Kata Hakkou Ichiu berasal dari sebuah kitab lama Jepang yaitu Nihon Shoki
pada jilid ke-3. Hakkou Ichiu pertama kali dinyatakan oleh Kaisar Jinmu Tenno
pada abad 660 SM ketika diangkat menjadi kaisar pertama di Jepang, terdiri atas
hakkou (八紘) yang berarti “delapan sudut” yang dapat di referensikan ke delapan
penjuru yang ada di dunia, dan ichiu (宇) yang berarti “atap” yang dapat diartikan
sebagai sebuah komunitas kekeluargaan. Ini adalah konsep Hakkou Ichiu aslinya
yang bermakna “delapan penjuru dunia di bawah satu atap”. Di zaman itu
masyakarat Jepang percaya bahwa mereka adalah ras murni atau ras emas
(kinjinshu) dan Kaisar adalah perwujudan dewa di dunia nyata (bumi) dan pada
masa itu pula, Hakkou Ichiu dianggap suatu manifestasi terhadap shintoisme,
semacam cara ibadah untuk menunjukan kesetian orang jepang pada dewa mereka,
sehingga masyarakat jepang saat itu patuh mengikuti Hakkou Ichiu.
2.2 Kaitan Shintoisme dengan Hakkou Ichiu (八紘一宇)
Shintoisme merupakan ajaran yang paling mendasar dan sudah ada sejak
zaman dahulu di Jepang, tidak diketahui siapa penemu ajaran ini, tidak seperti
ajaran agama lain yang memiliki buku atau kitab suci sebagai pedomannya.
Ajaran Shinto ini telah mengakar di dalam diri orang Jepang dan tradisinya.
Dewa dalam Shinto disebut Kami. Merupakan arwah suci yang mengambil
perwujudan penting dalam konsep hidup manusia misalnya angin, hujan, gunung,
sungai, maupun manusia yang telah mati. Kami yang paling penting bagi orang
Jepang ialah Dewi Amaterasu.Dalam shintoisme, Tenno atau Kaisar dianggap
perwujudan Amaterasu Omikami sehingga Kaisar dianggap orang paling penting
di seluruh Jepang. Tak ada yang berani membantah titah Kaisar karena takut akan
mengusik dewa. Begitu pula Hakkou Ichiu yang menjadi salah satu titah Kaisar
Jimmu pada masa itu, masyarakat Jepang harus mengikuti titah Kaisar tersebut
dan terdapat tulisan Hakkou ichiu sebagai simbol di kuil – kuil (jinja) milik agama
Shinto, salah satunya di kuil Susanoo Fukuyama, Prefektur Hiroshima.
Gambar 2.1.Tulisan Hakkou Ichiu (八紘一宇) di Monumen batu (kiri) kuil
Susanoo :
Istilah Hakkou Ichiu sendiri baru muncul di Nihon Shoki bagian yang
menceritakan perintah Jimmu untuk mendirikan sebuah istana di Kashiwara.
“The Nihonshoki claims that emperor Jimmu was enthorened when
he built his palace at Kashiwara: he was said to have expressed his
desire to “unify the six quarters, to establish the capital, and make
[one] house by covering eight corners.” In ancient times, Hakko
(written as a two character phrase) meant “eight corners,”
referring to the eight corners of the world, while ichiu (also a two
character phrase) meant “ roof,” referring to a familial community”
(Teshima, 2006:86)
Terjemahan :
Lalu kata Hakkou dan Ichiu dikombinasikan oleh Tanaka Chigaku dan
meninterpretasikan kalimat Hakkou Ichiu tersebut sebagai Semangat Kaisar
Jimmu. Menurut Tanaka, setelah Kaisar Jimmu mendapat titah dari Dewa, dia
bertarung melawan klan lain namun bukan untuk menaklukan mereka, tapi untuk
membawa keadilan bagi Jepang. Tanaka menggunakan semangat Jimmu untuk
melegitimasi Ideologi Hakkou Ichiu sebagai Ideologi Dominasi pada saat itu.
Perkembangan bangsa Jepang pasca politik isolasi (sakoku) juga berdampak
pada perkembangan ideologi Hakkou ichiu, Pada era Meiji, ideologi Hakkou Ichiu
mengacu pada militarisme dan dominasi. Ideologi Hakkou Ichiu muncul kembali
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Jepang kepada Kaisar yang kala
itu disudutkan oleh pihak barat, konsep Hakkou ichiu terus mengalami perubahan
(modernisasi) demi menyesuaikan dengan tujuan perluasan Kekaisaran Jepang
dengan melakukan ekspansi ke negara lain. Jepang yang saat itu menganut
Fasisme ingin melaksanakan sebuah “misi suci dari dewa”,Menurut sekte
Buddhis Nichiren dan Nasionalis Tanaka Chigaku (1861-1939) pernyataan
Kaisar adalah tanda bahwa sudah menjadi tugas Kaisar untuk memperluas
Kekaisarannya menjadi kesatuan dunia di bawah Kaisar.Dengan begitu, Jepang
berharap dapat menaklukan Asia.
Interpretasi Hakkou Ichiu dari Tanaka Chigaku-lah yang dipopulerkan
kembali oleh Perdana Menteri Fumimaro Konoe pada tanggal 8 Januari 1940
untuk mewujudkan sebuah ide Kawasan Persemakmuran Asia Timur Raya (大東
亜共栄圏 Dai Toua Kyoueiken). Isi dari Hakkou Ichiu yang baru adalah sebagai
berikut :
a. “Jepang adalah pusat dunia yang dipimpin oleh keilahian Kaisar yang
berkewajiban untuk menjalankan titahnya sebagai keturunan Dewa yang
agung, yaitu Amaterasu Oomikami”
b. “Jepang berada di bawah lindungan khusus oleh Kami. Oleh karena itu,
bangsa dan lahan Jepang yang agung sederajat dengan semua institusi yang
berdiri di sana dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada institusi
negara lain”
c. “semua hal ini adalah dasar dari Kodoshugisha (Jalan Kaisar) dan memberi
peluang Jepang dengan misinya untuk memimpin seluruh bangsa yang
selazimnya di bawah satu atap yang sama (Jepang) supaya tindakan umat
manusia dapat mengarah ke pemerintahan Kaisar” (Minamoto, 1998: 123-
124)
Poin pertama, hak absolut sang kaisar diberi mandat langsung oleh Dewa
Matahari untuk memerintah Jepang, wilayah pusat dunia. Poin kedua, Jepang
adalah wilayah khusus yang dilindungi langsung oleh para dewa Jepang sehingga
rakyat, tanah air dan institusinya memiliki kedudukan lebih tinggi dari negara lain.
Dua poin ini di implementasikan dengan cara indokrinasi dan mendirikan kuil
Shinto yang di dedikasikan untuk Dewa Matahari baik di Jepang maupun wilayah
jajahan Jepang. Dengan begitu, Jepang mengarahkan pikiran rakyatnya maupun
rakyat jajahannya untuk mengagungkan Kaisar Jepang. Poin ketiga, menandakan
Jepang siap melakukan ekspansi Kekaisarannya di dunia yang pada akhirnya
mengarahkan Jepang pada Perang Dunia II. Poin ini diimplementasikan dengan
membentuk 1) Tentara Kekaisaran Jepang Raya (Dai Nippon Teikoku Rikugun) dan
2) polisi militer rahasia (Kempetai). Berdasarkan ketiga poin tersebut, dapat
disimpulkan bahwa secara berurutan ideologi Hakkou Ichiu merepresentasikan
tingginya martabat negara Jepang serta patriotisme membela Kekaisaran Jepang.
2.4.1 Indoktrinasi
Konsep ideologi Hakko Ichiu yang di kembangkan demi tercapainya tujuan
Jepang tidak terlepas dari konsep- konsep dan propaganda- propaganda yang
lainnya, seperti Bushido dan Kokutai No Hongi.
