KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Tuhan YME, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Budaya Politik dan Birokrasi”. Dalam penulisan
makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
1. Bapak pembimbing mata kuliah Sosiologi dan Politik;
2. Bapak Wali Dosen Lokal IVB;
3. Rekan-rekan semua di jurusan STIE BUL-TAR;
4. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah
memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama
mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini;
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam
penulisan makalah ini.
Makalah ini ditulis dengan asumsi bahwa politik dan administrasi adalah dua dunia yang bisa
dibedakan demi kebutuhan analisa tetapi tak dapat dipisahkan dalam prakteknya. Hubungan antara
politik dan administrasi ibarat dua sisi mata uang dari uang yang sama. Dalam politik selalu ada dimensi
administrasi yang mengedepankan proses teknis-prosedural/sesuai aturan dan sebaliknya dalam dunia
administrasi selalu ada nuansa politik yang mengedepankan who get's what and how/siapa yang
mendapatkan apa dan bagaimana Menurut Harold Lasswell, politik adalah kegiatan masyarakat yang
berkisar pada masalah-masalah “siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana” (who gets what, when
and how). Pengertian cakupan politik seperti itu memang tidak salah. Dalam kenyataan, persoalan politik
selalu menyangkut siapa yang sedang mengejar apa. Kemudian juga kapan dan bagaimana yang dikejar
itu dapat diperoleh. Sebagai contoh, siapa saja yang ingin menjadi ketua partai? Kemudian kapan dan
bagaimana kursi ketua partai itu dapat diraih? Dengan cara yang wajar atau tidak? waktunya tepat atau
tidak? Dan sebagainya. Bertolak dari asumsi seperti ini, tulisan ini mencoba
mengelaborasi/menggabungkan salah satu isu menarik yang berkembang di Tanah Air yakni reposisi
peran birokrasi dalam proses politik lokal. Dalam konteks pemerintahan lokal, isu ini penting dikaji karena
saat ini mainstream/ sesuatu hal yang tidak biasa, perilaku yang tidak umum, sifat yang tidak biasa proses
politik lokal sedang mengalami perubahan serius akibat implementasi kebijakan otonomi. Dipresentasikan
dalam Seminar Birokrasi, S2 Ilmu Administrasi Negara, Universitas Gadjah Mada Staf Pengajar tetap
Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Lampung.
Disamping itu, proses politik lokal nampaknya semakin memberikan pengaruh besar terhadap dinamika
politik di Pusat. Bahkan, Asian Development Bank (2002) memberikan perhatian khusus terhadap
implementasi kebijakan desentralisasi di Tanah Air yang unik, fenomenal, dan menimbulkan berbagai
3
persoalan serius. Tulisan difokuskan untuk menjawab pertanyaan sederhana berdasarkan Tema
Reposisi/Penempatan Kembali ke Posisi Semula Peran Birokrasi Publik dalam Proses Politik
Lokal, yakni kenapa reposisi peran birokrasi harus dilakukan? Dan, bagaimana melaksanakan reposisi
itu secara berkeadilan? .
Dalam Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan insight baru dalam rangka memahami
perkembangan politik di tingkat lokal. penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Pepatah mengatakan
Bahwa “Tidak ada Gading yang Tidak Retak” maka apabila terdapat kesalahan maupun kekeliruan dalam
makalah ini kiranya dapat dimaklumi dan kami sebagai penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya,
untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini menjadi lebih baik.
Akhirnya penulis berharap semoga Tuhan YME memberikan imbalan yang setimpal pada mereka
yang telah memberikan bantuan, dan menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin.
Penulis
4
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL 1
KATA PENGANTAR 2-3
DAFTAR ISI 4
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. 5
B. Rumusan Masalah. 6
C. Tujuan 6
BAB II PEMBAHASAN
A Pengertian Birokrasi. 7
B Peran Birokrasi. 7-8
C Konsep Birokrasi. 8-19
D Permasalahan Birokrasi Dan Reformasi Birokrasi Di Indonesia. 19
E Peran Birokrasi dalam Pemerintahan Modern 19-20
F Pengertian Budaya Politik. 21-23
G Bentuk-bentuk Budaya Politik. 23
H tinjauan teoritik hubungan antara birokrasi dan proses politik. 24-26
I imperatif reposisi peran birokrasi; dan 26-32
J strategi politik dan administrative yang dapat digunakan untuk 32-36
melaksanakan reposisi peran baru birokrasi dalam konteks proses politik di
tingkat lokal.
BAB III PENUTUP
A Kesimpulan 37-38
B Saran. 38
C Referensi/Daftar Pustaka. 38-40
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan asumsi bahwa politik dan administrasi tidak berbeda, makalah ini akan
dianalisis keterkaitan antara Budaya Politik dan Birokrasi.Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih
kekuasaan secara konstitusional(adalah semua langkah politik berdasarkan aturan hukum yang
berlaku atau berdasarkan undang-undang dasar) maupun nonkonstitusional (langkah politik diluar
aturan hukum atau tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku). Di samping itu Politik juga
dapat ditilik(dilihat dengan teliti dengan penglihatan mata batin) dari sudut pandang berbeda, yaitu
Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori
klasik Aristoteles). Budaya politik adalah pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan
bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan
norma kebiasaan yang dihayati terhadap seluruh anggota masyarakat setiap harinya.
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai
suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak
orang berada ditingkat bawah daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya
sipil maupun militer.
Ini adalah tema klasik dalam administrasi publik. Namun, setelah pemerintah Indonesia
melaksanakan kebijakan desentralisasi (penyerahan Kekuasaan Pemerintahan Daerah oleh
Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. pengertian ini sesuai
dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2014. Dengan adanya desentralisasi maka muncul
otonomi bagi suatu pemerintahan daerah) di bawah UU No. 22 Tahun 1999, sangat menarik untuk
menguraikan tema ini. Mengapa .? Karena kebijakan desentralisasi berdampak pada proses politik
lokal. Misalnya, lembaga legislatif memiliki kekuatan lebih dari sebelumnya. Dalam hal ini, kita dapat
mengatakan bahwa - secara hipotetis - lembaga legislatif (sebagai perwujudan nyata dari politik)
cenderung menyumbangkan proses pengambilan keputusan.
