Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN (American Urological Association, 2013)

Trauma testis didefinisikan sebagai semua cedera yang diderita oleh testis. Jenis cedera
termasuk tumpul , penetrasi dan degloving (avulsi).

 Trauma tumpul mengacu pada luka yang diderita dari benda-benda diterapkan dengan
kekuatan yang signifikan ke skrotum dan testis. Hal ini dapat terjadi dengan berbagai
jenis kegiatan. Contohnya termasuk tendangan ke pangkal paha atau cedera terkena bola.
 Trauma tembus mengacu pada luka yang diderita dari benda tajam, contohnya termasuk
tembak dan luka tusuk.
 Degloving (avulsi) lebih jarang terjadi, salah satu contohnya adalah kulit skrotum yang
terlepas karena terjebak dalam mesin-mesin berat.

EPIDEMIOLOGI (American Urological Association, 2013)

Trauma testis biasanya jarang terjadi. 85% trauma testis biasanya merupakan trauma
tumpul, dan sisanya merupakan trauma tembus dan degloving. Trauma tumpul dapat
ditangani dengan obat-obatan atau bedah, tergantung dari gejala klinisnya. Intervensi bedah
secepatnya memiliki tingkat perbaikan yang lebih tinggi (94% : 79%).

ETIOLOGI (American Urological Association, 2013)

Penyebab tersering dari trauma tumpul pada testis adalah cedera karena olah raga,
tendangan ke selangkangan, kecelakaan lalu lintas, dan jatuh. Sedangkan penyebab tersering
dari trauma tembus adalah luka tembak, luka tusuk, self-mutilation, dan gigitan hewan.
Penyebab tersering dari trauma avulsi adalah kecelakaan saat menggunakan mesin-mesin
berat (mesin pabrik atau bertani).

PATOFISIOLOGI (American Urological Association, 2013)

Testis dilapisi dengan lapisan fibrosa berwarna putih yang terbentuk dari jaringan ikat
yang disebut dengan tunika vaginalis dan tunika albuginea. Tunika albuginea adalah lapisan
viseral yang membungkus testis sedangkan tunika vaginalis adalah lapisan parietal yang
membungkus kantong hidrokel.
Tunika albuginea merupakan lapisan yang terkena bila terjadi ruptur testis, diperlukan
tekanan minimal sekitar 50 kg untuk menyebabkan ruptur testis. Robekan pada tunika
albuginea akan menyebabkan ekstrusi dari tubulus seminiferus dan membuat perdarahan
intratestikular masuk ke dalam tunika vaginalis. Hal ini adalah yang dimaksud sebagai
hematokel. Gangguan pada tunika vaginalis atau ekstensi dari epididimis akan menyebabkan
perdarahan ke dinding skrotum sehingga terjadi hematoma skrotum.

Terdapat dua faktor yang bekerja melindungi testis dari trauma luar minor. Pertama,
lapisan tipis dari cairan serosa (hidrokel fisiologis) memisahkan tunika albuginea dari tunika
vaginalis yang membuat testis dapat bergerak bebas dalam kantong skrotum. Kedua, testis
disuspensi di dalam skrotum oleh funikulus spermatikus sehingga testis dapat bergerak bebas
pada area genital. Jika terjadi trauma tumpul atau tusuk yang berat, mekanisme perlindungan
ini berfungsi untuk melindungi testis dari cidera yang lebih berat.

PRESENTASI KLINIS (American Urological Association, 2013)

Pasien dengan trauma testis biasanya datang ke unit gawat darurat dengan keluhan
utama riwayat cidera (cidera olah raga, selangkangan tertendang, luka tembak). Pasien yang
mengalami trauma tumpul yang berat biasanya menunjukkan gejala berupa nyeri pada
skrotum yang sangat hebat, biasanya sampai terjadi mual dan muntah. Pada pasien dengan
riwayat trauma tumpul minor kemungkinan terjadinya torsio testis dan epididimitis tidak
boleh diabaikan. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan tanda-tanda bengkak, dan terdapat
hematoma. Kemungkinan terdapat ekimosis dari skrotum atau perineum. Pemeriksaan testis
bilateral dan pemeriksaan perineum harus selalu dilakukan. Namun, karena keluhan nyeri
sangat hebat yang dialami pasien, pemeriksaan secara menyeluruh biasanya sulit dilakukan
sehingga pemeriksaan radiologi atau eksplorasi mungkin diperlukan.

Sebagian besar trauma tumpul testis adalah unilateral. Tidak adanya pembengkakan
skrotum dan hematoma kemungkinan menunjukkan cidera yang ringan. Pemeriksaan imaging
dan eksplorasi skrotum diperlukan jika terdapat tanda-tanda ruptur testis atau ketika pasien
mengalami nyeri berlebihan saat dilakukan pemeriksaan fisik. Trauma tumpul pada testis
dapat bermanifestasi sebagai hematokel atau ruptur testis. Tidak terdapat nyeri sama sekali
pada pasien dengan pembengkakan skrotum meningkatkan kemungkinan telah terjadinya
infark testis atau torsio dari funikulus spermatikus.
Pada trauma tembus, tempat masuk dan keluarnya luka harus ditentukan. Hampir 75%
laki-laki dengan trauma tembus pada genitalia memiliki cidera di tempat lain. Pemeriksaan
dengan seksama pada scrotum kontralateral dan perineum harus dilakukan. Singkirkan
kemungkinan terjadinya cidera pada testis kontralateral, uretra bulbar, dan rektum. Evaluasi
juga pembuluh darah temporal, karena biasanya cidera pada daerah selangkangan dapat
disertai dengan perlukaan vaskular. Walaupun jarang, telah dilaporkan terjadinya iskemik
dari testis karena perlukaan vaskular.