Bushido terdiri dari dua kata, yaitu kata bushi yang berarti ksatria atau dalam
bahasa Jepang disebut Samurai dan kata do yang berarti jalan/cara, Jadi dapat
disimpulkan bahwa konsep Bushido adalah Jalan hidup ksatria yang mulia dengan
menjaga dan melayani anggota keluarga Kaisar ( pada masa feodal ). Konsep
Bushido ini tetap di pertahankan sejak Jepang memasuki masa modernisasi yang
dimulai dengan ditandatanganinya perjanjian persahabatan dengan Amerika pada
tahun 1858. Dan pada tahun 1871, feodalisme resmi dilarang dan para samurai tidak
lagi penting dalam struktur pemerintahan Jepang. Meski begitu, konsep Bushido
yang melekat pada diri samurai tetap ditanamkan dalam kemiliteran nasional
Jepang, sehubungan dengan 3 poin Hakkou Ichiu yang sudah di modernisasi,
Konsep bushido yang di pertahankan ada di poin ke-3 yaitu patriotisme membela
kekaisaran Jepang. Setia membela Kaisar dan Kekaisaran Jepang merupakan sikap
patriotisme yang ada di dalam Kokutai.
Kata Kokutai berasal dari Aksara China ( 國 體 ) yang berarti struktur
pemerintahan nasional atau Esensi Nasional, yang berisi doktrin militer untuk
membangkitkan semangat patriotisme pemuda dan pelajar sebagai pengabdi Kaisar.
Gambar 2.2.Pamflet Kokutai No Hongi :
sedang bertugas di wilayah itu). Kuil Shinto di luar Jepang (外海神社/ gaikai jinja),
Gaichi adalah wilayah uji coba implementasi doktrin Shinto (Hakkou Ichiu)
sebelum diimplementasikan ke senryouchi, sesuai dengan perkataan Nakajima
sebagai berikut: “Taiwan and Korea functioned as testing grounds for what proved
to be the quite successful attempt to indoctrinate native people into
Shinto”(Nakajima,2000 : 21), Artinya, gaichi adalah wilayah percobaan Kekaisaran
Jepang sebelum menguasai Cina karena secara geografis Cina berdekatan dengan
gaichi. Kep. Laut Selatan secara geografis berdekatan dengan Asia Tenggara
digunakan sebagai wilayah percobaan Kekaisaran. Manchukuo memang harus
dipisahkan dari kategori senryouchi karena konsepnya sebagai alat diplomasi
politik, bukan negara yang dijajah oleh Jepang
Taiwan 184
Karafuto 128
Kwantung 12
Korea 995
Kepulauan Laut Selatan 27
Manchuria 243
Republik China 51
Jumlah 1.640
Sumber : Shinto Deities that Crossed the Sea : Japan’s “Overseas Shrines”
1868 to 1945 oleh Nakajima Michio
Pada kategori gaichi, sudah dibangun Kaizan Jinja (開山神社) pada tahun 1906 di
Taiwan. Kemudian didirikan lagi kuil bernama Taiwan Jinja, Giran Jinja dan
seterusnya hingga berjumlah 184 kuil pada tahun 1945. Jumlah kuil bertambah
banyak dipengaruhi oleh kebijakan “satu kuil per distrik” yang mulai diberlakukan
sejak tahun 1934 oleh pemerintahan Jepang di Taiwan. Di Korea, kuil pertama
bernama Kotohira Jinja (金刀比羅神社 ), lalu berubah nama menjadi Kyoryuuchi
Jinja (居留地神社) tahun 1891 dan berubah lagi menjadi Ryuutosan Jinja (龍頭山神
社) tahun 1900. Tujuannya, untuk meningkatkan fungsi kuil Shinto dari tingkat
lokal ke tingkat nasional minor. Banyaknya kuil yang terus bertambah karena
kebijakan “satu kuil nasional per provinsi” pada tahun 1936 hingga berjumlah 995
kuil pada tahun 1945. Di Karafuto/Sakhalin Selatan, kuil-kuil dibangun di wilayah
prefektur Toyohara, Odomari, dan Maoka pada tahun 1907. Pada tahun 1911
dibangunlah Karafuto Jinja. Pada tahun 1920, pemerintah Jepang mengeluarkan
kebijakan “Regulasi kuil-kuil Shinto” yang berisi penduduk local membangun
beberapa kuil hingga berjumlah 128 kuil pada tahun 1945. Di Kep.Laut Selatan,
kuil pertama bernama Saipan Jinja yang ternyata sudah dibangun pada tahun 1914.
Kuil ini menjadi kuil tertua di tempat ini. Kuil terbesar bernama Nanyo Jinja (南洋
神社) yang dibangun pada tahun 1940. Kuil-kuil terus dibanugn hingga berjumlah
Selain infantri, Tentara Kekaisaran Jepang juga memiliki kavaleri meliputi tank-
tank perang yang dioperasikan selama pertempuran. Dalam pertempuran Asia –
Pasifik. Dalam Periode 1931-1938 Jepang memproduksi 1700 tank baru dan
jumlahnya tidak bertambah secara signifikan ditahun-tahun berikutnya karena
prioritas pertama adalah memproduksi pesawat tempur sebagai kekuatan udara.
Selanjutnya, artileri Kekaisaran Jepang yang dipakai selama periode perang Pasifik
tergolong cukup baik dan tidak terlalu ketinggalan zaman. Artileri yang dilengkapi
dengan berbagai kaliber yang tergolong cukup banyak dan mumpuni (Jowett,
2002:14).
Gambar 2.4. Kavaleri Tentara Kekaisaran Jepang :
Sumber : Imperial Japanese Army 3rd Company, 7th Tank Regiment on Route 5
oleh Jason McDonald
Tahun demi tahun para anggota Tentara Kekaisaran Jepang terus bertambah
terdapat 51 divisi, 27 divisi ditempatkan di Cina dengan 13 divisi di dalamnya
ditempatkan di perbatasan Cina, dengan banyaknya rakyat Jepang yang ikut andil
dalam Militer menunjukan bahwa Ideologi Hakkou Ichiu serius dijalankan oleh
para Pemimpin Jepang melalui Tentara Kekaisaran Jepang. Untuk memastikan
tentara tersebut benar-benar mengabdi pada Kaisar serta untuk membersihkan kaum
anti-Jepang di wilayah Jajahan, dibentuklah Kempeitai untuk spesialisasi
investigasi.
Selain menjadi polisi militer, Kempeitai menjadi salah satu yang memegang
peran penting dalam spionase dan kontra intelijen di Jepang. Bekerjasama dengan
Joho-Kikan (Dinas intelijen Jepang).
Tugas Kempeitai juga tidak terlepas dari urusan politik, terutama sejak
Hideki Tojo yang sebelumnya menjadi komandan Kempetai Kwantung pada
diangkat sebagai Wakil Menteri Peperangan pada tahun 1930-an dan Perdana
Menteri tahun 1941-1944 (Cawthorne, 2008 : 181), untuk menjalankan tugasnya
Kempeitai di sebar ke negara-negara yang di duduki Jepang saat itu, Berikut tabel
yang menggambarkan sebaran Kempetai.
Keberhasilan industri ini tentu tidak dimulai begitu saja, ada dua faktor yang
mempengaruhi mengapa perang Dunia I dapat dianggap sebagai momen puncak
dari industrialisasi Jepang. Pertama, seperti yang dikatakan di atas, Jepang dapat
memanfaatkan momen lumpuhnya aktivitas industri Barat, Kedua, Jepang dapat
memaksimalkan pengetahuan mereka di bidang industri setelah sebelumnya
berguru langsung kepada inggris maupun Jerman.
Sejak Restorasi Meiji, Jepang memang mulai membuka diri dan mengejar
ketertinggalan mereka dari negara-negara Barat, tidak heran jika pada
perkembangannya industri Jepang mulai maju, terutama di bidang industri militer,
Jepang seolah tahu ada yang dibutuhkan negara-negara di Benua yang sedang
berperang dan menjualnya dengan harga mahal saat perang dunia I, ketika Perang
Dunia I berakhir pada tahun 1918, keuntungan yang diraup Jepang menyentuh
angka 3.700 juta yen. Jumlah ini hamper tiga kali lipat dari keuntungan yang
mereka dapatkan pada saat masih menjadi negara pertanian (Sakamoto 1982:2).