Bagi birokrasi, itu bukan berita baik. Di bawah rezim Orde Baru, institusi birokrasi jauh lebih kuat
daripada institusi legislatif. Menurut perubahan ini, makalah ini akan memeriksa apa arti dari
perubahan ini, terutama ketika kita mencari yang lebih baik
pemahaman tentang hubungan politik-birokrasi.
6
B. RUMUSAN MASALAH
Makalah ini akan difokuskan pada Permasalahan :
1. Pengertian Birokrasi
2. Teori Birokrasi
3. Peran Birokrasi
4. Konsep Birokrasi
5. Permasalahan Birokrasi Dan Reformasi Birokrasi Di Indonesia
6. Pengertian Budaya Politik
7. Bentuk-bentuk Budaya Politik
8. tinjauan teoritik hubungan antara birokrasi dan proses politik
9. imperatif reposisi peran birokrasi; dan
10. strategi politik dan administrative yang dapat digunakan untuk melaksanakan reposisi peran
baru birokrasi dalam konteks proses politik di tingkat lokal.
C. TUJUAN
1. Mengetahui dan mengerti tinjauan teoritik hubungan antara birokrasi dan proses politik;
2. Mengetahui dan mengerti imperatif reposisi peran birokrasi; dan
3. Mengetahui dan mengerti strategi politik serta administrative yang dapat digunakan untuk
melaksanakan reposisi peran baru birokrasi dalam konteks proses politik di tingkat lokal.
4. Mengetahui dan mengerti Pengertian Birokrasi
5. Mengetahui dan mengerti Teori Birokrasi
6. Mengetahui dan mengerti Peran Birokrasi
7. Mengetahui dan mengerti Konsep Birokrasi
8. Mengetahui dan mengerti Permasalahan Birokrasi Dan Reformasi Birokrasi Di Indonesia
9. Mengetahui dan mengerti Pengertian Budaya Politik
10. Mengetahui dan mengerti Bentuk-bentuk Budaya Politik
11. tinjauan teoritik hubungan antara birokrasi dan proses politik
12. imperatif reposisi peran birokrasi; dan
13. strategi politik dan administrative yang dapat digunakan untuk melaksanakan reposisi peran
baru birokrasi dalam konteks proses politik di tingkat lokal.
7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Birokrasi
Ada beberapa Definisi Birokrasi diantaranya sebagai berikut :
1) Secara Etimologi
Birokrasi yang dalam bahasa inggris disebut bureaucracy berasal dari dua kata
yaitu “bureau” yang artinya meja dan “ cratein” berarti kekuasaan .jadi maksudnya
kekuasaan yang berada pada orang-orang yang dibelakang meja. Sedang kan menurut
kamus besar bahasa Indonesia kata “birokrasi “ artinya sistem pemerintahan yang di
jalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang
jabatan , cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata
aturan yang banyak liku – likunya.
B. Teori Birokrasi
Budi Setiono dalam Harbani Pasolong ( 2007:74 ) ,membagi empat teori birokrasi yaitu :
1) Teori Rasional Administrative Model(RAM)
Dikemukakan oleh weber yang menyatakan bahwa birokrasi yang ideal ialah birokrasi yang
berdasarkan pada sIstem peraturan yang rasional sebagai organisasi social yang
diandalkan ,terukur dan dapat diprediksikan dan efisien.
teory,managerialism, teori ini menuntut agar kapasitas birokrasi dikurangi dan peran yang
selama ini dilakukan hendaknya di delegasikan kepada sector swasta ( privat sector) dan
mekanisme pasar.
C. Konsep Birokrasi
Menurut Weber dalam Miftah Thoha ( 2010 : 17-18 ), tipe ideal birokrasi yang rasional itu
dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut:
a. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya
manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabat-
annya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan
kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
b. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke
samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula
yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
c. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik
berbeda satu sama lainnya.
d. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian
tugas (job description) masingmasing pejabat merupakan domain yang menjadi
wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
e. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal
tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
9
f. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai
dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa me-
mutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan
keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.
g. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi
berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif.
h. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya
dan resourcesinstansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
i. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem
yang dijalankan secara disiplin.
Konsep birokrasi weber dalam R Soegiatno Tjakranegara (1992:8) dapat dirangkum kan
didalam jenis definisi ini : dengan birokrasi yang dimaksud adalah suatu badan
administrative tentang pejabat yang diangkat.
o para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya
menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
o terdapat hirarki jabatan yang jelas;
o fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
o para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
o para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya
didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
o para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun.
Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat
selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat
juga dapat diberhentikan;
o pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
o suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan
keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
o pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun
dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
o pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.
12
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat)
mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada
aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-
rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa
pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-
akibatnya.
Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas
subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi
kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara
rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan
pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point
berikut:
Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-
pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas
pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.
Secara rinci Weber menjelaskan bahwa birokrasi mempunyai 15 karakteristik ideal, yaitu:
o kekuasaan dimiliki oleh jabatan dan bukan pemegang jabatan;
o otoritas ditetapkan melalui aturan-aturan organisasi;
o tindakan organisasi bersifat impersonal, melibatkan eksekusi atas
kebijakan publik;
o tindakan organisasi dikerangkai oleh sistem pengetahuan yang
disipliner;
o aturan dikodifikasi secara formal;
o aturan preseden dan abstrak menjadi standar bagi tindakan organisasi;
o spesialisasi;
o batasan yang tegas antara tindakan birokratis dengan tindakan partikular
menentukan legitimasi dari tindakan;
o pemisahan fungsional dari tugas-tugas yang diikuti oleh struktur otoritas
formal;
o kekuasaan yang didelegasikan via hierarki;
o delegasi kekuasaan diekspresikan dalam istilah tugas, hak, kewajiban,
dan tanggung jawab yang ditetapkan melalui kontrak;
o kualitas yang dibutuhkan untuk mengisi posisi diukur dengan pengakuan
kredensial formal (ijazah, sertifikat, dsb);
o struktur karir dan promosi, baik atas dasar senioritas maupun prestasi;
o posisi yang berbeda dalam hierarki akan menerima pembayaran yang
berbeda; dan
o sentralisasi koordinasi, komunikasi, dan control.
Martin albrow dalam Miftah Thoha (hal87-92) membagi 7 cara pandang mengenai
birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis
14
fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi
Albrow adalah :
a. Birokrasi sebagai Organisasi Rasional
Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi
dalam administrasi tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam
organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada
susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan
organisasi. Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya
manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”
3) Konsep Birokrasi Model David Osborn dan Peter Plastrik Reinventing Government
Sebelum membahas lebih dalam topik reinventing government, terlebih dahulu kita
meninjau pengertian dari reinventing. Menurut David Osborne dan Peter
Plastrik (1997) dalam bukunya “Memangkas Birokrasi”, Reinventing Government adalah
“transformasi system dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan
peningkatan dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk
melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif,
pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya system dan organisasi
pemerintahan”. Pembaharuan adalah dengan penggantian system yang birokratis menjadi
system yang bersifat wirausaha. Pembaharuan dengan kata lain membuat pemerintah siap
untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat,
menciptakan organisasi-organisasi yang mam pu memperbaiki efektifitas dan efisiensi
pada saat sekarang dan di masa yang akan datang.Osborn dalam buku memangkas
birokrasi (2000:322) mengemukakan Prinsip-prinsip Reinventing Government ,yaitu :
a. Pemerintahan katalis
Pemerintahan yang memisahkan fungsi pemerintah sebagai pengarah ( membuat
kebijakan ,peraturan,undang-undang) dengan fungsi pelaksana(penyampai jasa
dan penegakan). Kemudian pemerintah menggunakan metode kontrak ,voucher
16
hadiah ,insentif pajak dan sebagainya untuk membantu organisasi public untuk
mencapai tujuan .
g. Pemerintah wirausaha
Pemerintah berusaha memfokuskan energinya bukan sekedar untuk
menghabiskan anggaran ,tetapi juga menghasilkan uang .pemerintah meminta
masyarakat yang dilayani untuk membayar menuntut return on investment .
mereka memamfaatkan insentif seperti dana usaha ,dana inovasi untuk
mendorong para pimpinan badan pemerintah untuk berpikir mendapatkan dana
operasional.
h. Pemerintah antisipatif
Pemerintah yang antisipatif adalah pemerintah yang berpikir kedepan . mereka
mencoba mencegah timbulnya masalah dari pada memberikan pelayanan untuk
menghilangkan masalah . mereka menggunakan perencanaan strategis ,
pemberian visi masa depan,dan berbagai metopde lain untuk melihat masa depan.
i. Pemerintahan desentralisasi
Pemerintah desentralisasi adalah pemerintah yang mendorong wewenang dari
pusat pemerintahan melalui organisasi atau system,mendorong mereka yang
lansung melakukan pelayanan atau pelaksana,untuk lebih berani membuat
keputusan sendiri.
d. Strategi kekuasaan yaitu kendali di alihkan pada lapisan organisasi paling bawah
yaitu pelaksana atu masyarakat. Kendali organisasi dibentuk berdasarkan kepada
visi dan misi yang telah ditetapkan ,dengan demikian terjadi proses pemberdayaan
organisasi,pegawai dan masyarakat.
e. Strategi budaya,yaitu merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari unsur –
unsur kebiasaan,emosi dan psikology sehingga pandangan masyarakat terhadap
organisasi public berubah.
1. Administrasi
birokrasi Fungsi administrasi adalah mengimplementasikan undang-undang yang telah
disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU tersebut oleh eksekutif.
2. Pelayanan
Birokrasi fungsi pelayanan sesungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau
kelompok-kelompok khusus.
3. Pengaturan (regulation)
Birokrasi Fungsi pengaturan yaitu dari suatu pemerintahan biasanya dirancang demi
mengamankan kesejahteraan masyarakat.
Birokrasi fungsi informasi yaitu menyediakan data-data dan Informasi sehubungan dengan
kebijaksanaan yang mengalami pelanggaran untuk keperluan membuat kebijakan-
kebijakan baru .
Pola pikir (mind- Belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang profesional serta benar-
set) dan budaya benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat dan pencapaian
kerja (culture- kinerja yang lebih baik
set)
SDM Aparatur Manajemen sumber daya manusia aparatur yang belum dilaksanakan
secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja pegawai dan
organisasi
2. Reformasi Birokrasi
a. Pengertian Reformasi Birokrasi
Reformasi Birokrasi pada dasarnya adalah proses menata-ulang, mengubah, memperbaiki,
dan menyempurnakan birokrasi agar menjadi lebih baik (profesional, bersih, efisien, efektif,
dan produktif).Sumber: (Roadmap RB Kemenkes)
4. Melayani masyarakat;
5. Melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.
Budaya politik partisipan adalah salah satu jenis budaya politik bangsa. Dalam budaya politik partisipan,
orientasi politik warga terhadapkesluruhan objek politik, baik umum, input dan output, maupun
pribadinya mendekati satu atau dapat dikatakan tinggi. Berdasar hal ini maka ciri-ciri budaya politik
partisipan adalah sebagai berikut:
23
a. Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima
maupun menolak suatu objek politik
b. Kesadaran bahwa ia adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis
c. Warga menyadari akan hak dan tanggung jawabnya (kewajibannya) dan mampu
mempergunakan hak itu serta menanggung kewajibannya
d. Tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin, tetapi dapat
menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output
ataupun posisi dirinya sendiri
e. Kehidupan politik dianggap sebagai sarana trnsaksi seperti halnya penjual dan
pembeli. Warga dapat menerima berdasar kesadaran, tetapi juga mampu menolak
berdasarkan penilaiannya sendiri
Sebagai komunitas warga negara yang terdidik dan terpelajar,hendaknya kita memiliki peran
besar (partisipasi aktif)untuk melakukan perubahan politik yang lebih baik dan berbudaya. Melalui
sarana pemilihan umum, kita dapat menjadikannya sebagai momentum untuk mendorong
perubahan sosial politik, politik ekonomi, budaya, dan lain-lain ke arah yang lebih baik dan
demokratif melalui pemerintahanyang dipilah melalui pemilu, secara damai dan beradab
(berbudaya). Semua itu dimaksudkan sebagai upaya melakukan pendidikan budaya politik
partisipan (rakyat) yang lebih luas karena dengan demikian akan dapat digunakan sebagai salah
satu rujukan untuk menentukan pilihan dalam pemilu secara arif, bijaksana, kritis, dan rasional.
Dalam setiap tahapan pemilu, kita sebagai simpatisan (kader) partai politik, ataupu kaum
terpelajar tidak ada larangan untuk mengikutinya. Namun demikian, hal yang perlu dikedepankan
dalam kampanye adalah situasi damai karena dalam kampanyenya sering kali terjadi
persinggungan antar massa pendukung dari partai politik (simpatisan dan kader) partai politik.
