Anda di halaman 1dari 17

HUKUM TATA RUANG

Konsep Dasar Hukum Tata Ruang


Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu
mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang. Konsep dasar hukum penataan
ruang terdapat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 aliniea ke-4, yang
menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia”. Selanjutnya, dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada Negara atas seluruh sumber
daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk menggunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut mengandung makna, Negara
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan
sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki. Untuk dapat
mewujudkan tujuan Negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara harus dapat melaksanakan pembangunan
sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tersebut dengan suatu perencanaan yang cermat
dan terarah.
Apabila kita cermati secara seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh
Negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya
harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak
akan adanya perusakan dalam lingkungan hidup. Upaya perencanaan pelaksanaan tata ruang
yang bijaksana adalah kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan
hidup, dalam konteks penguasaan Negara atas dasar sumber daya alam, melekat di dalam
kewajiban Negara untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara
utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang pada
umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.
Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar Koesoemaatmadja
mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana pembangunan. Disini berarti hukum
harus mendorong proses modernisasi. Artinya bahwa hukum yang dibuat haruslah sesuai
dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejalan dengan fungsi tersebut, maka pembentuk undang-undang mengenai penataan
ruang. Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka peraturan perundang-
undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah, dimana salah satu peraturan
perundang-undangan yang mengatur penataan ruang adalah Undang Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang merupakan undang-undang pokok yang mengatur
tentang pelaksanaan penataan ruang.
Sejarah Pengaturan Tata Ruang Di Indonesia
Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) modern di Indonesia telah
diperhatikan ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda pada
awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut baru dikembangkan secara insentif pada awal abad
ke-20. Peraturan pertama yang dapat dicatat disini adalah De Statuen Van 1642 yang
dikeluarkan oleh VOC khusus untuk Kota Batavia.
Peraturan ini tidak hanya membangun pengaturan jalan, jembatan dan bangunan
lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung jawab pemerintah kota.
Pembangunan peraturan kota mulai diperhatikan lagi setelah Pemerintah Hindia Belanda
menerbitkan Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 yang mengatur pembentukan
pemerintah kota dan daerah. Dimana undang-undang ini memberikan hak kepada kota-kota
untuk mempunyai pemerintahan, administrasi dan keuangan kota sendiri.

1
Tugas pemerintahan kota diantaranya adalah pembangunan dan pemeliharaan jalan
dan saluran air, pemeriksaan bangunan dan perumahan, perbaikan perumahan dan perluasan
kota. Berdasarkan undang-undang ini dibentuklah pemerintahan otonom yang disebut
Gemeente, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tak lama kemudian, pada tahun 1905
diterbitkan Localen-Raden Ordonantie, Stb 1905/191 Tahun 1905 yang antara lain berisi
pemberian wewenang pada pemerintahan kota untuk menentukan prasyarat persoalan
pembangunan kota.
Karena mengalami beberapa persoalan mengenai pembentukan kota, pada akhirnya
pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya perencanaan kota yang menyeluruh. Hal
inilah yang memicu dimulainya pengembangan perencanaan kota di Indonesia, meskipun
pada saat itu belum ada peraturan pemerintah yang seragam.
Peraturan pembangunan kota tidak dapat dipisahkan dengan usaha-usaha Thomas
Karsten, yang dalam kegiatannya dari tahun 1902 sampai dengan 1940 telah menghasilkan
dasar-dasar yang kokoh bagi perkembangan peraturan pembangunan kota yang menyeluruh,
antara lain untuk penyusunan rencana umum, rencana detail, dan peraturan bangunan.
Laporan Thomas Karsten mengenai pembangunan kota Hindia Belanda yang diajukan pada
kongres desentralisasi pada tahun 1920 tidak hanya berisikan konsep dasar pembangunan
kota dan peran pemerintah kota, tetapi juga merupakan petunjuk praktis yang dapat
digunakan sebagai pedoman untuk penyusunan berbagai jenis rencana.
Peraturan yang penting bagi perencanaan kota yang disahkan pada tahun 1926 adalah
Bijblad, di mana peraturan ini yang menjadi dasar kegiatan perencanaan kota sebelum perang
kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1933, kongres desentralisasi di Indonesia
meminta pemerintahan Hindia Belanda untuk memusatkan persiapan peraturan perencanaan
kota tingkat pusat. Menyusul permintaan ini, dibentuklah suatu Panitia Perencanaan Kota
pada tahun 1934 untuk menyiapkan peraturan perencanaan kota sebagai pengganti.
Pada tahun 1939 pemerintah Hindia Belanda menyusun RUU Perencanaan Wilayah
perkotaan di Jawa yang berisikan persyaratan pembangunan kota untuk mengatur kawasan-
kawasan perumahan, transportasi, tempat kerja dan rekreasi.
Masuknya Jepang ke Indonesia dan adanya perang kemerdekaan Indonesia
menyebabkan RUU Perencanaan Wilayah Perkotaan di Jawa baru disahkan pada tahun 1948
dengan nama Stadsvorming Ordonantie, Stb 1948/168 (SVO, atau Ordonansi Pembentukan
Kota), yang kemudian diikuti dengan peraturan pelaksanaanya yaitu
Stadsvormingverordening, Stb 1949/40 (SVV atau Peraturan Pembentukan Kota).
SVO dan SVV diterbitkan untuk mempercepat pembangunan kembali wilayah-
wilayah yang hancur akibat peperangan dan pada mulanya hanya diperuntukan bagi 15 kota,
yakni Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang,
Palembang, Banjarmasin, Cilacap, Tanggerang, Bekasi, Kebayoran dan Pasar Minggu.
Pesatnya perkembangan kota dan berubahnya karakteristik kota menyebabkan SVO
tidak sesuai lagi untuk mengatur penataan ruang di Indonesia, selain hanya diperuntukan bagi
15 kota, Ordonansi ini hanya menciptakan dan mengatur kawasan-kawasan elit serta tidak
mampu mengikuti perkembangan yang ada. Karena itulah pemerintah Indonesia mengajukan
RUU Bina Kota pada tahun 1970 yang dipersiapkan oleh Departemen PUTL.
RUU ini mencakup ketentuan-ketentuan antara lain tahapan pembangunan,
pembiayaan pembangunan, peraturan bangunan, dan peremajaan kota. Namun, usulan
tersebut tidak pernah disetujui.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Indonesia menyusun Undang-undang
Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut
disahkan dan berlaku. Namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma otonomi
daerah melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai

2
dengan digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang,
menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kriteria Kota
Untuk menetapkan apakah sesuatu konsentrasi permukiman itu sudah dapat
dikategorikan sebagai kota atau belum, maka perlu ada kriteria yang jelas untuk
membedakannya. Salah satu kriteria yang umum digunakan adalah jumlah dan kepadatan
penduduk. Bagi kota yang sebelumnya sudah berstatus kotamadya atau sudah dikenal luas
sebagai kota, maka permasalahannya adalah berapa besar sebetulnya kota tersebut, misalnya
ditinjau dari sudut jumlah penduduk ataupun luas wilayah yang termasuk dalam kesatuan
kota. Menggunakan jumlah penduduk berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan,
seringkali hasilnya tidak tepat untuk menggam-barkan besarnya sebuah kota, karena belum
memenuhi persyaratan sebagai wilayah kota.
Pada kondisi lain, kota itu sebetulnya sudah melebar melampaui batas
administrasinya, artinya kota itu telah menyatu dengan wilayah tetangga yang bukan berada
pada wilayah administrasi tersebut. Dalam menganalisa fungsi dan menetapkan orde
perkotaan, maka luas dan penduduk didasarkan atas wilayah kota yang benar-benar telah
memiliki cirri-ciri perkotaan. Permasalahan bagi konsentrasi pemu-kiman atau bagi kota kecil
(ibukota kecamatan) adalah apakah konsentrasi itu dapat dikategorikan sebagai kota atau
masih sebagai desa. Jadi, perlu menetapkan kriteria apakah suatu lokasi konsentrasi itu sudah
memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai kota atau belum.
Badan Pusat Statistik (BPS), dalam pelaksanaan survei status desa/kelurahan yang
dilakukan pada tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah suatu
desa/kelurahan dikategorikan sebagai berikut :
a. Kepadatan penduduk per kilometer persegi;
b. Persentase rumah tangga yang mata pencaharian utamanya adalah pertanian atau non
pertanian;
c. Persentase rumah tangga yang memilki telepon;
d. Persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik;
e. Fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan, seperti fasilitas pendidikan, pasar, tempat
hiburan, komplek pertokoan, dan fasilitas lain seperti hotel, billiard, diskotek, karaoke
dan lain-lain. Masing-masing fasilitas diberi skor (nilai). Atas dasar skor yang
dimiliki desa/kelurahan maka dapat ditetapkan desa/kelurahan tersebut masuk dalam
salah satu kategori berikut, yaitu perkotaan besar, perkotaan sedang, perkotaan kecil
dan pedesaan.
Kriteria BPS diatas, hanya didasarkan atas kondisi (besaran) fisik dan mestinya
dilengkapi dengan melihat apakah tempat konsentrasi itu menjalankan fungsi perkotaan,
misalnya mata pencaharian penduduk perlu dibuat ketentuan bahwa mata pencaharian
penduduknya adalah bervariasi dan tidak tergantung hanya pada satu sektor yang dominan
(walaupun itu bukan pertanian).
Dengan demikian, terdapat transaksi antar berbagai kegiatan/sektor yang bernilai
ekonomi. Selain itu, perlu ditambah dengan kriteria bahwa konsentrasi itu berfungsi melayani
daerah belakangnya. Artinya, berbagai fasilitas yang ada ditempat itu, seperti tempat
perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, tidak hanya melayani/dimanfaatkan oleh penduduk
kota itu sendiri, tetapi juga melayani masyarakat yang datang dari luar kota yang sering
disebut sebagai daerah belakangnya.
Direktorat Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (PU) secara implisit
menganggap bahwa : Suatu konsentrasi pemukiman dengan kepadatan 50 jiwa atau lebih per
hektar berhak mendapat pelayanan fasilitas perkotaan, seperti pelayanan sampah dan air

