DISUSUN OLEH:
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini kemajuan peradaban manusia sudah semakin berkembang
pesat dalam segala bidang kehidupan, ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern.
Kesibukan yang luar biasa terutama di kota besar membuat manusia terkadang
lalai terhadap kesehatan tubuhnya, misalnya pola makan tidak teratur, kurang
olahraga, jam kerja yang berlebihan serta konsumsi makanan cepat saji sudah
menjadi kebiasan lazim yang berpotensi menimbulkan serangan stroke (Irfan,
2012).
Stroke terjadi akibat pembuluh darah yang membawa darah dan
oksigen ke otak mengalami penyumbatan dan ruptur, kekurangan oksigen
menyebabkan fungsi control gerakan tubuh yang dikendalikan oleh otak tidak
berfungsi (AHA, 2015). Penyakit stroke memberi dampak yang dapat
mempengaruhi aktivitas seseorang, seperti kelumpuhan dan kecacatan,
gangguan berkomunikasi, gangguan emosi, nyeri, gangguan tidur, depresi,
disfagia, dan masih banyak yang lainnya (Lingga, 2013).
Stroke merupakan penyebab kematian kedua dan merupakan penyebab
ketiga kecacatan di dunia (WHO, 2016). Secara global, 15 juta orang
terserang stroke setiap tahunnya, satu pertiga meninggal dan sisanya
mengalami kecacatan permanen (Stroke forum, 2015). Stroke merupakan
penyebab utama kecacatan yang dapat dicegah (American Heart Association,
2014). Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk
terkena serangan stroke, sekitar 125.000 orang meninggal sisanya catat ringan
maupun berat (Riskesdas, 2013). Prevalensi stroke di Indonesia 10,9% (2018)
angka itu naik dibandingkan Riskesdas 2013 yang sebesar 7%. Stroke telah
jadi penyebab kematian utama di hampir semua rumah sakit di Indonesia.
Berdasarkan Riskesdas 2018, menurut diagnosis dokter, prevalensi stroke
mengalami peningkatan pada seluruh provinsi di Indonesia dibandingkan
tahun 2013. Prevalensi stroke tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Timur
(14,7%), dan terendah terdapat di provinsi Papua (4,1%). Pada tahun 2013,
Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan prevalensi tertinggi kejadian
stroke (17,9%), sedangkan pada tahun 2018 turun menjadi 10,6 %.
Penderita stroke akan mengalami ketidakmandirian karena adanya
kecacatan permanen yang disebabkan karena adanya penurunan tonus otot,
hilangnya sensabilitas pada sebagian anggota tubuh dan menurunnya
kemampuan untuk menggerakan anggota tubuh yang sakit, sehingga dalam
melakukan aktivitas pasien memerlukan bantuan dari keluarga (Creamona,
2017). Namun, apabila ditangani dengan baik maka dapat meringankan beban
penderita, meminimalkan kecacatan dan mengurangi ketergantungan pada
orang lain dalam beraktivita (Brilianti, 2016). Seringkali pasien pasca stroke
masih mengalami gejala sisa, misalnya gangguan motorik, kehilangan
komunikasi atau kesulitan berbicara (disatria), gangguan persepsi, kerusakan
fungsi kognitif dan efek psikologik, atau disfungsi kandung kemih, gangguan
menelan (Junaidi 2011).
Gangguan menelan merupakan fungsi menelan abnormal akibat deficit
struktur atau fungsi oral, faring atau esophagus (TIM POKJA SDKI DPP
PPNI, 2017). Penyebab gangguan menelan yaitu salah satunya gangguan saraf
kranialis (TIM POKJA SDKI DPP PPNI, 2017). Kerusakan saraf otak, nervus
hipoglosus (nervus kranial XII), nervus glosofaringeus (nervus kranial IX)
atau nervus trigeminus (nervus kranial V) bisa menyebabkan paralisis bagian-
bagian yang bermakna dari mekanisme menelan. Jika mekanisme menelan
mengalami paralisis total atau sebagian, gangguan yang terjadi dapat berupa
hilangnya semua tindakan menelan sehingga menelan tidak terjadi sama
sekali, kegagalan glottis untuk menutup, sehingga makanan tidak jatuh ke
esophagus, melainkan jatuh ke paru dan kegagalan palatum mole dan uvula
untuk menutup nares posterior sehingga makanan masuk ke hidung selama
menelan (Guyton & Hall, 2011).
Gangguan menelan pada pasien stroke sering terjadi pada fase oral dan
fase faringeal sehingga menyebabkan disfagia. Oleh karena itu saat awal
masuk rumah sakit, pada semua pasien stroke harus dilakukan skrining
disfagia. Salah satu carnya yaitu menggunakan metode GUSS (Gugging
Swallowing Screen) yang merupakan skrining sederhana yang dapat
menentukan tingkat keparahan disfagia dengan mengevaluasi nutrisi cairan
dan non cairan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil pengamatan kami selama melakukan praktik
keperawatan medikal bedah di RS Akademis Jaury Jusuf Putera ruangan
Anggrek, Cempaka dan Mawar, selama ini kami belum pernah mendapatkan
adanya skrining disfagia pada pasien stroke. Atas dasar tersebut kami tertarik
meneliti apakah manfaat Skrining Disfagia Pada pasien Stroke Di RS
Akademis Jaury Jusuf Putera Makassar?
C. Tujuan penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari inovasi skrining disfagia pada pasien stroke
adalah untuk mengetahui kemampuan menelan pasien stroke dengan
melakukan skrining disfagia.
D. Manfaat penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi Inovasi
B. Isi Inovasi
1. Pengertian disfagia
Disfagia merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami
kesulitan menelan cairan atau makanan yang disebabkan gangguan pada
proses menelan. Sekitar 28-65% pasien yang mengalami disfagia setelah
serangan stroke.Stroke merupakan tanda-tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global yang dapat
mengakibatkan kematian, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vascular.
Rasyid & Soertidewi, (2011).Diperkirakan setiap tahun di Kanada ada
21.000 pasien lansia mengidap stroke dengan disfagia sedangkan di
Amerika sebanyak 200.000 pasien. (Martino, R, Martin, R.E.,& Black, S,
2012).
Gangguan menelan pada pasien stroke sering terjadi pada fase oral dan
fase faringeal sehingga menyebabkan disfagia. Oleh karena itu saat awal
masuk rumah sakit, pada semua pasien stroke harus dilakukan skrining
disfagia. Terdapat beberapa metode skrining disfagia seperti water
swallowing test, multiple consistency test, dan swallowing provocation
test.
Pemberian nutrisi dapat dilakukan melalui jalur enteral dan parenteral
jika terjadi disfagia. Menelan merupakan mekanisme yang kompleks,
makanan didorong melalui faring dan esofagus, dan makanan dicegah
supaya tidak masuk ke dalam saluran napas. Proses menelan makanan
terdiri dari tiga fase yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esophageal.
Pada awalnya terjadi pencampuran makanan dengan saliva pada fase oral,
kemudian dikunyah dan terbentuk bolus, bolus makanan ini mencapai
arkus faringeal pada fase faringeal, akibatnya palatum mole naik menutup
nasofaring sehingga mencegah regurgitasi orofaringeal dan aspirasi.
Selanjutnya bolus makanan akan didorong menuju lambung pada fase
esophageal.
1 2 3
semipadat cair padat
1. Proses menelan :
Tidak dapat menelan 0 0 0
Menelan tertunda 1 1 1
(>2 detik, bahan padat >10
detik)
Menelan dengan baik : 2 2 2
2. Batuk (tidak sengaja)
(sebelum,selama, dan setelah
menelan,sampai 3 menit
kemudian)
YA 0 0 0
TIDAK 1 1 1
3. ngiler
YA 0 0 0
TIDAK 1 1 1
4. Perubahan suara :
(suara diperhatikan sebelum
dan sesudah menelan, kata
“oh”)
YA 0 0 0
TIDAK 1 1 1
Jumlah 5 5 5
1-4 1-4 : 1-4 :
pemeriksaa pemeri lanjutk
n lebih ksaan an
lanjut lebih lebih
5 : lanjut lanjut
lanjutkan 5: 5 :
cair lanjutk Norma
an l
padat
Kesimpulan
Tes menelan langsung 5
Tes menelan tidak 15
langsung
Jumlah 20
BAB III
METODE PENULISAN
A. Tahapan Penulisan
B. Sumber Penulisan
1. Haryono & Ngatini. 2014. Gugging Swallowing Screen (GUSS) sebagai
Metode Skrining Kemampuan Menelan Pasien Stroke Akut di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta (diakses tanggal 27 Agustus 2019)
2. Mulyatsih. 2015. Pengaruh Latihan Menelan Terhadap Status Fungsi
Menelan Pasien Stroke dengan Disfagia di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo dan RSUP Fatmawati Jakarta
C. Sasaran Penulisan
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Hasil Observasi
B. Manfaat yang didapat
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA