URINALISIS
Disusun oleh:
Kelompok 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemeriksaan Makroskopik
Urinalisis dimulai dengan mengamati penampakan makroskopik: warna dan
kekeruhan. Urine normal yang baru dikeluarkan tampak jernih sampai sedikit
berkabut dan berwarna kuning oleh pigmen urokrom dan urobilin. Intensitas warna
sesuai dengan konsentrasi urine; urine encer hampir tidakberwarna, urine pekat
berwarna kuning tua atau sawo matang. Kekeruhan biasanya terjadi karena
kristalisasi atau pengendapan urat (dalam urine asam) atau fosfat (dalam urine
basa). Kekeruhan juga bisa disebabkan olehbahan selular berlebihan atau protein
dalam urin.
Volume urine normal adalah 750-2.000 ml/24hr. Pengukuran volume
inipada pengambilan acak (random) tidak relevan. Karena itu pengukuran volume
harus dilakukan secara berjangka selama 24 jam untuk memperolehhasil yang
akurat.Kelainan pada warna, kejernihan, dan kekeruhan dapat
mengindikasikankemungkinan adanya infeksi, dehidrasi, darah di urin (hematuria),
penyakithati, kerusakan otot atau eritrosit dalam tubuh. Obat-obatan tertentu juga
dapat mengubah warna urin (Hardjoeno H et al. 2007). Beberapa keadaan yang
menyebabkan warna urin adalah:
- Merah:
Penyebab patologik: hemoglobin, mioglobin, porfobilinogen, porfirin.
Penyebab nonpatologik : banyak macam obat dan zat warna, bit, rhubab
(kelembak), senna.
- Oranye:
Penyebab patologik: pigmen empedu.
Penyebab nonpatologik: obat untuk infeksi saliran kemih (piridium), obat lain
termasuk fenotiazin.
- Kuning:
Penyebab patologik: urine yang sangat pekat, bilirubin, urobilin.
Penyebab nonpatologik: wotel, fenasetin, cascara, nitrofurantoin.
- Hijau:
Penyebab patologik: biliverdin, bakteri (terutama Pseudomonas).
Penyebab nonpatologik: preparat vitamin, obat psikoaktif, diuretik.
- Biru: tidak ada penyebab patologik.
Pengaruh obat: diuretik, nitrofuran.
- Coklat:
Penyebab patologik: hematin asam, mioglobin, pigmen empedu
B. Pemeriksaan Mikroskopik
Endapan pertama kali diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran
rendah menggunakan lensa obyektif 10x, disebut lapangpandang lemah (LPL) atau
low power field (LPF) untuk mengidentifikasi benda-benda besar seperti silinder
dan kristal. Selanjutnya, pemeriksaandilakukan dengan kekuatan tinggi
menggunakan lensa obyektif 40x, disebutlapang pandang kuat (LPK) atau high
power field (HPF) untukmengidentifikasi sel (eritrosit, lekosit, epitel), ragi, bakteri,
Trichomonas,filamen lendir, sel sperma. Jika identifikasi silinder atau kristal belum
jelas,pengamatan dengan lapang pandang kuat juga dapat dilakukan. Karena jumlah
elemen yang ditemukan dalam setiap bidang dapat berbeda dari satubidang ke
bidang lainnya, beberapa bidang dirata-rata. Berbagai jenis sel yang biasanya
digambarkan sebagai jumlah tiap jenis ditemukan per rata-rata dilaporkan sebagai
jumlah tiap jenis yang ditemukan per lapang pandang lemah.
Eritrosit dalam air seni dapat berasal daribagian manapun dari saluran
kemih. Secarateoritis, harusnya tidak dapat ditemukanadanya eritrosit, namun
dalam urine normaldapat ditemukan 0 ± 3 sel/LPK. Hematuria adalah adanya
peningkatanjumlah eritrosit dalam urin karena: kerusakan glomerular, tumor
yangmengikis saluran kemih, trauma ginjal, batu saluran kemih, infeksi,
inflamasi,infark ginjal, nekrosis tubular akut, infeksi saluran kemih atas dan bawah,
nefrotoksin dan lain sebagainya.
Sel epitel tubulus ginjal berbentuk bulat atauoval, lebih besar dari leukosit,
mengandung intibulat atau oval besar, bergranula dan biasanyaterbawa ke urin
dalam jumlah kecil. Namun,pada sindrom nefrotik dan dalam kondisi yang
mengarah ke degenerasisaluran kemih, jumlahnya bisa meningkat. Jumlah sel
tubulus 13 / LPK ataupenemuan fragmen sel tubulus dapat menunjukkan adanya
penyakit ginjalyang aktif atau luka pada tubulus, seperti pada nefritis, nekrosis
tubuler akut,infeksi virus pada ginjal, penolakantransplnatasi ginjal, keracunan
salisilat.Sel epitel tubulus dapat terisi oleh banyaktetesan lemak yang berada dalam
lumentubulus (lipoprotein yang menembusglomerulus), sel-sel seperti ini disebut
oval fat bodies/ renal tubular fat / renal tubular fat bodies.
Silinder (cast) adalah massa protein berbentuk silindris yang terbentuk
ditubulus ginjal dan dibilas masuk ke dalam urine. Silinder terbentuk hanyadalam
tubulus distal yang rumit atau saluran pengumpul (nefron distal). Tubulus proksimal
dan lengkung Henle bukanlokasi untuk pembentukan silinder. Silinder dibagi-bagi
berdasarkan gambaran morfologik dan komposisinya. Faktor-faktor yang
mendukung pembentukan silinder adalah laju aliran yang rendah,konsentrasi garam
tinggi, volume urine yang rendah, dan pH rendah (asam)yang menyebabkan
denaturasi dan precipitasi protein, terutama mukoproteinTamm-Horsfall.
Mukoprotein Tamm-Horsfall adalah matriks protein yang lengket yang terdiri dari
glikoprotein yang dihasilkan oleh sel epitel ginjal.Semua benda berupa partikel atau
sel yang terdapat dalam tubulus yangabnormal mudah melekat pada matriks protein
yang lengket.
Kristal yang sering dijumpai adalah kristal calcium oxallate,
triplephosphate, asam urat. Penemuan kristal-kristal tersebut tidak mempunyai
artiklinik yang penting. Namun, dalam jumlah berlebih dan adanya
predisposisiantara lain infeksi, memungkinkan timbulnya penyakit "kencing batu",
yaitu terbentuknya batu ginjal-saluran kemih (lithiasis) di sepanjang ginjal ±
saluran kemih, menimbulkan jejas, dan dapat menyebabkan fragmen sel epitel
terkelupas. Pembentukan batu dapat disertai kristaluria, dan penemuankristaluria
tidak harus disertai pembentukan batu.
Kristal oksalat umum dijumpai pada spesimen urine bahkan pada pasien
yang sehat. Mereka dapat terjadi pada urin dari setiap pH, terutama pada pH yang
asam. Kristal bervariasi dalam ukuran dari cukup besar untuk sangat kecil. Kristal
ca-oxallate bervariasi dalam ukuran, tak berwarna, dan bebentuk amplop atau
halter. Kristal dapat muncul dalam specimen urine setelah konsumsi makanan
tertentu (mis. asparagus, kubis, dll) dan keracunan ethylene glycol. Adanya 1± 5 (
+ ) kristal Ca-oxallate per LPL masih dinyatakan normal, tetapi jika dijumpai lebih
dari 5 ( ++ atau +++ ) sudah dinyatakan abnormal (Lestari ES. 2017).
C. Glukosa
Kurang dari 0,1% dari glukosa normal disaring oleh glomerulus muncul
dalam urin (kurang dari 130 mg/24 jam). Glukosuria (kelebihan gula dalamurin)
terjadi karena nilai ambang ginjal terlampaui atau daya reabsorbsi tubulus yang
menurun. Glukosuria umumnya berarti diabetes mellitus. Namun, glukosuria dapat
terjadi tidak sejalan dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah, oleh karena
itu glukosuria tidak selalu dapat dipakai untuk menunjang diagnosis diabetes
mellitus. Untuk pengukuran glukosa urine, reagen strip diberi enzim
glukosaoksidase (GOD), peroksidase (POD) dan zat warna (Chandri B. 2008).
D. Keton
Badan keton (aseton, asam aseotasetat, dan asam β-hidroksibutirat)
diproduksi untuk menghasilkan energi saat karbohidrat tidak dapat digunakan.
Asam aseotasetat dan asam β-hidroksibutirat merupakan bahan bakar respirasi
normal dan sumber energi penting terutama untuk otot jantung dan korteks ginjal.
Apabila kapasitas jaringan untuk menggunakan keton sudah mencukupi maka akan
diekskresi ke dalam urine, dan apabila kemampuan ginjal untuk mengekskresi
keton telah melampaui batas, maka terjadi ketonemia. Benda keton yang terutama
dijumpai di urine adalah aseton dan asam asetoasetat.
