Anda di halaman 1dari 25

BAB II

PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG DITERAPKANNYA HAKKOU


ICHIU

2.1 Pengertian Hakkou Ichiu (八紘一宇)

Kata Hakkou Ichiu berasal dari sebuah kitab lama Jepang yaitu Nihon Shoki
pada jilid ke-3. Hakkou Ichiu pertama kali dinyatakan oleh Kaisar Jinmu Tenno
pada abad 660 SM ketika diangkat menjadi kaisar pertama di Jepang, terdiri atas

hakkou (八紘) yang berarti “delapan sudut” yang dapat di referensikan ke delapan

penjuru yang ada di dunia, dan ichiu (宇) yang berarti “atap” yang dapat diartikan

sebagai sebuah komunitas kekeluargaan. Ini adalah konsep Hakkou Ichiu aslinya
yang bermakna “delapan penjuru dunia di bawah satu atap”. Di zaman itu
masyakarat Jepang percaya bahwa mereka adalah ras murni atau ras emas
(kinjinshu) dan Kaisar adalah perwujudan dewa di dunia nyata (bumi) dan pada
masa itu pula, Hakkou Ichiu dianggap suatu manifestasi terhadap shintoisme,
semacam cara ibadah untuk menunjukan kesetian orang jepang pada dewa mereka,
sehingga masyarakat jepang saat itu patuh mengikuti Hakkou Ichiu.
2.2 Kaitan Shintoisme dengan Hakkou Ichiu (八紘一宇)

Shintoisme merupakan ajaran yang paling mendasar dan sudah ada sejak
zaman dahulu di Jepang, tidak diketahui siapa penemu ajaran ini, tidak seperti
ajaran agama lain yang memiliki buku atau kitab suci sebagai pedomannya.
Ajaran Shinto ini telah mengakar di dalam diri orang Jepang dan tradisinya.
Dewa dalam Shinto disebut Kami. Merupakan arwah suci yang mengambil
perwujudan penting dalam konsep hidup manusia misalnya angin, hujan, gunung,
sungai, maupun manusia yang telah mati. Kami yang paling penting bagi orang
Jepang ialah Dewi Amaterasu.Dalam shintoisme, Tenno atau Kaisar dianggap
perwujudan Amaterasu Omikami sehingga Kaisar dianggap orang paling penting
di seluruh Jepang. Tak ada yang berani membantah titah Kaisar karena takut akan
mengusik dewa. Begitu pula Hakkou Ichiu yang menjadi salah satu titah Kaisar
Jimmu pada masa itu, masyarakat Jepang harus mengikuti titah Kaisar tersebut
dan terdapat tulisan Hakkou ichiu sebagai simbol di kuil – kuil (jinja) milik agama
Shinto, salah satunya di kuil Susanoo Fukuyama, Prefektur Hiroshima.
Gambar 2.1.Tulisan Hakkou Ichiu (八紘一宇) di Monumen batu (kiri) kuil
Susanoo :

Sumber : 広島県福山市にある素盞嗚神社の境内, 2010 oleh Warabi Hatogaya

2.3 Sejarah perkembangan Hakkou Ichiu (八紘一宇)

Istilah Hakkou Ichiu sendiri baru muncul di Nihon Shoki bagian yang
menceritakan perintah Jimmu untuk mendirikan sebuah istana di Kashiwara.
“The Nihonshoki claims that emperor Jimmu was enthorened when
he built his palace at Kashiwara: he was said to have expressed his
desire to “unify the six quarters, to establish the capital, and make
[one] house by covering eight corners.” In ancient times, Hakko
(written as a two character phrase) meant “eight corners,”
referring to the eight corners of the world, while ichiu (also a two
character phrase) meant “ roof,” referring to a familial community”
(Teshima, 2006:86)

Terjemahan :

Kitab Nihon Shoki mengklaim bahwa Kaisar Jimmu dinobatkan


sebagai kaisar ketika ia membangun kastil di Kashiwara, dia
berbicara tentang keinginannya untuk “menyatukan enam daerah
untuk mendirikan ibu kota, dan membuat satu rumah dari delapan
penjuru, pada dahulu kala ,Hakkou berarti delapan penjuru yang
mereferensikan delapan penjuru dunia sedangkan ichiu berarti atap
yang mereferensikan sebuah komunitas kekeluargaan.

Lalu kata Hakkou dan Ichiu dikombinasikan oleh Tanaka Chigaku dan
meninterpretasikan kalimat Hakkou Ichiu tersebut sebagai Semangat Kaisar
Jimmu. Menurut Tanaka, setelah Kaisar Jimmu mendapat titah dari Dewa, dia
bertarung melawan klan lain namun bukan untuk menaklukan mereka, tapi untuk
membawa keadilan bagi Jepang. Tanaka menggunakan semangat Jimmu untuk
melegitimasi Ideologi Hakkou Ichiu sebagai Ideologi Dominasi pada saat itu.
Perkembangan bangsa Jepang pasca politik isolasi (sakoku) juga berdampak
pada perkembangan ideologi Hakkou ichiu, Pada era Meiji, ideologi Hakkou Ichiu
mengacu pada militarisme dan dominasi. Ideologi Hakkou Ichiu muncul kembali
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Jepang kepada Kaisar yang kala
itu disudutkan oleh pihak barat, konsep Hakkou ichiu terus mengalami perubahan
(modernisasi) demi menyesuaikan dengan tujuan perluasan Kekaisaran Jepang
dengan melakukan ekspansi ke negara lain. Jepang yang saat itu menganut
Fasisme ingin melaksanakan sebuah “misi suci dari dewa”,Menurut sekte
Buddhis Nichiren dan Nasionalis Tanaka Chigaku (1861-1939) pernyataan
Kaisar adalah tanda bahwa sudah menjadi tugas Kaisar untuk memperluas
Kekaisarannya menjadi kesatuan dunia di bawah Kaisar.Dengan begitu, Jepang
berharap dapat menaklukan Asia.
Interpretasi Hakkou Ichiu dari Tanaka Chigaku-lah yang dipopulerkan
kembali oleh Perdana Menteri Fumimaro Konoe pada tanggal 8 Januari 1940
untuk mewujudkan sebuah ide Kawasan Persemakmuran Asia Timur Raya (大東

亜共栄圏 Dai Toua Kyoueiken). Isi dari Hakkou Ichiu yang baru adalah sebagai

berikut :
a. “Jepang adalah pusat dunia yang dipimpin oleh keilahian Kaisar yang
berkewajiban untuk menjalankan titahnya sebagai keturunan Dewa yang
agung, yaitu Amaterasu Oomikami”
b. “Jepang berada di bawah lindungan khusus oleh Kami. Oleh karena itu,
bangsa dan lahan Jepang yang agung sederajat dengan semua institusi yang
berdiri di sana dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada institusi
negara lain”
c. “semua hal ini adalah dasar dari Kodoshugisha (Jalan Kaisar) dan memberi
peluang Jepang dengan misinya untuk memimpin seluruh bangsa yang
selazimnya di bawah satu atap yang sama (Jepang) supaya tindakan umat
manusia dapat mengarah ke pemerintahan Kaisar” (Minamoto, 1998: 123-
124)
Poin pertama, hak absolut sang kaisar diberi mandat langsung oleh Dewa
Matahari untuk memerintah Jepang, wilayah pusat dunia. Poin kedua, Jepang
adalah wilayah khusus yang dilindungi langsung oleh para dewa Jepang sehingga
rakyat, tanah air dan institusinya memiliki kedudukan lebih tinggi dari negara lain.
Dua poin ini di implementasikan dengan cara indokrinasi dan mendirikan kuil
Shinto yang di dedikasikan untuk Dewa Matahari baik di Jepang maupun wilayah
jajahan Jepang. Dengan begitu, Jepang mengarahkan pikiran rakyatnya maupun
rakyat jajahannya untuk mengagungkan Kaisar Jepang. Poin ketiga, menandakan
Jepang siap melakukan ekspansi Kekaisarannya di dunia yang pada akhirnya
mengarahkan Jepang pada Perang Dunia II. Poin ini diimplementasikan dengan
membentuk 1) Tentara Kekaisaran Jepang Raya (Dai Nippon Teikoku Rikugun) dan
2) polisi militer rahasia (Kempetai). Berdasarkan ketiga poin tersebut, dapat
disimpulkan bahwa secara berurutan ideologi Hakkou Ichiu merepresentasikan
tingginya martabat negara Jepang serta patriotisme membela Kekaisaran Jepang.

2.4 Implementasi ideologi Hakkou Ichiu (八紘一宇)

2.4.1 Indoktrinasi
Konsep ideologi Hakko Ichiu yang di kembangkan demi tercapainya tujuan
Jepang tidak terlepas dari konsep- konsep dan propaganda- propaganda yang
lainnya, seperti Bushido dan Kokutai No Hongi.
Bushido terdiri dari dua kata, yaitu kata bushi yang berarti ksatria atau dalam
bahasa Jepang disebut Samurai dan kata do yang berarti jalan/cara, Jadi dapat
disimpulkan bahwa konsep Bushido adalah Jalan hidup ksatria yang mulia dengan
menjaga dan melayani anggota keluarga Kaisar ( pada masa feodal ). Konsep
Bushido ini tetap di pertahankan sejak Jepang memasuki masa modernisasi yang
dimulai dengan ditandatanganinya perjanjian persahabatan dengan Amerika pada
tahun 1858. Dan pada tahun 1871, feodalisme resmi dilarang dan para samurai tidak
lagi penting dalam struktur pemerintahan Jepang. Meski begitu, konsep Bushido
yang melekat pada diri samurai tetap ditanamkan dalam kemiliteran nasional
Jepang, sehubungan dengan 3 poin Hakkou Ichiu yang sudah di modernisasi,
Konsep bushido yang di pertahankan ada di poin ke-3 yaitu patriotisme membela
kekaisaran Jepang. Setia membela Kaisar dan Kekaisaran Jepang merupakan sikap
patriotisme yang ada di dalam Kokutai.
Kata Kokutai berasal dari Aksara China ( 國 體 ) yang berarti struktur

pemerintahan nasional atau Esensi Nasional, yang berisi doktrin militer untuk
membangkitkan semangat patriotisme pemuda dan pelajar sebagai pengabdi Kaisar.
Gambar 2.2.Pamflet Kokutai No Hongi :

Sumber : Kokutai-no hongi (Cardinal Principles of Kokutai). Tokyo: Naikaku


insatsu-kyoku, 1937 oleh Monbushocho.

Jepang mengaplikasikan Kokutai di dunia pendidikan dengan menerbitkan


Kokutai No Hongi oleh Menteri Pendidikan Jepang saat itu yang berarti Prinsip
Fundamental Esensi Nasional Jepang untuk memperkenalkan keagungan Kaisar di
penjuru Jepang (Brownlee, 200:10) Kokutai No Hongi merupakan pamflet yang
terdiri dari 156 halaman, beberapa pasal dalam Kokutai No Hongi menyinggung
kesetian dan patriotisme yang tercermin dalam nilai bushido seperti berikut :
a. “Bushido menjadi jalan kesetiaan dan patriotisme yang telah tumbuh
sebelum keberadaan kami (pemuda – pemudi Jepang) sebagai semangat
Tentara Kekaisaran
b. “Merujuk pada sejarah kami, semangat kesetiaan selalu mengalir
melintasi hari rakyat”
c. “Tanpa kesetiaan tidak ada patriotisme, dan tanpa patriotisme tidak ada
kesetiaan. Semua patriotism selalu dipenuhi dengan sentiment kesetiaan
tertinggi, dan semua kesetiaan itu selalu hadir dengan semangat
patriotisme.”
Poin pertama menjelaskan konsep bushido sudah mengakar sebelum para
pemuda tersebut lahir, dengan kata lain, konsep bushido terus di terapkan dan
bertahan sebagai jalan kesetiaan dan patriotisme. Poin kedua menjelaskan jiwa
kesetiaan selalu melekat di hati rakyat Jepang. Menandakan bahwa kesetiaan
kepada Kaisar memang harus dilakukan sepenuh hati. Kalimat ini bersifat persuasif
untuk pemuda di penjuru Jepang agar sadar mendedikasikan hidupnya untuk
Kaisar.Poin ketiga, kesetiaan dan patriotisme adalah dua hal yang berkaitan erat.
Tanpa kesetiaan, patriotisme tidak akan tumbuh. Begitu juga tanpa patriotisme,
kesetiaan akan hilang atau pudar. Dengan begitu, pemuda jepang tertarik bergabung
dalam kemiliteran nasional, dan pemerintahan mengerahkan semua unsur dalan
rakyatnya untuk membentuk kekuatan superior melalui kekuatan militer, obsesi
Jepang itulah yang menyebabkan Jepang menganut Fasisme.
Dari penggabungan antara semangat Bushido yang di terapkan terhadap
militer Jepang dan Kokutai No Hongi yang menjadi doktrin patriotisme pemuda
pemudi Jepang untuk mematuhi Kaisar secara tidak langsung Ideologi Hakkou
Ichiu ikut andil dalam pembangunan Militer Jepang untuk melebarkan Sayap
Kekaisarannya.
2.4.2 Pembangunan Kuil Shinto
Pembangunan kuil Shinto adalah implementasi Hakkou Ichiu poin ke-1 dan
ke 2. Kuil-kuil tersebut dibangun oleh para imigran dan militer Jepang (ketika

sedang bertugas di wilayah itu). Kuil Shinto di luar Jepang (外海神社/ gaikai jinja),

dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu:


a. Kuil Shito yang dibangun di seberang laut koloni Jepang (gaichi) meliputi
Taiwan, Karafuto (Sakhalin), Korea dan Kepulauan Selatan;
b. Kuil Shinto yang dibangun di wilayah jajahan Jepang (senryouchi) meliputi
Republik Cina dan Asia Tenggara;
c. Kuil Shinto yang dibangun di negara ‘boneka’ Manchukuo dan;
d. Kuil Shinto yang dibangun di Hawai, Amerika Utara dan Amerika Selatan
yang sebenarnya bukan termasuk wilayah kekaisaran Jepang.

