Transfusi Darah
Keputusan untuk memulai transfusi darah didasarkan pada respons pasien, seperti yang
dideskripsikan pada bagian sebelumnya. Pasien yang merespon secara transien atau
tidak merespon membutuhkan pRBC, plasma, dan platelet pada bagian awal
resusitasinya.
Tujuan utama dari transfusi darah adalah untuk mengembalikan kapasitas membawa
oksigen dari volume intravaskuler. pRBC yang dilakukan crossmatch penuh lebih
dipilih untuk tujuan ini, namun proses crossmatch penuh membutuhkan sekitar 1 jam
pada sebagian besar bank darah. untuk pasien-pasien yang menjadi stabil dengan cepat,
pRBC yang telah dilakukan crossmatch harus diperoleh dan dipersiapkan untuk
transfusi ketika timbul indikasi.
Jika darah yang dilakukan crossmatch belum tersedia, pRBC tipe 0 diindikasikan untuk
pasien-pasien dengan perdarahan yang parah. plasma tipe AB diberikan ketika plasma
yang belum dilakukan crossmatch dibutuhkan. Untuk mencegah sensitisasi dan
komplikasi di masa depan, pRBC Rh (-) lebih dipilih untuk wanita berusia subur.
Sesegera mungkin setelah tersedia, penggunaan pRBC tipe spesifik yang belum
dilakukan crossmatch, lebih dipilih dibandingkan pRBC tipe 0. Sebuah pengecualian
pada kasus ini adalah ketika terdapat beberapa korban belum teridentifikasi yang
dirawat berbarengan, dan terdapatnya peningkatan risko ketidaksengajaan dalam
pemberian unit darah pada pasien yang salah.
Pencegahan Hipotermia
Hipotermia harus dicegah dan diterapi jika pasien mengalami hipotermia pada saat
sampai di rumah sakit. Penggunaan blood warmer di IGD menjadi sangat kritis, bahkan
jika sangat merepotkan. Cara yang paling efisien untuk mencegah hipotermia pada
pasien apapun yang menerima resusitasi kristaloid dan darah yang masif adalah untuk
menghangatkan cairan hingga 39°C sebelum diinfuskan. Hal ini dapat dicapai dengan
cara menyimpan kristaloid pada alat penghangat atau menginfuskan cairan melalui
penghangat cairan intravena. Produk darah tidak dapat disimpan dalam penghangat,
namun dapat dihangatkan dengan melewatkan melalui penghangat cairan intravena.
Autotransfusi
Adaptasi dari alat pengumpul thorakostomi dengan tube standar sudah tersedia secara
komersil, memungkinkan dilakukannya pengumpulan darah secara steril, memiliki
antikoagulasi (biasanya dengan cairan natrium sitrat dibandingkan dengan heparin), dan
dapat langsung ditransfusikannya darah yang dikeluarkan dari thorakostomi
hemothoraks. Pertimbangkan untk pengumpulan darah yang dikeluarkan dari
thorakostomi untuk autotransfusi hanya pada kasus pasien dengan hemothoraks masif.
Darah ini biasanya hanya mengandung kadar faktor koagulasi yang sangat sedikit,
sehingga plasma dan platelet mungkin masih diperlukan.
Transfusi Masif
Sebagian kecil pasien dengan syok akan membutuhkan transfuse masif, seringkali
didefinisikan sebagai > 10 unit pRBC didalam 24 jam pertama sejak masuk rumah sakit
atau lebih dari 4 unit dalam 1 jam. Pemberian pRBC, plasma, dan platelet sejak dini
dalam rasio yang seimbang untuk meminimalisir pemberian kristaloid yang berlebihan
dapat meningkatkan tingkat keselamatan pasien. Pendekatan ini telah dinamakan
sebagai resusitasi “balanced”, “hemostatic”, atau “damage-control”. Usaha yang
simultan untuk secara cepat mengkontrol perdarahan dan mengurangi efek-efek negatif
dari koagulopati, hipotermia, dan asidosis pada pasien-pasien ini menjadi sangatlah
penitng. Dalam sebuah MTP harus dilakukan pengadaan seluruh komponen darah
dengan cepat untuk memberikan resusitasi yang optimal untuk pasien-pasien ini, karena
dibutuhkan sumber daya yang ekstensif untuk mensuplai darah dalam jumlah besar.
Pemberian produk darah yang sesuai juga telah ditunjukkan dapat meningkatkan hasil
akhir pada populasi pasien seperti ini. identifikasi dari sebagian kecil pasien yang akan
memperoleh manfaat dari tindakan ini dapat menjadi sebuah tantangan, dan oleh karena
itu beberapa sistem scoring telah dibentuk untuk membantu klinisi dalam membuat
keputusan untuk memulai MTP. Tidak ada sistem scoring yang ditunjukkan untuk
sangatlah akurat.
