Anda di halaman 1dari 9

LEMBAR TUGAS MANDIRI

[PBL Pemicu 1: Saya Terlihat Lebih Kurus]

Nama : Marthin Anggia Sirait


NPM : 1706982683
Modul : Metabolik Endokrin
Kelompok : 5

Tatalaksana Farmakologi Hipertiroidisme

Pendahuluan
Pada pemicu 1, seorang pasien perempuan berusia 33 tahun datang ke poliklinik dengan
beberapa keluhan. Pasien mengeluh berat badannya turun, disertai peningkatan frekuensi buang air besar
namun tidak mencret, berdebar, dan mudah lelah. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah
diastolik menurun dan takikardia. Pada leher terdapat stroma difus dan terdengar bruit. Pada ekstremitas
didapatkan tremor halus, sedangkan pada pemeriksaan fisik organ lain dalam batas normal. Berdasarkan
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien diduga mengalami hipertiroidisme akibat penyakit Grave.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang penanganan kondisi hipertiroidisme, diperlukan pengetahuan
mengenai tatalaksana farmakologi.

Pembahasan
1. Tirotoksikosis, Hipertiroidisme, dan Algoritma Tatalaksana
Tirotoksikosis merupakan sindrom klinik yang terjadi akibat jaringan tubuh yang terekspos
dengan tingkat hormon tiroid yang tinggi dalam darah. Kondisi ini menyebabkan percepatan proses
metabolisme secara umum dalam tubuh. Sedangkan hipertiroidisme merupakan kondisi hiperaktivitas
dari kelenjar tiroid yang menyebabkan peningkatan sekresi hormon tiroid dari kelenjar tersebut.1,2
Secara umum, tirotoksikosis disebabkan oleh penyakit graves (toksik difus goiter), adenoma
toksik, toksik multinodular goiter (penyakit plummer), dan tiroiditis subakut. Penyebab dari
tirotoksikosis secara rinci dapat dilihat pada Gambar 1. Penyebab tirotoksikosis yang paling sering
terjadi adalah penyakit grave. Penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan dan memiliki insidensi
yang memuncak pada rentang 20 sampai dengan 40 tahun.1,2
Gambar 1. Penyebab tirotoksikosis1
Penyakit grave merupakan penyakit autoimun yang diturunkan secara genetik. Pada penyakit
ini, tubuh menghasilkan antibodi yang dapat berikatan dengan reseptor TSH pada sel folikular tiroid. Hal
ini menyebabkan stimulasi sekresi hormon dari kelenjar tiroid, sehingga menyebabkan hipertiroidisme.
Diagnosis dari penyakit grave ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Keluhan dan hasil pemeriksaan fisik yang umum dijumpai pada pasien penyakit grave adalah
palpitasi, hiperkinesia, diare, keringat berlebih, penurunan berat badan tanpa disertai kehilangan nafsu
makan, tremor, dan gejala pada mata. Pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium,
ditemukan penurunan jumlah serum TSH dan peningkatan serum T4 dan T3. Untuk mendiagnosis
penyakit grave secara pasti, dapat dilakukan pemeriksaan autoantibodi reseptor TSH (TRAbs).1,2

Gambar 2. Algoritma tatalaksana penyakit grave3


Setelah mendapatkan diagnosis definitif, tatalaksana dari penyakit grave mengikuti algoritma
European Thyroid Association tahun 2018. Terapi pada penyakit grave adalah untuk menurunkan sintesis
hormon tiroid dengan menggunakan obat antitiroid (ATD) atau dengan menurunkan jumlah jaringan

2
tiroid menggunakan terapi iodin radioaktif (RAI) atau tiroidektomi total. Obat ATD utama yang
digunakan adalah derivat thioamide seperti propilthiouracil (PTU), carbimazole (CBZ), atau metabolit
aktif dari CBZ yaitu methimazole (MMI). ATD digunakan sebagai terapi lini pertama pada penyakit
grave. Selain pemberian ATD, pemberian beta-blocker dirokemendasi untuk tirotoksikosis simtomatik.3
Seperti yang dapat dilihat pada algoritma yang terdapat pada Gambar 2, jika terdapat rekurensi
penyakit atau efek samping pada pemakaian ATD sebagai lini pertama, RAI menjadi pilihan pengobatan
alternatif. Sedangkan tiroidektomi (Tx) jarang digunakan sebagai terapi lini pertama. Umumnya,
tiroidektomi dipilih menjadi metode tatalaksana jika terdapat suspek nodul ganas atau pasien memilih
untuk tidak melakukan terapi ATD atau RAI. Selanjutnya, akan dijelaskan mengenai masing-masing
terapi farmakologi pada penyakit grave.3

2. Beta Blocker (Terapi Simtomatik)


Terapi beta-blocker direkomendasi untuk tirotoksikosis simtomatik, terutama pada pasien lansia
dan pasien tirotoksikosis dengan frekuensi nadi istirahat lebih dari 90 kali per menit atau telah
mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular. Pasien yang menerima terapi MMI disertai beta-blocker
memiliki outcome berupa frekuensi denyut jantung yang lebih rendah, pengurangan kelelahan dan sesak
napas, dan peningkatan fungsi fisik secara umum.3,4
Secara umum, beta-blocker yang direkomendasikan untuk mengendalikan gejala penyakit ini
tidak memiliki selektivitas beta-1 yang cukup, sehingga kontraindikasi pada pasien dengan asma
bronkospastik. Pilihan beta-blocker yang direkomendasi untuk mengendalikan gejala tirotoksikosis
terdapat pada Gambar 3. Obat yang dapat digunakan adalah propanolol, atenolol, metoprolol, nadolol,
dan juga esmolol.4

Gambar 3. Pilihan beta-blocker pada terapi simtomatik tirotoksikosis4

3
a) Propanolol
Propanolol merupakan obat golongan beta adrenoseptor antagonis yang memiliki afinitas
reseptor beta 1 dan beta 2 yang relatif sama, sehingga nonselektif. Pada profil farmakokinetik, propanolol
diabosrpsi dengan baik melalui sediaan oral dan memiliki konsentrasi puncak 1 sampai dengan 3 jam
setelah konsumsi obat. Propanolol mengalami first-pass metabolism yang ekstensif sehingga
bioavailibiltasnya relatif rendah. Biovailibilitas dari propanolol diestimasi adalah 30%. Propanolol
memiliki solubilitas dalam lemak yang tinggi dan waktu paruh memiliki rentang dalam 3,5 sampai
dengan 6 jam.5,6
Profil farmakodinamik dari propanolol dan beta-blocker lainnya memiliki dasar yang sama,
yaitu melalui blokade pada reseptor beta. Pada jantung, blokade ini memiliki efek inotropik dan
kronotropik negatif. Penggunaan propanolol juga memberikan efek pada penurunan tremor, takikardia,
palpitasi, dan ansietas. Propanolol pada dosis yang tinggi (40 mg 4 kali sehari) memiliki aktivitas inhibisi
konversi perifer T4 menjadi T3. Dosis propanolol yang diberikan sebagai terapi tirotoksikosis simtomatik
adalah 10-40 mg dengan frekuensi 3-4 kali sehari.4,6

b) Atenolol
Atenolol merupakan obat antagnosis beta adrenoseptor yang selektif terhadap beta-1. Atenolol
diabsorpsi sekitar 90% pada administrasi oral. Bioavailibilitas atenolol adalah 50-60%, dengan waktu
paruh dalam rentang 6 sampai dengan 7 jam. Sebanyak 6-16% dari total obat dalam serum plasma akan
terikat oleh protein. Atenolol diekskresikan melalui urin dan dapat mengalami akumulasi pada pasien
dengan gagal ginjal, sehingga dosisnya harus di sesuaikan. Dosis atenolol yang diberikan pada terapi
simtomatik tirotoksikosis adalah 25-100 mg dengan frekuensi pemberian 1-2 kali sehari. Keuntungan
penggunaan atenolol adalah peningkatan kepatuhan konsumsi obat karena frekuensi konsumsi obat yang
lebih sedikit. Atenolol juga selektif beta-1, sehingga efeknya lebih terisolasi pada jantung.5,6

c) Metoprolol
Metoprolol adalah obat antagonis selektif reseptor beta-1 yang diabsorpsi hampir seluruhnya
melalui administrasi secara oral. Namun, obat ini mengalami first-pass metabolism ekstensif sehinga
bioavailibilitasnya relatif rendah yaitu sekitar 40%. Waktu paruh metoprolol adalah 3 sampai dengan 4
jam. Dosis yang dianjurkan untuk metorprolol adalah 25-50 mg dengan frekuensi pemberian 2-3 kali
sehari.4,5

4
d) Nadolol
Nadolol bersifat nonselektif terhadap reseptor beta-1 ataupun beta-2. Waktu paruh nadolol
relatif panjang dan dapat mencapai 20 jam. Nadolol diabsorpsi secara inkomplit pada sistem pencernaan
dan bioavailibilitasnya sekitar 35%. Obat ini sebagian besar diekskresikan melalui bentuk utuh karena
tidak termetabolisme secara ekstensif. Pada dosis tinggi, nadolol dapat menginhibisi perubahan T4
menjadi T3 di perifer. Dosis nadolol yang diberikan pada gejala tirotoksikosis adalah 40-160 mg dengan
frekuensi satu kali sehari.4,6

e) Esmolol
Esmolol merupakan beta-blocker selektif reseptor beta-1 dengan onset yang cepat dan durasi
kerja yang singkat. Esmolol dihidrolosis secara cepat oleh enzim esterase pada eritrosit dan memiliki
waktu paruh sekitar 8 menit. Obat ini diekskresikan melalui urin. Esmolol diberikan secara intravena
dengan dosis 50-100 mikrogram/kgBB/menit. Esmolol digunakan dalam kondisi thyroid storm atau pada
pasien dengan tirotoksikosis berat.4,6

3. Anti-Thyroid (Golongan Thioamide)


Tatalaksana farmakologi dengan obat anti-thyroid bertujuan untuk mengontrol kondisi
hipertiroidisme yang terjadi pada penyakit grave. Pilihan obat ATD yang tersedia adalahh
propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) atau derivatnya yaitu carbimazole. MMI selalu menjadi
pilihan pertama untuk pengobatan penyakit grave. PTU lebih direkomendasikan jika pasien sedang dalam
trimester pertama kehamilan, mengalami thyroid storm, ataupun mengalami efek samping dari pemberian
MMI. Selanjutnya, akan dijelaskan mengenai masing-masing obat beserta mekanisme kerja, dosis
optimal, dan efek sampingnya.3,5

a) Propylthiouracil (PTU)
PTU merupakan obat anti-thyroid yang diabsorpsi 20-30 menit setelah pemberian dosis oral.
Durasi aksi dari obat ini singkat. Waktu paruh dari PTU adalah 75 menit dan obat ini terkonsentrasi dalam
tiroid. Eksresi obat beserta metabolitnya dominan melalui urin. PTU terikat dengan protein plasma
sebanyak 75%. PTU, bersama dengan MMI, dapat ditransfer secara transplasental dan terkonsentrasi
pada tiroid fetus, sehingga penggunaannya harus dengan perhatian khusus pada ibu hamil. Namun, PTU
lebih dipilih dibandingkan MMI pada ibu hamil trimester pertama karena sifatnya yang lebih terikat

5
dengan kuat dengan protein plasma, sehingga menembus sawar darah-plasenta lebih lambat. Informasi
profil farmakokinetik obat ini secara rinci dapat dilihat pada Gambar 4.5,6
Mekanisme PTU, dan ATD secara umumnya, dalam mengurangi efek hipertiroidisme adalah
melalui inhibisi pembentuk hormon tiroid. Hal ini dilakukan melalui interferensi terhadap penggabungan
antara iodida dengan residu tirosil dari tiroglobulin dalam sel folikular tiroid. PTU menginhibisi enzim
tiroperoksidase (TPO) yang berperan dalam katalisis proses penggabungan iodida dengan tiroglobulin.
Inhibisi dari proses sintesis hormon ini menyebabkan deplesi dari penyimpanan tiroglobulin yang
teriodinisasi. Inhibisi TPO juga mencegah aktivasi iodin. PTU juga menginhbisi proses deiodinisasi
perifer dari T4 menjadi T3. Mekanisme kerja PTU yang menginhibisi proses diodinisasi ini yang
membedakannya dengan methimazole (MMI). Efek ini yang menyebabkan PTU dapat menjadi pilihan
alternatif ATD pada kondisi hipertiroid berat ataupun kondisi thyroid storm.5,6

Gambar 4. Profil farmakokinetik ATD6


Karena durasi kerja obat yang singkat, PTU diberikan dengan frekuensi 2-3 kali sehari untuk
terapi penyakit grave. Dosis obat dimulai dengan 50-150 mg dengan frekuensi 3 kali sehari. Setelah
fungsi tiroid kembali menjadi normal (euthyroid), dapat dilakukan penurunan dosis menjadi maintenance
dose sebesar 50 mg dengan frekuensi 2 atau 3 kali sehari.3,7

b) Methimazole (MMI) dan Carbimazole


Methimazole (MMI) adalah obat ATD yang menjadi pilihan utama dalam penyakit grave.
Sedangkan carbimazole merupakan derivat carbethoxy dari MMI dan akan mengalami konversi menjadi

6
MMI setelah proses absorpsi dan mengalami dekarboksilasi di hati. Pada profil farmakokinetiknya, MMI
diabsorpsi dengan laju yang bervariasi. Eksresi MMI lebih lambat jika dibandingkan dengan PTU, dalam
48 jam sekitar 65-70% dosis terakumulasi dalam urin. Waktu paruh MMI berada dalam rentang 4-6 jam,
namun waktu paruh tersebut tidak terlalu memiliki makna yang berarti pada durasi kerja obat karena
MMI terakumulasi dalam kelenjar tiroid seperti PTU. Mekanisme kerja MMI sama dengan PTU, namun
MMI tidak memiliki efek inhibisi proses deiodinisasi perifer T4 menjadi T3.5,6
MMI merupakan ATD utama yang digunakan pada penyakit grave yang baru saja terdiagnosis.
Dosis awal MMI yang diberikan adalah 10-30 mg sekali sehari. Sedangkan carbimazole memiliki dosis
awal 15-40 mg per hari. Dosis pemberian obat lalu secara perlahan dititrasi setelah kondisi tirotoksikosis
membaik. Titrasi dosis dilakukan berdasarkan uji penghitungan jumlah T4 dan T3 yang berada dalam
serum yang dilakukan setelah 3-4 minggu terapi. Umumnya, pasien mencapai eutiroidisme setelah terapi
3-4 minggu. Dosis maintenance MMI yang diberikan pada titrasi adalah 2,5-10 mg. Durasi terapi MMI
yang optimal adalah 12-18 bulan. Berdasarkan algoritma European Thryoid Association, terapi pada
orang dewasa dilakukan selama 18 bulan, sedangkan pada anak-anak selama 36 bulan.3,7
Sebanyak 50-55% pasien dewasa masuk dalam masa remisi setelah terapi dalam 12-18 bulan.
Pemeriksaan jumlah TSH-R-Ab (autoantibodi reseptor TSH) dapat dilakukan untuk memprediksi pasien
yang dapat dihentikan pengobatannya, dengan jumlah TSH-R-Ab normal yang memiliki peluang yang
paling tinggi mendapatkan remisi. Jika tingkat TSH-R-Ab pasien tetap tinggi secara persisten walaupun
sudah menjalani terapi MMI selama 12-18 bulan, pengobatan dapat dilanjutkan selama 12 bulan.
Modalitas tatalaksana lain yaitu terapi iodin radioaktif (RAI) ataupun tiroidektomi (Tx) dapat
dipertimbangkan jika pasien tidak responsif terhadap terapi MMI. Semua pasien yang menjalani terapi
MMI harus dilakukan follow-up dalam satu tahun setelah masa pengobatan selesai untuk mengantisipasi
terjadinya relaps.3

