Anda di halaman 1dari 33

TUGAS MAKALAH

KONSERVASI LAUT

Konservasi Habitat

Syeiqido Sora Datu

L022172001

Sekolah Pascasarjana

Pengeloaan Sumberdaya Pesisir Terpadu

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Universitas Hasanuddin

Makassar

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Atas segala karunia

nikmatNya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-

baiknya. Makalah yang berjudul “ Konservasi Habitat” disusun dalam rangka

memenuhi salah satu tugas matakuliah.

Meski telah disusun secara maksimal, namun sebagai manusia biasa

menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karenanya penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.

Besar harapan saya makalah ini dapat menjadi sarana membantu

masyarakat dalam memahami mengenai konservasi habitat. Demikian apa yang

bias di sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari karya ini.

Makassar, 11 September 2018


I. Pendahuluan

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumber daya laut
yang telah dimanfaatkan secara turun temurun. Peningkatan kebutuhan hidup
manusia dan semakin sempitnya lahan daratan menjadikan laut sebagai
alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bebarapa tahun terakhir ini
pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara besar-besaran sehingga
menimbulkan efek negatif berupa kerusakan lingkungan.
Semakin meningkatnya pembangunan disegala bidang serta
meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan terhadap
pencemaran pesisir dan laut serta ancaman kerusakan lingkungan habitat
organsime di perairan laut meliputi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu
karang akibat dari ekploitasi berlebihan yang dilakukan oleh manusia tanpa
memperhatikan daya dukung lingkungan, akan menimbulkan dampak negatif
terhadap kelestarian sumberdaya alam tersebut bagi generasi mendatang.
Sebagai contoh penebangan kawasan hutan mangrove sebagai lahan tambak
dan permukiman, limbah industri yang berasal dari daratan yang terbuang kelaut
melalu aliran sungai dan pengambilan biota laut dengan menggunakan cara-cara
yang merusak yang akan berdampak bagi lingkungan habitat organisme dilaut
(Guntur, 2000)
Dengan demikian, diperlukan upaya-upaya yang komprehensif baik dari
pihak pemerintah, non-pemerintah, dan masyarakat demi tercapainya
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat saat ini
dengan kesinambungan ketersediaan sumberdaya pesisir dan laut untuk
generasi mendatang. Pembangunan wilayah pesisir dan laut serta pemanfaatan
sumberdaya alam yang ada didalamnya perlu memperhatikan kelestarian fungsi
dan ekosistemnya dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan dan
pemanfaatan yang tepat tanpa merusak lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya
secara optimum harusnya mengacu pada konsep pengelolaan berbasis ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga, pengetahuan prinsip-prinsip biologi,
ekologi dan habitat dari biota tersebut perlu dipelajari dan dimengerti. Aplikasi
riilnya yaitu diselenggarakannya suatu program pemanfaatan, pengelolaan dan
pengembangan laut dan wilayah pesisir terpadu, baik pada tingkat kabupaten,
propinsi, nasional, subregional, regional maupun global secara berkelanjutan.
Salah satu upayanya adalah dengan metode konservasi atau perlindungan
(Arbi, 2016).
Maksud dari penyusunan konsep pengelolaan kawasan konservasi
habitat laut adalah dalam rangka upaya konservasi dan pelestarian sumberdaya
alam laut melalui konsep pengelolaan yang terencana dan terpadu untuk
menunjang pembangunan wilayah pesisir dan laut yang berwawasan lingkungan.
Sedangkan tujuan penyusunan konsep pengelolaan kawasan konservasi laut
adalah sebagai pedoman dan arahan bagi pemerintah, Masyarakat dan Dunia
Usaha tentang lokasi-lokasi yang perlu dilindungi dan dilestarikan berdasarkan
Peraturan perundangan yang berlaku, sehingga dapat diwujudkan kelestarian
ekosistem laut yang berkelanjutan bagi generasi mendatang

B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai konservasi habitat,
landasan hukum terkait serta bentuk-bentuk konservasi yang ada di Indonesia.
II. Pembahasan

A. Konservasi
Konservasi atau conservation dapat diartikan sebagai suatu usaha
pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya
alam sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara
berkelanjutan untuk generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara
potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi
generasi yang akan datang. Berdasarkan pengertian tersebut, konservasi
mencakup berbagai aspek positif,yaitu perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan
secara berkelanjutan, restorasi, dan penguatan lingkungan alam. Pengertian
tersebut juga menekankan bahwa konservasi tidak bertentangan dengan
pemanfaatan aneka ragam varietas, jenis dan ekosistem untuk kepentingan
manusia secara maksimal selama pemanfaatan tersebut dilakukan secara
berkelanjutan.
Menurut UU No.23 Tahun 1997, pengertian konservasi sumberdaya
alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin
pemanfaatan secara bijaksana dan sumberdaya alam terbaharui untuk
menjamin kesinambungan ketersediaanya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai keanekaragamannya. Dalam undang-undang
tersebut pengertian konservasi terkait dengan sumberdaya alam yang terdapat
dalam lingkungan hidup. Oleh karenanya konservasi pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dalam pemakaiannya dengan sumberdaya alam dan lingkungan. Hal
ini secara jelas dapat dilihat dari defenisi lingkungan hidup (Undang-Undang
No.23 Tahun 1997 ), yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.
Dalam UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya, telah ditetapkan adanya pengelolaan kawasan koservasi laut,
yaitu suatu wilayah perairan laut, termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil yang
mencakup tumbuhan dan hewan didalamnya, serta termasuk bukti peningglan
sejarah dan sosial-budaya di bawahnya, yang dilindungi secara hukum atu cara
lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut.
Selain itu dalam PP No. 60 Pasal 1 menjelaskan Konservasi ekosistem adalah
upaya melindungi,melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai
habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang
akan datang. Kawasan konservasi merupakan salah satu cara yang ditempuh
pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dari
kepunahan. Pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi ditujukan
untuk mengusahakan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan mutu kehidupan manusia. Oleh karenanya keberadaan fungsi-fungsi
keanekaragaman hayati tersebut sangatlah penting.

