Secara kasat mata kedua species ini tidak menunjukan perbedaan. Namun apabila kita lebih
cermat kedua biota ini memiliki beberapa perbedaan yang cukup significant. Menurut Dugong and
Seagrass Project Dugong memiliki berat yang lebih ringan dari Manantee, dengan habitat di air laut
(Samudera Hindia dan Pasifik), panjang tubuh maksimal 3 meter dan memiliki kulita yang lebih
lembut dari Manantee. Dugong memiliki bentuk ekor seperti lumba - lumba sedangkan Manantee
memiliki ekor seperti pendayung dengan panjang tubuh maksimal 3,5 m. Manantee dapat berimigrasi
dari air laut ke air tawar, lebih banyak ditemukan di Samudra Atlantik. Tubuh Manantee sangat kasar
dan keriput.
Dugong adalah bagian dari ordo Sirenia. Semua anggota Sirenia adalah mamalia laut herbivor,
dan telah beradaptasi dengan baik dengan lingkungan lautnya. Ordo Sirenia terdiri atas dua family,
yaitu Trichechidae dan Dugongidae. Dugong adalah salah satu dari dua anggota family Dugongidae;
anggota lainnya, yaitu Sapi Laut Steller (Hydrodamalis gigas) telah punah akibat perburuan di abad
ke-18, hanya 30 tahun setelah ditemukan. Famili Trichechidae terdiri atas tiga spesies manatee
(manatee Florida, manatee Amazon dan manatee Afrika Barat). Dugong dan manatee seringkali
disebut dengan istilah umum “sapi laut”, namun dugong terutama memakan lamun saja, sedangkan
manatee makanannya lebih beragam. Kerabat dekat dugong yang tidak termasuk ke dalam ordo
Sirenia adalah gajah (Bertram dan Bertram, 1973).
Klasifikasi duyung berdasarkan Muller (1766) , adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Ordo : Sirenia
Family : Dugongidae
Genus : Dugong
Species : Dugong dugon
Perkembangbiakan dugong lebih mirip mamalia yang semuanya di lakukan di laut dengan
interval kelahiran 3 sampai 7 tahun. Dan semua anak dugong juga menyusu pada induknya sampai
umur 1- 2 tahun Dugong betina memiliki masa gestasi (kehamilan) sekitar 14 bulan dan melahirkan
satu anak untuk tiap 2,5 hingga 5 tahun. Anak akan didampingi induknya hingga sekitar 18 bulan,
karena masih membutuhkan susu induknya. Dugong mencapai ukuran dewasa setelah berumur 9
tahun dan umumnya dugong bertahan hingga mencapai umur 20 tahun. Yang terunik dari dugong
adalah anak dugong akan selalu berenang di samping induknya terutama dalam dalam keadaan bahaya
Dugong menanggung anaknya pada waktu setelah sekitar 13-bulan kehamilan . Merawat anaknya
tersebut selama dua tahun dan mencapai kematangan seksual antara usia 8-18, lebih lama daripada di
mamalia yang lain. Meskipun umur panjang dari Duyung, yang dapat hidup selama lima puluh tahun
atau lebih, wanita melahirkan hanya beberapa kali sepanjang hidup mereka dan berinvestasi cukup
besar dalam perawatan orangtua muda mereka. Duyung juga gemar berkelompok antara 5 – 10 ekor
yang terdiri dari induk jantan, betina dan anaknya; atau bergerombol terutama diwaktu musim kawin.
Tetapi ada kalanya Duyung suka menyendiri. Duyung memiliki sifat monogamy dan berkembang biak
sangat lambat. Biasanya beranak setiap 2 tahun sekali dimana setiap kali beranak hanya 1 ekor dan
jarang kembar dua.Karena siklus reproduksi yang lamban tersebut, populasi dugong diduga hanya
dapat bertahan dengan angka mortalitas yang sangat rendah, yaitu sekitar 1%-2% tiap tahunnya
(Marsh dkk., 1984).
Negara-negara yang menjadi habitat duyung antara lain Australia bagian utara, Bahrain, Brunei
Darussalam, China, Djibouti, India, Indonesia, Jepang, Jordania, Kaledonia Baru, Kamboja, Kenya,
Kepulauan Solomon, Komoro, Madagaskar, Malaysia, Mayotte, Mesir, Mozambiq, Palau, Papua New
Guinea, Pilifina, Qatar, Saudi Arabia, Singapora, Somalia, Sri Lanka, Sudan, Tanzania, Thailand,
Timor Leste, Uni Emirat Arab, Vanuatu, Vietnam, dan Yaman.
Dalam khasanah ilmiah, istilah “dugong” adalah satwa mamalia yang hidup di perairan laut
dangkal yang makanannya boleh dikatakan eksklusif lamun (seagrass). Nama
ilmiahnya adalah “Dugong dugon”.
Istilah “dugong” itu diambil dari bahasa Tagalog, “dugong”, yang bersumber dari
bahasa Melayu, “duyung” atau “duyong” yang berarti “perempuan laut”. Dalam klasifikasi hewan,
dugong termasuk dalam Class Mammalia yang dicirikan dengan hewan yang menyusui anaknya,
dan di bawah Ordo Sirenia yang dicirikan dengan mammalia laut yang herbivor. Di bawah
Ordo Sirenia hanya ada dua kelompok yakni Familia Dugongidae dan Trichechidae. Di bawah
Familia Dugongidae sekarang hanya terdapat satu spesies yakni Dugong dugon. Kerabat
terdekatnya sesama Dugongidae adalah Hydrodamalis gigas yang telah punah di abad 18. Kerabat
lainnya di bawah Trichechidae adalah genus Trichechus yang lebih dikenal dengan nama Manatee
yang hidup dari perairan pantai hingga di perairan tawar, dan makanannya pun lebih beragam
dibandingkan dengan dugong hidup dari perairan pantai hingga di perairan tawar, dan mkanannya
pun lebih beragam dibandingkan dengan Dugong.
Dugong pertama kali diklasifikasikan oleh Műller di tahun 1776 dengan nama Trichechus
dugon, dan kemudian direvisi oleh oleh Lacépède yang mengubah namanya menjadi Dugong dugon.
Dugong dugon dalam tampilan fisiknya bentuknya seperti ikan yang tambun, tanpa sirip punggung,
dilengkapi dengan ekor yang pipih, horizontal dan bentuknya bercabang seperti ekor paus dan lumba-
lumba. Bila ekornya diayunkan naik- turun akan memberi daya dorong baginya untuk berenang
maju ke depan, sedangkan bila dipelintir untuk gerakan membelok.
Panjang dugong dewasa jarang melebihi 3 meter dengan berat sampai sekitar 420 kg. Tetapi
rekor dugong terberat tercata sebesar 1.016 kg dengan panjang 4,06 m di pantai Saurashtra, di
bagian sebelah barat India. Dugong betina cenderung sedikit lebih besar dari yang jantan.
Kulit dugong tebal dan halus dengan warna pucat ketika masih bayi, dan berubah menjadi
warna abu-abu gelap kecoklatan di bagian punggungnya menjelang dewasa dan bagian perut
dengan warna yang lebih terang. Warna dugong dapat berubah dengan pertumbuhan alga di
kulitnya.
Dugong dapat mempunyai usia yang Panjang samapi lebih 70 tahun. Dugong milai dapat
melahirkan anak pada usia 10-17 tahun, namun ada juga yang menyebutkan dapat sedini 6 tahun.
Usia kehamilan dugong adalah sekitar 13 –15 bulan. Setiap melahirkan akan menghasilkan hanya
satu anak.
Bayi dugong berukuran besar, ketika baru dulahirkan Panjangnya berukuran 1,1-1,2 m dengan
berat sekitar 27-35 kg. anak dugong menyusui pada usia 14-18 bulan. Selain menyusui, dugong
juga sudah dikenalkan oleh ibunya untuk memakan lamun sesaat setelah dilahirkan tulang berat
ini (yang merupakan terberat di antara semua hewan), berfungsi sebagai ballast atau pemberat
yang memudahkannya menyelam dan mencari makan di dasar laut.
