Anda di halaman 1dari 28

1.

erita rakyat ende ( legenda )

Kisah Percintaan Tiga Gunung

Alkisah di masa dahulu kala terdapat dua orang pemuda bernama Meja dan Wongge. Meja
adalah pemuda yang jujur, bersahaja, rupawan dan baik hati, sedangkan Wongge
berpenampilan sebaliknya, baik fisik maupun sifat dan wataknya. Kedua pemuda ini
kebetulan mencintai seorang pemudi bernama Iya, tokoh melankolis yang menjadi pujaan
desa atau bisa disebut kembang desa, baik karena memiliki kepribadian yang baik hati dan
ditunjang dengan paras yang cantik. Meja dan Wongge akhirnya memberanikan diri melamar
Iya, namun hanya pinangan Meja yang diterima sedangkan pinangan Wongge ditolak.

Tidak menerima lamarannya ditolak, Wongge akhirnya marah besar, begitu sakit hati karena
cintanya ditolak. Kemudian Wongge beritikad jahat dan akan melakukan segala cara untuk
coba menghalangi hubungan antara Iya dan Meja. Wongge berencana untuk membunuh Meja
sebagai cara untuk mencegah bersatunya Iya dan Meja dalam perkawinan, dan berpikir
bahwa dengan terbunuh Meja setidaknya Wongge berharap bisa mendapatkan cinta Iya. Di
suatu hari ketika Meja dan Iya sedang berduaan, Wongge dengan penuh amarah datang dan
menebas putus kepala Meja dengan parang, Meja seketika tewas tak bernyawa disamping Iya.
Entah, mungkin karena kejadian ini merupakan pelanggaran adat, maka menjelmalah ketiga
tokoh ini menjadi gunung. Meja menjadi gunung di selatan Kota Ende, Iya menjadi gunung
di Semenanjung Ende dan Wongge menjadi gunung yang terletak di Utara Kota Ende.

Kepala Gunung Meja yang ditebas Gunung Wongge terlempar ke arah Timur Laut dan
menjelma menjadi Pulau Koa yang terletak tepat di timur Kota Ende, sebagai pulau karang
yang tidak berpenghuni. Pulau ini terbilang misterius karena konon kabarnya sudah ada
beberapa kali usaha pengeboman di masa pendudukan Jepang, tapi kemudian tumbuh
kembali seperti semula. Atas kejadian tersebut hingga saat ini masyarakat Ende tak akan
pernah mengijinkan upaya pemerintah untuk menghancurkan Pulau Koa, karena
keberadaannya dianggap dapat menganggu aktivitas dan keselamatan penerbangan di
Lapangan Terbang H. Hasan Aroeboesman Ende. Jika saja kemudian akhirnya Pulau Koa
berhasil diratakan atau dihilangkan, maka dipercaya bahwa Gunung Iya akan terus menangis
yang akan mengakibatkan air laut pasang tinggi dan bisa saja menenggelamkan Kota Ende
dan membuat semenanjung Ende menjadi pulau tersendiri, sehingga masyarakat Ende
senantiasa menjaganya sebagai pulau kramat untuk menolak bala.
Masih menurut cerita beraroma mistis, bahwa Pulau Koa di saat-saat tertentu pindah kembali
menduduki tubuhnya di Gunung Meja. Sedangkan Gunung Wongge yang telah membunuh
Gunung Meja akhirnya merasa bersalah dan menyesali perbuatannya dan lalu menyingkir
jauh ke arah Utara Kota Ende. Parang yang di gunakan Gunung Wongge memenggal kepala
Gunung Meja dibuang jauh ke arah barat dan menjelma menjadi Pulau Ende, Pulau yang
diyakini masyarakat Ende sebagai parang milik Wongge, karena bentuknya yang menyerupai
parang yang memanjang.

Sementara itu Gunung Iya yang merasa sedih karena terbunuhnya Gunung Meja, kemudian
menunjukkan amarahnya dengan menjadi gunung berapi, yang masih aktif hingga saat ini.
Konon kabarnya jika Gunung Iya mengeluarkan asap atau mengeluarkan semburan, maka
masyarakat Ende meyakini bahwa Gunung Iya sedang menangis dan bersedih menyimpan
kemarahannya hingga kini. Gunung Iya masih setia mendampingi Gunung Meja yang
memang letaknya berdekatan. Sebagai kekasih Gunung Iya, jasad Gunung Meja menjadi
pelindung bagi Kota Ende, jika sewaktu-waktu Gunung Iya meletus.

Meja, Iya dan Wongge kini telah menjadi tiga gunung yang bersaksi, walau hanya sebatas
mitos ketiga gunung ini menjadi pesona tersendiri di Kabupaten Ende. Setiap kedatangan
anda ke Kota Ende, akan terlihat jelas keberadaan Gunung Meja dengan puncak yang hilang,
seolah terpenggal dan sesuai juga dengan namanya yang menyerupai meja yang rata dan
datar. Keindahan alam yang diselimuti mitos tampaknya telah menarik perhatian para
wisatawan lokal dan mancanegara yang telah mengakui keindahan alam di Ende ini.
Pemandangan semenajung Ende dengan panorama Gunung Iya-nya, pesisir pantai dengan
kepala Gunung Meja atau Pulau Koa, dan Bandara H. Hasan Aroeboesman dengan
pemandangan Gunung Meja-nya yang mungil dan elegan, sebagai pelindung dan ikon kota
serta juga keindahan Pulau Ende yang disebut sebagai kelewangnya Wongge.
Pesan moral
Kisah cinta di atas secara sosial antropologis memberikan gambaran apa arti sesungguhnya
cinta, bahwa cinta bukan sesuatu yang dipaksakan tetapi sesuatu yang harus dihargai.
Hubungan personal lawan jenis lebih diikat dalam apa yang sering disebut chemistry atau
unsur yang mengikat untuk saling memiliki di antara dua orang, yang juga sangat tergantung
dari pembawaan diri masing-masing. Bukan sebuah pemaksaan kehendak, karena
sesungguhnya dalam hubungan lawan jenis yang dicari adalah kebahagiaan.
Amarah, dendam, kesombongan, iri hati dan rasa cemburu akan selalu ada dalam setiap
manusia, hanya diperlukan pengendalian diri, jika tidak semuanya akan berujung kepada
penyesalan. Legenda kisah percintaan tiga gunung, Gunung Meja, Wongge dan Iya di atas
setidaknya menjadi petuah bijak bagi konteks kehidupan masyarakat lokal, bahwa harmoni
kehidupan akan berjalan dengan baik jika kita saling menghargai perbedaan dan menerima
kekurangan.
2. Cerita rakyat ende ( mitos )

Pesona Pantai Mbu'u dan mitos 3 pemuda di Ende


Berbicara soal pantai di kepulauan Indonesia memang tak pernah ada habisnya, mulai dari
pantai yang populer sampai dengan pantai yang masih tersembunyi. Keduanya memang
menyajikan panorama alam yang selalu memukau.

Salah satunya adalah pantai Mbu'u yang terletak 5 km dari pusat kota Ende, Nusa Tenggara
Timur (NTT).

Belum banyak turis domestik dan internasional yang mengetahui tentang pantai Mbu'u.

Namun, panoramanya tak kalah memikat dengan pantai-pantai lainnya yang terkenal di
Indonesia.

untuk mencapai pantai ini Anda cukup menjalani waktu tempuh 15 menit saja menggunakan
transportasi umum atau kendaraan bermotor dari pusat kota Ende.

Apabila Anda sedang berada di dalam pesawat yang akan mendarat di Bandara H. Hasan
Aroeboesman, Ende, maka Anda bisa melihat jelas batasan kontras garis pantai dan birunya
laut karena lokasinya memang tidak jauh dari belakang bandara.

Secara administratif, pantai ini terletak di Desa Nangenesa, Kecamatan Ndona, Kabupaten
Ende.

Kala akhir pekan, pantai ini ramai dikunjungi warga lokal karena memang merupakan tempat
berekreasi dan hiburan.

Semilir angin dan aktivitas para nelayan yang sibuk mencari ikan menjadi pemandangan
sejuk yang melengkapi indahnya panorama Pantai Mbu’u.

para warga lokal biasanya menikmati waktu dengan bermain air dan menceburkan diri dalam
deburan ombak air laut.

Selain itu, ada juga yang membakar pisang atau ubi dan duduk di pinggir pantai dengan
menggelar tikar.

Tak ada retribusi khusus untuk masuk ke pantai ini karena belum dikelola secara profesional
oleh pemerintah daerah.

Pada pantai ini, Anda juga dapat melihat aktivitas para perempuan setempat mencari batu
untuk keperluan penambangan batu dan pasir.

Bahkan, tak jauh dari lokasi penambangan pasir, terdapat sebuah rawa bak yang menjadi
tempat para kerbau mencari makan rerumputan di sekitar pantai.

Sungguh pemandangan kontras yang tak biasa Anda lihat dari sebuah tempat wisata pantai
pada umumnya.
Mitos masyarakat

Anda dapat melihat Pulau Koa dan Gunung Meja dengan sangat jelas dari pantai Mbu'u.
Sementara dari sudut lain, Anda bisa memandangi dengan leluasa Gunung Iya dan Gunung
Wongge.

Gunung-gunung tersebut ternyata kental dengan mitos atau cerita turun temurun di
masyarakat Ende.

Menurut cerita rakyat yang hingga saat ini berkembang adalah pada masa silam ada tiga
pemuda Ende, bernama; Meja, Iya, dan Wongge.

Mereka dikisahkan terlibat dalam cinta segitiga. Singkat cerita, warga lokal percaya bahwa
mereka mengakhiri konflik cinta dengan menjelma menjadi tiga gunung.

Terlepas dari cerita legenda tersebut , panorama dan latar belakang keindahan tiga gunung ini
akan membuat Anda tergerak untuk segera mengeluarkan kamera dan mengabadikan momen
sebagus mungkin.

Waktu paling ideal untuk mendatanginya adalah lepas subuh atau jelang matahari terbit.
Sebab, kala itu, panorama yang disajikan oleh alam teramat cantik.

Suasana gunung dan pantai yang tenang dan jauh dari keramaian akan membuat pikiran Anda
lebih jernih selama berada di sana.
Proses Pembuatan Tenun Ikat

Lawo Lambu / Zawo Zambu

Tenun ikat merupakan salah satu ciri khas Indonesia bagian Timur. Di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) sendiri setiap daerahnya mempunyai kekhasan motif-nya masing-
masing. Jadi, kalau kalian bilang, "Ini tenun ikat NTT loh!" maka pasti ada yang
bertanya, "NTT wilayah mana?" Hehe. Saya jamin kalian tidak bisa mengoleksi semua
jenis tenun ikat asal NTT, kecuali:

1. Kalian jutawan yang duitnya bikin dinosarus mupeng.

2. Kalian membelinya bertahap.

Baru-baru ini saya mendapat kesempatan super istimewa karena diperbolehkan meliput dan
mendokumentasikan kegiatan proses pembuatan tenun ikat. Lokasinya di Desa Gheogoma,
Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende. Hanya sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Ende.
Kegiatan ini merupakan kegiatan dari PID Kecamatan Ende Utara; pemberdayaan masyarakat
desa dengan menggali potensi desa, memberi pelatihan dan dana, mengembangkannya,
hingga memasarkannya.

Proses pembuatan tenun ikat di Desa Gheoghoma saat proses syuting kemarin diikuti oleh
tiga kelompok yang telah dibentuk sejak tahun 2018 yaitu Kelompok Bunga Mawar dari
Dusun Mau'munda, Kelompok Naganai dari Dusun Naganai, dan Kelompok Bunga Melati
dari Dusun Nuarenggo.
Sekarang, mari kita simak satuper satu prosesnya:

1. Woe

Woe adalah proses menggulung benang sehingga berbentuk bola. Jadi, zaman dulu
itu woe dilakukan dari bentuk kapas menjadi bentuk benang ke alat woe, lalu dari
alat woe digulung lagi sehingga berbentuk gulungan benang (bola benang). Tapi sekarang,
benang bakal tenun ikat ini dibeli di toko khusus yang menjualnya sehingga mempercepat
proses awal ini. Bye bye pohon kapuk. Haha.

2. Meka

Setelah woe, proses berikutnya adalah meka. Meka merupakan proses mengurai gulungan
benang ke alat meka seperti pada gambar berikut:
3. Go'a

Meskipun terlihat hampir sama dengan meka, go'a berbeda (merupakan proses selanjutnya)
dan dilakukan di alat ndoa go'a. Proses ini bermaksud menentukan ukuran sarung tenun ikat
nanti. Misalnya sarung Mangga milik saya yang dibikin oleh kakak ipar itu dibikin
ukurannya lebih besar sesuai bodi dinosaurus hahaha. Ukuran normalnya sih tidak begitu.
4. Pete

Pete atau ikat/mengikat merupakan proses penentu motif yang diinginkan. Dari yang saya
amati, pete terbagi atas dua. Yang pertama adalah proses memilah urat benang sehingga
dikelompokkan dan diikat berdasarkan jumlah urat benang seperti pada gambar berikut:

Kemudian dilanjutkan dengan pete motif seperti pada gambar berikut:


Waktu saya tanya, motif apa yang dibuat, si Mama menjawab motif Labu. Dari hasil
wawancara dengan perwakilan kelompok yaitu Gaudensia Titi, motif yang dihasilkan
memang macam-macam, diantaranya motif Mangga, motif Nggaja, hingga motif yang
dimodifikasi yaitu motif Burung Garuda seperti yang dipakai oleh Mama berikut ini:

Coba lihat lebih dekat/teliti, sarung yang dipakai oleh Mama ber-zambu (baju Ende) biru
pencampur obat pewarna itu bermotif burung garuda. Keren ya.

Nah, nama daun yang dipakai untuk pete ini saya lupa hahaha. Sejenis daun kelapa tapi kata
si Mama bukan daun kelapa.

5. Celup

Celup atau pencelupan atau pewarnaan dilakukan beberapa kali. Setelah benang tenun ikat di-
pete, maka dilakukan pencelupan. Pada zaman dahulu bahan pewarna untuk pencelupan ini
adalah bahan-bahan alami seperti akar mengkudu (kembo) dan daun taru tapi sekarang
bahan-bahannya bisa dibeli di toko khusus yang menjualnya. Tapi jangan salah, beberapa
penenun masih membikin tenun ikat dengan pewarna alami untuk menghasilkan sarung
berjenis kembo yang super sekali dan harganya pun jutaan Rupiah.

Saat syuting kemarin, karena untuk kebutuhan video dokumenter saja, proses pencelupan
dilakukan dua kali yaitu pertama pencelupan warna hitam:
Proses pencelupan pertama selalu warna hitam sebagai warna dasar. Campuran obat
pencelupan warna hitam pertama harus pakai air panas. Apakah itu sebabnya para Mama ini
memakai sarung tangan? Tidak juga. Mereka memakai sarung tangan selain karena panas
juga agar tangan mereka tidak ikut berubah warna hahaha. Setelah pencelupan pertama untuk
warna hitam ini, lagi-lagi mereka mencelup dengan warna hitam juga tapi campuran obatnya
sudah pakai air dingin/biasa. Warna bakal tenun ikat ini dari oranye langsung berubah jadi
hitam pekat (lebih hitam dari pencelupan hitam pertama).

