Anda di halaman 1dari 10

SKRINING DISFAGIA PADA PASIEN STROKE

DI RS AKADEMIS JAURY JUSUF PUTERA MAKASSAR

Pembimbing : Mery Sambo

DISUSUN OLEH:
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini kemajuan peradaban manusia sudah semakin berkembang
pesat dalam segala bidang kehidupan, ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern.
Kesibukan yang luar biasa terutama di kota besar membuat manusia terkadang
lalai terhadap kesehatan tubuhnya, misalnya pola makan tidak teratur, kurang
olahraga, jam kerja yang berlebihan serta konsumsi makanan cepat saji sudah
menjadi kebiasan lazim yang berpotensi menimbulkan serangan stroke (Irfan,
2012).
Stroke terjadi akibat pembuluh darah yang membawa darah dan
oksigen ke otak mengalami penyumbatan dan ruptur, kekurangan oksigen
menyebabkan fungsi control gerakan tubuh yang dikendalikan oleh otak tidak
berfungsi (AHA, 2015). Penyakit stroke memberi dampak yang dapat
mempengaruhi aktivitas seseorang, seperti kelumpuhan dan kecacatan,
gangguan berkomunikasi, gangguan emosi, nyeri, gangguan tidur, depresi,
disfagia, dan masih banyak yang lainnya (Lingga, 2013).
Stroke merupakan penyebab kematian kedua dan merupakan penyebab
ketiga kecacatan di dunia (WHO, 2016). Secara global, 15 juta orang
terserang stroke setiap tahunnya, satu pertiga meninggal dan sisanya
mengalami kecacatan permanen (Stroke forum, 2015). Stroke merupakan
penyebab utama kecacatan yang dapat dicegah (American Heart Association,
2014). Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk
terkena serangan stroke, sekitar 125.000 orang meninggal sisanya catat ringan
maupun berat (Riskesdas, 2013). Prevalensi stroke di Indonesia 10,9% (2018)
angka itu naik dibandingkan Riskesdas 2013 yang sebesar 7%. Stroke telah
jadi penyebab kematian utama di hampir semua rumah sakit di Indonesia.
Berdasarkan Riskesdas 2018, menurut diagnosis dokter, prevalensi stroke
mengalami peningkatan pada seluruh provinsi di Indonesia dibandingkan
tahun 2013. Prevalensi stroke tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Timur
(14,7%), dan terendah terdapat di provinsi Papua (4,1%). Pada tahun 2013,
Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan prevalensi tertinggi kejadian
stroke (17,9%), sedangkan pada tahun 2018 turun menjadi 10,6 %.
Penderita stroke akan mengalami ketidakmandirian karena adanya
kecacatan permanen yang disebabkan karena adanya penurunan tonus otot,
hilangnya sensabilitas pada sebagian anggota tubuh dan menurunnya
kemampuan untuk menggerakan anggota tubuh yang sakit, sehingga dalam
melakukan aktivitas pasien memerlukan bantuan dari keluarga (Creamona,
2017). Namun, apabila ditangani dengan baik maka dapat meringankan beban
penderita, meminimalkan kecacatan dan mengurangi ketergantungan pada
orang lain dalam beraktivita (Brilianti, 2016). Seringkali pasien pasca stroke
masih mengalami gejala sisa, misalnya gangguan motorik, kehilangan
komunikasi atau kesulitan berbicara (disatria), gangguan persepsi, kerusakan
fungsi kognitif dan efek psikologik, atau disfungsi kandung kemih, gangguan
menelan (Junaidi 2011).
Gangguan menelan merupakan fungsi menelan abnormal akibat deficit
struktur atau fungsi oral, faring atau esophagus (TIM POKJA SDKI DPP
PPNI, 2017). Penyebab gangguan menelan yaitu salah satunya gangguan saraf
kranialis (TIM POKJA SDKI DPP PPNI, 2017). Kerusakan saraf otak, nervus
hipoglosus (nervus kranial XII), nervus glosofaringeus (nervus kranial IX)
atau nervus trigeminus (nervus kranial V) bisa menyebabkan paralisis bagian-
bagian yang bermakna dari mekanisme menelan. Jika mekanisme menelan
mengalami paralisis total atau sebagian, gangguan yang terjadi dapat berupa
hilangnya semua tindakan menelan sehingga menelan tidak terjadi sama
sekali, kegagalan glottis untuk menutup, sehingga makanan tidak jatuh ke
esophagus, melainkan jatuh ke paru dan kegagalan palatum mole dan uvula
untuk menutup nares posterior sehingga makanan masuk ke hidung selama
menelan (Guyton & Hall, 2011).
Gangguan menelan pada pasien stroke sering terjadi pada fase oral dan
fase faringeal sehingga menyebabkan disfagia. Oleh karena itu saat awal
masuk rumah sakit, pada semua pasien stroke harus dilakukan skrining
disfagia. Salah satu carnya yaitu menggunakan metode GUSS (Gugging
Swallowing Screen) yang merupakan skrining sederhana yang dapat
menentukan tingkat keparahan disfagia dengan mengevaluasi nutrisi cairan
dan non cairan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil pengamatan kami selama melakukan praktik
keperawatan medikal bedah di RS Akademis Jaury Jusuf Putera ruangan
Anggrek, Cempaka dan Mawar, selama ini kami belum pernah mendapatkan
adanya skrining disfagia pada pasien stroke. Atas dasar tersebut kami tertarik
meneliti apakah manfaat Skrining Disfagia Pada pasien Stroke Di RS
Akademis Jaury Jusuf Putera Makassar?

C. Tujuan penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari inovasi skrining disfagia pada pasien stroke
adalah untuk mengetahui kemampuan menelan pasien stroke dengan
melakukan skrining disfagia.

D. Manfaat penulisan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi Inovasi

Inovasi adalah suatu ide, gagasan, praktek atau objek/benda yang


didasari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau
kelompok untuk diadopsi (Evert M. Rogers, 1983 dalam Sugiato, 2016)
Inovasi adalah ide, cara-cara ataupun objek yang dipersepsikan oleh
seseorang sebagai sesuatu yang baru. Inovasi juga sering digunakan untuk
pada perubahan yang dirasakan sebagai hal yang baru oleh masyarakat yang
mengalaminya (Suryani, 2008)
Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan dan/atau
perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan
konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses
produksi (UU No. 18 tahun 2002).
Berdasarkan beberapa definisi diatas tentang inovasi dalam pelayanan
publik, maka dapat disimpulkan bahwa inovoasi adalah suatu hal yang baru
yang diadopsi dan diterapkan untuk pengembangan suatu bidang atau
organisasi.
Inovasi dalam pelayanan kesehatan adalah suatu ide atau gagasan yang
dirancang dalam bidang kesehatan untuk mempertahankan dan meningkatkan
kesehatan masyarakat guna perbaikan status kesehatan masyarakat.

B. Isi Inovasi
1. Pengertian disfagia
Disfagia merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami
kesulitan menelan cairan atau makanan yang disebabkan gangguan pada
proses menelan. Sekitar 28-65% pasien yang mengalami disfagia setelah
serangan stroke.Stroke merupakan tanda-tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global yang dapat
mengakibatkan kematian, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vascular.
Rasyid & Soertidewi, (2011).Diperkirakan setiap tahun di Kanada ada
21.000 pasien lansia mengidap stroke dengan disfagia sedangkan di
Amerika sebanyak 200.000 pasien. (Martino, R, Martin, R.E.,& Black, S,
2012).
Gangguan menelan pada pasien stroke sering terjadi pada fase oral dan
fase faringeal sehingga menyebabkan disfagia. Oleh karena itu saat awal
masuk rumah sakit, pada semua pasien stroke harus dilakukan skrining
disfagia. Terdapat beberapa metode skrining disfagia seperti water
swallowing test, multiple consistency test, dan swallowing provocation
test.
Pemberian nutrisi dapat dilakukan melalui jalur enteral dan parenteral
jika terjadi disfagia. Menelan merupakan mekanisme yang kompleks,
makanan didorong melalui faring dan esofagus, dan makanan dicegah
supaya tidak masuk ke dalam saluran napas. Proses menelan makanan
terdiri dari tiga fase yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esophageal.
Pada awalnya terjadi pencampuran makanan dengan saliva pada fase oral,
kemudian dikunyah dan terbentuk bolus, bolus makanan ini mencapai
arkus faringeal pada fase faringeal, akibatnya palatum mole naik menutup
nasofaring sehingga mencegah regurgitasi orofaringeal dan aspirasi.
Selanjutnya bolus makanan akan didorong menuju lambung pada fase
esophageal.

2. Pengertian metode GUSS


GUSS adalah skrining sederhana yang dapat menentukan tingkat
keparahan disfagia dengan mengevaluasi nutrisi cairan dan
noncairan,dimulai dari tekstur noncairan, suatu metode cepat dan reliabel
untuk mengidentifikasi pasien stroke dengan disfagia dan risiko aspirasi.

3. Tujuan skrining disfagia GUSS


a. Mengurangi risiko aspirasi seminimal mungkin
b. Mengakses tingkatan keparahan disfagia dan resiko aspirasi
c. Merekomendasikan diet yang sesuai

4. Cara Kerja dan Prosedur tindakan GUSS


Pasien hendaknya duduk di bed setengah duduk minimal 60˚ dan
dalamkondisi sadar setidaknya 15 menit. Pemeriksaan GUSS dibagi
menjadi 2 bagian : tes menelan tidak langsung dan tes menelan langsung .
Pasien harus dapat menyelesaikan seluruh subtes untuk meraih 5 poin
di setiap subtes. Jika nilai subtes <5 poin, pemeriksaan dihentikan dan
dilanjutkan rekomendasi diet yang sesuai.
Bagian 1 : Tes Menelan Tidak Langsung
Pemeriksaan GUSS diawali dengan menelan ludah. Pasien yang tidak
dapat memproduksi sailiva cukup karena mulut kering diberikan
sailiva spray sebagai pengganti.
Dilakukan asesmen terhadap kewaspadaan (vigilance), batuk yang
disengaja (voluntary cough), berdehem (throat clearing), dan
penelanan saliva (saliva swallonwing).
YA TIDAK
Kewaspadaan 1 0
(pasien sadar minimal
15 menit)
Batuk atau berdehem 1 0
Menelan air ludah
Menelan dengan baik 1 0
Ngiler 0 1
Perubahan suara 0 1
Jumlah
1-4 : pemeriksaan
lebih lanjut
5 : tes menelan
langsung