PERSEBARAN DAN PEMANFAATAN DUGONG
Dugong sering dijumpai hidup soliter (sendiri), tetapi kadangkala juga dalam kelompok
kawanan (herd) kecil sebanyak 5 – 10 individu. Di Australia, satu kawanan dugong bisa sampai
puluhan individu atau lebih. Kawanan dugong dengan jumlah individu tertinggi yang pernah tercatat
adalah di Teluk Persia yang terdiri dari 670 individu. Tetapi tampaknya tidak terdapat ikatan sosial
terstruktur yang kuat di antara individu dalam kawanan tersebut. Terjadinya kawanan yang besar
bisa terjadi pada saat makan bersama pada suatu padang lamun Tiap individu dapat bebas
keluar dari kawanannya. Ikatan yang kuat terdapat hanyalah antara induk dan anak. Anak dugong
selalu berada dekat induknya sampai menjelang dewasa.
Dugong (Dugong dugon) hanya terdapat di daerah tropis dan subtropis di kawasan Indo-
Pasifik, kurang lebih antara 30o Lintang Utara sampai 30o Lintang Selatan. Sebarannya cukup luas,
meliputi 48 negara dari pesisir timur Afrika sampai Vanuatu di sebelah tenggara Papua New
Guinea (Marsh dkk, 2002). Diperkirakan sebanyak 85.000 ekor dugong dunia berada di perairan
pesisir Australia. Ini mungkin mencakup sekitar 75 % dari seluruh populasi dugong yang ada dunia,
bahkan mungkin lebih. Populasi terbesar kedua terdapat di Teluk Arabia dengan perkiraan populasi
di tahun 1987 sekitar 7,310 ekor dugong. Di daerah lainnya populasinya sedikit dan terpisah-pisah.
Penetapan sebaran dugong di tiap negara sukar dilaksanakan. Banyak informasi
mengenai sebaran dugong didasarkan pada kisah (anecdotal) yang diceriterakan oleh penduduk
setempat. Meskipun demikian tampaknya terdapat kecenderungan umum bahwa di banyak tempat
populasi dugong semakin berkurang dibandingkan beberapa dekade lalu. Di beberapa daerah
seperti di Mauritius, Maladewa (Maladives), Cambodia dan sebagian Filipina bahkan diperkirakan
mungkin dugong telah punah (Marsh dkk, 2002).
Belakangan ini telah dikembangkan teknik yang dapat diterapkan untuk penelitian
struktur populasi genetik dugong yang didasarkan pada DNA mitokondria. Teknik ini
menghasilkan indeks yang baik untuk penentuan struktur populasi dugong. DNA mitokondria
dapat diturunkan hanya lewat betina dan dapat digunakan untuk memperkirakan aliran gen yang
dimediasi oleh betina. Penelitian dengan teknik ini menunjukkan bahwa haplotype dugong dari
Asia Tenggara (Indonesia, Thailand dan Filipina) umumnya berbeda dengan yang ada di Australia,
dengan daerah tumpang tindih di Ashmore Reef, antara Australia Barat dan Timor. Kenyataan
ini menggambarkan terjadinya (atau pernah pada masa lalu) pertukaran genetik terbatas antara
populasi dugong Australia dan Asia (Marsh dkk, 2002).
