Anda di halaman 1dari 20

Laporan Praktikum Tanggal : 16 September 2019

Patologi Klinik Tempat : Lab. Diagnostik


(KRP 412) Dosen : Drh. Arief Purwo Mihardi

URINALISIS

Disusun oleh:

Kelompok 2

Febri Rizki Abdurahman B04160010


Muhammad Fauzy B04160024
Meidianti Sari B04160027
Resma Ismawati B04160030
Dina Zuhdina Rahman B04160035
Muhammad Zaki I B04160039
Neka Putri Pratama B04160046

BAGIAN PENYAKIT DALAM


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ tubuh yang bertugas untuk mengatur komposisi


biokimiawi darah. Ginjal bekerja bersma-sama dengan organ lain yang terkait
dalam menjalankan fungsinya (misalnya dengan sistem pencernaan dan sistem
endokrin). Ginjal merupakan alat pengatur utama, termasuk mengatur produksi sel
darah merah (eritrosit) melalui produksi eritropoietin secara langsung. Sisa
metabolism yang dapat mengganggu fungsi organ lain, termasuk ginjal itu sendiri,
diatur kadarnya dalam darah agar selalu terdapat pada kisaran yang optimum.
Organ ini mampu menyeleksi bahan mana yang harus dibuang dan bahan mana
yang perlu dipertahankan baik total maupun parsial. Cara ginjal melakukan proses
pengaturan ini yaitu ultrafiltrasi, seleksi dan reabsorbsi, dan sekresi. Hasil proses
pengaturan ginjal ini terbentuklah cairan yang disebut urin. Urin merupakan
cerminan kerja ginjal dan komposisi biokimiawi darah sehingga urin dapat
digunakan sebagai bahan pemeriksaan untuk memperoleh petunjuk tentang fungsi
ginjal dan organ lain yang berkaitan. Oleh karena itu, pemeriksaan urin dapat
dijadikan sebagai pekerjaan rutin di laboratorium klinik.
Urinalisis (pemeriksaan urin) dilakukan untuk mendeteksi adanya
abnormalitas yang perlu ditindaklanjuti. Urinalisis meliputi pemeriksaan
fisik/makroskopis urin, pemeriksaan urin dengan melakukan berbagai uji dan
pemeriksaan mikroskopis/sedimentasi. Uji untuk urinalisis dilakukan secara kimia
yang terdiri dari uji glukosa, protein, badan keton dan zat warna empedu. Selain itu
dilakukan juga pengujian menggunakan strip test untuk mendukung hasil pengujian
biokimiawi. Praktikum bertujuan untuk mengetahui diagnosa klinik secara patologi
kondisi sampel urin dengan melakukan beberapa uji.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemeriksaan Makroskopik
Urinalisis dimulai dengan mengamati penampakan makroskopik: warna dan
kekeruhan. Urine normal yang baru dikeluarkan tampak jernih sampai sedikit
berkabut dan berwarna kuning oleh pigmen urokrom dan urobilin. Intensitas warna
sesuai dengan konsentrasi urine; urine encer hampir tidakberwarna, urine pekat
berwarna kuning tua atau sawo matang. Kekeruhan biasanya terjadi karena
kristalisasi atau pengendapan urat (dalam urine asam) atau fosfat (dalam urine
basa). Kekeruhan juga bisa disebabkan olehbahan selular berlebihan atau protein
dalam urin.
Volume urine normal adalah 750-2.000 ml/24hr. Pengukuran volume
inipada pengambilan acak (random) tidak relevan. Karena itu pengukuran volume
harus dilakukan secara berjangka selama 24 jam untuk memperolehhasil yang
akurat.Kelainan pada warna, kejernihan, dan kekeruhan dapat
mengindikasikankemungkinan adanya infeksi, dehidrasi, darah di urin (hematuria),
penyakithati, kerusakan otot atau eritrosit dalam tubuh. Obat-obatan tertentu juga
dapat mengubah warna urin (Hardjoeno H et al. 2007). Beberapa keadaan yang
menyebabkan warna urin adalah:

