morfin dan petidin adalah narkotik yang paling sering digunakan
untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi,
mengurangi kebutuhan obat anestesi, dan menghasilkan anelgesia pra dan pasca
bedah. Morfin diberikan dengan dosis 0,1 – 0,2 mg/kg BB, sedangkan petidin dengan
dosis 1-2 mg/kg BB. Efek samping dari penggunaan analgesik narkotik adalah
hipotensi ortostatik dan mual muntah (Ratnasari,2016).

2.4.2.Barbiturat
Golongan barbiturat digunakan untuk premedikasi meliputi pentobarbital dan
sekobarbital. Keuntungan penggunaan obat ini ialah menimbulkan sedasi, efek
terhadap depresi pernapasan rendah, depresi sirkulasi minimal, dan tidak
menimbulkan efek mual dan muntah. Pentobarbital dan sekobarbital digunakan secara
oral atau IM dengan dosis 100-150 mg pada orang dewasa dan 1 mg/kg BB pada anak
di atas 6 bulan. Efek samping adalah tidak adanya efek analgesia (Ratnasari,2016).

2.4.3.Benzodiazepin
Golongan benzodiazepin spesifik untuk menghilangkan rasa cemas, amnesia
dan tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, depresi nafas, atau mual dan muntah.
Golongan benzodiazepin yang sering digunakan untuk premedikasi adalah diazepam,
lorazepam, dan midazolam. Dosis penggunaan diazepam untuk premedikasi adalah 10
mg, sedangkan pada anak kecil 0,2-0,5 mg/kg BB. Dosis dari midazolam adalah 0,1
mg/kg BB. Efek samping yang sering timbul adalah pemulihan yang lama
(Ratnasari,2016).

2.4.4.Antikholinergik
Golongan obat ini digunakan untuk mengatasi hipersekresi kelenjar ludah dan
bronkus yang ditimbulkan oleh anestetik yang dapat mengganggu pernapasan selama
anestesi. Atropin merupakan obat yang memiliki efek kompetitif inhibitor terhadap
efek muskarinik dari asetilkolin. Dosis dari atropin adalah 0,4-0,6 mg IM. Namun,
dosis ini tidak cukup untuk mengatasi perubahan kardiovaskuler akibat rangsangan
(Ratnasari,2016).

2.5 Prosedur OH
2.5 Teknik Operasi Ovariohysterectomy
A. Pra Operasi
a. Persiapan ruang operasi
Ruang operasi dibersihkan dari kotoran dengan disapu (dibersihkan dari
debu), kemudian disterilisasi dengan radiasi atau dengan desinfektan (alcohol
70%).
b. Preparasi alat
a) Sterilisasi alat-alat bedah
Sterilisasi pada alat-alat bedah bertujuan untuk menghilangkan seluruh
mikroba yang terdapat pada alat-alat bedah, agar jaringan yang steril atau
pembuluh darah pada pasien yang akan dibedah tidak terkontaminasi oleh
mikroba pathogen. Peralatan bedah minor yang dipakai dalam operasi
antara lain towel clamp, pinset anatomis dan syrurgis, scalpel dan blade
untuk menyayat kulit, gunting untuk memotong jaringan atau bagian
organ lainnya, arteri clamp untuk menghentikan perdarahan dan needle
holder.
b) Pembungkusan Alat-alat Bedah
1. Kain pembungkus dibuka di atas meja, kemudian wadah peralatan
diposisikan di bagian tengah
2. Sisi kain yang dekat dengan tubuh dilipat hingga menutupi peralatan
dan ujung lainnya dilipat mendekati tubuh
3. Sisi bagian kanan dilipat, kemudian bagian kiri
4. Disiapkan kain wadah yang telah dibungkus dengan kain pembungkus
pertama diposisikan kembali di bagian tengah pada sisi diagonal
5. Sisi bagian kanan dilipatm kemudian bagian kiri
6. Ujung lainnya dilipat mendekati tubuh dan diselipkan untuk
memudahkan pada saat membuka
7. Sterilisasi dengan oven dengan suhu 100oC selama 60 menit.
c) Pembukaan Alat Bedah yang Sudah Steril
1. Kain dibuka dari bagian yang diselipkan
2. Peralatan diletakkan di atas meja
B. Premedikasi dan anastesi
Premedikasi merupakan suatu tindakan pemberian obat sebelum
pemberian anastesi yang dapat menginduksi jalannya anastesi. Premedikasi
dilakukan beberapa saat sebelum anastesi dilakukan. Tujuan premedikasi adalah
untuk mengurangi rasa takut, amnesia, induksi anastesi lancar dan mudah
mengurangi keadaan gawat anastesi saat operasi seperti hipersalivasi, bradikardia
dan muntah.
Premidikasi yang digunakan adalah Atropin. Atropin sulfat dengan dosis
0,04 mg/kg BB secara subkutan selama 15 menit kemudian dilanjutkan dengan
pemberian ketamin dengan dosis 2 mg/kgBB, xylazine dengan dosis 2 mg/kgBB
secara intramuskular.
Anastesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berarti tidak dan Aesthesis
yang berarti rasa atau sensasi nyeri. Agar anestasi umum dapat berjalan dengan
sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal.
Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita,
sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau
jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi
otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diingini
(Gan, 1987).
Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (1993) mempunyai
sifat-sifat, yaitu:
1. Pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang
cukup,
2. Cara pemberian mudah,
3. Mulai kerja obat yang cepat dan
4. Tidak mempunyai efek samping yang merugikan.
Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan,
mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan
kondisi hewan. Obat anastesi yang sering digunakan pada hewan antara lain
Ketamin dan Xylasin. Ketamin merupakan larutan yang tidak berwarna, stabil
pada suhu kamar dan relative aman dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya
sangat kuat untuk sistim somatik tetapi lemah lemah untuk sistim visceral, tidak
menyebabkan relaksasi otot lurik bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit
meninggi. Secara kimiawi, ketamin analog dengan phencyclidine. Ketamin HCl
berwarna putih dan berbentuk bubuk kristal yang mempunyai titik cair 258-
261ºC. Satu gram ketamin dilarutkan dalam 5 ml aquades dan 14 ml alkohol.
Ketamin yang digunakan sebagai agen anestesi untuk injeksi dipasaran biasanya
mempunyai pH antara 3,5-5,5
Ketamin HCl bekerja dengan memutus syaraf asosiasi serta korteks otak
dan thalamus optikus dihentikan sementara, sedangkan sistem limbik sedikit
dipengaruhi. Ketamin HCl merupakan analgesia yang tidak menyebabkan depresi
dan hipnotika pada syaraf pusat tetapi berperan sebagai kataleptika. Setelah
pemberian ketamin, refleks mulut dan menelan tetap ada dan mata masih terbuka.
Ketamin dapat dipakai oleh hampir semua spesies hewan. Ketamin
bersama xylazine dapat dipakai untuk anastesi pada kucing. Ketamin dengan
pemberian tunggal bukan anastetik yang bagus. Dosis pada kucing 10-30 mg/kg
secara intra muskuler, mula kerja obat 1-5 menit, lama kerja obat 30-40 jam dan
recoverinya 100-150 menit. Menurut Kumar (1997) dosis ketamin pada anjing
dan kucing ialah 10-20 mg/kg diberikan secara intra muskuler.
C. Perawatan Post Operasi
Perawatan post operasi meliputi pemberian nutrisi yang cukup, obat-
obatan untuk membantu proses persembuhan luka, dan obat-obat untuk mencegah
munculnya infeksi sekunder seperti antibiotic. Selain itu kebersihan terhadap
hewan harus tetap dijaga, menginngat luka operasi sangat mudah untuk dimasuki
oleh agen infeksi. Perawatan post operasi dilakukan selama 14 hari untuk dapat
maximal sampai proses penutupan luka secara sempurna.
2.6 Stadium Anastesi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran
juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir
sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan
secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan
cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan,
enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara
intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan
molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf, 2008).
Menurut Ratnasari (2016), stadium anestesi umum dibagi menjadi empat tingkatan
di antaranya :

