Anda di halaman 1dari 8

LEMBAR TUGAS MANDIRI

[PBL Pemicu 2]

Nama : Marthin Anggia Sirait


NPM : 1706982683
Modul : Reproduksi
Kelompok : 5

Tatalaksana Torsio Testis dan Hidrokel

Pendahuluan
Pada pemicu 2, seorang anak laki-laki berumur 7 tahun datang ke IGD dengan keluhan berupa
nyeri hebat pada kantung kemaluan kanan. Pasien sebelumnya mengalami trauma berupa sundulan bola
pada daerah kemaluan. Pada pemeriksaan fisik dan anamnesis, didapatkan bahwa pasien mimiliki
pembesaran kantung kemaluan kiri sejak lahir. Hasil pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pada
pemeriksaan fisik lokal didapatkan skrotum kanan tertarik ke atas dan membengkak, sedangkan skrotum
kiri terdapat bejolan berisi cairan, testis sulit teraba, dan uji transluminasi positif. Berdasarkan hipotesis,
pasien mengalami torsio testis pada kantung kemaluan kanan dan hidrokel kongenital pada kantung
kemaluan kiri. Agar pasien dapat ditangani secara tepat, diperlukan pembahasan mengenai tatalaksana
pada torsio testis dan hidrokel.

Pembahasan
1. Tatalaksana Torsio Testis
Tosio testis merupakan suatu kondisi gawat darurat yang disebabkan oleh terputarnya funiculus
spermaticus atau spermatic cord. Hal ini menyebabkan oklusi dari struktur-struktur yang terdapat di
dalamnya yaitu vena, limfatik, dan terutama arteri. Berdasarkan data epidemiologi, jumlah kasus torsio
testis umumnya rata-rata memuncak dua kali pada umur 14 tahun dan pada neonatus. Torsio testis
memiliki ciri utama berupa nyeri skrotal atau testikular akut yang terjadi secara tiba-tiba dan dapat
menjalar menuju regio abdomen bawah atau inguinal. Gejala lain yang sering dialami pasien adalah mual,
muntah, dan pola berjalan (gait) yang melebar.1
Pada pemeriksaan fisik, umumnya ditemukan pembengkakan hemiskrotal disertai eritema pada
kulit. Testis yang mengalami torsio dapat memiliki orientasi horizontal. Pada pemeriksaan refleks
kremaster, umumnya ditemukan negatif. Sedangkan pada pemeriksaan transilmuniasi ditemukan
negatif.1 Pada pasien yang datang dengan keluhan berupa nyeri skrotum akut, terdapat algoritma untuk
menentukan langkah selanjutnya yang harus diambil. Algoritma ini dapat dilihat pada Gambar 1. Jika
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dicurigai torsio testis, maka konsultasi kepada ahli urologi
harus dilakukan sesegera mungkin. Jika berdasarkan pemeriksaan fisik diagnosis belum dapat
ditegakkan, maka lakukan pemeriksaan penunjang berupa doppler ultrasonography (Doppler US). Jika
pada pemeriksaan US tidak ditemukan adanya aliran darah disertai torsio testis yang konsisten, eksplorasi
bedah perlu dilakukan.2

Gambar 1. Algoritma diagnosis pada nyeri akut skrotal dengan suspek torsio testis2

Tatalaksana torsio testis dilakukan untuk menghentikan keadaan iskemia pada testis yang
merupakan keadaan emergensi. Rujukan terhadap ahli bedah urologi perlu dilakukan sedini mungkin
setelah diagnosis ditegakkan. Pada torsio testis, terdapat rentang waktu di mana perlu dilakukan
tatalaksana sebelum iskemia memberikan efek yang signifikan terhadap kerusakan testis. Umumnya,
rentang waktu sebelum terjadi kerusakan testis yang signifikan adalah 4 sampai dengan 8 jam setelah
terjadi torsio testis. Jika testis dibiarkan lebih dari rentang waktu tersebut, kerusakan testis disertai

2
kelainan histopatologi dan kelainan spermatogenesis dapat terjadi. Hal ini dapat mengganggu fertilitas
seorang pria. Selanjutnya akan dibahas tatalaksana torsio testis yang terbagi menjadi detorsio manual,
intervensi bedah, dan edukasi.2
a. Detorsio Manual
Jika tindakan bedah urologi tidak dapat dilakukan sedini mungkin, tatalaksana emergensi berupa
detorsio manual pada testis dapat dilakukan. Namun, opsi tatalaksana ini tidak boleh menyebabkan
terlambatnya dilakukan intervensi bedah untuk dilakukan atau menggantikan bedah karena tatalaksana
bedah merupakan terapi definitif untuk mengembalikan posisi testis. Sebelum dilakukan tindakan, pasien
harus diberikan informed consent dan penjelasan mengenai prosedur, potensi manfaat, dan risiko dari
tindakan yang akan dilakukan. Sebelum melakukan tindakan, pasien harus dipastikan telah mengetahui
bahwa tindakan operasi harus tetap dilakukan meskipun prosedur detorsio manual berhasil dilakukan.2,3
Prosedur detorsio manual umumnya dilakukan dari arah medial ke lateral. Dalam melakukan
detorsio manual, pemberian sedasi intravena, analgesik, ataupun blok spermatic cord dapat dilakukan
untuk merelaksasi serat otot kremaster dan mengontrol rasa sakit agar manipulasi detorsio dapat
dilakukan. Namun, pemberian sedasi ataupun blok saraf tidak diutamakan karena respons nyeri pada
pasien dapat berguna sebagai indikasi tindakan detorsio manual berhasil dilakukan atau tidak. Pemberian
anestesi menjadi indikasi jika pasien merasakan nyeri yang terlalu hebat dan tidak dapat ditahan lagi.2,3

Gambar 2. Teknik detorsio manual pada testis3

Arah teknik detorsio testis dapat dilihat pada Gambar 2. Seperti yang disebutkan sebelumnya,
detorsio dilakukan ke arah lateral karena kebanyakan torsio testis terjadi ke arah medial. Teknik yang
digunakan menggunakan jari dan memutarkan tangan dari pronasi menjadi supinasi. Jika pada saat

3
dilakukan detorsio ke satu sisi terdapat resistensi ataupun peningkatan nyeri dari pasien, maka detorsio
manual harus dilakukan pada arah sebaliknya. Penurunan derajat iskemia pada testis akibat detorsio
manual yang berhasil ditandai oleh resolusi edema epididimis dan spermatic cord, pemanjangan kembali
spermatic cord ke ukuran semula, pengembalian testis ke posisi anatomis semula, dan menghilangnya
nyeri testikular secara total. Detorsio testis dapat dilakukan dari 180o sampai 1080o. Namun, kembali lagi
ditegaskan bahwa meskipun detorsio manual dapat menghilangkan rasa nyeri, eksplorasi bedah tetap
harus dilakukan untuk memastikan testis telah kembali ke posisi semula secara sempurna.3,4

b. Intervensi Bedah
Setelah pasien dirujuk pada ahli bedah urologi, akan dilakukan eksplorasi bedah untuk melihat
testis yang mengalami torsio melalui insisi pada skrotum ataupun midline raphe. Testis lalu akan diputar
ke posisi semula dan diobservasi perubahan warnanya. Umumnya akan dilakukan prosedur berupa
orchiopexy yang akan memfiksasi testis pada skrotum untuk mencegah terulangnya torsio pada testis.
Orchiopexy juga dilakukan pada testis kotralateral yang tidak mengalami torsio dengan tujuan yang sama,
yaitu mencegah terjadinya torsio. Jika pada saat operasi terlihat testis sudah nekrosis menyeluruh,
orchiectomy dilakukan untuk membuang testis yang sudah nekrotik. Testis pasien yang telah dilakukan
orchiectomy dapat diganti dengan prosthesis dengan persetujuan dari pasien dan/atau keluarga pasien.2

c. Edukasi dan Follow-Up


Setelah torsio testis berhasil ditatalaksana dengan intervensi bedah, pasien diberikan edukasi
untuk tidak melakukan olahraga berat selama beberapa minggu untuk menghindari trauma pada bagian
testis. Follow-up juga perlu dilakukan untuk memeriksa apakah testis yang terpengaruh mengalami atrofi
atau tidak. Follow-up dilakukan dalam rentang 6 bulan sampai dengan 4 tahun setelah operasi.
Pemeriksaan yang lakukan pada follow-up berupa doppler ultrasonography (Doppler US) untuk melihat
perubahan morfologi pada testis dan melihat vaskularisasi pada kedua testis. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan adalah uji serum testosteron dan pemeriksaan rutin semen pada orang dewasa untuk melihat
fungsi fertilitas.5,6 Subfertilitas dan infertilitas ditemukan pada 36-39% pasien torsio testis pada saat
follow up. Meskipun telah mendapatkan tatalaksana bedah, kondisi ini tetap terjadi akibat konsekuensi
kerusakan langsung yang diakibatkan kondisi iskemia dan juga akibat kerusakan reperfusi post iskemik
yang menyebabkan peningkatan radikal bebas setelah perfusi menuju parenkim testis kembali.7

4
2. Tatalaksana Hidrokel
Hidrokel didefinisikan sebagai kumpulan cairan yang terdapat di antara lapisan visceral dan
parietal tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat bersifat kongenital atau didapat. Jenis-jenis hidrokel
kongenital berupa hidrokel communicating, funicular, dan encysted dapat dilihat pada Gambar 3. Pada
hidrokel communicating (Gambar 3b), terjadi patensi total pada prosesus vaginalis yang menyebabkan
cairan peritoneum turun dan berkumpul dalam ruang tunica vaginalis. Sedangkan hidrokel didapat
(acquired) terjadi akibat ketidakseimbangan produksi dan resorpsi cairan di antara lapisan parietal dan
visceral tunica vaginalis, ataupun akibat etiologi lainnya seperti infeksi, tumor, dan trauma.7,8
Diagnosis hidrokel dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan transiluminasi juga digunakan untuk menegakkan diagnosis pada mayoritas kasus. Ciri
pembengkakan testis pada hidrokel adalah halus/licin, translusen, dan tidak terdapat nyeri tekan. Untuk
memastikan massa yang terdapat dalam testis, ultrasonografi skrotal dapat dilakukan. Pemeriksaan US
juga dilakukan untuk menapis diagnosis banding berupa varikokel. Pada hidrokel communicating,
pembesaran testis tipikalnya lebih besar pada saat siang dan mengecil pada saat tidur karena cairan dalam
skrotum mengalir kembali ke rongga abdomen melalui prosesus vaginalis paten. Tatalaksana hidrokel
terbagi menjadi tatalaksana konservatif, intervensi bedah, dan follow-up.7,9

Gambar 3. Jenis-jenis hidrokel kongenital8

a. Tatalaksana Konservatif
Prinsip terapi konservatif yang diberikan pada hidrokel adalah mengurangi jumlah cairan yang
mengelilingi testis. Pengurangan cairan dapat dilakukan dengan aspirasi menggunakan jarum suntik
steril. Untuk mencegah reakumulasi cairan, dapat dilakukan tindakan skleroterapi.9 Tahapan pada

5
tindakan skleroterapi adalah pertama dilakukan aspirasi cairan hidrokel menggunakan jarum suntik.
Selanjutnya, pasien diinjeksi dengan anestesia lokal lalu diberikan agen sclerosing untuk menutup ruang
antara 2 lapis tunica vaginalis. Agen yang dapat digunakan seperti tetrasiklin, larutan fenol 2,5%, alkohol
95%, dan etanolamin.10 Namun, skleroterapi tidak dianjurkan untuk dilakukan pada hidrokel jenis
communicating karena dapat berisiko menyebabkan peritonitis.7

b. Intervensi Bedah
Pada mayoritas bayi yang didiagnosis hidrokel, tatalaksana bedah tidak dilakukan karena
umumnya dalam waktu 12 bulan terjadi resolusi spontan dari cairan dalam pada kantung kemaluan. Jika
setelah 12 bulan tidak terdapat resolusi spontan, maka pasien diindikasi harus menjalani koreksi dengan
tindakan bedah. Untuk menjalani tindakan bedah, pasien harus dirujuk kepada ahli bedah urologi.
Tindakan bedah yang akan dilakukan pada kasus pediatrik (hidrokel kongenital) adalah ligasi dari proses
vaginalis yang paten lewat insisi inguinal. Pada hidrokel spermatic cord, tindakan bedah yang akan
dilakukan adalah dengan mengeksisi massa kistik yang berisi cairan.7

