Menyusul permintaan ini, dibentuklah suatu Panitia Perencanaan Kota pada tahun
1934 untuk menyiapkan peraturan perencanaan kota sebagai pengganti Bijblad. Pada tahun
1939 pemerintah Hindia Belanda menyusun RUU Perencanaan Wilayah perkotaan di Jawa
yang berisikan persyaratan pembangunan kota untuk mengur kawasan-kawasan perumahan,
transportasi, tempat kerja dan rekreasi. Masuknya Jepang ke Indonesia dan adanya perang
kemerdekaan Indonesia menyebabkan RUU Perencanaan WilayahPerkotaan di Jawa baru
disahkan pada tahun 1948 dengan nama Stadsvorming Ordonantie, Stb 1948/168 (SVO, atau
Ordonansi Pembentukan Kota), yang kemudian diikuti dengan peraturan pelaksanaanya yaitu
Stadsvormingverordening, Stb 1949/40 (SVV atau Peraturan Pembentukan Kota). SVO dan
SVV diterbitkan untuk mempercepat pembangunan kembali wilayah-wilayah yang hancur
akibat peperangan dan pada mulanya hanya diperuntukan bagi 15 kota, yakni Batavia, Tegal,
Pekalongan, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang, Banjarmasin,
Cilacap, Tanggerang, Bekasi, Kebayoran dan Pasar Minggu.
Kemudian konsep hukum tata ruang di Indonesia tentang ketentuan kekayaan alam
(bumi, air dan ruang angkasa), yaitu UU RI No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, UU RI
No. 11 Tahun 1967 tetang Pertambangan, UU RI No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Lalu
yang bersifat komprehensif dikaitkan dengan pembangunan, diatur dalam UU RI No. 4
Tahun 1982 tentang KKPPLH (UULH).
Kajian konsep hukum tata ruang Indonesia secara menyeluruh mengandung 4 (empat)
konsep dasar :
Dengan berlakunya UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang menjadi landasan
hukum peruntukan ruang.
Dengan lahirnya UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai dasar
hukum dari penatan ruang di Indonesia saat ini. Kemudian diatur Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008
dengan Tujuan Penataan Ruang Wilayah Nasional sesuai dengan Pasal 2 :
Seperti telah dinyatakan pada bagian awal bahwa penetapan UUD 1945 tidak
dimaksudkan sebagai sebuah konstitusi yang bersifat tetap. Hal ini secara tegas dinyatakan
oleh Soekarno sebagai berikut :
2) Fleksibel
Sebenarnya, persoalan UUD 1945 bukan hanya pada sifat kesementaraan itu tetapi
juga pada sifatnya yang amat fleksibel untuk dapat diterjemahkan sesuai dengan
perkembangan kondisi politik dan keinginan pemegang kekuasaan.Paling tidak ada tiga
alasan yang dapat membuktikan ini.
Pertama, keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang
mengubah kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi lembaga
legislatif yang sejajar dengan Presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan
pembentukan Badan Pekerja (BP) KNIP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNIP.
BP KNIP inilah yang mengusulkan untuk mengubah sistem pemerintahan dari sistem
Presidensiil menjadi sistem Parlementer. Usul ini disetujui oleh pemerintah melalui
Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945. Pergantian sistem
pemerintahan ini dilakukan dengan tidak melakukan perubahan terhadap Undang-
undang Dasar 1945.
Kedua, perdebatan tak berkesudahan dalam Konstituante telah memberikan peluang
kepada Soekarno untuk melakukan penafsiran (pemahaman) terhadap nilai-nilai
demokrasi yang terdapat dalam UUD 1945. Dengan melihat pengalaman pada era
demokrasi multipartai, Soekarno menafsirkan bahwa konsep demokrasi yang terdapat
dalam UUD 1945 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara
gotong-royong antara semua kekuatan nasional. Ini disebut oleh Soekarno dengan
Demokrasi Terpimpin. Konsep demokrasi inilah kemudian yang mendorong Soekarno
menjadi pemimpin yang otoriter dengan dukungan Angkatan Darat (AD) dan Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Dari tiga fakta sejarah tersebut UUD 1945 dapat dikatakan sebagai “konstitusi karet”
karena amat fleksibel untuk ditarik ulur sesuai dengan keinginan penguasa Bahkan, dua fakta
terakhir memperlihatkan bahwa UUD 1945 telah melahirkan rezim otoriter. Di samping itu,
kelenturan yang dimiliki oleh UUD 1945 telah menjadi penyebab terjadinya KKN,
memasung semangat demokrasi dan penegakan hukum, dan memberi peluang tumbuhnya
pemerintahan yang otoriter, antikritik dan antiperbedaan pendapat.
3) Tidak konsisten
Tidak konsisten adalah salah satu kelemahan yang cukup elementer dalam UUD
1945. Hal ini telah menimbulkan dampak yang luas dalam proses penyelenggaraan negara di
Indonesia. Inkonsistensi ini dapat dibuktikan sebagai berikut :
Pertama, sistem pemerintahan Indonesia dalam UUD 1945 adalah sistem presidentil
ini dapat dibuktikan bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Tetapi dengan adanya ketentuan bahwa Presiden bertanggung jawab kepada MPR
membuktikan bahwa model sistem parlementer juga dianut oleh UUD 1945. Majelis
Permusyawaratan Rakyat dapat menjatuhkan Presiden dengan cara mengadakan
Sidang Istimewa MPR. Apabila MPR menolak pertanggungjawaban, maka Presiden
akan diberhentikan oleh MPR. Pemberhentian ini akan berakibat pada pembubaran
kabinet.
Kedua, tidak konsisten dalam menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945 ada
bentuk kedaulatan yaitu Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan
Negara. Barangkali, kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum dapat saling
melengkapi. Tetapi kedaulatan negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat
dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, sistem kedaulatan negara
akan dengan mudah menjelma menjadi sistem yang otoriter karena negara dijelmakan
oleh individu-individu yang menjalankan roda pemerintahan