a. Stadium I (analgesik)
Stadium analgesia dimulai sejak saat pemberian anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri (analgesia), tetapi masih
tetap sadar dan dapat mengikuti perintah. Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan
pembedahan ringan seperti mencabut gigi dan biopsi kelenjar Stadium II (delirium)
(Ratnasari,2016)
b. Stadium II (Eksitasi)
Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai munculnya pernapasan
yang teratur yang merupakan tanda dimulainya stadium pembedahan. Pada stadium ini
pasien tampak mengalami delirium dan eksitasi dengan gerakan-gerakan diluar
kehendak. Pernapasan tidak teratur baik iramanya maupun amplitudonya, kadan-
kadang cepat, pelan atau berhenti sebentar, kadang-kadang apnea dan hiperapnea,
tonus otot rangka meninggi, bola mata masih bergerak, pupil melebar, pasien meronta-
ronta, kadang sampai mengalami inkontinesia, dan muntah. Hal ini terjadi karena
hambatan pada pusat inhibisi. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, maka stadium
ini harus diusahakan cepat dilalui (Ratnasari,2016).
c. Stadium III (Pembedahan)
Stadium III dimulai dengan timbulnya kembali pernapasan yang teratur dan
berlangsung sampai pernapasan spontan hilang.
Ciri umum dari tahap III ini ialah:
1.Napas jadi teratur
2.Reflek bulu mata negatif
3.Otot-otot jadi lemas
Keempat tingkat dalam stadium pembedahan ini dibedakan dari perubahan
pada gerakan bola mata, refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus otot, dan lebar pupil
yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan.
1.Plane I
Pernapasan teratur, spontan, dan seimbang, antara pernapasan dada dan perut,
gerakan bola mata terjadi diluar kehendak, miosis, sedangkan tonus otot rangka masih
ada.
2.Plane II
Pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola mata tidak bergerak,
pupil mata melebar, otot rangka mulai melemas, dan refleks laring hilang sehingga
pada tingkat ini dapat dilakukan inkubasi.
3.Plane III
Pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada karena otot interkostal
mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum
maksimal.
4.Plane IV
Pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh total, tekanan darah
mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang. Pembiusan hendaknya
jangan sampai ke tingkat IV ini karena pasien akan mudah sekali masuk ke dalam
stadium IV yaitu ketika pernapasan spontan melemah. Untuk mencegah ini, harus
diperhatikan benar sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan
keadaan normal, dan turunnya tekanan darah (Ratnasari,2016).
d. Stadium IV (Paralisis)
Stadium IV (paralisis medula oblongata), dimulai dengan melemahnya
pernafasan perut dibanding stadium III, tekanan darah tidak dapat Jurnal Medika
Veterinaria Chairul Fadhli, dkk 95 diukur karena kolaps pembuluh darah, berhentinya
denyut jantung dan dapat disusul kematian. Pada stadium ini kelumpuhan pernafasan
tidak dapat diatasi dengan pernafasan buatan (Ratnasari,2016).

2.6.1 Pemilihan Anestesi


Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan
kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor–faktor
pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional
ternyata lebih baik daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa
mengurangi resiko trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan
pernapasan, infark miokardial, dan gagal ginjal (Adams, 2001). Beberapa
faktor yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain: keterampilan dan
pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan peralatan,
kondisi klinis pasien, waktu yang tersedia, tindakan gawat darurat atau efektif,
keadaan lambung, dan pilihan pasien. Untuk operasi kecil (misalnya
Universitas Sumatera Utara menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan), jika
lambung penuh, maka pilihan yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk
operasi besar gawat darurat, anestesi regional atau umum sangat kecil
perbedaannya dalam hal keamanannya.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
- Towel/Drapes/Duk
- Tali
- Scalpel Handle + Blade
- Towel Clamps
- Pinset Anatomis dan Cirrhurgis
- Jarum Bedah (Needle)
- Nearbaken
- Alas Operasi
- Gunting Tajam-tajam
- Gunting Tajam-tumpul
- Allis Tissue Forcep
- Needle Holder
- Alat Cukur
- Gurita
- Jas laboratorium
3.1.2 Bahan
- Koran
- Masker
- Penutup Kepala
- Sarung Tangan (Glove)
- Tampon Bulat dan Kotak
- Benang Jahit (Catgut Plain,Catgut Chromic dan Silk)
- Obat-obatan (Atropin Sulfat, Ketamin, Xylazine, Nebacetin,
Ketoprofen dan Amoxicilin)
- Alkohol 70%
- Iodin
- Sabun
3.2 Langkah Kerja
3.2.1 Preparasi Alat Bedah

Alat-alat bedah

- Dibungkus alat-alat bedah yang akan digunakan menggunakan koran


- Dilakukan sterilisasi alat-alat yang telah dibungkus dengan koran
dengan cara dimasukan kedalam oven selama kurang lebih 30 menit
- Dilakukan sterilisasi untuk alat seperti gunting dan jarum jahit
menggunakan larutan iodin

Hasil

3.2.2 Persiapan Hewan

Hewan

- Dipuasakan hewan selama 6-12 jam tanpa makan dan 2-6 jam tanpa
minum sebelum operasi
- Dilakukan pemeriksaan fisik terhadap hewan berupa sinyalmen,
anamnesa dan pemeriksaan primer dan sekunder, serta dibersihkan
rambut sekitar area abdomen yaitu area yang akan dilakukan laparatomi
menggunakan silet dan sabun
- Dilakukan prosedur anesthesia dengan memberukan atropine sulfat
(0,04 mg/kgBB ) secara injesksi terlebih dahulu secara subcutan, dan
ditunggu selama 15 menit
- Diinjeksikan ketamine + xylazin (10 mg/kgBB + 2 mg/kgBB ) secara
intramuscular
- Diletakan hewan diatas meja operasi yang telah di sterilisasi dengan
alcohol dan telah dialasi dengan alas operasi segera setelah hewan
mulai kehilangan kesadaran
- Diikat extremitas hewan menggunakan tali dengan posisi hewan
terlentang dimana dorsal menghadap meja operasi
- Dibersihkan area yang akan dilaparatomi menggunakan tampon yang
diberi iodin dengan arah memutar dari dalam ke luar
- Ditutup dengan duk steril tanpa menyentuh bagian tubuh hewan dan di
fiksasi dengan towl clamp oada keempat ujung lubang dari duk
Hasil
3.2.3 Persiapan Operator

Operator

- Dipasang baju bedah atau jas laboratorium yang telah steril atau bersih
- Dipakai nursecap dan masker
- Dicuci tangan dan disikat kuku tangan operator dan asisten operator
menggunakan sabun yang mengandung antiseptic dibawah air mengalir
hingga bersih
- Dikeringkan dengan handuk steril atau dibiarkan air mengalir kearah
siku, artinya tangan dibiarkan tegak serta berada didepan dada
- Dipasang glove steril dengan bantuan asisten atau glove yang telah
dipasang diberi larutan alcohol 70% agar terjaga kesterilannya

Hasil

3.2.4 Prosedur Operasi

Hewan

- Dibuat sayatan seminim mungkin menggunakan blade pada daerah linia


alba sekitar 5cm dengan cara midline incision diikuti penyayatan m.
obliquus abdominis internus et externus, dan peritoneum
- Dilakukan pengontrolan kondisi hewan meliputi reflex mata, kesadaran,
temperature, pulsus dan respirasi setiap 15 menit dan dicatat
- Dicari organ reproduksi hewan berupa ovarium dan uterus
- Dilakukan penjahitan setelah organ yang dicari ditemukan. Penjahitan
pada daerah linea alba dijahit menggunakan catgut chromic absorbable,
pada daerah subkutan digunakan catgut plain dan pada daerah kulit
digunakan non-absorbable (silk). Daerah subkutan digunakan jahitan
tipe simple continuous dan pada kulit simple interrupted.
- Diberikan NaCl fisiologis dan diberi serbuk nebacetin lalu ditutup
jahitan dengan menggunakan kasa steril dan diberikan hypafix
- Dipasangkan gurita pada hewan
- Dipindahkan kedalam kandang
- Diberikan sumber hangat seperti lampu dan air hangat sembari
mengontrol suhu, pulsus serta respirasi

Hewan

3.2.5 Prosedur Post Operasi


Hewan

- Diberikan pemberian obat antibiotic selama masa penyembuhan,


menggunakan amoxicillin 2 kali sehari selama 5 hari
- Dilakukan penggantian bandage setiap hari
- Dilakukan pemeriksaan fisik (pulsus, respirasi dan frekuensi nafas)
- Diberikan pakan dan minum setiap hari

Hasil
BAB IV
HASIL

4.1. Form Pemeriksaan Pre Operasi, Operasi dan Post Operasi

Pemeriksaan Hewan

Kelas:A Kelompok: 3

Nama Nim
1.
2.
3.
4.

SIGNALEMENT

Nama : Popi

Jenis hewan : Kucing

Kelamin : Betina

Ras/breed : Domestik

Warna bulu/kulit : Kuning

Umur : 1 tahun

Berat badan : 3,2 kg

Tanda kusus :

ACC ASISTEN

( )
Pemeriksaan Hewan

Hospital Name : CLINIC VETERINARY OF BRAWIJAYA UNIVERSITY

Address : JL. MT. HARYONO

City : MALANG

Tanggal :

Temp:

Pulse: Respirasi:

Membrane color: CRT:

Hydration: Body Weight: 2,9 kg

Color and consistency of feces:

Body condition : Underweight  Overweight  Normal

System Review

a. Integumentary b. Otic c. Optalmic d. Muscoloskeletal


Normal Normal Normal Normal
Abnormal Abnormal Abnormal Abnormal
e. Nervus f. Cardiovaskuler g. Respiration h. Digesty
Normal Normal Normal Normal
Abnormal Abnormal Abnormal Abnormal
i. Lympatic j. Reproduction k. Urinaria
Normal Normal Normal
Abnormal Abnormal Abnormal

Deskripsi Abnormal

Tidak ada abnormalitas

Vaksinasi Ya Tidak

Ctt: -

Disease Record:-
ACC ASISTEN

( )
4.2 Form Laparotomy

FORM OPERASI LAPAROTOMY

Nama Pemilik : C8 Temp : 37OC


Alamat : Dieng Membrane mucosa : Pucat pink
Nama : Popi CRT :<2
Jenis Kelamin : Betina Pulsus : 132/menit
Jenis Hewan : Kucing Respirasi : 38/menit
Ras/ Brees : Domestic Hydration :<2
KONTROL ANASTESI

DOSIS Volume
KOSENTRASI
Obat GolonganObat (mg/Kg Obat Rute Waktu
(mg/ml)
BB) (ml)
IM
(ext.
Amoxicilin ANTIBIOTIK 10 mg/kg 100 mg/ml 0,33 ml 12:55
Caudal
kiri)
Atropin 0,04
PREMEDIKASI 0,25 mg/ml 0,52 ml SC 13:29
sulfat mg/kg
IM
(ext.
Ketamin ANASTHESI 0,33ml 13:49
Caudal
kanan)
Xylazine ANASTESI 2 mg/kg 20 mg/ml 0,33ml IM 13:49
ANTI
Tolfenamic 4 mg/kg 40 mg/ml 0,33ml SC 17:47
INFLAMASI
Amoxicilim ANTIBIOTIK 20 mg/kg 25 mg/ml 2,6 ml PO

KONTROL PEMERIKSAAN

Menit 0 15 30 45 60 75 90 105 120


Pulsus(/menit 116 92 100 104 108 100 106 90 88
)
Temp(0C) 37O 36,6O 36,6O 36,5O 36,8O 36,6O 36,6O 36,6O 36,2O
C C C C C C C C C

Menit 135 150


Pulsus(/menit) 92 108
Temp(0C) 36,2OC 37,5OC

Mulai Operasi : 14:25

Selesai Operasi : 16.00 ACC ASISTEN


Mulai Anastesi : 13:49
Tgl

( )

FORM MONITORING PASCA OPERASI

Nama Hewan : Popi Nama Pemilik : C8


Jenis Hewan : Kucing Alamat : Dieng
Ras/Breed : Domestic No telp :-
Umur : ± 1 Tahun
Jenis Kelamin : Betina

Tanggal Pemeriksaan Terapi


15/4/19 Suhu : 37,8C Appetice : ++ T/ Amoxicilin
Pulsus : 110 Defekasi :- Bioplasentol
CRT : >2 Urinasi : +
SL : +
16/4/19 Suhu : 37,9C Appetice :++ T/ Amoxicilin
Pulsus : 112 Defekasi :+ Bioplasentol
CRT : <2 Urinasi :+ Ganti perban
SL :++
17/4/19 Suhu : 38C Appetice :+++ T/ Amoxicilin
Pulsus : 120 Defekasi :+ Bioplasentol
CRT : <2 Urinasi :+
SL :++
18/4/19 Suhu : 38,1C Appetice :++ T/ Amoxicilin
Pulsus : 124 Defekasi :++ Bioplasentol
CRT : <2 Urinasi :++ Ganti perban
SL :++
19/4/19 Suhu : 38C Appetice :+++ T/Amoxicilin
Pulsus : 124 Defekasi :++ Bioplasentol
CRT : <2 Urinasi :++
SL :++
20/4/19 Suhu : 38C Appetice :+++ T/Amoxicilin
Pulsus : 120 Defekasi :++ Bioplasentol
CRT : <2 Urinasi :++ Ganti perban
SL :++
21/4/19 Suhu : 38C Appetice :+++ T/Amoxicilin
Pulsus : 124 Defekasi :++ Bioplasentol
CRT : <2 Urinasi :++
SL :++
22/4/19 Suhu : 38C Appetice :+++ T/Amoxicilin
Pulsus : 128 Defekasi :++ Bioplasentol
CRT : <2 Urinasi :++ Tolfenamic Acid
SL :++ Ganti perban
23/4/19 Suhu : 38C Appetice :++++ T/ Bioplasentol
Pulsus : 124 Defekasi :+++
CRT : <2 Urinasi :+++
SL :+++
24/4/19 Suhu : 38 C Appetice :++++ T/ Bioplasentol
Pulsus : 130 Defekasi :+++ Tolfenamic Acid
CRT : <2 Urinasi :+++ Ganti perban
SL :+++
25/4/19 Suhu : 38C Appetice :++++ T/ Bioplasentol
Pulsus : 120 Defekasi :+++
CRT : <2 Urinasi :+++
SL :++++
26/4/19 Suhu : 38C Appetice :++++ T/ Bioplasentol
Pulsus : 128 Defekasi :+++ Tolfenamic Acid
CRT : <2 Urinasi :+++ Ganti perban
SL :+++
27/4/19 Suhu : 38 C Appetice :++++ T/ Bioplasentol
Pulsus : 130 Defekasi :+++
CRT : <2 Urinasi :+++
SL :+++
28/4/19 Suhu : 38 C Appetice :++++ T/ Bioplasentol
Pulsus : 124 Defekasi :+++ Ganti perban
CRT : <2 Urinasi :+++
SL :+++
29/4/19 Suhu : 38C Appetice :++++ T/ Bioplasentol
Pulsus : 128 Defekasi :+++
CRT : <2 Urinasi :+++
SL :+++

ACC ASISTEN Dosen Catatan :


Tgl Tgl

( ) ( )

4.2 Perhitungan Dosis

Berat badan kucing (Popi) = 3,3 kg

 Amoxicilin Injeksi :
Dosis = BB X Dosis Obat
Konsentrasi Obat

= 3,3 kg x 10 mg/kg

100 mg/ml
= 0,33 ml

 Atropin sulfat :
Dosis = 3,3 kg x 0,04 mg/kg
0,25 mg/ml

= 0, 52 ml
 Ketamine :
3,3 kg x 10 mg/kg
Dosis = \
100 mg/ml

= 0,33 ml
 Xylazine :
Dosis = 3,3 kg x 2 mg/kg
20 mg/ml

= 0,33ml
 Tolfenamic acid :
3,3 kg x 4 mg/kg
Dosis =
40 mg/ml

= 0,33 ml
 Amoxicilin (PO) :
Dosis = 3,3 kg x 20 mg/kg
25 mg/ml

= 2,6 ml

4.3 Hasil Post Operasi

Pada minggu pertama hewan nampak tidak menunjukan gejala kesakitan yang
berlebihan nafsu makan teratur dan minum lancar, tetapi pada 1 minggu pertama
menunjukan tanda tanda inflamasi yang tidak kunjung menghilang. Pada minggu ke 2
kucing sudah mulai menutup lukanya tetapi pada ujung bawah incisi masih terbuka.

