Anda di halaman 1dari 13

SATWA ENDEMIK BABI RUSA DAN ANOA

Disusun Oleh Kelompok 1:

1. Elsa Dora Naibaho 18041104085


2. Melganjunrian cristagung 18041104002
3. Reni Paputungan 18041104130
4. Gracia Vivi Padiangan 18041104080
5. Andika rorong 18041104120

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS SAMRATULANGI

MANADO

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberi rahmat dan
hidayahNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makala yang berjudul “SATWA ENDEMIK
BABI RUSA DAN ANOA”. Penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Satwa Endemik. Kami berharap dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya
dalam bidang peternakan, serta pembaca dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang
SATWA ENDEMIK BABI RUSA DAN ANOA

Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyususunan makalah ini. Karena itu,kami


sangat mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk melengkapi segala kekurangan
dan kesalahan dari makala ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu selama
proses penyusunan makala ini.

Manado, Februari 2020

Kelompok I
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKAN G

Hewan Endemik adalah spesies hewan alami yang mendiami suatu wilayah atau daerah
tertentu yang menjadikan wilayah tersebutmempunyai ciri khas karena tidak ditemukan didaerah
lain. Suatu hewan dikatakan hewan endemik jika spesies tersebut merupakan spesies asli yang
hanya bisa ditemukan di sebuah tempat itu dan tidak ditemukan di wilayah lain.

Wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi tidak berarti merupakan daerah dengan tingkat
endemisme tinggi, meskipun kemungkinan untuk dihuni oleh organisme endemik menjadi
meningkat.
Beberapa ancaman terhadap wilayah dengan endemisme tinggi adalah penebangan hutan
secara berlebihan serta metode pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Dua faktor ini
umumnya didapati pada negara-negara dengan populasi yang tinggi, dan bisa diartikan suatu
wilayah yang terserang suatu penyakit.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Klasifikasi dan Biologinya Babi Rusa
2. Status konservasi Dan Populasi Babi Rusa
3. Morfologi Babi Rusa
4. Habitat Babi Rusa
5. Tingkah laku Babi Rusa
1.3 TUJUAN
1. Agar Mahasiswa/I Mengetahui Klasifikasi dan Biologinya Anoa dan Babi Rusa
2. Agar Mahasiswa/I Mengetahui Status konservasi Dan Populasinya Anoa dan Babi
Rusa
3. Agar Mahasiswa/I Mengetahui Morfologi Anoa dan Babi Rusa
4. Agar Mahasiswa/I Mengetahui Habitat Anoa dan Babi Rusa
5. Agar Mahasiswa/I Mengetahui Tingkah laku Anoa dan Babi Rusa
BAB II

PEMBAHASAN

A. BABI RUSA
2.1 Pengertian

Babi Rusa atau (Babyrousa babirussa)  merupakan salah satu satwa endemic dari Indonesia
yang berasal dari Sulawesi dan pulau – pulau sekitarnya seperti pulau Togian, Sula, Buru,
Malenge, dan Maluku. Sebagai hewan endemik, Babirusa tidak ditemukan di tempat lainnya.
Taksonomi Babirusa Babi rusa dahulu dikenal hanya ada satu jenis yaitu Babyrousa
babyrussa dengan empat anak jenis, namun sekarang mereka sudah ditingkatkan menjadi jenis
tersendiri yaitu Babyrousa babyrussa  di Pulau Sula dan Pulau Buru, Babyrousa celebensis di
daratan Sulawesi, dan Babyrousa togeanensis di Kepulauan Togian yaitu di Pulau Malenge,
Talatakoh, Togean, dan Batudaka. Berikut merupakan jenis jenis babi rusa berdasarkan
subspesiesnya :

a) B. babyrussa, babirusa 'berbulu' atau 'emas' diketahui hanya dari pulau Buru dan Taliabu,
Sulabesi (tempat sekarang punah) dan, mungkin,
Mangole di Kepulauan Sula. Ini adalah subspesies
terkecil,dan sebaliknya ditandai dengan rambutnya yang
panjang dan tebal, yaitu berwarna putih, emas krem,
hitam atau emas dengan pantat hitam. Bagian atas taring
jantan biasanya pendek dan ramping, dengan alveolus ke
depan diputar, sehingga lower canine melintasi upper di
lateral view.
b) B . t o g e a n e
pada Kepulauan Togian, di antara semenanjung utara dan
Sulawesi Tengah. Ini adalah subspesies terbesar. Hal ini
juga ditandai dengan kepemilikan rambut, meskipun
tidak lebih tebal dan panjang. Bagian atas juga lebih
gelap dari pada bagian di bawah bagian dan coklat muda,
coklat atau hitam. Gigi taring bagian atas jantan biasanya pendek, ramping dan agak diputar
ke depan, dan selalu konvergen.
c) B . c e l e b e n s i s
daratan Sulawesi, termasuk lepas pantai pulau
Lembeh. Ini adalah satu-satunya subspesies yang
harus dipertahankan penangkarannya pada saat ini dan
karena itu yang paling akrab. Jantan dewasa Ukuran
tubuh cukup besar (meski lebih kecil dari subspesies sebelumnya), mulai dari 60 dan 100
kg. Wanita sekitar 30% lebih kecil. ini Biasanya dianggap telanjang, meski pada
kenyataannya rambut tubuhnya hanya pendek (0,5-1,0 cm), jarang dan berwarna coklat
tua di atas kulit abu-abu. Gigi taring bagian atas dari jantan umumnya panjang dan tebal,
dan alveoli ditanam secara vertikal, sehingga taring atas muncul secara vertikal dan tidak
disilangkan oleh kanin bawah, dan konvergen di hampir semua kasus.

Perbedaan ketiganya terletak pada warna tubuhnya. Babirusa di Pulau Sula dan Pulau Buru
rambutnya tebal dan panjang berwarna krem keemasan atau hitam. Babirusa di daratan Sulawesi
kulitnya kasar berwarna abu-abu kecokelatan dengan sedikit bercak rambut gelap. Sementara itu
babirusa di Kepulauan Togian, rambutnya berwarna cokelat hingga hitam dan bagian bawah
tubuhnya berwarna lebih terang. Selain ketiga jenis tersebut, dikenal pula jenis Babyrousa
bolabatuensis yang persebarannya di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan, namun jenis ini
sudah dinyatakan punah.

Klasifikasi ilmiah Babi Rusa


Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas:Mammalia
Ordo: Artiodactyla
Famili: Suidae
Genus: Babyrousa
Spesies: Babyrousa babyrussa (Linnaeus, 1758)
Sinonim: Babyrousa alfurus (Lesson, 1827), Babyrousa babirousa (Jardine, 1836), Babyrousa
babirusa (Guillemard, 1889), Babyrousa babirussa (Quoy & Gaimard, 1830)

2.2 Tingkah laku Babi Rusa


Meskipun bersifat penyendiri, pada umumnya mereka hidup berkelompok dengan seekor
pejantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya. Binatang yang pemalu ini bisa menjadi buas
jika diganggu. Babirusa betina melahirkan satu sampai dua ekor satu kali melahirkan. Masa
kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Bayi babi rusa itu akan disusui selama
satu bulan, setelah itu akan mencari makanan sendiri di hutan bebas. Selama setahun babirusa
betina hanya melahirkan satu kali. Usia dewasa seekor babirusa lima hingga 10 bulan, dan
dapat bertahan hingga usia 24 tahun.
Rahang dan gigi mereka dilaporkan cukup kuat untuk memecahkan kacang sangat keras
dengan mudah. Namun, babi rusa tidak menunjukkan perilaku perakaran khas suids lain
karena tidak adanya tulang rostral di hidung. Mereka akan menyelidiki pasir lembut serta
basah, tempat berlumpur untuk makanan. Macam-macam perilaku babirusa yang tercatat pada
beberapa wilayah konservasi adalah berbaring saat tidur, berjalan sambil meletakkan
hidungnya ke tanah untuk mencari makan disertai dengan suara-suara dengkuran kecil,
berkubang di lumpur atau air, dan saat kawin.
 Sistem perkawinan di babirusa melihat hierarki dominansi pejantan dan bersifat
bergiliran. Pejantan menggunakan taringnya untuk berkelahi dimana yang memenangi
perkelahian berhak mengawini beberapa betina. Musim kawin umumnya terjadi
Januari hingga Agustus. Masa kebuntingan babirusa betina adalah 150-157 hari dan
biasanya sekitar 1-2 anakan setiap melahirkan. Bobot anakan yang baru lahir berkisar
380-1050 gram. Mereka biasanya lahir di awal bulan setiap tahunnya dengan kelahiran
umumnya satu kali dalam setahun. Mereka disapih hingga umur 6-8 bulan. Anakan
akan mulai mengkonsumsi pakan yang keras ketika berumur 10 hari. Individu muda
mencapai umur kematangan seksual saat berumur 1-2 tahun.

Pada waktu kawin, babirusa betina akan datang ke arah panas matahari dan jantan
akan mengikuti yang betina dengan hidung di dekat daerah kelamin sang betina
dengan mengeluarkan suara decakan 3-5 kali per detik. Jantan yang bersifat dominan
akan langsung mengikuti betina dan mengambil alih. Jika betina tidak berada dalam
masa oestrus maka jantan maka yang jantan akan mengabaikannya, sedangkan jika
yang betina sedang dalam atau akan memasuki masa oestrus maka betina akan lebih
sering lari dan menjauhi yang jantan dan bersembunyi di balik babirusa lain. Saat
kawin, yang betina akan lebih sering berbaring di tanah untuk menunda proses kawin,
dan saat jantan mengejar betina, yang jantan akan mengangkat wajahnya dengan
tatapan tajam untuk memperingati jantan lainnya untuk tetap menjauh.

Babirusa tergolong satwa diurnal dimana waktu paling aktifnya adalah di pagi
hari. Mereka sering menghabiskan sebagian besar waktu hariannya untuk berbaring
dan tidur, mereka juga suka berkubang di lumpur. Mereka juga tergolong satwa yang
cukup vokal terutama ketika sedang bahagia. Babirusa tergolong satwa yang relatif
soliter terutama pejantan, namun betina dewasa juga suka berada dalam kelompok
kecil dengan beberapa anakan dan remaja. Seekor babirusa jantan yang dominan juga
kerap dijumpai berada dalam kelompok kecil. Induk babirusa sering membuat sarang
dari rumput, ranting, dan dedaunan yang ada.

2.3 Morfologi dan Anatomi

Panjang tubuh babirusa sekitar 87 sampai 106 sentimeter. Tinggi babirusa berkisar pada 65-80
sentimeter dan berat tubuhnya bisa mencapai 90 kilogram. Jantan memiliki taring yang mencuat ke
atas, sedangkan taring pada betina kecil atau tereduksi. Taring ini berasal dari gigi taring yang
termodifikasi. Taringnya panjang mencuat ke atas, berguna melindungi matanya dari duri rotan.
Babirusa (Babyrousa babirussa) memiliki kulit yang kasar berwarna keabu-abuan dan hampir tak
berbulu.  Ciri yang paling menonjol dari binatang ini adalah taringnya.  Taring atas Babirusa tumbuh
menembus moncongnya dan melengkung ke belakang ke arah mata. Taring ini berguna untuk
melindungi mata hewan endemik Indonesia ini dari duri rotan.

2.3 Populasi, Habitat, dan Persebaran


a. Populasi
Belum ada gambaran menyeluruh mengenai populasi babirusa di habitat alaminya.
Clayton et al. (1997) menyatakan bahwa populasi babirusa in-situ di seluruh Sulawesi
tidak lebih dari 5.000 ekor. Di SM Nantu, Gorontalo dengan luas 32.000 ha,
diperkirakan terdapat 500 ekor babirusa, namun jumlah ini terus menurun disebabkan
tingginya tingkat kerusakan hutan dan perburuan liar (Clayton, 1996). Data sampai
dengan Desember 2011 tercatat sejumlah 80 ekor babirusa (34 individu jantan dan 43
individu betina, dan 3 belum diketahui jenis kelaminnya) yang ada di beberapa
lembaga konservasi di Indonesia sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Kebun
Binatang Surabaya memiliki koleksi babirusa terbanyak yaitu 37 ekor dan Taman
Margasatwa Ragunan sejumlah 14 individu. Terhadap populasi babirusa yang ada di
lembaga konservasi tersebut seharusnya dikelola berdasarkan panduan dari IUCN
(2002), dan menjadi bagian dari koordinasi program pengembangbiakan
global/internasional untuk menghindari perkawinan kerabat dekat (inbreeding).
Babirusa yang pengelolaannya dilakukan dalam suatu program pengembangbiakan
(breeding) internasional akan bermanfaat sebagai back-up populasi untuk mengantisipasi
kepunahan satwa tersebut di habitat alaminya. Sampai dengan bulan Maret 2010, data dari
studbook keeper internasional yang didapatkan dari http://app.isis.org/abstracts/abs.asp,
terdapat dua sub spesies atau spesies babirusa yang ada di lembaga konservasi internasional.
Sejumlah 65 individu (30.35.0) Babyrousa babyrussa (babirusa yang berasal dari Pulau Buru,
terutama pada lembaga konservasi di Eropa, Amerika Utara, Asia dan 1 di Afrika Selatan, dan
juga terdapat sejumlah 47 individu (20.26.1) Babyrousa celebensis (babirusa yang berasal
dari Sulawesi Utara) di berbagai lembaga konservasi di Amerika Utara.
B. Habitat
Habitat babirusa adalah hutan hujan tropis dataran rendah. Satwa ini menyukai kawasan
hutan yang terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan aliran air yang memungkinkannya
mendapatkan air minum dan berkubang. Satwa ini sering mengunjungi sumber air dan
tempat mengasin (salt-lick) secara teratur untuk mendapatkan garam-garam mineral yang
dibutuhkan untuk membantu pencernaannya (Clayton, 1996). Sebelumnya babirusa dapat
dijumpai di kawasan hutan dekat pantai, namun saat ini habitat satwa tersebut semakin jauh
masuk kedalam hutan, atau habitatnya semakin naik ke kawasan pegunungan yang sulit
diakses oleh manusia. Babirusa sering terlihat mandi di kubangan yang airnya agak bersih
dan tidak becek, dan pada musim panas, sering terlihat berendam di sungai.
C. Penyebaran
Babirusa endemik Sulawesi dan beberapa pulau kecil di sekitarnya seperti Kepulauan Togian,
Kepulauan Sula dan Pulau Buru di Maluku. Keberadaan babirusa di dua lokasi yang terakhir
diperkirakan melalui introduksi (Groves, 1980). Penyebaran babirusa mengalami penyempitan
habitat yang sangat tajam. Sebagai contoh, di bagian utara Pulau Sulawesi, satwa ini hanya
ditemukan di bagian barat di kawasan TN Bogani Nani Wartabone dan di SM NantuBoliyohuto,
Provinsi Gorontalo. Populasi babirusa juga ditemukan di sebelah barat pada hutan-hutan yang masih
tersisa di daerah Randangan, Kabupaten Pahuwato Provinsi Gorontalo. Demikian pula di daerah
Buol Toli-Toli yang merupakan batas paling barat dari bagian utara Sulawesi. Di Sulawesi Tengah
babirusa terdapat di TN Lore Lindu, CA Morowali dan di daerah Luwuk dan Balantak Sulawesi
Tengah bagian timur. Di Sulawesi Selatan, babirusa dapat dijumpai di bagian utara di kawasan hutan
yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah. Sedangkan di Sulawesi Tenggara sangat sedikit informasi
mengenai keberadaan satwa ini. Sementara itu di Kepulauan Togean, babirusa Togean (Babyrousa
babyrussa togeanensis) dapat dijumpai pada empat pulau yaitu Pulau Malenge, Talatakoh, Togean
dan Batudaka. Sedangkan di Pulau Unauna, Waleako dan Waleabahi belum pernah dilakukan
observasi. Babirusa juga terdapat di Pulau Buru dan Pulau Taliabi tetapi informasi mengenai
populasi belum banyak diketahui (Selmier, 1983; Ito et al., 2005; Ito et al., 2008).
Agar pengelolaan habitat dan populasi babirusa dapat lebih efektif maka perlu ditentukan kawasan
prioritas konservasi babirusa untuk jangka waktu sepuluh tahun kedepan. Kawasan prioritas
ditentukan berdasarkan: a). keterwakilan penyebaran spesies/sub spesies babirusa, b). tutupan
hutan dan konektivitas antara kawasan berhutan, c). status/unit pengelolaan kawasan (TN, BKSDA,
Hutan Lindung, dll), yang terbagi ke dalam beberapa wilayah

