Anda di halaman 1dari 4

SUMBER : RISKESDAS 2013

Status gizi balita berdasarkan indikator BB/U

Gambar 3.14.1 menyajikan prevalensi berat-kurang (underweight) menurut provinsi dan


nasional. Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri
dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka
prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan
terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun
2010, dan 5,7 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari
2007 dan 2013 (Gambar 3.14.4). Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen
maka prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam
periode 2013 sampai 2015. (Bappenas, 2012)
Diantara 33 provinsi di Indonesia,18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas
angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1 persen. Urutan
ke 19 provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Nusa Tenggara Timur; (2)
Papua Barat; (3) Sulawesi Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan; (6) Kalimantan Barat; (7)
Aceh; (8) Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi Selatan; (11) Maluku Utara; (12)
Sulawesi Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan Tengah; (15) Riau; (16) Sumatera
Utara; (17) Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi
Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk-
kurang sudah mencapai sasaran yaitu: (1) Bali, (2) DKI Jakarta, (3) Bangka Belitung. Masalah
kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen,
dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, secara
nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6 persen, yang berarti masalah
gizi berat-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati
prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi termasuk kategori prevalensi
sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Status gizi balita berdasarkan TB/U

Gambar 3.14.2 menyajikan prevalensi pendek (stunting) menurut provinsi dan nasional.
Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi
peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar
37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek. Pada tahun 2013
prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen
tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun 2007 menjadi 19,2 persen
pada tahun 2013.
Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai
terendah, yaitu:(1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4)
Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi Tenggara, (8) Sumatera Utara,
(9) Aceh, (10) Kalimantan Tengah, (11) Maluku Utara, (12) Sulawesi Tengah, (13) Sulawesi
Selatan, (14) Maluku, (15) Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18) Gorontalo, (19)
Kalimantan Barat dan (20) Jambi.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen dan
serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Sebanyak 14 provinsi termasuk kategori
berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Ke 15 provinsi tersebut adalah: (1)
Papua, (2) Maluku, (3) Sulawesi Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi Tengah, (6)
Kalimantan Tengah, (7) Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi Tenggara, (10) Lampung, (11).
Kalimantan Selatan, (12). Papua Barat, (13). Nusa Tenggara Barat, (14). Sulawesi Barat dan (15)
Nusa Tenggara Timur.

Status gizi balita berdasarkan BB/TB

Gambar 3.14.3 menyajikan prevalensi kurus menurut provinsi dan nasional. Salah satu indikator
untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah keadaan sangat
kurus yaitu anak dengan nilai Zscore <-3,0 SD. Prevalensi sangat kurus secara nasional tahun
2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 persen, terdapat penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0 %)
dan tahun 2007 (6,2 %). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga
menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun 2010) dan 7,4 persen (tahun 2007).
Secara keseluruhan prevalensi anak balita kurus dan sangat kurus menurun dari 13,6 persen pada
tahun 2007 menjadi 12,1 persen pada tahun 2013 (Gambar 3.14.4).
Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi kurus diatas angka nasional, dengan urutan dari
prevalensi tertinggi sampai terendah, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa
Tenggara Timur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, Banten, Jambi, Kalimantan
Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Maluku
Utara.
Pada tahun 2013 prevalensi gemuk secara nasional di Indonesia adalah 11,9 persen, yang
menunjukkan terjadi penurunan dari 14,0 persen pada tahun 2010. Terdapat 12 provinsi yang
memiliki masalah anak gemuk di atas angka nasional dengan urutan prevalensi tertinggi sampai
terendah,yaitu: (1) Lampung, (2) Sumatera Selatan, (3) Bengkulu, (4) Papua, (5) Riau, (6)
Bangka Belitung, (7) Jambi, (8) Sumatera Utara, (9) Kalimantan Timur, (10) Bali, (11)
Kalimantan Barat, dan (12) Jawa Tengah.(Gambar 3.14.3)
Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0 14,0
persen, dan dianggap kritis bila ≥15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, secara nasional
prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang artinya. masalah kurus di Indonesia
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 16
provinsi yang masuk kategori serius, dan 4 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu Kalimantan
Barat, Maluku, Aceh dan Riau.

Kecenderungan prevalensi status gizi anak balita tahun 2007- 2013


Gambar 3.14.4 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi anak balita menurut ketiga
indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari
tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi sangat pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi
prevalensi pendek naik 1,2 persen dari tahun 2007. Prevalensi sangat kurus turun 0,9 persen
tahun 2007. Prevalensi kurus turun 0,6 persen dari tahun 2007. Prevalensi gemuk turun 2,1
persen dari tahun 2010 dan turun 0,3 persen dari tahun 2007.

Status gizi anak balita berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB
Gambar 3.14.5. menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi gabungan indikator TB/U dan
BB/TB secara nasional. Berdasarkan Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 terlihat adanya
kecenderungan bertambahnya prevalensi anak balita pendek-kurus, bertambahnya anak balita
pendek-normal (2,1%) dan normal-gemuk (0,3%) dari tahun 2010. Sebaliknya, ada
kecenderungan penurunan prevalensi pendek-gemuk (0,8 %), normal-kurus (1,5 %) dan normal-
normal (0,5 %) dari tahun 2010.
Secara lebih rinci, data status gizi anak balita menurut provinsi dan karakteristik disajikan pada
buku Riskesdas 2013 dalam Angka tabel 3.14.1, 3.14.3, dan 3.14.5. Data status gizi anak balita
menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku yang sama tabel 3.14.2, 3.14.4 dan
3.14.6.

Anda mungkin juga menyukai