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Analisa Prosedur


5.1.1 Pre-Operatif
Pada pre-operatif terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik pada hewan yang
meliputi pemeriksaan berat badan, temperature, pulsus, bunting atau tidaknya dan
pemeriksaan fisik lainnya yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sehat
atau tidaknya hewan yang akan menjalani operasi. Sebelum operasi kucing dipuasakan
terlebih dahulu, sekitar 6-12 jam tanpa makan dan 2-3 jam tanpa minum, hal ini
bertujuan agar lambung hewan dalam keadaan kosong saat dilakukan laparatomi
sehingga tidak terjadi aspirasi isi lambung akibat regurgitasi dan muntah. Apabila
hewan tidak dipuasakan terlebih dahulu sebelum dibius hewan dapat muntah
sedangkan pada saat dibius hewan kehilangan reflek menelan dan meludah, akibatnya
muntahan dapat menyumbat saluran pernafasan dan membahayakan hewan tersebut.
Setelah itu hewan diberikan obat premedikasi untuk memberikan ketenangan
pada hewan, setelah itu ditunggu hingga 15 menit. Setelah 15 menit di injeksikan obat
xylazine ditambah ketamine secara intra muscular sebagai obat anestesinya, kemudian
ditunggu sampai hewan kehilangan kesadaran. Setelah hewan kehilangan kesadaran
dilakukan pencukuran rambut disekitar daerah yang akan di operasi untuk
memudahkan proses operasi dengan menggunakan silet dimana rambut terlebih dahulu
diberikan air sabun untuk mempermudah pencukuran. Setelah hewan kehilangan
kesadaran kemudian dipindahkan keatas meja operasi, dan diikat ekstremitas hewan
masing hingga hewan dalam posisi terlentang, hal ini bertujuan agar hewan tetap
dalam posisinya sehingga memudahkan operator untuk melakukan tindakan bedah.
Daerah yang sudah bersih dari rambut kemudian dibersihkan menggunakan
alcohol 70% dan di desinfeksi menggunakan iodin yang dioleskan secara melingkar
dari dalam ke luar agar bagian yang sudah bersih dan steril tidak terkontaminasi.
Kemudian hewan ditutup dengan menggunakan duk atau kain penutup yang steril lalu
dijepit menggunakan duk clamp agar duk tidak bergeser, hewan pun siap untuk
menjalani operasi.
5.1.2 Operatif
Pada tindakan operatif dilakukan insisi pada linea alba menembus kulit dan
subkutan. Sayatan dibuat tegak lurus tanpa terputus menggunakan scalpel, hal ini
dimaksudkan untuk menghindari kerusakan jaringan sehingga mempermudah proses
penyembuhan dan tidak menimbulkan luka parut. Pada saat disayat awalnya akan
terlihat omentum, kemudian akan terlihat organ-organ abdominal. Setelah itu
dilakukan eksplorasi terhadap organ-organ tersebut hingga ditemukan uterus, setelah
itu dilakukan penutupan kembali. Penutupan dilakukan dengan menjahit luka
menggunakan metode jahitan sederhana dan continue. Penjahitan pada daerah linea
alba dijahit menggunakan catgut chromic absorbable, pada daerah subkutan digunakan
catgut plain dan pada daerah kulit digunakan non-absorbable (silk). Daerah subkutan
digunakan jahitan tipe simple continuous dan pada kulit simple interrupted. Setelah
selesai dijahit diberikan antibiotic topical pada luka dan ditutup menggunakan kasa
steril dan di fiksasi dengan hypafix, lalu hewan dipasangkan gurita dengan tujuan
melindungi luka agar tidak dijilat oleh hewan serta membantu agar tidak terjadi
penekanan pada jahitan sehingga luka jahitan akan lebih cepat sembuh dan tidak
mudah terlepas.
5.1.3 Post-Operatif
Pada post-operatif hewan ditunggu hingga benar-benar sadar, dan suhu hewan
mencapai 37° C. Untuk membantu mengembalikan suhu tubuh hewan diberikan lampu
untuk menghangatkan tubuh hewan dan diberikan juga bantalan berisi air hangat
disekitar tubuh hewan. Setelah itu hewan dirawat jalan dan diberikan Diberikan
pemberian obat antibiotic selama masa penyembuhan, menggunakan amoxicillin 2 kali
sehari selama 5 hari serta rutin mengganti perban hewan setiap hari untuk menghindari
infeksi sekunder pasca operasi. Dilakukan pula control rutin seminggu sekali dan
setelah jahitan dianggap telah menutup sempurna dilakukan pelepasan benang jahit.

5.2 Analisa Hasil


5.2.1 Obat yang di Gunakan
1. Atropin Sulfat
a. Farmakologi: berfungsi sebagai agen preanestesi atau premedikasi
untuk mencegah atau menekan produksi sekret pada saluran
respirasi, sebagai antidota pada kasus toksikasi atau overdosis agen
kolinergik seperti pada bahan kimia yaitu physostigmine dan lain-
lain kemudian pada bahan herbal yaitu organofosfat, carbamat,
muscarinic mushroom dan blue green algae; meningkatkan
produksi saliva dan untuk treatment dari penyakit bronkokonstriksi
b. Kontra indikasi: Atropin dikontraindikasikan pada hewan dengan
glukoma, adhesi antara iris dan lensa, hipersensitif pada obat
antikolinergik, takikardia sekunder hingga thyrotoxikosis atau
insufiensi kardia, iskemi myokardia, penyakit obstruksi
gastrointestinal, paralisis ileus, kolitis ulseraif berat, obstruksi
uropathy, dan myastenia gravis. Atropin dapat memperburuk
beberapa gejala yang terlihat dengan toksisitas amitras,
mengakibatkan hypertensi, dan lebih lanjut lagi mengahambat
peristaltis.
c. Efek samping : Efek samping dasarnya berhubungan dengan efek
farmakologi obat dan umumnya juga berkorelasi dengan dosis yang
dipakai. Pada dosis biasa cenderung bersifat ringan pada hewan
yang sehat. Sedangkan efek yang tinggi parah cenderung terjadi
dengan tingginya atau dosis toksik. Efek gastrointestinal meliputi
mulut kering (xerostomia), disphagia, konstipasi, vomitus, dan
haus. Efek pada saluran perkencingan meliputi retensi urinari atu
hesistansi.
d. Interaksi obat: Beberapa obat berikut yang dapat meningkatkan
aktivitas atropin dan derivatnya adalah antihistamins, procainamid,
quinidin, meperidin, benzodiazepin, dan phenotiazin. Beberapa
obat yang dapat berpotensi menimbulkan efek samping atropin dan
derivatnya adalah primidon, siopiramid, nitrat, penggunaan
kotrikosteroid dalam jangka panjang (dapat meningkatkan tekanan
intraokuler). Atropin dan derivatnya bisa meningkatkan aksi dari
obat nitrofuratoin, thiazid, diuretikum, dan simpatomimetiks
(Plumbs, 2013).
e. Dosis untuk kucing:
- Sebagai pranestetik 0,02-0,04 mg/kg SK (subkutan), IM, atau IV
- untuk terapi bradikardia 0,02-0,04 mg/kg IV atau IM
- Untuk terapi toksisitas kolinergik 0,2-2,0 mg/kg ; berikan ¼ dosis
IV dan sisanya SK atau IM
2. Ketamin
a. Farmakologi: Ketamin bekerja nyata untuk meningkatkan darah ke
otak, konsumsi oksigen dan tekanan intrakaranial. Ketamin
menurunkan frekuensi pernafasan, tonus otot saluran nafas akan
terkontrol dengan baik dan reflek-reflek saluran nafas biasanya
tidak terganggu. Penggunaan ketamin telah dikaitkan dengan
kondisi disorientasi paska operasi, ilusi penginderaan, persepsi dan
gambaran mimpi yang seolah hidup (yang disebut fenomena awal
sadar / emergence phenomena).
b. Kontra indikasi: pada penderita dengan infeksi yang tidak
terkontrol, pasien yang hipersensitivitas terhadap deksametason,
penderita malaria serebral, menderita infeksi jamur sistemik,
penggunaan bersamaan dengan vaksin virus hidup (termasuk
cacar), penggunaan bersamaan dengan reagen enzim mikrosomal
hati seperti barbiturat, fenitoin dan rifampisin dapat mengurangi
waktu paruh deksametason. Selain itu, penggunaan bersamaan
dengan kontrasepsi oral akan meningkatkan volume distribusi.
c. Efek samping: Kenaikan Tekanan darah dan frekuensi jantung
sekitar 30 % serta peningkatan Noradrenalin di dalan tubuh. Pada
tahap pemulihan dapat timbul mimpi buruk dan halusinasi. Persepsi
ilusi ini dapat berulang kembali pada tahap lanjutan sampai
beberapa jam, bahkan setelah beberapa hari. Kejadian seperti ini
dapat dicegah dengan pramedikasi dengan benzodiazepin. Serta
produksi saliva yang bertambah banyak.
d. Dosis : Dosis induksi ketamin adalah 1-2 mg/KgBB IV atau 3-5
mg/KgBB IM. Stadium depresi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk
mempertahankan anestesia dapat diberikan dosis 25-100
mg/KgBB/menit. Stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.17
3. Zylazine
a. Farmakologi : Xylazine bekerja melalui mekanisme yang
menghambat tonus simpatik karena xylazine mengaktivasi reseptor
postsinap α2-adrenoseptor sehingga menyebabkan medriasis,
relaksasi otot, penurunan denyut jantung, penurunan peristaltik,
relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Aktivitas xylazine pada susunan
syaraf pusat adalah melalui aktivasi atau stimulasi reseptor α2-
adrenoseptor, menyebabkan penurunan pelepasan simpatis,
mengurangi pengeluaran norepineprin dan dopamin. Reseptor α2,
Xylazine menghasilkan sedasi dan hipnotis yang dalam dan lama,
dengan dosis yang ditingkatkan mengakibatkan sedasi yang lebih
dalam dan lama serta durasi panjang.
b. Kontra indikasi : tidak boleh digunakan pada hewan yang memiliki
hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Xylazin dapat diberikan
secara intravena, intramuskular, dan subkutan. Pada ruminansia,
xylazin dapat menyebabkan peningkatan sekresi saliva,
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi (pernafasan), tetapi dapat
dihambat oleh kerja dari atropin
c. Efek samping: Perubahan yang cukup jelas terlihat pada fungsi
kardiovaskular. Awalnya segera setelah injeksi, tekanan darah akan
meningkat, kemudian diikuti dengan konstriksi pembuluh darah
kapiler. Sebagai reflek normal terhadap peningkatan tekanan darah
dan pemblokiran saraf simpatis, frekuensi denyut jantung akan
menurun sehingga menimbulkan bradikardi dan tekanan darah
menurun mencapai level normal atau subnormal. Xylazin tidak
dianjurkan pada hewan yang memiliki penyakit jantung, darah
rendah, dan penyakit ginjal
d. Interaksi obat: dikombinasikan dengan obat lain seperti
benzodiazepin atau opioid untuk menghasilkan sedasi. Xylazine
juga dapat dikombinasikan dengan anestesi injeksi seperti
ketamine, tiopental, dan propofol atau anestesi inhalasi seperti
halotan dan isofluran untuk menghasilkan anestesi yang lebih baik.
e. Dosis: 0,44 – 1 mg/kgBB secara IM
4. Amoxycilin
a. Farmakologi: merupakan antibiotic berspektrum luas yang
mempunyai daya kerja sebagai bakteriosida, aktif terhadap bakteri
gram positif maupun negative.
b. Kontra indikasi: terhadap pasien yang peka terhadap penicilin
c. Efek samping: mual, muntah, diare dan dalam jangka panjang
dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal.
5.2.2 Stadium Anestesi yang di Gunakan
Stadium anastesi yang digunakan merupakan stadium I-III. Stadium I
merupakan stadium dimulainya pemberian anastesi sampai hilangnya
kesadaran. Kucing diberikan 2 kali anastesi karena tidak hilangnya kesadaran
ketika diberikan anastesi pertama. Stadium II, merupakan fase dimulai dari
hilangnya kesadaran sampat permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II
terjadi muntah. Pada stadium III pada saat proses operasi/pembedahan, terbagi
menjadi 3 yaitu, Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan
terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal
masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea
terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata
ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III,
ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan
otot perut relaksasi.
5.2.3 Organ yang di Temukan
Pada laparatomi kali ini organ yang ditemukan adalah uterus dan
ovarium. bentuk ovarium kucing yaitu bulat telur, bertaut erat tepat di bawah
vertebrae lumbalis ke 3 dan 4 sebelah belakang dari ginjal. Ukuran ovarium
pada kucing antara 8 – 9 mm. Pada kucing bursa ovarii tidak berlemak. Seperti
pada babi , ovarium pada kucing menyerupai buah murbei karena banyak
folikel yang sedang tumbuh atau karena banyak corpus luteum terbentuk
khususnya pada hewan yang sudah tua.
5.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan Luka
Faktor yang mempengaruhi kesembuhan luka yaitu: 1) Usia, semakin
tua hewan maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan; 2)
Infeksi, infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat
juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan
menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka;
3) Hipovolemia, kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi
dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka; 4)
Hematoma, hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka
secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika
terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat
diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka; 5) Benda
asing, benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul
dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang
membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”); 6)
Iskemia, iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai
darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat
terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat
faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri; 7)
Diabetes, hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan
gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. 8 Akibat hal tersebut juga
akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh; 8) Pengobatan, ·obat-obatan
seperti steroid dapat menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh
terhadap cedera, obat Antikoagulan dapat mengakibatkan perdarahan (Baxter,
1990).
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Laparatomi adalah sebuah tindakan medis yang bertujuan untuk menemukan
dan mengetahui keadaan organ visceral yang ada di dalam ruang abdominal secara
langsung serta bertujuan untuk menegakan suatu diagnose. Sebelum dilakukan
laparatomi dilakukan persiapan operator, alat dan instrument bedah serta persiapan
pasien dengan tujuan untuk mempermudah jalannya laparatomi. Sebelum itu juga alat
dan pasien harus dalam keadaan steril untuk itu perlu ada sterilisasi. Obat yang
digunakan dalam laparatomi yaitu obat anestesi, pramedikasi, sedative dan antibiotic.
Pramedikasi yang digunakan yaitu atropine sulfat secara subkutan. Setelah dilakukan
laparatomi kucing dirawat pasca operasi untuk mempercepat proses kesembuhan dan
mengembalikan kondisi pasien ke kondisi awal.

6.2 Saran
Dalam praktikum kali ini praktikan telah cukup memahami konsep laparatomi
dengan baik, namun terdapat kendala pasca operasi yaitu ketika ingin melakukan
control terhadap hewan di RSHP, praktikan tidak di arahkan dan dibantu dengan baik
sehingga praktikan kesuliatan dalam hal bertemu dengan dokter maupun kakak koas
untuk memeriksa keadaan hewan.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, R.H., 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 8 nd edition. IOWA State:
University Press Ames.
Baxter C. 1990. The normal healing process. In: New Directions in Wound Healing. Wound
care manual; February. Princeton, NJ: E.R. Squlbb & Sons, Inc.
Gunawan, S. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
Guyton, AC. 1994. Textbook of Medical Physiology, Edisi ke-7. Missoury: WB Saunders Co
Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler. Dalam:
Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC; 1997. hal 375-7.
Ifianti, M. 2001. Durasi dan Beberapa Aspek Fisiologi Pemakaian Anaestetikum Xylazine
dan Ketmine Untuk Ovariohisterektomi Pada Kucing Lokal [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Lyon Lee. 2006. Resuscitation Fluids, Disorder of Fluid and Electrolyte Balance. Oklahoma
State University – Center for Veterinary Health. Tersedia dari ;
http://member.tripod.com/-lyser/ivfs.htm
March.2017.Diagnosa Ultrasonografi Untuk Mendeteksi Gangguan Pada Uterus
Kucing.Bogor:IPB
Plumb, Donald C. 2013. Plumb’s Veterinary Drug Handbook : Fifth Edition. PharmaVet.Inc
Stockholm, Wisconsin. United States of America
Potter dan Perry, 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2, EGC, Jakarta.
Silverstein, D. 2006. The use of vasopressors in shock patients. In Proccedings of the
International Congress of the Italian Association of Companion Animal
Veterinarians. Rimini, Italy.
Smeltzer, Suzanna C .2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart,
Alih bahasa
Sudisma, I Gusti Ngurah., Widodo,Setyo, Dondin Sajuthi, Harry Soehartono,. Anestesi Infus
Gravimetrik Ketamin dan Propofol pada Anjing. [jurnal] Juni 2006 Vol. 13 No. 2:
189-198 ;ISS N : 1411 - 8327).
Tranquilli WJ et al. 2007. Veterinary Anesthesia and Analgesia, Edisi ke-4. Ames: Blackwell.
Ulva.2017.Gambaran Histologis Ovarium Kucing Domestik Yang Disimpan pada Suhu 4oC
Selama Tujuh Hari.Bogor:IPB

Anda mungkin juga menyukai