Setelah itu dilakukan pencelupan warna kedua, warna yang diinginkan adalah merah:

Obat pewarnanya keren euy hehehe.


6. Mengurai

Setelah kering rangkaian benang yang dicelup, lantas dibuka ikatannya dan diurai seperti
nampak pada gambar berikut ini:

Setelah diurai, lalu direntangkan untuk dipasang di alat tenun. Biasanya, menurut para Mama,
dalam proses pencelupan setelahnya rangkaian benang diberi kanji agar kaku. Kenapa begitu?
Supaya lebih mudah saat ditenun dooonk hehehe.

7. Senda

Senda artinya menenun. Selain bekal rangkaian benang yang sudah melalui tahap pencelupan
dan penguraian di atas, juga menggunakan gulungan benang lain (berwarna hitam) yang
diistilahkan dengan poke. Poke ini ya untuk menenun itu:

Kalian lihat Mama ber-zambu putih yang berhadapan wajah dengan si penenun? Dia sedang
menggulung benang poke yang diletakkan di dalam semacam pipa paralon. Caranya dengan
menggosok benang poke di betisnya (bisa muluuuuus tuh betis tak perlu dicukur hahaha) lalu
digulung di kayu yang nanti diletakkan di dalam pipa itu. Poke atau lempar; maksudnya pipa
dilempar diantara gugusan serat kain lalu ditenun, dipisah lagi serat kain berikutnya dalam
satu gugusan lalu di-poke dan ditenun lagi. Sampai selesai. Bayangkan berapa banyak
benang poke yang dipakai?

TARI GAWI DARI ENDE


pada kata bertandak yang berarti Berkunjung, mengunjungi, menyatukan hati, langkah dan
Pada perhelatan akbar ritual adat, masyarakat Lio mengenal Gawi. Gawi dalam bahasa
Indonesia dapat disebut juga dengan kata, 'TANDAK. Secara harfia kata tandak bermuara
pikiran.

Makna inilah yang menjadi dasar untuk menyebut GAWI sebagai TANDAK dari daerah
Ende Lio. Sama halnya dengan tandak tadi, dalam tarian gawi pun kita yang terlibat dalam
ritual tersebut berkewajiban saling bergandengan tangan, menyatukan hati, hentakan kaki
serta mempuyai pikiran yang sama disaat mengikuti tarian tersebut dan tidak boleh
melepaskan tangan sampai upacara tarian gawi tersebut selesai. Selain itu, kita hanya dapat
melepaskan tangan kita pada saat kita hendak beristirahat.

Tarian Gawi adalah satu - satunya tarian khas masyarakat Lio yang tertua dan dipimpin oleh
seorang penyair yang ditunjuk para sesepuh adat. Dalam bahasa adat Lio penyair ini dapat
disebut 'ATA SODHA'. Uniknya, untuk menjadi seorang penyair, seseorang harus
mendapatkan Ilham secara khusus karena penyair (Ata Sodha) tidak boleh membaca teks atau
catatan pada saat upacara gawi sedang berlangsung. Ini berarti penyair tersebut harus benar -
benar menguasai alur - alur bahasa adat ketika di nyanyikan dalam sebuah aliran lagu adat
yang dikenal dengan 'SODHA'. Dalam Beberapa ritual adat Mbama, tarian gawi ini kerap
diisi dengan 'BHEA' oleh para sesepuh atau dalam hal ini Mosalaki sebagai pemegang
tampuk kuasa tertinggi didalam masing - masing wilayah persekutuan Lio. BHEA, kalau
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti; Sebuah ungkapan bahasa adat Lio yang
bersifat seruan untuk membangkitkan spirit sebagai tanda untuk menunjukan kebesaran,
keperkasaan dan kemenangan.

Secara harafia jika didefinisikan Arti kata “Gawi” sebagai berikut; “Ga” Segan/sungkan.
Sedangkan “Wi” artinya menarik, dalam arti menyatukan diri. Tarian ini adalah simbol
faktual entitas yang merupakan daya pemersatu kalangan antara bangsawan dan kaum jelata
etnik Ende Lio di masa lampau. Filosofi tarian ini adalah merayakan ritual kehidupan, baik
merayakan kelahiran, masa panen atau momen lainnya dalam kehidupan etnik Ende Lio.
Salah satu tujuan dari upacara adat ini adalah ungkapan syukur atas segala nikmat dari Yang
Kuasa. Dari semua tarian adat Lio, Gawi merupakan sebuah tarian yang mempunyai banyak
makna filosofis sebagai berikut:

1. Makna religius : Syair lagu gawi, "Du’a Lulu Wula,Ngga’e Wena Tana". Mempunyai
makna pemujaan melalui kidung-kidung agung untuk menghormatan terhadap wujud
Tuhan yang Maha Tinggi.
2. Makna Persatuan : Koreografi gawi, dalam bentuk lingkaran bulat (berpengangan
tangan). Kebersamaan dalam kehidupan masyarakat Lio sangat tergambar jelas
melalui ritual gawi ini. Sehingga setiap orang yang terlibat dalam ritual ini harus
menyadari betul inti kebersamaan "To'o Lei Po'o, Mbana Lei Meja".
3. Makna Kesetaraan jender : Peserta gawi terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jika
Indonesia mengenal kata emansipasi wanita, sesungguhnya orang Lio sudah mengenal
kesetaraan jender melalui ritual gawi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
terbukti bahwa disetiap ritual-ritual adat orang Lio, kaum wanita mendapat tempat
dengan tugas tersendiri tanpa campur tangan kaum lekaki. Misalnya: Mengatur
perbekalan, mengatur hasil-hasil panen, dan juga semua persoalan yang berkaitan
dengan rumah adat, karena rumah adat sebagai simbol kelahiran yang datang dari
wanita.
4. Makna Tanggung jawab : Komponen peserta gawi terdiri dari ulu eko, (Pemimpin),
tuke ulu eko (Pembantu pemimpin), naku ae (Pendukung/pelaksana). Disini
dimaksudkan dalam setiap perkampungan adat Lio, semua para pemimpin adat
maupun masyarakat jelata harus tahu tugas dan tanggung jawabnya terhadap "Du'a
Gheta Lulu Wula" serta aturan-aturan adat yang berlaku di dalam adat mereka sendiri.
5. Makna Tatakrama : Sopan santun, saling menghargai, saling menerima. Inilah yang
disebut kepemimpinan adat Lio kolektif kolegial. Artinya semua sesepuh maupun fai
walu ana kalo harus saling menghargai, tahu tatakrama, dan saling menerima antara
satu dengan yang lainnya.

Dalam beberapa pandangan GAWI/TANDAK sebenarnya adalah ritual ibadat, dalam agama
asli suku Lio. Di sini, sodha menyanyikan sejarah suku dan ajaran - ajaran moral, yang
sebenarnya adalah 'Kitab Suci' lisan agama tersebut. Di beberapa tempat dalam persekutuan
Lio, pada saat ritual adat GAWI, ATA SODHA mengenakan pakaian wanita (lawo-lambu).
Hal ini sudah terjadi secara turun temurun karena ada kecenderungan di berbagai agama asli,
bahwa 'pendeta' agama tersebut haruslah orang yang banci/ wadam. Ini menunjukan orang
Lio mempunyai ciri khas yang sama dengan Tolotang di Bugis, Aluk di Toraja, atau beberapa
agama asli di NTT. Filosofinya, orang yang banci adalah orang yang paling murni dari
masyarakat dan dapat mewakili kedua jenis kelamin, sehingga paling layak mewakili
masyarakat dalam berhubungan dengan Dewa.

Dalam GAWI, lingkaran penari berbentuk spiral, bukan lingkaran utuh, dan yang lebih unik
lagi menyerupai ular. Penari di bagian ekor bergerak paling lincah, selincah ekor ular. Ini
melambangkan kepercayaan setempat akan ular besar yang setia menjaga mata air kampung
sebagai sumber kehidupan. Jangan heran, kalau orang Lio berperang, mata air adalah tempat
yang paling dilindungi. Ular diwilayah Lio, diyakini sebaga pelindung dewi padi (Ine Mbu).
Bentuk lingkaran spiral ini adalah kekhasan GAWI, karena di tempat lain tandak selalu
berbentuk lingkaran utuh. Dalam ritual Gawi, wanita selalu berada di posisi luar, bukan di
lingkaran dalam. Alasannya karena berdasarkan tradisi orang Lio bahwa orang Lio selalu
menganggap laki-laki sebagai ('Dari Nia Pase Lae') Generasi penerus yang harus berdiri di
garda terdepan sebagai pelindung dan pengayom kaum wanita. Ini penghormatan kaum
perempuan kepada kaum laki-laki sebagai sumber kekuatan dan perlindungan, yang diyakini
melindungi wanita.

Sebaliknya laki - laki menganggap wanita sebagai sumber kehidupan dan mata air yang harus
dilindungi layaknya seekor ular raksasa yang melindungi seluruh rangkaian daratan Flores
yang dikenal dengan julukan 'Nusa Nipa'. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kata
'Nusa Nipa' berasal dari bahasa Lio yang berarti Pulau Ular. Salah satu bukti pengakuan
orang Lio terhadap Nusa Nipa adalah Pada jaman dulu, orang Lio tidak pernah membunuh
ular, bahkan terkadang jika bertemu Ular, orang Lio selalu membentangkan kain selendang
lalu memberinya makan berupa telur ayam sebagai wujud penghormatan. Berikut ini sebuah
petikan syair penghormatan orang Lio terhadap ular:

Nusa Nipa - Pulau Ular:


Bu'u suru Lepembusu, - Dimenangkan di Lepembusu
Kanga ria tenda bewa, - Pelataran mega, bale agung
Ulu endo mbawe, - Hulu menjurus ke utara
eko tola ndale - Hilir menjurus ke Selatan
Ulu gheta kowe jawa - Kepala menjurus ke Timur
Kami pa'a miu no'o ka - Kami memberimu sesajen
Eko ghale bajo bima - Ekor ke Bajo Bima
Kami rewu miu no'o ru'e - Bagimu kami serakan santapan

Ulu leja geju, - Kepala ditempat terbitnya Matahari


Eko leja mele - Ekor di tempat terbenam
Ulu ata ma'e gete - Kepala jangan dipancung
Eko ata ma'e sete - Ekor jangan dipenggal

Ata eo kolu mbou ulu - Kepada pengacau (Perampas)


Soke kolo kai, - Penggalkan kepalanya
Ata eo rai ramba eko - Kepada perampok
Gete lima kai - Potong tangannya

Pusu kai tu leka tubu - Sajikan jantungnya di batu pemujaan


Lema kai Tu leka fi'i kanga - Lidahnya dikurbankan dipelataran
Ta'u leka nipa ria - Takut kepada ular
Ga leka bhara bani - Segan kepada Bhara buas
Nipa ria mbale lamu, - Ular besar menjelma lumut
Lamu mbale tana - Lumut menjelma tanah
Kita mera leka tana - Kita bermukim ditanah
Ina mera leka longgo - Berarti bemukin di punggung (ular)

Dari semua rentetan ritual adat orang Lio, Gawi/tandak adalah ritual puncak. Banyak agama
asli menggunakan ritual semacam gawi/tandak itu sebagai ibadat puncaknya. Contohnya
adalah JingiTiu di Sabu (padhoa), Marapu di Sumba, Aluk to Dolo di Toraja (Ma'badong),
bahkan, orang Yahudi ortodoks berdoa dengan cara tersebut di tembok ratapan. Mungkin ini
bisa berarti bahwa ritual seperti itu sudah sangat tua sekali usianya, atau bukti bahwa manusia
memiliki kecenderungan yang sama dalam menghayati kosmos.

Selain itu Masing - masing suku di Flores memiliki ciri musik dan tangga nada khas. Sebagai
contoh, suku Lio memiliki tangga nada berciri tritonus, yaitu berjarak empat nada berjarak
satu laras berurut, yang tidak ada duanya dengan di tempat lain. Kalau dibunyikan, akan
seperti nada fa-sol-la-si, bukan do-re-mi-fa atau sol-la-si-do sebagaimana lazimnya tangga
nada diatonik, atau do-mi-fa-sol seperti pentatonik lazim. Sayangnya, irama asli seperti ini
hilang begitu saja oleh irama yang lebih populer, seperti dangdut, reggae,dll, yang dibungkus
dengan sekedar bahasa daerah sebagai syair.

Mungkin, irama asli hanya bisa didengar jika menikmati Gawi di tempat - tempat seperti
Jopu, Moni, Tenda atau Watuneso dalam cakupan luas (lise nggonde ria). Generasi muda
perlu dididik kembali untuk mengerti keaslian tersebut sebagai kekayaan kultural, mungkin
dengan memasukkan materi musik daerah sebagai mata pelajaran sekolah, atau menggiatkan
sanggar - sanggar musik daerah. Bahkan lagu - lagu 'Gawi' yang kini populer lebih berciri
slow-rock ketimbang asli Lio. Ini juga terjadi di daerah - daerah lain. Sepertinya, kita lebih
suka menikmati musik asing dengan sekedar membungkusnya lewat syair berbahasa daerah,
tapi kehilangan jati-diri musik pribumi. Komponis yang setia menjaga keaslian irama
sepertinya tidak ada. Sebagai generasi Flores, anda ditantang untuk menggunakan kembali
musik aslinya. Jika tidak, musik khas Flores tidak akan pernah ada.
MENGENAL OBAT-OBAT HERBAL
TRADISIONAL ENDE
Kesehatan adalah harta. Sebanyak apapun uang yang bisa kita miliki namun jika tubuh sakit
rasanya uang tersebut seperti tidak ada artinya. Seperti saudara-saudara kita yang bahkan
mampu untuk membeli makanan enak, mobil mewah kapanpun setiap saat namun karena
hipertensi, makanan tersebut tidak bisa dinikmati olehnya.

Dewasa ini penderita penyakit degeneratif makin lama makin meningkat seiring
meningkatnya tingkat ekonomi dan perubahan pola makan masyarakat Indonesia. Hal ini bisa
kita lihat seperti menjamurnya restoran-restoran terutama di kota-kota besar, restoran tersebut
biasa penuh sesak pada hari sabtu, minggu atau hari libur.
Pengobatan herbal dengan ramuan-ramuan tradisional sebetulnya bukanlah hal yang baru,
pengobatan herbal sudah digunakan sejak zaman nenek moyang atau leluhur kita. Akan tetapi
dengan perkembangan zaman dan budaya hidup instan orang lebih memilih obat-obat
kimiawi yang ternyata juga memiliki efek negative terhadap tubuh manusia itu sendiri.

Seiring dengan munculnya kesadaran kembali ke alam (back to nature) orang-orang mulai
memanfaatkan kembali ramuan-ramuan tradisional untuk mengobati ataupun menjaga
kesehatan tubuhnya. Demikian pula di wilayah Ende Lio, sejak dahulu nenek moyang orang
ende lio sudah mengenal dan memanfaatkan tanaman-tanaman maupun sumber daya alam
lainnya untuk menjaga kesehatan dan mengobati yang sakit. Sehingga tidaklah
mengherankan jika leluhur kita dari sisi jiwa, raganya lebih kuta dan usianya lebih panjang.