B. Konservasi Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang Sebagai Habitat


Biota Laut.
Habitat merupakan tempat dimana organisme tertentu hidup dari pengaruh
lingkungan luar, baik secara langsung maupun tidak langsung . Habitat makhluk
hidup adalah tempat tinggal berbagai jenis organisme hidup melaksanakan
kehidupannya. Dalam ekosistem yang menjadi habitatnya dapat bermacam-
macam, seperti perairan,daratan, hutan atau sawah. Istilah habitat dapat berarti
juga sebagai tempat tinggal atau tempat menghuni seluruh populasi atau
komunitas makhluk hidup dalam ekosistem. Ancaman terhadap habitat
organisme laut tidak dapat dihindari, seiring pertambahan penduduk maka
kebutuhan akan sumberdaya alam SDA pun akan meningkat. Hal ini akan
menyebabkan eksploitasi berlebihan tehadap SDA yang akan berdampak bagi
kehidupan organime dilaut. Diperlukan upaya perlindungan dalam hal ini adanya
uyapa konservasi, dalam konservasi ada aspek yang tidak boleh diabaikan yaitu
kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Lingkungan yang dimaksud mencakup
tumbuhan dan hewan harus sesuai dengan habitatnya sehingga dapat tumbuh
optimal. Ekonomi yang dimaksud bahwa untuk melakukan konservasi
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Konservasi harus memperhitungkan
faktor biaya penanaman, biaya perawatan, dan biaya pengamanan. Faktor sosial
yang dimaksud adalah bahwa dalam konservasi selayaknya melibatkan
masyarakat. Karena dengan melibatkan masyarakat, tumbuhan dipelihara, dijaga
dan dirawat sesuai dengan
Berikut berbagai cara mengkonservasi lingkungan habitat :

1. Derah Estuaria
Usaha konservasi ekosistem eustaria dapat dilakukan diantaranya dengan
melarang penduduk yang berada di wilayah aliran sungai untuk tidak membuang
sampah sembarangan ke dalam sungai. Selain itu dengan pelarangan terhadap
pengerukan daerah muara untuk mengambil sumber dayanya. Misalnya
pengerukan pasir, batu, ataupun hal-hal lain yang dapat merusak muara sungai.
Penyuluhan terhadap masyarakatpun penting dilakukan sebagai upaya preventif
terhadap kerusakan ekositem estuaria ini. Cara lain yang harus ditempuh adalah
(a) Memperbaiki Daerah Lahan Atas (up-land)
(b) Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Secara Optimal
(c) Konservasi Hutan Mangrove

2. Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah
pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena
merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut.
Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi
produktivitasnya yang memberikan kontribusi terhadap produktivitas ekosistem
pesisir. Dalam hal ini beberapa fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai
berikut:
(a) Ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat
mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis
krustasea, ikan, burung, biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan
tumbuhan epifit dan parasit seperti anggrek, paku pakis dan tumbuhan
semut, dan berbagai hidupan lainnya;
(b) Ekosistem mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan
angin kencang dan gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi
air laut;
(c) Ekosistem mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga segala
macam biota perairan dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami
ikan dan binatang laut lainnya;
(d) Ekosistem mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan
pengolahan limbah organik;
(e) Ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan,
udang dan kepiting mangrove dalam keramba dan budidaya tiram karena
adanya aliran sungai atau perairan yang melalui ekosistem mangrove;
(f) Ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu;
(g) Ekosistem mangrove berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi.
Kawasan pantai dan ekosistem mangrove menjadi sasaran kegiatan
eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan
pembangunan yang masih cenderung menitik beratkan bidang ekonomi.
Semakin banyak manfaat dan keuntungan ekonomis yang diperoleh, maka
semakin berat pula beban kerusakan lingkungan yang ditimbulkan Eksploitasi
dan degradasi kawasan mangrove mengakibatkan perubahan ekosistem
kawasan pantai seperti tidak terkendalinya pengelolaan terumbu karang,
keanekaragaman ikan, hutan mangrove, abrasi pantai, intrusi air laut dan
punahnya berbagai jenis flora dan fauna langka, barulah muncul kesadaran
pentingnya peran ekosistem mangrove dalam menjaga keseimbangan ekosistem
kawasan pantai. Pada saat ini telah terjadi konversi ekosistem mangrove menjadi
lahan pertanian, perikanan (pertambakan), dan pemukiman yang tersebar hampir
di seluruh Indonesia. Padahal kekayaan flora dan faunanya belum diketahui
secara pasti, begitu pula dengan berbagai hal yang terkait dengan keberadaan
ekosistem mangrove tersebut.
Ekosistem mangrove di Indonesia berdasarkan status peruntukannya
dapat dikelompokkan menjadi: (a) kawasan konservasi dengan peruntukan
sebagai cagar alam, (b) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai suaka
margasatwa, (c) kawasan konservasi perlindungan alam, (d) kawasan konservasi
jalur hijau penyangga, (e) kawasan hutan produksi mangrove, dan (f) kawasan
ekosistem wisata mangrove.

a. Konservasi Mangrove
Perlindungan hutan mangrove pada wilayah estuaria sangat penting,
karena selain mempunyai fungsi ekologis juga ekonomis. Secara ekologis hutan
mangrove adalah sebagai penghasil sejumlah besar detritus dari serasah,
daerah asuhan, mencari makan dan sebagai tempat pemijahan. Secara fisik,
hutan mangrove dapat berperan sebagai filter sedimen yang berasal dari daratan
melalui sistem perakarannya dan mampu meredam terpaan angin badai. Secara
ekonomis, dalam konser-vasi hutan mangrove juga akan diperoleh nilai ekonomis
sangat tinggi. langkah-langkah penanganan konservasi ekosistem mangrove.
Adapun beberapa tujuan dari konservasi mangrove adalah :
a. Melestarikan contoh-contoh perwakilan habitat dengan tipe-tipe
ekosistemnya.
b. Melindungi jenis-jenis biota (dengan habitatnya) yang terancam punah.
c. Mengelola daerah yang penting bagi pembiakan jenis-jenis biota yang
bernilai ekonomi.
d. Memanfaatkan daerah tersebut untuk usaha rekreasi, pariwisata,
pendidikan dan penelitian.
e. Sebagai tempat untuk melakukan pelatihan di bidang pengelolaan
sumberdaya alam.
f. Sebagai tempat pembanding bagi kegiatan monitoring tentang akibat
manusia terhadap lingkungannya.