Bermula dari saling mengejek dan saling hina di antara mereka ketika berpapasan di jalan raya
dalam situasi kampanye, perkelahian antar massa pendukung partai politik seringkali terjadi.
Untuk mewujudkan situasi seperti itu dibutuhhkan toleransi yang besar terhadap kelompok yang
berbeda pandangan politik dan juga sikap anti kekerasan. Pelajar yang ingin aktif dalam
kampanye harus sadar bahwa tindakan brutal, kekerasan, dan keseluruhan hanya akan merusak
situasi pemilu yang demokratis dan beradab. Untuk itu, kita harus sadar bahwa brutalisme,
kekerasan, dan kerusuhan yang mengiringi proses pemilu sebenarnya adalah tindakan yang
sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokratis dan budaya politik bangsa Indonesia. Albert
Camuspernah mengatakan bahwa I’ anarchie est I’abus de la democratie, anarkisme adalah
penyelewengan dari demokrasi.
24
Dalam khazanah administrasi publik tema birokrasi via a vis politik merupakan persoalan klasik yang
terkait dengan salah satu paradigma utama dalam ilmu administrasi publik yakni paradigma dhikotomi
politik-administrasi. Tetapi, karena tema ini sangat debatable dan perubahan dunia selalu meminta
kepada manusia untuk merekonstruksi ide-ide sebelumnya, maka tema ini selalu menarik dibicarakan.
Tema ini terkait dengan konsep netralitas birokrasi. Dalam khazanah pemikiran kiasik, seperti terungkap
dalam pemikiran Woodrow Wilson (1887) yang tertuang dalam paper The Study of Administration,politik
dan birokrasi (sebagai institusi yang mewakili dunia administrasi) adalah dua hal yang berbeda, terpisah,
dan dominatif. Bagi Woodrow Wilson, politik adalah urusan formulasi kebijakan yang menjadi hak para
politisi yang dipilih melalui pemilihan umum. Sementara itu, administrasi adalah persoalan bagaimana
mengimplementasikan kebijakan yang dibuat para politisi secara efektif dan efisien (Wilson,1887,
dalam Shafritz & Hyde, 1997: 14 - 26).
Sejarah mencatat bahwa pemikiran ini sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran generasi
ilmuwan administrasi publik pasca Wilson. Leonard D. White (1926), misalnya, dengan sangat berani
mengungkapkan bahwa administrasi terkait dengan masalah bagaimana memanaje orang-orang dan
barang-barang material untuk mencapai tujuan tertentu (White, 1926, dalam Shafritz & Hyde, 1997:
44). Bahkan, Frank J. Goodnow (1900) dengan tegas mengatakan bahwa kendati sama-sama melekat
pada institusi government, tetapi politik dan administrasi merupakan dua fungsi yang berbeda. Politik
adalah fungsi yang berkaitan dengan masalah expression the state will dan administrasi adalah fungsi
yang berkenaan dengan soal the execution of these policies (Goodnow, 1900, dalam Shafritz & Hyde,
1997: 27).
Sayangnya, argumen-argumen yang dikembangkan framework Wilsonian ini tidak mampu mencegah
keterlibatan birokrasi dalam proses politik. Asumsi paradigmatis Wilsonian yang mengandaikan peran
birokrasi semata-mata sebagai eksekutor dan implementor yang dituntut memiliki kemampuan teknis-
manajerial dan tidak memiliki kepentingan apapun ternyata bertolak belakang dengan realitas di
lapangan. Birokrasi ternyata bukan hanya kumpulan robot, sistem, dan prosedur belaka. Lebih dari itu,
birokrasi merupakan kumpulan orang yang memiliki perbedaan pandang, kepentingan, nilai, motivasi,
kompetensi teknis, dan sebagainya. Lagi pula,seperti diungkapkan Owen B. Hughes (1994: 225), proses
administrasi publik tidak terjadi dalam ruang hampa tetapi melekat inherent dalam proses politik. Basis
politic administrasi publik inilah yang pada akhirnya membawa kita kepada kesimpulan bahwa proses
administrasi secara fundamental merupakan proses politik.
25
Argumen ini didukung temuan para ilmuwan administrasi publik yang mengelaborasi ranah
implementasi kebijakan yang menunjukkan tendensi kentalnya muatan politik dalam fase implementasi
kebijakan publik (Wildavsky, 1998; Ripley, 1985; Grindle, 1987). Disamping itu,terutama dalam konteks
negara- negara berkembang, unsur politis birokrasi tidak bisa dilepaskan dari posisi institusi birokrasi
yang sangat dibutuhkan negara-negara berkembang dalam rangka menopang pencapaian tujuan
pembangunan ekonomi. Dalam konteks negara-negara maju birokrasi menjadi semakin dibutuhkan
ketika kompleksitas masyarakat dan perubahan sosial semakin meningkat.
Bahwa argumen administrasi merupakan bagian dari proses politik mengandaikan peluang keterlibatan
birokrasi dalam proses politik. Tentunya, aktor politik hanya akan bisa terlibat aktif dalam proses politik
ketika ia memiliki power. Masalahnya, power seperti apa yang dimiliki birokrasi? Secara teoritik,
birokrasi beberapa sumber kekuasaan yakni: penguasaan informasi dan keahlian, kewenangan yang
terkait dengan pengambilan kebijakan, memonopoli legitimasi politik dan instrumen koersif, sifatnya
yang permanen dan stabil, diskresi, penguasaan resources,
perannya sebagai personifikasi negara (Peter, 1987: 50; Caiden, 1982: 90-92; Mas'oed, 1995: 35).
Dengan power ini birokrasi melakukan proses tawar menawar dengan aktor politik lainnya.
Dan, seperti diungkapkan Long (1949), the lifeblood of administration is power. Jika dilihat dari variabel
nilai maka insitusi birokrasi tidak hanya memiliki nilai-nilai ekonomis semata-mata (efisiensi dan
efektivitas). Pemikiran seperti ini terungkap jelas dalam paradigma dhikotomi politik-administrasi.