Gaichi adalah wilayah uji coba implementasi doktrin Shinto (Hakkou Ichiu)
sebelum diimplementasikan ke senryouchi, sesuai dengan perkataan Nakajima
sebagai berikut: “Taiwan and Korea functioned as testing grounds for what proved
to be the quite successful attempt to indoctrinate native people into
Shinto”(Nakajima,2000 : 21), Artinya, gaichi adalah wilayah percobaan Kekaisaran
Jepang sebelum menguasai Cina karena secara geografis Cina berdekatan dengan
gaichi. Kep. Laut Selatan secara geografis berdekatan dengan Asia Tenggara
digunakan sebagai wilayah percobaan Kekaisaran. Manchukuo memang harus
dipisahkan dari kategori senryouchi karena konsepnya sebagai alat diplomasi
politik, bukan negara yang dijajah oleh Jepang

Tabel 1. Persebaran Kuil Shinto di Asia

Negara Jajahan Jumlah Kuil

Taiwan 184

Karafuto 128

Kwantung 12

Korea 995
Kepulauan Laut Selatan 27

Manchuria 243

Republik China 51

Jumlah 1.640
Sumber : Shinto Deities that Crossed the Sea : Japan’s “Overseas Shrines”
1868 to 1945 oleh Nakajima Michio

Pada kategori gaichi, sudah dibangun Kaizan Jinja (開山神社) pada tahun 1906 di

Taiwan. Kemudian didirikan lagi kuil bernama Taiwan Jinja, Giran Jinja dan
seterusnya hingga berjumlah 184 kuil pada tahun 1945. Jumlah kuil bertambah
banyak dipengaruhi oleh kebijakan “satu kuil per distrik” yang mulai diberlakukan
sejak tahun 1934 oleh pemerintahan Jepang di Taiwan. Di Korea, kuil pertama
bernama Kotohira Jinja (金刀比羅神社 ), lalu berubah nama menjadi Kyoryuuchi

Jinja (居留地神社) tahun 1891 dan berubah lagi menjadi Ryuutosan Jinja (龍頭山神

社) tahun 1900. Tujuannya, untuk meningkatkan fungsi kuil Shinto dari tingkat

lokal ke tingkat nasional minor. Banyaknya kuil yang terus bertambah karena
kebijakan “satu kuil nasional per provinsi” pada tahun 1936 hingga berjumlah 995
kuil pada tahun 1945. Di Karafuto/Sakhalin Selatan, kuil-kuil dibangun di wilayah
prefektur Toyohara, Odomari, dan Maoka pada tahun 1907. Pada tahun 1911
dibangunlah Karafuto Jinja. Pada tahun 1920, pemerintah Jepang mengeluarkan
kebijakan “Regulasi kuil-kuil Shinto” yang berisi penduduk local membangun
beberapa kuil hingga berjumlah 128 kuil pada tahun 1945. Di Kep.Laut Selatan,
kuil pertama bernama Saipan Jinja yang ternyata sudah dibangun pada tahun 1914.
Kuil ini menjadi kuil tertua di tempat ini. Kuil terbesar bernama Nanyo Jinja (南洋

神社) yang dibangun pada tahun 1940. Kuil-kuil terus dibanugn hingga berjumlah

27 pada tahun 1945. (Goodman, 1999: 45).

Pada kategori senryouchi di Cina, Jepang mengeluarkan peraturan pada Juni


1936 yang berisi “Regulasi Kuil-kuil Shinto di Manchukuo dan Republik Cina”
untuk melegalisasi kuil-kuil Shinto dan menetapkan bahwa satu kuil harus
menyediakan satu konsulat lokal untuk perizinan, kemudian melaporkannya ke
Kementerian Luar Negeri Jepang. Totalnya hingga 51 kuil di tahun 1945. Di
Thailand, terdapat kuil Shinto yang diberi nama Nagamasa Jinja di Ayutthaya, di
Singapura, kuil Shonan merupakan kuil Shinto utama di bagian selatan luar Jepang,
Dikutip dari Kevin blackburn & Edmund Lin: “The chief Shinto shrine in the
Southern Regions was the Syonan Jinja of Singapore (Syonan-to, or ‘Light of the
South’, was the name of the Japanese gave Singapore)(Edmund, 1999: 40). Frase
‘Light of the South’ adalah salah satu perwujudan dari semboyan “Cahaya Asia”.
Kuil ini juga menandakan kemenangan Jepang atas Inggris pada tahun 1940-an

Pada kategori negara ‘boneka’ Manchukuo, Jepang mendirikan kuil


berarsitektur Kuil Besar Ise dan Yasukuni di Jepang, yaitu Kenkoku Shinbyou
(National Founding Desity Shrine) dan Kenkoku Chuureibyou (Spirits of National
Founders) pada tahun 1940. Kuil-kuil Shinto dibangun hingga berjumlah 243 kuil
pada tahun 1945 (Blackburn, 1998: 53). Dan kedua poin diatas merupakan sebuah
implementasi dari ideologi Hakkou Ichiu bagi internal Jepang maupun wilayah atau
negara yang menjadi bagian Kekaisaran Jepang.

2.4.3 Pembentukan Tentara Kekaisaran Jepang Raya (Dai Nippon


Teikoku Rikugun)
Untuk mewujudkan cita-cita Jepang demi mendukung ekspansinya, Jepang
membentuk sebuah Tentara Kekaisaran Jepang raya, seperti yang di jelaskan diatas
bahwa Tentara Kekaisaran Jepang Raya ini merupakan implementasi dari poin ke-
3 Hakkou Ichiu. Tentara ini dilatih oleh militer Perancis antara tahun 1867-1868.
Kemudian diresmikan pada tahun 1871 di bawah komando Kaisar, dikontrol oleh
Kementrian Perang dan Inspektur Jendral Militer, Tentara ini bermarkas besar di
pusat Markas Besar Kekaisaran (Daihonei). Anggota tentara ini terdiri dari laki-
laki berusia antara 17-40 tahun yang sebelumnya telah mngikuti wajib militer
(Jowett, 2002:3).
Pada awalnya, ketika Tentara kekaisaran Jepang didirikan tahun 1867, yang
menjadi anggotanya adalah pensiunan Samurai (Ronin) dari wilayah Satsuma dan
Chosu yang setia pada Kaisar, Sehingga, setelah berdirinya pemerintahan Meiji,
untuk menjaga Jepang dari imperialisme barat, maka orang orang mantan anggota
samurai dan militer yang setia terhadap pemerintah pelatihan militer dan dijadikan
anggota Angkatan bersenjata negara Jepang (Jowett, 2002:4)
Pasukan Tentara Kekaisaran Jepang terdiri dari 3 unti bagian yaitu infantri,
kavaleri dan artileri serta beberapan detasemen yang terpisah yang Namanya
disesuaikan dengan nama komando yang ditugaskan dalam operasi-operasi tertentu.
Infantri merupakan kekuatan yang menjadi tulang punggung dan ujung tombak
Tentara Kekaisaran Jepang dipertempuran, Pada tahun 1930-an Jepang merupakan
negara yang organisasi infantrinya memiliki kualitas persenjataan terbaik, Akan
tetapi, sejak tahun 1943 Jepang mengalami kemunduran dan tertinggal di belakang
infantri sekutu (Jowett, 2002:13)
Gambar 2.3. Infantri Kekaisar Jepang :

