Anda di halaman 1dari 12

DESKRIPSI DAN KLASIFIKASI

Secara kasat mata kedua species ini tidak menunjukan perbedaan. Namun apabila kita lebih
cermat kedua biota ini memiliki beberapa perbedaan yang cukup significant. Menurut Dugong and
Seagrass Project Dugong memiliki berat yang lebih ringan dari Manantee, dengan habitat di air laut
(Samudera Hindia dan Pasifik), panjang tubuh maksimal 3 meter dan memiliki kulita yang lebih
lembut dari Manantee. Dugong memiliki bentuk ekor seperti lumba - lumba sedangkan Manantee
memiliki ekor seperti pendayung dengan panjang tubuh maksimal 3,5 m. Manantee dapat berimigrasi
dari air laut ke air tawar, lebih banyak ditemukan di Samudra Atlantik. Tubuh Manantee sangat kasar
dan keriput.

Dugong adalah bagian dari ordo Sirenia. Semua anggota Sirenia adalah mamalia laut herbivor,
dan telah beradaptasi dengan baik dengan lingkungan lautnya. Ordo Sirenia terdiri atas dua family,
yaitu Trichechidae dan Dugongidae. Dugong adalah salah satu dari dua anggota family Dugongidae;
anggota lainnya, yaitu Sapi Laut Steller (Hydrodamalis gigas) telah punah akibat perburuan di abad
ke-18, hanya 30 tahun setelah ditemukan. Famili Trichechidae terdiri atas tiga spesies manatee
(manatee Florida, manatee Amazon dan manatee Afrika Barat). Dugong dan manatee seringkali
disebut dengan istilah umum “sapi laut”, namun dugong terutama memakan lamun saja, sedangkan
manatee makanannya lebih beragam. Kerabat dekat dugong yang tidak termasuk ke dalam ordo
Sirenia adalah gajah (Bertram dan Bertram, 1973).
Klasifikasi duyung berdasarkan Muller (1766) , adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Ordo : Sirenia
Family : Dugongidae
Genus : Dugong
Species : Dugong dugon
Perkembangbiakan dugong lebih mirip mamalia yang semuanya di lakukan di laut dengan
interval kelahiran 3 sampai 7 tahun. Dan semua anak dugong juga menyusu pada induknya sampai
umur 1- 2 tahun Dugong betina memiliki masa gestasi (kehamilan) sekitar 14 bulan dan melahirkan
satu anak untuk tiap 2,5 hingga 5 tahun. Anak akan didampingi induknya hingga sekitar 18 bulan,
karena masih membutuhkan susu induknya. Dugong mencapai ukuran dewasa setelah berumur 9
tahun dan umumnya dugong bertahan hingga mencapai umur 20 tahun. Yang terunik dari dugong
adalah anak dugong akan selalu berenang di samping induknya terutama dalam dalam keadaan bahaya
Dugong menanggung anaknya pada waktu setelah sekitar 13-bulan kehamilan . Merawat anaknya
tersebut selama dua tahun dan mencapai kematangan seksual antara usia 8-18, lebih lama daripada di
mamalia yang lain. Meskipun umur panjang dari Duyung, yang dapat hidup selama lima puluh tahun
atau lebih, wanita melahirkan hanya beberapa kali sepanjang hidup mereka dan berinvestasi cukup
besar dalam perawatan orangtua muda mereka. Duyung juga gemar berkelompok antara 5 – 10 ekor
yang terdiri dari induk jantan, betina dan anaknya; atau bergerombol terutama diwaktu musim kawin.
Tetapi ada kalanya Duyung suka menyendiri. Duyung memiliki sifat monogamy dan berkembang biak
sangat lambat. Biasanya beranak setiap 2 tahun sekali dimana setiap kali beranak hanya 1 ekor dan
jarang kembar dua.Karena siklus reproduksi yang lamban tersebut, populasi dugong diduga hanya
dapat bertahan dengan angka mortalitas yang sangat rendah, yaitu sekitar 1%-2% tiap tahunnya
(Marsh dkk., 1984).

