Anda di halaman 1dari 62

TANAH UNTUK KEHIDUPAN

Perjuangan Reforma Agraria


di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi

Elisha Kartini T. Samon


Syahroni

FSPI
Federasi Serikat Petani Indonesia
Tentang Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
FSPI adalah organisasi massa tani yang beranggotakan
serikat-serikat tani di 12 propinsi di seluruh Indonesia.
Sebagai organisasi perjuangan petani yang terdepan
melawan kolonialisme dan imperialisme gaya baru, dalam
perjuangannya FSPI memilih isu-isu penting yang menjadi
fokus utama dari aktivitasnya, yaitu: reforma agraria,
kedaulatan pangan, hak asasi petani, gender, dan pertanian
berkelanjutan yang berbasis keluarga. Perjuangan FSPI
bertujuan untuk mewujudkan struktur agraria yang
berkeadilan dengan melaksanakan reforma agraria sejati
berdasarkan UU Pokok Agraria Tahun 1960. Karena itulah,
kaum tani yang menjadi anggota FSPI adalah petani kecil
berbasis keluarga, buruh tani, masyarakat adat dan kaum
tak bertanah.

Tentang Penulis
Elisha Kartini T. Samon adalah peneliti pada Lembaga
Pengkajian dan Penelitian FSPI. Penulis bisa dihubungi via
e-mail elisha.kartini@gmail.com

Syahroni adalah Deputi Pengembangan Ekonomi FSPI.


Penulis bisa dihubungi via e-mail roni@fspi.or.id

Editor
Mohammed Ikhwan
m.ikhwan@fspi.or.id

Design
Mohammad Iqbal

Foto dan Ilustrasi


FSPI dan istimewa

Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)


Jl. Mampang Prapatan XIV No. 5
Jakarta – Indonesia 12790
Tel. +62 21 7991890 Fax. +62 21 7993426
Email. fspi@fspi.or.id Website. www.fspi.or.id
Kata Pengantar

Buku ini merupakan salah satu dari tiga dokumentasi


dan analisis kritis mengenai perjuangan mewujudkan
pembaruan agraria. Ketiga buku ini sendiri
mencerminkan pengalaman kaum tani anggota FSPI
dari sudut pandang internal di tiga lokasi: Bukit
Kijang (Asahan, Sumatera Utara), Ngadisono-Lebak
(Wonosobo, Jawa Tengah) dan Suka Maju (Tanjung
Jabung Timur, Jambi). Sepak terjang perjuangan
kaum tani yang selama ini tak tercatat akhirnya
bisa terukir dengan tinta emas sejarah. Perjuangan
panjang kaum tani mewujudkan pembaruan agraria
sesungguhnya tidak terbatas hanya di tiga buku ini
saja. Beribu-ribu, bahkan berjuta-juta cerita lainnya
masih terpendam dan belum bisa dipublikasikan. Hal
ini sesungguhnya menegaskan betapa signifikannya
peran petani di Indonesia, perjuangannya, jumlahnya,
dan kerja-kerja nyatanya membangun bangsa dan
negara.

Cita-cita kaum tani dan rakyat, yakni pembaruan


agraria, bukanlah barang baru. Pembaruan agraria
telah tertuang sebagai cita-cita dari kemerdekaan
nasional serta konstitusi RI dengan tujuan
kesejahteraan, keadilan, kebahagian dan kemakmuran
rakyat. Sehingga kemudian pada perkembangannya
diwujudkanlah cita-cita ini dalam UUPA 1960,
termasuk beberapa program nasionalisasi terhadap
kekayaan alam dan sumber agraria lainnya yang
selama masa kolonialis dikuasai oleh penjajah.
FSPI memandang bahwa sesuai dengan isi dan
kandungan UUD 1945 dan UUPA 1960, hal-hal yang
perlu diatur dalam agraria meliputi seluruh bumi,
air, dan ruang angkasa serta seluruh kekayaan alam
yang terkandung didalamnya. Dalam pengertian
bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawah-nya serta yang berada di bawah air.
Kesemuanya tersebut merupakan satu kesatuan
yang tak dapat dipisah-pisahkan. Hubungan antara
bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam di dalamnya adalah
hubungan yang bersifat abadi.

Perkembangan ekonomi-politik negeri ini adalah


sejarah panjang kolonialisme. Dan jelas pula bahwa
sistem ekonomi-politik yang sekarang, neoliberalisme,
adalah bentuk penjajahan baru. Hal ini tepat seperti
yang dikatakan Bapak Pendiri Bangsa kita sebagai
masa neokolonialisme-imperialisme (nekolim). Sistem
ekonomi dan politik negeri ini tetap meminggirkan
kedaulatan rakyat, sehingga nyata sekali bertentangan
dengan cita-cita kaum tani dan rakyat seperti yang
dinyatakan sebelumnya.

Sebut saja kebijakan dan praktek yang sangat


telanjang meminggirkan kedaulatan rakyat: pasar
tanah, privatisasi air, pengebirian hak asasi manusia,
kebijakan perkebunan, penggusuran, pendidikan
mahal dan kesehatan susah. Berbagai UU, mulai
dari UU Penanaman Modal Asing, Perkebunan,
Kehutanan, Migas, Sumber Daya Air, hingga yang
terakhir Penanaman Modal, memperlihatkan
bagaimana kekuasaan saat ini begitu berpihak kepada
segelintir pemodal dan penguasa.

Tapi tentu saja rakyat tak bisa diam begitu saja.


Mengutip kata Soekarno, “Kalau cacing saja pun diinjak
pasti menggeliat-geliat melawan, kesakitan.” Dan
bahwa perjuangan rakyat sesungguhnya bergelora,
beribu-ribu bahkan berjuta-juta, di daerah-daerah,
terorganisasi maupun tidak, terungkap maupun
tidak, dan merupakan contoh nyata perlawanan
rakyat negeri ini terhadap kebijakan dan praktek
neoliberalisme.

Dan rakyat terbukti memiliki kekuatan tak


tertandingi, tercermin dari kelebihan-kelebihan yang
terdokumentasi dari tiga pengalaman pembaruan
agraria di daerah. Di Bukit Kijang, terbukti
kekompakan adalah kata kunci dari perjuangan
kaum tani. Berbagai rintangan, ancaman dan
represi mereka lalui demi mempertahankan lahan
perjuangan mereka. Secara ekonomi, gerakan yang
mereka galang adalah salah satu hal yang paling
fenomenal dalam sejarah kaum tani di Indonesia. Di
Ngadisono-Lebak, terbukti betapa kaum tani berjuang
mendapatkan hak garap saja sudah mengubah
kesejahteraan mereka secara drastis. Hal ini tentu
membakar semangat kaum tani untuk terus berjuang
mewujudkan pembaruan agraria. Di Suka Maju,
walaupun di tanah transmigrasi yang baru tidak
ideal seperti yang dijanjikan, namun kaum tani disini
tetap ulet bertahan. Walau ditelantarkan pemerintah,
kaum tani tetap bisa bersatu dan menemukan solusi
untuk dapat mandiri. Dan untuk mempertahankan
hak-haknya tersebut, akhirnya kaum tani memahami
esensi perjuangan hingga mampu merebut haknya
dan memenangi pertempuran vis-a-vis perusahaan
perkebunan.

Demikian buku-buku yang disajikan dalam


dokumentasi perjuangan mewujudkan pembaruan
agraria FSPI ini kami persembahkan kepada kawan-
kawan seperjuangan. Dan bahwa perjuangan ini
adalah bagian dari perjuangan panjang kita. Kita telah
menunjukkan keberhasilan-keberhasilan perjuangan
di tingkat lokal. Tentu saja, keberhasilan ini adalah
tonggak-tonggak perjuangan sebagai bagian dari
kekuatan besar yang akan kita bangun di masa
depan.

Buku ini juga menyatakan kembali pentingnya


mencatat perjuangan-perjuangan kita sehingga kita
bisa memperbaiki kelemahan atau meneruskan
keberhasilan yang memang telah baik kita
laksanakan. Tugas dokumentasi dan pencatatan
perjuangan-perjuangan adalah tugas para kader-
kader perjuangan, jadi jangan sekali-sekali dilupakan!
Kolaborasi pencatatan dan deskripsi-analitis yang
dicontohkan kader kita Saudara Ngabidin dan penulis
lainnya merupakan hal membangun dalam organisasi
gerakan tani—yang hingga saat ini cenderung
berkarakteristik tradisional. Sehingga menurut saya,
budaya mencatat-menulis seperti yang dilakukan
oleh Saudara Ngabidin dari Wonosobo adalah hal
yang patut diteladani dan harus diteruskan dalam
kerja-kerja organisasi sehari-hari.

Semoga buku ini bisa memberikan inspirasi


perjuangan hingga rakyat berdaulat dalam politik,
berdikari dalam ekonomi serta berkepribadian
dalam budaya. Pengalaman dalam buku ini juga
diharapkan bisa menjadi panduan dan sandaran bagi
kita semua dalam gerakan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Khusus untuk
kaum tani, perjuangan menegakkan keadilan agraria
demi kedaulatan petani harus terus digelorakan.

Semoga kemenangan selalu menyertai perjuangan


kita!

Jakarta, Desember 2007


Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
Badan Pelaksana Federasi (BPF)

Henry Saragih
Sekretaris Jenderal
Daftar Isi

Kata Pengantar

Awal: Transmigrasi 1
Gambaran Umum Desa Suka Maju 1
Transmigrasi di Tanjung Jabung Timur 4

Pengorganisasian: Geliat Perlawanan Kaum Tani 11


Akar Persoalan: Ketidak adilan Agraria 11
Sekilas PT. Kaswari Unggul 16
Geliat Perlawanan Kaum Tani 19

Buah Perjuangan: Pasca Okupasi 33

Tantangan: Perjuangan Ke Depan 43

Referensi 47
Akronim

Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan


Daerah
BPN Dati II : Badan Pertanahan Nasional Daerah
Tingkat II
CPO : Crude Palm Oil-Minyak Sawit Mentah
D1 : Diploma Satu
D3 : Diploma Tiga
DPP : Dewan Perwakilan Petani
HGU : Hak Guna Usaha
HPH : Hak Pengelolaan Hutan
Humas : Hubungan Masyarakat
Kepmen : Keputusan Menteri
OTL : Organisasi Tani Lokal
Pertajam : Persatuan Petani Jambi
PT : Perseroan Terbatas
SD : Sekolah Dasar
SK : Surat Keputusan
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
Tanjabtim : Tanjung Jabung Timur
UUD : Undang-undang Dasar
UUPA : Undang-undang Pokok Agraria (Undang-
undang No. 5/1960 tentang pokok-pokok
peraturan agrarian)
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 

Awal: Transmigrasi

Gambaran Umum Desa Suka Maju

Desa Suka Maju terletak di Kecamatan Geragai,


Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi.
Propinsi ini sendiri terdiri dari 10 kabupaten/
kota, yaitu Kota Jambi sebagaia ibukota propinsi,
Kabupaten Muara Jambi, Batang Hari, Tanjung
Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Tebo, Bungo,
Merangin, Sarolangun dan Kerinci. Kondisi topografi
di Propinsi Jambi relatif bervariasi dari tanah rawa,
hingga daerah perbukitan.

Kondisi tanah di daerah Propinsi Jambi dapat dikatakan


cukup subur. Hampir separuh (44,65%) dari tanah di
daerah Jambi merupakan tanah subur yang cocok
untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.


Gambar 1. Peta Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Desa Suka Maju sendiri terbentang di wilayah seluas


2.823 hektar. Terletak di sebelah Timur Laut ibukota
propinsi Jambi, dengan perjalanan lebih kurang
3 jam menggunakan kendaraan bermotor. Secara
administratif desa ini terbagi ke dalam 5 dusun,
Dusun Suka Maju, Dusun Sido Rejo, Dusun Sido
Mulyo, Dusun Suka Sari dan Dusun Sido Dadi. Batas-
batas wilayahnya adalah sebagai berikut:

- Timur: Desa Langarnulu dan Desa Kota Baru


- Barat: Wilayah Hak Guna Usaha (HGU) milik PT.
Wira Karya Sakti seluas 120.000 hektar
- Utara: Desa Pandanlagan
- Selatan: Desa Rantau Karya serta wilayah Hak Guna
Usaha (HGU) milik PT. Kaswari Unggul seluas 80.000
hektar.
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 

Pemanfaatan lahan wilayah Desa Suka Maju dibagi


terbagi menjadi seluas 1.701 hektar digunakan sebagai
areal perkebunan tanaman keras, 850 hektar sebagai
daerah tanaman palawija, dan sisanya sebesar 352
hektar digunakan sebagai areal perumahan.

Gambar 2. Peta Wilayah Desa Suka Maju (daerah yang diarsir kuning)

Pada bulan Juni 2007 tercatat jumlah penduduk


di Desa Suka Maju sebanyak 1.994 orang dimana
terbagi menjadi 1044 orang laki-laki dan 876 orang
perempuan. Penduduk tersebut tersebar ke dalam
521 rumah tangga dimana dari jumlah tersebut
503 rumah tangga adalah rumah tangga pertanian.
Umumnya rumah tangga pertanian di Desa Suka
Maju menanam tanaman keras seperti kelapa sawit,
karet, kopi. Dari berbagai jenis tanaman perkebunan
yang ada kelapa sawit merupaka tanaman favorit di
wilayah ini dengan rata-rata produksi sebesar 576
ton per tahun. Grafik berikut menunjukkan rata-
rata hasil produksi pertanian di Desa Suka Maju.


Grafik 1. Hasil Produksi Pertanian Desa Suka Maju per tahun

Kondisi tingkat pendidikan masyarakat Desa Suka


Maju bisa dikatakan masih tergolong rendah. Sebagian
besar dari mereka tidak tamat SD, walaupun juga
ada yang berhasil menyelesaikan hingga perguruan
tinggi. Hingga tahun 2006 tercatat sebanyak 334
orang yang tamat SD, 86 orang tamat SLTP, 37 orang
tamat SLTA, 17 orang berhasil tamat dari akademi
(D1-D3) dan 3 orang berhasil tamat dari perguruan
tinggi.

Transmigrasi di Tanjung Jabung Timur

Program transmigrasi sejarahnya merupakan inisiatif


dari pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad
ke-19, dengan nama kolonisasi pertanian. Program ini
dimaksudkan untuk menyediakan tenaga kerja murah
bagi perkebunan-perkebunan milik Belanda yang ada
di Sumatera. Tenaga kerja tersebut didatangkan dari
Pulau Jawa, yang pada masa itu sudah menjadi pulau
dengan populasi terpadat. Dalam perjalanannya
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 

program ini dihapuskan pada tahun-tahun akhir


penjajahan Belanda, dan kemudian dihidupkan
kembali pada dekade awal pemerintahan Orde Baru.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru program


transmigrasi ini dikembangkan kembali dengan
maksud sebagai salah satu cara untuk memindahkan
masyarakat tak bertanah di kawasan yang padat
penduduk ke daerah yang jarang penduduk. Para
transmigran ini sebagian besar berasal dari Pulau
Jawa, sebagai pulau terpadat di Indonesia, dan
sebagian kecil lainnya berasal dari Bali, Madura. Misi
dari program ini ialah untuk mengurangi kemiskinan
dan kepadatan penduduk, khususnya di Jawa.
Membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat
kurang mampu yang memiliki kemauan untuk
bekerja keras, dan menyediakan tenaga kerja yang
mampu dan bersedia mengolah sumber daya alam di
pulau-pulau lain. Program ini juga digadang-gadang
sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan
swasembada pangan nasional dan meningkatkan
situasi keamanan wilayah Indonesia. Pada sekitar
dekade 1980-an, akhirnya Bank Dunia (World Bank)
dan Bank Pembangunan Asia (ADB) ikut campur dan
memberikan utang pada Indonesia.

Puncak dari program transmigrasi ini berlangsung


antara tahun 1979 hingga 1984. Dimana pada
periode ini sebanyak 553.000 keluarga atau
hampir 2,5 juta orang direlokasi lewat program
ini. Di beberapa wilayah, progran transmigrasi ini
menyebabkan timbulnya masalah kependudukan,
dimana jumlah penduduk transmigran jauh
melampaui penduduk lokal. Hal serupa terjadi pula


Hal serupa terjadi pula di daerah Jambi, dimana


sebagian besar penduduk di Desa Suka Maju,
Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Propinsi Jambi
sebagian besar berasal dari Pulau Jawa. Mereka
adalah masyarakat yang tiba di wilayah ini lewat
program transmigrasi umum. Kedatangan masyarakat
transmigran di wilayah ini pada awal dekade 1980an,
antara tahun 1981 dan 1982. Para penduduk ini
bersedia datang ke tempat yang sama sekali asing
bagi mereka dengan harapan dapat mengubah nasib
mereka lewat bertani.

Dalam program transmigrasi, pertama-tama


masyarakat diberikan fasilitas pemukiman, lahan
pertanian dan bantuan jaminan hidup. Total lahan
yang mereka terima sebesar 2 hektar dengan rincian
rumah tempat tinggal berukuruan 5x7m2, lahan
pekarangan sebesar 0,25 hektar, dan 1,75 hektar
areal perladangan. Sementara bantuan jaminan
hidup merupakan bantuan yang diberikan dalam
bentuk bahan pangan pokok, seperti beras, ikan
asin, garam, gula, minyak goreng kepada keluarga-
keluarga transmigran dalam kurun waktu waktu 16
bulan sejak mereka tiba di daerah transmigrasi.

Program transmigrasi kerap mendapat kritik


dari berbagai pihak karena dianggap tidak
berjalan sesuai yang diharapkan. Di berbagai
lokasi transmigrasi terkadang terjadi konflik
antara para pendatang dengan masyarakat asli.
Belum lagi kegagalan program ini sendiri untuk
memperbaiki kondisi hidup para transmigran.
Seringkali kondisi tanah maupun iklim di daerah
transmigrasi kurang baik untuk wilayah pertanian.
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 

Para transmigran ini, umumnya tidak datang dari


latar belakang pertanian. Dengan kondisi lahan yang
buruk, hampir tidak adanya pelatihan pertanian, serta
infrastruktur yang amat terbatas di banyak kasus
menjadi penyebab kegagalan program transmigrasi.

Situasi yang disebutkan terakhir itulah yang terjadi


di kawasan transmigrasi di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur. Areal transmigrasi ini terletak di area
rawa-rawa yang kerap tergenang air hingga berbulan-
bulan. Kendala lain terkait dengan areal perkebunan
di daerah transmigrasi Kabupaten Tanjung Jabung
Timur ini, ialah lahan pertanian yang diberikan oleh
pemerintah kepada para transmigran ternyata masih
berupa hutan belantara, yang membutuhkan kerja
ekstra keras agar dapat ditanami.

Belum lagi jika menilik hambatan infrastruktur


seperti jalan dan jembatan yang sangat buruk.
Kondisi sekolah dan tempat pelayanan kesehatan
yang sangat minim juga menjadi kendala besar bagi
para transmigran. Pada awal perkembangannya
Desa Suka Maju sempat menjadi salah satu sentra
produksi tanaman pangan di Propinsi Jambi. Hal ini
terkait dengan peraturan pemerintah yang kemudian
diperbaharui dalam Keputusan Menteri Ketenaga
kerjaan dan Transmigrasi No. KEP. 124/MEN/1990
mengenai Pemukiman dan Pengembangan Usaha
Transmigrasi. Atas dasar peraturan tersebut
ditekankan bahwa lahan transmigrasi di daerah
Tanjung Jabung Timur diperuntukkan khusus untuk
pengembangan tanaman pangan, sehingga para
transmigran dilarang keras untuk mengembangkan
budi daya lain selain tanaman pangan.


Foto 1. Tanah rawa bagian dari kawasan perkebunan transmigrasi masyarakat

Namun kondisi alam yang berat akibat tanah rawa


yang kerap banjir hingga beberapa bulan lamanya
dan ketiadaan infrastruktur menyebabkan para
petani di daerah ini seringkali mengalami kerugian
besar. Kerugian ini disebabkan jika tidak karena
rendaman banjir, pasti masalah transportasi—karena
hasil panen mereka sangat sulit untuk dipasarkan
dan kerap busuk sebab untuk menuju pasar terdekat
dibutuhkan waktu 3 hari 3 malam dengan perjalanan
via sungai karena nihilnya infrastruktur: jalan atau
jembatan.

Minimnya sarana pelayanan publik di wilayah


transmigrasi menjadi kendala yang tak bisa
dianggap sepele. Minimnya pelayanan publik di
daerah transmigrasi seringkali memperburuk
kondisi hidup para transmigran. Padahal salah satu
alasan para transmigran ini bersedia mengikuti
transmigrasi adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka. Perubahan ini
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 

justru yang sulit dikejar karena keterbatasan-


keterbatasan yang sangat mengganggu tersebut.

Salah satu contoh keterbatasan pelayanan publik


yang sangat signifikan mempengaruhi kehidupan
para transmigran adalah minusnya sarana
pendidikan. Hal tersebut dikemukakan oleh Rujianto,
seorang petani yang berasal dari Temanggung. Ia
mencontohkan kejadian yang dialami ketiga anaknya.
Bagi Rujianto pendidikan merupakan suatu hal
yang amat penting, dan dia berharap anak cucunya
dapat mengenyam pendidikan yang tinggi. Namun
ternyata hal tersebut sulit dicapai ketika keluarganya
sampai di lahan transmigrasi. Anak pertamanya
berhasil kuliah hingga semester 2, sedangkan anak
kedua dan ketiganya hanya dapat bersekolah hingga
SLTP. Sarana pendidikan amat terbatas di tempat
yang baru, sangat jauh dari lokasi tempat tinggal
dan butuh waktu sangat lama untuk mencapainya.
Sehingga menurutnya anak-anaknya terpaksa harus
drop out dari sekolah.

Dalam kasus masyarakat transmigran, secara khusus


para petani di Desa Suka Maju, Tanjung Jabung
Timur menghadapi masalah terberat yakni ketiadaan
sarana pendukung pertanian. Hal ini ditambah lagi
dengan kondisi lahan di daerah tersebut yang ternyata
merupakan kawasan rawa, yang tentunya menambah
kesulitan tersendiri. Situasi yang merugikan ini
tidak bisa dibiarkan terus-menerus dan menuntut
perubahan yang drastis. Ini menjadi latar belakang
dari keputusan para transmigran untuk pindah dari
lokasi mereka ke lahan dan teritori yang lebih layak.
10

Para petani di beberapa daerah yang paling parah


kondisinya memutuskan untuk pindah dari daerah
transmigrasi mereka ke lahan pengembangan. Lahan
pengembangan merupakan area bagian wilayah
transmigrasi yang disediakan oleh Departemen
Transmigrasi untuk kelompok transmigran
gelombang berikutnya (dengan catatan jika gelombang
sebelumnya berhasil). Selain itu wilayah ini juga bisa
digunakan oleh generasi berikutnya—atau anak cucu
dan keturunan—dari kelompok transmigran yang
ada.

Wilayah lahan pengembangan inilah yang selanjutnya


menuntun kaum tani Tanjung Jabung Timur ke babak
baru kehidupan mereka. Wilayah pengembangan ini
pula yang akan menjadi tonggak perjuangan kaum
tani di daerah ini. Hal ini dikarenakan wilayah lahan
pengembangan menjadi pemicu konflik agraria antara
para petani Desa Suka Maju dengan pihak perkebunan
kelapa sawit PT. Kaswari Unggul. Terdapat berbagai
pihak yang terlibat di dalam penetapan kepemilikan
lahan pengembangan, bahkan di dalam tubuh
lembaga pemerintah.

Bagi Departemen Ketenagakerjaan dan Transmigrasi,


lahan pengembangan merupakan bagian dari daerah
transmigrasi dan dapat digunakan oleh masyarakat
transmigran. Sementara dalam pandangan Badan
Pertanahan Nasional, lahan pengembangan merupakan
lahan yang belum ada pemiliknya dan masih dalam
pengelolaan pemerintah. Hal ini memberikan
wewenang kepada pemerintah untuk mengelolanya
atau memberikan hak pengelolaan kepada pihak lain.
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 11

Pengorganisasian: Geliat
Perlawanan Kaum Tani

Akar Persoalan: Ketidakadilan Agraria

Ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia telah


terjadi sejak lama, jauh semenjak masa penjajahan
Belanda. Sebanyak 70 persen petani di negeri ini
hanya menguasai 13 persen dari total lahan pertanian
yang ada, sementara 30 persen sisanya justru
menguasai 87 persen lahan yang ada1. Berbagai
konflik tanah yang terjadi di bumi agraris ini akibat
adanya ketidakadilan dalam penguasaan sumber-
sumber agraria. Dan dalam perkembangannya konflik
ini seringkali menimbulkan korban. Sumber agraria
yang seyogyanya dimanfaatkan demi kepentingan
orang banyak seperti yang tertuang dalam konstitusi
negeri ini kerap kali dieksploitasi demi kepentingan
sejumlah kecil orang, khususnya para pemilik modal.
12

Hal ini lah yang menjadi dasar terbentuknya gerakan-


gerakan tani di Indonesia yang berusaha mewujudkan
reforma agraria sejati di negeri ini dalam usaha
mencapai keadilan sosial. Pada dasarnya tujuan
pelaksanaan reforma agraria, yang tidak hanya sebatas
land reform, ialah untuk memperbaiki keadaan sosial
ekonomi petani dengan memperkuat dan memberi
makna sosial pada hak penguasaan sumber-sumber
agraria, mengakhiri sistem penindasan manusia
terhadap manusia lainnya, dan meningkatkan
motivasi kerja bagi petani2.

Dalam mewujudkan reforma agraria sejati demi


melawan ketidak adilan agraria gerakan tani
seringkali harus menghadapi musuh-musuh yang
amat tangguh, antara lain (1) Pemerintahan yang
menjadi boneka imperialis (2) Kekuatan politik yang
mengakomodasi sisa-sisa feodalisme, neo-liberalisme
dan militerisme, tuan tanah, dan tengkulak/lintah
darat. (3) Sisa-sisa rezim Orde baru. Bentuk hubungan
produksi yang feodal paling mudah dikenali adalah
penguasaan tanah yang berlebihan oleh segelintir
orang yang mempekerjakan buruh tani di atas tanah
yang dikuasainya. Dalam hubungan produksi yang
bersifat feodal ini dikenali dengan ciri yang masih
berlaku sampai saat ini yaitu berupa sistem bagi hasil
yang sebagian besar pemilik tanah mendapat bagian
yang lebih banyak, sistem sewa tanah yang tinggi,
memberi upah yang kecil, serta adanya praktek-
praktek tengkulak dan pemberian hutang dengan
sistem riba3.

Kelompok yang anti reforma agraria di atas juga


muncul dan harus dihadapi para petani di Desa
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 13

Maju, Tanjung Jabung Timur dalam memperjuangkan


hak atas tanahnya. Usut punya usut, sejarah
perkembangan yang melatar belakangi masyarakat di
Desa Suka Maju tersebut pindah ke wilayah lahan
pengembangan ataupun melakukan penggarapan
lahan secara bersama-sama, adalah semata-mata
untuk memperbaiki kesejahteraan hidup mereka
dengan bertani. Keluarga-keluarga tani pekerja keras
itu tidak mudah menyerah ketika mereka dihadapkan
pada situasi alam Sumatera yang notabene sulit, yakni
keberadaan topografi yang berupa rawa-rawa dan
vegetasi hutan dengan dominasi pohon berukuran
besar, ditambah lagi secara teknis infrastruktur
pembukaan, penyiapan lahan dan pengolahan lahan
yang dimiliki petani sangat minim sekal—dan jangan
lupa, tidak disediakan oleh pemerintah saat itu! Di
sisi lain seringkali yang harus mereka hadapi lebih
berat dari sekedar kondisi alam, seperti kepentingan
ekonomi sekelompok orang atau institusi yang
berkepentingan juga untuk mendapatkan lahan
pengembangan transmigran itu.

Sangat ironis di saat kaum tani baru mulai membenahi


kehidupan mereka, tantangan baru datang dari pihak
penguasa dan perusahaan swasta yang merangsek
masuk dengan dukungan pemerintah daerah
setempat. Pada tahun 2002, para petani di Desa Suka
Maju harus menghadapi bentuk ketidakadilan agraria
yang sangat manifest (nyata) dalam sehari-harinya.
Lahan yang telah pelan-pelan direstrukturisasi
oleh masyarakat tiba-tiba diklaim oleh PT. Kaswari
Unggul sebagai bagian dari lahan perkebunan milik
perusahaan tersebut. Perusahaan perkebunan ini
mengklaim bahwa mereka telah memiliki Hak Guna
14

Usaha (HGU) sebesar 80.000 hektar di kawasan


tersebut, dan itu termasuk juga di dalamnya wilayah
seluas 400 hektar tempat tinggal baru para kaum
tani Desa Suka Maju tersebut.

Kasus ini hanya satu contoh kecil di antara ribuan


konflik agraria yang terjadi di negeri ini. Tokoh-
tokoh perjuangan agraria yang ada di desa ini,
seperti Harjonarno, Suradji, Purnomo, mendasarkan
perjuangan mereka pada UUD 1945 dan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960. Salah satu
tokoh masyarakat, Harjonarno, mengatakan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam hendaknya digunakan
untuk kemakmuran rakyat, dan bukan hanya
pada segelintir tangan terutama demi kemakmuran
pemodal. Bahwa mereka tidak melakukan sesuatu
yang salah dengan mengolah dan memanfaatkan
lahan yang selama ini terbengkalai dan menghasilkan
sesuatu yang produktif darinya, yang menurut mereka
adalah mandat pasal 33 UUD 1945 dan pasal 1 UUPA
No. 5/1960.

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung


didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”

Hal yang melatarbelakangi para petani Desa Suka


Maju untuk menduduki lahan pengembangan
transmigrasi adalah untuk memperbaiki kondisi
kesejahteraan keluarga lewat bertani. Dalam bentuk
legitimiasi apapun, dalam fikiran para petani adalah
bagaimana secara de facto dapat menguasai lahan,
lalu mengolahnya dan menghasilkan kemudian dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup. Ini “kesadaran”
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 15

awal yang dibangun di awal pengorganisasian. Para


transmigran yang datang dengan latar belakang
yang berbeda-beda ini umumnya mengatakan bahwa
mereka ingin bertani agar dapat mandiri secara
ekonomi, dan ingin agar anak-anak mereka tidak
harus merantau seperti mereka lagi karena telah
memiliki lahan tempat mereka bisa menggantungkan
hidup.

Sekitar sepuluh tahun sudah mereka hidup di lahan


tersebut dan kemudian pihak perkebunan datang dan
menggarap lahan tahun 2001. Hal ini cukup aneh
karena pemerintahan daerah sebenarnya mengetahui
mengenai keberadaan kaum tani di daerah tersebut.
Babak baru penindasan pun terjadi di wilayah ini,
ditandai dengan diberikannya Hak Guna Usaha
(HGU) kepada pihak perkebunan PT. Kaswari Unggul
di wilayah yang telah didiami oleh ratusan keluarga.
Fenomena ini menunjukkan betapa pihak pemerintah
masih sangat tidak berpihak kepada rakyatnya
sendiri. Fakta bahwa bersekutunya pihak penguasa
dengan pemodal kembali terjadi di Desa Sukamaju
dimana ada usaha-usaha untuk memarginalkan
petani. Padahal seyogyanya kaum tani diberikan hak
atas pengelolaan lahan dalam upaya pemerataan
keadilan sosial—dan hal ini harusnya didukung
pelaksanaannya oleh pemerintah.

Dalam hal ini bila dilihat secara posisi lahan, nampak


bagaimana hubungan sosial, budaya, ekonomi antara
lahan dengan petani sudah terbangun jauh sebelum
kepentingan sekelompok orang (perusahaan) datang
yang sarat dengan manipulasi dan eksloitasi atas
lahan dan petani. Tanah adalah kebudayaan, tanah
16

adalah kehidupan dan sudah terpatri dihati para


petani di desa Suka Maju. Namun demikian pihak
Pemerintah Daerah Tanjung Jabung Timur tidak
melihat hubungan tanah dengan petani ini secara
nyata, mereka lebih memilih berpihak kepada pemodal
yakni dengan memberikan ijin prinsip pengelolaan
lahan atas lahan pengembangan transmigrasi itu.

Secara umum, dalam banyak kasus yang terjadi,


konflik atas lahan ini adalah tarik menariknya
dua kepentingan, yakni kepentingan rakyat tani
khususnya dengan kepentingan perusahaan
(pemodal), pemerintah dan militer sebagai sebuah
persekutuan yang kerapkali berkolaborasi sehingga
penindasan-penindasan dan kekerasan di atas lahan
banyak dialami oleh kaum tani. Contohnya adalah
konflik lahan untuk latihan perang, lahan-lahan
untuk pembangunan, dan konflik lahan hutan serta
pembukaan lahan perkebunan secara besar-besaran
di wilayah luar Jawa.

Sekilas PT. Kaswari Unggul

PT Kaswari Unggul yang menjadi sumber konflik


di wilayah Tanjung Jabung Timur ini merupakan
suatu perusahaan daerah yang bergerak di sektor
perkebunan kelapa sawit dan industri pengolahan
minyak sawit mentah-Crude Palm Oil (CPO).
Perusahaan ini resmi berdiri pada 17 Oktober 1995
di Kota Jambi. Dalam pengembangan perkebunannya
PT. Kaswari Unggul mengatakan menggunakan
model yang disebut PIR Koperasi atau dalam istilah
yang mereka gunakan ketika berhadapan dengan
para petani adalah Bapak Angkat atau Kemitraan.
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 17

Perusahaan ini diberikan hak untuk mengelola lahan


seluas 54.500 hektar oleh Badan Pertanahan Nasional
Daerah Tingkat II (BPN Dati II). Lahan tersebut
terbagi menjadi lahan inti sebesar 12.500 hektar yang
disesuaikan dengan SK Pelepasan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia pada bulan Juli 1999 dan lahan
plasma sebesar 43.000 hektar. Dalam informasi awal
(preliminary information) pendirian perkebunan,
lahan yang diberikan hak kelolanya pada PT.
Kaswari Unggul terletak di Kecamatan Dendang dan
Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dari
informasi ini saja dapat dilihat betapa perusahaan
ini telah melanggar ijin pengelolaan yang diberikan
oleh BPN Dati II ketika mereka membuka perkebunan
baru di Desa Suka Maju, karena desa ini terletak
di Kecamatan Geragai, Kab. Tanjabtim yang tidak
termasuk ke dalam wilayah hak kelola PT. Kaswari
Unggul.

Lebih jauh ditelusuri sesungguhnya status lahan


inti milik PT. Kaswari Unggul patut mendapatkan
pertanyaan, karena berdasarkan Rencana Struktur
Tata Ruang Propinsi Jambi, lahan inti tersebut
termasuk ke dalam kawasan budidaya pertanian,
di mana diketahui bahwa perusahaan ini tidak
bergerak di bidang tanaman pertanian. Berdasarkan
peta konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH), wilayah
lahan inti perkebunan terletak pada lahan eks HPH
beberapa perusahaan lain seperti PT. Betara Agung
Timber, PT. Kamiaka Surya dan PT. Bhara Induk.
18

Gambar 3. Daerah yang Diarsir Menunjukkan Peta Lokasi Perkebunan PT Kaswari Unggul

Pada awal pendiriannya perkebunan ini hanya


memiliki lahan yang relatif kecil yaitu sebesar 600
hektar. Namun dalam kurun waktu 6 tahun, lahan
perkebunan mereka berkembang amat pesat menjadi
13.000 hektar. Dari luas tersebut baru 8000 hektar
dari lahan inti yang mereka kelola, sementara sisanya
sebesar 5000 hektar merupakan kebun plasma.
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 19

Geliat Perlawanan Kaum Tani

Tuntutan perjuangan Reforma Agraria Sejati secara


hakikat tidak berhenti pada penguasaan atas tanah
saja. Namun lebih dari itu, penguasaan atas tanah itu
penting karena sumber-sumber agraria yang strategis
terletak baik di atas maupun di dalam tanah. Menyoal
tentang cerita perjuangan reforma agraria ini, Jika
kita mencoba menelaah perjuangan yang dilakukan
oleh para petani di Desa Suka Maju berdasarkan
prinsip reforma agraria sejati maka para petani ini
sudah berhasil melakukan beberapa tahapan penting
menuju reforma agraria sejati yang diinisiatifkan oleh
rakyat (agrarian reform by leverage).

1. Pengorganisasian Kaum Tani Transmigran


”Kondisi sosial akan menentukan kesadaran sosial”,
hal inilah yang tergambar di komunitas transmigran
desa Suka Maju. Jauh sebelum timbulnya konflik
dengan PT Kaswari Unggul, para petani di wilayah
ini yang asalnya merupakan kelompok transmigran
telah memutuskan untuk melakukan okupasi lahan
pengembangan dengan motivasi untuk memperbaiki
kondisi ekonomi mereka. Pada dasarnya praktek yang
telah dilakukan para petani ini adalah sebuah bentuk
kongkrit atas perjuangan reforma agraria. Para petani
menyadari bahwa hal krusial yang dibutuhkan untuk
mewujudkan reforma agraria sejati oleh rakyat yaitu
kelompok tani dan musyawarah warga. Wadah ini
digunakan oleh para petani yang merasa senasib
ketika program transmigrasi yang diharapkan dapat
mengubah nasib mereka ternyata gagal untuk mulai
mengidentifikasi lahan yang dapat mereka gunakan
untuk menggantikan lahan transmigrasi mereka.
20

Secara kultur, kesadaran berkumpul dalam sebuah


wadah bagi masyarakat transmigran bukanlah
hal baru, dikarenakan kesamaan kondisi, cita-
cita dan asal daerah. Jadi mengorganisasikan diri
dan merapatkan barisan bagi petani transmigran
adalah hal yang biasa dan awam dilakukan.
Selanjutnya, tinggal bagaimana wadah ini didorong
kearah perjuangan yang lebih terstruktur lagi.

Bila menilik pada kesadaran perjuangan petani


desa Suka Maju, pada saat mereka melakukan
okupasi ini selain didasarkan pada pemahaman
mengenai UUD 1945 dan UUPA No. 5/1960 mereka
juga merasa memiliki landasan hukum yang kuat
karena lahan yang mereka okupasi merupakan
lahan pengembangan. Lahan pengembangan ini
seperti yang telah diungkapkan pada penuturan
sebelumnya menjadi bagian dari wilayah transmigrasi.

Dalam perkembangannya, berangkat dari


pengorganisasian dengan cara tradisional, kultural
dan kedekatan emosional melalui musyawarah-
musyawarah desa, perlahan para petani Desa Suka
Maju mulai menuju menjadi organisasi modern
dengan melakukan gerakan untuk merapikan
organisasi. Organisasi Tani Desa Suka Maju
membuat kelompok-kelompok dan membuat
struktur yang jelas guna memudahkan kordinasi,
dan dengan fakta ini terbukti organisasi menjadi
semakin kuat dan modern. Kelompok-kelompok
tani yang ada meliputi 5 Organisasi Tani Lokal
(OTL), yaitu OTL Sinar Harapan Maju, OTL Bunga
Raya, OTL Mukti Tani, OTL Karya Mukti, dan OTL
Suka Maju. Kelima OTL ini merupakan anggota dari
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 21

Persatuan Petani Jambi (Pertajam) yang berdiri sejak


tahun 1998. Di level nasional, Pertajam merupakan
anggota dari Federasi Serikat Petani Indonesia
(FSPI).

Kebutuhan penguatan organisasi tani di Desa Suka


Maju ini disadarai bahwa, perjuangan reforma agraria
adalah perjuangan global yang tentunya banyak
resiko dan kendala dari kelompok yang anti reforma
agraria. Akhirnya, strategi perjuangan agraria secara
organisasi mulai disusun secara sistematis, baik
melalui aksi lapangan (pendudukan dan pembagian
lahan), kampanye media, dan melakukan tekanan
massa ke pemerintah (aksi massa, delegasi dan
hearing serta petisi).

2. Pendudukan, Pembagian dan Pengelolaan Lahan


Secara de facto kaum tani Desa Suka Maju yang
terdiri dari 5 OTL (dengan 3 koordinator: Suradji,
Harjonarno dan Purnomo) mulai menduduki lahan
semenjak tahun 1991, pada saat itu lahan yang ada
masih berupa hutan belukar. Proses pendudukan
lahan ini diawali dengan membuat kesepakatan
bersama dari tiap-tiap kelompok. Kesepakatan
itu berisi tentang wilayah garapan, luasan lahan,
waktu dan membuat aturan-aturan sederhana serta
lebih khusus lagi diatur tentang kemungkinan-
kemungkinan bagaimana kalau ada ancaman dari
pihak lain. Setelah itu Kelompok-kelompok awal
yang berjumlah sekitar 200 keluarga tani yang
memasuki kawasan ini melakukan penebasan secara
sendiri-sendiri dan kepemilikan lahan ditentukan
berdasarkan kekuatan masing-masing orang untuk
membuka hutan tersebut dan menyiapkannya agar
22

siap ditanami. Beberapa kelompok awal yang masuk


ke kawasan hutan ini antara lain kelompok-kelompok
tani yang dipimpin oleh Harjonarno dan Suradji.