Lalu dimana sajakah dugong dapat dijumpai di Indonesia? Pertanyaan ini tak selalu mudah
untuk dijawab. Ini disebabkan karena belum ada survei yang menyeluruh tentang sebaran
populasi dugong di Indonesia. Kalau pun akan diadakan tentu bukanlah hal yang mudah untuk
mencakup perairan Indonesia yang demikian luasnya. Ada sebagian informasi yang jelas
tentang keberadaan dugong, tetapi banyak pula informasi yang didasarkan pada cerita atau kisah
yang diriwayatkan oleh penduduk setempat, atau bersifat anecdotal. Mungkin benar bahwa dulu
di situ pernah ada atau banyak dugong, tetapi kini sudah sangat jarang ditemui, atau mungkin malah
telah punah di lokasi setempat. Marsh (2002) misalnya menyebutkan bahwa pada tahun 1970-an
diperkirakan jumlah populasi dugong di Indonesia adalah sekitar 10.000 ekor, sedangkan pada
tahun 1994 diperkirakan sekitar 1.000 ekor. Namun ini tak bisa ditafsirkan sebagai bukti yang
kongkrit berkurangnya populasi dugong, karena banyak didasarkan pada asumsi-asumsi dan
informasi anecdotal. Dari berbagai informasi yang ada tampaknya terdapat kecenderungan
umum bahwa jumlah populasi dugong di banyak daerah di Indonesia memang semakin mengalami
penyusutan drastis meskipun sulit untuk dikuantifikasikan .
Di Kenya(pantai timur Afrika) tulang dugong dihancurkan berupa tepung dan dipanaskan.
Menghirup uap dari tulang dugong yang dipanaskan itu dipercaya dapat menyembuhkan
berbagai penyakit, dari sakit gigi hingga sakit saat melahirkan. Di sana gading dugong dijadikan
berbagai bentuk pernik perhiasan atau dikalungkan pada anak kecil untuk melindunginya dari ruh
jahat yang mungkin menggangguan.
Di Jepang, dugong hanya terdapat di Okinawa, di Samudra Pasifik. Disini tulang iga dugong
menjadi bahan untuk kesenian ukir-ukiran. Bentuk ukiran yang paling populer adalah ukiran
berbentuk kupu-kupu yang dipercaya dapat membawa ruh orang yang meninggal menuju ke alam
lainnya. Sementara itu penduduk di Tanimbar (Maluku Tenggara) membuat ukiran artisktik dari
gading dugong yang melambangkan leluhur mereka.
Salah satu pemanfaatan dugong yang terkenal di Indonesia (juga di Filipina dan Malaysia)
adalah air mata dugong. Apabila dugong diangkat keluar dari air, maka kelenjar air matanya akan
mengelurkan cairan yang dikenal sebagai “air mata duyung”. Banyak kalangan percaya bahwa “air
mata duyung” ini dapat dijadikan sebagai pengasih (pemelet) untuk menarik lawan jenis. “Air
mata duyung” ini dapat dicampur dengan parfum dan bila digunakan disertai jampi-jampitertentu
dapat membuat lawan jenis jatuh hati (kepelet). Entah sampai berapa jauh hal ini bisa jadi kenyataan.
Sampai beberapa waktu lalu minyak wangi “Air Mata Duyung” masih ada dijual di pasar-pasar
dalam botol-botol kecil. Sekarang penjualan parfum macam ini sudah tidak dijumpai lagi.
Suatu survei yang baru-baru ini dilaksanakan di Bali tentang perdagangan barang-barang yang
berasal dari satwa yang dilindungi (Nijman & Nekaris, 2014) mengemukakan data yang sangat
mencengangkan. Bagian-bagian dugong ternyata masih banyak yang di perdagangkan di toko- toko
herbal dan kerajinan mencakup tulang iga, tulang punggung, gading dugong (untuk berbagai
produk seperti ukiran-ukiran), air mata dugong, dan lemak dugong. Harga yang termahal
adalah ukiran gading dugong untuk gagang keris yang dijual dengan harga sampai 150 USD,
sedangkan pipa rokok dari gading dugong dihargai 10 – 30 USD di tahun 2013.
REFERENSI
1. Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Dugong dan Habitatnya (Lamun) di Indonesia Periode
1.(2017 - 2021)
2. 4 Fakta Dugong Yang Perlu Diketahui
3. Dugong and Seagrass Conservation Project (Facebook)
4. Dugong Bukan Putri Duyung (Anugrah Nontji, 2015)
5. Mulai bulan AGUSTUS WASPADA FISH & MARINE MAMMALS STRANDING