Habitat dari hewan ini meliputi hutan hujan tropis di tepi sungai dan kolam yang


tertutup vegetasi Hewan ini hidup secara berkelompok, dengan jumlah 8 (delapan) individu per
kelompoknya dan mereka berinteraksi dengan cara saling menjilati. Babirusa jantan dewasa yang
lebih tua sering diamati secara tunggal dan sebagian besar kelompok yang terdiri dari lima atau
lebih sedikit hewan, yang sebagian besar adalah perempuan dengan yang masih muda.
2.5 Makanan

mpai saat ini pakan babirusa masih belum dapat diidentifikasi secara jelas. Tercatat hanya sedikit
data hasil observasi terkait perilaku makan dan pakan yang dipilih babirusa di alam (Leus, 1994;
Clayton, 1996; MacDonald, 1993). Leus (1996) telah mencatat suatu daftar jenis tumbuhan
termasuk jenis palmae yang tumbuh di Sulawesi dan menghasilkan buah-buahan pakan babirusa.
Makanan utama babirusa adalah berbagai jenis buah (frugivorous), babirusa menyukai jenis
umbi-umbian dan rebung bambu, juga jamur dan buah-buahan seperti dongi (Dillenia ochreata),
rao (Dracontomelon rao) dan D. mangiferum. Salah satu makanan kesukaan babirusa adalah
buah pangi (Pangium edule). Taring dan giginya yang kuat dapat memecah jenis kacang yang
sangat keras dengan mudah (Leus and Macdonald, unpublished observations). Biji-bijian seperti
kenari (Canarium (Burs.), oaks (Lithocarpus (Burs.)) dan chestnuts (Castanopsis (Burs.) tersedia
juga di hutan alami di Sulawesi (Leus, 1996).

Babirusa sering dijumpai berkubang dan mengunjungi sumber air yang kaya mineral. Sama
seperti babi pada umumnya, babirusa bersifat omnivora, selain mengkonsumsi tumbuhan, satwa
ini juga mengkonsumsi satwa kecil lain seperti ocial kecil, ikan, burung dan serangga dalam
jumlah yang kecil. Kadangkala babirusa terlihat mengais pohon-pohon tumbang yang telah
membusuk, kemungkinan untuk mendapatkan sumber protein hewani berupa ulat atau cacing.
ataupun makan binatang-binatang kecil (larva, cacing atau ulat) sebagai sumber protein hewani
(Clayton, 1996). Di lembaga konservasi babirusa dewasa juga memangsa mamalia kecil dan
burung.