Lahan hasil pendudukan dibagi berdasarkan


koordinator kelompok masing-masing dan tentunya
berdasarkan hasil musyawarah bersama. Seperti yang
terjadi di kelompok OTL Sinar Harapan Maju dengan
koordinator pak Harjonarno yang beranggotakan 33
rumah tangga, kaum tani menggunakan mekanisme
pembagian lahan menjadi kavling-kavling seluas
50 x 250m2 per rumah tangga dan untuk penetapan
lokasinya dilakukan dengan sistem lotre.

Sementara itu di OTL Bunga Raya, pembagian


lahannya dilakukan dengan cara para anggota berhak
menerima lahan seluas kemampuan mereka untuk
membuka lahan yang masih berupa hutan tersebut.
Perbedaan masalah pembagian lahan ini memang
merupakan masalah pelik yang masih membutuhkan
musyawarah dan pencapaian konsensus bersama.
Hingga hari ini masih terasa bagaimana masalah
pembagian lahan masih menjadi akar ketegangan
antara satu kelompok tani dengan kelompok tani
lainnya. Antara satu OTL dengan OTL lainnya masing-
masing merasa bahwa yang kelompok lain memiliki
lahan lebih luas dari kelompoknya. Walaupun secara
kasat mata terlihat bahwa para petani sudah mulai
membangun kehidupan ekonomi mereka masing-
masing di atas lahan yang mereka miliki saat ini.

Pembukaan dan pengelolaan lahan ini dilakukan


secara berangsur sesuai dengan kemampuan
kelompok masing-masing. Sedangkan aturan yang
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 23

dibuat antara lain: (1) anggota wajib membuka dan


menanami lahan sebagai bentuk kekuatan hukum
di lapangan, (2) anggota tidak boleh memindah
tangankan lahan kepada orang luar yang bukan
orang setempat, (3) pembatasan luasnya lahan dan (3)
bekerja bergotong royong untuk hal-hal yang bersifat
untuk umum seperti jalan dan saluran irigasi.

Secara umum, lahan yang telah diduduki sudah


dibagi dan di buka, namun untuk penanaman masih
bertahap. Peruntukan lahan hasil perjuangan adalah
untuk tanaman yang bersifat tahunan seperti karet
dan sawit, disisi lain sambil menunggu hasil tanaman
tahunan tersebut, petani menanami tanaman
hortikultura seperti kacang-kacangan dan sayuran.

3.Lika-likuPerjuangan
Ketika kemenangan kecil sudah diraih dan para
petani baru mulai membenahi lahan, sekitar
medio 2001 datanglah undangan pertemuan di
Balai Desa Suka Maju, Tanjung Jabung Timur.
Pertemuan ini diselenggarakan oleh pihak aparat
desa bersama perusahaan PT. Kaswari Unggul
dengan mengumpulkan seluruh masyarakat desa.
Pertemuan ini dihadiri ratusan orang. Dari pihak
pemerintahan lokal pada saat itu hadir kepala desa,
utusan dari kantor bupati Tanjung Jabung Timur,
kepala dinas perkebunan, camat, pihak kepolisian
dan tentara. Dari pihak perkebunan selain para
pengusahanya juga nampak sejumlah orang yang
tidak dikenal yang diduga sebagai pamswakarsa.

Pertemuan ini menjadi awal dimulainya konflik


agraria antara masyarakat desa dengan pihak
24

perkebunan yang di dukung aparat pemerintah desa.


Dalam pertemuan ini pihak aparat pemerintahan
dan perusahaan memberikan kesan bahwa akan
dikembangkan suatu mekanisme ’bapak asuh’ antara
perkebunan dengan para petani. Para petani dijanjikan
kerjasama yang menguntungkan jika mereka bersedia
menyerahkan lahan mereka. Pada awalnya para
petani sudah hampir bersedia untuk menyerahkan
lahan mereka, namun di tengah perundingan
seorang petani tua menantang pihak perkebunan dan
bertanya bagaimana status lahan tersebut jika lahan
itu diserahkan. Dalam benak para petani, lahan itu
awalnya akan dikelola oleh perusahaan dan nantinya
dikembalikan ke petani atau dikelola bersama-sama.
Pihak perkebunan yang dalam kasus ini salah langkah
dengan tenang menyatakan bahwa jika diserahkan
lahan itu akan menjadi milik perusahaan. Jawaban
inilah yang menjadi pemicu kemarahan para petani
dan dari sinilah berawal konflik antara para petani
yang memperjuangkan hak mereka dengan pihak
perkebunan yang ingin memperluas keuntungan
mereka.

Kekesalan para petani terhadap pihak perkebunan


juga sebenarnya juga dilatarbelakangi fakta bahwa
pihak perkebunan baru mengklaim ketika lahan
sudah dirapihkan dan siap ditanami. Ketika areal
tersebut masih berupa hutan rimba tidak ada yang
datang. Kini setelah masyarakat bekerja keras
membuka hutan, menggarap lahan tersebut (dan
hal tersebut bukan suatu pekerjaan yang mudah),
baru banyak pihak yang datang mengklaim lahan
tersebut. PT Kaswari Unggul merupakan salah
satu yang paling getol—dan kepentingannya
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 25

sangat terasa atas kepemilikan di lahan tersebut.

Setelah pertemuan awal di balai desa tersebut


masyarakat desa membuat petisi yang menyatakan
nama-nama orang yang tidak senang dengan
keberadaan PT Kaswari Unggul. Yang terutama kaum
tani kampanyekan yakni keberadaan PT ini di Desa
Suka Maju dikhawatirkan akan merampas hak rakyat
untuk mengolah lahan demi kesejahteraan rakyat.
Petisi tersebut ditanda tangani oleh 219 orang yang
dengan tegas menolak kehadiran perkebunan tersebut
di desa mereka yang diajukan ke pihak aparat desa.
Langkah penandatanganan petisi ini bisa dikatakan
sebagai salah satu strategi membangun konsep
pembelaan terhadap lahan yang telah dikelola selama
ini.

Namun setelah proses pengajuan petisi kepada pihak


desa, para petani di Desa Suka Maju sejenak seakan-
akan lupa bahwa kekuatan bersama akan jauh lebih
kuat untuk mengatasi konflik ini. Para petani yang
tergabung dengan lima OTL yang berbeda sempat
berkumpul sendiri-sendiri dan menyusun strategi
mereka masing-masing untuk menghadapi PT. Kaswari
Unggul. Melihat situasi yang berkembang di tingkat
basis ini, para pengurus Pertajam merasa bahwa
perjuangan ini tidak akan berhasil jika para petani
tersebut berjalan sendiri-sendiri. Pertajam pun mulai
mengatur konsolidasi antara para tokoh organisasi
tani yang ada di Desa Suka Maju. Hal ini menjadi
gambaran pentingnya dibutuhkan suatu organisasi
tani yang kuat untuk mendukung terlaksananya
penguasaan lahan menuju reforma agraria sejati.
26

Setelah kasus petisi kaum tani, PT Kaswari Ung-


gul secara sadar mulai melakukan langkah-langkah
represif terhadap para petani. Mereka memblokir ja-
lan keluar-masuk dari desa, dan tidak mengijinkan
siapa pun masuk atau keluar dari sekitar area terse-
but. Istilahnya, ”keamanan” di wilayah ini diperketat.
Hal ini dilakukan pihak perkebunan untuk mencegah
masyarakat berkumpul dan mengatur rencana per-
lawanan. Namun hal itu tidak mencegah kaum tani
untuk menegakkan hak-haknya.

Pertemuan-pertemuan dan konsolidasi kaum tani


pun terpaksa dilakukan pada waktu tengah malam,
bahkan harus dilakukan di tengah lahan sengketa.
Pengurus Pertajam yang datang dari Jambi dalam
upayanya menyatukan kelima OTL seringkali harus
disembunyikan warga karena dikejar-kejar pihak
pamswakarsa perkebunan. Diskusi-diskusi diatur
secara diam-diam dan berpindah-pindah, walaupun
paling sering dilakukan di kediaman Rujianto, yang
merupakan salah seorang Dewan Perwakilan Petani
(DPP) Pertajam yang tinggal di Desa Suka Maju ini.
Para pengurus Pertajam mengadakan diskusi bagi
para petani dari kelima OTL yang berbeda ini untuk
menyadarkan mereka bahwa masalah yang mereka
hadapi sama dan musuh yang mereka lawan juga
sama, untuk itu perlu dibangun persatuan antara
para petani tersebut agar kekuatan perlawanan mer-
eka semakin besar.

Proses selanjutnya perjuangan para petani ini bu-


kanlah bertambah mudah. Berbagai intimidasi dan
kekerasan harus mereka rasakan selama proses
perlawanan. Intimidasi dan kekerasan yang mereka
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 27

alami ini datang dari aparat derah maupun oknum-


oknum yang tidak diketahui identitasnya. Salah satu
contohnya ialah peristiwa yang dialami oleh Suraji,
seorang petani karet kelahiran Banyuwangi yang saat
ini merupakan pimpinan OTL Bunga Raya di Desa
Suka Maju, Tanjung Jabung Timur. Dirinya pernah
ditahan selama 3 hari 3 malam tanpa diberi makan
selama 2 hari 2 malam karena dituduh mencuri la-
han. Contoh lain terjadi pada Harjonarno, pimpinan
OTL Sinar Harapan Maju, yang juga harus mengha-
dapi intimidasi dari orang-orang yang tidak dikenal
dengan tuduhan memindahkan desa tanpa ijin.

Para petani yang kemudian menyadari pentingnya


menggalang perlawanan bersama ini lalu melakukan
aksi ke kota Jambi, ibukota Propinsi. Aksi ini diorganisir
oleh Sarwadi, seorang petani yang mendapat tanggung
jawab untuk membenahi organisasi Pertajam (yang
berkaitan dengan kasus-kasus pada saat itu). Aksi
yang dilakukan sekitar akhir tahun 2001 ini diikuti
oleh ratusan petani dari 2 kabupaten yaitu Kabupaten
Tanjung Jabung Timur dan rekan-rekan mereka dari
Kabupaten Muara Jambi. Aksi tersebut dilakukan
sehari semalam, dan cukup menarik perhatian
banyak orang—namun sayang tidak berhasil menarik
perhatian pihak pemerintah propinsi.