Sumber : Soldier of The Sun, 1991 oleh Meirion Harries

Selain infantri, Tentara Kekaisaran Jepang juga memiliki kavaleri meliputi tank-
tank perang yang dioperasikan selama pertempuran. Dalam pertempuran Asia –
Pasifik. Dalam Periode 1931-1938 Jepang memproduksi 1700 tank baru dan
jumlahnya tidak bertambah secara signifikan ditahun-tahun berikutnya karena
prioritas pertama adalah memproduksi pesawat tempur sebagai kekuatan udara.
Selanjutnya, artileri Kekaisaran Jepang yang dipakai selama periode perang Pasifik
tergolong cukup baik dan tidak terlalu ketinggalan zaman. Artileri yang dilengkapi
dengan berbagai kaliber yang tergolong cukup banyak dan mumpuni (Jowett,
2002:14).
Gambar 2.4. Kavaleri Tentara Kekaisaran Jepang :

Sumber : Imperial Japanese Army 3rd Company, 7th Tank Regiment on Route 5
oleh Jason McDonald

Gambar 2.5. Artileri Tentara Kekaisaran Jepang

Sumber : “WWII Type 1 47 mm Japanese Anti-Tank Gun” 1998, oleh National


Park Service(National Archive)
Dengan diciptakannya sebuah Tentara Kekaisaran Jepang (Dai Nippon
Teikoku Rikugun) dan keterkaitan Menteri pendidikan yang berperan menyebarkan
doktrin patriotisme melalui Kokutai No Hongi, dan juga memanfaatkan semangat
Bushido pada Tentara Kekaisaran Jepang, membuktikan bahwa pemerintah Jepang
serius membagun kemiliteran sebagai fondasi negara sekaligus melakukan ekspansi
ke negara lain.

Tahun demi tahun para anggota Tentara Kekaisaran Jepang terus bertambah
terdapat 51 divisi, 27 divisi ditempatkan di Cina dengan 13 divisi di dalamnya
ditempatkan di perbatasan Cina, dengan banyaknya rakyat Jepang yang ikut andil
dalam Militer menunjukan bahwa Ideologi Hakkou Ichiu serius dijalankan oleh
para Pemimpin Jepang melalui Tentara Kekaisaran Jepang. Untuk memastikan
tentara tersebut benar-benar mengabdi pada Kaisar serta untuk membersihkan kaum
anti-Jepang di wilayah Jajahan, dibentuklah Kempeitai untuk spesialisasi
investigasi.

2.4.4 Pembentukan Polisi militer rahasia (Kempeitai, 憲兵隊)

Kempeitai adalah implementasi Hakkou Ichiu poin ketiga. Dewan


Pemerintahan Meiji membentuk kesatuan polisi militer rahasia untuk Tentara
Kekaisaran Jepang Raya sejak 4 Januari 1881 bernama Kempeitai ( 憲 兵 隊 ).

Kempeitai bertugas untuk membersihkan kaum anti-Jepang dengan cara


menginvestigasinya. Kempeitai mendampingi tentara Jepang untuk
bertanggungjawab atas kedisiplinan pasukan dan pembemsihan unsur-unsur anti-
Jepang dikalangan penduduk sipil kepada Menteri peperangan. Kempeitai sangat
terkenal kerang kedisplinannya dan kekejamannya.(Brownlee 2003:16)
Gambar 7. Anggota Kempeitai (憲兵隊)

Sumber : "Showa History Vol.7: February 26 Incident" oleh Mainichi Newspapers


Company.

Selain menjadi polisi militer, Kempeitai menjadi salah satu yang memegang
peran penting dalam spionase dan kontra intelijen di Jepang. Bekerjasama dengan
Joho-Kikan (Dinas intelijen Jepang).

Tugas Kempeitai juga tidak terlepas dari urusan politik, terutama sejak
Hideki Tojo yang sebelumnya menjadi komandan Kempetai Kwantung pada
diangkat sebagai Wakil Menteri Peperangan pada tahun 1930-an dan Perdana
Menteri tahun 1941-1944 (Cawthorne, 2008 : 181), untuk menjalankan tugasnya
Kempeitai di sebar ke negara-negara yang di duduki Jepang saat itu, Berikut tabel
yang menggambarkan sebaran Kempetai.

Tabel 2.Persebaran Anggota Kempeitai di Asia


Negara Jumlah Tentara
Jepang 10.679
Korea 1.927
Cina Utara 4.253
Cina Selatan 1.094
Singapura 362
Thailand 937
Filipina 829
Jawa 538
Formosa (Taiwan) 745
Kwantung 4.946
Cina Pusat 6.115
Indocina-Pusat 479
Malaya 758
Burma 540
Sumatra 387
Borneo 156
Laut Selatan 89
Sumber : Japan’s dark background 1881-1945, 1982 oleh Richard Deacon