3
minum. Juga ada kriteria bahwa jaringan jalannya berlapis (berbentuk Grid, bukan ribbon
type). Kriteria di atas masih perlu dipertegas tentang berapa luas wilayah minimal yang
kepadatannya 50 jiwa atau lebih per hektar dalam satu kesatuan wilayah yang utuh, artinya
tidak terputus-putus. Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau
tidak, adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh
kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Adapun fasilitas/fungsi perkotaan, antara lain sebagai
berikut :
a. Pusat perdagangan;
b. Pusat pelayanan jasa;
c. Tersedianya prasarana perkotaan;
d. Pusat penyediaan fasilitas sosial;
e. Pusat pemerintahan;
f. Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi; dan
g. Lokasi pemukiman yang tertata.
Dapat disimpulkan bahwa semakin banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, makin
menyakinkan bahwa lokasi konsentrasi itu adalah sebuah kota.
Perencanaan Tata Ruang Perkotaan
Penataan ruang khusus untuk perkotaan sebenarnya sudah dimulai sejak zaman
Belanda. Setelah kemerdekaan, ada pengaturan baru sejak tahun 1985 berupa Surat
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum dalam perencanaan
kota. Sesuai dengan Surat Keputusan Bersama tersebut Departemen Dalam Negeri
bertangggung jawab di bidang administrasi perencanaan kota, sedangkan Departemen
Pekerjaan Umum bertanggung jawab di bidang teknik (tata ruang) kota.
Atas dasar pembagian wewenang itu, Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata
Ruang Kota, dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.
Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) adalah suatu rencana pemanfaatan ruang
kota, yang berisikan rencana pembangunan kota yang terkait dengan ruang, sehingga tercapai
tata ruang kota yang dituju dalam kurun waktu tertentu dimasa yang akan datang. Rencana
program pembangunan kota disusun untuk 20 tahun ke depan dan dibagi dalam tahapan lima
tahanan.
Dalam hal ini, harus dipadukan pendekatan sektoral dan pendekatan regional (ruang),
sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang
Perencanaan Tata Ruang Kota, terdapat 4 (empat) tingkatan rencana tata ruang kota, yaitu
sebagai berikut :
a. Rencana umum tata ruang perkotaan, yaitu menggambarkan posisi kota yang
direncanakan terhadap kota lain secara nasional dan hubungannya dengan wilayah
belakangnya;
b. Rencana umum tata ruang kota, yaitu menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara
keseluruhan;
c. Rencana detail tata ruang kota, yaitu menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara
lebih rinci; dan

4
d. Rencana teknik ruang kota, yaitu menggambarkan rencana geometri pemanfaatan
ruang kota sehingga sudah bisa menjadi pedoman dalam penentuan sait (site)
pembangunan/konstruksi kota.
Selanjutnya, sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, Rencana Umum Tata Ruang Kota
(RUTRK) setidaknya harus berisikan hal-hal sebagai berikut :
a. Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota;
b. Rencana pemanfaatan ruang kota;
c. Rencana struktur pelayanan kegiatan kota;
d. Rencana sistem transportasi;
e. Rencana sistem jaringan utilitas kota;
f. Rencana kepadatan bangunan;
g. Rencana ketinggian bangunan;
h. Rencana pemanfaatan air baku;
i. Rencana penanganan lingkungan kota;
j. Tahapan pelaksanaan bangunan; dan
k. Indikasi unit pelayanan kota
Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota berkaitan dengan jumlah penduduk dan
kepadatan penduduk pada setiap bagian wilayah kota. Jumlah penduduk untuk keseluruhan
kota harus diproyeksikan dengan memperhatikan trend masa lalu dan adanya berbagai
perubahan ataupun usaha/kegiatan yang dapat membuat laju pertambahan penduduk dapat
lebih cepat atau lebih lambat dari masa lalu.
Rencana struktur/pemanfaatan kota adalah perencanaan bentuk kota dan penentuan
berbagai kawasan di dalam kota serta hubungan hierarki antara berbagai kawasan tersebut.
Bentuk kota tidak terlepas dari sejarah perkembangan kota, namun sedikit banyak dapat
diarahkan melalui penyediaan fasilitas/prasarana dan penetapan berbagai ketentuan yang
berkaitan dengan tata guna lahan, sedangkan Rencana struktur pelayanan kegiatan kota
menggambarkan hierarki fungsi kegiatan sejenis di perkotaan.
Kebijaksanaan Pertanahan Terhadap Perencanaan Kota
Pengertian tanah menurut pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). “tanah adalah permukaan bumi atau
kulit bumi”. Selanjutnya pasal 4 ayat (2) menjelaskan pengertian hak atas tanah, yang
menyatakan : “Hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan tanah sampai batas-batas
tertentu meliputi tubuh bumi, air, dan ruang angkasa diatasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah”. Hal ini, dipertegas
kembali dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial”.
Selanjutnya dalam Penjelasan Umum angka II (4) dikemukakan, bahwa hak atas tanah
apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
digunakan (atau tidak digunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apabila kalau
hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah atau lahan harus
disesuaikan dengan keadaaan dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai dan juga bagi masyarakat dan negara.

5
Pasal 16 UUPA mewajibkan pemerintah untuk menyusun rancangan umum mengenai
persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai macam keperluan
pembangunan. Dalam UUPA sendiri tidak ada penegasan arti dari persediaan, peruntukan,
dan penggunaan tanah tersebut. Namun, nampak dari tujuan dari setiap rencana itu tidak lain
adalah untuk mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945, yakni untuk kemakmuran rakyat.
Rencana umum peruntukan tanah harus sepenuhnya didasarkan pada kondisi objektif
tanah dan keadaan lingkungan, oleh karena itu rencana umum peruntukan tanah di tingkat
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota seharusnya memiliki kesamaan. Rencana umum
persediaan tanah adalah suatu usaha pemenuhan kebutuhan tanah untuk berbagai
pembangunan, yang dikaitkan dengan rencana umum peruntukan tanah. Persediaan tanah
untuk pembangunan yang baik adalah persediaan tanah yang didasarkan pada kondisi
obyektif fisik tanah .
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dapat dirumuskan bahwa yang di maksud dengan
kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan yang
dimaksud dengan pengadaan tanah dalam kontek ini adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
Kaitannya antara pengadaan tanah bagi kepentingan umum dengan rencana tata ruang
disebutkan, bahwa pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila
penetapan rencana pambangunan untuk kepentingan umum tersebut sesuai dan berdasarkan
pada Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Hukum Tata Ruang
Penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian ruang.
4 fakta mengapa hukum tata ruang diperlukan:
1. ruang pada dasarna tidak bertambah, sifatnya tetap, sedangkan kebutuhan terus
bertambah.
2. Konsekuensi dari bertambahnya kebutuhan akan ruang adalah timbulnya konflik,
sengketa, friksi, benturan antara satu pihak dgn pihak lain
3. Masyarakat butuh kepastian sampai kapan dia bisa menempati ruang
4. Kerapkali terjadi kesenjangan antara orang yang memiliki akses ruang dengan
masyarakat yang terbatas akses pada ruang
Tujuan dari hadirnya hukum tata ruang
Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum, sebagai pedoman penerbitan izin
kepemilikan ruang, sebagai instrumen pengendalian dari pemanfaatan ruang, dengan metode
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian diharapkan munculnya hasil positif berupa
keteraturan.
Objek studinya:
1. Bagaimana kita membuat perencanaan ruang yang intinya berbicara mengenai
perencanaan ruang/ perencaan peruntukan,.
2. Pengaturan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