Dalam aksi tersebut para petani melakukan long


march mengelilingi kota Jambi pada siang hari,
mulai dari depan kantor gubernur, menuju kantor
kejaksaan dan berakhir di di depan patung Sultan
Thaha, monumen patung pahlawan di tengah kota
Jambi. Malam harinya mereka mengadakan renungan
di depan monumen tersebut. Inti renungan tersebut
28

antara lain mengenai tidak berpihaknya pemerintah—


betapa pihak pemerintah seringkali bertingkah seperti
patung, bisu dan tuli terhadap keluhan masyarakat.
Renungan tersebut juga menyadari bahwa aksi yang
mereka lakukan hari itu tidak ada menghasilkan
tanggapan sama sekali dari pihak pemerintah.

Pantang menyerah, para petani ini melakukan aksi


berikutnya di depan kantor Kabupaten Tanjung
Jabung Timur. Langkah yang mereka tempuh untuk
menuju kantor tersebut tidak lah mudah. Akibat
pemblokiran jalan desa oleh pihak perkebunan,
para petani ini terpaksa mencari jalan lain—jalan
memutar—menuju kantor kabupaten yang cukup
jauh dari desa mereka, sekitar 50 km. Pada akhirnya,
kaum tani menggunakan jalan sungai untuk menuju
ke kantor kabupaten. Mereka berangkat dari desa
pada sore hari dan tiba di tujuan pada malam hari
lalu lanagsung berkemah di depannya. Sehingga
ketika pegawai kantor Kabupaten Tanjung Jabung
Timur tiba pada pagi hari, yang mereka lihat pertama
kali adalah para petani yang menuntut hak mereka.

Ratusan petani dari Desa Suka Maju berkumpul di


depan kantor Bupati menuntut pihak pemerintah
agar menarik surat ijin pemanfaatan lahan milik PT
Kaswari Unggul di wilayah tempat tinggal mereka.
Pada saat dialog, pihak Kabupaten berjanji akan
menyelesaikan masalah sengketa lahan. Namun
janji ini nampaknya tinggal janji-janji belaka,
karena setelah beberapa bulan tidak ada tanda-
tanda implementasi langkah-langkah untuk menarik
ijin penggunaan lahan oleh PT Kaswari Unggul.
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 29

Setelah beberapa bulan menanti janji yang diberikan


bupati untuk terealisasi, masyarakat desa akhirnya
memutuskan untuk kembali menekan pihak
pemerintah. Kali ini sasaran yang dituju adalah
DPRD Tingkat II Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Para petani ini tidak takut ataupun menyerah bahkan
ketika mereka harus berhadapan dengan para tentara
yang menghadang. Bagi mereka, lebih baik berjuang
hingga tetes darah penghabisan daripada harus
menyerahkan tanah yang sudah dikelola dengan
susah payah. Prinsip tanah untuk petani (land to
the tiller) memang terpatri kuat di hati kaum tani
yang berjuang susah payah ini. Dalam kesempatan
ini para petani menyerahkan surat tuntutan kepada
Bupati untuk menyelesaikan permasalahan tersebut
paling lambat satu bulan dari saat penyerahan surat
tersebut. Surat tuntutan itu ditanda tangani oleh
Humas Desa Suka Maju bersama lima orang pimpinan
OTL yaitu Muhammad, Purnomo, Suraji, Harjonarno
dan Syahrudin, yang mewakili kaum tani yang tinggal
di wilayah ini.

Tindakan para petani yang tidak pernah kenal lelah


tersebut akhirnya berhasil menarik perhatian pihak
pemerintah kabupaten untuk kembali membuka
perundingan dengan pihak perkebunan. Perundingan
akhirnya diadakan kembali pada tanggal 24
Oktober 2002, sekitar satu bulan lebih sejak surat
tuntutan masyarakat diserahkan ke Bupati. Kali
ini masyarakat menuntut agar pertemuan tidak
diadakan di lokasi milik aparat pemerintahan.
Pertemuan dilangsungkan di gubuk milik Harjonarno,
yang dianggap sebagai wakil masyarakat Desa Suka
Maju. Pertemuan ini diikuti oleh asisten I Bupati,
30

Staff BPN dan Staff Bappeda Tanjung Jabung Timur,


juga Carik Desa Suka Maju, Humas PT. Kaswari
Unggul, dan 16 orang perwakilan kaum tani.

Perundingan berlangsung lambat dan para petani


merasa bahwa pihak perkebunan tidak akan
menyerahkan tanah mereka. Untuk itu dirasa perlu
dilakukan tindakan yang tegas untuk merebut
kembali hak mereka. Mereka sama sekali tidak gentar
bahkan saat harus berhadapan dengan pihak militer
dan pamswakarsa yang menunggu di luar tempat
tinggal Harjonarno.

Harjonarno, pemilik gubuk tersebut mengunci dan


menahan pintu gubuknya dan menegaskan bahwa
tidak ada yang boleh meninggalkan ruangan sebelum
tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.
Tindakan Harjonarno mendapat dukungan penuh
dari para petani. Sikap para petani yang kukuh ini
berhasil menyurutkan sikap perkebunan yang keras
tersebut.

Akhirnya pada hari itu tepat pukul 12 siang pihak


perkebunan bersedia menanda tangani surat
kesepakatan bersama. Dalam surat tersebut
dinyatakan dengan tegas bahwa: Pihak perkebunan
tidak akan menggunakan lahan milik masyarakat di
Desa Suka Maju, dan sebaliknya para petani tidak
akan memperluas lahan mereka di luar batas-batas
yang telah ditetapkan.

Penanda tanganan surat perjanjian ini memperkuat


posisi pendudukan lahan yang dilakukan para
petani secara de facto. Walaupun mereka telah
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 31

mulai memasuki kawasan ini semenjak tahun 1991,


namun penataan usaha yang dilakukan oleh para
petani secara bertahap baru dimulai secara nyata
pasca konflik dengan perkebunan PT. Kaswari
Unggul. Beberapa pihak seperti kelompok tani yang
dipimpin oleh Harjonarno mulai merapikan dan
menanami lahan mereka begitu surat perjanjian
ditanda tangani. Setelah pembagian lahan yang masih
perlu dibenahi lebih lanjut, OTL pimpinan Harjonarno
segera menanami lahan mereka dengan tanaman
kelapa sawit. Sementara itu beberapa kelompok tani
lainnya baru mulai menduduki lahan tersebut kurang
lebih satu tahun belakangan, seperti kelompok tani
pimpinan Purnomo.

Sebuah strategi petani dalam proses pendudukan


adalah membangun rumah di lahan ini sebagia
penanda. Ada yang membangun rumah permanen
dan ada juga yang sekedar membangun pondokan
tempat mereka berlindung saat mereka mengerjakan
lahan.

Foto 2. Lahan yang Berhasil di Reklaiming Petani di Desa Suka Maju


32

Saat ini menurut Sekretaris Desa, Sinaga, tanah


tersebut masih berada dalam status quo. Namun
bagi para petani, lahan tersebut jelas telah resmi
menjadi milik mereka karena yang menggarap berhak
untuk mendapatkan tanahnya. Kini di lahan seluas
400 hektar tersebut bermukim sekitar 200 keluarga
tani. Mereka menandai lahan milik mereka dengan
membangun rumah di atas lahan mereka. Bagi
mereka lahan itu akan dipergunakan bagi kehidupan
anak cucu mereka. Lebih lanjut, saat ini menurut
para petani pihak kecamatan sedang memulai
tahap pemrosesan pembuatan sertifikat lahan. Bagi
para petani hal ini amat berarti karena sertifikat
akan semakin memperkuat posisi mereka di lahan
tersebut. Sertifikasi dirasa perlu karena walaupun
secara keseluruhan para petani di Desa Suka Maju
sudah dapat menanami lahan mereka secara terbuka
namun masih juga terdapat bentuk-bentuk tekanan
terhadap para petani. Seperti misalnya yang terjadi
di wilayah perbatasan Desa Rantau Karya dan PT.
Kaswari Unggul. Belum lama berselang, terjadi
bentuk kekerasan terhadap suatu keluarga tani,
tepatnya keluarga Nur, seorang petani karet anggota
OTL Bunga Raya. Rumah milik salah seorang anak
Nur juga habis dibakar sekelompok orang berkaitan
dengan konflik ini. Kegiatan mereka menanam
karet pun kerap tersendat-sendat karena seringkali
mereka didatangi orang-orang berpakaian militer
yang mengancam bahkan memukuli para petani
ini. Tindakan mereka ini dilakukan dengan alasan
adanya larangan bagi para petani untuk menanami
lahan mereka dengan tanaman keras—hal ini sesuai
dengan peraturan transmigrasi.
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 33

Buah Perjuangan: Pasca Okupasi

Sudah hampir lima tahun berlalu sejak okupasi


dan konflik agraria antara masyarakat Desa Suka
Maju dengan PT. Kaswari Unggul. Situasi yang
tampak kini menunjukkan betapa keyakinan para
petani akan kepemilikan lahan mereka memacu
semangat mereka untuk sungguh-sungguh mengolah
lahannya. Walaupun dalam prosesnya, memang
masalah kepemilikan lahan ini sempat menimbulkan
ketegangan antar para petani ataupun antar kelompok
tani, terutama terkait dengan masalah pembagian
lahan.

Di samping mekanisme pembagian lahan kepada


masing-masing rumah tangga, terdapat juga lahan
yang diperuntukkan sebagai lahan kolektif milik
organisasi. Luas lahan kolektif sebanyak 2 kavling,
atau 4 hektar. Lahan kolektif tersebut dibedakan
menjadi lahan kolektif pokok seluas 1 kavling, atau
34

2 hektar, yang dikelola bersama-sama dan hasilnya


nanti dipergunakan untuk kepentingan organisasi.

Lahan kolekif pokok dikelola bersama oleh anggota


organisasi tani. Pengerjaannya dilakukan seminggu
sekali setiap hari minggu secara bergotong royong.
Lahan ini rencananya akan ditanami kelapa sawit,
karena hasilnya yang dirasa menguntungkan dan
akan berguna untuk pengembangan organisasi.
Saat ini, lahan kolektif tersebut sudah dibersihkan
dari tanaman-tanaman besar, serta secara bertahap
dalam masa pembersihan dari alang-alang agar siap
untuk ditanami. Yang menarik dari lahan kolektif
adalah letaknya yang tepat di tengah-tengah lahan
milik perkebunan PT. Kaswari Unggul. Posisi lahan
ini seakan menjadi lambang perlawanan para petani
terhadap pihak perkebunan. Walaupun dikerjakan
bersama-sama namun tetap ada satu orang yang
menjadi penanggung jawab lahan kolektif pokok ini
yaitu Suraji, ketua OTL Bunga Raya.

Sementara 1 kavling lain dari lahan kolektif


dikembangkan sebagai badan usaha. Lahan ini
dikelola oleh Budi, anak dari salah satu DPP
Pertajam Rujianto yang juga anggota kelompok
Pertajam. Pada lahan ini yang juga dikembangkan
tanaman yang sama, kelapa sawit. Hasil dari lahan
seluas 2 hektar ini nantinya akan dibagi dua antara
pihak Pertajam dengan pengelola. Budi, sejauh ini
bertugas untuk menyiapkan lahan agar siap tanam,
serta mengelola dan merawat tanaman sawit yang
dikembangkan. Sementara pihak Pertajam berperan
menyediakan modal awal berupa bibit, pupuk dan
pestisida. Saat ini perkembangan kebun kelapa sawit
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 35

di kebun ini sudah sampai pada tahap pembibitan.

Sejak terjadi konflik dengan PT. Kaswari Unggul yang


akhirnya dimenangkan kaum tani, menghasilkan
keyakinan yang kuat di hati rakyat. Rakyat pun
semakin yakin dengan kemandirian dan sadar
akan hak-haknya. Hal ini ditandai dengan tidak
diindahkannya lagi larangan pemerintah untuk tidak
menanam tanaman keras. Secara terbuka mereka
mulai menanam tanaman perkebunan umumnya
berupa kelapa sawit—walaupun ada sebagian kecil
kaum tani yang menanam karet, kopi atau coklat.
Menurut para petani tanaman perkebunan jauh lebih
menguntungkan secara ekonomi, disamping memang
sesuai dengan kondisi lahan di wilayah tersebut yang
sebagian besar merupakan tanah rawa.

Tanaman keras seperti sawit atau karet memang


membutuhkan kesabaran hingga bisa memberikan
hasil yang memuaskan. Sementara di sisi lain, para
petani tetap membutuhkan sumber kehidupan sehari-
hari selama masa pertumbuhan hingga menghasilkan.
Sebagai contoh proyeksi ekonomi, para petani sawit
di Desa Suka Maju yang kini telah berproduksi dari
1 kavling lahan yang dimilikinya bisa mendapatkan
hasil tidak kurang dari Rp 3 juta per bulan, setelah
dikurangi biaya produksi. Mudahnya lagi, dari sisi
perawatan, kelapa sawit bukanlah tanaman yang
membutuhkan perhatian yang sangat intensif.

Untuk mengatasi masalah di atas, pada masa


menunggu hasil kelapa sawit para petani di Desa
Suka Maju berhasil menumpang sarikan tanaman
keras dengan beberapa jenis palawija, seperti padi
36

kacang-kacangan, dan jagung. Hasil dari tanaman


palawija ini selain digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan sehari-hari juga menjadi sumber
pendapatan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun sistem tumpang sari ini hanya bisa dilakukan
hingga kelapa sawit mencapai usia 2 tahun, sebelum
tanaman ini membutuhkan banyak air.

Organisasi tani di Desa Suka Maju memiliki peranan
penting dalam kehidupan para petani di Desa Suka
Maju. Di satu sisi organisasi tani telah menjadi
bagian penting dari perjuangan bersama dan berhasil
mengubah sejarah kepemilikan lahan masyarakat. Di
sisi lain organisasi tani juga berperan penting dalam
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam organisasi tani yang ada di Desa Suka Maju,


kita dapat merasakan betapa semangat gotong royong
dan kebersamaan seakan menjadi darah kehidupan di
daerah ini. Disadari betul bahwa sebagai daerah yang
masih dianggap ”lahan sengketa” dalam pandangan
pemerintah daerah, sulit sekali bagi kaum tani di
daerah ini untuk bisa mendapatkan dukungan
pemerintah dalam membangun infrastruktur yang
dibutuhkan oleh masyarakat, seperti jalan dan
saluran air.

Sebagai daerah yang kerap tergenang air, saluran air


yang baik sangat dibutuhkan oleh para petani. Untuk
mengatasinya mereka mengumpulkan uang dari tiap
rumah tangga untuk menyewa alat pengeruk tanah
untuk membuat parit. Sewa alat pengeruk pada saat
itu yang cukup mahal—sekitar Rp 10 juta—ternyata
mampu mereka kumpulkan secara swadaya. Pada
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 37

akhir Agustus 2007, pengerjaan saluran air hasil


swadaya kaum tani tersebut sudah hampir selesai.

Saat ini mereka juga tengah mempersiapkan


pembangunan jalan yang lebih layak, agar dapat
dilalui oleh truk-truk pengangkut sawit. Jalan yang
ada saat ini masih berupa jalan tanah yang jika hujan
menjadi amat licin dan berlumpur sehingga sulit
untuk dilalui. Ketiadaan jalan yang baik tentunya
menyulitkan bagi para petani ketika harus mengangkut
hasil panen mereka. Hingga kini ketika mereka akan
mengangkut hasil panen dan jalan tidak bisa dilalui,
maka kaum tani mau tak mau harus melalui jalan
milik perkebunan. Untuk itu, dibutuhkan ijin dari
perkebunan—dan sebagai catatan, ijin tersebut tidak
selalu diberikan kaum tani. Sementara dalam kasus
kelapa sawit, harga jualnya turun dengan cepat jika
sawit tersebut tidak segera dijual secepat mungkin
setelah panen. Hal tersebut tentunya akan berakibat
pada kerugian kaum tani. Pembangunan jalan ini
juga dilakukan secara swadaya, dimana setiap rumah
tangga dikenakan kewajiban untuk membayar Rp
62.000 untuk biaya pembangunannya.

Semangat gotong-royong mereka juga amat terlihat


ketika ada anggota masyarakat yang mendapat
masalah. Seperti pada kasus keluarga Pak Nur, yang
disebutkan di atas. Ketika rumah anak Pak Nur habis
terbakar, dengan cepat para tetangga dan teman-
teman datang dan mendirikan rumah baru bagi
keluarga Pak Nur.
38

Foto 3. Pembangunan rumah yang dikerjakan secara gotong royong, dan

menjadi lambang bahwa tanah ini telah menjadi milik masyarakat.

Secara rutin, setiap tanggal 5 di awal bulan para


petani yang tergabung dalam lima organisasi tani
yang berbeda berkumpul untuk mengadakan
pertemuan bersama. Dalam pertemuan rutin ini
mereka mengadakan diskusi mengenai kondisi
pertanian mereka, masalah yang mereka hadapi
dan mencari pemecahannya bersama-sama. Dalam
beberapa kesempatan, kaum tani juga mengadakan
kegiatan ekonomi seperti arisan tradisional. Yang
menarik ialah lewat ajang pertemuan-pertemuan
rutin inilah, para petani bisa saling bertukar
informasi dan pengetahuan mengenai metode, teknik
dan perkembangan terakhir mengenai pertanian.

Lebih lanjut lagi, organisasi tani yang ada juga


membantu para petani dalam menghadapi para
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 39

tengkulak. Faktanya, kaum tani di Desa Suka Maju


hingga hari ini memang masih sangat tergantung
pada tengkulak. Namun kaum tani akhirnya
menciptakan apa yang disebut Harjonarno sebagai
”tengkulak tandingan.” Adanya tengkulak tandingan
bertujuan membantu agar harga pembelian produk
pertanian mereka tidak ditentukan secara semena-
mena oleh pihak tengkulak. Hal ini dilakukan agar
dapat terjadi keseimbangan harga antara dua atau
lebih penawaran. Ketika kaum tani merasa pihak
tengkulak mulai menekan harga, saat itu terjadi
mereka mencari pihak lain yang bersedia membeli
dengan harga lebih tinggi dari tengkulak langganan
mereka. Pihak tengkulak yang pertama tentunya
tidak ingin kehilangan langganan mereka begitu saja,
sehingga mereka akan bersedia menaikkan harga
pembelian agar para petani tidak beralih ke tengkulak
yang lain.

Foto 4. Pertemuan Rutin Kelompok Tani di Desa Suka Maju


40

Yang memang dirasa masih menjadi kekurangan dari


organisasi tani mereka ialah belum adanya badan
usaha milik organisasi, lebih khususnya lagi koperasi.
Rencana tersebut sebenarnya sudah dibuat, yaitu
dengan merealisasikan koperasi produksi yang dikelola
oleh Persatuan Petani Jambi (Pertajam). Namun
tampaknya rencana gerakan ekonomi kerakyatan ini
belum bisa dijalankan. Sejauh ini di beberapa OTL
di Desa Suka Maju mereka mengadakan semacam
koperasi simpan pinjam yang belum terorganisasi
secara maksimal.

Hal yang patut menjadi catatan bersama dari


keberhasilan para petani di Desa Suka Maju yaitu
prinsip 3T yang sungguh-sungguh dipegang oleh
mereka. 3T berarti tekun, tabah, dan temen (yang
dalam Bahasa Jawa berarti benar atau serius, ed).
Prinsip ini seakan menjadi semangat mereka dalam
melaksanakan reforma agraria dan menegakkan
hak-hak mereka. Ketekunan ini diwujudkan dalam
proses pengolahan lahan yang sulit dan perjuangan
kepemilikan mereka atas lahan. Ketabahan dalam
menunggu hasil panenan mereka, dan ketabahan
menghadapi berbagai bentuk represi dan ketidakadilan.
Serta yang tak bisa dilupakan adalah persaudaraan
dan persahabatan yang saling mendukung di dalam
organisasi tani untuk sama-sama berjuang dan saling
membantu. Hal ini dirasa telah sungguh-sungguh
menjadi dasar keberhasilan para petani Desa Suka
Maju hingga hari ini.

Para petani ini sebenarnya datang dari latar


belakang yang cukup berbeda. Sebagian dari mereka
ternyata tidak memiliki latar belakang pertanian.
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 41

Namun keinginan kuat dari mereka untuk bertani


timbul karena adanya keyakinan bahwa pertanian
merupakan jaminan bagi kehidupan yang lebih baik.
Lewat pertanian mereka percaya bahwa mereka dapat
menjadi mandiri secara ekonomi, tidak tergantung
pada orang lain terus-menerus. Mereka menginginkan
kehidupan yang lebih baik terutama bagi anak cucu
mereka, yang mereka yakini bisa didapat lewat
bertani.

Perjalanan para petani di Desa Suka Maju, Kecamatan


Geragai, Tanjung Jabung Timur, Jambi bukanlah
perjalanan yang mudah. Namun perjuangan mereka
untuk mendapatkan lahan tidak lah sia-sia. Hasil
yang mereka peroleh kini bukanlah sesuatu yang bisa
dipandang remeh.

Hasil perjuangan kaum tani ini menunjukkan betapa


pentingnya lahan dan akses terhadap sumber-sumber
agraria lainnya bagi kehidupan. Di negeri agraris,
dimana mayoritas penduduknya masih berada di
pedesaan dan menggantungkan kehidupan di sektor
pertanian, akses dan penguasaan terhadap sumber-
sumber agraria menjadi sesuatu yang amat penting.
Jaminan yang pasti bahwa mereka dapat mengelola
lahan mereka dengan bebas, secara psikologis bisa
menjadi pemicu semangat kerja para petani.

Namun melihat pengalaman para transmigran


di Tanjung Jabung Timur nampak betapa
penguasaan terhadap sumber-sumber agraria
juga bukanlah satu-satunya jaminan untuk
perbaikkan hidup para petani. Sistem distribusi
yang baik, tata guna lahan dan infrasruktur
42

pertanian juga penting untuk diperhatikan. Hal


ini terlihat dari pengalaman para transmigran di
Tanjung Jabung yang telah memiliki lahan. Namun
pada fase awal kehidupan mereka karena buruknya
tata guna lahan, infrasturktur dan sistem distribusi
lahan tersebut seakan menjadi beban bagi mereka.
Ini juga bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk
ketidakadilan agraria yang manifest (nyata) dialami
para petani.

Reforma agraria yang sejati adalah suatu kesatuan


dalam perombakan sistem pertanian. Hal itu tidak
dapat berhenti pada penguasaan alas produksi
belaka, namun juga pada penataan proses produksi
hingga distribusi. Dalam kasus Tanjung Jabung
Timur, merebut tanah dengan cara okupasi hanya
merupakan salah satu cara masuk memperbaiki
struktur kepemilikan agraria. Lebih jauh lagi,
pertanian di negara agraris seperti Indonesia
hendaknya menjadi tulang punggung bagi kehidupan
masyarakatnya. Pertanian hendaknya dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup penduduk.
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 43

Tantangan: Perjuangan Ke Depan

Apa yang telah dilakukan oleh masyarakat di


Desa Suka Maju merupakan suatu contoh perjuangan
masyarakat untuk mewujudkan reforma agraria
demi mencapai kondisi ekonomi yang lebih baik.
Namun reforma agraria tidak berhenti pada sebatas
kepemilikan lahan dan peningkatan kehidupan
ekonomi belaka. Tujuan akhir dari reforma agraria
secara makro adalah untuk mengubah struktur
masyarakat menjadi suatu susunan masyarakat
yang lebih adil dan merata. Sementara itu, secara
mikro tujuannya adalah untuk agar rakyat memiliki
aset produksi sehingga rakyat bisa lebih produktif
dan memperkecil angka pengangguran1.

Hingga saat ini OTL di Desa Suka Maju telah cukup


berhasil membangun dan memperkuat organisasi
tani sehingga mampu memberikan tekanan baik
kepada pihak aparat pemerintahan lokal hingga ke
44

pihak perkebunan. Lewat kerjasama yang kuat dalam


organisasi tani tersebut mereka berhasil menduduki
lahan yang cukup luas. Menjadi tantangan bersama
bagi para petani di wilayah ini untuk melakukan
perubahan mode produksi, dan membangun mode
distribusi alternatif dari yang selama ini telah mereka
kerjakan.

Perubahan mode produksi yang perlu ditekankan


dalam hal ini ialah dengan mengusung prinsip
solidaritas agar dapat secara bersama-sama
membangun kehidupan petani. Dengan berpegang
pada prinsip solidaritas dapat menjadi jalan untuk
membangun kesejahteraan hidup yang merata bagi
para petani yang ada wilayah ini dan juga bagii
masyarakat secara luas. Penataan mode produksi
yang baik juga akan terkait nantinya dengan penataan
lahan untuk mencegah terjadinya konflik internal
antar anggota OTL, maupun antar OTL yang satu
dengan yang lainnya.

Di samping itu ketergantungan para petani terhadap


tengkulak dan pihak industri pengolahan kelapa sawit
menunjukkan bahwa perjuangan ini belum selesai.
Saat ini para petani telah berhasil menguasai lahan
namun masih tergantung kepada tengkulak dan
industri pengolahan minyak sawit. Tanpa menguasai
industri hilir, tantangan yang dihadapi rakyat
akan masih sangat berat. Hal ini berkaitan dengan
keberlanjutan usaha tani yang mereka kembangkan,
sekaligus di sisi lain juga dapat membangun sistem
distribusi pertanian yang berdaulat bagi generasi
mendatang dan juga bagi masyarakat lain yang
ada di desa tersebut. Membangun sistem distribusi
Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 45

alternatif lewat pengembangan pengolahan minyak


sawit yang dikelola kelompok tani sebagai contoh
akan lebih dapat memberikan keuntungan tidak saja
bagi para petani yang telah memiliki lahan namun
juga bagi masyarakat di sekitarnya, dibandingkan
dengan hanya mengembangkan sistem tengkulak
tandingan yang dikembangkan selama ini.

Di satu sisi pengembangan pengolahan minyak sawit


yang dikelola kelompok tani dapat memberikan nilai
tambah bagi produk pertanian yang mereka hasilkan.
Di pihak lain hal ini juga dapat memperkuat organisasi
tani, karena semangat solidaritas dan gotong royong
yang telah ada selama ini akan semakin diperkokoh
lewat usaha-usaha tersebut.

Lewat pengembangan sistem distribusi alternatif


juga dapat dilakukan pendidikan kepada konsumen
potensial tentang harga pasar yang tidak adil—yakni
harga yang dikendalikan oleh pasar; yang mana
hanya segelintir pihak yang menikmati dan pihak-
pihak tersebut (terutama pedagang, perusahaan dan
birokrat) akan selalu bertujuan untuk meningkatkan
profit mereka.

Hal ini lah yang masih menjadi tantangan bagi


perjuangan para petani tidak saja di Desa Suka Maju
tapi juga di wilayah lain yang selama ini mengalami
ketidakadilan agraria. Tidak saja dari ketiadaan
kepemilikan lahan namun juga di banyak kasus
ketidakadilan dalam penetapan harga jual produksi
pertanian. Tantangan yang dihadapi tidaklah mudah,
namun bukan tidak mungkin diubah—terlebih lagi
jika didukung dengan organisasi tani yang kuat.
46

_______________________________________________________________________________________

1 Ya’kub, Ahmad, 2007. Konflik Agraria Tinjauan Umum Kasus Agraria di Indonesia.

FSPI.

2 FSPI. 2007. Draft Pedoman Reforma Agraria Sejati,

3 idem

4 FSPI. 2007. Draft Pedoman Reforma Agraria Sejati


Tanah Untuk Kehidupan
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi 47

Referensi

Departemen Transmigrasi dan Ketenaga Kerjaan.


2007. Jakarta.

Dokumen-dokumen Petisi dan Surat Perjanjian antara


Masyarakat Desa Suka Maju dengan PT. Kaswari
Unggul. Jambi.

FSPI. 2007. Draft Pedoman Reforma Agraria Sejati.


Jakarta.

Hasil Wawancara dengan Pengurus Persatuan Petani


Jambi dan Petani Desa Suka Maju, Tanjung Jabung
Timur. Jambi.

Kantor Kepala Desa Suka Maju. 2007. Profil Desa


Suka Maju. Jambi.

Profil Perusahaan PT. Kaswari Unggul. 1999. Jambi.

Ya’kub, A. 2007. Konflik Agraria Tinjauan Umum


Kasus Agraria di Indonesia. FSPI. Jakarta.
Cita-cita kaum tani dan rakyat, yakni pembaruan agraria, bukanlah
barang baru. Pembaruan agraria telah tertuang sebagai cita-cita dari
kemerdekaan nasional serta konstitusi RI dengan tujuan kesejahteraan,
keadilan, kebahagian dan kemakmuran rakyat. Sehingga kemudian pada
perkembangannya diwujudkanlah cita-cita ini dalam UUPA 1960, terma-
suk beberapa program nasionalisasi terhadap kekayaan alam dan sumber
agraria lainnya yang selama masa kolonialis dikuasai oleh penjajah.

Namun perkembangan ekonomi-politik di negeri ini tetap saja mengikuti


jalur historisnya sebagai jalan panjang kolonialisme. Hingga sekarang,
praktek dan kebijakan neoliberalisme kembali menelanjangi kedaulatan
rakyat. Sebut saja prakteknya: pasar tanah, privatisasi air, pengebirian
hak asasi manusia, kebijakan perkebunan, penggusuran, pendidikan
mahal dan kesehatan susah. Juga bisa kita lihat dari berbagai UU yang
disahkan pemerintah, mulai dari UU Penanaman Modal Asing, Perkebu-
nan, Kehutanan, Migas, Sumber Daya Air, hingga yang terakhir Penana-
man Modal, memperlihatkan bagaimana kekuasaan saat ini begitu berpi-
hak kepada segelintir pemodal dan penguasa.

Namun terbukti perjuangan rakyat tak pernah surut. Buku yang Anda
pegang sekarang adalah salah satu dari tiga buku dokumentasi dan anali-
sis kritis mengenai perjuangan mewujudkan pembaruan agraria. Ketiga
buku ini sendiri mencerminkan pengalaman kaum tani anggota Federasi
Serikat Petani Indonesia (FSPI) dari sudut pandang internal di tiga lokasi:
Bukit Kijang (Asahan, Sumatera Utara), Kawasan Hutan Resort Ngadisono
(Wonosobo, Jawa Tengah) dan Suka Maju (Tanjung Jabung Timur, Jambi).
Sepak terjang perjuangan kaum tani yang selama ini tak tercatat, akhirnya
bisa terukir dengan tinta emas dalam sejarah!

Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)


Jl Mampang Prapatan XIV No. 5
Jakarta 12790 Indonesia
Tel:+62 21 7991890, Fax: +62 21 7993426
Email: fspi@fspi.or.id
Website: www.fspi.or.id

Anda mungkin juga menyukai