Peningkatan kadar keton dalam darah akan menimbulkan ketosis sehingga
dapat menghabiskan cadangan basa (mis. bikarbonat, HCO3) dalam tubuh dan
menyebabkan asidosis. Pada ketoasidosis diabetik, keton serum meningkat hingga
mencapai lebih dari 50 mg/dl. Keton memiliki struktur yang kecil dan dapat
diekskresikan ke dalam urin. Namun, kenaikan kadarnya pertama kali tampak pada
plasma atu serum, kemudian baru urin. Ketonuria (keton dalam urin) terjadi akibat
ketosis. Ketonuria disebabkan oleh kurangnya intake karbohidrat (kelaparan, tidak
seimbangnya diet tinggi lemak dengan rendah karbohidrat), gangguan absorbsi
karbohidra (kelainan gastrointestinal), gangguan metabolisme karbohidrat
(diabetes), sehingga tubuh mengambil kekurangan energi dari lemak atau protein
(Chandri B. 2008).
E. Protein
Protein terdiri atas fraksi albumin dan globulin. Peningkatan ekskresi
albumin merupakan petanda yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang
disebabkan karena penyakit glomeruler, diabetes mellitus, dan hipertensi.
Sedangkan peningkatan ekskresi globulin dengan berat molekul rendah merupakan
petanda yang sensitif untuk beberapa tipe penyakit tubulointerstitiel.
Sebagian kecil protein plasma disaring di glomerulus dan diserap oleh
tubulus ginjal kemudian diekskresikan ke dalam urin. Normal ekskresi protein
biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dl urin. Lebih dari 10 mg/dl
didefinisikan sebagai proteinuria. Pengukuran proteinuria dapat dipakai untuk
membedakan antara penderita yang memiliki risiko tinggi menderita penyakit ginjal
kronik yang asimptomatik dengan yang sehat. Proteinuria yang persistent (tetap ≥
+1, dievaluasi 2-3x / 3 bulan) biasanya menunjukkan adanya kerusakan ginjal.
Proteinuria persistent juga akan memberi hasil ≥ +1 yang terdeteksi baik pada
spesimen urine pagi maupun urine sewaktu setelah melakukan aktivitas. Proteinuria
positif perlu dipertimbangkan untuk analisis kuantitatif protein dengan
menggunakan sampel urine tampung 24 jam. Jumlah proteinuria dalam 24 jam
digunakan sebagai indikator untuk menilai tingkat keparahan ginjal (Ronald &
Richard,2002).
Proteinuria rendah (kurang dari 500mg/24jam), berkaitan dengan pngaruh
obat dari penisilin, gentamisin, sulfonamide, sefalosporin, media kontras,
tolbutamid (Orinase), asetazolamid. Proteinuria sedang (500-4000 mg/24 jam)
dapat berkaitan dengan glomerulonefritis akut atau kronis, nefropati toksik
(toksisitas obat aminoglikosida, toksisitas bahan kimia), myeloma multiple,
penyakit jantung, penyakit infeksius akut, preeklampsia.
Proteinuria tinggi (lebih dari 4000 mg/24 jam) dapat berkaitan dengan sindrom
nefrotik, glomerulonefritis akut atau kronis, nefritis lupus, penyakit amiloid.
F. Strip test
Strip test (dipstick) adalah strip reagen berupa strip plastik tipis yang
ditempeli kertas seluloid yang mengandung bahan kimia tertentu sesuai jenis
parameter yang akan diperiksa. Strip reagen (dipstick) tersedia dengan bagian –
bagian yang multiple. Di sebagian besar laboratorium, pemeriksaan yang dilakukan
dalam striptest ini adalah pemeriksaan berat jenis, pH, glukosa, protein, darah,
keton, bilirubin, urobilinogen, nitrit dan leukosit esterase. Strip reagen sangat
menyederhanakan urinalisis, tetapi pemakaiannya harus dilkakukan secara hati –
hati. Strip harus disimpan dalam wadah tertutup rapat dilingkungan yang dingin dan
terlindung dari kelembaban, sinar dan uap kimia (Ronald dan Richard 2002).