Negara-negara yang menjadi habitat duyung antara lain Australia bagian utara, Bahrain, Brunei
Darussalam, China, Djibouti, India, Indonesia, Jepang, Jordania, Kaledonia Baru, Kamboja, Kenya,
Kepulauan Solomon, Komoro, Madagaskar, Malaysia, Mayotte, Mesir, Mozambiq, Palau, Papua New
Guinea, Pilifina, Qatar, Saudi Arabia, Singapora, Somalia, Sri Lanka, Sudan, Tanzania, Thailand,
Timor Leste, Uni Emirat Arab, Vanuatu, Vietnam, dan Yaman.
Dalam khasanah ilmiah, istilah “dugong” adalah satwa mamalia yang hidup di perairan laut
dangkal yang makanannya boleh dikatakan eksklusif lamun (seagrass). Nama
ilmiahnya adalah “Dugong dugon”.
Istilah “dugong” itu diambil dari bahasa Tagalog, “dugong”, yang bersumber dari
bahasa Melayu, “duyung” atau “duyong” yang berarti “perempuan laut”. Dalam klasifikasi hewan,
dugong termasuk dalam Class Mammalia yang dicirikan dengan hewan yang menyusui anaknya,
dan di bawah Ordo Sirenia yang dicirikan dengan mammalia laut yang herbivor. Di bawah
Ordo Sirenia hanya ada dua kelompok yakni Familia Dugongidae dan Trichechidae. Di bawah
Familia Dugongidae sekarang hanya terdapat satu spesies yakni Dugong dugon. Kerabat
terdekatnya sesama Dugongidae adalah Hydrodamalis gigas yang telah punah di abad 18. Kerabat
lainnya di bawah Trichechidae adalah genus Trichechus yang lebih dikenal dengan nama Manatee
yang hidup dari perairan pantai hingga di perairan tawar, dan makanannya pun lebih beragam
dibandingkan dengan dugong hidup dari perairan pantai hingga di perairan tawar, dan mkanannya
pun lebih beragam dibandingkan dengan Dugong.
Dugong pertama kali diklasifikasikan oleh Műller di tahun 1776 dengan nama Trichechus
dugon, dan kemudian direvisi oleh oleh Lacépède yang mengubah namanya menjadi Dugong dugon.
Dugong dugon dalam tampilan fisiknya bentuknya seperti ikan yang tambun, tanpa sirip punggung,
dilengkapi dengan ekor yang pipih, horizontal dan bentuknya bercabang seperti ekor paus dan lumba-
lumba. Bila ekornya diayunkan naik- turun akan memberi daya dorong baginya untuk berenang
maju ke depan, sedangkan bila dipelintir untuk gerakan membelok.
Panjang dugong dewasa jarang melebihi 3 meter dengan berat sampai sekitar 420 kg. Tetapi
rekor dugong terberat tercata sebesar 1.016 kg dengan panjang 4,06 m di pantai Saurashtra, di
bagian sebelah barat India. Dugong betina cenderung sedikit lebih besar dari yang jantan.
Kulit dugong tebal dan halus dengan warna pucat ketika masih bayi, dan berubah menjadi
warna abu-abu gelap kecoklatan di bagian punggungnya menjelang dewasa dan bagian perut
dengan warna yang lebih terang. Warna dugong dapat berubah dengan pertumbuhan alga di
kulitnya.