Minowbrooks Conference (1968), misalnya,menambahkan nilai keadilan sebagai salah satu konsideran
dalam menilai perilaku dan kinerja birokrasi publik. Tetapi, benarkah birokrasi hanya memiliki ketiga nilai
ini? Jika nilai merupakanlandasan filosofis setiap perilaku dan pemikiran seseorang, kelompok, dan
institusi tertentu,maka asumsi bahwa birokrasi merupakan aktor politik memberikan tanda kepada
kita bahwa birokrasi memiliki nilai-nilai lain yang sejalan dengan statusnya sebagai aktor politik. Dalam
konteks ini, nilai-nilai yang mendasari perilaku birokrasi sebagai aktor politik tidak dapat
dipisahkan dari konteks sistem politik yang lebih besar. Atmosfir ideologis dan penataan sistem
politik di sebuah negara akan sangat mempengaruhi nilai-nilai dasar yang tumbuh dan berkembang
dalam institusi birokrasi (Esman, 1966: 59 - 112). Dalam kasus Indonesia, ideology pembangunanisme
yang selama ini mendominasi percaturan ideologi di Tanah Air merupakan sumber nilai-nilai dasar
terpenting yang dimiliki birokrasi Indonesia. Terakhir, asumsi bahwa birokrasi merupakan aktor politik
menegaskan kebutuhan untuk mengidentifikasi kepentingan politik birokrasi publik. Tentunya,
kepentingan birokrasi public terkait erat dengan power dan nilai yang dimilikinya. Kendati hasil akhir
interaksi antara power, value, dan interest ini sangat beragam di setiap negara karena sifatnya yang
time-spesific dan country-spesific, tetapi secara teoritik birokrasi publik memiliki kepentingan
politik sebagaiberikut: (a) birokrasi publik cenderung memperbesar anggaran. Kecenderungan ini
26
Dalam logika berpikir seperti ini tema netralitas birokrasi merupakan sesuatu yang utopis.
Bahkan perkembangan terkini administrasi publik mensyaratkan ketidaknetralitas birokrasi
sebagai salah satu nilai penting dalam konteks proses politik yang menekankan prinsip-prinsip
pemerintahan demokratis. Tentunya, keberpihakan itu harus dimaknai sebagai keberpihakan
birokrasi terhadap nilai kemanusiaan, keadilan, dan good governance (Frederickson, 1999: 154).
Jadi, sebagai aktor politik birokrasi tetap merupakan instrumen demokratisasi dan bukan menjadi
kendala demokratisasi itu sendiri.
Seperti diungkapkan dalam section sebelumnya bahwa peran birokrasi publik tidak bisa
dilepaskan dari sistem politik yang merupakan political setting perilaku birokrasi publik. Dalam
kasus Indonesia, kajian terhadap birokrasi publik tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem
pemerintahan daerah di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa perhatian terhadap sistempemerintahan
daerah telah menjadi salah satu kebijakan politik penting setiap pemerintahan kolonial yang pernah
menjajah Indonesia. Pasca periode koionial perkembangan sistempemerintahan daerah di Tanah Air
tampak semakin dinamis. Ini dibuktikan dengan perubahan peraturan perundangan-undangan yang
mengatur tentang pemerintahan daerah. Tentu saja,muatan setiap peraturan perundang-undangan
wakili semangat zaman, pemikiran dankonfigurasi politik dimana undang-undang tersebut dipraktekkan.
27
Dalam periode kemerdekaan ketika Indonesia baru saja lepas dari belenggu penjajahan
birokrasi publik cenderung masih merupakan institusi politik yang masih mencari jati diri.
Ketika itu kuantitas birokrasi publik relatif kecil, tidak memiliki pengaruh politik, kendati
merupakan sektor yang menjanjikan prestise sosial tinggi karena dianggap masyarakat mewakili
apa yang disebut sebagai `kelas ningrat'. Kondisi ini sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari akar
pertumbuhan institusi pemerintahan yang terkait erat dengan lembaga kerajaan dan praktek
pemerintahan kolonial Belanda. Beban pembangunan yang relatif kecil akibat ketiadaan dana
pembangunan - meskipun persoalan mendesak yang harus diatasi begitu banyak - mengakibatkan
birokrasi hanya cenderung mengedepankan fungsi utama sebagai instrumen politik semata.
Kentalnya peran birokrasi sebagai instrumen politik tetap terasa ketika Indonesia
mempraktekkan UUDS 1950. Tetapi, pemerintah mulai melakukan langkah-langkah serius untuk
memberdayakan birokrasi publik, termasuk birokrasi publik di tingkat lokal. Pada 1954,
28
misalnya, pemerintah mengundang pakar Amerika Serikat yang dipimpin Edward H. Litchfield
dan dibantu oleh Alan C. Rankin untuk mengadakan penelitian tentang kepegawaian. Hasil
penelitian ini dituangkan dalam laporan Training Administration on Indonesia yang berisi
rekomendasi kebijakan kepegawaian di sektor publik. Upaya lain yang ditempuh pemerintah
adalah dengan mendirikan Lembaga Administrasi Negara. Berdirinya LAN merupakan hasil
rekomendasi kebijakan tim ahli Amerika Serikat yang dipimpin Lynton K. Caldwill dan Howard
L. Timn (Budianto, 1998: 51).
Kentalnya keterkaitan birokrasi dengan isu-isu politik tidak juga bisa dihilangkan ketika
Indonesia menganut sistem Demokrasi Terpimpin. Di era ini, munculnya slogan `politik adalah
panglima' membawa birokrasi terhanyut pada persoalan-persoalan politik dalam rangka
mempertahankan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik politik segitiga antara
Presiden Soekarno, Militer, dan Partai Komunis Indonesia merupakan mainstream proses
politikkala itu. Dalam periode ini, peran birokrasi sebagai instrumen politik diarahkan pada
upaya untuk mendukung isu-isu politik yang berkembang di tingkat nasional. Dalam bentuk
yang paling konkret peran birokrasi tampak sebagai mobilisator massa dalam acara-acara
politik presiden yang selalu identik dengan gemuruh massa rakyat.
Dalam periode Orde Baru, peran birokrasi lokal tidak bisa dilepaskan dari strategi dan
kebijakan rezim Orde Baru yang menempatkan aspek ekonomi sebagai tujuan utama
kehadiran mereka. Pembangunanisme, (developmentalism) sebagai paradigma berpikir rezim
Orde Baru yang dituangkan dalam konsep Trilogi Pembangunan (pertumbuhan, stabilitas
politik, dan pemerataan), merupakan kiblat untuk mengukur kinerja birokrasi publik.
Ketersediaan dana pembangunan, baik akibat peristiwa oil boom maupun dana yang diperoleh
melalui hutang luar negeri, merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya
pendalaman birokratisasi di Indonesia. Di zaman Orde Baru, birokrasi tumbuh dengan cepat.
Hal ini tampaknya menjadisesuatu yang tidak terelakkan. Sifat mayoritas program-program
pembangunan yang top-down,terfokus pada pembangunan ekonomi, dan menyebar ke
daerah-daerah di seluruh Tanah Air menjadi penyebab utama membengkaknya jumlah
penduduk yang berstatus pegawai negeri sipil. Disisi lain, pertumbuhan birokrasi juga tidak
bisa dilepaskan dari strategi kebijakan ekonomi makro yang menempatkan pertumbuhan
birokrasi publik sebagai salah satu cara untuk mengatasi pengangguran atau meningkatkan
daya beli masyarakat.
29
Di zaman Orde Baru, birokrasi publik tidak hanya sekedar menjadi instrumen untuk
menjalankan program-program pembangunan, tetapi juga terlibat aktif dalam percaturan politik.
Di tingkat nasional, birokrasi diposisikan sebagai salah satu jalur/jalan untuk
mempertahankansingle mayority yang dinikmati partai penguasa (baca: sekarang disebut
Partal Golkar). Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pemanfaatan jaringan birokrasi lokal
dalam proses pemilihanumum. Banyak kasus mengungkapkan bahwa aparat birokrasi lokal,
mulai dari kepala daerah,camat, dan kepala desa terlibat aktif sebagai vote getters dalam
setiap pemilihan umum yang diadakan selama rezim Orde Baru berkuasa. Singkat kata, dalam
periode ini birokrasi merupakan bagian tak terpisahkan percaturan politik nasional. Birokrasi
adalah aktor politik yang memiliki kekuatan dan kepentingan politik. Konsep netralitas birokrasi
yang secara teoritik absah dan rasional menjadi tidak berarti ketika berhadapan dengan
ideologi developemntalism yang sejalan dan selaras dengan kecenderungan perilaku politik
birokrasi publik.
Dalam periode ini, birokrasi diarahkan untuk netral dan steril dari proses politik. Birokrasi lokal,
seiring dengan implementasi otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999, diberi
kewenangan yang lebih besar. Jika selama ini birokrasi hidup dalam iklim yang begitu stabil,
maka di era sekarang ini birokrasi dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam mensiasati
perkembangan dan dinamika masyarakat lokal. Selama ini birokrasi lokal hanya menjadi mitra
kerja birokrasi pusat dalam rangka melaksanakan program-program pembangunan. Birokrasi
lokal tidak beri ruang gerak yang cukup luas untuk mengambil keputusan berkenaan dengan
program- program pembangunan.
Kini, atmosfer reformasi dan otonomi daerah menempatkan birokrasi tidak hanya sebagai
implementor belaka tetapi juga sebagai decision maker. Meskipun potensi birokrasi lokal
30
sebagai decision maker patut diragukan, karena minimnya kualitas sumber daya manusia
yang berkualitas, tetapi hal ini merupakan entry point untuk memahami birokrasi lokal di masa
depan. Dengan kata lain, birokrasi tidak hanya menjadi mitra kerja lembaga legislatif dan
eksekutif yang berfungsi sebagai instrumen politik belaka. Lebih dari itu, birokrasi publik di
tingkat lokal harus dipahami sebagai aktor yang memiliki kepentingan, kekuasaan, dan
strategi tersendiri untuk mempengarugi proses politik di tingkat lokal, termasuk pembangunan
daerah yang termasuk proses politik paling penting di luar pemilihan umum, sidang paripurna
legislatif, dan pemilihaneksekutif secara langsung. Sayangnya, potensi birokrasi publik
sebagai decision makers cukup mengkhawatirkan. Kasus ratusan peraturan daerah yang
bermasalah beberapa waktu lalu mengindikasikan betapa proses politik di tingkat masih
terkesan sektarian, etnis-sentris, dan
meninggalkan aspek holistik proses pembangunan.
Imperatif Perubahan
Seperti diuraikan dalam seksi sebelumnya bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan
birokrasi publik di Tanah Air tidak bisa dilepaskan dari setting sistem politik di Tanah Air.Dalam
konteks ini, dinamika politik yang berkembang selama periode Indonesia Transisi melahirkan
tuntutan dan peran baru birokrasi publik dalam pengelolaan negara. Disamping itu, tekanan
dunia eksternal yang semakin mengedepankan nilai competitiveness merupakan factor lain
yang mendorong perlunya pemikiran bersama yang berkaitan dengan strategi reformasi dan
transformasi birokrasi publik. Diluar faktor ini, penulis mencatat beberapa faktor penting yang
mendorong kenapa reposisi birokrasi dalam proses politik di tingkat lokal perlu segera
direalisasikan.
Faktor pertama adalah kompleksitas dinamika masyarakat lokal. Termasuk dalam kategori ini
adalah pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, munculnya masalah-masalah sosial-
politik yang lahir sebagai akibat alokasi sumber daya ekonomi-politik yang bias, dan pelbagai
pengaruh yang berasal dari lingkungan eksternal masyarakat lokal. Perubahan, baik dilihat dari
dimensi kualitas dan kuantitas, dalam setiap variabel di atas akan sangat mempengaruhi
derajat perubahan birokrasi lokal. Sebagai contoh, pemekaran propinsi dan kabupaten/kota
secara logis
menimbulkan tuntutan kepada pemerintah pusat untuk menyediakan dana yang cukup besar
31
untuk membantu daerah-daerah yang baru saja dimekarkan. Disamping itu, masalah-masalah
teknis seperti relokasi pegawai, penyediaan gedung/kantor pemerintahan, dan fasilitas umum
yang bersifat vital harus juga dipenuhi. Perubahan ini jelas mendesak birokrasi untuk
melakukan reposisi peran dan fungsi mereka.