Bagian 2 : Tes menelan langsung


Air destilasi/aqua dikentalkan menjadi setengah padat menyerupai
konsistensi pudding. Sepertiga sampai setengah sendok diberikan
bolus pertama dilanjutkan sampai lima kali sendok teh.Pemeriksa
mengobservasi pasien di setiap sendok yang diberikan. Pemeriksaan
gagal jika salah satu dari tanda risiko aspirasi ditemukan, yaitu gagal
menelan, batuk, ngiler, perubahan suara.
Subtes Menelan Cairan
Diawali dengan 3 ml aqua dalam gelas beaker, pasien diobservasi
selam menelan pertama kali ini. Jika menelan berhasil dan tidak ada
gejala, subtes dilanjutkan dengan peningkatan volume 5,10, dan 20 ml
aqua sampai 50 ml. Pasien diminta minum 50 ml tersebut secepatnya.

1 2 3
semipadat cair padat
1. Proses menelan :
Tidak dapat menelan 0 0 0
Menelan tertunda 1 1 1
(>2 detik, bahan padat >10
detik)
Menelan dengan baik : 2 2 2
2. Batuk (tidak sengaja)
(sebelum,selama, dan setelah
menelan,sampai 3 menit
kemudian)
YA 0 0 0
TIDAK 1 1 1
3. ngiler
YA 0 0 0
TIDAK 1 1 1
4. Perubahan suara :
(suara diperhatikan sebelum
dan sesudah menelan, kata
“oh”)
YA 0 0 0
TIDAK 1 1 1
Jumlah 5 5 5
1-4 1-4 : 1-4 :
pemeriksaa pemeri lanjutk
n lebih ksaan an
lanjut lebih lebih
5 : lanjut lanjut
lanjutkan 5: 5 :
cair lanjutk Norma
an l
padat

Kesimpulan dan Interpretasi

Kesimpulan
Tes menelan langsung 5
Tes menelan tidak 15
langsung
Jumlah 20

Jumlah Kriteria Keparahan Risiko Aspirasi


Disfagia
20 Tidak ada disfagia/disfagia Risiko aspirasi minimal
ringan
15-19 Disfagia ringan Risiko rendah terjadi
apirasi
10-14 Disfagia moderat Risiko sedang terjadi
aspirasi
0-9 Disfagia berat Risiko tinggi aspirasi

C. EBN dan Sumbernya


1. PENGARUH LATIHAN MENELAN TERHADAP STATUS FUNGSI MENELAN PASIEN
STROKE DENGAN DISFAGIA DI RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO DAN RSUP
FATMAWATI JAKARTA
Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan pendekatan control
group pre test and post test. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh latihan menelan terhadap status fungsi menelan pada pasien stroke
dengan disfagia. Populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 18 orang
responden dari RSUPN DR Cipto Mangunkusumo dijadikan sebagain kelompok
perlakuan dan 18 orang responden dari dan RSUP FATMAWATI sebagai
kelompok kontrol. Hasilnya adalah setelah dilakukan latihan menelan,
perbedaan status fungsi menelan antara sebelum dan setelah latihan menelan,
rata-rata mean status fungsi menelan antara sebelum dan setelah dilakukan
latihan menelan pada kelompok lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
kelompok kontrol
2. GUGGING SWALLOWING SCREEN (GUSS) SEBAGAI METODE SKRINING
KEMAMPUAN MENELAN PASIEN STROKE AKUT di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Penelitian skrining ini menggunakan metode The Gungging Swalowwing
Screen (GUSS) yang bertujuan untuk mengurangi risiko aspirasi dan
memungkinkan penilaian bertingkat dari kemempuan menelan pasien,
mengukur tingkat keparahan disfagia, dan memungkinkan rekomendasi diet
GUSS yang merupakan alat yang sah untuk memprediksi risiko,. Pasien stroke
secara signifikan beresiko tinggi terjadi aspirasi dengan cairna dibandingkan
dengan tekstur semi padat. Sehingga skrining GUSS merupakan metode cepat
dan dapat mengidentifikasi pasien stroke dengan disfagia dan resiko aspirasi

BAB III

METODE PENULISAN

A. Tahapan Penulisan
B. Sumber Penulisan
1. Haryono & Ngatini. 2014. Gugging Swallowing Screen (GUSS) sebagai
Metode Skrining Kemampuan Menelan Pasien Stroke Akut di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta (diakses tanggal 27 Agustus 2019)
2. Mulyatsih. 2015. Pengaruh Latihan Menelan Terhadap Status Fungsi
Menelan Pasien Stroke dengan Disfagia di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo dan RSUP Fatmawati Jakarta
C. Sasaran Penulisan

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Hasil Observasi
B. Manfaat yang didapat

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai