Anda di halaman 1dari 6

Kajian Foklor Tradisi Nyandran Mbah Terincing di dusun Manggihan

Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan


Ifa Khoirun Nisak

Ifakhoirun12@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji cerita rakyat yang berada di Dusun Manggihan. Adanya penelitian ini
adalah khalayak umum utamanya masyarakat dusun Manggihan banyak yang tidak
mengetahui sastra lisan didaerah tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan
kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk memberitahu sastra lisan yang terdapat di dusun
Manggihan. Selain itu juga sebagai media mendidik masyarakat dan hiburan.

Kata kunci : Tradisi, Nyadran, Folklor, Danyang

A. Latar Belakang

Sastra lisan merupakan satu-satunya sastra yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan
dipertahankan dari mulut ke mulut. Seiring perkembangannya, cerita dapat berubah-ubah,
namun tujuan penuturnya tetap sama. Berkembangnya zaman modern budaya semakin
bergeser, dari mulai upacara adat banyak yang tinggalkan. Upacara-upacara sekarang ini
sudah hampir punah. Namun, masih bisa ditemukan di beberapat tempat yang masih
menjaga. Ada upacara yang dilakukan masyarakat akan tetapi belum diketahui banyak orang
kecuali masyarakat setempat. Upacara nyadran makam Mbah Terincing dilakukan ketika
warga mempunyai khajat. Nyadran tersebut merupakan ritual mengagunggkan Mbah
Terincing selaku pembabad alas di dusun Manggihan. Sudah beredar dikalangan masyarakat
Manggihan tentang mitos Mbah Terincing yang menjadi sastra lisan. Masyarakat percaya
Mbah Terincing adalah seorang danyang atau penjaga didusun Manggihan. Masyarakat
Manggihan sudah banyak yang tidak mengetahui cerita rakyta Mbah Terincing. Hanya mitos-
mitos yang diketahui berdasarkan mitologi dusun Manggihan, ketika mempunyai hajat harus
berkunjung di makam Mbah Terincing. Konon katanya kalau tidak melakukan hal tersebut,
acara yang dibuat kurang berjalan lancar. Dalam sastra lisan masyarakat juga ada warna
yang tidak boleh di pakai didusun Manggihan yaitu warna hijau cerah. Mitos- mitos yang ada
turun temurun dari warisan nenek moyang sampai sekarang. Mitos tersebut terbentuk dari
pengalaman beberapa masyarakat Manggihan yang menjadi sebuah kajian menarik perhatian
penulis untuk meneliti. Maka dari itu penulis mengambil judul kajian foklor tradisi nyandran
mbah terincing dalam sastra lisan dusun Manggihan kecamatan Godong kabupaten
Grobogan.

B. Dasar Teori

1. Folklor

Folklor berasal dari kata folk dan lore. Folk diartikan sebagai rakyat, bangsa atau kelompok
orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan. Sedangkan lore adalah adat
serta khasanah pengetahuan yang diwariskan turun temurun lewat tutur kata, contoh atau
perbuatan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 395) dijelaskan bahwa folklor merupakan adat-
istiadat dan cerita hikayat yang diwariskan turun-temurun, tetapi tidak dibukukan. Folklor
juga merupakan ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita-cerita rakyat yang tidak dibukukan.
Folklor juga merupakan sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan
diwariskan secara turun temurun diantara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam
versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan maupun disertai contoh dengan gerak
isyarat atau alat bantu (Danandjaja 2002: 2).

