Anda di halaman 1dari 27

INTERAKSI ANTARA JENIS ALAT PENANGKAPAN DENGAN STOK

IKAN

Diajukan untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Pengkajian Stok

Kelompok 2 :

Dhandy Alfhian 230110160213

Dimas Sulaeman 230110160039

Monica Naomi 230110160031

Monika Ridwan 230110160053

Muhammad Fikri Riansyah 230110160040

Nabilla Shabrina 230110160159

Sayyid Arrasyid 230110160110

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah yang telah dilimpahkan-Nya berupa kesehatan dan keselamatan, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, dengan judul “INTERAKSI
ANTARA JENIS ALAT PENANGKAPAN DENGAN STOK IKAN”, sesuai dengan
tugas yang telah diberikan sebagai syarat nilai mata kuliah Pengkajian Stok.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
memberikan dukungan dan bantuan yang sangat berarti kepada kami yaitu, dosen
pembimbing mata kuliah Pengkajian Stok, serta teman – teman kelompok 2 yang
telah bekerjasama dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini dan semoga penyusunan
makalah ini dapat memberikan manfaat serta berbagi ilmu untuk pembacanya.

Jatinangor, Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................... 3
1.3 Manfaat ................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Ikan ................................................................................... 4
2.2 Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil sebagai Penentu Ketersediaan Stok ....... 4
2.3 Interaksi Alat Tangkap dengan Ikan ....................................................... 5
2.3.1 Prinsip Interaksi Alat tangkap dengan Ikan ..................................... 5
2.3.2 Selektivitas Alat Tangkap dalam Manajemen Sumberdaya Ikan ...... 5
2.4 Upaya Penangkapan ............................................................................... 6
2.5 Produktivitas Penangkapan .................................................................... 6
BAB III ISI
3.1 Alat Penangkapan Ikan .......................................................................... 8
3.2 Interaksi Alat Tangkap dengan Stok Ikan ............................................... 9
3.3 Metode Analisis Interaksi Alat Tangkap dengan Stok Ikan..................... 9
3.3.1 Standarisasi CPUE Alat Penangkapan Ikan ..................................... 9
3.3.2 Model Produksi Surplus ................................................................ 10
3.3.3 Panjang Pertama Kali Tertangkap ................................................. 17
3.3.4 Model Perubahan Populasi ............................................................ 19
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan ............................................................................................. 22
4.2 Saran ................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu potensi laut Indonesia adalah potensi sumberdaya ikan, yang
meliputi : sumberdaya ikan pelagis besar, sumberdaya ikan pelagis kecil,
sumberdaya udang penaeid dan krustasea lainnya, sumberdaya ikan demersal,
sumberdaya moluska dan teripang, sumberdaya cumi- cumi, sumberdaya benih
alam komersial, sumberdaya karang, sumberdaya ikan konsumsi perairan karang,
sumberdaya ikan hias, sumberdaya penyu laut, sumberdaya mammalia laut, dan
sumberdaya rumput laut(Melmambessy, 2010). Sumberdaya ikan termasuk
sumberdaya yang dapat pulih kembali namun bukanlah tidak terbatas, oleh karena
itu perlu dijaga kelestariannya. Apabila sumberdaya ikan dimanfaatkan tanpa batas
atau tidak rasional serta melebihi batas maksimum daya dukung ekosistemnya,
maka dapat meng- akibatkan kerusakan dan berkurangnya sumberdaya ikan itu
sendiri, bahkan bila tidak segera diatasi juga dapat mengakibatkan kepunahan
sumberdaya ikan (Sajeri, Mustaruddin, & Nurani, 2018).
Usaha penangkapan harus dikelola agar sumberdaya perikanan akan tetap
lestari dan menguntungkan dari segi ekonomi. Salah satu cara utuk tetap menjaga
sumberdaya ikan tetap lestari adalah dengan menggunakan teknologi penangkapan
yang lebih efisien, yaitu peningkatan teknologi dengan cara mengganti alat
tangkapannya dengan lebih efisien, memperbesar ukuran kapal, menggunakan alat
bantu untuk mendeteksi tingkat kelimpahan ikan ataupun alat bantu mengumpulkan
gerombolan ikan. Peningkatan teknologi penangkapan akan berkaitan dengan
masalah kelimpahan/ kesediaan stok sumberdaya perikanan, untuk itu perlu dikaji
tentang jumlah kelimpahan/ kesediaan stok dan menentukan jumlah tangkapan
yang diperbolehkan (MSY) agar bisa memanfaatkan sumberdaya dengan optimal
namun tetap menjaga kelestarian stok di alam (Rahmawati, Fitri, & Wijayanto,
2013).
Alat tangkap purse seine merupakan jenis alat tangkap pukat tarik (seine
nets) yang dioperasikan dengan menggunakan perahu atau kapal. Pada alat ini

1
2

dipasang tali kerut (purse lines) sehingga dapat dilingkarkan (surrounding nets)
kemudian ditarik dan membentuk kantong (purse). Rata-rata hasil tangkapan setiap
bulan dianalisis untuk diketahui komposisi hasil tangkapan dari alat tangkap purse
seine. Pada bulan Januari 2016 hasil tangkapan purse seine didominasi oleh ikan
layang deles sebanyak 48% dari total hasil tangkapan. Ada 7 spesies yang menjadi
ragam hasil tangkapan yaitu layang deles (Decapterus macrosoma), layang
cempluk (Decapterus macarellus), layang benggol (Decapterus russelli), lemuru
(Sardinella lemuru), kembung (Rastrelliger kanagurta), bentong (Selar
crumenophtalmus), dan tongkol lisong (Auxis rochei) (Dewia & Husnia, 2018).
Alat tangkap lain yang biasa digunakan untuk penangkapan ikan di
Indonesia adalah jaring insang, payang, jaring rampus, dan pancing. Jaring insang
merupakan alat tangkap dominan yang digunakan untuk menangkap ikan tongkol.
Penangkapan ikan tongkol dilakukan setiap hari sepanjang tahun. Ikan tongkol
(Euthynnus affinis) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang memiliki nilai
ekonomis penting. Ikan ini menjadi salah satu ikan sasaran dalam kegiatan
perikanan tangkap. penangkapan ikan tongkol yang dilakukan terus-menerus dapat
mengaruhi keberadaan dan mengubah status stok sumberdaya ikan tongkol di
daerah perairan Indonesia (Kusumawardani, Fachrudin, & Boer, 2013).
Berdasarkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), sumberdaya
yang boleh ditangkap sebesar 80% dari potensi lestari. Stok Ikan Perairan Indonesia
menyebutkan bahwa Samudera Hindia memiliki potensi perikanan yang cukup
tinggi yaitu sebesar 6.409 juta ton per tahun dengan potensi yang dimanfaatakan
sebesar 5.127 juta ton per tahun. Samudera Hindia memiliki potensi sumberdaya
ikan pelagis besar sebesar 386,260 ton per tahun dengan produksi sebesar 188,280
ton per tahun dan tingkat pemanfaatan sebesar 48,74%. Potensi sumberdaya
perikanan tersebut tidak menyebar merata untuk setiap daerah Selatan Jawa.
Tingkat eksploitasi ini juga berbeda-beda sesuai dengan jumlah nelayan yang ada
serta peralatan yang dimiliki (Sibagariang & Agustriani, 2011).
Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan terus-menerus dapat mengaruhi
keberadaan dan mengubah status stok sumberdaya ikan di perairan Indonesia.
Pertimbangan ini menjadi dasar perlunya pengkajian stok terhadap ikan di perairan
3

Indonesia. Informasi mengenai status stok tersebut berguna untuk menunjang


pengelolaan sumber daya ikan demi mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan
yang lestari dan berkelanjutan (Kusumawardani et al., 2013).

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami dan
mengetahui interaksi antara jenis alat tangkap dengan stok ikan.

1.3 Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini yaitu memberikan informasi mengenai
interaksi antara jenis alat tangkap dengan stok ikan di perairan Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Ikan


Sumberdaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat pulih kembali namun
bukanlah tidak terbatas, oleh karena itu perlu dijaga kelestariannya. Apabila
sumberdaya ikan dimanfaatkan tanpa batas atau tidak rasional serta melebihi batas
maksimum daya dukung ekosistemnya, maka dapat mengakibatkan kerusakan dan
berkurangnya sumberdaya ikan itu sendiri, bahkan bila tidak segera diatasi juga
dapat mengakibatkan kepunahan sumberdaya ikan tersebut (Direktorat Kelautan
dan Perikanan 2014).
Sumberdaya ikan yang bersifat multispesies di perairan Indonesia dan ikan
bergantung pada lingkungannya menyebabkan adanya pola penyebaran ikan dan
berdampak terhadap pola penyebaran ikan dan mengakibatkan adanya perbedaan
daerah penangkapan ikan dan jumlah dan jenis ikan yang tertangkap. Karakteristik
multispesies pada sumberdaya ikan menyebabkan dalam kegiatan penangkapan
ikan menggunakan berbagai jenis alat tangkap untuk jenis ikan yang menjadi tujuan
penangkapan (Nelwan dkk. 2015).

2.2 Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil sebagai Penentu Ketersediaan Stok


Kemampuan produksi sumberdaya ikan pelagis kecil menentukan
ketersediaan stok untuk perikanan. Terdapat faktor internal dan eksternal yang
saling berinteraksi mempengaruhi daya dukung sumberdaya ikan. Faktor internal
adalah proses biologi dan ekologi, sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan
laut dan kegiatan penangkapan ikan. Faktor eksternal dapat diidentifikasi melalui
perubahan upaya penangkapan dan kondisi oseanografi terhadap produksi ikan.
Sumberdaya ikan pelagis kecil memiliki peranan dalam pengembangan ekonomi
wilayah, khususnya wilayah yang memiliki potensi sumberdaya ikan pelagis kecil.
Peranan utama sumberdaya ikan pelagis kecil adalah pemenuhan gizi dan protein
masyarakat di suatu wilayah. Selain itu secara ekonomi dapat meningkatkan

4
5

pendapatan dan masyarakat, khususnya nelayan yang berada di wilayah pesisir,


demikian juga dapat mendukung kegiatan pengolahan ikan (Nelwan dkk. 2015).

2.3 Interaksi Alat Tangkap dengan Ikan


Interaksi alat tangkap dengan ikan yang menjadi tujuan penangkapan
merupakan proses produksi ikan yang ditentukan oleh upaya penangkapan dan
faktor lingkungan. Upaya penangkapan merupakan tindakan efi siensi teknis yang
dilakukan pelaku kegiatan penangkapan ikan, dimana upaya penangkapan adalah
ukuran dari jumlah alat tangkap yang beroperasi untuk mendapatkan sejumlah hasil
tangkapan atau lama alat tangkap beroperasi oleh berbagai unit penangkapan ikan.
Faktor lingkungan adalah kondisi oseanografi yang berpengaruh terhadap aktivitas
ikan sehubungan dengan fungsi ekologi dan fisiologi (Nelwan dkk. 2015).
2.3.1 Prinsip Interaksi Alat tangkap dengan Ikan
Prinsip interaksi alat tangkap dengan ikan yang menjadi tujuan
penangkapan merupakan proses produksi ikan yang ditentukan oleh upaya
penangkapan dan faktor lingkungan. Upaya penangkapan merupakan tindakan
efisiensi teknis yang dilakukan pelaku kegiatan penangkapan ikan, dimana upaya
penangkapan adalah ukuran dari jumlah alat tangkap yang beroperasi untuk
mendapatkan sejumlah hasil tangkapan atau lama alat tangkap beroperasi oleh
berbagai unit penangkapan ikan (Nelwan dkk. 2015).
2.3.2 Selektivitas Alat Tangkap dalam Manajemen Sumberdaya Ikan
Menurut Panayotou dalam Nikijuluw (2002) pendekatan pengelolaan
sumberdaya perikanan seperti penetapan alat tangkap yang selektif, penetapan
musim, atau penutupan daerah penangkapan sementara atau permanen bertujuan
untuk membatasi ukuran dan umur ikan ketika ditangkap.
Kebijakan atau pendekatan selektivitas alat tangkap dalam manajemen
sumberdaya perikanan adalah metode penangkapan ikan yang bertujuan untuk
mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan.
Contohnya adalah pembatasan minimum terhadap ukuran mata jaring, sehingga
ikan yang tertankap hanya ikan yang berukuran besar sementara ikan yang kecil
akan lolos dan berkesempatan untuk menjadi besar. Pembatasan ukuran minimum
6

mata pancing, ikan yang akan tertangkap besarnya ukuran mulutnya dari mata
pancing sehingga ikan dengan mulut lebih kecil akan lolos dari penangkapan.
Pembatasan ukuran mulut perangkap pada kondisi terbuka, ikan yang akan
tertangkap hanya yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari ukuran mulut perangkap
(Sutanto 2005).
Kebijakan pelarangan alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara
permanen atau sementara waktu, tujuannya adalah untuk melindungi sumberdaya
ikan dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang memang
dilarang (Nikijuluw 2002). Pengawasan terhadap pemakaian alat tangkap illegal
(dilarang) harus lebih dintensifkan untuk melindungi nelayan kecil karena
pemakian alat-alat illegal (dilarang) dapat merusak/menganggu habibat ikan
(Susilowati 2002).

2.4 Upaya Penangkapan


Upaya penangkapan dalam perspektif ekologi adalah proses pemangsaan
dimana hewan akan memaksimalkan kapasitas untuk tumbuh, mempertahankan
diri, dan reproduksi, sehingga dengan makanan akan diperoleh energi untuk proses
tersebut, termasuk energi yang dibutuhkan mencari dan seleksi makanan (Gillis
2003). Perspektif ekologi ini menunjukkan bahwa armada penangkapan ikan akan
terdistribusi pada berbagai lokasi penangkapan mengikuti ketersediaan stok ikan
untuk perikanan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang diharapkan.
Dengan demikian tindakan efisiensi teknis juga bertujuan untuk memperbesar
peluang terjadinya interaksi dengan stok ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
2.5 Produktivitas Penangkapan
Produktivitas penangkapan adalah ukuran kemampuan produksi dari suatu
jenis alat tangkap. Produktivitas penangkapan dinyatakan dalam perbandingan
antara produksi dengan upaya penangkapan. Upaya penangkapan berdasarkan lama
waktu pengoperasian alat tangkap menunjukkan adanya kecenderungan
produktivitas penangkapan yang semakin menurun. Respon ikan terhadap cahaya
memiliki keterbatasan sehingga, daya pikat lampu untuk mengkonsentrasikan ikan
juga menurun atau efektivitas kekuatan lampu semakin berkurang seiring
7

bertambahnya durasi waktu pengoperasian, baik purse seine maupun bagan rambo
(Sudirman dan Nessa 2011)
Produktivitas dan ketersediaan ikan untuk perikanan bervariasi dari tahun
ke tahun dengan perubahan kondisi lingkungan laut dan kondisi ini tidak dapat
dihindarkan sehingga menjadikan perikanan tangkap sebagai suatu yang sulit
diprediksi atau bersifat ketidakpastian. Upaya penangkapan yang tidak terkontrol
karena meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, maka perikanan tangkap
akan mengalami penurunan produktivitas (Smith dan Link 2005).
BAB III
ISI

3.1 Alat Penangkapan Ikan


Subani (1978) mendefinisikan alat penangkapan ikan adalah alat yang di
gunakan untuk melakukan penangkapan ikan dan udang. Alat penangkapan yag
digunakan untuk mengejar gerombolan ikan di perairan, baik di perairan laut
maupun di perairan tawar. Alat penangkapan ikan memiliki dua golongan
karakteristik yaitu tidak ramah lingkungan dan ramah lingkungan. Alat
penangkapan ikan tidak ramah lingkungan adalah alat tangkap yang memiliki
selektifitas rendah. Alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan merupakan
suatu alat penangkapan ikan yang tidak memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan, yaitu sejauh mana alat tersebut tidak merusak dasar perairan,
kemungkinan hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya terhadap polusi. Faktor
lain adalah dampak terhadap biodiversity dan target resources yaitu komposisi hasil
tangkapan, adanya by catch serta tertangkapnya ikan-ikan muda (Arimoto, et al.,
1999).
FAO (1995) serta beberapa pakar perikanan, seperti; Monitja (1994) dan
Arimoto, et al., (1999), menyatakan bahwa karakteristik pemanfaatan sumberdaya
hayati laut yang ramah lingkungan, meliputi:
1. Memiliki selektifitas yang tinggi
2. Tidak merusak habitat atau ekosistem sekitarnya
3. Tidak membahayakan keanekaragaman hayati dan tidak menangkap spesies yang
dilindungi.
4. Tidak membahayakan kelestarian target tangkapan
5. Tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan.
Martasuganda (2005) merincikan beberapa hal penting yang harus
diperhatikan, agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang
ramah lingkungan, antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan seleksi terhadap ikan yang akan dijadikan target penangkapan atau
layak tangkap baik dari segi jenis dan ukurannya dengan membuat desain dan