c) Efek Samping Berat ATD


i. Agranulositosis
Agranulositosis pada penggunaan ATD (MMI maupun PTU) tidak umum dilaporkan, namun
dapat mengancam nyawa jika terjadi. PTU lebih mungkin menyebabkan agranulositosis pada dosis
berapapun, jika dibandingkan dengan MMI dosis rendah. Agranulositosis umumnya terjadi dalam 3 bulan
setelah inisiasi terapi ATD. Edukasi mengenai efek samping ini penting diberitahu pada pasien sebelum
terapi ATD diinisiasi. Pasien perlu diedukasi untuk mengenali efek samping yang mendeskripsikan
agranulositosis agar segera menghentikan pengobatan dan memeriksa ke dokter.3,4

7
ii. Hepatotoksisitas
Hepatotoksisitas yang disebabkan MMI tipikalnya adalah kolestatik. Sedangkan PTU dapat
menyebabkan fulminant hepatic necrosis yang dapat berakibat fatal. Jika dibandingkan dengan orang
dewasa, anak-anak lebih berisiko mengalami reaksi hepatotoksi dari penggunaan PTU. Evaluasi pada
pasien penting dilakukan sebelum terapi ATD diinisiasi. Evaluasi yang dilakukan adalah white blood cell
count dan fungsi hati. Pasien yang memiliki jumlah neutrofil <1000/mm3 ataupun jumlah enzim hati
transaminase yang meningkat 5 kali lipat dari batas atas normal harus menjadi pertimbangan untuk
menunda inisiasi terapi ATD.4

Penutup
Pasien pada pemicu 1 kemungkinan didiagnosis mengalami penyakit grave. Terapi utama yang
menjadi pilihan adalah pemberian antithyroid (ATD). Obat ATD yang dipilih adalah MMI karena relatif
memiliki efek samping yang lebih ringan dan waktu paruh yang lebih panjang, jika dibandingkan dengan
PTU. Jika setelah terapi MMI 18 bulan tidak terdapat perbaikan atau pasien tidak memasuki masa remisi,
terapi MMI dapat diperpanjang atau terapi dapat diganti menjadi RAI ataupun tiroidektomi.

8
Referensi
1. Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s basic and clinical endocrinology. 10th ed. New York:
McGraw Hill Education; 2018. p. 206-10.
2. Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, Kronenberg HM. Williams textbook of endocrinology. 13th
ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 401-3.
3. Kahaly GJ, Bartalena L, Hegedus L, Leenhardt L, Poppe K, Pearce SH. 2018 european thyroid
association guideline for the management of graves’ hyperthyroidism. Eur Thryoid J. 2018;7:1-
20.
4. Ross DS, Burch HB, Cooper DS, Greenlee C, Laurberg P, Maia AL, et al. 2016 american thyroid
association guidelines for diagnosis and management of hyperthyroidism and other causes of
thyrotoxicosis. Thyroid. 2016;26(10):1343-1421.
5. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. 14th ed. New York: McGrawHill Education;
2018. p. 180-4, 186.
6. Burnton LL, Hilal-Dandan R, Knollmann BC. Goodman and gillman’s the pharmacological basis
of theraupetics. 13th ed. New York: McGrawHill Education; 2018. p. 512-5.
7. The Indonesian society of endocrinology task force on thyroid diseases. Indonesian clinical
practice guideline for hyperthyroidism. JAFES. 2012;27(1):34-9.

Anda mungkin juga menyukai