Konservasi dan Populasi Babirusa

Karena hilangnya habitat akibat alih fungsi lahan dan juga karena perburuan untuk dikoleksi
taring dan dagingnya yang sering dikonsumsi, populasi babirusa merosot tajam di alam. Mereka
digolongkan ke dalam status konservasi Rentan (Vulnerable) untuk B. babyrussa dan B.
celebensis dan Terancam (Endangered) untuk B. togeanenesis berdasarkan status konservasi
IUCN. Populasinya di alam diduga sudah kurang dari 2500 individu. Mereka juga masuk dalam
Appendix I CITES yang artinya perdagangannya sudah dilarang sama sekali.
Untuk konservasi di tingkat nasional, babirusa juga sudah dimasukkan dalam daftar satwa
dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun 1999 dan dalam daftar jenis yang diprioritaskan untuk
dikonservasi sesuai Permenhut P.57/2008. Babirusa juga masuk dalam daftar 25 jenis terancam
punah yang diprioritaskan untuk ditingkatkan populasinya sebesar 10% sesuai SK Dirjen
KSDAE No. SK.180/IV-KKH/2015. Sebagai upaya penguatan konservasi tersebut, maka
pemerintah juga telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) untuk babirusa
sesuai Permenhut P.55/Menhut-II/2013.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Satwa Endemik merupaka satwa atau fauna atau spesies hewan alami yang mendiami
suatu wilayah atau daerah tertentu yang menjadikan wilayah tersebutmempunyai ciri
khas karena tidak ditemukan didaerah lain. Suatu hewan dikatakan hewan endemik jika
spesies tersebut merupakan spesies asli yang hanya bisa ditemukan di sebuah tempat itu
dan tidak ditemukan di wilayah lain salah satu satwa endemic Indonesia yan berasal
dari Sulawesi utara ialah Anoa (Bubalus sp.)dan Babi Rusa (Babyrousa babirussa)
yang memiliki ciri- ciri khas.
2. Factor – Faktor yang menyebabkan satwa endemic langkah ialah karna lahan mereka yang
semakin habis karna pembangunan serta pembukaan lahan pertanian dan perburuan satwa
yang masih marak di lakukan oleh masyarakat
B. SARAN
Sebagai Mahasiswa/I Peternakan yang mengetahui tentang hewan dan ternak kita harus
bisa menjaga satwa endemic tersebut agar tetap terlestari, agar cucu – cucu kita masih
bisa melihat dan mengetahui bahwasannya satwa tersebuut merupakan khas indonesi .
kita juga harus membantu pemerintah untuk menyadarkan masyarakat yang masih suka
berburu satwa endemic tersebut bahwasannya yang meraka lakukan adalah perbuatan
yang salah dan tidak pantas untuk ditiru
DAFTAR PUSTAKA

MacDonald, A. A. 1993. The Babirusa (Babyrousa babyrussa). In: W. L. R. Oliver (ed.),


Pigs, Peccaries, and Hippos: Status Survey and Conservation Action Plan, IUCN,
Gland, Switzerland.https://portals.iucn.org/library/sites/library/files/documents/1993-
055.pdf

  IUCN Redlist Babyrousa babyrussa http://www.iucnredlist.org/details/2461/0

  Leus, K., Bowles, D., Bell, J. dan MacDonald, A. A. 1992. Behaviour of The Babirusa
(Babyrousa babirussa) with Suggestions For Husbandry. Acta Zoologica Et Pathologica
Antverpiensia 82:9-27

  Groves, C. P. 1980. Notes on the systematics of Babyrousa (Artiodactyla, Suidae).


Zoologische Mededelingen, 55: 29-46.

  Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan alam Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2013/bn1282-2013lamp.pdf

Anda mungkin juga menyukai