6
3. Pengendalian peamanfaatan ruang dengan menggunakan perencanaan ruang,
pengaturan pemanfaatan ruang dan instrumen pengendalian berupa pemberian
sankksi, insentif dan disinsentif, dll.
Objek studi penataan ruang terdiri dari 5 aspek, yaitu:
1. Bagaimana hukum mengatur penataan ruang
2. Sejauhmana penataan ruang memngaruhi kegiatan masyarakat yang berada disekitar
pembangunan ruang tersebut.
3. Ruang harus memiliki nilai sosial, berguna untuk kepentingan sosial
4. Ruang merupakan seperangkat hak
5. Aspek wewenang pemerintah.
Metode pembelajaran HTR
Yuridis normatif, menggunakan hukum positif dalam mempelajari HTR, yang artinya UU
dijadikan dasar untuk mengkaji, mengkahayati dan memahami HTR.
Yuridis sosiologis, yaitu mengenai bagaimana HTR diterapkan dalam kehidupan masyarakat/
diimplementasikan dalam masyarakat.
Yuridis teknis, untuk mengkaji alasan teknis kenapa aturan dibuat, dan kenapa aturan
tersebut harus dibuat.

Prinsip-prinsip dasar dalam HTR:


1. Prinsip tanggung jawab negara, pada intinya ada 3 :
- Responsibilty, perencanaan dan penataan ruang merupakan tanggung jawab dari
pemerintah.
- Akuntability, pemerintahan yang bertanggung jawab
- Liabilty, apabila dia gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya, dengan kata
lain pemerintah tdaklah akuntabel, maka pemerintah harus mempertanggung
jawabkan perbuatannya secara hukum.
Pada pasal 7 UUTR dikatakan bahwa negara bertanggung-jawab melakukan
perencanaan, pleksanaan, pemanfaatan ruang untuk sebesar0besarnya kemakmuran rakyat.
Negara diberi kewenangan atributif untuk melaksanakan penataan ruang secara:
- Asli, artinya kewenangan tersebut langsung diciptakan dari UU
- Kuat, tidak dapat dikurangi atau dilebihi kewenangannya (bersifat pasti)
- Penuh, artinya kewenangan tersebut tak terbagi-bagi.
Apabila negara gagal dalam memenuhi kemakmuran rakyat maka yang bertanggung
jawab adalah pemerintah daerah. (pasal 7 ayat 2 dab 3 UUTR). Pembangunan haruslah
didasarkan pada asas kemakmuran rakyat, pembangunan dan manfaatnya harus merata di
tingkat daerah untuk menghindari disparitas. Ada 5 aspek yang harus menjadi perhatian
dalam penataan ruang:
- Peruuan
- Aparat pemerintah dan penegak hukum
7
- Masyarakat
- Budaya hukum
- Sarana sarannya
2. Prinsip manfaat ekonomi/sosial, artinya ruang dapat diukur dengan ukuran
ekonomi, maksudnya adalah bahwa pembangunan ruang haruslah dapat
meningkatkan nilai ruang, karena setiap orang berhak atas pertambahan nilai ruang.
Biasanya berhubungan dengan: lokasi, peruntukan, kepastian hak dan
keamanan
Hal ini berkaitan dengan Penjaminan pemerintah pada investor:
- Kepastian dalam penyediaan dalam infrastruktur
- Kepastian dalam perizinan
- Kepastian dalam ketersediaan SDM/ tenaga ahli
- Kepastian dalam pengaturan pajak dan retribusi
- Kepastian dalam mudahnya mendapatkan akses kepada lembaga keuangan dan
pembiayaan
Lokasi : berhubungan dengan gengsi, image atau pencitraan dari sebuah ruang
Kepastian peruntukan : behubungan dengan lama izin ruang
Kepastian hak: kepastian mengenai status tanahnya dan hak2 apa saja yang melekat pada
tanah tersebut
Keamanan: pemerintah harus menjamin tanah atau ruang harus terjamin keamanannya.
Infrastruktur: jaminan pemerintah berupa infrastruktur yang baik (jalan, listrik,
telekomunikasi, dll.)
Perizinan, kepastian mengenai berapa lama, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk
mendapatkan izin ruang.
Pajak, kepastian mengenai besarnya pajak, pengaturan pajak dan tempat bayar pajak
3. Prinsip subsidiaritas, mengenai :
Subsidiaritas kewenangan, mengenai bagaimana pemerintah kita
memberdayakan satuan pemerintah yang lebih rendah terlebih dahulu untuk menata
ruang, apabila dianggap tidak mampu maka akan diserahkan pada satuan pemerintah
yang lebih tinggi(sistem bottom up).
Yang dimana dalam pelaksanaannya didasarkan pada kebutuhan dan potensi
yang ada pada masyarakat yang tinggal diwilayah kerja pemerintah tersebut dan juga
didasarkan pada kebutuhan, kemampuan dan potensi masyarakat pada wilayah kerja
pemerintah tersebut.
Subsidiaritas dalam pengawasan, pengawasan pada dasarnya ada untuk
memastikan tingkat kepatuhan dari kegiatan tata ruang tersebut. mendayagunakan
pengawasan pada line ke 1 dahulu (pemberi izin), kemudian apabila tidak mampu
mngerjakannya sendirian maka akan di support oleh line ke 2 (pemerintah) fungsi
line ke 2 itu sendiri adalah untuk mengawasi line 1, kalau-kalau line 1 tidak dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik.