Sebagai contoh, birokrasi publik menjadi tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan
masalah-masalah lingkungan hidup. Konsekuensinya, birokrasi harus berkolaborasi dengan
aktor-aktor lembaga swadaya masyarakat yang memiliki `jam terbang' lebih banyak dalam
mengelola lingkungan hidup. Kasus ini menunjukkan paradigma baru dalam menjalankan roda
pemerintahan, yakni: tugas dan fungsi pemerintah tidak terletak pada upaya aktualisasi fungsi-
fungsi umum pemerintahan, tetapi menjaga networking antar lembaga yang terlibat dalam
proses pelaksanaan fungsi-fungsi umum pemerintahan agar tetap stabil, berlanjut, dan sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dengan demikian peran dan fungsi pemerintah hanya
sebagai fasilitator dan mediator bagi aktor-aktor non-state dalam memecahkan masalah-
masalah tertentu.
harus berhadapan dengan isu governance yang menempatkan kesetaraan antar aktor
pemerintah dan aktor-aktor politik lainnya di masyarakat. Artinya, governance menghendaki
agar sebagian otoritas politik yang didominasi birokrasi, eksekutif, dan legislatif diserahkan
kepada aktor-aktor non-state dengan cara melibatkan mereka dalam proses pengambilan
keputusan politik. Masalahnya, mungkinkah hal ini terjadi.? Jawabnya, tentu `ya' dan `tidak'.
Tetapi yang jelas, kendala terbesar governance adalah ada atau tidak-nya political will
dari aktor-aktor di ranah pemerintah untuk be-`rembug' dengan aktor-aktor non-state dalam
memecahkan masalah-masalah publik. Sebab, setiap aktor di ranah government memiliki self-
interest terhadap kelahiran dan pengelolaan masalah-masalah publik. Kentalnya egoisme
kelompok masing-masing lembaga politik yang dimanifestasikan dalam bentuk struggle of
politics di ranah government menyebabkan mereka disebut 'mobilization of bias' (E. E.
Schattschneider's, seperti dikutip Morrow, 1980: 4)
Terakhir, reposisi birokrasi lokal perlu segera dilakukan karena ia merupakan prasyarat
kesuksesan otonomi daerah. Adalah betul bahwa birokrasi lokal memiliki banyak pengalaman
dalam menjalankan roda pemerintahan. Tetapi, pengalaman mereka berasal kurun waktu
yang tidak mampu sejalan dengan nilai dan ide- ide yang berkembang dewasa ini. Jika
dicermati secara mendalam aparat birokrat lokal masih memendam mentalitas birokrasi
kolonial. Selain faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia birokrasi lokal juga
dihadapkan pada persoalan keterbatasan sarana, minimnya dana, dan rendahnya kreativitias
dalam menggali dan mengelola potensi-potensi yang dimiliki masyarakat lokal. Sulit
dibayangkan otonomi daerah yang dibangun atas dasar prinsip- prinsip demokrasi bisa
dijalankan secara efektif jika para pelaksananya merupakan sisa-sisa kekuatan rezim otoriter.
J. Strategi Reposisi
Reposisi birokrasi publik merupakan satu keniscayaan politik. Masalahnya, bagaimana
menjalankan reposisi yang bertolak dari asumsi bahwa politik merupakan bagian terpenting
dalam kegiatan birokrasi publik sehari-hari. Secara teoritik tidak ada kata sepakat di antara
ilmuwan administrasi publik tentang teori reformasi birokrasi yang komprehensif dan holistik.
Frederick C. Mosher (1975: 136 - 137), misalnya, mengajukan argumen bahwa reformasi
birokrasi publik harus ditekankan kepada 4 (empat) dimensi :
1. Reformasi pada level program
2. Reformasi pada kebijakan publik;
33
Sementara itu, Paul Appleby membedakan strategi reformasi birokrasi publik menjadi dua jenis,
yakni: reformasi incremental dan episodic.Reformasi inkremental dimaknai sebagai
modifikasi terus menerus terhadap aktivitas keseharian birokrasi publik. Termasuk dalam
kategori ini penyusunan sistem karir birokrasi, perbaikan anggaran birokrasi, penilaian kinerja,
dan sebagainya. Sedang reformasi episodic merujuk pada upaya perubahan struktur dan
proses birokrasi publik yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu dan meliputi keseluruhan
aspekbirokrasi publik. Dibandingkan dengan reformasi inkremental, tipe strategi reformasi ini
lebih terencana, holistik, dan memiliki orientasi jangka panjang.
Terakhir, reformasi birokrasi di ranah politik harus didasarkan atas asumsi bahwa netralitas
birokrasi adalah utopia. Upaya reformasi harus mengakomodir kecenderungan perilaku politik
birokrasi. Singkat kata, birokrasi publik harus dinyatakan sebagai aktor politik. Sebagai aktor
politik, birokrasi tidak boleh netral. la harus meningkatkan intensitas keterlibatannya dalam
proses politik. Tetapi, keterlibatan birokrasi publik itu tidak hanya diorientasikan untuk mengejar
keuntungan kelompok semata-mata. Keterlibatan birokrasi dalam proses politik dan
ketidaknetralan birokrasi adalah keberpihakan birokrasi terhadap kepentingan publik seperti
kemajuan ekonomi, keadilan sosial, hak asasi manusia, kesetaraan
gender, dan sebagainya. Dalam konteks ini birokrasi publik merupakan salah satu instrumen
efektif dalam proses redemokratisasi proses politik di tingkat lokal. Meskipun, karakteristik
birokrasi publik seringkali dianggap bertolak belakang dengan demokrasi, baik dilihat secara
prosedural maupun substantif. Tetapi, kita tidak boleh menutup mata bahwa birokrasi memiliki
potensi sebagai kekuatan pro- demokrasi.
35
Reformasi birokrasi di bidang politik memberikan fondasi dasar reformasi birokrasi di ranah
administratif. Artinya, reformasi administratif tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip
yang dikedepankan dalam reformasi birokrasi di ranah politik. Politik adalah sumber nilai-nilai
yang harus diadopsi birokrasi publik. jika yang pertama berkaitan dengan bagaimana politik
lokal di kelola secara akuntabel, transparan, dan partisipatif, maka dimensi administratif
terfokus pada masalah bagaimana roda birokrasi publik dijalankan secara efisien, efektif, dan
memegang teguh nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun nilai yang dikembangkan dalam ranah
politik secara sepintas bersifat trade-off dengan nilai yang dikembangkan reformasi dalam
ranah administratif, tetapi menemu-kenali titik kompromi antara kedua nilai ini merupakan
proses politik yang seringkali melibatkan banyak actor dengan beragam nilai dan kepentingan.