Setiap strip harus diamati sebelum digunakan untuk memastikan bahwa
tidak terjadi perubahan warna yang tidak diinginkan. Perubahan warna yang
diinterpretasikan yaitu dengan membandingkannya dengan bagian warna rujukan,
biasanya pada label wadah. Hasil yang tidak akurat terjadi apabila perubahan warna
dibaca terlalu cepat atau terlalu lambat. Pembacaan striptest dengan instrument
lebih dianjurkan daripada pembacaan secara visual, hal ini untuk memperkecil
kesalahan dan mendapatkan hasil yang paling akurat dan sensitif. Hasil
pemeriksaan strip biasanya dilaporkan sebagai satu kesatuan. Untuk hasil yang
abnormal, perlu dilakukan uji kuantitatif konfirmatorik. Semua hasil harus diteliti
dalam hal konsistensi internalnya untuk menghindari kesalahan interpretasi.
Spesimen urin dengan peningkatan kandungan glukosa akan memiliki berat jenis
yang tinggi, kemudian apabila terdapat keton, pH harusnya asam. Spesimen dengan
urin yang coklat, merah, atau kabut harus diperiksa untuk melihat ada tidaknya
bilirubin dan hemoglobin. Pada beberapa keadaan, ketidakcocokan temuan –
temuan menunjukkan proses klinis dan teknis dipstick yang kurang baik (Ronald
dan Richard 2002).
METODE PRAKTIKUM
B. Pemeriksaan kimiawi
- Pemeriksaan Protein:
1. Uji Heller
Asam nitrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 mL.
Kemudian 2mL urin ditambahkan ke dalam pereaksi dengan cara
memiringkan tabung dan mengalirkan urin pakai pipet melalui dinding
tabung secara perlahan-lahan Kemudian diamati perubahan yang terjadi
berupa cincin putih pada perbatasan dua cairan.
2. Uji Asam Sulfosalisilat
Urin dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 mL. Kemudian
ditambahkan 8 tetes asam sulfosalisilat. Perubahan warna yang terjadi
diamati, apabila timbul kekeruhan yang merata maka reaksi tersebut
adalah positif.
- Pemeriksaan Glukosa
Pereaksi benedict dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 5 ml.
Kemudian ditambahkan 0.5 ml urin. Larutan dikocok dengan hati-hati dan
dididihkan selama 2 menit dalam penangas air atau langsung diatas nyala
api kecil. Perubahan warna yang terjadi diamati. Reaksi positif adanya
glukosa ditandai dengan timbulnya warna hijau sampai merah dan bila terus
dibiarkan akan terbentuk endapan merah bata (Cu2O). Jika tidak terjadi
perubahan warna berarti tidak ada glukosa.
- Pemeriksaan zat warna empedu/bilirubin
1. Uji Busa
Urin dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dikocok kuat-kuat.
Hasil kocokan urin diperhatikan apakah terbentuk busa atau tidak.
Apabila terbentuk sedikit busa berarti urin normal (tidak mengandung
empedu). Apabila terbentuk banyak busa dan susah menghilang serta
berwarna kuning kehijauan atau kecoklatan maka urin mengandung
empedu.
2. Uji Gmelin
Larutan asam nitrat sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi
lalu ditambahkan urin 2 mL dan perubahan warna diperhatikan. Apabila
terbentuk cincin berwarna hijau dan ungu pada batas kedua cairan maka
urin mengandung empedu. Untuk menguji ini gunakan latar warna putih
agar cincin terlihat jelas. Uji ini tidak memuaskan untuk urin sapi karena
mengandung zat warna lain selain warna empedu yang dapat
menimbulkan warna merah muda apabila bereaksi dengan asam.
3. Uji Rosenbach
Urin disaring dengan menggunakan kertas saring dan dibiarkan
mengering. Kemudian asam nitrat diteteskan pada kertas saring bagian
yang lembab. Kemudian perubahan warna yang terjadi diperhatikan.
Apabila timbul warna warni di tepi tetesan asam sewaktu mengering
berarti reaksi positif. Warna tersebut adalah hijau, biru dan ungu.
- Pemeriksaan Keton
Uji Rothera
Urin sebanyak 3 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Lalu ditambahkan
3 tetes larutan Na Nitroprusid 5%, kemudian ditambahkan 3 mL larutan
ammonium liquid 10%. Setelah itu ditambahkan lagi 3 mL larutan
ammonium sulfat jenuh. Perubahan warna yang terjadi diamati, apabila
warna ungu seperti warna kalium permanganate maka reaksi tersebut adalah
positif.
C. Pemeriksaan mikroskopis
Urin sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian
disentrifuse. Setelah disentrifuse bagian atas urin dibuang yang tinggal hanya
bagian bawahnya saja. Urin tersebut diamati di bawah mikroskop dan dilihat
bentukan yang ada.