Anggota Kempeitai terbanyak setelah Jepang adalah Cina Pusat(Shanghai


dan lain sebagainya), Kwantung, dan Cina Utara, Hal ini menandakan, Jepang
memang memusatkan wilayah kekuasaan Kekaisaran di sana sesuai dengan
pernyataan Jendral Tanaka Gichii yaitu dalam “Tanaka Memorial”. Perekrutan
Kempeitai di Asia Timur dan Tenggara sudah dilakukan sebelum Perang Dunia II.
Ketika Perang Dunia II pecah di Eropa, imperialis barat fokus di Eropa ketimbang
di Asia, dan Jepang melalui Kempeitai memanfaatkan kesempatan ini untuk
menduduki Asia.
Dalam tugasnya Kempetai melakukan banyak sekali kekejaman dan
Kempeitai tidak segan-segan melakukan penyiksaan untuk mendapatkan informasi
atau membunuh orang-orang yang mengkhianati Kaisar maupun orang-orang Anti-
Jepang, banyak sekali Insiden/kasus yang ditimbulkan Kempeitai.
Insiden yang paling terkenal ialah Bridge House. Setelah Jepang menguasai
Shanghai sekitar tahun 1937, Jepang gencar melakukan inspeksi anti-Jepang.
Kempeitai memburu jurnalis dan organisasi Huang Hui yang mempropagandakan
anti-Jepang ke seluruh Shanghai.Buronan Keimpeitai yang ditangkap akan ditahan
di Gedung bernama Bridge House. Mereka diinterogasi sekaligus disiksa bahkan
ditembak mati jika tidak mengakui kesalahannya. Kejadian ini menelan ratusan
nyawa.
Insiden lainnya adalah Sook Ching Operation, Sook Ching berarti purge
through cleansing dalam bahasa Cina atau Dai Keshou dalam bahasa Jepang,
Pembantaian ini dilakukan dengan cara menahan ribuan orang yang diduga anti-
Jepang kemudian dimasukkan ke dalam gerbong dan dikirim ke Changi, Punggol
dan Bedok untuk dieksekusi. Jumlah korban mencapai 50.000 jiwa. Dan masih
banyak lagi insiden-insiden yang dilakukan oleh Kempeitai, semua itu dilakukan
untuk mewujudkan Ideologi Hakkou Ichiu dan memastikan cita-cita Jepang berhasil.

2.5 Latar Belakang diterapkannya Hakkou Ichiu

2.5.1 Faktor Ekonomi


Jepang adalah satu dari sedikit negara yang mendapatkan keuntungan dari
Perang dunia I. Jepang yang memang sejak Restorasi Meiji merintis perekonomian
modern berbasis industri, berhasil memanfaatkan momen ini untuk memperluas
pasar produk-produk mereka. Saat itu perang yang mayoritas terjadi di Eropa,
membuat negara-negara di Benua tersebut tidak sempat menjalankan aktivitas
ekonomi mereka seperti biasa. Lumpuhnya industri negara-negara Eropa yang
terlibat langsung dalam peperangan memuluskan langkah Jepang untuk
memonopoli pasar dunia.
“Perang dunia I menciptakan permintaan besar-besaran untuk produksi baja
dan besi Jepang, Juga untuk produksi tekstil dan perdagangan asing, harga
saham meroket, dan orang-orang penting bermunculan dari tempat gelap,
menyilaukan negara tersebut dengan kegemerlapan mereka”
(Chang,2009:30)

Keberhasilan industri ini tentu tidak dimulai begitu saja, ada dua faktor yang
mempengaruhi mengapa perang Dunia I dapat dianggap sebagai momen puncak
dari industrialisasi Jepang. Pertama, seperti yang dikatakan di atas, Jepang dapat
memanfaatkan momen lumpuhnya aktivitas industri Barat, Kedua, Jepang dapat
memaksimalkan pengetahuan mereka di bidang industri setelah sebelumnya
berguru langsung kepada inggris maupun Jerman.
Sejak Restorasi Meiji, Jepang memang mulai membuka diri dan mengejar
ketertinggalan mereka dari negara-negara Barat, tidak heran jika pada
perkembangannya industri Jepang mulai maju, terutama di bidang industri militer,
Jepang seolah tahu ada yang dibutuhkan negara-negara di Benua yang sedang
berperang dan menjualnya dengan harga mahal saat perang dunia I, ketika Perang
Dunia I berakhir pada tahun 1918, keuntungan yang diraup Jepang menyentuh
angka 3.700 juta yen. Jumlah ini hamper tiga kali lipat dari keuntungan yang
mereka dapatkan pada saat masih menjadi negara pertanian (Sakamoto 1982:2).
Selain militer, sektor industri lain yang berkembang pesat pada periode ini adalah
industri tekstil, perkapalan, bahan kimia, obat-obatan, hingga industri besi dan baja.
Peningkatan ekonomi benar-benar berdapak langsung pada kondisi sosial
Jepang saat itu. Peningkatan yang seignifikan ini memunculkan kelas menengah
dalam strata sosial Jepang, Fenomena “orang kaya baru” bukan suatu hal yang aneh.
Usaha-usaha hiburan terus bermunculan. Bahkan wanita-wanita yang biasanya
hanya mengurus keluarga di rumahnya tidak jarang tampil glamor di tempat-tempat
hiburan. Fenomena ini menunjukkan bahwa hampir semua lapisan masyarakat
benar-benar menikmati momen-momen puncak perekonomian mereka. Tentu ridak
ada yang menyangka jika kemakmuran saat itu merupakan awal dari krisis ekonomi
yang paling buruk dalam sejarah Jepang.
Pada tahun 1923, bencana alam seperti gempa bumi dashyat terjadi di
prefektur Kanto, secara tidak langsung sangat mempengaruhi kondisi
perekonomian Jepang saat itu. Pemerintah Jepang tentu sangat menyadari jika
wilayah geografis mereka yang bergunung-gunung tergolong rawan akan gempa.
Atas pertimbangan inilah pemerintah Jepang bersikap cukup bijak dengan
memberikan keringanan kepada perusahaan-perusahaan di Kanto yang memang
terlilit hutang. Melalui Bank Jepang, perusahaan-perusahaan ini diperbolehkan
untuk membayar tagihannya hanya sebagian untuk menghindari kebangkrutan.
Namun, masalah muncul ketika bantuin ini malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab. Karena merasa bank Jepang akan menanggung
hutangnya, tidak sedikit dari perusahaan-perusahaan ini yang kemudian
memperbesar jumlah hutang mereka. Akibatnya sudah jelas, Bank Jepang terancam
mengalami kerugian yang besar karena harus menanggung utang-utang yang
sebenarnya tidak ada hubungannya dengan bencana gempa yang terjadi.
Sama seperti kasus perbankan lain di tahun 1927 (Kikan Ginko), bantuan
keringanan yang diselewengkan ini pun semakin memperparah kondisi Jepang yang
saat itu baru memasuk zaman Showa, demi memulihkan perekonomian Jepang,
Menteri Keuangan saat itu tidak segan mengeluarkan kebijakan penutupan
beberapa bank dan perusahaan yang dianggap bermasalah dan tidak transparan.
Pada kenyataannya depresi yang terjadi di Jepang yang disebut “Showa Depression”
tidak hanya memunculkan permasalahan ekonomi saja, berbagai permasalahan
sosial juga muncul dan secara tidak langsung semakin memperburuk keadaan.
“Japan was deep in the world depression. Population had been increasing
at nearly one million annually, overtaxing the country’s food supply, the
national economy was not absorbing the more than 400.000 new workers
annually who were seeking employment.” (Clyde & Beers,1966:329)
Terjemahan :
“Jepang ikut tenggelam dalam depresi ekonomi dunia, populasi yang terus
meningkat, keperluan bahan makanan yang berlebihan, serta ekonomi
nasional yang tidak bisa mempekerjakan lebih dari 400.000 orang yang
ingin mencari pekerjaan”