Gambar 4. Teknik hidrokelektomi tipe eksisi9


Intervensi bedah lain yang dapat dilakukan untuk menatalaksana hidrokel adalah
hidrokelektomi, yaitu pengambilan tunica vaginalis yang menyebabkan cairan dapat terdrainase menuju
nodus limfatik inguinal. Terdapat beberapa jenis teknik hidrolektomi seperti eksisi, jaboulay bottleneck,
dan plikasi. Pada hidrokelektomi eksisi, dokter bedah akan memotong tunica vaginalis menggunakan
gunting atau elektrokauterik. Lalu jaringan tunica vaginalis disambungkan kembali menggunakan sutur.
Teknik eksisi merupakan teknik yang memiliki tingkat rekurensi paling minim dibandingkan teknik
hidrokelektomi yang lain. Teknik ini dapat dilihat pada Gambar 4.9,10

6
c. Follow Up
Pasien yang telah menjalani tindakan bedah pada hidrokel perlu menjalani follow-up. Pada
follow up, dilakukan pemeriksaan untuk menilai apakah terjadi persistensi hidrokel, meskipun hal
tersebut jarang terjadi setelah ligasi total prosesus vaginalis pada kasus hidrokel communicating. Jika
hidrokel masih persisten, maka pasien akan dianjurkan untuk melakukan tindakan bedah yang
memperbaiki hidrokel skrotal sekunder.10

Penutup
Pasien pada pemicu memiliki diagnosis yang mengarah pada torsio testis dan hidrokel. Sebagai
tatalaksana emergensi pada torsio testis, detorsio manual ke arah lateral dilakukan untuk meminimalisir
iskemia pada testis. Pasien selanjutnya harus segera dirujuk dalam rentang waktu kurang dari 4-8 jam
untuk mendapatkan tindakan bedah dari ahli bedah urologi. Pada hidrokel, tindakan yang dapat dilakukan
sebagai dokter umum adalah merujuk pasien pada ahli bedah urologi karena pasien kemungkinan
mengalami hidrokel communicating akibat prosesus vaginalis yang paten. Tindakan bedah yang akan
dilakukan adalah ligasi prosesus vaginalis.

7
Referensi
1. Crain EF, Gershel JC. Clinical manual of emergency pediatrics. 5th ed. Cambridge: Cambridge
Universiy Press; 2010. p. 291-2.
2. Sharp VJ, Kieran K, Arlen AM. Testicular torsion: diagnosis, evaluation, and management. Am
Fam Physician. 2013 Dec 15;88(1):835-40.
3. Reichman EF. Reichman’s emergency medicine procedures. 3rd ed. New York: McGraw Hill
Education; 2019. p. 1514-7.
4. Harvey M, Chanwai G, Cave G. Manual testicular detorsion under propofol sedation. Case Rep
Med. 2009;2009:529346.
5. Hyun GS. Testicular torsion. Rev Urol. 2018;20(2):104-6.
6. Pan F, Zhu Z, Pang Z, Xiao Y, Zeng F. Emergency treatment of testicular torsion and
postoperative follow-up: a 71 case report. J Huazhong Univ Sci Technol. 2012 Oct;32(5):704-6.
7. Radmayr C, Bogaert G, Dogan HS, Kocvara R, Nijman JM, Stein R, et al. EAU Guideline on
Paediatric Urology. Arnhem: European Association of Urology; 2018. p. 19-21.
8. Patil V, Shetty SMC, Das S. Common and uncommon presentation of fluid within the scrotal
spaces. Ultrasound Int Open. 2015 Nov;1(2):E34-40.
9. Cimador M, Castagnetti M, Grazia ED. Management of hydrocele in adolescent patients. Nar Rev
Urol. 2010 Jul;7(7):379-85.
10. Wein AJ, Kavoussi LR, Partin AW, Peters CA. Campbell-walsh urology. 11th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2016. p. 954-5.

Anda mungkin juga menyukai