Kadang-kadang teritip (Balanus) ikut pula menempel di permukaan kulitnya. Sekujur


tubuhnya diliputi dengan rambut-rambut halus dan pendek.
Moncongnya yang tebal berbentuk bagai tapal kuda, menghadap ke bawah dengan bibir tebal
yang ditumbuhi bulu-bulu kasar bagai sikat (bristles). Bulu-bulu kasar ini merupakan organ
yang sangat sensitif yang digunakannya untuk mencari makan.
Dugong mempunyai sepasang sirip yang tebal dan bertulang bagai lengan dan jari-jari, yang
dapar berfungsi sebagai dayung penyeimbang bila berenang. Bila dugong mencari makan di
dasar laut, sirip tebalnya dapat menopang tubuhnya untuk merayap ketika mencari makan. Di
ketiak kedua siripnya terdapat puting susu, yang sangat penting untuk menyusui anaknya.
Lubang hidungnya terdapat di bagian atas kepalanya, dn mempunyai katup yang dapat
menutup dan kedap bila dugong menyelam. Bila dugong naik ke permukaan untuk menarik nafas,
hanya ujung lubang hidungnya yang muncul dinpermukaan. Dugong dapat menyelam selama 3-5
menit untuk kemudian naik lagi ke permukaan untuk bernapas.
Mata dugong berukuran kecil, dan di dalam air yang acapkali keruh, pandangannya sangat
terbatas. Bila diangkat keluar dari air, dugong dapat mengeluarkan cairan yang dikenal sebagai “air
mata duyung”.
Telinga dugong tidak mempunyai cuping dan berukuran kecil yang terletak di bagian kiri
dan kanan kepalanya. Dugong dapat mendengar suara dengan baik di dalam air.
Dari tampak luarnya, sukar membedakan dugong betina dan jantan, karena bentuk luarnya
boleh dikatakan sama (monomorphic). Salah satu petunjuk untuk membedakan jenis kelaminnya
adalah posisi celah kelaminnya (genital aperture) terhadap anus dan pusar (umbilicus). Pada yang
betina, celah kelaminnya (vagina) terletak lebih dekat ke anus. Alat kelamin jantan (penis) dugong
berada dalam perut (abdominal) dan baru dikeluarkan lewat celah penis bila sang dugong dalam
kondisi birahi.
Otak dugong mempunyai berat maksimal 300 g, atau sekitar 0,1% dari berat total tubuhnya. Paru-
parunya berukuran sangat panjang, yang dapat melanjut sampai dekat ginjalnya. Ginjalnya sendiri
juga sangat memanjang yang sesuai untuk fisiologinya menghadapi lingkungan yang berkadar
garam. Bila terluka, darah dugong akan cepat membeku.

Kerangka dugong mempunyai 57 sampai 60 tulang belakang (vertebrae). Tengkoraknya


berbentuk unik, gigi seri depan bagi yang jantan dapat memanjang, mencuat keluar dan
membentuk gading. Susunan gigi- geliginya sangat sesuai untuk mencari makan dan mencabut
lamun makanannya dari dasar laut. Siripnya mempunyai tulang dengan susunan bagai jari-jari.
Dugong mengalami pachyostosis yakni kondisi dimana tulang-tulang iga dan tulang-tulang
panjang lainnya biasanya padat dan hanya mengandung sedikit sumsum. Tulang-tulang berat ini
(yang merupakan terberat di antara semua hewan), berfungsi sebagai ballast atau pemberat yang
memudahkannya menyelam dan mencari makan di dasar laut.

Dugong dapat mempunyai usia yang Panjang samapi lebih 70 tahun. Dugong milai dapat
melahirkan anak pada usia 10-17 tahun, namun ada juga yang menyebutkan dapat sedini 6 tahun.
Usia kehamilan dugong adalah sekitar 13 –15 bulan. Setiap melahirkan akan menghasilkan hanya
satu anak.

Bayi dugong berukuran besar, ketika baru dulahirkan Panjangnya berukuran 1,1-1,2 m dengan
berat sekitar 27-35 kg. anak dugong menyusui pada usia 14-18 bulan. Selain menyusui, dugong
juga sudah dikenalkan oleh ibunya untuk memakan lamun sesaat setelah dilahirkan tulang berat
ini (yang merupakan terberat di antara semua hewan), berfungsi sebagai ballast atau pemberat
yang memudahkannya menyelam dan mencari makan di dasar laut.
PERSEBARAN DAN PEMANFAATAN DUGONG

Dugong sering dijumpai hidup soliter (sendiri), tetapi kadangkala juga dalam kelompok
kawanan (herd) kecil sebanyak 5 – 10 individu. Di Australia, satu kawanan dugong bisa sampai
puluhan individu atau lebih. Kawanan dugong dengan jumlah individu tertinggi yang pernah tercatat
adalah di Teluk Persia yang terdiri dari 670 individu. Tetapi tampaknya tidak terdapat ikatan sosial
terstruktur yang kuat di antara individu dalam kawanan tersebut. Terjadinya kawanan yang besar
bisa terjadi pada saat makan bersama pada suatu padang lamun Tiap individu dapat bebas
keluar dari kawanannya. Ikatan yang kuat terdapat hanyalah antara induk dan anak. Anak dugong
selalu berada dekat induknya sampai menjelang dewasa.
Dugong (Dugong dugon) hanya terdapat di daerah tropis dan subtropis di kawasan Indo-
Pasifik, kurang lebih antara 30o Lintang Utara sampai 30o Lintang Selatan. Sebarannya cukup luas,
meliputi 48 negara dari pesisir timur Afrika sampai Vanuatu di sebelah tenggara Papua New
Guinea (Marsh dkk, 2002). Diperkirakan sebanyak 85.000 ekor dugong dunia berada di perairan
pesisir Australia. Ini mungkin mencakup sekitar 75 % dari seluruh populasi dugong yang ada dunia,
bahkan mungkin lebih. Populasi terbesar kedua terdapat di Teluk Arabia dengan perkiraan populasi
di tahun 1987 sekitar 7,310 ekor dugong. Di daerah lainnya populasinya sedikit dan terpisah-pisah.
Penetapan sebaran dugong di tiap negara sukar dilaksanakan. Banyak informasi
mengenai sebaran dugong didasarkan pada kisah (anecdotal) yang diceriterakan oleh penduduk
setempat. Meskipun demikian tampaknya terdapat kecenderungan umum bahwa di banyak tempat
populasi dugong semakin berkurang dibandingkan beberapa dekade lalu. Di beberapa daerah
seperti di Mauritius, Maladewa (Maladives), Cambodia dan sebagian Filipina bahkan diperkirakan
mungkin dugong telah punah (Marsh dkk, 2002).
Belakangan ini telah dikembangkan teknik yang dapat diterapkan untuk penelitian
struktur populasi genetik dugong yang didasarkan pada DNA mitokondria. Teknik ini
menghasilkan indeks yang baik untuk penentuan struktur populasi dugong. DNA mitokondria
dapat diturunkan hanya lewat betina dan dapat digunakan untuk memperkirakan aliran gen yang
dimediasi oleh betina. Penelitian dengan teknik ini menunjukkan bahwa haplotype dugong dari
Asia Tenggara (Indonesia, Thailand dan Filipina) umumnya berbeda dengan yang ada di Australia,
dengan daerah tumpang tindih di Ashmore Reef, antara Australia Barat dan Timor. Kenyataan
ini menggambarkan terjadinya (atau pernah pada masa lalu) pertukaran genetik terbatas antara
populasi dugong Australia dan Asia (Marsh dkk, 2002).

Lalu dimana sajakah dugong dapat dijumpai di Indonesia? Pertanyaan ini tak selalu mudah
untuk dijawab. Ini disebabkan karena belum ada survei yang menyeluruh tentang sebaran
populasi dugong di Indonesia. Kalau pun akan diadakan tentu bukanlah hal yang mudah untuk
mencakup perairan Indonesia yang demikian luasnya. Ada sebagian informasi yang jelas
tentang keberadaan dugong, tetapi banyak pula informasi yang didasarkan pada cerita atau kisah
yang diriwayatkan oleh penduduk setempat, atau bersifat anecdotal. Mungkin benar bahwa dulu
di situ pernah ada atau banyak dugong, tetapi kini sudah sangat jarang ditemui, atau mungkin malah
telah punah di lokasi setempat. Marsh (2002) misalnya menyebutkan bahwa pada tahun 1970-an
diperkirakan jumlah populasi dugong di Indonesia adalah sekitar 10.000 ekor, sedangkan pada
tahun 1994 diperkirakan sekitar 1.000 ekor. Namun ini tak bisa ditafsirkan sebagai bukti yang
kongkrit berkurangnya populasi dugong, karena banyak didasarkan pada asumsi-asumsi dan
informasi anecdotal. Dari berbagai informasi yang ada tampaknya terdapat kecenderungan
umum bahwa jumlah populasi dugong di banyak daerah di Indonesia memang semakin mengalami
penyusutan drastis meskipun sulit untuk dikuantifikasikan .

Di sekitar Sumatra, de Iongh (2009) mengemukakan ditemukannya tulang-belulang dugong di


pemukiman penduduk Pulau Siberut (sebelah barat Sumatra), yang digantung di rumah-rumah
penduduk sebagai azimat untuk menolak bala, dan gading dugong yang diukir indah, yang
merupakan simbolisasi leluhur mereka. Tetapi apakah sekarang dugong masih ada disana,
merupakan pertanyaan yang belum terjawab dengan tuntas.
Di kepulauan Riau, tepatnya di Pulau Bintan, dalam kurun waktu 2008 – 2011, ketika Program
Konservasi Lamun (TRISMADES, Trikora Seagrass Management Demonstration Site)
dilaksanakan, telah dilaporkan empat kasus dugong terjerat masuk dalam jaring nelayan setempat.
Upaya penyelamatan telah diusahakan dengan melepaskannya kembali ke laut, namun tak semua
berhasil. Dalam empat kasus di atas, tiga dugong dapat diselamatkan dan dilepas kembali ke laut,
hanya satu yang mati tak terselamatkan.
Di pulau Bangka, dugong dijumpai baik di Bangka Utara maupun Bangka Selatan. Bagi
penduduk setempat, daging dugong rasanya lezat dan harganya pun sangat tinggi. Telah
dilaporkan bahwa dugong dijual bebas di pasar, meskipun sebenarnya hewan ini telah
dilindungi undang- undang.
Di Jawa, Marsh dkk (2002) dan de Iongh (1997) menyebutkan bahwa dugong ditemukan di
perairan Taman Nasional Ujung Kulon, pantai Cilegon, Teluk Banten, pantai sebelah selatan
Cilacap, Segara Anakan, dan di sebelah tenggara Blambangan, di ujung timur Pulau
Jawa.
Di Kalimantan telah dilaksanakan kajian tentang dugong di Teluk Balikpapan oleh tim
dari Leiden University, Belanda. Mereka dapat merekam perjumpaan dengan dugong
disana, dan sejumlah jalur bekas makan (feeding trail) dugong di teluk itu (De Iongh dkk, 2006).
Mereka juga menemukan dugong di Pulau Derawan. Selain itu Marsh dkk (2002) juga
menyebutkan keberadaan dugong di Kotawaringin dan Teluk Kumai di pesisir selatan
Kalimantan. Tahun 2008 ditemukan 16 ekor dugong di Teluk Kumai, menurut Kepala Bidang
Perikanan Budidaya setempat (Kompas.com).
Di Sulawesi Utara dugong dapat dijumpai di sekitar padang lamun Wawontulap, di dekat Taman
Nasional Laut Bunaken, LSM “Kelola” yang mengkaji dugong di sekitar perairan Sulawesi
Utara menyatakan bahwa diperkirakan masih ada sekitar 1.000 dugong di sekitar perairan itu
(Marsh dkk, 2002). Di pantai utara Sulawesi, di Blongko, juga telah dilaporkan keberadaan
dugong, demikian pula di Pulau Mantehage. Pada tahun 1997 satu perusahaan perikanan
Taiwan dilaporkan menangkap dugong sebanyak sembilan ekor dari Selat Lembeh. Di desa
binaan COREMAP di Kabupaten Buton juga ditemukan dugong terperangkap dalam sero
tahun 20018(www.maruf.wordpress.com)
Di tahun 1975 tim dari Jaya Ancol Oceanarium (kini Gelanggang Samudra Ancol)
menangkap lima ekor dugong di pantai Potondo, dibagian selatan Sulawesi Selatan (Allen dkk,
1975). Pada saat itu di daerah ini diperkirakan terdapat sekitar 15 ekor dugong. Selain itu di
dekat Makassar, di Pulau Barang Lompo juga pernah ditangkap dugong (Erftemeijer dkk, 1993).
Di Bali, dugong dilaporkan pernah terlihat oleh para peselancar dekat Uluwatu dan Padang-
padang, di pantai selatan, sementara penduduk setempat melaporkan bahwa ada seekor dugong
yang tiap hari datang ke pantai itu.
Di Nusa Tenggara timur, beberapa laporan menyebutkan bahwa dugong dijumpai di perairan
Taman Nasional Komodo, di Selat Lintah yang berada di antara Pulau Sumbawa dan Flores.
Dugong juga pernah dilaporkan tertangkap di Teluk Kupang dan sekitar Pulau Rote. Suatu
kajian di Pulau Rote tahun 2004 mengungkapkan bahwa menurut penduduk setempat, sampai
dua atau tiga dekade sebelumnya, dugong masih sering mereka jumpai, tetapi sekarang makin
jarang dan hampir tak pernah lagi ditemui. Padahal di daerah ini penduduk lokal tidak
mempunyai kebiasaan berburu dugong. Makin menghilangnya dugong di kawsan itu
diperkirakan sebagai akibat eksploitasi perikanan yang terus meningkat.
Di Maluku Marsh dkk (2002) dan de Iongh (1997) menyebutkan bahwa dugong dilaporkan
keberadaanya antara lain di Kepulauan Aru, Kepulauan Lease (Ambon, Haruku, Saparua, Nusa
Laut), Seram, dan di Halmahera. Informasi anecdotal menyiratkan bahwa populasi dugong di
Kepulauan Aru pernah sangat tinggi di masa lalu. Compost (1980) pernah melaporkan bahwa
tangkapan dugong per tahun di Aru mencapai 545 sampai 1.020 ekor pada akhir tahun 1970-an,
dan pada masa itu dugong dinyatakan masih cukup banyak. Tetapi Brasseur & de Iongh (1991)
melaporkan bahwa hanya 59 – 90 dugong yang tertangkap di timur Kepulauan Aru di tahun 1989,
dan jumlah tangkapan ini terus berkurang menjadi 29-36 dugong tahun 1990.
Kejadian yang sama juga terjadi di Kepulauan Lease. Survei udara yang dilaksanakan di
tahun 1990 dan 1992 di Kepulauan Lease mengindikasikan bahwa populasi dugong di
perairan ini diperkirakan antara 22 hingga 37 ekor (de Iongh dkk, 1995). Tetapi Moss & van der