3. Ekosistem Lamun
Lamun (Seagrass merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang
terdapat di perairan pantai dangkal yang mampu beradaptasi sepenuhnya dalam
perairan laut. Kadang-kadang membentuk komunitas yang lebih hingga
merupakan padang lamun (seagrass bed) yang cukup luas. Padang lamun
merupakan salah satu ekosistem utama pada perairan dangkal yang sangat
kompleks dan merupakan sumberdaya laut yang cukup potensial, karena
memiliki fungsi fisik, ekologis dan ekonomis yang sangat penting. Fungsi ekologis
padang lamun diantaranya adalah sebagai daerah asuhan, daerah pemijahan,
daerah mencari makan, dan daerah untuk mencari perlindungan berbagai jenis
biota laut seperti ikan, crustasea, moluska, echinodermata, dan sebagainya
Tumbuhan lamun itu sendiri merupakan makanan penting dugong (Dugong
dugon) dan penyu hijau (Chelonia mydas) dan bertindak sebagai “jebakan
sedimen dan nutrient” Lamun juga mendukung kehidupan banyak jenis herbivor
dan detritivor yang menjadi dasar dalam rantai makanan dilautan. Lamun
memiliki sistem perakaran dan rhizoma yang intensif. Sistem rhizoma
membentuk daun lamun menjadi lebat, sehingga dapat mengurangi gerakan air
serta mengendapkan partikel tersuspensi ke dasar perairan. Lamun dapat pula
menghasilkan bahan organik melalui daun yang telah membusuk serta melalui
organisme yang hidup di lamun seperti epifik dan fitoplankton. Padang lamun
dapat pula berperan sebagai peredam ombak alami yang dapat menghambat
pergerakan air membuat perairan di daerah tersebut menjadi tenang. Keadaan
tersebut dapat menjaga pantai dari proses abrasi. Padang lamun dapat berfungsi
sebagai perangkap sedimen dan menstabilkan dasar perairan di bawahnya.
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di perairan yang cukup
rentan terhadap perubahan yang terjadi. Sehingga mudah mengalami kerusakan.
Ekosistem lamun juga sering dijumpai berdampingan atau saling tumpang tindih
dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Bahkan terdapat interkoneksi
antar ketiganya, dimana ekspor dan impor energi dan materi terjadi diantara
ketiganya. Ada ikan jenis-jenis tertentu dapat berenang melintas batas dari satu
ekosistem ke ekosistem lainnya.
Karena fungsi lamun tak banyak dipahami, banyak padang lamun yang
rusak oleh berbagai aktivitas manusia. Luas total padang lamun di Indonesia
semula diperkirakan 30.000 km2, tetapi diperkirakan kini telah menyusut
sebanyak 30 – 40 %. Kerusakan ekosistem lamun antara lain karena reklamasi
dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran, penangkapan ikan dengan
cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), dan tangkap lebih (over-fishing).
Pembangunan pelabuhan dan industri di Teluk Banten misalnya, telah
melenyapkan ratusan hektar padang lamun. Tutupan lamun di Pulau Pari ( DKI
Jakarta) telah berkurang sebanyak 25 % dari tahun 1999 hingga 2004.
Kerusakan lamun juga dapat disebabkan oleh natural stress dan
anthrogenik stress. Kerusakan-kerusakan ekosistem lamun yang disebabkan
oleh natural stress biasanya disebabkan oleh gunung meletus, tsunami,
kompetisi dan predasi. Anthrogenik stress bisa disebabkan :
a. Perubahan fungsi pantai untuk pelabuhan atau dermaga.
b. Eutrofikasi (Blooming mikro alga dapat menutupi lamun dalam
memperoleh sinar matahari).
c. Aquakultur (pembabatan dari hutan mangrove untuk tambak
memupuk tambak).
d. Water polution (logam berat dan minyak).
e. Over fishing (pengambilan ikan yang berlebihan dan cara
penangkapannya yang merusak).

Kegiatan di Padang Lamun dan Dampak Potensial yang Ditimbulkannya

No. Kegiatan Dampak Potensial

1 Pengerukan dan · Perusakan total padang lamun.


pengurungan yang berkaitan
· Perusakan habitat di lokasi
dengan pembangunan
pemukiman pinggir laut, pembangunan hasil pengerukan.
pelabuhan, industri, saluran
· Dampak sekunder pada
navigasi.
perairan dengan meningkatnya
kekeruhan air, terlapisnya insang
hewan air.

2 Pencemaran limbah industri, · Terjadi akumulasi logam berat


terutama logam padang lamun melalui
berat, senyawa organoklorin proses biological magnification.

3 Pembuangan sampah · Penurunan kandungan oksigen


organic terlarut.

· Dapat terjad ieutrofikasi yg


mengakibatkan blooming(peledakan)
perifiton yg menempel di daun lamun,
dan juga meningkatkan kekeruhan yg
dpt menghalangi Cahaya matahari

4 Pencemaran oleh limbah · Pencemaran pestisida dapat


pertanian mematikan hewan yang berasosiasi
dengan padang lamun.

· Pencemaran pupuk
mengakibatkan eutrofi kasi di perairan
padang lamun & sekitarnya.

5 Pencemaran minyak · Lapisan minyak pd daun lamun


dapat menghalangi proses
fotosintesa.

· Mematikan tumbuhan lamun

6 Pemanfaatan SD padang · Perubahan struktur vegetasi


lamun padang lamun.

· Perubahan substrat dasar


padang lamun yg dpt mengganggu
pertumbuhan lamun.

· Menurunnya fungsi padang


lamun sebagai habitat utama berbagai
biota laut

4. Ekosistem Terumbu Karang


Terumbu karang mempunyai peran penting dalam mendukung kelestarian
sumberdaya ikan dan organisme laut, serta berfungsi sebagai pelindung pantai
dari aktifitas gelombang dan arus. Peranan dan potensi terumbu karang dan
ikan karang Indonesia yang berlimpah di atas, mendapat tekanan yang beragam
dari aktivitas manusia di daratan dan dari alam itu sendiri seperti praktek
penangkapan ikan yang merusak, aktifitasrekreasi pantai, penyaluran kotoran ke
laut, masuknya nutrien yang melebihi ambang batas serta oleh kelebihan
tangkapan ikan suatu perairan overfishing dimana jika species dan kepadatan
ikan pemakan algae mengalami penurunan, maka akan berakibat pada
pertumbuhan algae yang lebih cepat dan akan menutupi terumbu karang.
Aktifitas lain yang dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang secara fisik
adalah kegiatan penyelaman, penambatan kapal dengan sistem jangkar,
endapan pecahan karang di dalam sedimen
Dampak kerusakan terumbu karang sebagai akibat kegiatan manusia
baik di darat maupun di pesisir dan lautan.
No. Kegiatan Dampak Potensial

1. Penambangan karang Perusakan habitat, bila menggunakan bahan


dengan atau tanpa peledak dapat menimbulkan kematian masal
bahan peledak. hewan terumbu karang.

2. Pembuangan limbah Meningkatkan suhu air hingga 5-100C di atas


panas suhu normal air dapat mematikan karang dan
hewan lainnya serta tumbuhan yang berasosiasi
dengan terumbu karang.

3. Penggundulan hutan · Sedimen hasil erosi yang berlebihan dapat


di lahan atas (up land) mencapai terumbu karang yang letaknya sekitar
muara sungai pengangkut sedimen yang
mengakibatkan kekeruhan air sehingga
menghambat fungsi zooxsanthellae yang
selanjutnya menghambat pertumbuhan terumbu
karang.

· Sedimen yang berlebihan dapat menyelimuti


polip-polip dengan sedimen yang dapat
mematikan karang, karena oksigen terlarut
dalam air tidak dapat berdifusi ke dalam polip.

· Karang di terumbu karang yang lokasinya


dekat dengan banjir akan dapat mengalami
kematian karena sedimentasi yang berlebihan
dan penurunan salinitas air.

4. Pengerukan di sekitar Arus dapat mengangkut sedimen yang teraduk


terumbu karang ke terumbu karang dan meningkatkan
kekeruhan air yang mengakibatkan seperti yang
telah diuraikan di atas.

5. Kepariwisataan · Peningkatan suhu air karena pencemaran


panas oleh pembuangan air pendingin
pembangkit listrik hotel, dengan akibat seperti
yang telah diuraikan di atas.

· Pencemaran limbah manusia dari hotel karena


limbah ini tidak mengalami pengolahan yang
memadai sebelum dibuang ke perairan lokasi
terumbu karang, dengan akibat terjadinya
eutrofikasi yang selanjutnya mengakibatkan
tumbuh suburnya (blooming) fitoplankton yang
meningkatkan kekeruhan air dan kemudian
terhambatnya zooxanthellae. Selain itu,
keruhnya air akan mengurangi nilai estetis
perairan terumbu karang.

· Kerusakan fisik terumbu karang batu oleh


jangkar kapal.

· Pengoleksian terumbu karang yang masih


hidup dan hewan-hewan lain oleh turis dapat
mengurangi keanekaragaman hewani ekosistem
terumbu karang.

· Rusaknya terumbu karang yang disebabkan


oleh penyelam.

6. Penangkapan ikan · Penangkapan ikan hias dengan menggunakan


hias dengan kalium sianida bukan saja membuat ikan
menggunakan kalium pingsan namun juga berpotensi membunuh
sianida (KCN) karang dan avertebrata lain di sekitar lokasi,
karena hewan-hewan ini jauh lebih peka
terhadap zat-zat kimia.

· Penangkapan ikan konsumsi dengan bahan


peledak bukan saja mematikan ikan tanpa
diskriminasi, tetapi juga koral dan avertebrata
lain yang ada di sekitar lokasi.

a. Upaya Konservasi Terumbu Karang


Suatu pengelolaan yang baik adalah yang memikirkan generasi mendatang
untuk dapat juga menikmati sumberdaya yang sekarang ada. Dengan demikian
dalam pengelolaan terumbu karang haruslah mempertimbangkan hal sebagai
berikut : Pertama, melestarikan, melindungi, mengembangkan, memperbaiki dan
meningkatkan kondisi atau kualitas terumbu karang dan sumberdaya yang
terkandung di dalamnya bagi kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta
memikirkan generasi mendatang. Kedua, mendorong dan membantu pemerintah
daerah untuk menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan
sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakat setempat serta memenuhi
standar yang ditetapkan secara nasional berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan daerah yang menjaga antara upaya ekploitasi dan upaya
pelestarian lingkungan. Ketiga, mendorong kesadaran, partisipasi dan
kerjasama/kemitraan dari masyarakat, pemerintah daerah, antar daerah dan
antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan terumbu
karang. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka dalam pengelolaan
terumbu karang diperlukan strategi sebagai berikut:
1. Memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung bergantung pada
pengelolaan terumbu karang
2. Mengembangkan mata pencaharian alternatif yang bersifat berkelanjutan
bagi masyarakat pesisir.
3. Meningkatkan penyuluhan dan menumbuhkembangkan keadaan masyarakat
akan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan
ekosistem nya melalui bimbingan, pendidik an dan penyuluhan tentang
ekosistem terumbu karang.
4. Memberikan hak dan kepastian hukum untuk mengelola terumbu karang bagi
mereka yang memiliki kemampuan.
5. Mengurangi laku degradasi kondisi terumbu karang yang ada saat ini
6. Mengidentifikasi dan mencegah penyebab kerusakan terumbu karang
secara dini.
7. Mengembangkan program penyuluhan konservasi terumbu karang dan
mengembangkan berbagai alternatif mata pencaharian bagi masyarakat
local yang memanfatakannya.
8. Meningkatkan efektifitas penegakan hukum terhadap berbagai kegiatan yang
dilarang oleh hukum seperti pemboman dan penangkapan ikan dengan
Cyanide.
9. Mengelola terumbu karang berdasar kan karakteristik ekosistem, potensi,
pemanfaatan dan status hukumnya
10. Mengidentifikasi potensi terumbu karang dan pemanfaatannya.
11. Menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan pelestarian
lingkungan.
Selain itu upaya yang dapat dilakukan dalam mengkonservasi terumbu
karang yaitu pembuatan zonasi, sebagai berikut:
 · Zona Inti : sebagai zona perlindungan mutlak, zona ini diperlukan untuk
kepentingan perlindungan kawasan (melindungi habitat dan populasi biota
laut dan pesisir). Pada blok ini tidak diperkenankan adanya pengembangan
fisik kecuali dalam rangka pengamanan kawasan.
 · Zona Penyangga : merupakan zona pemanfaatan terbatas untuk
kegiatan wisata minat khusus (semi intensif /terbatas). Kegiatan antara lain;
wisata bahari, wana wisata, wisata alam laut (diving, snorkling, memancing)
pemanfaatan pada zona ini adalah semi intensif dan multiguna.
 · Zona Budidaya Terbatas adalah zona pemanfaatan untuk kegiatan
budidaya laut (marine culture) dan penangkaran jenis-jenis biota laut langka
dan jenis-jenis ikan hias. Dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat pesisir.

C. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan Peraturan Hukum Terkait

Pengelolaan habitat pesisir melalui pembentukan Kawasan Konservasi


Perairan (KKP) bukanlah hal baru. Faktanya, di Indonesia, pemerintah telah
membentuk KKP sekitar tiga dekade lalu dan jumlahnya terus bertambah dan
bahkan Pemerintah Indonesia telah menargetkan untuk membangun KKP seluas
20 juta hektar pada tahun 2020. Sampai Desember 2016, terdapat 165 KKP
dengan total luasan mencapai hampir 18 juta hektar yang tersebar di seluruh
Nusantara. Seiring dengan perjalanan pembentukan dan pengelolaan KKP di
Indonesia, banyak pembelajaran yang dapat dipetik dan diterapkan di lokasi lain
agar pengelolaan KKP bisa menjadi lebih efektif dan efisien. KKP merupakan
salah satu solusi terbaik untuk menekan ancaman terhadap ekosistem pesisir
dan melindungi habitat pentinguntuk ikan memijah, tumbuh dan mencari makan,
sehingga masyarakat sekitar KKP mendapatkan manfaat dari perikanan yang
sehat. Manfaat lain dari KKP adalah untuk mengembangkan pariwisata bahari
laut dari sumber daya laut yang terjaga sehingga bisa mendatangkan
keuntungan ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah lokal.
Konservasi laut di dalam operasionalnya memiliki undang-undang yang
mendasari pelaksanaannya. Yakni diatur dalam PP Nomor 60 Tahun
2007 tentang konservasi Sumber Daya Ikan (SDI), bahwa pengelolaan kawasan
konservasi perairan berpijak pada dua paradigma baru. Yaitu pengelolaan
kawasan konservasi perairan diatur dengan sistem zonasi dan perubahan
kewenangan pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah sesuai
dengan kawasan konservasi yang berada di wilayahnya. Berdasarkan PP No.
60 Tahun 2007 pasal 1. Kawasan konservasi perairan (KKP) didefinisikan
sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk
mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan. IUCN–The Conservation Union, mendefinisikan kawasan
konservasi laut sebagai suatu area atau daerah di kawasan pasang surut beserta
kolom air di tasnya dan flora dan fauna serta lingkungan budaya dan sejarah
yang ada di dalamnya, yang diayomi oleh undang-undang untuk melindungi
sebagian atau seluruh lingkungan yang tertutup. Lebih lanjut, menurut UU
27/2007, Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi
untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara
berkelanjutan.
terdapat beberapa manfaat keberadaan KKP dalam sistem alam dan
sosial, yaitu:
a. Perlindungan biota laut pada tahap tertentu dalam siklus hidupnya,
b. Perlindungan habitat yang kritis dan tetap (misal terumbu karang, estuari),
c. Perlindungan budaya dan lokasi arkeologi,
d. Perlindungan terhadap budaya lokal dan nilai tradisional pengelolaan laut
berkelanjutan,
e. Menjamin tersedianya tempat yang memungkinkan bagi perubahan
distribusi spesies sebagai respon perubahan iklim atau linkungan lainnya,
f. Menjamin suatu tempat perlindungan (refugia) bagi pengkayaan stok
ikan-ikan ekonomis penting
g. Menyediakan suatu kerangka kerja untuk penyelesaian konflik multi
stakeholders,
h. Menyediakan model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu,
i. Menyediakan sumber pendapatan dan lapangan kerja,
j. Menjamin area untuk penelitian ilmiah, pendidikan dan rekreasi

Berdasarkan beberapa referensi ilmiah, sebuah lokasi dapat dipilih menjadi


KKP karena memenuhi beberapa kriteria di bawah ini:

a. Relatif masih alami – lokasi-lokasi yang masih dalam kondisi baik


b. Keterwakilan – lokasi unik, termasuk penting dalam proses ekologi seperti
area pemijahan, area asuhan dan/atau area dengan jenis-jenis ekonomis
penting
c. Biodiversitas – lokasi dengan keanekaragaman jenis/ekosistem yang
tinggi; lokasi dengan jenis endemik (jenis yang hanya hidup di lokasi atau
region tertentu)
d. Kerentanan – lokasi dengan sumberdaya/keanekaragaman yang tinggi
yang relatif rentan terhadap gangguan atau pengrusakan
e. Nilai Perikanan – lokasi yang strategis untuk meningkatkan perikanan;
lokasi dengan produktifitas tinggi atau merupakan daerah pemijahan atau
asuhan
f. Nilai wisata – lokasi yang jika dilindungi mampu meningkatkan kegiatan
rekreasi dan pendapatan dari ekowisata
g. Penerimaan sosial – dapat diterima oleh semua pihak terkait
h. Kepraktisan dalam pengelolaan – kelayakan dan tingkat kemudahan
dalam melakukan pengelolaan pendidikan.
Saat ini telah banyak peraturan perundangan ataupun turunannya sebagai
acuan dalam mengembangkan dan mengelola kawasan konservasi perairan,
pesisir dan pulau-pulau kecil, diantaranya:
1. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
2. Kepmen KP No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum
Pengelolaan Pulaupulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis
Masyarakat
3. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah
direvisi dengan UU No. 45 Tahun 2009
4. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
6. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil
7. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan
8. Permen KP No. Per.16 Tahun 2008 tentang Perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
9. Permen KP No. Per.17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi
di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
10. Permen KP No. Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara Penetapan
Kawasan Konservasi Perairan
11. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
12. Permen KP No. Per.03/Men/2010 tentang Tata Cara Penetapan
Perlindungan Jenis Ikan
13. Permen KP No. Per.04/Men/2010 tentang Pemanfataan Jenis dan
Genetika Ikan
14. Permen KP No. Per.30/Men/2010 tentang Rencana Pengelolaan
dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan
15. Permen KP No. Per. 34/ Men/2014 tentang Perencanaan
Pengelolaan Wilayah Peisisr dan Pulau-pulau Kecil.
D. Tahapan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi

Proses-proses, dari awal pembentukan sampai pengelolaan dari suatu


kawasan konservasi, pada dasarnya mengikuti 10 langkah sebagai berikut:
1) Survei lapang (REA, Resource and Ecological Assessment);
2) Analisis ancaman/peluang;
3) Seleksi dan rekomendasi;
4) Konsultasi masyarakat;
5) Penetapan & penataan batas;
6) Zonasi;
7) Rencana pengelolaan;
8) Badan pengelola;
9) Monitoring sukses/kegagalan;
10) Pengelolaan adaptif.
Seleksi calon kawasan konservasi umumnya menggunakan kriteria
tertentu, misalnya seperti yang diajukan oleh Kementerian Kehutanan
(mengadopsi model kawasan konservasi di darat), sebagai berikut:
a. Diversity – keanekaragaman hayati, dalam bentuk variasi kekayaan
ekosistem, habitat danspesies;
b. Naturalness – keaslian, gangguan atau tingkat degradasi relatif
rendah, atau sebaliknya, integritas lingkungan alamiah masih relatif
tinggi;
c. Representativeness, keterwakilan, tingkatan suatu lokasi bisa
mewakili tipe habitat, proses ekologi dan komunitas biologi;
d. Uniqueness – keunikan, wilayah yang secara biologis atau fisik
mempunyai ciri dengankeunikan tertentu;
e. Rareness – kelangkaan, habitat yang spesifik atau spesies langka;
f. Size – ukuran, harus cukup besar sedemikian rupa sehingga
berfungsi sebagai unit ekologi
g. Accessibility – terjangkau, kawasan yang ditujukan untuk
mengakomodasi kepentingan pengunjung wisata, pelajar
(mahasiswa), peneliti, nelayan harus terjangkau;
h. Effectiveness – keefektifan, feasibilitas untuk implementasi aktifitas
pengelolaan cukup tinggi.
Pengelolaan kawasan di Indonesia dilakukan dengan sistem zonasi. Zonasi
pada prinsipnya membagi wilayah di dalam kawasan konservasi menjadi
wilayah-wilayah, bagi kepentingan tingkat pemanfaatan yang berbeda. Tujuan
pengelolaan kawasan tercermin atau ter-refleksi di dalam perencanaan zonasi.
Suatu kawasan yang bertujuan untuk melindungi perikanan, zonasi akan
diprioritaskan untuk melindungi wilayah tempat pemijahan (perkawinan) ikan dan
habitat penting yang mendukung keberlanjutan sumber daya ikan. Oleh karena
itu, zonasi ialah tahapan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan
pengelolaan kawasan konservasi. Pembentukan kawasan konservasi (perairan)
pada dasarnya bertujuan (utama) untuk melindungi spesies/habitat
keanekaragaman hayati dan mempertahankan pemanfaatan sumber daya
secara berkelanjutan. Beberapa tujuan ikutan lainnya yang muncul setelah tujuan
utama ialah: penelitian ilmiah, pendidikan, pariwisata dan rekreasi.
E. Bentuk Upaya Konservasi Habitat di Indonesia

Adapun bentuk konservasi laut di Indonesia dikelompokkan menjadi 7


bagian, yaitu : Taman Nasional Laut, Taman Wisata Alam Laut, Cagar Alam
Laut, Suaka Margasatwa Laut, Kawasan Konservasi Laut Daerah, Daerah
Perlindungan Laut, Hak Ulayat dan Petuanan Laut.

1. Taman Nasional Laut


Taman Nasional Laut dapat diartikan sebaga ”daerah/ kawasan/ area yang
dilindungi oleh negara”. Taman Nasional Laut sendiri dapat diartikan sebagai
lautan yang dilindungi, biasanya oleh pemerintah pusat, dari perkembangan
manusia dan polusi. Taman Nasional Laut merupakan kawasan yang dilindungi
(protected area) oleh World Conservation Union Kategori II. Namun menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budi daya, pariwisata, dan rekreasi.
Menurut PHKA menetapkan Kawasan Taman Nasional berdasarkan
kriteria sebagai berikut :
a. Kawasan tersebut memiliki luas yang cukup untuk menjamin
kelangsungan proses ekologis secara alami.
b. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik berupa tumbuhan
ataupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih
utuh/alami.
c. Memiliki beberapa ekosistem yang masih utuh
d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami yang dapat dikembangkan
sebagai pariwisata alam
e. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam beberapa zona,
seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona yang lain
yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan,
ketergantungan masyarakat sekitar kawasan, dan dalam rangka
mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Pengelolaan Taman Nasional Laut didasarkan atas sistem zonasi, yang
mencakup zona inti, zona perlindungan, serta zona pemanfaatan wisata. Di
beberapa lokasi juga terdapat zona pemukiman
1. Zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak
dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh
aktivitas manusia, dan digunakan untuk pelestarian sumber genetik
dan perlindungan proses ekologi.
2. Zona Perlindungan adalah bagian kawasan taman nasional yang
berfungsi sebagai penyangga zona inti taman nasional. Di dalam zona
ini dapat dilakukan pemanfaatan secara tidak langsung terhadap
keberadaan daya tarik objek wisata alam yang dapat dikunjungi secara
terbatas, kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan, serta sebagai salah satu unsur penunjang budi daya
melalui penelitian
3. Zona Pemanfaatan Wisata adalah bagian kawasan taman nasional
yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata
4. Zona Pemukiman Taman Nasional adalah bagian kawasan taman
nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan
penduduk lokal. Di dalam zona ini dapat dilakukan kegiatan
pemanfaatan sumber daya kelautan alami secara tradisional
Ada sekitar lebih dari 50 taman laut di Indonesia yang ramai dikunjungi
wisatawan. Beberapa taman laut di Indonesia yang terkenal, antara lain :
a) Taman Nasional Kepulauan Seribu
Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan salah satu perwakilan
kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 45 km
sebelah Utara Jakarta. Kekayaan kehidupan laut taman nasional ini terdiri dari
karang keras/lunak sebanyak 54 jenis, 144 jenis ikan, 2 jenis kima, 3 kelompok
ganggang seperti Rhodophyta, Chlorophyta dan Phaeophyta, 6 jenis rumput laut
seperti Halodule sp., Halophila sp., dan Enhalus sp., serta 17 jenis burung pantai.
Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan tempat peneluran penyu
sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu sisik
dan penyu hijau yang merupakan satwa langka dan jarang ditemukan di perairan
lain terutama pantai Utara Pulau Jawa, ditangkarkan di Pulau Semak Daun.
Penangkaran tersebutuntuk memulihkan populasi penyu yang nyaris punah.
Kegiatan penangkaran meliputi penetasan telur semi alami dan perawatan anak
penyu sampai siap untuk dilepas ke alam.
b). Taman Nasional Kep. Karimunjawa
Taman Nasional Karimunjawa merupakan gugusan 27 buah pulau yang
memiliki tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, padang lamun, algae, hutan
pantai, hutan mangrove, dan terumbu karang. Jenis terumbu karang di Taman
Nasional Karimunjawa merupakan terumbu karang pantai/tepi (fringing reef),
terumbu karang penghalang (barrier reef) dan beberapa taka (patch reef).
Kekayaan jenisnya mencapai 51 genus, lebih dari 90 jenis karang keras dan 242
jenis ikan hias. Dua jenis biota yang dilindungi yaitu akar bahar/karang hitam
(Antiphates spp.) dan karang merah (Tubipora musica).
Biota laut lainnya yang dilindungi seperti kepala kambing (Cassis cornuta),
triton terompet (Charonia tritonis), nautilus berongga (Nautilus pompillius), batu
laga (Turbo marmoratus), dan 6 jenis kima.
c). Taman Nasional Kepulauan Wakatobi
Taman Nasional Wakatobi memiliki potensi sumber daya alam laut yang
bernilai tinggi baik jenis dan keunikannya, dengan panorama bawah laut yang
menakjubkan. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili di antaranya Acropora
formosa, A. hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus, Leptoseris
yabei, Fungia molucensis, Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra
versifora, Euphyllia glabrescens, Tubastraea frondes, Stylophora pistillata,
Sarcophyton throchelliophorum, dan Sinularia spp.
Kekayaan jenis ikan yang dimiliki taman nasional ini sebanyak 93 jenis ikan
konsumsi perdagangan dan ikan hias di antaranya argus bintik (Cephalopholus
argus), takhasang (Naso unicornis), pogo-pogo (Balistoides viridescens),
napoleon (Cheilinus undulatus), ikan merah (Lutjanus biguttatus), baronang
(Siganus guttatus), Amphiprion melanopus, Chaetodon specullum, Chelmon
rostratus, Heniochus acuminatus, Lutjanus monostigma, Caesio caerularea, dan
lain-lain

2. Taman Wisata Alam Laut


Taman Wisata Alam Laut (TWAL) adalah kawasan pelestarian alam yang
dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Tujuan
pengelolaan taman wisata alam laut, sebagai upaya pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Taman wisata alam laut ditunjuk untuk ditetapkan karena:
a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem
gejala alam, serta formasi geologi yang menarik.
b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian fungsi potensi
dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
c. Kondisi lingkungan disekitarnya mendukung upaya pengembangan
pariwisata alam.
d. Taman wisata alam laut dimanfaatkan untuk pariwisata alam laut dan
rekreasi; penelitian dan pengembangan; kegiatan pendidikan, dan
penunjang budaya.
Beberapa taman wisata alam laut yang potensial:
1. Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Padaido
Kawasan Padaido secara geografis berada sebelah timur Pulau Biak terletak
pada 00-550 LS dan 1340 – 1360 BT terdiri atas 30 pulau yang terdiri atas
Padaido Atas ( 17 Pulau ) dan Padaido bawah ( 13 pulau ). Sepuluh pulau yang
terdiri dari 19 Kampung merupakan pulau-pulau berpenghuni. Kawasan
Kepulauan Padaido beserta perairan di sekitarnya seluas 183.000 ha ditetapkan
sebagai Taman Wisata Alam Laut Padaido melalui SK Menteri Kehutanan no.
91/Kpts – VI/1997. Hampir semua pulau Kepulauan Padaido memiliki hamparan
pasir putih, sebagian kecil merupakan pantai landai berpasir dan pantai terjal.
Kawasan ini memiliki daya tarik yang memikat dengan air yang sangat jernih dan
keragaman terumbu karangnya yang relatif masih utuh dan indah.
2. Taman Wisata Alam Laut Gugus Pulau Teluk Maumere.
Taman Wisata Alam Gugus Pulau Teluk Maumere ditetapkan melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan no. 126/Kpts-II/1987 tanggal 21 April 1987.
Kawasan ini memiliki luas sekitar 62.450 ha, terletak di sebelah utara Pulau
Flores membentang sepanjang Pantai Teluk Maumere dan berbatasan dengan
Laut Flores.
Keanekaragaman jenis terumbu karang yang indah dan unik di antaranya
adalah jenis-jenis dari genus Montiphora, Acropora, Lobophyllia, Pectinia,
Stylophora, Porites, Pavona, Merulina, Favia, Hydnophora, dan Galoxia.
Keberadaan terumbu karang tersebut dilengkapi dengan aneka jenis ikan hias
dan ikan karang dari keluarga Chaetodontidae, Serranidae, Lutjanidae, dan
Haemulidae serta jenis-jenis ikan komersial, seperti ikan tenggiri, ikan tuna, dan
ikan layar.
3. Taman Wisata Alam laut Pulau Kapoposang
Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Kapoposang merupakan salah satu
tipe perwakilan terumbu karang tepi /datar, lamun, dan mangrove di Sulawesi.
Terumbu karang tepi merupakan ekosistem utama, yang mengelilingi perairan
Kepulauan Kapoposang. Terumbu karang tersebut membentuk dataran sampai
sejauh 200 meter sampai tubir, dengan kedalaman 1-10 meter pada saat air laut
surut.
Kawasan ini ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan no.
558/Kpts-VI/1996 tanggal 12 September 1996 dengan luas 50.000 ha dan
terletak di Kecamatan Liukang Tupabiring. Kabupaten Pangkajena Kepulauan
Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan

3. Cagar Alam Laut


Cagar alam laut daerah adalah kawasan alam laut yang karena keadaan
alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya yang
ditentukan serta dikelola untuk konservasi habitat dan jenis. Kawasan cagar alam
laut di kelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan
kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis, dan sosial budaya. Kawasan cagar
alam laut ditunjuk karena beberapa hal seperti:
a. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa dan tipe
ekosistem
b. Mewakili formasi biota tertentu dan unit-unit penyusunnya
c. Mempunyai kondisi alam atau fisik yang masih asli
d. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang
pengelolaan yang efektif dan menjamin keberlangsungan proses
ekologis
e. Mempunyai ciri khas tertentu
f. Mempunyai komunitas tumbuhan, satwa dan ekosistem yang langka
Adapun cagar alam laut di Indonesia antara lain :
1. Cagar Alam Laut 17 Pulau Riung, NTT
Kawasan Cagar Alam Riung merupakan salah satu Kawasan Suaka Alam
yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: 589/Kpts-II/1996
tanggal 16 September 1996 dengan luas 2000 ha. SK ini merupakan SK
perubahan fungsi setelah dilakukan pemisahan antara Taman Wisata Alam 17
Pulau Riung dengan Cagar Alam Laut Riung. Kawasan Cagar Alam Riung
merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan kering dengan vegetasi campuran
dan hutan mangrove.
Jenis-jenis flora yang terdapat di kawasan Cagar Alam Riung di antaranya
adalah waru (Hibiscus tiliacius), ketapang (Terminalia cattapa), kemiri (Aleurites
molucana ), kepuh (Sterculia foetida), pandan (Pandanus tectorius), cendana
(Santalum album), jati (Tectona grandis), kesambi (Schleichera oleosa), johar
(Cassia siamea ), mangga (Mangivera indica), asam (Tamarindus indica),
sengon laut (Albizia falcataria), kabesak (Acacia leucocephala), nyamplung
(Callophylum inopphylum), kayu manis (Cinanionium burmanii), ampupu
(Eucalyptus urophylla), serta jenis bakau- bakauan seperti Rhizophora sp,
Bruguiera gymnoriza, Sonneratia sp.

4. Suaka Margasatwa Laut


Suaka margasatwa alam laut adalah kawasan suaka alam laut yang
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang
untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya
untuk dilestarikan. Criteria untuk menunjukkan dan menetapkan kawasan suaka
margasatwa laut adalah:
a. Merupakan tempat hidup dan perkembangbiakkan satwa laut yang perlu
di lakukan upaya konservasinya
b. Merupakan habitat satwa langka yang dikhawatirkan akan punah
c. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi
d. Merupakan tempat hidup bagi satwa migran tertentu
e. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat satwa yang dimaksud
Kawasan Suaka Margasatwa laut dapat dimanfaatkan untuk penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata alam terbatas, dan
kegiatan penunjang budi daya
Suaka margasatwa laut di Indonesia yaitu:
1. Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat
kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu (SMPV), Kaimana-Papua Barat
merupakan salah satu potensi habitat peneluran Chelonia mydas, Penyu Hijau
atau biasa disebut masyarakat sekitar linn jelepi (suku Koiway). Adapun
kawasan SMPV ini (Pulau Venu/Tumbu-tumbu dan sebagian Pulau Adi Jaya
termasuk perairan sekitarnya) memiliki luasan sebesar 16.320 ha berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 891/KPTS-II/1999
tanggal 14 Oktober 1999. Selanjutnya, kawasan SMPV secara kolektif
merupakan penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi daerah tingkat I Irian
Jaya (±42.224.840 ha). Selanjutnya, kawasan SMPV termasuk kawasan lindung
nasional yang disebutkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
Papua Barat Tahun 2008- 2028. Berkaitan dengan upaya konservasi penyu
Jelepi berdasarkan Red Data Book IUCN dan CITES , semua jenis penyu
dikategorikan sebagai satwa langka (terancam punah) dan dilindungi.

5. Kawasan Konservasi Laut Daerah


Pengelolaan taman nasional laut, taman wisata laut, cagar alam laut
maupun suaka margasatwa laut dilakukan oleh pemerintah pusat, dan penentuan
pengelolaan ditetapkan berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan. Selain
dilakukan oleh pusat, pengelolaan kawasan laut juga dilakukan oleh Kabupaten
/Kota, dalam bentuk kawasan konservasi laut daerah (KKLD)
Tujuan ditetapkannya KKLD adalah untuk membangun keseragaman
persepsi dan tindakan para pengambil Keputusan, dalam menilai dan
menetapkan areal yang dicadangkan sebagai kawasan konservasi laut daerah
maupun lintas desa. Hal itu untuk mencapai tujuan yang lebih luas, yaitu agar
kawasan laut yang dilindungi aman dari kerusakan dan masyarakat masih dapat
memanfaatkan sumber daya laut di sekitarnya. Karena itu areal yang dipilih untuk
dijadikan lokasi KKLD adalah areal yang memiliki daya dukung potensi sektor
kelautan dan perikanan
Seperti halnya taman nasional di dalam KKLD juga dibuat zonasi.
Perbedaan utama antara KKLD dengan taman nasional adalah jika penentuan
taman nasional ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan, maka
KKLD ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

6. Daerah Perlindungan Laut (DPL)


Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau Marine Sanctuary adalah suatu
kawasan laut yang terdiri atas berbagai habitat, seperti terumbu karang, lamun,
dan hutan bakau, dan lainnya baik sebagian atau seluruhnya, yang dikelola dan
dilindungi secara hukum yang bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan,
dan produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya. Kawasan
ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan, kecuali
kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam).
Daerah Perlindungan Laut merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan
diatur sebagai daerah “larang ambil”, secara permanen tertutup bagi berbagai
aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif. Urgensi keberadaan Daerah
Perlindungan Laut (DPL) adalah untuk menjaga dan memperbaiki
keanekaragaman hayati pesisir dan laut, seperti keanekaragaman terumbu
karang, ikan, tumbuhan dan organisme laut lainnya, serta lebih lanjut dapat
meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan.
Dengan demikian DPL diyakini sebagai salah satu upaya yang efektif
dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir, yaitu dengan melindungi habitat
penting di wilayah pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang. Selain itu DPL
juga penting bagi masyarakat setempat sebagai salah satu cara meningkatkan
produksi perikanan (terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang),
memperoleh pendapatan tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari,
dan pemberdayaan pada masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan
sumber daya mereka.
Selain itu berbagai masalah lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir
seperti; pencemaran lingkungan, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan,
pengambilan terumbu karang, atau berbagai bentuk degradasi habitat pesisir
lainnya memerlukan tindakan-tindakan yang pemulihan dan pencegahan agar
tidak berdampak pada menurunnya produksi perikanan secara langsung atau
tidak langsung serta menjaga kelangsungan sumber daya perikanan secara
optimal dan berkelanjutan.
Sementara itu, program pengelolaan pesisir tingkat pusat maupun lokal
harus mencakup mekanisme yang menjamin adanya keikutsertaan masyarakat
secara tepat dan efektif dalam pengambilan keputusan pengelolaan pesisir,
sehingga kerjasama pengelolaan sumber daya pesisir dapat tercapai secara
efektif. Dengan demikian, sebagai suatu bagian dari langkah-langkah
pengelolaan dan perlindungan sumber daya laut, pengembangan dan
pengelolaan DPL sebaiknya disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal dan
ramah lingkungan dengan “konsep pemberdayaan masyarakat”. Keterlibatan
aktif masyarakat secara luas merupakan inti penting dalam sistem pengelolaan
dalam sumber daya laut. Untuk itu, masyarakat yang kehidupannya tergantung
dengan sumber daya ini perlu diberdayakan baik pada level perencanaan,
pelaksanaan maupun pengawasannya.
7. Hak Ulayat dan Pentuanan Laut
Menurut Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 menurut Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan Hak
Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat
hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup
para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,
yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut yang bersangkutan
Pasal 2 ayat (1) pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya
masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat. Pasal 2 ayat (2) Hak Ulayat masyarakat hukum
adat dianggap masih ada apabila :
a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari
b. Terdapat tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari.
c. Terdapat tatanan hukum adat menguasai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlalu dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.

Pengelolaan hak ulayat laut juga terapat di Maluku, dan dikenal dengan
nama petuanan laut. Petuanan laut merupakan wilayah laut yang
pengelolaannya dilakukan oleh desa. Olehkarena itu batas Petuanan laut sesuai
dengan batas desa yang ada di darat. Pengelolaan dengan cara mengharuskan
orang dari luar desa yang akan menangkap ikan dan sumber daya laut lainnya
(termasuk pasir laut) di wilayah Petuanan laut harus mengajukan izin lebih
dahulu kepada kepala desa Aturan ini bertujuan untuk melindungi sumber daya
dari penangkapan lebih dan dari kerusakan, sekaligus untuk mendapatkan uang
retribusi, sebab pemohon izin diwajibkan membayar retribusi kepada desa yang
jumlahnya disesuaikan dengan jenis alat tangkap yang digunakan. Keharusan
minta izin itu tidak diperlukan jika alat tangkap yang digunakan bersifat
tradisional, seperti pancing dan panah
2. Konservasi Habitat Penyu Hijau di Kepulauan Derawan
Sepanjang hidup penyu laut melakukan pergerakan dari satu tempat ke
tempat lain. Migrasi penyu laut merupakan fenomena alam untuk memenuhi
kebutuhan biologis, seperti: mencari pakan, beristirahat, menemukan pasangan,
kawin dan mendapatkan lokasi untuk bersarang. Pergerakan penyu secara
periodik ini mampu menempuh jarak ribuan kilometer melintasi samudera dan
melewati batas negara.
Penyu hijau adalah salah satu spesies penyu laut yang mampu
bermigrasi melintasi 80 negara (IUCN, 2002). Sepanjang jalur migrasi baik di
perairan tropis dan sub tropis penyu hijau mengalami eksploitasi kecuali di Zona
Atlantic Oceans. Hasil penelitian Seminoff et al. (2003) pada 32 lokasi peneluran
di seluruh dunia dilaporkan penurunan populai penyu hijau sebesar 48% hingga
67% selama tiga generasi. Dari hasil pendugaan populasi penyu hijau ini
kemudian mengelompokkan penyu hijau sebagai endangered species. Berbeda
halnya dengan wilayah Indonesia yang berada di Indian Ocean dan Southeast
Asia, penurunan populasi penyu hijau rata-rata 80%. Red Data Book-IUCN
menerangkan jika penurunan populasi suatu spesies mencapai 80% selama 10
tahun atau tiga generasi maka spesies diklasifikasikan pada status critically
endangered species.
Penyebab penurunan populasi secara drastis dibenarkan oleh Sarjana
Putra (1996), Troeng (1997) bahwa eksploitasi penyu hijau tertinggi di dunia
berada diwilayah Indonesia. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan
masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau.
Umumnya penangkapan induk terjadi di laut lepas dan pemanenan telur di
sekitar pantai peneluran. Jika penangkapan induk dan pemanenan telur penyu
secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus selama beberapa decade
berakibat pada kepunahan populasi
F. Studi Kasus

a. Konservasi Habitat Penyu Hijau

b. Konservasi Habitat untuk mempertahankan Keanekaragaman Ikan Di Rawa


Lebak Sungai Rungan, Palangkaraya Kalimantan Tengah.
DAFTAR ISI

Departemen Kelautan dan Perikanan. Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor


60 Tahun 2007. Direktorat Jendral Kelautan, Peisir dan Pulau-Pulau
Kecil Direktorat Konservasi Dan Taman Nasinal Laut.

Guntur & Murachman. 2000. Konsep Pengelolaan Kawasan konservasi Laut


Selat Madura dan Sekitarnya. Fakultas Perikanan. Universitas
Brawijaya. Malang.

Parinding. Z., 2015. Karakteristik Fisik Penelururan Chlonia mydas di Kaimana


Papua Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 20(1); 26-32.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007

Anda mungkin juga menyukai