8
9

kontruksi alat tangkap yang sesuai dengan jenis dan ukuran dari habitat perairan
yang akan dijadikan target tangkapan. Dengan demikian diharapkan bias
memininumkan hasil tangkapan sampingan yang tidak diharapkan dari spesies
perairan yang dilindungi.
2. Tidak memakai ukuran mati jaring yang dilarang (berdasarkan SK. Menteri
Pertanian No.607/KPB/UM/1976 butir 3) yang menyatakan bahwa mata jarring
dibawah 25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk dioperasikan dimana-mana
perairan.
3. Tidak melakukan kegiatan usaha penangkapan di daerah penagkapan ikan yang
sudah dinyatakan over fishing, di daerah konservasi yang dilarang, di daerah
penangkapan yang dinyatakan tercemar baik dengan logam maupun bahan kimia
lainnya.
4. Tidak melakukan pencemaran yang akan mengakibatkan berubahnya tatanan
lingkungan sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukannya. Sebagai contoh tidak membuang jaring bekas atau
potonganpotongan jaring serta benda-benda lain yang berupa bahan bakar bekas
pakai seperti pelumas mesin, bensin, dan bahan kimia lainnya.

3.2 Interaksi Alat Tangkap dengan Stok Ikan


Adapun interaksi alat tangkap dengan ikan yaitu proses produksi ikan yang
salah satunya ditentukan oleh upaya penangkapan. Upaya penangkapan merupakan
tindakan efisiensi teknis yang dilakukan pelaku kegiatan penangkapan ikan, dimana
upaya penangkapan adalah ukuran dari jumlah alat tangkap yang beroperasi untuk
mendapatkan sejumlah hasil tangkapan atau lama alat tangkap beroperasi oleh
berbagai unit penangkapan ikan (Nelwan dkk. 2015).

3.3 Metode Analisis Interaksi Alat Tangkap dengan Stok Ikan


3.3.1 Standarisasi CPUE Alat Penangkapan Ikan
Analisis CPUE ditujukan untuk mengestimasi upaya alat tangkap di setiap
titik pengamatan. Unit effort sejumlah armada penangkapan ikan dengan alat
10

tangkap dan waktu tertentu dikonversi ke dalam satuan “boat-days” (trip).


Pertimbangan trip yang digunakan adalah: (1) respon stok terhadap alat tangkap
standard akan menentukan status sumber daya yang selanjutnya berdampak pada
status perikanan alat tangkap lain; (2) total hasil tangkapan ikan per unit effort alat
tangkap standard lebih dominan dibandingkan dengan alat tangkap lain; dan (3)
daerah penangkapan alat tangkap standard berhubungan dengan daerah
penangkapan alat tangkap lainnya. Pertimbangan beragamnya alat tangkap yang
digunakan di lokasi penelitian, maka dilakukan standardisasi upaya tangkap antar
alat. Standardisasi ini ditujukan untuk melakukan pengukuran upaya tangkap
masing-masing alat dengan satuan pengukuran yang setara. Teknik standardisasi
yang digunakan mengikuti persamaan yang dikembangkan oleh King (1995) diacu
dalam Anna (2003):

3.3.2 Model Produksi Surplus


Model produksi surplus merupakan metode yang mempermudah
pendugaaan stok ikan. Berikut diuraikan secara lebih rinci penggunaan model-
model tersebut (Sparre dan Venema, 1999):
1. Model Gulland
Model Gulland digunakan untuk meneliti hubungan antara kondisi-kondisi
stok pada saat ini dna peristiwa-peristiwa masa lalu. Metode ini mengasumsikan
bahwa terdapat suatu hubungan antara kelimpahan stok dan upaya masa lalu. Bila
rekruitmen tetap stabil dengan berkembangnya penangkapan besar-besaran, ukuran
rata-rata individu yang ditangkap akan menurun. Sebaliknya bila ukuran rata-rata
ikan ditangkap tetap tidak berubah sedangkan kelimpahan atau CPUEt menurun,
terdapat beberapa indikasi bahwa rekruitmen berpengaruuh.
11

Gulland (1977) menulis sebagai berikut : It therefore seems approriate in a


volume reviewing the state of the art of population dynamics to conclude by looking
at the interactions between what we know-and don’t kknow- abaout the dynamics
of fish stock, and ways in which these stock are being managed. This examination
start by considering the classes problems faced by managers, then examines the
extend to which current knowledge of population dynamics allows scientists to give
the answers to the biological questions raised by those problem, and concludes by
Populasi tidak di eksploitas Populasi yang di eksploitasi Populasi tidak
dieksploitas & migrasi Populasi dieksploitasi & migrasi looking to t mighthe future
and connsidering ways in which fisheries by better managed, either by improved
biological knowledge of the resources, or by management techniques that take
better account of the strength and weaknesses of biological knowledge.

Gambar 1. Pemanfaatan hasil akhir evaluasi populasi berbasis panjang dalam


pengelolaan perikanan (Gulland 1977).
12

Data runtun waktu dari hasil tangkapan dan upaya tidak tersedia, akan tetapi
dugaan dari biomassa secara keseluruhan dan mortalitas alami telah diperoleh.
Beberapa rumus empiris telah dikembangkan dengan tujuan untuk menyediakan
suatu dugaan awal yang kasar dari MSY berdasarkan data yang kurang lengkap.
Rumus ini telah digunakan secara luas setelah dugaan awal biomassa saat
itu (standing biomass) diperoleh melalui satu atau beberapa kali survei eksplorasi
dengan menggunakan trawl dasar dan/atau survei akustik. Rumus pertama telah
dikembangkan oleh Gulland (1971), perubahan telah diusulkan oleh Cadima (dalam
Troadec 1977) dan akhirnya satu rangkaian dari rumus yang didasari oleh Model
Produksi Surplus dari Schaefer dan Fox telah dikembangkan oleh Garcia, Aparre &
Csirke (1989).
Gulland (1971) mengusulkan cara-cara berikut untuk menduga hasil
tangkapan maksimum lestari:
MSY = 0.5*M*Bv
Keterangan :
Bv ═ Biomassa stok perawan
M ═ Mortalitas alami.
Rumus ini digunakan bila penelitian jarang dilaksanakan dan pada stok yang
tingkat eksploitasinya masih rendah. Bv sering diduga dengan metode luas sapuan
(swept area method), dan M sering merupakan nilai dugaan untuk species yang
sama pada suatu wilayah perairan yang diduga kuat berdasarkan hasil penelitian
mempunyai kesamaan dengan yang lainnya. Mengingat rumus Gulland diperlukan
untuk menduga “biomassa stok perawan,” Bv, maka dalam pemakaiannya hanya
dapat diterapkan untuk stok yang belum dieksploitasi. Tidak ada pembenaran
ilmiah untuk persamaan MSY = 0.5*M*Bv. Akan tetapi, pernyataan berikut yang
telah dikemukakan oleh Tiurin (1962) serta Alverson & Pereyra (1969) membuat
rumus tersebut masuk akal:
a. MSY harus tergantung kepada “biomassa stok perawan,” Bv.
b. Nilai M yang tinggi berkaitan dengan suatu produksi yang tinggi (lebih jauh
akan didiskusikan kemudian).
13

c. Bila biomassa = 0.5*Bv dan F = M di bawah tingkat pengusahaan yang


optimum, persamaan terpenuhi.
2. Rumus Cadima
Versi estimasi dari Gulland yang digeneralisasi telah diusulkan oleh Cadima
(dalam Troadec 1977) untuk stok ikan yang telah dieksploitasi, dimana data tentang
pengkajian stok tersedia terbatas. Estimasi yang diusulkan oleh Cadima mempunyai
bentuk:
MSY = 0.5*Z*B
Keterangan :
B ═ Rata-rata (tahunan) biomassa
Z ═ Mortalitas total
Seperti kita ketahui bahwa Z = F + M dan Y =F*B. Cadima menyarankan
bahwa dengan tidak adanya data Z, persamaan dapat ditulis kembali menjadi:
MSY = 0.5*(Y + M*B)
Keterangan :
Y ═ Hasil tangkapan total selama satu tahun
B ═ Rata-rata biomassa pada tahun yang sama
Pada umumnya stok yang ada di dunia saat ini telah dieksploitasi, sehingga
persamaan ini sering digunakan pada suatu perairan dimana perikanannya sedang
dan sudah berkembang, dan dimana data berdasarkan runtun waktu dari hasil
tangkapan dan upaya belum tersedia, akan tetapi dugaan biomassa telah diketahui,
misalnya, melalui survai akustik maupun survai trawl.
3. Plot Munro dan Thompson
Model Produksi Surplus biasanya diterapkan terhadap runtun waktu dari
hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dan upaya. Akan tetapi Munro & Thompson
(1983 dan 1983a) menerapkan Model Produksi Surplus terhadap suatu paket data
dari perikanan karang di Jamaika yang semuanya dikumpulkan dalam satu tahun
yang sama, tetapi mewakili beberapa daerah penangkapan yang tidak sama dan
diupayakan dalam tingkat upaya yang berbeda. Gambar 2 memperlihatkan peta
secara skematis dari Jamaika yang dibagi menjadi 9 wilayah, dengan kekecualian
untuk wilayah B yang bertepatan dengan wilayah Jamaika. Perikanan yang diteliti
14

oleh Munro & Thompson (1983) adalah perikanan bubu lokal yang dioperasikan
denga jukung. Ikan-ikan perairan karang dianggap tidak terlalu banyak bergerak
dan juga diasumsikan bahwa setiap area (Gambar 2) mempunyai stok masing-
masing yang tidak saling berhubungan (sedikit percampuran). Sebagai asumsi dasar
bahwa “rejim ekologi” pada wilayah perairan di beberapa daerah tidak berbeda
secara substansial di sekeliling pulau. Berdasarkan asumsi tersebut, maka masuk
akal untuk menganggap lebih jauh bahwa hasil tangkapan dan upaya penangkapan
pada daerah yang berbeda akan mengikuti model yang sama. Tabel 1 menunjukkan
data hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dan upaya yang dikumpulkan dari
berbagai wilayah perairan (Gambar 2) untuk perikanan paparan Jamaika pada
species yang menetap pada tahun 1968.
Upaya dinyatakan dalam unit jukung per km2 per tahun untuk mendukung
asumsi bahwa setiap wilayah perairan mempunyai potensial relatif yang sama,
yakni dapat mendukung produksi yang sama per unit area. Sehingga, bila
dieksploitasi pada tingkatan yang sama (upaya penangkapan yang sama per unit
area per tahun), setiap wilayah perairan akan mempunyai hasil tangkapan per unit
area per tahun (kg/km2/tahun) yang sama (c.f. kolom D pada Tabel 1).
Hasil tangkapan per unit area didasarkan pada daerah paparan dan batas dari
setiap wilayah. Hubungan antara hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dan upaya
di sini diasumsikan mengikuti Model Fox. Gambar 3 memperlihatkan plot ln
(CPUE) terhadap upaya seperti juga terhadap hasil tangkapan per jumlah jukung
per km2. Munro dan Thompson mempunyai alasan untuk mengeluarkan wilayah
perairan F dari analisis regresi.
15

Tabel 1. Data masukan untuk plot Munro dan Thompson (Munro dan Thompson,
1983a)

Gambar 2. Peta skematik Jamaika memperlihatkan wilayah yang digunakan


untuk plot Munro & Thompson

Gambar 3. Plot Munro dan Thompson berdasarkan data a Tabel 1


(Munro & Thompson 1983)

Bila plot dari Munro & Thompson diterapkan, maka yang perlu diperhatikan
adalah bahwa ikan-ikan yang dapat bebas bergerak antara wilayah seperti ikan-ikan
pelagis besar harus dikeluarkan dari perhitungan. Plot dari Munro & Thompson
mungkin berguna dalam situasi di mana hanya tersedia data yang terbatas dari
bagian wilayah tertentu yang mempunyai perikanan yang serupa pada stok ikan
karang atau sumber daya lain dengan kemiripan derajat pergerakan yang rendah.
16

4. Model Deriso/Schnute
Sekumpulan model yang mencoba untuk dapat mengkompromikan antara
Model Produksi Surplus dan model struktur umur telah disampaikan oleh Deriso
(1980), Ludwig & Walters (1985), Ludwig (1987) dan Schnute (1985, 1987). Akan
tetapi di perairan tropis model-model tersebut mempunyai keterbatasan dalam
penerapannya. Karena model-model di atas dikembangkan untuk species yang
berumur panjang (pertumbuhannya lambat), yang tidak dieksploitasi dalam kurun
umur pertama dalam siklus hidupnya. Mereka didasari oleh sederet asumsi yang
agak ketat sehingga membuat model-model ini tidak dapat diterapkan pada species
tertentu.
Schnute (1985) menyatakan tentang model-model tersebut: ”Di antaranya,
mereka merefleksikan kenyataan yang tidak dapat ditolak bahwa populasi terdiri
atas kelas umur yang akan menjadi lebih tua setiap tahunnya.” Hal ini jelas terlihat
bahwa model-model tersebut tidak dimaksudkan untuk stok dimana “kenyataan”
ini dapat ditolak, misalnya udang. Kenyataannya, metode ini tidak memberikan
hasil yang benar untuk species yang dikemukakan di atas (misalnya biomasa
negatif). Dasar teori biologi untuk model-model ini tidak jauh berbeda dengan
model-model yang telah diperkenalkan lebih dulu (anggapan dasarnya adalah
serupa dengan anggapan dasar analisis kohort dari Pope). Tetapi teori matematik
yang diterapkan untuk prosedur estimasi adalah lebih rumit daripada kebanyakan
model-model yang dikemukakan pada buku ini. Perbedaan utama dari model
struktur umur yang dijelaskan pada buku ini adalah persamaan Ford-Walford yang
menggantikan model pertumbuhan dari von Bertalanffy dalam bobot:
W(t) = W∞*[1 – exp(-K*(t-to))]3
. Model-model tersebut adalah sangat rumit dan benar-benar tidak sederhana
dalam penggunaannya. Bila diuraikan di dalam bahasa yang tidak matematis, model
ini akan memerlukan bab yang sangat panjang. Untuk pembaca yang tertarik pada
model-model ini disarankan untuk melihat makalah yang dtulis oleh Deriso,
Schnute dan lainnya, seperti yang tertulis di atas.
17

3.3.3 Panjang Pertama Kali Tertangkap


Panjang pertama kali tertangkap (Lc) ialah panjang ikan yang ke 50% dari
ikan tertangkap di suatu perairan. Nilai Lc 50% diperoleh dengan memplotkan
presentasi komulatif ikan yang tertangkap dengan panjang totalnya. Titik potong
antara kurva dengan 50% frekuensi kumulatifnya itu yang disebut panjang saat 50%
ikan pertama kali tertangkap (Soekiswo et al. 2014). Pendugaan Lc dilakukan untuk
pengelolaan sumber daya ikan berdasarkan informasi ukuran ikan yang tertangkap
dengan alat tangkap tertentu (Sumiono dan Nuraini 2007).
Idealnya panjang pertama kali tertangkap lebih besar dari panjang ikan
pertama kali matang gonad (Lc > Lm), karena diharapkan ikan yang tertangkap
sudah pernah memijah satu kali sehingga kelestarian ikan tetap terjaga. Nilai Lc <
Lm menunjukan ikan yang tertangkap di suatu perairan belum diberi kesempatan
memijah/belum dewasa sudah tertangkap, dengan kata lain dapat diasumsikan
bahwa saat panjang ikan 50% sudah tertangkap, dalam panjang tersebut ikan yang
telah matang gonad belum mencapai 50%. Fenomena tersebut sangat berpeluang
menyebabkan terjadinya recruitment overfishing dan growth overfishing sumber
daya ikan dalam suatu perairan (Sarasati 2017).
Banyaknya ikan yang tertangkap berada dibawah ukuran pertama kali matang
gonad (Lc < Lm), mengindikasi adanya growth overfishing, yaitu sedikitnya jumlah
ikan tua karena ikan muda tidak sempat tumbuh akibat tertangkap (Sparre dan
Venema 1998). Menurut Wujdi et al. (2013), kondisi tersebut tidak baik untuk
keadaan stok ikan karena ikan tertangkap sebelum matang gonad, yang mana ikan
tidak dibiarkan melakukan reproduksi untuk menghasilkan individu baru
(rekrutmen). Metode yang digunakan untuk pendugaan ukuran pertama kali
tertangkap dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara distribusi panjang
dengan jumlah ikan sehingga akan terbentuk kurva sigmoid.

1. Perhitungan Panjang Pertama Kali Tangkap Alat Tangkap Trawl


Nilai panjang pertama kali ditangkap adalah panjang pada 50% pertama kali
tertangkap dan diduga menggunakan metode Beverton dan Holt (1957) dalam
Sparre dan Venema (1998).
18

1
SL =
1 + exp(S1 − S2 L)
S1 dan S2 merupakan konstanta, nilai S1 dan S2 dihitung melalui dugaan regresi
linier.
1
ln [ − 1] = S1 − S2 L
SL
Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) dihitung melalui :
S1
Lc = −
S2
Keterangan :
SL : nilai estimasi
L : nilai tengah panjang kelas (mm)
S1 : konstanta, intercept
S2 : konstanta, slope
Lc : panjang ikan pertama kali tertangkap (mm)

2. Perhitungan Panjang Pertama Kali Tangkap Alat Tangkap Gillnet


Rumus selektivitas gillnet (Sparre dan Venema 1999)
𝑪𝒃𝑳
𝒍𝒏 ( )=𝒂+𝒃∗𝑳
𝑪𝒂𝑳
Keterangan:
CaL = Hasil tangkapan mata jaring a
CbL = Hasil tangkapan mata jaring b
a = Intercept
b = Slope
L = Panjang ikan yang tertangkap
−𝟐 ∗ 𝒂
𝑺𝑭 =
𝒃 ∗ (𝒎𝒂 + 𝒎𝒃)
Keterangan:
SF = Selection Factor
ma = Mata jaring a
mb = Mata jaring b
19

𝑳𝒎𝒂 = 𝑺𝑭 ∗ 𝒎𝒂 𝑳𝒎𝒃 = 𝑺𝑭 ∗ 𝒎𝒃
Keterangan:
Lma = Panjang ikan efektif yang tertangkap oleh ukuran mata jaring a
Lmb = Panjang ikan efektif yang tertangkap oleh ukuran mata jaring b
𝒎𝒃 − 𝒎𝒂
𝑺𝟐 = 𝑺𝑭
𝒃
Keterangan:
s2 = varian
𝑳 − 𝑳𝒎𝟐
𝑺(𝑳)𝒎 = 𝐞𝐱𝐩⁡(− )
𝟐𝑺𝟐
Keterangan:
S(L)m = Peluang ikan dengan panjang L yang tertangkap pada gillnet
dengan ukuran mata jaring
Lm = Panjang ikan efektif yang tertangkap oleh ukuran mata jaring m
L = Panjang ikan tertangkap oleh gillnet ukuran mata jaring m
Setelah mengetahui selektivitas alat tangkap, selanjutnya dibuat kurva
selektivitas antara jumlah hasil tangkapan mesh size a dan b dengan nilai
selektivitas mesh size a (SaL) dan nilai selektivitas mesh size b (SbL). Analisis
selektivitas dan kurva selektivitas ditentukan berdasarkan studi pustaka.

3.3.4 Model Perubahan Populasi


Aplikasi model dan pemodelan: modifikasi model klasik Yield per Recruit
(Beverton & Holt, 1957) diterapkan untuk menggambarkan optimasi dan
sebagainya. Estimasi parameter dilaksanakan sebagai bahan masukan bagi langkah
tersebut. Model yield per recruit pertama diperkenalkan oleh Beverton &Holt
(1957), dan telah digunakan secara luas untuk analisis data komposisi ukuran
panjang. Dalam model ini rentang umur ikan dibagi dalam dua bagian, pertama
adalah umur pre-recruitdan kedua adalah mulai dari umur recruit. Pada dasarnya
analisis ini memodelkan perubahan populasi dari umur rekruit sampai umur
maksimum yang dapat dicapai. Teori dan penurunan matematik telah disajikan
secara lengkap dalam Beverton&Holt (1957). Untuk memudahkan komputasi re-
20

parameterisasi telah disusun dengan asumsi bahwa pertumbuhan bersifat allometrik


(berat adalah fungsi pangkat 3 dari panjang). Hasil tangkapan atau yield dapat
dinyatakan sebagai persamaan berikut :

Dimana, Y = yield; R1 = R0.e - M(tc-tr) ; R0= jumlah rekrut ; M = mortalitas


alami; F = mortalitas penangkapan; K=konstantapertumbuhan; t0=umur teoritis
pada panjang sama dengan nol (assumed, t0Ω0); WΩ= berat maksimum; tc= umur
pada saat masuk perikanan; t = umur maksimum; tr = umur rekruitmen; π0=1,
π1=3, π 2=3, π 3=1
Persamaan tersebut berlaku untuk satu perikanan sedangkan untuk dua
perikanan yang mengeksploitasi stok yang sama, modifikasi dapat dilaksanakan
dengan tetap menerapkan prinsip persamaan dasar sebagaimana telah dilaksanakan
oleh Marcille (1978). Untuk perikanan yang beroperasi di daerah penangkapan dan
metode yang berbeda memberi kemungkinan perbedaan ukuran/umur ikan yang
dapat memerlukan perubahan dalam penggunaan model.
Untuk ukuran rata-rata yang saling tumpeng tindih (overlapping) yield dapat
dinyatakan sebagai berikut:
Y=Y1.0+Y1.1+Y2.0+Y2.1 …………....………(2)
Dimana subscribs 1.0,1.1 dan 2.0, 2.1 menunjukkan yield parsial untuk
kisaran umur yang dieksploitasi oleh dua perikanan berbeda (i.e.dalam hal ini
indeks kematian dinyatakan sebagai F1 and F2).
21