Saat itu jumlah penduduk Jepang memang sudah sangat banyak.seperti yang sudah
diketahui secara umum, dengan bertambahnya penduduk, jumlah angkatan kerja
dan lapangan pekerjaan yang tersedia menjadi tidak berimbang. Otomatis angkatan
kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan akan menganggur. Padahal jumlah
pengangguran di Jepang pasca-Perang Dunia I belum berkurang, Dengan jumlah
pengangguran yang semakin bertambah, beban pemerintah Jepang jelas semakin
bertambah, jika kondisi seperti ini berlanjut, dampak yang paling ditakutkan oleh
pemerintah Jepang ialah bencana kelaparan.
Jumlah penduduk sejak restorasi Meiji hingga tahun 1930 memang
membengkak hingga 30 juta jiwa, dengan jumlah penduduk sebesar ini, wajar jika
pemerintah Jepang mulai kesulitan memenuhi kebutuhan pangan setiap tahun.
Walaupun pemerintah Jepang sudah mengoptimalkan petani-petani mereka untuk
meningkatkan jumlah hasil panen per tahunnya, usaha ini pada akhirnya sia-sia.
Bahkan, dari tahun 1910 sampai menjelang 1920 saja, kuota beras impor yang
didatangkan ke Jepang meningkat tiga kali lipat karena populasi penduduk yang
semakin meningkat.

2.5.2 Faktor Politik


Kebijakan Menteri Keuangan Jepang, secara tidak langsung semakin
memperburuk kondisi perekonomian Jepang. Melihat kondisi seperti ini, rakyat
Jepang merasa kecewa dan mulai menyalahkan pemerintah karena perekonomian
yang tidak kunjung membaik. Ironisnya, momen ini kemudian dimanfaatkan oleh
golongan militer yang memang menginginkan kekuasaan. Walaupun saat itu Jepang
menganut sistem monarki parlementer, partai mana pun yang berkuasa tetap tidak
bisa menandingi dominasi golongan militer dalam pemerintahan.
Dari sudut pandang golongan militer, pemerintahan sipil yang saat itu
dipimpin oleh Hamaguchi Osachi dinilai sangat pasif. Hamaguchi dianggap menyia-
nyia kan momen yang didapat Jepang dalam Perang Dunia I. Selain berhasil
memonopoli pasar dunia, Perang Dunia I juga seolah menjadi pembuktian seberapa
besar pengaruh Jepang di tingkat internasional. Bagi golongan militer, kemenangan
Jepang dalam peperangan itu sudah cukup membuat status negara Jepang sebagai
negara paling berpengaruh di Kawasan Asia Timur. Hal yang sebenarnya mereka
permasalahkan adalah bagaimana pemerintah sipil dapat mengoptimalkan momen
tersebut untuk kepentingan politik luar negeri Jepang.
Pada Kutipan dari Clyde dan Beers yang mnegatakan bahwa ada tiga poin
menurut golongan militer yang akan sangat menentukan politik luar negeri jepang
di kemudian hari. Pertama adalah menentukan armada laut siapakah yang paling
kuat di samudera pasifik. Poin ini sebenarnya merujuk pada persaingan armada laut
Jepang dengan Amerika Serikat dan Inggris yang disebut-sebut memiliki kekuatan
yang seimbang. Sebagai negara yang memiliki jajahan di Kawasan Asia Tenggara,
kekuatan armada laut milik Amerika Serikat maupun inggris tidak dapat diremehkan.
Kedua adalah bagaimana mempertahankan kepentingan Jepang di Siberia
mengingat Rusia saat itu sudah dipimpin oleh golongan Bolshevik. Jepang sempat
mempertimbangkan Siberia sebagai buffer state untuk membatasi mereka dari
komunisme yang dianut oleh golongan Bolshevik. Belum lagi jika melihat kekayaan
sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah ini dan letaknya yang sangat strategis
dengan pelabuhan Arkhangelsk dan Vladivostok.
Ketiga adalah mewaspadai nasionalisme yang terjadi di Cina. Bagi Jepang
ini sangat penting, mengingat nasionalisme Cina dapat mengancam kepentingan
Jepang di Manchuria. Terutama jika mengingat Manchuria yang sejak perang Dunia
I berakhir merupakan pasar utama dari produk-produk Jepang. (Clyde &
Beers,1966:399)
Pada perkembangannya, keraguan golongan militer terhadap pemerintah
sipil semakin menjadi setelah dua dari tiga poin tadi seolah diabaikan. Saat itu,
Jepang mau tidak mau harus tunduk pada perjanjian Washington yang
ditandatangani pada tahun 1922, dalam perjanjian ini terdapat kesepakatan
pembatasan kapasitas muatan kapal perang. Bagi golongan militer yang
membanggakan armada laut mereka. Tentu pembatasan kapasitas muatan kapal
perang ini semakin memperburuk citra pemerintah sipil. Mereka heran mengapa
pemerintah Jepang mau menerima perjanjian ini begitu saja, golongan militer
berfikir bahwa perjanjian tersebut seolah-olah dibuat untuk mengekang Jepang
terlebih dalam perjanjian tersebut jumlah kapal perang yang berhak dimiliki
Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang adalah 5: 5: 3, yaitu setiap 5 kapal perang yang
dimiliki Amerika dan Inggris, Jepang hanya berhak mempunyai 3 kapal perang.
Dari sudut pandang Jepang, negara-negara Barat tampaknya bertujuan untuk
menghalang-halangi kepentingan mereka. Hal ini sangat terlihat saat Jepang maupun
negara-negara Barat yang sama-sama memiliki kepentingan di Cina, Jepang melihat
seolah-olah eksploitasi Cina merupakan hak khusus yang hanya dimiliki oleh bangsa
Barat. Sebagai bangsa Asia, Jepang dianggap tidak berhak dalam hal seperti ini.
Bahkan, jika dilihat kembali, bukan kali ini saja Jepang merasa dirugikan oleh
negara-negara Barat, sebelumnya kemenangan mereka dalam Perang Sino-Jepang I
juga diintervensi oleh negara-negara Barat hingga upaya merebut semenanjung
Liaotung gagal.
Permasalahan demi permasalahan terus dialami Jepang, sampai akhirnya
hubungan Jepang dengan Amerika dan negara-negara Barat lainnya semakin
memburuk dan membuat Amerika dan negara-negara Barat menjauhkan diri dari
produk-produk Jepang. Mereka memutuskan untuk langsung menginvestasikan
uangnya ke Cina. Kesempatan langka ini tidak disia-siakan begitu saja oleh Cina,
produk-produk Jepang yang memasuki negara mereka(Cina) diboikot. Tidak heran
jika kasus ini semakin memicu kebencian Jepang terhadap Cina. Belum lagi jika
melihat salah satu dari tiga poin yang dikemukakan oleh Clyde dan Beers adalah
bagaimana mempertahankan kepentingan Jepang di Manchuria.
Sebagai catatan, sejak tahun 1905 Jepang memang sudah memiliki pengaruh
di wilayah Manchuria. Berdasarkan perjanjian Portsmouth yang mengakhiri perang
Rusia-Jepang, pelabuhan Port Arthur yang terletak di semenanjung Liaotung resmi
menjadi milik Jepang. Semenanjung ini sudah diincar Jepang sejak memenangkan
Perang Sino-Jepang I pada tahun 1895. Hanya saja intervensi Rusia, Jerman, dan
Perancis saat itu berhasil memaksa Jepang untuk menyerahkan semenanjung
Liaotung beserta denda 30 milyar. Tidak heran demi merebut kembali semenanjung
ini, Jepang memulainya dengan balas dendam terhadap Rusia pada peperangan yang
terjadi pada 1904 sampai 1905. Selain itu, penjanjian Portsmouth juga
“memperbolehkan” Jepang untuk mengambil alih jalur kereta yang menghubungkan
pelabuhan ini dengan kota Changchun di provinsi Jilin. Bagi Jepang, lokasi
Changchun ini sangat strategis mengingat kota ini terletak di dekat perbatasan Korea
yang pada tahun 1910 sudah mereka duduki.
Walaupun sudah mendapatkan akses ke kota Changchun, Jepang masih
merasa belum cukup. Mereka kemudian mendirikan perusahaan Jalur Kereta Api
Manchuria Selatan untuk membuat jalur kereta baru yang menghubungkan port
Arthur dengan kota Harbin di provinsi Heilongjiang. Kota ini secara geografis
terletak di dekat terletak di dekat perbatasan Uni Soviet. Maka, jika dilihat dari peta
jalur yang dilewati adalah Port Arthur – Changchun (Jilin) dan Port Arthur – Harbin
(Heilongjiang). Melalui kedua jalur inilah bahan mentah untuk kebutuhan industri
Jepang diangkut, bahkan melalui dua jalur ini juga pasukan Jepang dikirim untuk
memasuki wilayah Manchuria.
golongan militer Jepang terus melakukan berbagai cara untuk mengambil
alih pemerintahan, salah satu tokoh dari golongan militer Hashimoto Kingoro
mendirikan sebuah organisasi ultranasionalis rahasia yang bernama “sakurakai”,
Sakurakai bertujuan untuk membuat pemberontakan militer dan “restorasi Showa”
yang bermaksud mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar Hirohito dan
membebaskan kaisar dari semua afiliasi partai politik, Sakurakai berpendapat bahwa
partai-partai politik yang didirikan selama Zaman Taisho harus dihapus karena
membuat ekonomi Jepang menjadi tidak stabil bahkan cenderung memburuk.
Walaupun statusnya rahasia, bukan berarti orang-orang yang terlibat dalam
Sakurakai bersikap diam atau malah bersembunyi di balik layar, Justru mereka
semakin berani tampil di muka umum dengan pendapat-pendapatnya mengenai
ekspansi militer. Tidak jarang pendapat seperti ini lebih menyerupai propaganda
demi melegitimasi ekspansi militer mereka nanti, Hashimoto mengemukakan berapa
pentingnya sebuah ekspansi militer bagi Jepang.
Hashimoto seolah ingin menegaskan jika hanya ekspansi militer-lah satu-
satunya jalan bagi Jepang untuk keluar dari permasalahan penduduk yang
mengancam masa depan Jepang, Menurutnya :
“hanya ada tiga cara meninggalkan Jepang, untuk lari dari tekanan
surplus populasi, yakni emigrasi, terjun ke dalam pasar dunia, dan
ekpansi teritori. Pintu pertama emigrasi, dihalangi oleh kebijakan
imigrasi anti-Jepang dari negara lain, Pintu kedua, tertutup oleh
rintangan, tarif dan pencabutan perjanjian perniagaan, apa yang
dilakukan Jepang ketika dua pintu dari tiga pintu telah tertutup
baginya?” (Chang, 2009:32)

