1. Ukuran Kertas
Naskah karangan ilmiah ditik pada kertas HVS putih
berukuran 21,50 x 28 cm atau kuarto atau A4 dengan berat 70
gram atau 80 gram per lembarnya.
2. Ukuran Huruf
Ukuran huruf yang digunakan adalah font times new roman 12
point.
3. Spasi
Spasi yang digunakan pada umumnya adalah spasi ganda
(double).
4. Pias
Pias (margin) adalah tepi kertas yang tidak ditulisi.
Dalam karangan ilmiah, pias sebelah kiri adalah 4 cm, bagian
atas adalah 4 cm, sebelah kanan adalah 2,5 cm, dan bagian
bawah adalah 3 cm. Batas-batas tersebut harus lurus, kecuali
baris pertama dari paragraf baru. Baris pertama paragraf
baru ditulis menjorok ke dalam dari 5 sampai dengan 7 ketuk.
5. Penomoran
Penomoran meliputi (i) penomoran halaman, (ii) penomoran bab
dan subbab, dan (iii) penomoran tabel, grafik, bagan, dan gambar.
Semua halaman karangan ilmiah diberi nomor urut pada kanan atas,
kecuali halaman yang ada judul bab nomornya ditaruh pada tengah
bawah atau kanan bawah. Penomoran bab dan anak bab dapat
dilakukan dengan memilih salah satu dari dua pilihan berikut secara
konsisten.
Pilihan I Pilihan II
I. I.
A. 1.1
1. 1.1.1
2. 1.1.2
B. 1.2
1. 1.2.1
a. 1.2.1.1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 3
1.3 Manfaat Penelitian
1.4 Tujuan Penelitian
1.5 Landasan Teori
1.6 Metode
1.6.1 Metode Pengumpulan Data
1.6.1.1 Metode Observasi
1.6.1.2 Metode Wawancara
1.6.2 Metode Analisis Data
1.6.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
1.7 Sistematika Penyajian
6. Kutipan
6.1 Pengertian Kutipan
Kutipan adalah pinjaman gagasan atau pendapat orang
lain atau ahli. Karena merupakan pinjaman, gagasan atau
pendapat tersebut harus ditulis sedemikian rupa sehingga
berbeda dengan gagasan atau pendapatnya sendiri. Di
samping itu, penulisannya juga harus menunjukkan
sumbernya.
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang
tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan
galaksi. Atau seorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di
bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.
Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan
tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat
hakikat dalam kontelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kail ilmu dengan
moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa
kebahagiaan kepada dirinya.
Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah
kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau lebih
sedih lagi, seorang ilmuwan rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan
moral, agama dan nilai estetika. Mereka, para ahli yang berada di bawah tempurung
disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan
tercengang: Lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita. Dan kita pun lalu
menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu, simpul Sokrates, ialah bahwa saya tak
tahu apa-apa!
Kerendahhatian Sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekadar basa-basi. Seorang
yang berpikir filsafati selain tengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat
berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafati yang kedua yakni sifat
mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat
disebut benar. Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan?
Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran
maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari
satu titik, yang awal dan pun sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang
benar?
”Ah, Horatio, ”desis Hamlet, ”masih banyak lagi di langit, dan di bumi, selain yang
terjaring dalam filsafatmu.” Memang demikian, secara terus terang tidak mungkin kita
menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin kepada titik
awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya
berspekulasi dan inilah yang merupakan ciri filsafat yang ketiga yakni sifat spekulatif
(Sumber: Jujun S. Suriasumantri. 2003. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Cetakan Ketujuh Belas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Halaman 20-21).
b. Contoh Paragraf yang Mengandung Kutipan Tidak Langsung
Filsafat adalah ‘cinta kepada kebijaksanaan’ atau ‘ingin mengerti secara mendalam’.
Orang ‘yang ingin mengerti secara mendalam’ adalah orang yang berfilsafat atau
berpikir filsafati. Berpikir filsafati itu memiliki karakteristik atau ciri tertentu. Menurut
Suriasumantri (2003: 20-21), ada tiga ciri berpikir filsafati: (i) berfikir secara
menyeluruh, yaitu memikirkan sesuatu tidak hanya dari satu segi saja, (ii) berpikir
secara mendasar, yaitu memikirkan sesuatu sampai ke yang hakiki, dan (iii) berpikir
secara spekulatif, yaitu memikirkan sesuatu dengan selalu ingin bertanya mencari
kebenaran.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti:
Objek apa yang disebut ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah
kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara
cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek
yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/profesional?
7. Rujukan
Rujukan adalah sesuatu yang dirujuk, yaitu tempat asal kutipan. Rujukan dapat dituliskan
melalui tiga cara, yaitu diintegrasikan dengan teks (body note), catatan kaki (foot note), dan
catatan akhir (end note). Bila diintegrasikan dengan teks, rujukan dapat diletakkan di awal
kutipan atau diakhir kutipan. Catatan kaki diletakkan di akhir teks setiap halaman. Catatan akhir
ditulis di akhir bab atau di akhir karangan.
8. Daftar Pustaka
Daftar pustaka adalah daftar yang berisi deskripsi pustaka (buku,
artikel, skripsi, karangan dari internet) yang isinya diambil dan digunakan
dalam teks karangan ilmiah. Pustaka yang didaftar adalah pustaka yang
isinya benar-benar dikutip di dalam karangan ilmiah. Tidak dibenarkan
adanya daftar pustaka hiasan.
Sebelum daftar pustaka disusun, lebih dulu diidentifikasi unsur-unsur
setiap pustaka, yaitu pengarang, tahun terbit, judul karangan, kota terbit, dan
penerbit.
Schermerhorn, R.A. 1987. Masyarakat dan Kekuasaan. Disadur dari judul asli Society and
Power oleh Soerjono Soekanto dan Agus Brotosusilo. Jakarta: CV. Rajawali.
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Cetakan Ketujuh
Belas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Contoh
Data Pustaka
Daftar Pustaka
DARTAR PUSTAKA
Anjarwati, Lita. 2005. ”Idiom Berunsur Nama Bagian Tubuh Manusia dalam Bahasa Indonesia”
(Abstrak). (w.w.w.docstoc.com). Diunduh pada tanggal 1 September 2011, pukul 19.04
Schermerhorn, R.A. 1987. Masyarakat dan Kekuasaan. Disadur dari judul asli Society and Power
oleh Soerjono Soekanto. Jakarta: CV Rajawali.
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Cetakan Ketujuh Belas.
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Tanlain, Wens. 2005. ”Pendidikan Orang Dewasa: Tugas yang Terpinggirkan”. Dalam Jurnal
Arah Reformasi Indonesia. No.27, Mei 2005. ISSN 1410895N. Yogakarta: Penerbit
Lembaga Penerbitan Universitas Sanata Dharma. Halaman 28-42.