A. INFORMASI UMUM
Kemiren adalah nama sebuah desa di Banyuwangi,dimana desa ini dijadikan Desa
Adat Wisata oleh pemerintah Banyuwangi. Memiliki luas 177.052 Ha dengan penduduk
± 3000. KEMIREN merupakan kepanjangan dari Kemronyok Mikul Rencana Nyata
( prinsipnya yaitu bersama – sama dan gotong royong) hal ini di cetuskan oleh
POKDARWIS atau kelompok sadar wisata desa Kemiren. Sedangakan Kemiren sendiri
berasal dari nama KEMIRIAN (banyak pohon kemiri, duren dan aren) dan masyarakat
setempat menyebutnya daerah tersebut KEMIREN, maka nama daerah tersebut disebut
KEMIREN hingga saat ini. Dijadikannya desa adat wisata, kemiren memiliki berbagai
keunikan mulai dari adat,tradisi, kesenian,kuliner serta pola hidup masyarakatnya masih
menjaga tradisi yang ada sejak dulu.Suku using adalah suku asli Banyuwangi, dimana
suku ini mayoritas tinggal di desa Kemiren. Berbagai macam kesenian masih bisa
dijumpai di desa ini seperti seni Barong, Kuntulan, jaran Kincak (kuda menari),
mocopatan ( membaca lontar kuno ) serta Gandrung yang mayoritas penari gandrung
terkenal berasal dari desa Kemiren.
Keunikan lain dari Desa kemiren, mayoritas penduduk kemiren memiliki tempat
tidur “Kasur – Bahasa jawa” dengan motif dan warna yang sama yaitu hitam dibagian
atas dan bawah, merah di pada tepinya. Kasur ini akan dimiliki oleh pasangan pengantin
dari orang tuanya. Hal ini memiliki filosofi tersendiri, warna merah yang berarti sebagai
penolak balak dan hitam melambangkan kelanggengan dalam rumah tangga. Pada satu
moment seluruh masyarakat kemiren mengeluarkan Kasur tersebut untuk di jemur
disepanjang jalan desa kemiren. Tradisi ini dinamakan mepe Kasur,menurut tetua adat
setempat tradisi ini dilakukan karena sumber segala penyakit berasal dari tempat tidur.
Hal ini dilakukan untuk mengusir segala macam penyakit. Tradisi tersebut merupakan
satu rangkaian dari tradisi tumpeng sewu “ritual bersih desa” yang dilaksanakan pada
bulan Dhulhijjah.
Crocogan, tikel /baresan, tikel balung dan serangan adalah jenis rumah adat suku
using, dimana ke empat macam rumah adat ini masih bisa di temui di desa Kemiren.
Salah satunya di sanggar genjah arum milik salah satu budayawan Banyuwangi,
bangunan – bangunan ini berusia hingga ratusan tahun. Bangunan ini dirancang tahan
gempa, dengan struktur utama susunan 4 tiang saka ( kayu ) balok dengan system tanding
tanpa paku ( Knokdown) tetapi menggunakan paju ( pasak pipih ). Setiap jenis atap
memiliki makna dan keistimewaan yang berbeda. Perbedaan atap rumah adat osing juga
memiliki status sosial yang berbeda pula.
Mayoritas suku using bermata pencaharian sebagai petani, alasan ini karena
sumber air yang melimpah dan mereka juga menjaga alam. Terbukti system pengairan
dan terbentang sawah disepanjang perjalanan menuju desa Kemiren. System pengolahan
sawah juga masih banyak menggunakan media konvensional. Setiap musim panen tiba,
mereka melakukan upacara tradisi dengan memainkan musik khas suku using. Sajian
Pecel pithik kuliner khas suku using dengan alunan musik angklung paglak mengiri
petani saat memanen padi. Persawahan suku using memiliki ciri khas seperti pondok di
tengah/ pinggir sawah dengan 4 tiang penyangga utama dari bamboo. Pada pondok
terdapat alat musik berupa angkulung berukuran kecil,alat music ini di kenal dengan
sebutan angklung paglak. Selain itu terdapat sebuh baling – baling dari bambu yang di
sebut kelling. Hal ini bertujuan untuk menentrakan petani, serta untuk mengusir hama.
Keistimewaan desa adat kemiren, masih menjaga tradisi – tradisi yang sudah ada
sejak nenek moyang mereka. Barong ider Bumi,Tumpeng Sewu, arak – arakan,dan seni
barong. Hidup berdampingan dengan jiwa gotong royong, tradisi musyawarah yang terus
terjaga.
B. SEJARAH
Desa Kemiren ini lahir pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1830-an. Awalnya,
desa ini hanyalah hamparan sawah hijau dan hutan milik para penduduk Desa Cungking
yang konon menjadi cikal-bakal masyarakat Osing di Banyuwangi. Hingga kini Desa
Cungking juga masih tetap ada. Letaknya sekitar 5 km arah timur Desa Kemiren. Hanya
saja, saat ini kondisi Desa Cungking sudah menjadi desa kota. Saat itu, masyarakat
Cungking memilih bersembunyi di sawah untuk menghindari tentara Belanda. Para
warga enggan kembali ke desa asalnya di Cungking. Maka dibabatlah hutan untuk
dijadikan perkampungan. Hutan ini banyak ditumbuhi pohon kemiri dan durian. Maka
dari itulah desa ini dinamakan Kemiren. Pertama kali desa ini dipimpin kepala desa
bernama Walik.
Desa Kemiren ditetapkan menjadi kawasan wisata desa adat Osing. Osing
merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya.
Dalam lingkup lebih luas, Osing merupakan salah satu bagian sub-etnis Jawa. Dalam peta
wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah Sabrang Wetan, yang
berkembang di daerah ujung timur Pulau Jawa. Keberadaan komunitas Osing berkaitan
erat dengan sejarah Blambangan (Scholte, 1927). Menurut Leckerkerker (1923:1031),
orang-orang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa. Keturunan kerajaan
Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila
dilihat dari adat-istiadat, budaya maupun bahasanya (Stoppelaar, 1927).
Orang Osing menurut Andrew Beatty (dalam buku The Variety of Javanese
Religion) diduga mereka adalah keturunan sisa-sisa penduduk tahun 1768. Meskipun
dokumen sebelumnya tidak menyebutkan nama itu. Para ahli sejarah lokal cukup yakin
bahwa julukan ”Osing” itu diberikan oleh para imigran yang menemukan bahwa kata
”tidak” dalam dialek lokal adalah ”Osing”, yang berbeda dari kata ”ora” dalam bahasa
Jawa. Orang yang sebenarnya Jawa itu kini disebut Osing saja atau juga disebut Jawa
Osing. Bernard Arps menyebutnya sebagai basa Using atau basa Banyuwangen (dalam
buku ”tembang in two traditions”)
C. AKSES
Desa Kemiren berlokasi tidak jauh dari pusat kota di Banyuwangi. Menuju ke
desa itu bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda empat dan akses jalannya cukup
untuk mobil berlawanan arah. Hanya, jalannya yang berliku dan naik turun membuat
pengemudi tak bisa melaju kencang. Di sepanjang jalan, siapa pun yang melintas akan
disuguhi lukisan alam. Pematang sawah yang hijau dan petani-petani tengah beraktivitas.
Terkadang suara gemericik air sungai yang dipenuhi bebatuan dan alirannya yang deras
menjadi penyegar bagi mata serta pikiran.
AGRO WISATA TAMANSURUH, DESTINASI BANYUWANGI
A. INFORMASI UMUM
Agrowisata Tamansuruh berada di kaki Gunung Ijen. Dikonsep agro-tourism,
destinasi ini menampilkan beragam pertanian Banyuwangi, mulai padi hitam organik
hingga beragam buah dan sayur organik. Juga ada hamparan bunga-bunga cantik warna
warni yang menjadi spot Instagrammable. "Pemandangannya indah, komplit mulai
pegunungan, sawah, hingga Selat Bali yang bisa dilihat dari ketinggian. Udaranya sejuk
berlimpah oksigen. Cocok banget buat liburan bareng keluarga," ujar Anas.
Destinasi ini juga menjadi tempat edukasi pertanian, sekaligus lahan
percobaan/demplot. Yang terbaru, ada 33 varietas melon dikembangkan, termasuk melon
chamoe, varietas melon asli Korea yang jadi primadona di Indonesia. "Sudah sukses
dikembangkan di sini, dan bisa diaplikasikan petani di lahannya masing-masing,"
ujarnya. Para pelaku pariwisata Banyuwangi, lanjut Anas, terus memastikan kesiapannya
menyambut era tatanan baru. "Yang penting disiapkan dulu. Kapan bukanya, kita tunggu
komando dari pusat," terangnya. Destinasi tersebut berdiri dan dibangun di atas lahan
yang luasnya sekitar 10,5 hektar di kawasan yang berhawa cukup sejuk dan berada di
kaki Gunung Ijen.
B. SEJARAH
Pantai Boom Banyuwangi dahulu merupakan sebuah pelabuhan kuno di masa
kejayaan Kerajaan Majapahit, dan merupakan tempat singgah para pedagang dan
saudagar antar daerah dan negara. Kapal-kapal membawa berbagai angkutan, biasanya
kopra dan kapal-kapal nelayan. Hal ini dibuktikan dengan dermaga-dermaga pelabuhan,
gudang-gudang bekas dan sebuah tempat pelelangan ikan yang sudah tidak dipakai.
C. AKSES
Pantai Boom terletak di bagian timur kota Banyuwangi. Dari Simpang Lima,
masuk ke Jalan dr. Sutomo hingga Taman Blambangan. Dari traffic light Taman
Blambangan menuju arah utara hingga bundaran PLN, lalu belok kanan masuk Jalan
Nusantara. Semua kendaraan bisa masuk ke Pantai Boom. Dan rambu-rambu menuju
kesana dapat ditemui dengan mudah.
B. SEJARAH
Latar belakang berdiri dan berkembangnya Masjid Agung Baiturrahman dimulai
sejak 7 Desember 1773, hal ini didasarkan pada surat wakaf dari keluarga besar Mas Alit
atau Raden Tumenggung Wiraguna I, Bupati pertama Banyuwangi untuk umat Islam
Banyuwangi. Arsip tertua yang dapat ditemukan mengenai wakaf ini adalah surat salinan
pernyataan wakaf tertanggal 17 November 1957. Di mana dalam surat tersebut terdapat
tanda tangan 7 ahli waris, yaitu R. Wirokusumo (tinggal di Kepatihan Djalan 2/121 a), R.
Danukusumo (Pensiunan Asisten Wedana, tinggal di Panderejo), R. Wiriodiputro
(Pensiunan Asisten Wedana, tinggal di Singonegaran), R. Tirtodirejo (Pensiunan Asisten
Wedana, tinggal di Singonegaran), R. Witoro (Bagian Keuangan Kantor Urusan Agama
Kabupaten Banyuwangi), R. Hardjo Seputro (Pensiunan Pegawai Provinsi, tinggal di
Temenggungan) dan R. Sugoto (petani, tinggal di Temenggungan). Surat ini menyatakan
bahwa mereka (para ahli waris) yang masih keturunan dari RT. Wiraguna I alias Mas Alit
(bupati Banyuwangi pertama) mewakafkan tanah Masjid Jami' seluas 0,1580 Ha dan
tanah kuburan seluas 0,10545 Ha di barat tanah masjid.
A. Renovasi Pertama (1844-1971)
Semula masjid tertua dan monumental ini bernama Masjid Jami' Banyuwangi, sebuah
tempat salat yang sangat sederhana yang hanya dibatasi oleh kayu seadanya,
kemudian pada tahun 1844 oleh Bupati Raden Adipati Wiryodanu Adiningrat mulai
dibangun dengan bangunan gedung permanen, sebagai pelaksana pembangunan
adalah Patih Raden Pringgokusumo Hadiningrat yang dibantu oleh Hakim Bagus
Achmad bin Ngabsi pada tanggal 18 Sya’ban 1260 Hijriyah.[3]. Pembenahan fisik
bangunan sedikit demi sedikit terus dilakukan oleh Raden Pringgokusumo
Hadiningrat yang kurun waktu 14 tahun (1867-1881) menggantikan saudaranya
menjadi Bupati Banyuwangi ke-5.
B. Renovasi Kedua (1971-1990)
Masjid Jami' Banyuwangi direnovasi kembali oleh Bupati Djoko Supaat Slamet dan
selesai pada tahun 1971. pada tahun itulah nama Masjid Jami' berganti menjadi
Masjid Agung Baiturrahman. Pemugaran Masjid Jami' ini selesai dalam kurun waktu
2 tahun yang dimulai tanggal 28 Maret 1969 sampai tanggal 8 Maret 1971. Peresmian
Masjid Agung Baiturrahman ini dilakukan oleh Bupati Djoko Supaat Slamet dan
Menteri Dalam Negeri Amir Machmud tanggal 12 April 1971. Semula kepanitiaan
renovasi ini dipegang oleh pihak Takmir Masjid, namun ternyata dalam
perjalanannya tidak semulus seperti yang direncanakan. Akhirnya dengan berbagai
pertimbangan diserahkan kepada pemerintah daerah untuk menangani pemugaran
tersebut. Kemudian Bupati memerintahkan Sekretaris Daerah Banyuwangi agar
segera menyelesaikan pembangunan Masjid.
C. Renovasi Ketiga (1990-2005)
Pada tahun 1986, Bupati S. Djoko Wasito memulai pemugaran atap masjid. Masjid
Agung Baiturrahman direnovasi bentuk atapnya, yang semula berbentuk kubah
dibongkar menjadi bentuk joglo. Peresmian Masjid Agung Baiturrahman dilakukan
pada tanggal 7 Maret 1990 oleh Bupati Harwin Wasisto. Pemugaran yang difokuskan
pada bentuk atap ini membutuhkan waktu empat tahun. Hal ini dikarenakan berbagai
kondisi waktu itu, bisa jadi pula karena pergantian kepemimpinan Kabupaten
Banyuwangi. Pasca Bupati S. Djoko Wasito, Banyuwangi dipimpin oleh Bupati
Harwin Wasisto. Perjalanan dua tahun masa kepemimpinan Bupati Harwin Wasisto
dapat menyelesaikan pemugaran atap joglo ini dengan baik.
D. Renovasi Keempat (2005-kini)
Berdasarkan terhadap pemikiran bahwa atap joglo memiliki beberapa kelemahan,
seperti rangka penyangga yang rumit sehingga rawan ambruk dan keadaan di dalam
joglo yang kotor dan terkesan tidak teratur maka Yayasan Masjid Agung
Baiturrahman membangun kembali Masjid Agung Baiturahman. Peletakan batu
pertama pada 9 September 2005. Dalam tahap ini telah dibangun sebuah gedung Aula
Baiturrahman yang cukup megah, yang berfungsi sebagai ruang salat di waktu-waktu
tertentu, pendidikan keagamaan, kegiatan administrasi takmir, dan lain-lain.
Pada tahapan selanjutnya (2006-2007) dibangun tempat wudu untuk jamaah pria dan
jamaah wanita. Dibangun pula ruang salat serambi selatan lantai 2 lantai yang
beratapkan kubah geser dan ruang salat selatan lantai 1 dan 2. Sementara untuk pada
tahapan selanjutnya (2009-2010) dibangun ruang salat utama, ruang salat utara, dan
ruang pendukung (melanjutkan pembangunan ruang salat serambi selatan dan tangga
utama).
C. AKSES
Masjid Agung Baiturrohman terletak di bagian timur kota Banyuwangi. Dari
Simpang Lima, masuk ke Jalan dr. Sutomo hingga Taman Blambangan. Dari traffic light
Taman Blambangan menuju arah utara hingga bundaran PLN, lalu belok iri masuk Jalan
sayuwiwit. semua rambu-rambu menuju kesana dapat ditemui dengan mudah.