Pada tataran praktis upaya reformasi administratif harus menyentuh keseluruhan dimensi
birokrasi publik. Beragam pola pikir bisa kita jadikan titik tolak reformasi administratif semisal
struktural versus kultural, struktur versus prosess, atau berpedoman pada akronim
POSCDCORB dan POAC. Pada tahap ini, reformasi adalah persoalan means- end; bagaimana
memilih alternatif kebijakan reformasi yang efisien, ekonomis, efektif, dan memiliki feasibilitas
politik. Menurut hemat penulis, reformasi administratif hanya bisa dilakukan case by case.
Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa:
(1) birokrasi lokal berada dalam lingkungan (ekonomi, politik, sosial-budaya) yang sangat
beragam. Artinya, kemungkinan untuk merancang formula reformasi birokrasi yang
universal adalah mustahil;
(2) setiap unit birokrasi memiliki bidang kerja beragam. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh
terhadap perencanaan struktur organisasi unit yang bersangkutan;
(3) beragamnya kemampuan kelembagaan birokrasi publik di tingkat lokal juga mempengaruhi
pola reformasi yang ditempuh. Sebagai contoh, daerah-daerah yang memiliki tingkat
Pendapatan Asli Daerah Tergolong tinggi, seperti Riau, Kalimantan Tengah, Irian Jaya,
dan Sumatera Selatan, dapat dengan mudah menerapkan strategi reformasi dengan
menambah unit-unit birokrasi baru dalam rangka mustahil, sebaliknya mereka cenderung
untuk mengkonsolidasikan unit- unit birokrasi yang ada;
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Budaya politik yang partisipasif adalah budaya politik yang demokratik, dalam hal ini,
akan mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil.
Budaya politik partisipan adalah salah satu jenis budaya politik bangsa. Dalam budaya
politik partisipan, orientasi politik warga terhadap kesluruhan objek politik, baik umum,
input dan output, maupun pribadinya mendekati satu atau dapat dikatakan tinggi.
3. Adalah fakta yang tidak bisa diingkari bahwa perubahan lingkungan seringkali tidak bisa
diprediksi dan bersifat fluktuatif. Tetapi, mereka tetap bisa disederhanakan ke dalam
pola-pola tertentu sehingga lebih mudah dianalisa. Bertolak dari pemikiran seperti ini,
tulisan ini mencoba membedah kompleksitas upaya reformasi birokrasi publik. Seperti
kebanyakan karya ilmiah lainnya, argumen yang dibangun dalam tulisan ini tidak bersifat
normatif, tetap deskriptif belaka. Pesan utama yang ingin disampaikan tulisan ini
adalah kebijakan strategi reformasi birokrasipublik harus memiliki landasan filosofis dan
teoritik yang jelas. Penulis menyadari bahwa realitas persoalan yang meliputi birokrasi
sangat kompleks. Dengan demikian strategi reformasi yang diajukan tulisan ini jauh dari
kesempurnaan. Paling tidak, argumen strategi reformasi yang termuat dalam tulisan ini
bisa dijadikan titik tolak dalam rangka membangun kerangka berpikir holistik dalam
memahami fenomena reformasi birokrasi publik di Tanah Air.
Penulis sadar betul bahwa strategi di atas mengabaikan satu variabel yang
memegangperan penting dalam menentukan kegagalan dan keberhasilan upaya
reformasi publik. Variabel itu adalah moralitas politik. Pada umumnya orang
38
menganggap variabel ini terkait denga budaya politik. Padahal antara moralitas dan
budaya jelas memiliki perbedaan yang signifikan. Tanpa ingin terjebak dalam
perdebatan ini, paper ini sengaja tidak mencoba mengakomodir kontribusi moralitas
terhadap kesuksesan reformasi birokrasi publik. Hal ini sebetulnya tidak bisa
dilepaskan dari sosok moralitas yang abstrak sehingga sulit dimanipulasi. Meskipun
banyak persoalan-persoalan birokrasi publik bisa dipotret dengan perspektif moralitas,
tetapi seringkali terjadi perspektif ini tidak mampu memberikan jawaban yang tegas dan
aplikatif terhadap upaya nyata yang bisa dilakukan untuk mereformasi birokrasi publik.
Tentu saja, moralitas tetap penting untuk diperhatikan, karena la memberikan nilai
kepada manusia. Bagaimana menterjemahkan perspektif moral menjadi strategi
reformasi birokrasi yang efektif? Jawaban : terhadap masalah ini berada di luar
jangkauan makalah ini dan diperlukan kajian khusus untuk menjawabnya.
B. SARAN
1. Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-
aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya
dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Maka
diharapkan kepada warga negara yang berbudaya politik partisipan dan berorientasi
setia atau mendukung sistem politik nasional.
2. Semoga dengan tersusun nya makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang
birokrasi modern serta menjadi sumber referensi bagi pembacanya.penulis berharap
agar adanya kajian – kajian yang lebih mendalam lagi mengenai birokrasi mengingat
birokrasi sangat berkaitan erat dalam pemerintahan yang modern.
C. REFERENSI
Mosher, Frederick C., Some Notes on Reorganization in Public Agencies, dalam Martin,
Roscoe
C., (eds.), 1975. Public Administration and Democracy: Essays in honor of Paul Appleby.
New York, St. Martin Press.
Asian Development Bank, 2002. Asian Development Bank Outlook 2002.London, Oxford
University Press.
39
Esman, Milton J., the Politics of Development Administration, dalam Montgomery, Jhon D.,
dan
Siffin, William J., (eds.), 1966. Approaches to Development: Politics, Administration, and
Change. New York, McGraw-Hill Book Company.
Goodnow, Frank J., 1900. Politics and Administration, dalam Shafritz, Jay M., dan Hyde,
Albert
C., 1997. Classics of Public Administration. Forth Worth, Harcourt Brace Colleges
Publishers.
Hughes, Owen E., 1994. Public Management and Administration. London, MacMillan Press
Ltd.
White, Leonard D., 1926. Introduction to the Study of Public Administration, dalam Shafritz,
Jay
M., dan Hyde, Albert C., 1997. Classics of Public Administration. Forth Worth, Harcourt
Brace Colleges Publishers.
Wilson, Woodrow., 1887. The Study of Administration, dalam Shafritz, Jay M., dan Hyde,
Albert
C., 1997. Classics of Public Administration. Forth Worth, Harcourt Brace
Colleges Publishers.
Yates, Douglas., An Analysis of Public Bureaucracy, dalam Lane, Frederick S., (eds.),
1986. Current Issues in Public Administration. New York, St. Martin Press. Tahun 2, Nomor
1, April 2003, ISSN 1412-7040 70