Folklor biasanya mempunyai bentuk yag berpola sebagaimana dalam cerita rakyat atau
permainan rakyat pada umumnya. Folklor juga memiliki fungsi dalam kehidupan bersama
misalnya cerita rakyat untuk media mendidik, hiburan, protes sosial, dan lain-lain . folklor
bersifat pralogis yang artinya logika khusus dan kadang berbeda dengan logika umum.
Menurut Purwadi (2009:3) hakikat folklor merupakan identitas lokal yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat tradisional. (Danandjaja, 2002)

Ciri-ciri sastra lisan diantaranya : (1) Lahir dimasyarakat yang polos, belum melek huruf, dan
bersifat tradisional, (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tak jelas siapa
yang menciptakan, (3) lebih meningkatka aspek khayalan, ada sindiran dan pesan mendidik,
(4)sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. (Juwati, M.Pd, 2018)
Fungsi sastra lisan itu sendiri antara lain : (1) sastra lisan engandung nilai-nilai luhur yang
berkaitan dengan adat istiadat ataupun agama tertentu, (2) sebagai pelipur lara, sastra lisan
juga sebagai media pendidik masyarakat. (Juwati, M.Pd, 2018)

2. Tradisi

Tradisi berasal dari bahasa latin ‘traditio’ yang artinya diteruskan atau kebiasaan, dalam
pengertian sederhana sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari
kehidupan suatu kelompok masyarakat biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau
agama yang sama. Tradisi dalam pengertian lain adalah adat istiadat atau kebiasaan yang
turun temurun yag masih dijalankan di masyarakat. Sebuah tradisi biasanya dianggap sebagai
cara atau model terbaik dalam menyelesaikan persoalan selagi belum ada alternatif lain.
Tradisi merupakan roh dari kebudayaan, tanpa tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan akan
hidup dan langgeng, serta dengan tradisi hubungan antara individu dengan masyarakat bisa
harmonis.

3. Danyang

Danyang pada umumnya adalah nama lain dari demit ( yang akar Jawa berarti roh). Dia
bertempat tinggal tetep pada sebuah punden. Dia tidak mengganggu atau menyakiti orang
melainkan bermaksud melindungi. Berbeda dengan demit, danyang adalah roh tokoh desa
yang masa hidupnya sebagai pendiri desa. Mereka menerima permohonan orang yang
meminta tolong dan sebagai imbalannya adalah menerima selametan.

Umumnya untuk berhubungan dengan makhluk-makhluk tersebut orang Jawa mengadakan


ritual tradisi, diantaranya mengadakan sedekah bumi untuk keselamatan. Sedekah dalam
budaya Jawa biasanya berbentuk selametan. Dalam bahasa Jawa disebut wilujengan adalah
suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara sistem religi
orang Jawa pada umumnya dan menganut agama Jawi pada khususnya (Koentjoroningrat,
1984). Selamatan dapat dilakukan untuk memenuhi hajat seseorang, sehubungan dengan
suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau disucikan. Kejadian ini semacam
perkawinan, khitanan, kematian, mendirikan bangunan dan lain sebagainya. Selamatan
mempunyai ciri dengan adanya hidangan khas sesuai khajatnya.

C. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif adalah metode riset yang bertujuan
untuk menjelaskan suatu peristiwa yang sedang berlangsung pada masa sekarang dan juga
pada masa lampau. Dan menggunakan metode kualiatif metode riset yang sifatnya
memberikan penjelasan dengan menggunakan analisis. Pada pelaksanaannya, metode ini
bersifat subjektif dimana proses penelitian lebih diperlihatkan dan cenderung lebih fokus
pada landasan teori. Sumber data penelitian ini menggunaka data primer yang berupa
dokumentasi, rekaman serta wawancara.

D. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dengan narasumber bahwa asal usul desa Manggihan kurang
mengetahui karena para sesepuh yang mengetahui sudah meninggal dunia. Peneliti menulis
hasil apa yang di dapat saat wawancara. Cerita di daerah Kabupaten Grobogan lebih tepatnya
di Kecamatan Godong yaitu dusun Manggihan, Desa Anggaswangi. Menurut letak geografis
dusun Manggihan ini di ampit oleh desa Kemloko di sebelah utara dan dusun Grengseng di
sebelah selatan. Ada sebuah cerita berasal dari dusun Manggihan yang belum terkenal di
khalayak umum. Pada zaman dahulu tanah-tanah banyak yang belum bertuan. Untuk menjadi
sebuah permukiman dahulu kala ada yang namanya babad alas, didusun Manggihan ini juga
dahulunya ada yang babad. Beliau adalah Mbah Terincing. Mbah Terincing mempunyai
suami yang bernama Mbah Lani.