Selain militer, sektor industri lain yang berkembang pesat pada periode ini adalah
industri tekstil, perkapalan, bahan kimia, obat-obatan, hingga industri besi dan baja.
Peningkatan ekonomi benar-benar berdapak langsung pada kondisi sosial
Jepang saat itu. Peningkatan yang seignifikan ini memunculkan kelas menengah
dalam strata sosial Jepang, Fenomena “orang kaya baru” bukan suatu hal yang aneh.
Usaha-usaha hiburan terus bermunculan. Bahkan wanita-wanita yang biasanya
hanya mengurus keluarga di rumahnya tidak jarang tampil glamor di tempat-tempat
hiburan. Fenomena ini menunjukkan bahwa hampir semua lapisan masyarakat
benar-benar menikmati momen-momen puncak perekonomian mereka. Tentu ridak
ada yang menyangka jika kemakmuran saat itu merupakan awal dari krisis ekonomi
yang paling buruk dalam sejarah Jepang.
Pada tahun 1923, bencana alam seperti gempa bumi dashyat terjadi di
prefektur Kanto, secara tidak langsung sangat mempengaruhi kondisi
perekonomian Jepang saat itu. Pemerintah Jepang tentu sangat menyadari jika
wilayah geografis mereka yang bergunung-gunung tergolong rawan akan gempa.
Atas pertimbangan inilah pemerintah Jepang bersikap cukup bijak dengan
memberikan keringanan kepada perusahaan-perusahaan di Kanto yang memang
terlilit hutang. Melalui Bank Jepang, perusahaan-perusahaan ini diperbolehkan
untuk membayar tagihannya hanya sebagian untuk menghindari kebangkrutan.
Namun, masalah muncul ketika bantuin ini malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab. Karena merasa bank Jepang akan menanggung
hutangnya, tidak sedikit dari perusahaan-perusahaan ini yang kemudian
memperbesar jumlah hutang mereka. Akibatnya sudah jelas, Bank Jepang terancam
mengalami kerugian yang besar karena harus menanggung utang-utang yang
sebenarnya tidak ada hubungannya dengan bencana gempa yang terjadi.
Sama seperti kasus perbankan lain di tahun 1927 (Kikan Ginko), bantuan
keringanan yang diselewengkan ini pun semakin memperparah kondisi Jepang yang
saat itu baru memasuk zaman Showa, demi memulihkan perekonomian Jepang,
Menteri Keuangan saat itu tidak segan mengeluarkan kebijakan penutupan
beberapa bank dan perusahaan yang dianggap bermasalah dan tidak transparan.
Pada kenyataannya depresi yang terjadi di Jepang yang disebut “Showa Depression”
tidak hanya memunculkan permasalahan ekonomi saja, berbagai permasalahan
sosial juga muncul dan secara tidak langsung semakin memperburuk keadaan.
“Japan was deep in the world depression. Population had been increasing
at nearly one million annually, overtaxing the country’s food supply, the
national economy was not absorbing the more than 400.000 new workers
annually who were seeking employment.” (Clyde & Beers,1966:329)
Terjemahan :
“Jepang ikut tenggelam dalam depresi ekonomi dunia, populasi yang terus
meningkat, keperluan bahan makanan yang berlebihan, serta ekonomi
nasional yang tidak bisa mempekerjakan lebih dari 400.000 orang yang
ingin mencari pekerjaan”
Saat itu jumlah penduduk Jepang memang sudah sangat banyak.seperti yang sudah
diketahui secara umum, dengan bertambahnya penduduk, jumlah angkatan kerja
dan lapangan pekerjaan yang tersedia menjadi tidak berimbang. Otomatis angkatan
kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan akan menganggur. Padahal jumlah
pengangguran di Jepang pasca-Perang Dunia I belum berkurang, Dengan jumlah
pengangguran yang semakin bertambah, beban pemerintah Jepang jelas semakin
bertambah, jika kondisi seperti ini berlanjut, dampak yang paling ditakutkan oleh
pemerintah Jepang ialah bencana kelaparan.