Koagulopati
Pasien-pasien dengan lesi otak mayor terutama lebih rentan terhadap kelainan
koagulasi. Parameter koagulasi perlu dimonitor secara ketat pada pasien-pasien ini;
pemberian awal dari plasma atau faktor-faktor pembekuan dan atau atau platelet akan
meningkatkan angka keselamatan jika diketahui pasien sedang mengkonsumsi
antikoagulan atau agen antiplatelet.
Pemberian Kalsium
Sebagian besar pasien yang menerima transfusi darah tidak membutuhkan suplementasi
kalsium. Ketika dibutuhkan, pemberian kalsium harus didasarkan pada pengukuran
kalsium terionisasi. Pemberian suplementasi kalsium yang berlebihan dapat berbahaya.
Kekurangan Pencegahan
Peroleh riwayat pengobatan sesegera mungkin
Perdarahan tidak terkontrol dapat
terjadi pada pasien-pasien yang Berikan agen reversal sesegera mungkin
mengkonsumsi obat antiplatelet Ketika tersedia, lakukan monitor koagulasi
atau antikoagulan dengan thromboelastography (TEG) atau
rotational thromboelastometry (ROTEM)
Pertimbangkan pemberian transfusi platelet,
bahkan dengan jumlah platelet yang normal
Komplikasi thromboemboli dapat Pertimbangkan risiko perdarahan dengan risiko
terjadi dari agen-agen yang dari komplikasi thromboemboli
diberikan untuk me-reverse agen Ketika tersedia, lakukan monitor koagulasi
antikoagulan dan antiplatelet dengan thromboelastography (TEG) atau
rotational thromboelastometry (ROTEM)
Perhatian Khusus
Perhatian khusus dalam diagnosa dan terapi syok termasuk antara lain kesalahan dalam
penggunaan tekanan darah sebagai pengukuran langsung dari cardiac output. Respons
dari pasien-pasien lansia, atlit, ibu hamil, pasien yang sedang dalam pengobatan
tertentu, hipotermis, dan pasien dengan alat pacu jantung atau ICD (implantable
cardioverter-defibrillator) mungkin akan berbeda dari yang diperkirakan sebelumnya.
Usia Lanjut
Atlit
Rutinitas latihan atlit yang berat dapat merubah dinamika kardiovaskular pada
kelompok pasien ini. volume darah dapat meningkat sebesar 15 – 20 %, cardiac output
dapat meningkat hingga 6 kali, stroke volue dapat meningkat sebesar 50 %, dan pulsasi
saat istirahat dapat mencapai rata-rata 50 kali per menit. Tubuh atlit yang sangatlah
terlatih memiliki kemampuan yang sangat baik untuk mengkompensasi hilangnya darah,
dan mereka mungkin tidak akan memunculkan manifestasi respons-respons yang
biasanya ditemui pada hipovolemia, bahkan dengan kehilangan darah yang signifikan.
Kehamilan
Kondisi hipervolemia yang normal terjadi pada kehamilan berarti akan dibutuhkan
kehilangan darah dalam jumlah yang lebih besar untuk memunculkan manifestasi
kelainan perfusi pada ibu, yang mungkin juga dapat terlihat pada penurunan perfusi
fetus.
Pengobatan
Hipotermia
Pasien yang menderita dari hipotermia dan syok hemoragik tidak akan berespons
dengan baik terhadap pemberian produk darah dan resusitasi cairan. Pada kondisi
hipotermia, dapat terjadi koagulopati atau koagulopati dapat semakin memburuk. Suhu
tubuh merupakan tanda vital yang penting untuk dimonitor dalam fase pemeriksaan
awal. Suhu esophagus atau kandung kemih merupakan pengukuran klinis suhu inti
tubuh yang akurat. Korban trauma yang berada dibawah pengaruh alkohol dan terekspos
dalam temperatur yang dingin cenderung lebih mudah untuk mengalami hipotermia
sebagai akibat dari vasodilatasi. Penghangatan cepat pada lingkungan dengan alat
penghangat eksternal yang tepat, lampu penghangat, topi termal, gas pernafasan yang
dihangatkan, dan cairan intravena serta darah yang dihangatkan, akan pada umumnya
membantu memperbaiki hipotensi dan hipotermia derajat ringan hingga sedang. Teknik-
teknik penghangatan kembali suhu inti tubuh termasuk irigasi dari kavum peritoneal
atau toraks dengan cairan kristaloid yang dihangatkan hingga 39°C; untuk hipotermia
yang parah, diindikasikan untuk dilakukan extracorporeal bypass. Hipotermia paling
baik diterapi dengan pencegahan.
Pasien-pasien dengan alat pacu jantung atau ICD dengan pacu jantung akan tidak dapat
merespon terhadap hilangnya darah seperti yang diperkirakan sebelumnya, karena
cardiac output berhubungan langsung dengan laju jantung. Laju jantung mungkin
menetap sesuai apa yang diatur oleh alat tersebut, tidak mempertimbangkan status
volume pada pasien ini. Pada sebagian besar pasien-pasien dengan penyakit pada
konduksi jantung yang memiliki alat-alat ini, diperlukan tambahan pemantauan untuk
mengarahkan terapi cairan. Banyak jenis dari alat-alat seperti ini dapat diatur untuk
meningkatkan laju jantung jika diindikasikan secara klinis.
Pemberian volume yang tidak adekuat merupakan komplikasi syok hemoragik yang
paling umum. Pasien pada kondisi syok membutuhkan terapi sesegera mungkin, yang
seusia, dan agresif, yang dapat mengembalikan perfusi organ.
Monitor
Tujuan akhir dari resusitasi adalah untuk mengembalikan perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Keadaan ini diidentifikasi dengan cara keluarnya urine dengan jumlah yang
adekuat, perbaikan fungsi SSP, kembalinya warna kulit, dan kembalinya nadi dan
tekanan darah ke arah normal. Pemantauan respons terhadap resusitasi ini paling baik
dicapai untuk beberapa pasien dalam kondisi lingkungan yang dimana digunakan teknik
dan metode yang terbaik. Untuk pasien-pasien lansia dan penyebab syok bukan
hemoragik, pertimbangkan untuk transfer secepat mungkin kedalam ruang intensif atau
pusat trauma.
Ketika pasien gagal merespon terhadap terapi, penyebab-penyebab hal ini dapat
termasuk dari satu atau lebih kondisi-kondisi berikut : perdarahan yang tidak
terdiagnosa, cardiac tamponade, tension pneumothorax, masalah ventilasi, kehilangan
cairan yang tidak terdiagnosa, distensi lambung akut, infark otot jantung, asidosis
diabetic, hipoadrenalisme, atau syok neurogenik. Evaluasi ulangan secara konstan,
terutama ketika kondisi pasien melenceng dari pola-pola yang diduga sebelumnya,
adalah kunci untuk mengenali dan terapi masalah-masalah ini sesegera mungkin.
Kerjasama
Satu dari kondisi situasi yang paling menantang yang dapat dihadapi sebuah tim trauma
adalah menghadapi korban rauma yang datang dengan syok yang parah. Ketua tim
harus mengarahkan anggota tim secara tepat dan dengan tenang, menggunakan prinsip-
prinsip ATLS.
Ketua tim harus meyakinkan bahwa area-area dengan perdarahan eksternal dapat
dikontrol dan ditentukan kapan untuk melakukan pemeriksaan penunjang seperti
roentgen thorax, pelvis, FAST, dan / atau Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL).
Keputusan mengenai operasi atau angioembolisasi harus dibuat sesegera mungkin dan
melibatkan konsultan yang bersangkutan. Ketika keperluan tindakan definitif tidak
tersedia, tim trauma harus mengatur transfer yang cepat dan aman kepada lokasi yang
dapat memberikan terapi definitif.
Kesimpulan
1. Syok merupakan kondisi tidak normal dari sistem sirkulasi yang mengakibatkan
tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
2. Perdarahan merupakan penyebab syok pada sebagian besar pasien-pasien trauma.
Terapi untuk pasien-pasien ini membutuhkan kontrol perdarahan yang cepat dan
penggantian cairan atau darah. hentikan perdarahan.
3. Diagnosis dan terapi syok harus dikerjakan hampir secara bersamaan.
4. Pemeriksaan awal dari pasien dalam kondisi syok membutuhkan pemeriksaan fisik
yang teliti, mencari tanda-tanda dari tension pneumothorax, cardiac tamponade, dan
penyebab syok lainnya.
5. Manajemen syok hemoragik termasuk hemostasis cepat dan resusitasi seimbang
dengan kristaloid dan darah.
6. Derajat perdarahan dan respons terhadap intervensi menjadi sebuah panduan untuk
resusitasi.
7. Pertimbangan khusus pada diagnosis dan terapi syok termasuk perbedaan pada
respons terhadap syok pada kondisi usia yang ekstrim (terlalu muda dan terlalu tua),
kondisi atletisitas tubuh, kehamilan, hipotermia, dan adanya beberapa penggunaan
obat-obatan dan alat pacu jantung / ICD. Berhati-hatilah agar jangan sampai
menganggap bahwa tekanan darah sama dengan cardiac output.