Pada suatu hari Mbah Lani, Mbah Terincing dan teman-teman sedang berjalan-jalan
menyusuri hutan. Sampai disuatu tempat Mbah Lani merasa nyaman akan tempat itu, dengan
tumbuhan yang asri dan udara sejuk. Mbah Lani ingin menetap di tempat tersebut akan tetapi
istrinya tidak mau. Mbah Lani tetep kekeh untuk menetap di tempat tersebut yang sekarang
namanya desa Kemloko. Akan tetapi, istrinya ingin melanjutkan perjalanan. Diijinkanlah
Mbah Terincing untuk melanjutkan perjalanan melihat pemandangan-pemandangan. Tentu
tidak sendirian, ia bersama dengan teman-temannya sebagian ada yang memilih menetap
bersama Mbah Lani tidak mau melanjutkan perjalanan. Mbah Terincing melanjutkan
perjalanannya sampailah di sebuah tempat yang dinamakan Mangihan. Makam Mbah
Terincing berada di dusun Manggihan yang di keramatkan. Saat Mbah Wasiya masih hidup
setiap bulan sura menggadakan bacaan atau selametan tujuh kali setiap hari kamis habis ashar
dengan jenang, ingkung dan jajan pasar. Akan tetapi tradisi suranan tersebut sudah tidak
dilakukan oleh masyarakat Manggihan. Tradisi yang masih dilakukan sampai sekarang
nyadran di makam Mbah Terincing ketika mempunyai hajat. Bertujuan untuk meminta doa
restu, kelancaran acara dan keselamatan. Ketika masyarakat di dusun Manggihan mempunyai
hajat tetapi tidak nyadran di makam Mbah Trincing pasti ada kendala yang dialami entah itu
berupa apa. Di dusun Manggihan terdapat pantangan menggunakan sesuatu apapun yang
berwarna hijau cerah. Asal usul pantangan hijau cerah tersebut narasumber kurang
mengetahu karena sudah turun temurun sampai generasi sekarang begitu.

Ada cerita nyadran sekitar makam Mbah Terincing dengan menyembelih kambing. Kambing
disembelih dagingnya di sate. Masyarakat menyate di sekitar makam Mbah Terincing, ada
yang menancapkan tusuk satenya ke tanah. Tusuk sate itu tumbuh menjadi pohon bambu
yang banyak. Bambu yang tumbuh itu berbau prengus yang dinamakan pring gesing. Ada
bambu muda yang bahasa jawanya bung itu besar-besar. Ada seseorang yang mengambil
bung itu tanpa meminta ijin. Setelah diambil beberapa hari kemudian orang tersebut menjadi
gila. Ketika mengambil apapun di sekitar makam Mbah Terincing harus meminta ijin dan di
jawab sendiri seperti “ Mbah saya minta bambunya” dan di jawab sendiri “ Iya, Ambil saja”.

Hasil penelitian sastra lisan di Dusun Manggihan yang Masyarakatnya sendiri banyak yang
tidak mengetahuinya. Peneliti menemukan pesan-pesan yang tersembunyi dalam cerita rakyat
diatas antara lain selalu meminta ijin terlebih dahulu ketika mau melakukan apapun.

E. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa pendiri dan danyang dusun
Manggihan adalah Mbah Terincing. Di dusun tersebut ada tradisi nyadran setiap mempunyai
hajatan dan pantangan menggunakan apapun yang berwarna hijau cerah.

Daftar Pustaka

Danandjaja, J. (2002). Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Temprit.

Juwati, M.Pd. (2018). Sastra Lisan Bumi Silampari: Teori, Metode, dan Penerapannya. Yogyakarta: CV
BUDI UTAMA.

Koentjoroningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Nurgiyantoro, B. (2005). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Puspitasari, A. S. (2012). KAJIAN FOLKLOR TRADISI MERTI DHUSUN DI DUSUN TUGONO DESA
KALIGONO KECAMATAN KALIGESING. 82-83.

Anda mungkin juga menyukai