Di bawah ini kami mencoba memaparkan beberapa obat-obat herbal tradisional dan
kegunaannya yang merupakan warisan nenek moyang kita ata (orang) Ende Lio ;

1. Wunu Kala (Daun Pagangan/sering diistilahkan dengan daun Ende)

Berguna untuk mengobati sakit demam pada anak, untuk mengobati darah tinggi. mengobati
wasir, mengobati muntah darah, mimisan dan batuk darah, mengobati bisul, mengobati mata
bengkak dan memerah, untuk menambah nafsu makan pada anak, dll

2. Wunu Nggawa Ngura (Daun Jambu Muda)

Berguna untuk mengobati sakit perut, Menurunkan Kolesterol, Mencegah Diabetes,


Mengurangi Masalah Diare, Memperbaiki Pencernaan, Mengobati Demam Berdarah,
Mengobati Alergi, dll
3. Muku (Pisang)

Pisang dari akar hingga buah memiliki manfaat yang beragama. Daun pisang Berguna untuk
menurunkan panas pada anak-anak, bermanfaat untuk mengobati buang air besar berdarah
dan berlendir, membantu mengatasi mimisan, Mengatasi radang pada tenggorokan,
Meredakan batuk dan sakit dada, Untuk mengobati luka bisa memanfaatkan hati batang
pisang, Untuk mengobati demam, mata dan luka bakar, Mengobati demam, sakit mata dan
luka bakar dapat menggunakan daun pisang yang masih muda untuk lebih menyejukkan.
Merawat rambut, Untuk kesehatan rambut dapat memanfaatkan cairan dari bonggol pisang.
Anakan batang pisang dapat menormalkan sakit tulang akibat kecelakaan.

4. Wunu Uta Ba’I (daun Pepaya)

Pepaya selain buahnya yang mengandung vitamin namun Daun Pepaya juga Berguna untuk
mengobati malaria, Mengobati luka baru jika dicampur dengan gula, Melancarkan
Pencernaan, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi, Melancarkan ASI Ibu Menyusui, Memperkuat
Tulang Dan Gigi, Mengempukkan Daging, dll

5. Wunu Kesi/Ku’i Kesi (Daun Reo dan Kulit Pohon Reo)

Pohon Ini di jawa dikenal dengan sebutan jawa atau pohon kudo. Bagi orang flores dikenal
dengan nama pohon reo. kulit Pohon ini Berguna untuk menghentikan pendarahan akibat
luka ringan. penawar bisa racun.Pucuk daun dari pohon ampuh untuk penawar bisa (racun)
binatang berbisa, seperti ular atau gigitan serangga. Caranya pucuk daunnya secukupnya
kemudian ditumbuk boleh dicampur dengan garam secukupnya lalu oleskan pada luka.

6. Wunu Advokad (Daun Advokad)

Advokad selain buahnya yang lezat namun daunnya bermanfaat untuk mengobati nyeri
lambung dan nyeri saraf, mengobati kencing batu, mengobati darah tinggi, mengobati
menstruasi yang tidak teratur bagi kaum hawa, mengobati penyakit batu ginjal, mengobati
sakit Pinggang, dll.

7. Sambiroto (Sambiloto)

Tanaman ini terkenal diseluruh Indonesia. Namun untuk orang ende jenis tanaman ini juga
sudah dikenal sejak dahulu kala. Dia berfungsi Untuk menurunkan panas , mencegah kanker,
menurunkan tekanan darah tinggi, mengobati penyakit tifus, menjaga stamina dan daya tahan
tubuh, Mengobati radang paru, Mengobati sakit gigi,mengobati radang saluran pernapasan,
Efektif untuk menawar racun, dll

8. Somu (Bawang Merah)

Selain sebagai bumbu masakan bawang merah juga berguna untuk mengobati berbagai jenis
penyakit misalnya untuk menurunkan panas, megobati animea, meredakan sakit perut,
mengobati gangguan urin, mengobati gula darah, sebagai pengganti amoniak untuk orang
yang pingsan, mencegah terserang penyakit TBC, mengobati penyakit jantung, mengobati
luka karena gigitan serangga dan masih banyak manfaat lain dari bawang merah.
9. Sunga (Bawang Putih)

Kawan dari bawang merah ini juga bermanfaat Untuk mengobati penyakit mag atau tukak
lambung, mengobati sakit gigi, menurunkan berat badan, menurunkan kolesterol, sebagai
sumber anti bakteri/virus, mengobati flu dan demam, mengobati diabetes, mengontrol berat
badan, menyembuhkan penyakit kulit seperti panu, mengatasi racun yang ada dalam tubuh,
menyembuhkan luka, menghilangkan gatal karena jamur, meredakan nyeri, mengobati radang
tenggorokan dll.

10. Kune (Kunyit)

Untuk mengobati beberapa jenis penyakit misalnya luka dalam, mengurangi lemak,
diabetes,mencegah kanker, Mengurangi Risiko Serangan Jantung dan Stroke, Melawan
Demam dan Flu, Menyembuhkan Gangguan Pencernaan dan Menurunkan Berat Badan,
menyembuhkan batuk darah, meningkatkan stamina, membantu persalinan, menambah nafsu
makan, mengobati borok dan koreng, mengobati usus buntu, mengobati penyakit thyfus, dll.

11. Wunu Kembo dan Esa Kembo (Daun dan Buah Mengkudu)

Daun mengkudu sendiri adalah menyembuhkan ambeien secara alami, mengobati perut
kembung pada anak. Sedangkan bagi kecantikan, daun mengkudu berfungsi sebagai obat
penghilang jerawat dan obat pelangsing tubuh alami.Buah mengkudu bermanfaat untuk
mengobati penyakit jantung, Mencegah kanker, Mengatasi kulit bersisik, Menyehatkan
tulang.

12. Wunu Sarikaya (Daun Sirsak)

Manfaat daun sirsak lainnya adalah untuk mengobati hipertensi atau tekanan darah tinggi
dengan cara meminum air rebusan daun secara teratur sampai tekanan darah menurun,
Mengobati stroke ringan, Mengurangi kadar kolesterol, Ramuan tradisional untuk kejang,
Obat tradisional untuk penyakit kanker.

13. Nata dan Wunu Nata/Mengi (Sirih dan Daun Sirih)

Untuk daun manfaatnya Dapat menyembuhkan penyakit asma, menyembuhkan radang pada
tenggorokan, menyembuhkan penyakit kulit seperti eksim, melancarkan haid yang tidak
teratur, menghilangkan bau mulut, mengatasi keputihan, mengobati sariawan, mengobati
demam berdarah, mengobati luka bakar, mengobati penyakit sifilis. Sedangkan buah sirih
bermanfaat mengobati sakit atau nyeri tulang, mengobati stroke, melancarkan peredaran
darah.

14. Wunu Nata/Mengi Toro (Daun Sirih Merah)

Mengobati Diabetes Melitus Batu Ginjal Hepatitis Radang Liver Menurunkan Kolesterol
Mencegah Stroke Asam Urat Hypertensi Radang Prostat Radang Mata Keputihan Maag
Kelelahan Nyeri Sendi Memperhalus Kulit Ambeian
15. Keu/Eu (Buah Pinang)

Mengatasi penyakit seperti haid dengan darah berlebihan, hidung berdarah (mimisan),
koreng, bisul, kudis dan mencret, Sakit pinggang, Rabun Mata, Meningkatkan gairah seks
kaum pria, Mengobati luka kulit, Obat cacingan, menguatkan gigi dan gusi dan meningkatkan
stamina dan gairah seksual.

16. Kerwali (BrotoWali)

Membersihkan Dan Menguatkan Darah Anti Malaria Anti Radang Menyembuhan Luka Dan
Penyakit Kulit Menurunkan Gula Darah Menurunkan Panas Mengatasi Alergi Gatal-Gatal
Jerawat Dan Menghaluskan Kulit.

17. Mbindi (Belimbing Wuluh)

pengobatan reumatik, mengobati penyakit batuk, Menurunkan panas tinggi dan demam,
Mengobati diabetes, Mengobati pegal linu.

18. Wunu Karara ( Daun Sukun)

Bagi orang Ende, karara (Sukun) sudah tidak asing lagi. Terkenalnya pohon sukun karena di
bawah pohon sukunlah Soekarno merenung tentang Pancasila. Terlepas dari hal tersebut daun
sukun memiliki beberapa khasiat misalnya untuk mengobati asam urat, untuk menyembuhkan
sakit ginjal, meyehatkan jantung, mengobati diabetes, mengobati penyakit lever.

19. Kamu Ki (Akar Alang-alang)

Mengobati penyakit batu ginjal, menyembuhkan infeksi ginjal, mengobati kencing batu,
menyembuhkan penyakit batu empedu, mengobati keputihan, menyembuhkan air kencing
berdarah, menyembuhkan mimisan, mengobati sakit radang hati. menyembuhkan hepatitis.
menyembuhkan demam. mengobati penyakit radang paru-paru. menyembuhkan gangguan
pencernaan, Mengobati muntah darah, mengobati Kencing bernanah.

20. Ae Nio Ngura (Air Kelapa Muda)

Menghilangkan Dehidrasi, Meningkatkan sistem kekebalan tubuh, Menyembuhkan Penyakit


Batu Ginjal, Menurunkan berat badan, Mengurangi Tekanan Darah Tinggi, bagi ibu hamil
bila rajin minum air kelapa muda terutama di trimester ketiga kehamilan maka air ketuban
akan bersih dan bayi yang dilahirkan juga bersih kulitnya, lebat rambutnya dan bening
matanya.

21. Wunu Fate (Daun Kemangi)

Melancarkan aliran darah, Menjaga kesehatan organ jantung, Mengobati sariawan,


Meningkatkan kekebalan tubuh, Membantu perkembangan tulang, Untuk mengobati panu,
Pengobatan Infeksi Kulit, Mencegah Rambut Beruban, Pencegahan Rambut Rontok,
mengatasi masalah gangguan pencernaan, mual, infeksi usus, radang lambung, serta gas
dalam usus.
22. Wunu Waru (Daun Waru)

Mengobati TBC dan sakit paru-paru, Mengobati penyakit batuk, Mengobati amandel yang
membengkak, Menyembuhkan radang usus, Mengatasi buang air besar berdarah, Mengobati
muntah darah, menghentikan pendarahan.

23. Lea (Halia)

Haliah terdapat beberapa jenis. Namun umumnya mengandung manfaat seperti membantu
untuk memperbaiki aliran darah dan pegal-pegal atau mengobati rematik dan encok,
Pencegahan Demam dan Selesema, mengobati stroke (halia merah), mengobati panu,
mengobati diare dan muntah-muntah, mengatasi masuk angin, membantu pencernaan agar
lancar, mengatasi sakit perut atau lambung dengan menempelkan parutan haliah di perut, dll.

24. Nilu/Tuga (Jeruk Nipis)

Mengobati ambient, mengobati amandel, mengobati batuk, mengobati Batu Ginjal,


Mencegah Rambut Rontok atau Berketombe, mengobati Radang dan lendir Tenggorokan,
mengobati Kurap atau Panu dll.

25. Mbangga (Jeruk Purut)

Buah jeruk purut dapat menyembuhkan Influenza, menghilangkan kulit yang bersisik dan
mengelupas, Perawatan Gigi Dan Gusi, menyembuhkan bau badan, menghilangkan pusing.
Sedangkan daun jeruk purut dapat dimanfaatkan untuk Penyembuhan Setelah Sakit Keras,
Untuk Kleso, Bengkak, Masuk Angin, Luka dan Patah Tulang dll.

26. Boda (Labu Putih)

Boda atau labu putih bentuknya panjang dan menjukur ke bawah. Boda berkhasiat untuk
Mengobati penyakit thypus, menurukan panas tubuh, untuk mengobati tekanan darah tinggi,
mengobati diabetes, memperlancar proses pencernaan, meningkatkan organ hati, dll.

27. Tewu (tebu)

Mengobati Batuk, Meredakan Panas Tubuh, Meredakan jantung Berdebar, Melawan Kanker
Payudara, mengatasi peradangan tenggorakan, mengatasi mimisan, mengatasi masuk angin,
mengatasi stroke dll.

28. Taru (Tarum)

Tarum tidak hanya dikenal sebagai pewarna untuk tenun ikat namun juga bermafaat untuk
kesehatan misalnya, akar tarum bermanfaat untuk pengobatan sakit gigi, daunnya berguna
untuk mengobati penyakit epilepsy, mengobati bisul.
29. Wunu Koro (Daun Cabai/Lombok)

Bermanfaat untuk pengobatan bisul, mengobati sakit perut, menghilangkan jerawat,


menghilangkan bekas luka, menghentikan pendarahan.

30. Uma (Lamtoro)

Mengobati diabetes, Mengobati disentri, Mengobati radang ginjal, Mengobati cacingan,


mengobati luka memar, mengobati kencing manis, menghentikan pendarahan, mengobati
cacingan dll.

31. Seku (Kencur)

Sejak jaman dahulu, kencur telah dikenal sebagai tanaman obat yang banyak digunakan
untuk membantu mengobati berbagai macam penyakit. Manfaat kencur antara lain adalah
untuk membantu meringankan sakit kepala, influenza, keselo dan beberapa penyakit ringan
lainya. Khasiat kencur juga telah dikenal sejak jaman dahulu untuk membantu mengobati
penyakit lambung/mag atau masuk angin, melangsingkan tubuh, meringankan serangan
penyakit migrain, mengobati asma, mengobati penyakit rematik, mengobati tetanus, batuk
serta mampu menghilangkan jerawat. Mengobati radang tenggorokan, mecuci darah kotor,
mengobati kencing batu, mengobati Radang pada lambung dll.

32. Laja (Lengkuas)

Makan lengkuas dapat membantu mengurangi ketidaknyamanan di perut yang disebabkan


oleh peradangan atau penyakit lain. Lengkuas mengandung analgesik dan antipiretik yang
dapat membantu mengurangi rasa sakit seperti demam, serta dapat mengurangi infeksi akibat
bakteri dan jamur. Lengkuas dapat digunakan sebagai pengobatan infeksi saluran pernapasan,
lengkuas digunakan sebagai bahan ramuan untuk mengobati reumatik dan arthritis, dll

33. Nawe (Sereh)

Sereh adalah gudang nutrisi aromatik penting yang memberikan berbagai manfaat kesehatan.
Manfaat sereh misalnya, membantu mengeluarkan racun yang ada dalam tubuh,
Menyembuhkan insomania, membantu membersihkan pancreas dan meningkatkan fungsi
pancreas, Serai mengandung zat besi yang sangat berguna untuk ksintetis hemoglobin
(protein sel darah merah yang dapat membawa oksigen keseluruh jaringan tubuh). Oleh
karena itu, dengan mengkonsumsi serai dapat membantu anda menyembuhkan penyakit
anemia.

34. Mage/Nangge (Asam Jawa)

Manfaat asam jawa sudah tidak tergantikan terutama untuk mengobati beberapa penyakit
seperti disentri. Mengobati Penyakit ini menyerang saluran pernafasan, Mengatasi demam
setelah nifas, Mengobati eksim, Mengatasi darah rendah, Mengobati ambeien, Obat batuk
kering, Mengobati sariawan, Mengobati borok, Mengobati gatal alergi dan biduran,
Mengobati sakit panas, Menyembuhkan luka, Mengobati rematik, Mengobati gatal pada
bekas luka yang sudah kering, dll.
35. Sule (Inggu atau godong dalam bahasa jawa)

Bermanfaat untuk mengobati Demam, influenza, batuk, radang paru, ayan (epilepsi),
hepatitis; Kejang pada anak, kecikutan (singultus, hiccup), kolik, cacingan,; Histeri (hysteria),
nyeri ulu hati, nyeri dada dan hernia, bisul,; Haid tidak teratur, tidak datang haid
(amenorrrhea),; Radang kulit bernanah, memar akibat benturan benda keras, ; Gigitan ular
berbisa dan serangga, Keracunan obat atau racun,; Pelebaran pembuluh darah balik (vena
varikosa),; Radang vena (flebitis) dll.

Ele Doi Ki Bhondo, Ele Ka Ghi Ji’e, Ele muri mera laka sa’o lepa eo gaga, demi ura baja
laje, penyaki mera leka tebo, doi bhondo ka ji’e guna gana iwa. (Sekalipun Uang Banyak,
biar makannya enak,, hidup dan tinggal di rumah yang mewah, namun jika badan terasa letih
dan loyo dan penyakit hinggap di badan maka semuanya tidak akan berguna).

Demikian beberapa jenis obat herbal dari Ende Lio. Besar harapan pembaca sekalian dari
generasi Ende Lio dapat menambahkan semoga makin memperkaya pengetahuan dan
bermanfaat untuk kita.
Rumah Musalaki

Rumah ini sendiri menjadi lambang dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Rumah adat ini
sendiri merupakan tempat tinggal khusus bagi kepala suku dari beberapa suku di provinsi
Nusa Tenggara Timur. Karena sudah menjadi lambang dari provinsi, saat ini desain bangunan
pemerintahan seperti kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten di Nusa Tenggara Timur
mayoritas mengadopsi konsep dari rumah Musalaki, serta di beberapa wilayah rumah ini
sudah dihuni oleh masyarakat pada umumnya.

Etimologi

Rumah Musalaki aslinya merupakan rumah adat dari masyarakat suku Ende Lio, karena
nama Musalaki sendiri diambil dari kata dalam bahasa Ende Lio yaitu mosa yang berarti
ketua dan laki yang berarti adat, yang jika digabungkan artinya adalah "ketua adat" atau
"kepala suku", jadi rumah Musalaki adalah rumah yang menjadi tempat tinggal bagi tetua
atau kepala suku dalam masyarakat suku Ende Lio. Rumah Adat Musalaki mempunyai
bentuk persegi empat dengan atap yang menjulang tinggi sebagai simbol kesatuan dengan
sang pencipta. Bentuk atap tersebut diyakini menyerupai layar perahu sebagaimana cerita
dalam masyarakat setempat mengenai nenek moyang dari Suku Ende Lio yang sudah terbiasa
menggunakan perahu. Pada bagian atas atap terdapat dua ornamen yang memiliki simbol
yaitu kolo Musalaki (kepala rumah keda) dan kolo ria (kepala rumah besar) di mana diyakini
kedua bangunan memiliki hubungan spiritual.

Fungsi

Sesuai dengan namanya, fungsi utama dari rumah Musalaki adalah sebagai tempat tinggal
bagi ketua adat atau kepala suku, khususnya bagi suku Ende Lio. Selain berfungsi sebagai
rumah tinggal kepala suku, rumah adat ini juga sering digunakan sebagai tempat ritual
upacara adat, kegiatan musyawarah adat, dan berbagai macam kegiatan adat lainnya.

Arsitektur

Struktur Bagian Bawah

Struktur bagian bawah rumah Musalaki terdiri dari struktur pondasi dan struktur lantai.
Struktur ini dijabarkan sebagai berikut:

 Struktur Pondasi Kuwu Lewa: Struktur pondasi pada bangunan rumah Musalaki
menggunakan bahan batu lonjong yang dipasang berdiri secara vertikal. dalam bahasa
Ende Lio, pondasi disebut leke lewu yang memiliki arti tiang kolom. Bentuk dari
pondasi rumah Musalaki yang unik yaitu kolom bangunannya diletakkan diatas
sebuah batu datar yang sudah terbentuk di alam. Manfaat pembuatan struktur pondasi
tersebut adalah untuk menghindari keretakan pada kolom bangunan pada saat terjadi
situasi tak terduga seperti gempa dan bencana alam lainnya, sedangkan lantai dibuat
seperti panggung bertujuan untuk memungkinkan sirkulasi udara dari bawah lantai
dapat berjalan baik, sehingga dapat mengatasi dan menghindari kelembapan pada
lantai bangunan rumah Musalaki.

 Struktur Maga: Struktur lantai rumah adat Musalaki dalam bahasa Ende Lio biasa
disebut maga. Maga terbuat dari bilah papan yang disusun sejajar dengan sistem satu
arah. Struktur lantai pada Musalaki terdiri dari dua bagian yaitu lantai tenda teo (teras
gantung) dan lantai koja ndawa (lantai ruang dalam), yang menjadi pembeda antara
keduanya adalah perbedaan tinggi lantai tersebut. Tujuan pembuatan lantai dari bilah
papan ini adalah agar udara yang melewati kolong rumah dapat masuk ke ruang atas,
sama seperti penjelasan pada bagian pondasi sebelumnya. Selain itu dengan
menggunakan lantai papan, tingkat kelembapan di dalam bangunan juga akan
berkurang, mengingat ketinggian lantai rumah ini tidak seperti rumah adat lain pada
umumnya yaitu berkisar antara 60 hingga 100 sentimeter dari permukaan tanah.[4][5]

Struktur Bagian Atas

Struktur bagian atas rumah Musalaki terdiri dari struktur atas lantai dan struktur atap.
Struktur ini dijabarkan sebagai berikut:

 Struktur Wisu: Struktur atas lantai rumah adat Musalaki dalam bahasa Ende Lio
biasa disebut wisu atau tiang kolom. Struktur ini mempunyai empat buah wisu
penyangga yang ditopang dari isi ine wawo (balok kayu palang bagian atas) yang
memiliki panjang 400 cm yang ditopang oleh isi mbasi (balok kayu palang bagian
bawah) yang panjangnya 450 cm . Bangunan Musalaki tidak mempunyai dinding
pembatas ruang. Tinggi masing-masing wisu bangunan Musalaki adalah sekitar 120
cm di mana masing-masing wisu memiliki bentuk yang berbeda. Wisu berbentuk
bulat di bagian bawah dan bagian atasnya berbentuk menyerupai sebuah kerucut segi
empat. Masing–masing wisu mempunyai ciri khas ukiran yang mempunyai filasofi
bagi masyarakat Suku Ende Lio. Antara tiang kolom samping kanan dan samping kiri
Musalaki terdapat leke raja yaitu satu tiang badan rumah yang panjangnya 120 cm,
terletak di bagian tengah yang menghubungkan dengan tiang mangu (tiang nok) yang
panjangnya 450 cm untuk menahan bubungan yang membentuk atap rumah yang
diikat oleh isi mbasi wawo (balok kayu palang bagian atas) yang memliki panjang 650
cm. Untuk rumah Musalaki tiang leke raja dan tiang mangu menjadi satu tiang dan
kayu palang menghubungkan tiang mangu yaitu saka ubu (bubungan), kedua tiang
leke raja ini dipasang dengan menggunakan seremonial adat Suku Ende Lio. Pada
tiang leke raja dan mangu mempunyai seni ukiran simbol binatang reptil dan binatang
lainnya.
 Struktur Atap: Merupakan struktur paling atas dari rumah Musalaki. Tiang mangu
pada bagian struktur rangka atap Musalaki berfungsi sebagai pembentuk struktur
kuda–kuda yang dihubungkan dengan saka ubu. Struktur kuda–kuda pada bagian
rangka atap Musalaki disebut jara yang merupakan kayu palang yang
menghubungkan antara ujung tiang mangu atau leke raja untuk membentuk bubungan
atap Musalaki. Pada bagian struktur atap terdapat pella yang merupakan kayu palang
untuk membentuk sudut bubungan yang menghubungkan tiang mangu atau leke raja
dengan tiang wisu. Pada bagian rangka atap terdapat lare serta eba (gording) yang
terbuat dari bilah bambu yang panjang dan letaknya sejajar dengan gola yang
merupakan kayu palang berbentuk persegi sebagai penyangga kuda–kuda dan pella,
jaraknya berdekatan atau disesuaikan dengan ngu ki (alang-alang penutup atap). Dan
yang terakhir yang paling atas adalah ate ubu (puncak atap) yang bahannya adalah
nao (ijuk) sebagai pengikat dan ki (alang-alang) yang dipasang secara selang-seling
dari bawah ke atas.
Sao Ata Mosa Lakitana