Wal (1998) meperkirakan bahwa tak lebih dari 10 ekor dugong lagi yang hidup di Kepuluan
Lease. Perkiraan ini didasarkan pad observasi feeding trail dugong dan wawancara dengan warga
setempat.
Nelayan local juga meyebutkan bahwa dugong dijumpai di pesisir utara dan timur Pulau
Seram. Sementara itu survei yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
menemukan dugong di Tobelo (Halmahera Utara), yang akrab bermain dengan anak-anak
nelayan.
Di Papua, dugong dilaporkan terdapat di sekitar biak, seperti pulau-pulau Padaito, di pantai
Sorong, di pantai Fakfak, Taman Nasional Laut Teluk Cederawasih dan Taman Nasional
Wasur (Marsh dkk, 2002). Populasi kecil dugong juga dilaporkan terdapat di bagian utara Papua
Barat di Kepulauan Raja Ampat.
Dugong dimanfaatkan orang untuk berbagai keperluan, yang bisa berbeda-beda dari satu
daerah ke daerah lainnya. Hampir semua bagian dugong dapat dimanfaatkan, mulai dari kulitnya,
daging dan lemaknya, tulangnya, giginya yang berupa gading, hingga semua isi perutnya. Namun
umumnya dugong dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi, obat-obatan, pernak-pernik hiasan,
dan untuk berbagai keperluan budaya dan religi masyarakat setempat.
Pemanfaatan dugong untuk konsumsi (daging dan lemaknya) merupakan pemanfaatan yang
terbesar, baik dugong hasil perburuan, maupun dari yang tak sengaja tertangkap dalam jaring
atau alat tangkap perikanan lainnya. Di beberapa daerah seperti di Kepulauan Aru (Maluku
Tenggara), dugong dulu banyak diburu tetapi belakangan ini kegiatan itu telah sangat berkurang
atau berhenti.
Ada berbagai persepsi orang tentang rasa daging dugong. Banyak yang menyatakan bahwa
rasa daging dugong itu lezat bagaikan daging sapi, dan menyehatkan karena dugong hanya
memakan tumbuhan. Ada pula anggapan bahwa menyantap daging dugong dapat menambah
daya tahan tubuh dan kegairahan seksual. Tetapi di pihak lain, ada pula kelompok masyarakat
tertentu yang menolak memakan daging dugong karena alasan kepercayaan.
Di daerah dengan adat yang masih kuat, dugong tidak dipotong sembarangan, karena
ada ketentuan adat tentang cara-cara memotongnya dan membagikan dagingnya ke
masyarakat. Namun di beberapa tempat, seperti di Aru (Maluku) dan di Torosiaje (Gorontalo)
ketentuan adat semacam itu sudah mulai terkikis dan tidak lagi digubris , terimbas oleh pengaruh
kehidupan modern. Di Aru, daging dugong juga dibuat dendeng untuk cadangan keperluan masa
depan.
Di Australia, meskipun dugong telah dilindungi, namun masih dikecualikan bagi penduduk
asli (indigenous people) di Selat Torres (antara Papua New Guinea dan Australia), yang
memanfaatkan daging dugong untuk keperluan budaya dan religi masyarakat setempat. Bagi
penduduk asli disana, berburu dugong merupakan ekspresi penting bagi identitas etnik mereka.
Namun perburuan itu hanya dapat dilakukan dengan teknik penangkapan dugong yang
tradisional (dengan perahu tak bermesin dan tombak), tidak dengan teknologi maju dan tidak
untuk tujuan ekonomi. Menjelang upacara adat kebesaran mereka, lebih banyak dugong
yang ditangkap disana.
Di Laut Merah (Saudi Arabia dan sekitarnya) yang juga banyak dihuni oleh dugong, daging
dugong dimanfaatkan antara lain untuk mengobati penyakit ginjal dan perut kembung,
sedangkan lemaknya bisa untuk memasak, untuk minyak urut (massage) dan untuk lampu
penerang. Di China minyak dugong digunakan untuk obat melancarkan peredaran darah.
Kulit dugong cukup tebal dan kuat dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Di Aden dan
Djibouti (Laut Merah) kulit dugong digunakan untuk membuat sandal, sedangkan di zaman dulu
juga untuk perisai atau tameng dan helm bagi para prajurit. Di PNG (Papua New Guinea) peduduk
asli menggunakan kulit dugong untuk pembuatan genderang.
Tulang dan gading dugong dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain untuk pipa
rokok yang mungkin masih dapat ditemui dijual di beberapa toko cenderamata. Pipa rokok yang
terbuat dari gading dugong berwarna kekuning-kuningan dihargai sangat mahal. Gading dugong
dijual di Tual (Kepulauan Kei) dan Ambon sampai seharga Rp 350.000 per batang di tahun 1998
(Moss dan van der Wal, 1998). Gading dugong yang bagus memang bisa merupakan barang mewah
yang membanggakan. Para sheikh dan emir di Bahrain (Teluk Arab) menggunakan gading dugong
untuk gagang belati (Marsh dkk, 2002).
Di Pulau Siberut (sebelah barat Sumatra) tulang-tulang dugong digantung di rumah penduduk
yang dipercaya dapat sebagai jimat untuk menolak bala, sedangkan di Kepulauan Andaman, tulang
tengkorak dan rahang dugong digantung di atas dapur perapian yang dipercaya baunya akan
menarik satwa buruan hingga lebih memudahkan perburuan.