Dimana: R1 =R0 e-M(tc1-tr) adalah jumlah rekruit, R2 = R1 e - (M+F1) (tΩ1-tc1),


R3 = R2 e – M (tc2-tΩ1).
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan
Interaksi alat tangkap dengan ikan yaitu proses produksi ikan yang salah
satunya ditentukan oleh upaya penangkapan. Upaya penangkapan merupakan
tindakan efisiensi teknis yang dilakukan pelaku kegiatan penangkapan ikan, dimana
upaya penangkapan adalah ukuran dari jumlah alat tangkap yang beroperasi untuk
mendapatkan sejumlah hasil tangkapan atau lama alat tangkap beroperasi oleh
berbagai unit penangkapan ikan.
Metode analisis interaksi alat tangkap dengan stok ikan dapat dilakukan
dengan berbagai model diantaranya:
1. Standarisasi CPUE alat penangkapan ikan
2. Model produksi surplus yang terdiri dari Model Gulland, Rumus Cadima,
Plot Munro dan Thompson dan Model Deriso/Schnute
3. Panjang pertama kali tertangkap
4. Model perubahan populasi
Memahami interaksi alat tangkap dan stok ikan dapat mempengaruhi
keberadaan dan status stok sumberdaya ikan di perairan Indonesia. Informasi
mengenai interaksi alat tangkap dan stok ikan berguna untuk menunjang
pengelolaan sumber daya ikan demi mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan
yang lestari dan berkelanjutan.

4.2 Saran
Interaksi berbagai alat tangkap dengan stok ikan perlu diterapkan dengan
baik. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar dari kebijakan mengenai penggunaan
alat tangkap dalam manajemen sumberdaya perikanan yang bertujuan untuk
melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau
destruktif yang memang dilarang penggunaannya dan mengganggu kelestarian
sumberdaya perairan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Dewia, D. A. N. N., & Husnia, I. A. (2018). Komposisi Hasil Tangkapan dan Laju
Tangkap (CPUE) Usaha Penangkapan Purse Seine di Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Pekalongan, Jawa Tengah. Journal of Fisheries and Marine
Science, 2(2).
Direktorat Kelautan dan Perikanan. 2014. Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan
Berkelanjutan. Kementerian PPN/BAPPENAS. Jakarta. 120 hlm.
Gillis, D. M. 2003. Ideal Free Distribution in Fleet Dynamics: a Behavioral
Perspective on Vessel Movement in Fisheries Analysis. Can.J.Zool. LXXXI:
177-187.
INTERAKSI ANTAR TRAWL DAN RAWAI DASAR PADA PERIKANAN
KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) DI LAUT TIMOR DAN
ARAFURA Bambang Sadhotomo dan Suprapto Peneliti pada Balai
Penelitian Perikanan Laut i 2013; J. Lit. Perikanan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni
2013 89-95 hal
Kusumawardani, N. M., Fachrudin, A., & Boer, M. (2013). Kajian stok sumber
daya ikan tongkol , Euthynnus affinis di perairan Selat Sunda yang didaratkan
di Pelabuhan Perikanan Pantai Labuan ,. 163–176.
Melmambessy, E. H. P. (2010). Pendugaan stok ikan tomgkol di Selat Makassar
Sulawesi Selatan. Agrikan: Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan, 3(1), 53–
61. https://doi.org/10.29239/j.agrikan.3.1.53-61
Nelwan, A.F.P., Sudiman, Muh. Nursam dan Muhammad A. Yunus. 2015.
Produktivitas Penangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Kabupaten Sinjai
pada Musim Peralihan Barat-Timur. Jurnal Perikanan, 17 (1): 18-26.
Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta:
Pustaka Cidesindo.
Rahmawati, M., Fitri, A. D. P., & Wijayanto, D. (2013). Analisis hasil tangkapan
per upaya penangkapan dan pola musim penangkapan ikan teri (Stolephorus
spp.) di Perairan Pemalang. Journal of Fisheries Resources Utilization
Management and Technology, 2(3), 213–222.

23
24

Sajeri, H., Mustaruddin, ., & Nurani, T. W. (2018). Hubungan Kondisi Sumberdaya


Ikan Dengan Pelarangan Penggunaan Alat Tangkap Pukat Tarik Di
Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, 10(1), 59–68. https://doi.org/10.29244/jitkt.v10i1.18777
Sibagariang, O. P., & Agustriani, F. (2011). Analisis Potensi Lestari Sumberdaya
Perikanan Tuna. 03, 24–29.
Smith T. D. dan Link J. S. 2005. Autopsy Your Dead and Living: a Proposal for
Fisheries Science, Fisheries Management and Fisheries. Journal Fish and
Fisheries, VI: 73-87.
Sudirman dan Nessa N. 2011. Perikanan Bagan dan Aspek Pengelolaannya. UMM
Press. Malang.
Sutanto, A. H. 2005. Analisis Efisiensi Alat Tangkap Perikanan Gillnet dan
Cantrang. Tesis. Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan,
Universitas Diponegoro. Semarang.

Anda mungkin juga menyukai