Sao Ata Mosa Lakitana adalah salah satu rumah adat atau rumah tradisional yang juga berasal
dari propinsi Nusa Tenggara Timur. Rumah ini beberapa kali kerap disalahartikan sebagai
rumah Musalaki, padahal terdapat banyak perbedaan di antara kedua rumah ini. Hal ini
disebabkan nama dari Sao Ata Mosa Lakitana juga terdapat kata mosa dan laki, sama seperti
asal dari kata rumah Musalaki. Sao Ata Mosa Lakitana sendiri merupakan rumah adat asli
dari pulau timor. Berbeda dengan rumah Musalaki yang berbentuk panggung, Sao Ata Mosa
Lakitana mempunyai bentuk seperti bulat telur dan tanpa tiang. Di dalam rumah adat ini
terdapat suatu tempat suci untuk arwah nenek moyang yang pada saat-saat tertentu selalu
diberi sesaji.

Berbeda dengan rumah Musalaki, bentuk bangunan Sao Ata Mosa Lakitana dibedakan dalam
3 bentuk yang didasarkan pada model atapnya, yaitu berjoglo yang merupakan rumah adat
suku sumba, kerucut bulat yang merupakan rumah adat suku timor, dan atap seperti perahu
terbalik yang merupakan rumah adat suku rote. Tidak hanya suku Rote, masyarakat suku
sabu yang berada di kabupaten sabu raijua juga menggunakan konsep atap perahu terbalik
dari Sao Ata Mosa Lakitana dan memiliki nilai filosofis tersendiri. Mayoritas masyarakat
suku Sabu yang berprofesi pelaut ulung membangun rumahnya menyerupai perahu yang
memiliki hubungan erat dengan kebudayaan serta kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh atap
yang berbentuk perahu terbalik, menandakan bahwa masyarakat daerah ini mengenal perahu
dan lau sebagai alamnya. Hampir seluruh bagian rumah diberi nama dari bagian perahu
seperti haluan, anjungan (duru), dan buritan (wui). Duru merupakan bagian yang
diperuntukkan bagi kaum laki-laki, sedangkan Wui bagian yang diperuntukkan bagi kaum
perempuan. Sementara di wilayah perkampungannya, rumah adat dari suku Sabu dibedakan
menjadi dua. Kedua rumah tersebut adalah ammu kelaga atau rumah adat berpanggung, dan
ammu laburai atau rumah adat berdinding tanah. Ammu kelaga sendiri merupakan bentuk
bangunan rumah adat suku Sabu asli yang mempunyai lantai panggung difungsikan sebagai
balai-balai dan disebut sebagai "kelaga". Bangunan ini mempunyai bentuk persegi panjang
dengan atap yang lancip dan mirip dengan perahu terbalik. Tiangnya berbentuk bulat terbuat
dari kayu pohon lontar, kayu enau, kayu hitam, atau kayu besi. Lantai panggungnya memiliki
tiga tingkatan, yakni kelaga rai (panggung tanah), kelaga ae (panggung besar), dan kelaga
dammu (panggung loteng) yang mencerminkan kepercayaan masyarakat suku Sabu adanya
tingkatan dunia, yakni dunia bawah (dunia arwah), dunia tengah (dunia manusia), dan dunia
atas (dunia para dewa).
Pati Ka, Tradisi 'Memberi Makan' Arwah
Leluhur di Danau Kelimutu
Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata atau Pati Ka yang merupakan upacara tradisi masyarakat Lio
ini diadakan setiap tanggal 14 Agustus. Upacara adat ini merupakan tradisi turun temurun
dengan memberi makan atau sesajen kepada arwah leluhurnya. Hal ini dilakukan lantaran
Danau Kelimutu dipercaya menjadi tempat bersemayamnya arwah para leluhur. Para arwah
nenek moyang dipercaya menghuni tiga danau itu, yakni , Tiwu Nua Muri Koo Fai, dan Tiwu
Ata Polo.Upacara Pati Ka dimulai pada pagi hari sekitar pukul 09.00 atau 10.00 waktu
setempat. Upacara ini melibatkan para ketua adat atau Mosalki.

Para peserta upacara biasanya berkumpul di satu tempat yanh sama. Setelah semuanya
berkumpul, mereka menuju lokasi upacara bersama-sama sambil diiringi musik tradisional I
Lo Ende. Tak lupa juga para Mosalki membawa sesajen berupa makanan dan minuman ke
lokasi upacara yang tak jauh dari danau kelimutu itu.

“Komunitas adat membawa sesajen, bawa beras merah dimasak, terus ada kaya arak gitu,
sirih sama pinang, kemudian menyembelih babi.

Sesejen ini ditaruh disebuah tempat yang terbuat dari tanah liat atau Pane. Makanan dan
minuman disusun rapi di atas tanah liat yang berbentuk gelas, piring, dan mangkuk.

Kemudian, ketika sampai di lokasi upacara, sesajen itu ditaruh di sebuah batu besar atau altar
sesajen. Batu ini diyakini sebagai tempat berkumpulnya para arwah leluhur.

Selanjutnya, para ketua adat akan memanjatkan doa, dan diakhiri dengan tarian Gawi Sodha
oleh para Mosalki sambil mengelilingi batu itu.
Kibi dan Filu Makanan Adat Ende

Untuk menyambut tamu yang datang.Masyarakat etnis lio biasa menyajikan pare kibi dan
filu. Kedua makanan ini biasa dihidang kan kepada tamu sebagai penghormatan.Keduanya
biasa dikatakan sebagai makanan adat yang hanya dihidangkan pada tamu yang datang
kedesa sebagai ungkapan syukur atas penyambutan tamu.Selain untuk menyambut tamu,
makanan ini juga disajikan saat acara adat dan pesta.Tidak setiap hari ada dan disantap
karena pada saat tertentu saja dibuat.Makanan ini turun temurun selalu dibuat dan tetap di
pertahankan etnis lio hingga sekarang.

Kita tetap mempertahankan warisan nenek moyang dan merupakan sebuah kearifan
lokal.Tamu yang datang harus disambut dan dihargai sehingga sebelum menyantap nasi
makah disuguhlah kibi dan filusaat minum teh atau kopi.

Proses pembuatan kibi dan filu

Untuk membuat kibi , beras dari padi lokal yang biasanya padi ladang dirandam
semalaman.Setela itu dikeringkan

Anda mungkin juga menyukai