Di Kenya(pantai timur Afrika) tulang dugong dihancurkan berupa tepung dan dipanaskan.
Menghirup uap dari tulang dugong yang dipanaskan itu dipercaya dapat menyembuhkan
berbagai penyakit, dari sakit gigi hingga sakit saat melahirkan. Di sana gading dugong dijadikan
berbagai bentuk pernik perhiasan atau dikalungkan pada anak kecil untuk melindunginya dari ruh
jahat yang mungkin menggangguan.

Di Jepang, dugong hanya terdapat di Okinawa, di Samudra Pasifik. Disini tulang iga dugong
menjadi bahan untuk kesenian ukir-ukiran. Bentuk ukiran yang paling populer adalah ukiran
berbentuk kupu-kupu yang dipercaya dapat membawa ruh orang yang meninggal menuju ke alam
lainnya. Sementara itu penduduk di Tanimbar (Maluku Tenggara) membuat ukiran artisktik dari
gading dugong yang melambangkan leluhur mereka.

Salah satu pemanfaatan dugong yang terkenal di Indonesia (juga di Filipina dan Malaysia)
adalah air mata dugong. Apabila dugong diangkat keluar dari air, maka kelenjar air matanya akan
mengelurkan cairan yang dikenal sebagai “air mata duyung”. Banyak kalangan percaya bahwa “air
mata duyung” ini dapat dijadikan sebagai pengasih (pemelet) untuk menarik lawan jenis. “Air
mata duyung” ini dapat dicampur dengan parfum dan bila digunakan disertai jampi-jampitertentu
dapat membuat lawan jenis jatuh hati (kepelet). Entah sampai berapa jauh hal ini bisa jadi kenyataan.
Sampai beberapa waktu lalu minyak wangi “Air Mata Duyung” masih ada dijual di pasar-pasar
dalam botol-botol kecil. Sekarang penjualan parfum macam ini sudah tidak dijumpai lagi.
Suatu survei yang baru-baru ini dilaksanakan di Bali tentang perdagangan barang-barang yang
berasal dari satwa yang dilindungi (Nijman & Nekaris, 2014) mengemukakan data yang sangat
mencengangkan. Bagian-bagian dugong ternyata masih banyak yang di perdagangkan di toko- toko
herbal dan kerajinan mencakup tulang iga, tulang punggung, gading dugong (untuk berbagai
produk seperti ukiran-ukiran), air mata dugong, dan lemak dugong. Harga yang termahal
adalah ukiran gading dugong untuk gagang keris yang dijual dengan harga sampai 150 USD,
sedangkan pipa rokok dari gading dugong dihargai 10 – 30 USD di tahun 2013.

REFERENSI
1. Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Dugong dan Habitatnya (Lamun) di Indonesia Periode
1.(2017 - 2021)
2. 4 Fakta Dugong Yang Perlu Diketahui
3. Dugong and Seagrass Conservation Project (Facebook)
4. Dugong Bukan Putri Duyung (Anugrah Nontji, 2015)
5. Mulai bulan AGUSTUS WASPADA FISH & MARINE MAMMALS STRANDING

Anda mungkin juga menyukai