Anda di halaman 1dari 2

Jembatan pamona adalah jembatan yang menghubungkan kampung di sisi timur

dengan kampong disisi barat sungai Poso. pertama kali dibangun antara tahun
1920an – 1930an. Pembangunannya memeras keringat leluhur orang Pamona yang
dengan semangat dan tulus mengangkut tiang-tiang kayu dan bambu dari kampung
masing-masing dengan jumlah sesuai kesepakatan. Banyak yang jatuh sakit
ditengah proses pembangunannya. Bayangkan kayu dari desa Taripa diangkut
menggunakan gerobak atau Roda, alat angkut yang ditarik menggunakan sapi.
Begitu tingginya kualitas jembatan ini sehingga renovasinya baru dilakukan sekitar
tahun 1966 sekitar 36 tahun kemudian. Bisa dibandingkan dengan kualitas
bangunan-bangunan pemerintah saat ini yang umurnya semakin pendek plus biaya
perawatan rutin setiap tahun. Dalam proses peremajaan ini setiap desa
menanggung kayu setara 25 meter ukuran jembatan. Bukan hanya kayu, bambu
dan material lain, setiap kampung di pinggir danau Poso juga sekaligus yang
mengerjakannya. Renovasi berikutnya dilakukan tahun 1979, ini pertamakali
negara lewat pemerintah provinsi Sulawesi Tengah membiayainya dengan
memberi anggaran kepada CV Tamungku Tuwu Makmur sebuah perusahaan
swasta untuk mengerjakannya dengan memakai kayu jenis Kulahi yang punya
daya tahan hingga 300 tahun. Itulah mengapa jembatan Pamona masih kokoh
hingga awal Oktober 2019 ini.

Sayangnya, pemerintah kabupaten Poso akan segera membongkar jembatan tua


Pamona, salah satu penanda di Tentena yang ikonik dan punya sejarah panjang.
Pembongkaran jembatan ini dibutuhkan untuk memperlancar keluar masuknya
kapal pengerukan milik PT Poso Energy . Kapal pengerukan milik PT Poso Energy
akan melakukan pengerukan sepanjang 12,8 KM, selebar 40 meter dan kedalaman
antara 2 – 4 meter. Pembongkaran jembatan ini kata Camat akan dilakukan
masyarakat dengan upah. Nantinya setiap desa diberikan jatah berapa meter untuk
dibongkar lalu disesuaikan dengan upah. Kayu-kayu penyangga jembatan Pamona
masih kokoh sampai detik ini. Yang sering diganti adalah kayu lantai dan bagian
atap. Lalu mengapa mesti dibongkar? Untuk memuluskan jalan bagi kapal keruk
milik PT Poso Energi yang akan mengeruk sungai Poso sepanjang 12,8 kilometer,
selebar 40 meter dan sedalam 4 sampai 6 meter.
Pemerintah berencana mengkompensasi jembatan bersejarah itu dengan sebuah
bangunan baru yang disebut lebih modern, lebih tinggi dan lebih luas, tapi lagi-lagi
melupakan sejarah Mesale (gotong royong) orang Pamona yang masih bisa
diperlihatkan kepada generasi berikutnya. “Jembatan Pamona itu bukan sekedar
bangunan kayu yang menjadi tempat penyeberangan, namun sudah menjadi satu-
satunya peninggalan budaya Mesale orang-orang disekeliling danau yang masih
tersisa”demikian Yustinus Hokey menyebut arti penting yondo mPamona itu
dalam orasi kebudayaannya di taman kota Tentena 24 Maret 2018.

Jembatan Pamona, hingga saat ini masih digunakan warga, baik untuk
bernostalgia, maupun untuk berjalan kaki. Area sekitar Jembatan Pamona juga
adalah areal dimana para nelayan Monyilo ( menangkap ikan dengan tombak dan
lampu pada malam hari). Sementara bagi para wisatawan dalam negeri dan
mancanegara, Jembatan Pamona memiliki kesan yang nyaman dan ikonik sehingga
sangat sering menjadi obyek foto. Banyak yang bersuara kritis atas rencana
pembongkaran Yondo mPamona itu. Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP) salah
satunya. Kelompok yang sejak tahun 2017 menyuarakan sikap penolakannya atas
rencana pengerukan sungai Poso itu menyampaikan beberapa catatan.
Pembongkaran jembatan dengan melibatkan masyarakat itu dinilai untuk membuat
masyarakat di pinggir danau Poso ini mengkhianati sejarah pembangunan jembatan
lewat keringat leluhur mereka. APDP sendiri sebagaimana telaah mereka atas
dokumen AMDAL proyek pengerukan sungai Poso itu menilai, pembongkaran
jembatan oleh warga desa/kelurahan dirancang dengan sengaja karena berpotensi
membuat warga berkonflik antara yang setuju atau tidak setuju. Selain itu,
pembongkaran jembatan yang diusulkan dilakukan oleh warga sendiri akan
mencatatkan sejarah yang mengabaikan keringat lelah leluhur Poso saat pertama
kali membangun jembatan ini. Bukan hanya jembatan tua Pamona yang segera
lenyap, budaya Poso akan semakin pudar saat jutaan meter kubik pasir dan tanah
menguruk Kompo Dongi, tempat dimana persaudaraan dikuatkan dalam tradisi
Mosango. Kehilangan kebudayaan, kehilangan identitas, orang Poso sedang
menuju kesitu.

Anda mungkin juga menyukai