Jumlah penduduk sejak restorasi Meiji hingga tahun 1930 memang
membengkak hingga 30 juta jiwa, dengan jumlah penduduk sebesar ini, wajar jika
pemerintah Jepang mulai kesulitan memenuhi kebutuhan pangan setiap tahun.
Walaupun pemerintah Jepang sudah mengoptimalkan petani-petani mereka untuk
meningkatkan jumlah hasil panen per tahunnya, usaha ini pada akhirnya sia-sia.
Bahkan, dari tahun 1910 sampai menjelang 1920 saja, kuota beras impor yang
didatangkan ke Jepang meningkat tiga kali lipat karena populasi penduduk yang
semakin meningkat.
Dalam pendapatnya ini, Hashimoto memang menyebutkan dua pilihan lain yang
dapat dijadikan solusi dalam mengatasi permasalahan penduduk di Jepang. Hanya
saja, Hashimoto menganggap keduanya sudah tidak relevan dengan kondisi luar
negeri Jepang saat itu. Ironisnya, baik Hashimoto maupun tokoh Sakurakai lainnya
tidak menyadari jika kondisi ini secara langsung diakibatkan oleh ulah dan obsesi
mereka sendiri. Dengan kata lain, Jika Jepang tidak terobsesi dengan rencara
imperialisme mereka, tentu negara-negara Barat juga tidak akan merasa terancam.
Belum lagi jika melihat kekuatan militer dan perkembangan industrinya yang begitu
pesat, sangat wajar jika negara-negara Barat merasa terancam dan mulai
menjauhkan diri dari Jepang (Chang, 2009:46)
Sangat jelas jika tujuan sebenarnya dari pernyataan Hashimoto itu untuk
menggiring opini masyarakat agar meyakini bahwa ekspansi militer merupakan
solusi dari semua permasalahan yang sedang di hadapi Jepang. Yaitu permasalahan
keterbatasan pangan dan ledakan penduduk yang muncul pasca-Perang Dunia I.
Memang, dengan dikuasainya Manchuria, luas Jepang akan bertambah berkali lipat,
Jepang tidak perlu takut dengan kepadatan penduduk yang terjadi di negaranya
karena sebagian penduduk dapat di pindahkan. Belum lagi jika melihat potensi alam
yang dimiliki oleh Manchuria. Sebagai negara dengan sumber daya alam yang
miskin, wajar jika Jepang terobsesi dengan wilayah ini.
“the provinces Fengtien, Kirin, Heilongjiang and Outer and Inner
Mongolia. It extends an area of 74.000 square miles, having a
population of 28.000.000 people. The territory is more than three
time as large as our own empire not counting Korea and Formosa,
but it is inhabited by only one-third as many people. The
attractiveness of the land does not arise from the scarcity of
population alone; its wealth of forestry, minerals, and agricultural
product is also unrivaled elsewhere in the world” (Chang, 2009 :8)
Terjemahan :
Terjemahan :
“Mantan Menteri Ekonomi dan manager dari Minsetto, Inoue
Jonnosuke dan Direktur Mitsui, Dan Takuma masing-masing
dibunuh pada 9 Februari dan Maret. Pada 15 Mei, Perdana Menteri,
Inukai Tsuyoshi, dibunuh oleh ikatan kecil angkatan laut dan petani
yang percaya bahwa Jepang tidak dapat disterilkan sampai pada
politisi tua dan partainya dihancurkan”
Berbagai upaya pembunuhan membuktikan bahwa pengaruh fasisme di
Jepang sudah semakin membesar. Terutama jika melihat kasus Inukai Tsuyoshi
yang dibunuh karena kedekatannya dengan Sun Yat-sen(tokoh nasionalisme Cina).
Seolah-olah pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh sikap Inukai yang memang
menolak keras wacana ekspansi militer ke Cina. Posisi Jepang sebagai negara fasis
mungkin sudah terlihat sejak perjanjian Anti-Comintern yang ditandatangani pada
tahun 1936. Namun peresmian Taisei Yokusankai -lah yang memperjelas status
Jepang menjadi negara fasis.