8
Subsidiaritas pengenaan sanksi,menggunakan terlebih dahulu sanksi yang
paling rendah lalu ke meningkat kepada sanksi yang lebih tinggi. pada pelanggar
peraturan, namun apabila apa yang dilakukannya tersebut sudah membahayakan
keselamatan umum maka akan langsung dikenakan sanksi yang lebih berat, bisa
pembongkaran, pencabiutan izin, bahkan sanksi pidana (apabila pemanfaatan ruang
tersebut telah memakan korban)
Umumnya dalam sanksi-sanksi yang diberikan dalam rangka pengendalian
pemanfaatan ruang:
- Peringatanà denda diperintahkan dalam pengurusan izin
- Sanksi pidana baru di terapkan apabila si pelaku membangun bangunan di daerah
yang bukan peruntukannya dan kemudian menimbulkan korban jiwa.
Catatan : bottom up planning dilakukan dengan cara menampung aspirasi dari
masyarakat di pemerintah desa dengan jalan musyawarah, yang kemudian dilanjutkan
pada tahap kecamatan sampai akhirnya diakhiri ke tingkat kabupaten/kota yang
kemudian melahirkan perda.
Dalam perencanaan RTRW haruslah realistis, disesuaikan dengan potensi dan
kebutuhan wilayah, juga harus direncanakan dengan pasti, tidak serta merta,
berjangka panjang, dan didukung dengan dukungan ekonomi.

4. Prinsip berkelanjutan, yang terdiri dari prinsip,:


- Prinsip kehati-hatian, yang artinya dalam penataan ruang haruslah direncanakan
terlebih dahulu dan tidak serta merta.
- Prinsip keadilan intra dan antar generasi, yang artinya dalam penataan ruang
harus memerhatikan aspek lingkungan yang dimana hal tersebut akan diwariskan
pada generasi berikutnya.
- Menyadari bahwa ruang bersifat bersifat terbatas, Yang artinya dalam RTRW
haruslah memerhatikan daya tampung dan daya dukung ruang.
- Pendekatan ekosistem
- Asas siapa yang merusak maka dia yang harus membayar.
Hal ini berkaitan dengan :
Ø Good Governance, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dlam
penataan ruang
Ø Good environmental Governance, perencanaan ruang haruslah
memerhatikan aspek lingkungan.
Ø Good Sustainable Development Governance, pasal2 dalam tata ruang
haruslah bersifat pembangunan berkelanjutan, yaitu memadukan aspek lingkungan
ekonomi, dan social. Juga program-program lain dari GSDG adalah: untuk
mengentaskan kemiskinan, mengubah pola produksi dan konsumsi yang tidak
berkelanjutan, mengolah pemanfaatan SDA untuk manfaat masyarakat di tempat SDA
itu berada.
Ø Good social planning governance, perencanaan ruang haruslah
memerhatikan aspek social, jangan sampai pembangunan ruang hanya akan
memperlebar jurang kesenjangan antara masyarakat yang mampu mendapat akses
ruang dengan yang tidak.

9
Catatan:
- kemisikinan selalu berkaitan dengan exploitasi sumber daya alam yang ada pada
ruang, dikarenakan si miskin tidak mampu mendapatkan hasil SDA secara resmi.
- Pola produksi dan konsumsi berkelanjutan adalah pola hidup yang hemat dan
ramah lingkungan.
- Corporate social responsibilities
5. Prinsip keragaman hukum
Harus disadari bahwa di indonesia terdapat pluralisme hukum, baik itu hukum
eropa, hukum adat maupun hukum agama. Maka dari itu dalam pembangunan ruang
haruslah memiliki cir-ciri dan keunikannya sendiri.
6. Prinsip partisipasi masyarakat
Masyarakat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, evaluasi, dan
implementasi dalam kegiatan yang ada hubungannya dengan kepentingan masyarakat.
Yaitu dalam penataan ruang. Hal ini adalah wujud dari demokrasi.
Partisipasi masyarakat dalam penataan ruang memberi manfaat tersendiri bagi
masyarakat, yaitu bertambahnya wawasan masyarakat mengenai penataan ruang yang
dimana wawasan tersebut didapat dari penyuluhan dari para ahli, meningkatnya
produksi dan produktifitas, juga dapat menstabilkan distribusi pendapatan (munculnya
lapangan kerja).Melibatkan masyarakat dalam penataan ruang merupakan kewajiban
pemerintah dalam rangka pelayanan publik.
Kenapa pemerintah wajib melibatkan dalam pembangunan ruang, karena
masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam hal tersebut, hak-hak tersebut dapat
berupa:
Hak masyarakat dari aspek demokrasi/politik, termasuk didalamnya hak :
Ø Hak atas informasi, masyarakat berhak mendapat informasi tata ruang baik diminta
atau tidak.
Ø Hak untuk melakukan penelitian dan pengkajian, hak untuk meneliti dan mengkaji
mengenai apa yang harus dilakukan pada ruang.
Ø Hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk menyatakan setuju atau tidak
mengenai pembangunan ruang.
Ø Hak untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan, hak untuk menjamin
bahwa pengkajian kemasyarakat benar-benar diperhitungkan dalam pembangunan
ruang.
Ø Hak untuk melakukan pengawasan
Hak masyrakat dari segi ekonomi, termasuk didalamnya adalah:
hak atas kesejahteraan (pasal 33-34 UUD 45),artinya apabila
pemerintah membutuhkan lahan yang dimiliki masyarakat untuk kepentingan
publik maka pemerintah harus memberikan kompensasi yang layak pada
masyarakat yang lahannya digusur tersebut.
Hak atas keadilan, apabila ada pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat,
masyarakat dapat mengajukan keberatan.
Hak masyarakat dari segi hukum, apabila pemerintah mengetahui ada
pelanggaran ruang/ lingkungan tetapi pemerintah lalai/ abai terhadap pelanggaran

10
tersebut maka pemerintah dapat dianggap turut serta dalam kejahatan tersebut.
Artinya masyarakat dapat mengakan keadilannya sendiri.
Catatan :
Sifat-sifat dari peran serta masyarakat, haruslah bebas, langsung dan tanpa pamrih.

Syarat untuk ikut serta dalam penataan ruang:


1. Ada kesempatan dan kemampuan untuk ikut serta dalam pembangunan ruang,
caranya dengan diberi informasi.
2. Adanya kesadaran dan kemauan untuk ikut serta
Faktor penghambat dalam peran serta masyarakat dalam penataan ruang :
1. Masyarakat tidak menyadari hak-haknya dilanggar
2. Masyarakat tidak tahu tentang adanya upaya-upaya hukum tuk melindungi
kepentingannya
3. Tidak berdaya tuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor keuangan, psikis,
sosial dan politik
4. Tidak punya pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan
kepentingannya
5. Memiliki trauma dalam proses interaksi dan penegakan hukum
Fungsi Pemerintahan
1. Mengatur
2. Melaksanakan hukum
3. Perlindungan hukum
4. Menyelenggarakan kesejahteraan hukum
Secara umum pengertian Tanggung Jawab Pemerintahan adalah kewajiban penataan
hukum (compulsory compliance) dari negara atau pemerintah atau pejabat pemerintah atau
pejabat lain yang menjalankan fungsi pemerintahan sebagai akibat adanya.
Pasal 7 UUTR
(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan
kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimanadimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
tetapmenghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pada intinya karena negara memiliki tanggung jawab secara hukum dalam penataan
ruang berdasarkan prinsip tangggung jawab maka agar penataan ruang lebih efektif maka
dalam perencanaan ruang negara memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah
untuk melaksanakan perencanaan dan pembangunan ruang yang tetap memerhatikan dan
menghormati hak-hak orang-orang sesuai dengan ketentuan UU. Juga negara melaksanakan
penataan ruang sebesar-besar kemaknmuran dan kesejahteraan rakyat.

11
Dalam pembangunan ruang pula negara wajib memerhatikan dampak-dampak
pembangunan pada ekonomi masyarakat, sesuai dengan fungsi negara yaitu mensejahterakan
rakyat.
Strategi kebijakan penataan ruang
1. PerUUan
PerUUan yang dibuat haruslah bersifat akomodatif, kolaboratif, aspiratif,
partisipatif, juga harus didasarkan pada good process, yaitu menjamin hak-hak
pembentukan peruuan yang demokratis.
Berdasarkan prinsip partisipatif dalam peruuan, ada 3 golonan masyarakat
yang berhak terlibat dalam pembuatan uu:
- Masyarakat yang terkena akibat langsung diberlakukannya UU tersebut
- Pembayar pajak
- Seorang ahli, seorang yan memiliki kemampuan dibidang itu
Ukuran terlibat/tidaknya masyarakat dalam perencanaan ruang :
Ø Adanya hak dan kewajiban baru/meniadakan kewajiban (persoonengesied)
Ø Keadaan fisik, keadaan yang dirasakan akan memengaruhi keadaannya
Ø Faktor waktu
Ø Media/metode apa yang digunakan sehingga orang dapat terlibat dalam
perencanaan ruang:
Ø Masyarakat diberi keterangan oleh pemerintah
Ø Adanya/ terbukanya public comment
Ø Kesepakatan/consensus
Alat ukur untuk menentukan apakah konsensus / keterlibatan masyarakat memiliki
daya ikat atau tidak adalah apabila dalam pembuatan UU tersebut memiliki atau telah
memenuhi prinsip good process atau tidak. Ukurannya adalah perencanaan ruang haruslah
akomodatif, kolaboratif, aspiratif, partisipatif
UU 26. 2007 mengatur mengenai perencanaan ruang, padadasarnya perencanaan
ruang itu sendiri terdiri dari : perencanaan à pemanfaatan à pengendalian
Perencanaan, perencanaan pada dasarnya terdiri dari 2 aspek :
- Bagaimana prosesnya terjadi (apa yang harus dilakukan)
- Apa isinya
Proses perencanaan ruang itu sendiri harus memenuhi beberapa syarat :
- Harus didasarkan hasil pengkajian, informasi yang memadai, data yang baik (data)
- Harus dilakukan oleh orang yang punya kemampuan dibidang penataan ruang
(SDM)
- Adanya political will dalam penataan ruang
- Adanya dukungan masyarakat
Manfaat dan fungsi dari penataan ruang:

12
- Mengetahui betapa pentingnya penataan ruang
- Merupakan arahan atau pedoman penerbitan izin
- Penegakan hukum
- Memudahkan dalam tahap evaluasi
Bagaimana proses itu berlangsung:
- Harus berdasarkan Good Process
- Harus berdasarkan Good Norm
Ada 4 hal yang harus dilakukan dan diperhatikan dalam substansi tataruang,
- Adanya problema masalah dan potensi
- Adanya muatan dan kerangka waktu
- Adanya sturn atau pengendalian
- Adanya pengkajian masalah dan potensi pada ruang seperti:
Ø Adanya data yang berisi berisi daya tampung ruang, daya dukung ruang,
yang menjelaskan sifat dan karaketristik ruang
Ø Menjelaskan kegiatan apa saja yang terdapat pada ruang
Ø Apa saja hak yang melekat pada ruang tersebut
Ø Adanya potensi bencana yang telah diperhitungkan terlebih dahulu
Ø Penuangannya dalam peraturan daerah nasional
Pemberlakuannya seperti apa:
- Pemberlakuannya bersifat hierarkis
- Pemberlakuannya harus bersifat komplementer tidak boleh terdapat kesenjangan,
semacam GAP, atau bidang tata ruang yang tidak teratur
- Harus ada konsistensi dalam pengelolaan tata ruang/ dalam peruntukan ruang
Evaluasi dilakukan 5 tahun sekali, perencanaan ruang dilakukan 20 tahun sekali,
evaluasi sangat penting dalam penataan ruang, karena evaluasi sendiri adalah salah satu
bagian dari upaya pengendalian dalam pemanfaatan ruang.
Ada beberapa cara dalam melakukan evaluasi:
- Konsep lampu sorot (proyeksi), jadi proses perencanaan ruang dari awal sampai
akhir tidak boleh berubah, hal ini dalikukan demi kepastian hukum, meskipun
yang boleh berubah hanyalah bersifat sektoral saja.
- Metode bertahap, yang dimana dasar pemikirannya adalah bahwa seorang
planolog tidak dapat memerhitungkan kondisi 20 tahun mendatang, maka pada
masa evaluasi setiap 5 tahun sekali seorang legislatif dapat merubah perencanaan
ruang.

2. Pemanfaatan Ruang

13
Pemanfaatan ruang merupakan bagian dari penataan ruang. Pemanfaatan
ruang dalam arti sempit berarti aktivitas budi daya. Secara hukum pemanfaatan berarti
aktivitas konservasi, budi daya dan perlindungan. (lihat definisi pola ruang)
Setiap pemanfaatan dari ruang dilakukan berdasarkan program, dan bukan
dibiarkan begitu saja (secara spontan).
Budi daya adalah suatu kegiatan yang non konservasi dan nonperlindungan,
nonpelestarian
Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk
menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan kesinambungan ketersediannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Secara konspetuual, apa yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan ruang.
- Bagaimana peraturan peruuan di bidang tata ruang menjadi acuan, landasan,
rujukan penataan ruang, juga menjadi petunjuk untuk sektor2 lain.
- Perlu adanya harmonisasi dalam peruuan tata ruang, agar tidak terjadi tumpang
tindih di dalam peraturan yang lain.
- Perlu adanya lembaga yang terkoordinasi yang melakukan penyelarasan di bidang
tata ruang tuk memastikan tidak ada konflik di dalam peruntukan tata ruang. Juga
tidak ada konflik didalam aturan masing2 sektor.
3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Untuk Mengendalikan Pemanfaatan Tata Ruang
Sesuai Dengan Rencana Tata Ruang.
Instrumen pengendalian ruang ( pasal 35 UUTR)
- Peraturan zonasi
- Perizinan
- Pengawasan à pasal 55 (yang merupakan bagian dari pengendalian)
- Insentif dan disinsentif
- Pengenaan sanksi dan penertiban
Peraturan zonasi, dokumen hukum yang dapat memastikan apa yang boleh dan
apa yang tidak boleh dalam pemanfaatan ruang secara rinci mengenai kewajiban apa
saja dalam pemanfaatan ruang.
Penjelasan Pasal 36 Ayat (1) uu. No. 26 2007 UUTR
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan
unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan
rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan
tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas
ketentuan tentang amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar
bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan),
penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk
mewujudkanruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ketentuan lain
yang dibutuhkan, antara lain, adalah ketentuan pemanfaatan ruang yang terkait
dengan keselamatan penerbangan, pembangunan pemancar alat komunikasi, dan
pembangunan jaringan listrik tegangan tinggi
Rencana tata ruang adalah pedoman dalam pembuatan peraturan zonasi

14
Perizinan, keputusan tata usaha negara yang diberikan pada perorangan
tertentu / badan hukum untk melakukan perbuatan yang pada dasarnya perbuatan
tersebut dilarang. Hukum administrasi sehingga pemegang izin memiliki keabsahan
dalam perbuatannya tersebut. (atau dapat dibilang izin merupakan instrumen
mendapatkan pengecualian dalam larangan dalam aturan)
Apabila izin dikeluarkan tanpa pengawasan maka cenderung akan ada
penyimpangan dalam implementasinya dilapangan. Pengawasan dilakukan melalui :
pemantauan, pelaporan dan evaluasi.
Seperangkat insentif dan disinsentif, semacam reward and punsihment dalam
pemanfaatan ruang, dalam insentif (reward) apabila masyarakat melakukan seuatu
perbuatan yang melebihi kewajibannya dalam pemanfaatan ruang ( misalnya
menanam banyak pohon di halaman rumahnya padahal dalam aturan hanya di
syaratkan satu pohon saja untuk tiap rumah) maka pemerintah akan memberikan
penghargaan berupa : pemotongan pajak, diberi fasilitas berupa infrastruktur yang
baik, dll.
Penjelasan Pasal 38 Ayat (5)
Insentif dapat diberikan antarpemerintah daerah yang saling berhubungan
berupa subsidi silang dari daerah yang penyelenggaraan penataan ruangnya
memberikan
Dampak kepada daerah yang dirugikan, atau antara pemerintah dan swasta
dalam hal pemerintah memberikan preferensi kepada swasta sebagai imbalan dalam
mendukung perwujudan rencana tata ruang.
Disinsentif merupakan kebalikan dari insentif, Disinsentif berupa pengenaan
pajak yang tinggi dapat dikenakan untuk pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
rencana tata ruang melalui penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) dan nilai jual kena
pajak (NJKP) sehingga pemanfaat ruang membayar pajak lebih tinggi. (berdasarkan
penjelasan dari uu.26 2007 mengenai tata ruang)

Pengenaan sanksi dapat dilakukan melalui :


- Teguran tertulis
- Denda
- Uang paksa
- Pembongkaran
- Pembekuan izin
- Pencabutan izin
Perbedaan substansi yang diatur dalam Undang-Undang Penataan Ruang yang
baru dengan yang lama antara lain :
- Ruang lingkup penataan ruang wilayah ditambahkankan ruang di dalam bumi
- Pengaturan jangka waktu berlaku rencana tata ruang dalam setiap tingkatan
menjadi 20 tahun.
- Tidak lagi dikenal istilah kawasan tertentu namun diganti oleh Kawasan Strategis.
- Penekanan terhadap hal-hal yang bersifat strategis terutama hal-hal yang memiliki
dampak besar terhadap lingkungan seperti proporsi kawasan hutan dalam suatu

15
DAS minimal 30 persen, serta proporsi ruang terbuka hijau (RTH) di
kota/perkotaan minimal 30 persen dengan proporsi ruang terbuka hijau publik
minimal 20 persen.
- Dalam penetapan rancangan peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota tentang
tata ruang harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri yang
bertanggungjawab dalam penyelenggaraan penataan ruang dalam hal ini adalah
Menteri yang Pekerjaan Umum sebelum dievaluasi oleh Departemen Dalam
Negeri.
- Adanya penambahan muatan dalam rencana tata ruang baik untuk skala Nasional,
Provinsi, maupun Kabupaten/Kota yaitu penetapan kawasan strategis dan
ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah yang berisi indikasi arahan
peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi.
- Penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan
keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Pengaturan ruang
pada kawasan-kawasan yang dinilai rawan bencana, seperti kawasan rawan
bencana letusan gunung api, gempa bumi, longsor, gelombang pasang dan banjir,
dan dampak dari keberadaan jaringan SUTET;
- Terbentuknya lahan abadi pertanian untuk menjaga ketahanan Pengaturan sanksi
yang lebih tegas, dalam hal ini selain diatur sanksi administratif, juga diatur sanksi
pidana, baik kepada pelanggar maupun pemberi izin yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang yang berlaku.
Zoning Regulation
Tingginya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang selama ini
menyebabkan pada UU Penataan Ruang yang baru dilakukan penekanan pada aspek
pengendalian pemanfaatan ruang. Bentuk-bentuk pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan
melalui penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta
pengenaan sanksi. Pemerintah Provinsi Jawa Timur saat ini sedang menyusun Konsep Zoning
Regulation untuk wilayah Provinsi Jawa Timur. Peraturan zonasi ini diharapkan dapat
menjadi acuan dalam pemberian izin pemanfaatan ruang, pengawasan, maupun penertiban,
serta memberikan panduan teknis pengembangan/pemanfaatan lahan untuk mengoptimalkan
nilai pemanfataan.
Peraturan zonasi yang akan disusun ini dibentuk pada level provinsi sebagai bahan
verifikasi bagi aturan zoning pada kawasan-kawasan strategis di lingkup provinsi, pada
akhirnya diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyusunan zoning regulation untuk tingkat
Kabupaten/Kota. Zoning regulation ini mengatur struktur dan pola ruang, ketentuan teknis
terkait dengan pemanfaatan ruang, serta mekanisme insentif dan disinsentif.

Penyusunan Zoning Regulation sebagai acuan teknis untuk penerbitan izin dalam
pemanfaatan ruang Provinsi serta diharapkan dapat menjadi acuan zoning pada skala
Kabupaten/Kota.
Izin pemanfaatan ruang ini merupakan tools untuk pengendalian pemanfaatan ruang di
Provinsi Jawa Timur, di mana sebelum dilakukan pembangunan fisik (bila wilayah berada di
kewenangan Provinsi) atau sebelum mengajukan izin lokasi ke Kabupaten/Kota (bila wilayah
berada di kewenangan Kabupaten/Kota) harus mendapatkan izin pemanfaatan ruang dari
Gubernur Jawa Timur. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberian izin
pemanfaatan ruang ini meliputi aspek teknis dan yuridis, antara lain :
1. Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Provinsi.

16
2. Kesesuaian dengan Peraturan Zonasi (Zoning Regulation).
3. Kesesuaian dengan peraturan perundangan bidang teknis lainnya.
4. Kesesuaian rencana penggunaan tanah dengan jenis hak atas tanah.
5. Kelayakan desain dan lokasi lahan
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang
Konsiderans
Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan
berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan
upaya penge-lolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berha-sil guna dengan
berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat
terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai
dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Perkembangan situasi dan kondisi nasional dan internasional menuntut penegakan
prinsip keter-paduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan dalam rangka
penyelenggaraan penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan idiil Pancasila. Untuk
memperkukuh Ketahanan Nasional berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan
kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan tersebut perlu diatur demi
menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara pusat dan daerah agar tidak
menimbulkan kesenjangan antar daerah. Keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman
masyarakat yang berkem-bang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan
penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud
ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Secara geografis Negara Kesatuan
Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang
yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya mening-katkan keselamatan dan kenyamanan
kehidupan dan penghidupan.

17

Anda mungkin juga menyukai