Pemeriksaan ultrasonografi dengan Doppler berguna untuk keperluan diagnosa dan


penentuan derajat dari trauma testis. Terdapatnya robekan pada tunika albuginea merupakan
tanda patognomonis dari ruptur testis. Pada hematoma skrotum biasanya terlihat adalnya
penebalan kulit skrotum. USG Doppler juga berguna untuk memberi informasi status
vaskularisasi dari testis. Aliran darah ke testis menunjukkan bahwa pembuluh darah masih
intak. Hilangnya aliran darah menunjukkan terjadinya torsi atau terdapat cidera
devaskularisasi pada funikulus spermatikus.

Pemeriksaan radiologi lainnya, seperti CT Scan atau MRI dapat berguna untuk
mendapatkan informasi tambahan pada kasus yang kurang jelas. Namun, diagnosa definitif
dari ruptur testis hanya dapat ditegakkan di ruang operasi. Eksplorasi skrotum adalah alat
diagnosa terbaik pada trauma testikular yang kurang jelas.

Indikasi dari eksplorasi skrotum antara lain :

 Keraguan dalam diagnosa setelah dilakukannya pemeriksaan fisik dan radiologis.


 Temuan klinis konsisten dengan trauma testis
 Robeknya tunika albuginea
 Tidak terdapatnya aliran darah pada pemeriksaan USG Doppler

PENATALAKSANAAN (American Urological Association, 2013)

Terapi Medikamentosa

Terapi konservatif di rumah sakit dilakukan pada pasien dengan trauma minor, di
mana testis secara tegas masih baik dan tidak terdapat luka pada skrotum. Biasanya terapi
meliputi bantalan testis, NSAID, Ice packs, dan bed rest selama 24-48 jam.
Bantalan testis berguna untuk mengurangi pergerakan pada testis yang dapat membuat
cidera lebih parah. Penggunana NSAID berguna untuk mengurangi oedema skrotum dan
mempunyai efek analgesik. Ice packs ditempelkan pada selangkangan setidaknya setiap 3-4
jam untuk mengurangi bengkak pada fase akut.

Jika terdapat tanda-tanda epididimitis atau infeksi saluran kemih, terapi dapat
ditambah dengan antibiotik.

Terapi Bedah

Pasien dengan riwayat trauma tumpul dan terdapat hematokel biasanya dapat
dilakukan eksplorasi secepatnya untuk mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan.
Namun, beberapa institusi tidak melakukan eksplorasi jika hematokel berukuran kurang dari
5 cm.

Trauma pada testis harus dilakukan repair segera. Penangan yang tidak tepat dapat
menimbulkan terjadinya infeksi, atrofi dan nekrosis. Repair yang terlambat dapat juga
membuat hilangnya spermatogenesis dan fungsi hormonal. Lee dkk (Gachon University,
2008) melaporkan bahwa 20% pasien ruptur testis dengan penanganan konservatif
mengalami atrofi dan menuju ke orchiektomi.

Penanganan cukup adekuat dengan dilakukannya debridemen dari jaringan yang


neurotik, irigasi, homeostasis dan penutupan tunika albunginea. Debridemen harus dilakukan
untuk menjaga jaringan.

Cidera pada vas deferens atau epididimis dapat dilakukan perbaikan dengan teknik
bedah mikro. Hal ini biasnya dilakukan secara bertahap.

Orchidektomi jarang dilakukan, kecuali bila testis sudah mengalami infark total atau
rusak total. Cidera testis biasanya juga disertai dengan hilangnya lapisan skrotum yang
signifikan, yang biasanya merupakan cidera avulsi. Tatalaksana dari cidera avulsi adalah
sebagai berikut :

 Metode yang lebih banyak dipakai adalah penutupan dengan menggunakan sisa dari
kulit skrotum. Minimal 20% dari kulit skrotum dapat menutupi isi skrotum dengan
adekuat. Debridemen harus dilakukan sebelum dilakukan penutupan.
 Jika jumlah kulit skrotum yang tersisa tidak mencukupi, mobilisasi testis ke daerah
yang berdekatan untuk mendapatkan cakupan. Lokasi yang optimal adalah kantong
paha sbkutan, dengan rekonstruksi skrotum dalam 4-6 minggu. Suhu paha adalah
sekitar 10° lebih rendah dari suhu tubuh inti, mendukung spermatogenesis.
 Jika hal di atas tidak dapat dilakukan, usaha terakhir yang dapat dilakukan adalah
dengan mengaplikasikan salin per hari sampai terbentuk jaringan granulasi yang
adeuat pada testis. Dalam 1 minggu, dapat dilakukan skin graft.

KOMPLIKASI (American Urological Association, 2013)

Komplikasi yang dapat terjadi pada cidera testis antara lain :

 Infark testis
 Torsio testis
 Abses epididimis atau abses testis
 Infertil
 Nekrosis testis
 Atrofi testis

Komplikasi yang dapat terjadi pada saat dilakukan eksplorasi skrotum antara lain :

 Perdarahan
 Infeksi

American Urological Association. (2013). Testicular Trauma, AUA, Washington DC.

Department of Urology. (2008). Trauma do Male Genital Organ, Gachon University of


Medicine and Science, Incheon, South Korea

Anda mungkin juga menyukai