BJ urin menyamai BJ
plasma analisat
1.013
II. Kimia Urin
1. Protein
Uji Heller
Positif (+)
2. Glukosa
Uji Benedict
Negatif (-)
3. Empedu
Uji Busa
Negatif (-)
Uji Gmelin
Sampel urin tidak
mengandung zat warna
empedu, tapi di Uji Busa
terdapat sedikit busa yang
mengindikasikan bahwa urin
mengandung sedikit zat
warna empedu yang masih
dalam batas normal
Negatif (-)
Uji Rosenbach
Negatif (-)
4. Keton
Uji Rothera
Negatif (-)
III. Mikroskopis
kristal cystin
kristal triple fosfat
IV. Strip Test
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Barge AM, MacNeill AL. 2015. Clinical Pathology and Laboratory Techniques for
Veterinary Technicians. Iowa (US): Wiley-Blackwell
Bintang M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta (ID): Erlangga
Chandri B. 2008. Studi kandungan urin anjing kampung (Canis familiaris) umur 3
bulan dan 6 bulan dengan menggunakan reagen strip test [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dewiyeti S, Hidayat S. 2015. Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera Lamk.) sebagai
penurun kadar glukosa darah mencit jantan (Mus musculus L.) hiperglikemik.
Jurnal Penelitian Sains. 17 (2): 72 – 77
Dorland WA. 2011. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. Ed-32. Philadelphia
(AS): Saunders
Freeman Kp, Klenner S. 2015. Veterinary Clinical Pathology: A Case-based
Approach. Florida (US): CRC Press
Hardjoeno H. 2003. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Jakarta (ID):
EGC
Hardjoeno H et al. 2007. Interprestasi hasil tes laboratorium diagnostik. Makassar
(ID): Hasanuddin University Press
Klein B. 2012. Cunningham's Textbook of Physiology. Amsterdam (NL): Elsevier
Kusumawati D, Sardjana IKW. 2006. Perbandingan pemberian cat food dan
pindang terhadap pH urin, albuminuria dan bilirubinuria kucing. Media
Kedokteran Hewan. 22 (2): 131 – 135
Makhdoomi DM, Gazi MA. 2013. Obstructive urolithiasis in ruminants (review).
Vet. World. 6 (4): 233 – 238
Marks DB, Marks AD, Smith CM. 2000. Dasar- Dasar Biokimia Kedokteran.
Jakarta (ID): EGC
Marks DB, Marks AD, Smith CM. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah
Pendekatan Klinis. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC
Murray RK, Bender DA, Botham KM, Kennelly PJ, Rodwell VW, Weil PA. 2014.
Biokimia Harper Edisi 29. Manurung LR, Mandera LI, penerjemah. Jakarta
(ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Harper’s Illustrated
Biochemistry, 29th Ed
Nasution HI, Dewi SR, Hasibuan P. 2016. Pembuatan etanol dari rumput gajah
(Pennisetum purpureum schumach) menggunakan metode hidrolisis asam
dan fermentasi Saccharomyces cerevsiae. Jurnal Pendidikan Kimia. 8 (2):
144 – 151
Nisa FC, Kusnadi J, Chrisnasari R. 2008. Viabilitas dan deteksi subletal bakteri
probiotik pada susu kedelai fermentasi instan metode pengeringan beku.
Jurnal Teknologi Pertanian. 9 (1): 40 – 51
Nelson DL, Cox MM. 2002. Lehninger Principles of Biochemistry 4th edition. New
York (US): W.H. Freeman and Company
Pradana PGA. 2015. Alat pemeriksaan carik celup urine (reflactan) [skripsi].
Surabaya (ID): Jurusan Teknik Elektromedik, Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Surabaya
Pratama E, Rusli, Hasan M, Zuraidawati, Asmilia N, Roslizawaty, Zuhrawati2.
2016. Pemeriksaan urinalisis untuk menentukan status present kambing
kacang (Capra sp.) di Upt Hewan Coba Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala. Jurnal Medika Veterinaria. 10 (1): 1 – 4
Podjiadi A. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta (ID): UI-Press
Ronald A dan Richard A. 2002. Widman’s clinical interpretation of laboratory test
11ed. F.A Davis Company: ECG
Santosa, CM. 2005. Bahan Ajar Analisis Urine Veteriner. Yogyakarta (ID): Bagian
Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology.
Iowa (US): Blackwell
Uliyah, Musrifatul. 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik. Jakarta (ID):
Salemba Medika