- Merah:
Penyebab patologik: hemoglobin, mioglobin, porfobilinogen, porfirin.
Penyebab nonpatologik : banyak macam obat dan zat warna, bit, rhubab
(kelembak), senna.
- Oranye:
Penyebab patologik: pigmen empedu.
Penyebab nonpatologik: obat untuk infeksi saliran kemih (piridium), obat lain
termasuk fenotiazin.
- Kuning:
Penyebab patologik: urine yang sangat pekat, bilirubin, urobilin.
Penyebab nonpatologik: wotel, fenasetin, cascara, nitrofurantoin.
- Hijau:
Penyebab patologik: biliverdin, bakteri (terutama Pseudomonas).
Penyebab nonpatologik: preparat vitamin, obat psikoaktif, diuretik.
- Biru: tidak ada penyebab patologik.
Pengaruh obat: diuretik, nitrofuran.
- Coklat:
Penyebab patologik: hematin asam, mioglobin, pigmen empedu
B. Pemeriksaan Mikroskopik
Endapan pertama kali diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran
rendah menggunakan lensa obyektif 10x, disebut lapangpandang lemah (LPL) atau
low power field (LPF) untuk mengidentifikasi benda-benda besar seperti silinder
dan kristal. Selanjutnya, pemeriksaandilakukan dengan kekuatan tinggi
menggunakan lensa obyektif 40x, disebutlapang pandang kuat (LPK) atau high
power field (HPF) untukmengidentifikasi sel (eritrosit, lekosit, epitel), ragi, bakteri,
Trichomonas,filamen lendir, sel sperma. Jika identifikasi silinder atau kristal belum
jelas,pengamatan dengan lapang pandang kuat juga dapat dilakukan. Karena jumlah
elemen yang ditemukan dalam setiap bidang dapat berbeda dari satubidang ke
bidang lainnya, beberapa bidang dirata-rata. Berbagai jenis sel yang biasanya
digambarkan sebagai jumlah tiap jenis ditemukan per rata-rata dilaporkan sebagai
jumlah tiap jenis yang ditemukan per lapang pandang lemah.
Eritrosit dalam air seni dapat berasal daribagian manapun dari saluran
kemih. Secarateoritis, harusnya tidak dapat ditemukanadanya eritrosit, namun
dalam urine normaldapat ditemukan 0 ± 3 sel/LPK. Hematuria adalah adanya
peningkatanjumlah eritrosit dalam urin karena: kerusakan glomerular, tumor
yangmengikis saluran kemih, trauma ginjal, batu saluran kemih, infeksi,
inflamasi,infark ginjal, nekrosis tubular akut, infeksi saluran kemih atas dan bawah,
nefrotoksin dan lain sebagainya.
Sel epitel tubulus ginjal berbentuk bulat atauoval, lebih besar dari leukosit,
mengandung intibulat atau oval besar, bergranula dan biasanyaterbawa ke urin
dalam jumlah kecil. Namun,pada sindrom nefrotik dan dalam kondisi yang
mengarah ke degenerasisaluran kemih, jumlahnya bisa meningkat. Jumlah sel
tubulus 13 / LPK ataupenemuan fragmen sel tubulus dapat menunjukkan adanya
penyakit ginjalyang aktif atau luka pada tubulus, seperti pada nefritis, nekrosis
tubuler akut,infeksi virus pada ginjal, penolakantransplnatasi ginjal, keracunan
salisilat.Sel epitel tubulus dapat terisi oleh banyaktetesan lemak yang berada dalam
lumentubulus (lipoprotein yang menembusglomerulus), sel-sel seperti ini disebut
oval fat bodies/ renal tubular fat / renal tubular fat bodies.
Silinder (cast) adalah massa protein berbentuk silindris yang terbentuk
ditubulus ginjal dan dibilas masuk ke dalam urine. Silinder terbentuk hanyadalam
tubulus distal yang rumit atau saluran pengumpul (nefron distal). Tubulus proksimal
dan lengkung Henle bukanlokasi untuk pembentukan silinder. Silinder dibagi-bagi
berdasarkan gambaran morfologik dan komposisinya. Faktor-faktor yang
mendukung pembentukan silinder adalah laju aliran yang rendah,konsentrasi garam
tinggi, volume urine yang rendah, dan pH rendah (asam)yang menyebabkan
denaturasi dan precipitasi protein, terutama mukoproteinTamm-Horsfall.
Mukoprotein Tamm-Horsfall adalah matriks protein yang lengket yang terdiri dari
glikoprotein yang dihasilkan oleh sel epitel ginjal.Semua benda berupa partikel atau
sel yang terdapat dalam tubulus yangabnormal mudah melekat pada matriks protein
yang lengket.
Kristal yang sering dijumpai adalah kristal calcium oxallate,
triplephosphate, asam urat. Penemuan kristal-kristal tersebut tidak mempunyai
artiklinik yang penting. Namun, dalam jumlah berlebih dan adanya
predisposisiantara lain infeksi, memungkinkan timbulnya penyakit "kencing batu",
yaitu terbentuknya batu ginjal-saluran kemih (lithiasis) di sepanjang ginjal ±
saluran kemih, menimbulkan jejas, dan dapat menyebabkan fragmen sel epitel
terkelupas. Pembentukan batu dapat disertai kristaluria, dan penemuankristaluria
tidak harus disertai pembentukan batu.
Kristal oksalat umum dijumpai pada spesimen urine bahkan pada pasien
yang sehat. Mereka dapat terjadi pada urin dari setiap pH, terutama pada pH yang
asam. Kristal bervariasi dalam ukuran dari cukup besar untuk sangat kecil. Kristal
ca-oxallate bervariasi dalam ukuran, tak berwarna, dan bebentuk amplop atau
halter. Kristal dapat muncul dalam specimen urine setelah konsumsi makanan
tertentu (mis. asparagus, kubis, dll) dan keracunan ethylene glycol. Adanya 1± 5 (
+ ) kristal Ca-oxallate per LPL masih dinyatakan normal, tetapi jika dijumpai lebih
dari 5 ( ++ atau +++ ) sudah dinyatakan abnormal (Lestari ES. 2017).

C. Glukosa
Kurang dari 0,1% dari glukosa normal disaring oleh glomerulus muncul
dalam urin (kurang dari 130 mg/24 jam). Glukosuria (kelebihan gula dalamurin)
terjadi karena nilai ambang ginjal terlampaui atau daya reabsorbsi tubulus yang
menurun. Glukosuria umumnya berarti diabetes mellitus. Namun, glukosuria dapat
terjadi tidak sejalan dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah, oleh karena
itu glukosuria tidak selalu dapat dipakai untuk menunjang diagnosis diabetes
mellitus. Untuk pengukuran glukosa urine, reagen strip diberi enzim
glukosaoksidase (GOD), peroksidase (POD) dan zat warna (Chandri B. 2008).

D. Keton
Badan keton (aseton, asam aseotasetat, dan asam β-hidroksibutirat)
diproduksi untuk menghasilkan energi saat karbohidrat tidak dapat digunakan.
Asam aseotasetat dan asam β-hidroksibutirat merupakan bahan bakar respirasi
normal dan sumber energi penting terutama untuk otot jantung dan korteks ginjal.
Apabila kapasitas jaringan untuk menggunakan keton sudah mencukupi maka akan
diekskresi ke dalam urine, dan apabila kemampuan ginjal untuk mengekskresi
keton telah melampaui batas, maka terjadi ketonemia. Benda keton yang terutama
dijumpai di urine adalah aseton dan asam asetoasetat.
Peningkatan kadar keton dalam darah akan menimbulkan ketosis sehingga
dapat menghabiskan cadangan basa (mis. bikarbonat, HCO3) dalam tubuh dan
menyebabkan asidosis. Pada ketoasidosis diabetik, keton serum meningkat hingga
mencapai lebih dari 50 mg/dl. Keton memiliki struktur yang kecil dan dapat
diekskresikan ke dalam urin. Namun, kenaikan kadarnya pertama kali tampak pada
plasma atu serum, kemudian baru urin. Ketonuria (keton dalam urin) terjadi akibat
ketosis. Ketonuria disebabkan oleh kurangnya intake karbohidrat (kelaparan, tidak
seimbangnya diet tinggi lemak dengan rendah karbohidrat), gangguan absorbsi
karbohidra (kelainan gastrointestinal), gangguan metabolisme karbohidrat
(diabetes), sehingga tubuh mengambil kekurangan energi dari lemak atau protein
(Chandri B. 2008).

E. Protein
Protein terdiri atas fraksi albumin dan globulin. Peningkatan ekskresi
albumin merupakan petanda yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang
disebabkan karena penyakit glomeruler, diabetes mellitus, dan hipertensi.
Sedangkan peningkatan ekskresi globulin dengan berat molekul rendah merupakan
petanda yang sensitif untuk beberapa tipe penyakit tubulointerstitiel.
Sebagian kecil protein plasma disaring di glomerulus dan diserap oleh
tubulus ginjal kemudian diekskresikan ke dalam urin. Normal ekskresi protein
biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dl urin. Lebih dari 10 mg/dl
didefinisikan sebagai proteinuria. Pengukuran proteinuria dapat dipakai untuk
membedakan antara penderita yang memiliki risiko tinggi menderita penyakit ginjal
kronik yang asimptomatik dengan yang sehat. Proteinuria yang persistent (tetap ≥
+1, dievaluasi 2-3x / 3 bulan) biasanya menunjukkan adanya kerusakan ginjal.
Proteinuria persistent juga akan memberi hasil ≥ +1 yang terdeteksi baik pada
spesimen urine pagi maupun urine sewaktu setelah melakukan aktivitas. Proteinuria
positif perlu dipertimbangkan untuk analisis kuantitatif protein dengan
menggunakan sampel urine tampung 24 jam. Jumlah proteinuria dalam 24 jam
digunakan sebagai indikator untuk menilai tingkat keparahan ginjal (Ronald &
Richard,2002).
Proteinuria rendah (kurang dari 500mg/24jam), berkaitan dengan pngaruh
obat dari penisilin, gentamisin, sulfonamide, sefalosporin, media kontras,
tolbutamid (Orinase), asetazolamid. Proteinuria sedang (500-4000 mg/24 jam)
dapat berkaitan dengan glomerulonefritis akut atau kronis, nefropati toksik
(toksisitas obat aminoglikosida, toksisitas bahan kimia), myeloma multiple,
penyakit jantung, penyakit infeksius akut, preeklampsia.
Proteinuria tinggi (lebih dari 4000 mg/24 jam) dapat berkaitan dengan sindrom
nefrotik, glomerulonefritis akut atau kronis, nefritis lupus, penyakit amiloid.

F. Strip test
Strip test (dipstick) adalah strip reagen berupa strip plastik tipis yang
ditempeli kertas seluloid yang mengandung bahan kimia tertentu sesuai jenis
parameter yang akan diperiksa. Strip reagen (dipstick) tersedia dengan bagian –
bagian yang multiple. Di sebagian besar laboratorium, pemeriksaan yang dilakukan
dalam striptest ini adalah pemeriksaan berat jenis, pH, glukosa, protein, darah,
keton, bilirubin, urobilinogen, nitrit dan leukosit esterase. Strip reagen sangat
menyederhanakan urinalisis, tetapi pemakaiannya harus dilkakukan secara hati –
hati. Strip harus disimpan dalam wadah tertutup rapat dilingkungan yang dingin dan
terlindung dari kelembaban, sinar dan uap kimia (Ronald dan Richard 2002).
Setiap strip harus diamati sebelum digunakan untuk memastikan bahwa
tidak terjadi perubahan warna yang tidak diinginkan. Perubahan warna yang
diinterpretasikan yaitu dengan membandingkannya dengan bagian warna rujukan,
biasanya pada label wadah. Hasil yang tidak akurat terjadi apabila perubahan warna
dibaca terlalu cepat atau terlalu lambat. Pembacaan striptest dengan instrument
lebih dianjurkan daripada pembacaan secara visual, hal ini untuk memperkecil
kesalahan dan mendapatkan hasil yang paling akurat dan sensitif. Hasil
pemeriksaan strip biasanya dilaporkan sebagai satu kesatuan. Untuk hasil yang
abnormal, perlu dilakukan uji kuantitatif konfirmatorik. Semua hasil harus diteliti
dalam hal konsistensi internalnya untuk menghindari kesalahan interpretasi.
Spesimen urin dengan peningkatan kandungan glukosa akan memiliki berat jenis
yang tinggi, kemudian apabila terdapat keton, pH harusnya asam. Spesimen dengan
urin yang coklat, merah, atau kabut harus diperiksa untuk melihat ada tidaknya
bilirubin dan hemoglobin. Pada beberapa keadaan, ketidakcocokan temuan –
temuan menunjukkan proses klinis dan teknis dipstick yang kurang baik (Ronald
dan Richard 2002).

METODE PRAKTIKUM

Tempat dan Waktu Praktikum


Praktikum dilakukan di Laboratorium Diagnostik, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan praktikum pada hari Senin,
16 September 2019 pukul 14.00 – 16.30 WIB.

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum adalah tabung reaksi, rak tabung,
gelas ukur, termometer, urinometer, tabung urinometer, sentrifuse, mikroskop,
objek glass, cover glass, pipet, penangas air (mendidih), spiritus, bunsen dan
penjepit tabung. Sedangkan bahan yang digunakan terdiri dari urin, asam nitrat
pekat, larutan asam sulfosalisilat 20%, larutan Na nitroprusida 5%, larutan
amonium liquid 10%, larutan ammonium sulfat jenuh, reagen Benedict dan kertas
strip test.
Metode Percobaan

A. Pemeriksaan fisik urin


Volume urin yang ditampung selama 24 jam tersebut diukur dengan gelas
ukur. Pemeriksaan warna dilakukan dengan cara memasukkan urin ke dalam
tabung reaksi yang bening dan bersih kemudian diarahkan pada datangnya
cahaya dan diperhatikan warnanya. Pemeriksaan kejernihan urin dengan cara
memasukkan urin kedalam tabung reaksi yang bersih dan jernih, kemudian
diperhatikan kejernihannya. Pemeriksaan BJ urin diukur dengan cara
memeriksa suhu urinometer apakah dalam °C atau dalam °F, kalau suhu yang
tertera dalam °F konversi dulu menjadi °C. Kemudian urin dituangkan ke dalam
tabung urinometer sampai terisi kira-kira tiga perempatnya. Urinometer
dicelupkan dengan hati-hati jangan sampai membentur dasar tabung ketika
dilepaskan dan urinometer diperhatikan jangan sampai menempel pada dinding
tabung. Suhu urin diukur dengan termometer. Kemudian BJ dibaca pada skala,
angka terdapat pada batas antara bagian urinometer yang tenggelam dan yang
muncul diatas permukaan urin.

B. Pemeriksaan kimiawi
- Pemeriksaan Protein:
1. Uji Heller
Asam nitrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 mL.
Kemudian 2mL urin ditambahkan ke dalam pereaksi dengan cara
memiringkan tabung dan mengalirkan urin pakai pipet melalui dinding
tabung secara perlahan-lahan Kemudian diamati perubahan yang terjadi
berupa cincin putih pada perbatasan dua cairan.
2. Uji Asam Sulfosalisilat
Urin dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 mL. Kemudian
ditambahkan 8 tetes asam sulfosalisilat. Perubahan warna yang terjadi
diamati, apabila timbul kekeruhan yang merata maka reaksi tersebut
adalah positif.
- Pemeriksaan Glukosa
Pereaksi benedict dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 5 ml.
Kemudian ditambahkan 0.5 ml urin. Larutan dikocok dengan hati-hati dan
dididihkan selama 2 menit dalam penangas air atau langsung diatas nyala
api kecil. Perubahan warna yang terjadi diamati. Reaksi positif adanya
glukosa ditandai dengan timbulnya warna hijau sampai merah dan bila terus
dibiarkan akan terbentuk endapan merah bata (Cu2O). Jika tidak terjadi
perubahan warna berarti tidak ada glukosa.
- Pemeriksaan zat warna empedu/bilirubin
1. Uji Busa
Urin dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dikocok kuat-kuat.
Hasil kocokan urin diperhatikan apakah terbentuk busa atau tidak.
Apabila terbentuk sedikit busa berarti urin normal (tidak mengandung
empedu). Apabila terbentuk banyak busa dan susah menghilang serta
berwarna kuning kehijauan atau kecoklatan maka urin mengandung
empedu.
2. Uji Gmelin
Larutan asam nitrat sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi
lalu ditambahkan urin 2 mL dan perubahan warna diperhatikan. Apabila
terbentuk cincin berwarna hijau dan ungu pada batas kedua cairan maka
urin mengandung empedu. Untuk menguji ini gunakan latar warna putih
agar cincin terlihat jelas. Uji ini tidak memuaskan untuk urin sapi karena
mengandung zat warna lain selain warna empedu yang dapat
menimbulkan warna merah muda apabila bereaksi dengan asam.
3. Uji Rosenbach
Urin disaring dengan menggunakan kertas saring dan dibiarkan
mengering. Kemudian asam nitrat diteteskan pada kertas saring bagian
yang lembab. Kemudian perubahan warna yang terjadi diperhatikan.
Apabila timbul warna warni di tepi tetesan asam sewaktu mengering
berarti reaksi positif. Warna tersebut adalah hijau, biru dan ungu.
- Pemeriksaan Keton
Uji Rothera
Urin sebanyak 3 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Lalu ditambahkan
3 tetes larutan Na Nitroprusid 5%, kemudian ditambahkan 3 mL larutan
ammonium liquid 10%. Setelah itu ditambahkan lagi 3 mL larutan
ammonium sulfat jenuh. Perubahan warna yang terjadi diamati, apabila
warna ungu seperti warna kalium permanganate maka reaksi tersebut adalah
positif.

C. Pemeriksaan mikroskopis
Urin sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian
disentrifuse. Setelah disentrifuse bagian atas urin dibuang yang tinggal hanya
bagian bawahnya saja. Urin tersebut diamati di bawah mikroskop dan dilihat
bentukan yang ada.

D. Pemeriksaan Strip test


Kertas strip test dicelupkan ke dalam tabung yang berisi urin kemudian
kertas strip test akan berubah warna dan perubahan tersebut harus segera
diamati dan dibandingkan dengan warna indikator yang terdapat pada kemasan.
Pemeriksaan menggunakan strip test dapat menunjukkan hasil dari leukosit
(LEU), nitrat (NIT), urobilinogen (URO), protein (PRO), pH, sel darah merah
(BLO), berat jenis/SG (Serum gravity), badan-badan keton (KET), bilirubin
(BIL) dan glukosa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 Hasil dan interpretasi pengujian pemeriksaan urin


Pengujian Hasil Gambar Interpretasi
I. Fisik Urin

1. Volume 211.0 mL = 0.211 L Volume yang diuji yaitu


211,0 mL
2. Warna Kuning jernih Urin berwarna normal
3. Kejernihan jernih Urin yang diuji segar atau
baru
4. Berat Jenis (BJ)

BJ urin menyamai BJ
plasma analisat

1.013
II. Kimia Urin
1. Protein
Uji Heller

Negatif (-) Urin tidak mengandung


Uji Asam protein
Sulfosalisilat

Positif (+)
2. Glukosa
Uji Benedict

Urin tidak mengandung


glukosa

Negatif (-)
3. Empedu
Uji Busa

Negatif (-)
Uji Gmelin
Sampel urin tidak
mengandung zat warna
empedu, tapi di Uji Busa
terdapat sedikit busa yang
mengindikasikan bahwa urin
mengandung sedikit zat
warna empedu yang masih
dalam batas normal
Negatif (-)
Uji Rosenbach

Negatif (-)
4. Keton
Uji Rothera

Sampel urin tidak


mengandung badan keton

Negatif (-)
III. Mikroskopis

Sampel urin bersifat alkalis


dan terdapat gangguan
metabolisme protein

kristal cystin
kristal triple fosfat
IV. Strip Test

Sampel urin tidak


mengandung leukosit, nitrit,
urobilinogen, keton,
Leu (-) bilirubin dan glukosa.
Nit (-) Sampel urin mengandung
Uro (-) protein ± 15 (0.15), pH 7.0,
Pro 15 (0.15) ± sedikit sel darah merah dan
pH 7.0 berat jenis yang terbaca
Blo ++ adalah 1.010
SG 1.010
Ket (-)
Bil (-)
Glu (-)

Berdasarkan praktikum sampel urin yang diuji memiliki volume sebanyak


211.0 mL atau 0.211 L. Pengujian secara kualitatif juga dilakukan untuk
mendeteksi zat-zat yang terdapat dalam urin, namun hasil yang akurat dapat
diperoleh jika dilakukan uji kuantitatif zat-zat yang terkandung di dalam urin
tersebut (Bintang 2010). Urin normal memiliki warna kuning jernih, berbau
aromatik lemah, berbobot jenis 1,002-1,040 g/mL dan memiliki nilai pH 4,8-7,8
(Murray et al. 2014).
Hasil dari sampel urin yang diuji berwarna kuning jernih. Warna ini
menunjukkan bahwa urin normal. Sampel urin jernih dan tidak mengalami
kekeruhan selama praktikum berlangsung, menandakan bahwa sampel urin masih
dalam keadaan segar atau baru. Warna sampel urin yang kuning jernih menandakan
bahwa sumber sampel urin tidak mengalami dehidrasi. Dehidrasi ditandai dengan
warna urin yang cenderung lebih pekat (Murray et al. 2014). Tidak semua macam
kekeruhan menunjukan sifat abnormal. Urin yang normal akan keruh jika dibiarkan
atau didinginkan, kekeruhan ringan itu disebut nubecula dan terjadi dari lendir, sel-
sel epitel dan leukosit yang mengendap (Marks et al. 2000).
Sampel urin yang diuji memiliki berbobot jenis (BJ) sebesar 1.013. Kondisi
ini disebut dengan istilah isotenuria, yaitu BJ urin setara dengan BJ plasma tanpa
protein atau plasma analisat yang berkisar antara 1.008 – 1.013. Isotenuria dapat
menjadi indikasi kerusakan pada tubulus atau medula ginjal (Dorland 2011).
Uji Heller bertujuan untuk mengetahui adanya albumin dalam urin abnormal.
Prinsip kerja uji heller adalah cincin putih keruh berasal dari koagulasi albumin
karena penambahan asam nitrat pekat, akan terbentuk gumpalan protein yang
menimbulkan kekeruhan pada perbatasan kedua cairan (urin dan reagen). Albumin
akan mengalami denaturasi ketika ditambahkan HNO3-, protein makanan dicerna
menjadi asam amino yang kemudian dioksidasi untuk menghasilkan energi dan
nitrogen diubah menjadi urea dan produk ekskretorik lain yang mengandung
nitrogen (Marks et al. 2000). Hasil uji Heller pada praktikum adalah negatif karena
tidak terbentuk cincin putih keruh di antara kedua perbatasan dan hal ini
menunjukkan sampel urin tidak mengandung protein.
Hasil sampel urin yang diuji dengan pengujian asam sulfosalisilat
menunjukkan bahwa urin mengandung sedikit protein karena hasil positif. Prinsip
uji asam sulfosalisilat yaitu mengendapkan protein dengan penambahan larutan
asam. Sejumlah urin yang mengandung protein akan bereaksi dengan asam
sulfosalisilat yang akan ditambahkan sehingga membentuk kekeruhan yang tetap
ada setelah pemanasan. Protein dalam suasana asam kuat akan mengalami
denaturasi dan presipitasi (Nelson dan Cox 2002). Secara normal urin tidak
mengandung protein atau hanya ada dalam jumlah yang sangat sedikit sehingga
tidak terdeteksi dengan metode urinalisis biasa.
Uji Benedict merupakan uji untuk mendeteksi gula pereduksi. Uji Benedict
menggunakan pereaksi Benedict yang merupakan modifikasi dari pereaksi Fehling.
Pereaksi Benedict terdiri dari campuran 17,3 gram kupri sulfat, 173 gram natrium
sulfat dan 100 gram natrium karbonat dalam 100 gram air. Uji Benedict dilakukan
dengan meneteskan 5 mL pereaksi Benedict ke dalam 0,5 mL urin lalu dipanaskan.
Pemanasan gula pereduksi dengan pereaksi Benedict akan menghasilkan suatu
endapan merah bata. Endapan merah bata terjadi karena gula pereduksi akan
teroksidasi menjadi asam onoat sedangkan pereaksi Benedict akan tereduksi
menjadi kupro oksida (Nasution et al. 2016).
Uji Benedict yang dilakukan pada sampel urin menunjukkan urin tidak
mengandung gula pereduksi karena hasil negatif. Gula pereduksi merupakan gula
dari golongan monosakari dan disakarida yang memiliki gugus pereduksi, yang
tergolong ke dalam gula pereduksi adalah glukosa, fruktosa, galaktosa, maltosa dan
laktosa (Nisa et al. 2008). Jika dalam urin terdapat gula pereduksi menandakan
bahwa hewan terkena diabetes melitus. Pada penderita diabetes melitus kadar
glukosa dalam darah akan meningkat. Kadar glukosa yang meningkat dalam darah
menyebabkan ginjal tidak dapat menahan sebagian glukosa yang terdapat dalam
darah sehingga glukosa tersebut dibuang bersama urin (Dewiyeti & Hidayat 2015).
Uji adanya zat warna empedu atau bilirubin dalam urin dilakukan
menggunakan uji Busa, uji Gmelin dan uji Rosenbach. Urin yang diuji dengan uji
Busa menunjukkan sampel urin tidak berbusa banyak dan persisten ketika dikocok.
Hal ini menunjukkan bahwa urin tidak mengandung cairan empedu. Cairan empedu
merupakan cairan yang disekresikan oleh hati untuk membantu pencernaan lemak
di saluran pencernaan (Klein 2012). Cairan ini bekerja sebagai surfaktan untuk
mengemulsikan lemak supaya lebih mudah larut dan siap diserap oleh tubuh.
Sifatnya membuat urin lebih berbusa ketika dikocok (Freeman dan Klenner 2015).
Prinsip uji Gmelin adalah zat empedu yang dioksidasi oleh oksidator kuat
yaitu HNO3 membentuk derivat-derivat yang berwarna dari warna hijau menjadi
biru, ungu, merah dan jingga (Poedjiadi 2007). Zat warna empedu berasal dari
pemecahan hemoglobin pada butir sel darah merah, asam-asam empedu dan
kolesterol. Beberapa zat warna itu adalah bilirubin (orange,kuning,coklat) dan
biliveridin (hijau) (Marks et al 2000). Hasil uji Gmelin pada sampel urin
menunjukkan hasil negatif karena tidak terjadi perubahan warna pada urin,
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat empedu pada sampel urin.
Urin diuji kadar zat warna empedu (bilirubin) menggunakan uji Rosenbach.
Hasil uji Rosenbach menunjukkan urin tidak mengandung zat warna empedu
(bilirubin) karena hasil pengujian tidak terdapat warna di tepi tetesan saat
mengering. Urin yang mengandung bilirubin menunjukkan adanya penyakit pada
sistem perkemihan dan hepar. Bilirubin berasal dari degradasi Hemoglobin yang
kemudian dari hepar, berkonjugasi dengan glucoronic acid dan dikeluarkan ke
dalam empedu. Unconjugated bilirubin berikatan dengan albumin, tidak
dikeluarkan oleh ginjal, tetapi conjugated bilirubin dapat dikeluarkan melalui urin.
Kandungan bilirubin yang tinggi di dalam urin sebagai indikasi adanya obstruksi
ke dalam empedu dan penyakit -penyakit hepar termasuk kerusakan sel-sel hepar.
Pada urin kucing, babi, domba dan kuda yang sehat tidak akan ditemukan bilirubin
dalam urin (Kusumawati dan Sardjana 2006).
Uji Rothera merupakan reaksi antara Natrium Nitroprusid dengan asam
asetoasetat dan aseton membentuk senyawa yang berwarna ungu/terbentuknya
cincin ungu jika keton urin positif, jika keton urin negatif, maka akan berwarna
coklat muda (Hardjoeno H 2003). Badan keton terdiri dari tiga senyawa yaitu
aseton, asam asetoasetat, dan asam β-hidroksibutirat yang merupakan produk
metabolisme lemak dan asam lemak yang berlebihan. Badan keton diproduksi
ketika karbohidrat tidak dapat digunakan untuk menghasilkan energi yang
disebabkan oleh gangguan metabolisme karbohidrat, kurangnya asupan karbohidrat
(kelaparan, diet tidak seimbang), gangguan absorbsi kerbohidrat (kelainan
gastrointestinal) atau gangguan mobilisasi glukosa, sehingga tubuh mengambil
simpanan asam lemak untuk dibakar. Peningkatan kadar keton dalam darah akan
menimbulkan ketosis sehingga dapat menghabiskan cadangan basa, contohnya
bikarbonat dan HCO3 dalam tubuh dan menyebabkan asidosis (Uliyah 2008). Hasil
uji Rothera pada praktikum urinalisis adalah negatif karena sampel urin tidak
menunjukkan perubahan warna menjadi ungu seperti warna kalium permanganate
maka hal ini menunjukkan bahwa sampel urin tidak mengandung badan keton.
Uji mikroskopis pada sampel urin menunjukkan bahwa urin yang diuji tidak
memiliki benda-benda yang umumnya terlihat pada ginjal yang mengalami
kelainan. Benda mikroskopis yang terlihat adalah kristal alkalis triple phospat yang
biasa ditemui pada urin ruminansia sehat (Stockham dan Scott 2008). Kristal ini
terbentuk ketika konsentrasi magnesium dan fosfor dalam urin tinggi dan suasana
basa. Jumlah kristal triple fosfat yang lebih tinggi muncul ketika sapi diberi pakan
kaya biji-bijian dan memiliki perbandingan kalsium yang lebih rendah dari fosfor.
(Makhdoomi dan Gazi 2013). Selain itu ditemukan juga kristal cystin yang
mengindikasikan bahwa terdapat gangguan metabolisme protein pada hewan.
Strip test merupakan alat diagnostik dasar yang digunakan untuk menentukan
perubahan patologis dalam urin pada urinalisis standar. Strip test yang digunakan
terdiri dari 10 bantalan kimia yang berbeda atau reagen yang bereaksi (berubah
warna) ketika direndam dan kemudian dihapus dari sebuah sampel urin.
Pemeriksaan menggunakan strip test sangat cepat, mudah dan spesifik. Tes ini dapat
dibaca setelah 60 sampai 120 detik setelah pencelupan (Pradana 2015). Hasil dari
pengujian menggunakan Strip test menunjukkan bahwa sampel urin tidak
mengandung leukosit, nitrit, urobilinogen, keton, bilirubin dan glukosa. Sampel
urin mengandung protein ± 15 (0.15), pH 7.0, sedikit sel darah merah dan berat
jenis yang terbaca adalah 1.010.
Hasil pengujian urin menggunakan strip test menunjukkan bahwa urin normal
tetapi ada sedikit gangguan metabolisme protein. Adanya kandungan protein di
dalam urin berhubungan dengan demam, kerja otot ringan, dan hal-hal yang
menyebabkan protein lolos dari filtrasi glomerulus (Santosa 2005). Protein dalam
urin pada kondisi abnormal dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu gangguan
ginjal baik ringan, sedang-parah, gagal ginjal kronis dan gangguan primer
glomerular. Faktor di luar ginjal yang memengaruhi peningkatan protein urine
adalah peradangan pada saluran genital, hematuria, hemoglobinemia,
mioglobinemia dan hiperproteinemia (Pratama et al. 2016).

SIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang menguji sampel urin sebanyak 211.0 mL


menunjukkan warna kuning jernih dengan BJ 1.013. Sampel urin mengandung
sedikit protein tetapi tidak mengandung glukosa, zat warna empedu dan badan
keton. Hasil ini didukung oleh strip test yang menunjukkan bahwa sampel urin tidak
mengandung leukosit, nitrit, urobilinogen, keton, bilirubin dan glukosa. Sedangkan
kandungan protein terdapat dalam sampel urin sekitar ± 15 (0.15) dengan pH 7.0.
Sampel urin mengandung sedikit sel darah merah dan berat jenis yang terbaca di
Strip Test 1.010. Pada pengujian mikroskop terdapat kristal cystin dan triple fosfat
yang menunjukkan bahwa terdapat gangguan metabolisme protein dan sifat urin
alkalis. Maka dapat disimpulkan bahwa sampel urin berasal dari hewan yang terlalu
banyak minum. Selain itu sampel urin diduga terdapat gangguan metabolisme
protein pada hewan atau konsumsi pakan hewan terlalu banyak mengandung
protein yang kurang dimetabolisme dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Barge AM, MacNeill AL. 2015. Clinical Pathology and Laboratory Techniques for
Veterinary Technicians. Iowa (US): Wiley-Blackwell
Bintang M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta (ID): Erlangga
Chandri B. 2008. Studi kandungan urin anjing kampung (Canis familiaris) umur 3
bulan dan 6 bulan dengan menggunakan reagen strip test [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dewiyeti S, Hidayat S. 2015. Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera Lamk.) sebagai
penurun kadar glukosa darah mencit jantan (Mus musculus L.) hiperglikemik.
Jurnal Penelitian Sains. 17 (2): 72 – 77
Dorland WA. 2011. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. Ed-32. Philadelphia
(AS): Saunders
Freeman Kp, Klenner S. 2015. Veterinary Clinical Pathology: A Case-based
Approach. Florida (US): CRC Press
Hardjoeno H. 2003. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Jakarta (ID):
EGC
Hardjoeno H et al. 2007. Interprestasi hasil tes laboratorium diagnostik. Makassar
(ID): Hasanuddin University Press
Klein B. 2012. Cunningham's Textbook of Physiology. Amsterdam (NL): Elsevier
Kusumawati D, Sardjana IKW. 2006. Perbandingan pemberian cat food dan
pindang terhadap pH urin, albuminuria dan bilirubinuria kucing. Media
Kedokteran Hewan. 22 (2): 131 – 135
Makhdoomi DM, Gazi MA. 2013. Obstructive urolithiasis in ruminants (review).
Vet. World. 6 (4): 233 – 238
Marks DB, Marks AD, Smith CM. 2000. Dasar- Dasar Biokimia Kedokteran.
Jakarta (ID): EGC
Marks DB, Marks AD, Smith CM. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah
Pendekatan Klinis. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC
Murray RK, Bender DA, Botham KM, Kennelly PJ, Rodwell VW, Weil PA. 2014.
Biokimia Harper Edisi 29. Manurung LR, Mandera LI, penerjemah. Jakarta
(ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Harper’s Illustrated
Biochemistry, 29th Ed
Nasution HI, Dewi SR, Hasibuan P. 2016. Pembuatan etanol dari rumput gajah
(Pennisetum purpureum schumach) menggunakan metode hidrolisis asam
dan fermentasi Saccharomyces cerevsiae. Jurnal Pendidikan Kimia. 8 (2):
144 – 151
Nisa FC, Kusnadi J, Chrisnasari R. 2008. Viabilitas dan deteksi subletal bakteri
probiotik pada susu kedelai fermentasi instan metode pengeringan beku.
Jurnal Teknologi Pertanian. 9 (1): 40 – 51
Nelson DL, Cox MM. 2002. Lehninger Principles of Biochemistry 4th edition. New
York (US): W.H. Freeman and Company
Pradana PGA. 2015. Alat pemeriksaan carik celup urine (reflactan) [skripsi].
Surabaya (ID): Jurusan Teknik Elektromedik, Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Surabaya
Pratama E, Rusli, Hasan M, Zuraidawati, Asmilia N, Roslizawaty, Zuhrawati2.
2016. Pemeriksaan urinalisis untuk menentukan status present kambing
kacang (Capra sp.) di Upt Hewan Coba Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala. Jurnal Medika Veterinaria. 10 (1): 1 – 4
Podjiadi A. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta (ID): UI-Press
Ronald A dan Richard A. 2002. Widman’s clinical interpretation of laboratory test
11ed. F.A Davis Company: ECG
Santosa, CM. 2005. Bahan Ajar Analisis Urine Veteriner. Yogyakarta (ID): Bagian
Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology.
Iowa (US): Blackwell
Uliyah, Musrifatul. 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik. Jakarta (ID):
Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai