Anda di halaman 1dari 5

LARINGOMALASIA

Laringomalasia merupakan keadaan kolapsnya struktur supraglotis laring selama inspirasi


sehingga menyebabkan penyempitan aliran udara selama inspirasi. Gejala utama penyakit ini adalah
adanya stridor inspirasi. 60-75% kasus stridor congenital disebabkan oleh laringomalasia. Angka kejadian
laringomalasia di dunia belum diketahui secara pasti, namun penyakit ini lebih banyak ditemukan pada
laki-laki yaitu sebanyak 58-76% (Elfianto, 2018).

Gejala awal Laringomalasia mempunyai karakteristik stridor yang timbul dalam dua minggu
pertama kehidupan sampai beberapa bulan kehidupan bayi. Stridor pada pasien LM dipengaruhi oleh
aktivitas, akan timbul ketika bayi menangis, posisi tidur telentang, saat menyusu, infeksi saluran nafas
atas dan saat marah (Elfianto, 2018).

Penyebab pasti dari laringomalasia belum diketahui. Terdapat beberapa teori terkait
etiopatogenesis terbentuknya laringomalasia sebagai berikut (Elfianto, 2018):

1) Imaturitas kartilago
Teori ini menjelaskan bahwa laring yang kolaps disebabkan oleh imaturitas kartilago penyusun
laring. Namun, saat ini teori tersebut terbantahkan karena pada pemeriksaan histopatologi
menunjukkan bahwa histologi laring pada pasien laringomalasia memiliki kadar kartilago yang
sama dengan orang normal.
2) Abnormalitas anatomi
Pad bayi jaringan laring lebih lunak sehingga lebih rentan untuk mengalami edema. Hal ini
menyebabkan kelainan anatomis laring berupa tubular shape yang memicu terjadinya stridor.
Penelitian menyebutkan bahwa edema laring dapat disebabkan oleh gastroesophageal reflux
maupun laryngopharyngeal reflux. Peningkatan tekanan intra toraks juga dapat memperparah
keadaan edema laring.

Gambar : anatomi laring normal dari superior dan laring potongan koronal dari posterior
Gambar : tipe 1 (kolaps posterior: yang terlibat mukosa aritenoid redundant atau kartilago cuneiform),
tipe 2 (kolaps lateral : terjadi pemendekan lipatan ariepligotis), tipe 3 (kolaps anterior : epiglottis
retrofleksi)
3) Teori neuromuscular
Kelainan nervus vagus menyebabkan hipotoni pada otot dilator supraglotis sehingg
menyebabkan laring kolaps.

Diagnosis LM didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan konfirmasi dengan pemeriksaan
flexible fibreoptic laryngoscopy (FFL) dalam keadaan sadar. Gejala klasik LM adalah didapatkannya
stridor inspirasi yang semakin berat ketika pasien gelisah, menangis, menyusu, makan dan tidur
terlentang. Laringomalasia dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (Elfianto, 2018):

1) Derajat ringan
Laringomalasia derajat ringan terdapat stridor inpirasi dan gejala yang berhubungan dengan
gangguan dalam menelan saat pasien makan seperti batuk, tersedak dan regurgitasi. Saturasi
oksigen berkisar antara 98-100%.
2) Derajat sedang
Laringomalasia derajat sedang terdapat stridor inspirasi yang semakin jelas dan gejala saluran
nafas yang berhubungan dengan makan semakin berat, terdapat sianosis saat makan dan
penurunan saturasi oksigen ≤ 96%.
3) Derajat berat
Laringomalasia derajat berat memiliki delapan gejala utama, yaitu stridor inspirasi, retraksi
suprasternal, retraksi substernal, kesulitan saat makan, tersedah, muntah setelah makan,
gangguan tumbuh kembang, dan sianosis. Saturasi oksigen turun hingga ≤ 86%.

Pemeriksaan penunjang diperlukan salah satunya dengan radiology imaging. Pasien


laringomalasia datang dengan gejala stridor sehingga diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mencari
penyebab stridor tersebut sesuai dengan menifestasi klinis yang menyertai. Berikut ini adalah alur
diagnosis menggunakan imaging untuk gejala utama stridor (Klinginsmith, 2019) :
Gambar : alur diagnosis dengan radiology imaging pada pasien stridor

Flexible Fiberoptic Laryngoscopy (FFL) merupakan modalitas utama dalam evaluasi diagnostik
stridor bayi. FFL memungkinkan untuk visualisasi saluran aerodigestif bagian atas selama respirasi.
Pemeriksaan yang memadai memberi praktisi pandangan lengkap tentang orofaring, supraglotis, glotis,
subglotis, dan hipofaring. Bayi dengan laryngomalacia dapat ditemukan lipatan aryepiglottic memendek,
epiglotis berbentuk omega, dan / atau jaringan arytenoid berlebihan yang prolaps di atas glotis. FFL saat
ini merupakan standar emas untuk diagnosis laryngomalacia karena kemudahan dan kemampuan untuk
secara langsung menilai jalan napas supraglotis saat pasien respirasi secara sadar. Kelemahan dari
metode diagnosis ini yaitu pasien harus kooperatif, tidak nyaman, dapat overdiagnosis maupun
underdiagnosis (Klinginsmith, 2019).
Gambar : laringomalasia pada pemeriksaan flexible fiberoptic laryngoscopy (FFL)
Fluoroskopi jalan napas tidak direkomendasikan dalam evaluasi stridor bayi karena telah
ditemukan memiliki sensitivitas rendah dan memerlukan peningkatan paparan radiasi pengion.
Modalitas lain seperti bronkoskopi juga tidak dianjurkan karena memerlukan sedasi, tingkat morbiditas
lebih tinggi, dan secara biaya tidak efektif. (Klinginsmith, 2019).
Saat ini telah berkembang pemeriksaan laringomalasia menggunakan ultrasound. Modalitas
ini memiliki banyak keuntungan seperti tidak invasif, lebih nyaman, bebas dari radiasi, dapat melakukan
evaluasi secara real time, dan tidak butuh sedasi. Jika dibandingkan dengan metode FFl, LUS memiliki
sensitifitas 82% dan spesifisitas 80% (Friedman, 2018).
Gambar : LUS normal

Gambar : LUS laringomalasia menunjukkan pemendekan arytenoid

Anda mungkin juga menyukai