Dalam pendapatnya ini, Hashimoto memang menyebutkan dua pilihan lain yang
dapat dijadikan solusi dalam mengatasi permasalahan penduduk di Jepang. Hanya
saja, Hashimoto menganggap keduanya sudah tidak relevan dengan kondisi luar
negeri Jepang saat itu. Ironisnya, baik Hashimoto maupun tokoh Sakurakai lainnya
tidak menyadari jika kondisi ini secara langsung diakibatkan oleh ulah dan obsesi
mereka sendiri. Dengan kata lain, Jika Jepang tidak terobsesi dengan rencara
imperialisme mereka, tentu negara-negara Barat juga tidak akan merasa terancam.
Belum lagi jika melihat kekuatan militer dan perkembangan industrinya yang begitu
pesat, sangat wajar jika negara-negara Barat merasa terancam dan mulai
menjauhkan diri dari Jepang (Chang, 2009:46)
Sangat jelas jika tujuan sebenarnya dari pernyataan Hashimoto itu untuk
menggiring opini masyarakat agar meyakini bahwa ekspansi militer merupakan
solusi dari semua permasalahan yang sedang di hadapi Jepang. Yaitu permasalahan
keterbatasan pangan dan ledakan penduduk yang muncul pasca-Perang Dunia I.
Memang, dengan dikuasainya Manchuria, luas Jepang akan bertambah berkali lipat,
Jepang tidak perlu takut dengan kepadatan penduduk yang terjadi di negaranya
karena sebagian penduduk dapat di pindahkan. Belum lagi jika melihat potensi alam
yang dimiliki oleh Manchuria. Sebagai negara dengan sumber daya alam yang
miskin, wajar jika Jepang terobsesi dengan wilayah ini.
“the provinces Fengtien, Kirin, Heilongjiang and Outer and Inner
Mongolia. It extends an area of 74.000 square miles, having a
population of 28.000.000 people. The territory is more than three
time as large as our own empire not counting Korea and Formosa,
but it is inhabited by only one-third as many people. The
attractiveness of the land does not arise from the scarcity of
population alone; its wealth of forestry, minerals, and agricultural
product is also unrivaled elsewhere in the world” (Chang, 2009 :8)

Terjemahan :

“Provinsi Fengtien, Kirin, Heilongjiang, Mongolia Dalam dan


Mongolia Luar. Membuat perluasan area sebesar 119.091 kilometer
persegi, dan memiliki populasi 28.000.000 orang, teritori ini lebih
besar tiga kali lipat dari kerajaan kita yang tidak termasuk Korea dan
Formosa, tetapi hanya dihuni oleh sepertiga orang saja, daya
tariknya wilayahnya bukan hanya tentang populasi semata, namun
juga kemakmuran hutan, mineral dan produk pertaniannya yang
tidak bisa ditandingi oleh siapapun di dunia”

Selain penduduknya yang cukup jarang jika dibandingkan dengan luas


wilayahnya, penguasan terhadap Manchuria juga dinilai dapat menjadi solusi
Jepang untuk masalah pengangguran di Jepang. Sangat mungkin penduduk Jepang
yang dipindahkan ke Manchuria dapat mengoptimalkan potensi sumber daya alam
di wilayah ini. Selama ini potensi alam yang dimiliki Manchuria seperti batu bara,
magnesium, dan alumunium memang sangat dibuthkan untuk menunjang
kebutuhan industrial Jepang.
Selain memprovokasi masyarakat untuk mendapatkan dukungan rakyat,
golongan militer yang tergabung dalam Sakurakai juga melakukan kudeta terhadap
petinggi pemerintahan sipil seperti pada insiden yang dikenal sebagai “insiden
Maret”, dalam insiden ini Sakukai mencoba membunuh Perdana Menteri Osachi
Hamaguchi namun rencana pemberontakan tersebut gagal terlaksana dan pada
“insiden Oktober” sekali lagi Sakurakai juga mencoba melakukan kudeta dan
pemberontakan namun lagi-lagi gagal, pasca-kegagalannya dalam insiden ini
Sakurakai pun resmi dibubarkan.
Kegagalan Sakurakai ini pun di pengaruhi oleh pihak lain yang
berkeinginan juga untuk menggulingkan pemerintahan sipil dan mempercepat
dimulainya ekpansi militer. Pihak ini adalah golongan prajurit muda dari angkatan
laut. Sama seperti golongan muda yang biasanya jadi penggerak dalam suatu
revolusi, pihak ini juga sudah jenuh dengan kondisi pemerintahan Jepang saat itu,
upaya-upaya yang dilakukan para prajurit ini pun dinilai lebih efektif dibandingkan
Sakurakai.
“Inouye Jonnosuke, former Finance Minister and manager of the
Minsetto and Dan Takuma, Managing Director of the Mitsui, were
murdered on February 9 and March respectively. On May 15, the
Prime Minister, Inukai Tsuyoshi, was assassined by a small bond of
naval officers and farmers who believed Japan could not be purified
until the old politicans and parties are destroyed” (Clyde &
Beers,1966:330)

Terjemahan :
“Mantan Menteri Ekonomi dan manager dari Minsetto, Inoue
Jonnosuke dan Direktur Mitsui, Dan Takuma masing-masing
dibunuh pada 9 Februari dan Maret. Pada 15 Mei, Perdana Menteri,
Inukai Tsuyoshi, dibunuh oleh ikatan kecil angkatan laut dan petani
yang percaya bahwa Jepang tidak dapat disterilkan sampai pada
politisi tua dan partainya dihancurkan”
Berbagai upaya pembunuhan membuktikan bahwa pengaruh fasisme di
Jepang sudah semakin membesar. Terutama jika melihat kasus Inukai Tsuyoshi
yang dibunuh karena kedekatannya dengan Sun Yat-sen(tokoh nasionalisme Cina).
Seolah-olah pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh sikap Inukai yang memang
menolak keras wacana ekspansi militer ke Cina. Posisi Jepang sebagai negara fasis
mungkin sudah terlihat sejak perjanjian Anti-Comintern yang ditandatangani pada
tahun 1936. Namun peresmian Taisei Yokusankai -lah yang memperjelas status
Jepang menjadi negara fasis.

2.5.3 Faktor Sosial -Budaya


Membicarakan latar belakang terciptanya Idelogi Hakkou Ichiu dan
Imperialisme Jepang, faktor sosial budaya juga memberikan pengaruh yang cukup
penting, karena pemerintah fasis mulai menyadari bahwa mereka memerlukan
dukungan dari rakyat Jepang untuk melegitimasi ekspansi militer yang sudah di
wacanakan, salah satu cara untuk mendapatkan dukungan adalah menggunakan
indoktrinasi. Target dari indoktrinasi ini adalah anak-anak Jepang yang masih
berusia sekolah karena cenderung mudah dipengaruhi.
Proses indoktinasi ini sebenarnya tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan
dukungan dari bangsa Jepang saja. Pemerintah fasis menganggap muatan fasisme
yang mendukung ekspansi militer mereka juga perlu disampaikan. Anak-anak tidak
hanya diajarkan pengeatahuan dasar saja, namun dituntut untuk disiplin dan
memiliki nilai-nilai Bushido dan semangat kekaisaran. Untuk mendukung ide
tersebut maka buku-buku pelajaran yang berkaitan dengan ekspansi militer Jepang
pun dicetak.(Chang,2009 : 37)
Selain buku-buku pelajaran, guru-guru di Jepang juga memiliki peran
penting dalam proses indoktrinasi inii. Dibandingkan sebagai seorang pendidik,
profesi guru saat itu lebih mirip pejabat militer di lingkungan sekolah. Bahkan pada
perkembangannya, upaya militerisasi dalam sistem pendididkan tidak hanya
sebagai “alat” dari proses indoktrinasi saja. Ketika memasuki peperangan, tidak
jarang Jepang memanfaatkan para guru dan murid-muridnya. Tidak sedikit di antara
mereka yang kemudian didaftarkan sebagai prajurit.
Harus diakui jika fasisme yang dianut oleh Jepang cukup berbeda jika
dibandingkan dengan negara fasis lainnya. Seolah-olah, Jepang terpaksa menerima
fasisme karena merasa tidak ada pilihan lain. Pada kenyataannya, tradisi feodalisme
dianut Jepang yang mengakui superioritas suatu golongan, depesi ekonomi, dan
propaganda golongan militer-lah yang secara tidak langsung memaksa bangsa
Jepang menerima sistem ini.
Faktor- faktor diatas melatarbelakangi Bangsa Jepang untuk melakukan
ekpansi militer yang mereka rencanakan, bangsa Jepang ingin memberbaiki
bangsanya yang sedang dalam keterpurukan saat itu dan juga ingin membuat sebuah
tatanan baru sesuai dengan Ideologi Hakko Ichiu. Dimulai dari ekspansi militer ke
Manchuria, meletusnya Perang Sino-Jepang II dan terlibat di perang dunia II di
pasifik, Propaganda-propaganda terus dilakukan Jepang agar mendapat dukungan
dari bangsa-bangsa Asia untuk mengusir negara Barat yang menurut Jepang terus
“menggerogoti” kekayaan di Asia, Penerapan konsep ideologi Hakkou Ichiu di
lakukan Jepang di negara-negara yang didudukinya demi terciptanya suatu konsep
komunitas global yaitu Kawasan Persemakmuran Asia Timur Raya (大東亜共栄圏

Dai Toua Kyoueiken),untuk penerapan Hakkou Ichiu demi terwujudnya Kawasan


Persemakmuran Asia Timur Raya dan dampak dari penerapan Hakkou Ichiu
tersebut akan dijelaskan di bab III

Anda mungkin juga menyukai