Anda di halaman 1dari 16

“TEMA STUDI KASUS “

MEWUJUDKAN PEMERATAAN WILAYAH INDONESIA MELALUI POROS


MARITIM DENGAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

Disusun Oleh :

Septian Dwi Prasetyo (160402740 )


Musthafa Mughni Zuhad (16040274073)
Egista Rachma (160402740 )
Ronaldo Maulana (16040274083)
Kharisma Lestari (16040274089)
Amalia Nathzifatur R. U. (16040274091)
Khrisna Julianfajar Rohadi (16040274093)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
2019
ISI

Sebagai salah satu negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, Indonesia
terdiri dari 17.506 pulauserta luas wilayah lebih dari 7.7 juta km², dimana 2/3 bagiannya
merupakan perairan seluas lebih dari 5.8 juta km², dengan garis pantai sepanjang lebih dari
81.000 km², dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil. Laut Indonesia juga kaya akan
berbagai jenis hasil laut dan sumber daya alam. Dari hasil laut, Indonesia mampu memproduksi
sebesar 5 juta ton/tahun dan terus meningkat dari tahun ke tahun (www.bakosurtanal.go.id).
Selain kaya akan berbagai jenis ikan, dasar laut wilayahnya menyimpan ribuan bahan tambang.
Dengan posisi yang strategis, wilayah laut Indonesia menjadi bagian dari jalur transportasi laut
dunia dan juga berpotensi besar untuk pengembangan wisata bahari. Wilayah Indonesia adalah
persimpangan bagi kapal dari dunia barat yang ingin ke timur dan kapal dunia timur yang ingin
ke barat. Selain itu, Indonesia juga memiliki beberapa Choke Points (titik perlintasan) strategis
bagi jalur pelayaran dunia, seperti Selat Malaka, Selat Makasar, dan Selat Lombok
(www.tabloiddiplomasi.org). Pengamanan wilayah laut Indonesia sangat berpengaruh terhadap
pengamanan wilayah darat, jika keamanan laut sudah diperkuat maka segala kegiatan ilegal akan
bisa dijaga di laut sehingga tidak masuk ke wilayah daratan.

Program pembangunan konektivitas maritim (tol laut) salah satunya dilatarbelakangi


upaya untuk mengurangi disparitas regional Barat Timur, yang telah mengakibatkan terjadinya
ketimpangan pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan lainnya. Tol laut diharapkan menjadi
solusi untuk memperlancar arus pertukaran komoditas antara Barat dan Timur, meningkatkan
mobilitas masyarakat, dan pemerataan pembangunan ekonomi. Hal tersebut mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia bagian barat dengan bagian timur yang ditunjukkan
oleh ketimpangan sebaran kontribusi PDB antarwilayah yang cukup tinggi. Pada tahun 2013,
kontribusi PDB Sumatera mencapai 23,88 %, Jawa mencapai 57,86 %, Bali-Nusa Tenggara
mencapai 2,55 %, Kalimantan mencapai 8,93 %, Sulawesi mencapai 4,61 % dan Papua mencapai
2,33 %. Implementasi konsep Tol Laut diantaranya bertujuan untuk meningkatkan kinerja
transportasi laut melalui perbaikan jaringan pelayaran domestik dan internasional, penurunan
dwelling time sebagai penghambat utama kinerja pelabuhan nasional, serta peningkatan peran
transportasi laut Indonesia yang saat ini baru mencapai 4% dari seluruh transportasi Indonesia.
Sehingga dalam jangka panjang, diharapkan implementasi Tol Laut berdampak terhadap
terciptanya keunggulan kompetitif bangsa, terciptanya perkuatan industri nasional di seluruh
hinterland pelabuhan strategis, pemerataan nasional dan disparitas harga yang rendah. Saat ini
transportasi angkutan laut domestik masih terpusat melayani wilayah yang memiliki aktivitas
ekonomi tinggi yaitu di wilayah Barat Indonesia meskipun karakteristik kepulauan di wilayah
Timur Indonesia telah menjadikan transportasi laut sebagai tulang punggung aktivitas
pergerakannya saat ini. Hal ini karena jumlah muatan barang yang tidak berimbang dari wilayah
timur Indonesia dibandingan dengan dari wilayah barat Indonesia. Potensi ekonomi
perhubungan laut diperkirakan mencapai USD 25 miliar/tahun, di mana Indonesia memiliki tiga
jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dilalui lebih dari 45% total barang dan
komoditas perdagangan antarbangsa di dunia dengan nilai sekitar USD 1.500 triliun/tahun yang
diangkut oleh kapal-kapal niaga melalui laut Indonesia terutama jalur ALKI I (Selat Malaka;
Selat Sunda dan Selat Karimata); ALKI II (Selat Lombok dan Selat Makassar); serta ALKI III
(Selat Timor, Laut Banda, dan Laut Maluku). Namun demikian, potensi ini belum dimanfaatkan
secara signifikan oleh pelabuhanpelabuhan di sepanjang lokasi ALKI. Selain itu, penggunaan
armada niaga nasional untuk angkutan ekspor dan impor juga masih rendah. Selanjutnya, kinerja
logistik nasional Indonesia masih tergolong rendah dan belum optimal, hal tersebut menunjuk
kepada Indeks Kinerja Logistik Global (Logistic Performance Index/LPI) yang dikeluarkan oleh
Worldbank yang pada tahun 2014. Berdasarkan peringkat Logistic Performance Index,
Indonesia menduduki peringkat ke-53 dari 160 negara yang disurvei Biaya logistik di Indonesia
yang tinggi, mencapai 24% dari PDB, menyebabkan rendahnya kompetensi Indonesia secara
umum.

Potensi ekonomi perhubungan laut diperkirakan mencapai USD 25 miliar/tahun, di mana


Indonesia memiliki tiga jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dilalui lebih dari 45%
total barang dan komoditas perdagangan antarbangsa di dunia dengan nilai sekitar USD 1.500
triliun/tahun yang diangkut oleh kapal-kapal niaga melalui laut Indonesia terutama jalur ALKI I
(Selat Malaka; Selat Sunda dan Selat Karimata); ALKI II (Selat Lombok dan Selat Makassar);
serta ALKI III (Selat Timor, Laut Banda, dan Laut Maluku). Namun demikian, potensi ini belum
dimanfaatkan secara signifikan oleh pelabuhanpelabuhan di sepanjang lokasi ALKI. Selain itu,
penggunaan armada niaga nasional untuk angkutan ekspor dan impor juga masih rendah.
Selanjutnya, kinerja logistik nasional Indonesia masih tergolong rendah dan belum optimal, hal
tersebut menunjuk kepada Indeks Kinerja Logistik Global (Logistic Performance Index/LPI)
yang dikeluarkan oleh Worldbank yang pada tahun 2014. Berdasarkan peringkat Logistic
Performance Index, Indonesia menduduki peringkat ke-53 dari 160 negara yang disurvei Biaya
logistik di Indonesia yang tinggi, mencapai 24% dari PDB, menyebabkan rendahnya kompetensi
Indonesia secara umum.

Pembangunan jaringan pelabuhan strategis yang siap menampung kapal-kapal ukuran


besar merupakan salah satu kebutuhan yang perlu segera dipenuhi. Sebaran pelabuhan tersebut
akan dihubungkan oleh jaringan pelayaran yang dapat mencakup segenap wilayah tanah air.
Dalam RPJMN 2015-2019, direncanakan pengembangan dan pembangunan 24 pelabuhan
strategis yang terintegrasi dalam konsep tol laut. 24 pelabuhan tersebut adalah pelabuhan Banda
Aceh, Belawan, Kuala Tanjung, Dumai, Batam, Padang, Pangkal Pinang, Pelabuhan Panjang,
Tanjung Priok, Cilacap, Tanjung Perak, Lombok, Kupang, Pontianak, Palangkaraya,
Banjarmasin, Maloy, Makassar, Bitung, Halmahera, Ambon, Sorong, Merauke, dan Jayapura.
Idealnya, beberapa pelabuhan harus mampu dilalui kapal-kapal besar berbobot 3.00010.000
TEUs. Sementara rata-rata pelabuhan yang tersedia hanya memiliki kedalaman 9 -12 meter,
sehingga hanya dapat disinggahi kapal dengan bobot maksimal 1.100 TEUs. Secara umum,
tantangan utama pengembangan infrastruktur konektivitas maritim adalah terkait kesenjangan
ketersediaan muatan antara wilayah barat dan timur yang masih tinggi, produktivitas bongkar
muat (dwelling time) yang belum efisien; konektivitas intra dan antar infrastruktur transportasi
darat dan laut yang rendah, termasuk kapasitas terminal yang masih terbatas, kedalaman alur
pelayaran yang belum optimal, fasilitas pelabuhan dan kapasitas dermaga yang masih terbatas,
kapasitas produksi galangan kapal dan akses keluar masuk pelabuhan yang masih terbatas, belum
optimalnya pengelolaan kawasan pelabuhan dengan masih tingginya kontribusi biaya di
pelabuhan yang mencapai 31 %; serta kapasitas dan kualitas manajemen kepelabuhanan yang
rendah.

Pasca penerapan Inpres No. 5/2005, penerapan azas cabotage memang berhasil
meningkatkan armada nasional hingga 100% pada kurun waktu 2005-2015. Namun demikian,
jumlah armada yang diproduksi oleh industri galangan kapal dalam negeri hanya mencapai
kurang dari 10% penambahan. Sehingga nilai investasi pelayaran untuk pengadaan kapal
menjadi tidak optimal, karena impor kapal mendominasi. Hal tersebut terjadi karena harga kapal
impor lebih murah dibandingkan dengan harga kapal yang diproduksi oleh galangan kapal dalam
negeri. Akibatnya, utilisasi atau rasio penggunaan terhadap kapasitas terpasang industri galangan
kapal dalam negeri untuk membangun kapal baru hanya 60%. Berdasarkan jenis kapalnya,
proporsi armada perkapalan nasional didominasi oleh jenis Tugboat dan Barge. Saat ini, industri
galangan lebih banyak untuk maintenance bukan pembuatan kapal baru, karena ketergantungan
komponen pembuatan kapal dari impor hingga mencapai 60% serta penguasaan teknologi
pembuatan kapal dan penyediaan infrastruktur pendukungnya yang masih rendah. Industri
galangan kapal dominan berada di Kawasan Barat Indonesia. Terdapat 250 unit galangan kapal
nasional, dengan persebaran di wilayah Sumatera sebanyak 65 unit; di wilayah Kalimantan
sebanyak 62 unit; di wilayah Jawa sebanyak 92 unit; serta di Indonesia bagian timur sebanyak 30
unit. Permasalahan lainnya terkait industri perkapalan adalah belum tersedianya kapal penangkap
ikan yang “ocean going” untuk “mengisi kekosongan” pasca moratorium 1.132 kapal penangkap
ikan terbuat dari besi/baja buatan luar negeri.
Opini dan Teori

Konektivitas maritim berbicara tentang hubungan antara titik-titik simpul dalam pulau
atau antar pulau yang memanfaatkan laut sebagai media utama. Berdasarkan The Global
Competitiveness Report 2013/2014 yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF), peringkat
infrastruktur dan konektivitas Indonesia menempati peringkat ke-61 dari 148 negara.
Berdasarkan laporan tersebut, ketersediaan infrastruktur pelabuhan di Indonesia masih dianggap
kurang. Hal ini menjadi salah satu penyebab tingginya biaya logistik nasional jika dibandingkan
dengan negara-negara lain. Arus barang ekspor dan impor maupun antar pulau menjadi
terhambat dan biaya logistik semakin membengkak. Melihat hal tersebut, pemerintah pada tahun
2015 ini akan melakukan revitalisasi 24 pelabuhan utama untuk mempertajam visi poros maritim
demi tercapainya pembangunan maritim di Indonesia (Aan Kurnia, 2017:265). Untuk
mewujudkan konektivitas maritim Indonesia, beberapa upaya Pemerintahan Joko Widodo adalah
membangun tol laut dan infrstruktur yang mendukung perindustrian kelautan. Beberapa realisasi
konektivitass maritim adalah : 1. Membangun Tol Laut Agenda besar yang dilontarkan presiden
RI tersebut adalah mejadikan Indonesia sebagai Poros Maritm Dunia. Untuk mencapai target
tersebut pemerintah membuat program yang disebut dengan Tol Laut. Tol Laut merupakan
bagian dari poros maritim yang diterapkan pada jalur laut Indonesia yang akan menjadi hub
pelayaran, perdagangan, arus keluar masuk barang dan manusia di kawasan Asia khususnya
ASEAN. Tol Laut adalah konsep pembangunan Indonesia Integrated Chain Port
yangmengembangkan dan mengoptimalkan fungsi pelabuhan di semua pulau, dengan
menghubungkan tujuh kawasan pelabuhan di Indonesia dalam suatu sistem operasi yang efisien
serta mengintegrasikan kawasan industri dan pelabuhan untuk menurunkan biaya logistik di
darat(Aan Kurnia, 2017:266).

Tol Laut juga dapat mengintegrasikan kepulauan-kepulauan Indonesia, sehingga


konektivitas antar pelabuhan besar di Indonesia dapat terhubung dengan jadwal kapal barang
atau penumpang yang terjadwal. Dengan demikian biaya logistik akan turun dengan sendirinya.
Melalui konektivitas maritim, diharapkan dapat mengurangi disparitas wilayah antara Kawasan
Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Tol Laut menjadi salah satu konsep
penting pengembangan trasnportasi laut untuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan atau
negara maritim. Konsep Tol Laut diharapkan dapat mewujudkan sistem distribusi barang yang
efisien(Aan Kurnia, 2017:266).

Membangun Insfrastruktur Yang dimaksud dengan pembangunan infrastruktur ini adalah


(i) pembangunan atau revitalisasi pelabuhan-pelabuhan yang sudah ada; (ii) pembangunan power
plant; (iii) pembangunan fasilitas pelabuhan; (iv) pembangunan jalan dari pusat-pusat industri ke
pelabuhan. Di samping itu yang tak kalah penting adalah pembangunan kawasan industri baru.

Akses jalan dari pusat-pusat industri ke pelabuhan harus dibuatkan jalan tol khusus untuk
transportasi ke pelabuhan. Apalagi pelabuhan-pelabuhan hubyang ada di Indonesia umumnya
peninggalan Belanda yang lokasinya berada di pusat kota. Jalan menuju ke pelabuhan dari pusat-
pusat industri yang melewati pusat kota mulai macet, sehingga meningkatkan biaya transportasi.
Di samping pelabuhan, pemerintah pun harus mempersiapkan infrastruktur, seperti
pembangunan pembangkit listrik. Untuk kepentingan tersebut, saat ini pemerintah sedang
membangun pembangkit listrik dengan kapasitas 35.000 MW sampai tahun 2019. Pembangunan
pembangkit listrik tersebut dalam rangka mengantisipasi kebutuhan listrik nasional(Aan Kurnia,
2017:267).

Dengan terbentuknya konektivitas maritim di Indonesia, sangat diharapkan akan membantu


mewujudkan stabilitas keamanan maritim, diperlukan strategi untuk menghadapi segala bentuk
gangguan dan ancaman di laut, dengan mengerahkan kekuatan dan kemampuan dari berbagai
instansi yang berwenang menegakkan hukum di laut. Keamanan dan keselamatan pelayaran
merupakan hal yang pokok, agar laut aman digunakan dan bebas dari ancaman atau gangguan
terhadap aktifitas pengguna laut (Aan Kurnia, 2017:268).
“SUB-KELOMPOK STUDI KASUS”

MEWUJUDKAN PEMERATAAN WILAYAH MELALUI POROS MARITIM DENGAN


PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI WILAYAH TIMUR INDONESIA

ISI

Indonesia memiliki potensi menjadi negara dengan ekonomi kelautan yang menjadi
sumber kemakmuran bagi masyarakatnya. Sebagai negara kepulauan terbesar menjadikan
Indonesia memiliki potensi maritim dalam berbagai bidang tidak hanya sebagai kawasan
bioteknologi dan wisata kelautan, perairan laut dalam dan mineral kelautan, tetapi juga industri
pelayaran dan pertahanan serta industri maritim dunia. Selain potensi sumber daya alam tersebut,
Indonesia juga diuntungkan oleh lokasi teritorial yang strategis secara politik maupun ekonomi.
Indonesia berada di daerah ekuator, antara benua Asia dan Australia yang secara langsung
menghubungkan ekonomi negara-negara maju. Selain itu, Indonesia juga terletak di antara dua
samudera, Pasifik dan Hindia yang menjadikan Indonesia menjadi kawasan penghubung
antarnegara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara serta Asia Selatan. Beberapa selat
strategis lalu lintas maritim global juga berada di perairan Indonesia yakni Selat Malaka, Selat
Sunda, Selat Lombok dan Selat Makasar (Chen in Chen, 2014: 68).

Posisi geostrategi dan geopolitis tersebut memberikan peluang Indonesia tidak hanya
sebagai jalur ekonomi global tetapi juga jalur keamanan laut internasional sehingga
menempatkan Indonesia memiliki keunggulan sekaligus ketergantungan yang tinggi terhadap
bidang kelautan. Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, dimana
upaya tersebut dilakukan melalui pengembangan ekonomi berbasis maritim guna terciptanya
kesejahteraan. Selama ini, Indonesia kehilangan banyak sekali peluang ekonomi. Lebih khusus, ide Poros
Maritim ini merupakan upaya dari pemerintahan Jokowi untuk meningkatkan konektivitas dan
keterjangkauan antarpulau di Indonesia. Tujuan akhir dari konektvitas ini adalah pemerataan
pembangunan ekonomi dan terciptanya keamanan maritim di Indonesia. Gagasan Jokowi melalui
Poros Maritim ini mencakup dua elemen dasar pembangunan, yaitu sebagai sebuah doktrin dan
sebagai strategi pembangunan nasional. Gagasan komprehensif ini juga mencerminkan
optimisme baru mengenai kebijakan arah masa depan Indonesia (Sukma, 2014). Poros Maritim
merupakan upaya mempromosikan peran ekonomi maritim dan sinergi pembangunan kelautan
nasional dengan target pembangunan ekonomi yang implementasinya termuat dalam
pembangunan tol laut. Tol laut adalah upaya untuk menciptakan konektivitas laut yang efektif
berupa adanya kapal yang berlayar secara rutin dan terjadwal dari wilayah barat sampai ke timur
Indonesia (Prihartono, 2015). Secara sederhana, konsep tol laut menghubungkan koneksi antar
pulau dan membantu akses niaga serta industrialisasi guna meningkatkan kesejahteraan rakyat
dan ekonomi negara. Konsep tol laut diimplementasikan juga sebagai peningkatan kinerja
transportasi laut melalui perbaikan jaringan pelayaran domestik dan internasional, penurunan
dwelling time sebagai penghambat kinerja pelabuhan nasional, serta peningkatan peran
transportasi laut. Dengan subsidi dan pembangunan tol laut diharapkan bisa mengembangkan
perekonomian, pertahanan dan kesatuan wilayah perairan Indonesia. Ide tol laut merupakan
konsep untuk memperkuat jalur pelayaran yang dititkberatkan pada Indonesia bagian Timur.
Upaya untuk mengkoneksikan jalur pelayaran tersebut akan mempermudah akses niaga tidak
hanya bagi daerah kawasan timur Indonesia saja tetapi pada akhirnya juga membuka akses
regional dari negara-negara Pasifik bagian selatan menuju negara-negara Asia di bagian timur.
Realisasi ide tersebut dimulai dengan pembaharuan dan pemeliharaan infrastruktur pelabuhan,
baik dalam skala nasional maupun internasional (Bappenas, 2015)

Pembaharuan infrastruktur pelabuhan yang dilakukan ini merupakan usaha untuk


mengakomodir dan menyediakan sistem dan layanan kepelabuhan internasional, sehingga
Indonesia bisa mengambil keuntungan ekonomi dalam distribusi logistik internasional.
Transportasi laut saat ini digunakan oleh sekitar 90% perdagangan domestik dan internasional
sehingga pengembangan kapasitas dan konektivitas dari pelabuhan sangat penting untuk
penurunan biaya logistik dan pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional (Bappenas, 2015).
Selama ini, selain tingginya biaya ekonomi, kurangnya fasilitas prasarana bongkar muat di
pelabuhan, masih menjadi kendala sehingga menyebabkan turunnya minat penggunaan
transportasi laut. Dari aspek logistik untuk angkutan laut, dapat dilihat juga terdapat banyak
inefesiensi pengangkutan barang terutama untuk angkutan laut ke Indonesia bagian timur.
Angkutan logistik laut dari Jawa ke Papua selalu terisi penuh, namun kembali dalam keadaan
kosong. Tidak efisiennya konektivitas barang tersebut menyebabkan disparitas harga kebutuhan
pokok antara Jawa dan Indonesia Timur, khususnya Papua sangat tinggi (Bappenas, 2015).

Peran transportasi laut melalui tol laut merupakan program pemerintah untuk
memberikan kepastian kapal datang dan berangkat sesuai jadwal secara teratur dengan ada atau
tidak adanya barang, kapal harus tetap berangkat. Rute yang dikembangkan dalam program tol
laut bukanlah rute favorit domestik selama ini, karena feri komersial masih banyak yang belum
aktif dalam jalur pelayaran ke daerah timur Indonesia. Operator kapal yakni PT. Pelni tidak akan
rugi karena pemerintah telah menyiapkan Public Service Obligation (PSO) untuk menutupi biaya
operasional jika kapal kargo sepi (Mandi, 2017). Oleh karena itu, melalui tol laut pusat
pertumbuhan daerah tertinggal, serta pembangunan transportasi intrapulau dan antarpulau dapat
diperbaiki sehingga menunjang pemerataan ekonomi diseluruh kawasan Indonesia.. Upaya
pemerintah untuk lebih memperhatikan infrastruktur timur Indonesia dan efektivitas
pembangunan pelabuhan kini mulai terlihat. Kemenhub telah merampungkan pembangunan
fasilitas pelabuhan di 91 pelabuhan di seluruh Indonesia. 80 lokasi pembangunan pelabuhan
tersebar di wilayah timur Indonesia dan 11 lokasi pelabuhan tersebar di wilayah barat Indonesia.
Pada tahun 2016, terdapat 21 pelabuhan baru di Maluku dengan perincian 8 pelabuhan di
Provinsi Maluku serta 13 pelabuhan di Maluku Utara. Pelabuhan Wasior di Kabupaten Teluk
Wondama, Papua juga telah resmi dibuka dan digunakan untuk memperlancar transportasi laut
Indonesia. Sebagai tindak lanjut rangkaian kegiatan peresmian 91 infrastruktur pelabuhan
tersebut, sebanyak 55 pelabuhan diresmikan dalam 6 Indonesian Perspective ( Januari-Juni 2018)
Kebijakan Poros Maritim Jokowi kurun waktu April hingga Juni tahun 2016.
Pembangunan infrastruktur pelabuhan ini telah mengacu pada sistem pembangunan transportasi
nasional, lokal dan kewilayahan dengan tetap meng utamakan keselamatan dan keamanan
transportasi laut (Liputan 6, 2016). Selain itu, pemerintah juga mengembalikan sistem jadwal
kapal yang teratur (regular shipping) ke Indonesia Timur yang sebelumnya sempat dihapuskan.
Keteraturan tentang jadwal keberangkatan kapal tidak hanya memudahkan para pengusaha besar
untuk menentukan kiriman logistik barang tetapi juga memudahkan pedagang dan petani kecil
untuk membawa barangnya keluar daerah (Sindonews, 2016). Untuk mewujudkan pemerataan,
juga diperlukan pembangunan dengan konsep ship promote the trade, dimana pembangunan
konektivitas di wilayah timur Indonesia diharapkan mampu meningkatkan aktivitas ekonomi dan
perdagangannya. Pengembangan pelayanan transportasi laut sebagai tulang punggung distribusi
logistik yang menghubungkan wilayah Barat dan Timur Indonesia diharapkan mampu
mempercepat pertumbuhan ekonomi disertai terwujudnya pemerataan (Bappenas, 2015).
Banyaknya pembangunan pelabuhan tersebut kini telah menyebabkan disparitas harga kebutuhan
pokok menurun. Berdasarkan data statistik dari Kementerian Koordinator Bidang Maritim,
disparitas harga sudah turun lumayan besar, sekitar 30% sampai 40% pada tahun 2016
(Republika, 2017).

Upaya cepat pemerintah dalam melaksanakan pembangunan tol laut diharapkan bisa
terwujud melalui pembangunan pelabuhan. Dalam tempo tiga tahun sejak tahun 2014 sampai
tahun 2016, Pemerintahan Jokowi telah membangun 150 pelabuhan besar dan kecil yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia khususnya di daerah Indonesia Timur. Selain itu, juga terdapat
enam rute kapal terjadwal yang melayani 24 simpul pelayaran tol laut. Meskipun dalam beberapa
tahun terakhir proyek tol laut masih ditemukan beberapa kendala dan harus dievaluasi, terutama
dalam hal desain rute tol laut, ukuran kapal logistik dan efektifitas pelayaran nasional. Ukuran
kapal-kapal yang melayani simpul-simpul tol laut tersebut masih belum sesuai dengan arus
logistik dan jumlah penumpang. Selain itu, sebagian rute-rute tersebut melewati jalur yang
dilalui perusahaan swasta, sehingga menjadi tidak efisien (Berita Satu, 2016).

Sangat logis jika kemudian, ekonomi kelautan (kemaritiman) dijadikan tumpuan bagi
rancangan pembangunan ekonomi nasional melalui gagasan Poros Maritim dunia. Pembangunan
infrastruktur perhubungan transportasi di luar Pulau Jawa menjadi prioritas Kementerian
Perhubungan (Kemenhub). Salah satunya pembangunan serta pengoperasian sarana dan
prasarana transportasi di wilayah Timur. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub Julius
Adravida Barata mengatakan pembangunan infrastruktur di wilayah Timur diperlukan untuk
menyesuaikan program Nawacita pemerintah. "Ini memang menyesuaikan konsep Nawacita.
Program pembangunan infrastruktur dilengkapi pengoperasian sarana transportasi itu di sektor
maritim, kelautan. Beberapa proyek infrastruktur laut memang dipriotaskan, Menurut Brata Nusa
Tenggara Timur yang masuk program seperti pembangunan pelabuhan penyeberangan,
pelabuhan laut, sampai pengoperasian kapal motor penyeberangan (KMP). Beberapa daerah
Indonesia Timur seperti Sorong (Papua Barat) sudah disiapkan infrastruktur pelabuhan dengan
dilengkapi sarana pengoperasian KMP "Besok (Jumat) di Alor, pemerintah, Kemenhub juga
resmikan infrastruktur pelabuhan Dulioning dan pelabuhan penyeberangan Baranusa.
Infrastruktur ini untuk menguatkan transportasi laut yang digunakan masyarakat.
Fakta dan Konsep :

Secara konseptual Pembangunan Kemaritiman mencakup aspek yang sangat luas dan
kompleks yang saling terkait satu aspek dengan yang lain. Secara skematik pembangunan
kemaritiman ini dibagi kedalam 5 (lima) klaster program prioritas, yaitu: (1) Batas Maritim
Ruang Laut, Diplomasi Maritim; (2) Industri Maritim dan Konektivitas Laut; (3) Industri
Sumber Daya Alam Dan Jasa Kelautan Serta Pengelolaan Lingkungan Laut; (4) Pertahanan Dan
Keamanan Laut; dan (5) Budaya Bahari.

Klaster Program Batas Maritim Ruang Laut, Diplomasi Maritim terdiri dari 4 (empat) kegiatan
prioritas, yaitu: (1) Perundingan dan Penyelesaian Batas Laut; (2) Penguatan Diplomasi Maritim;
(3) Penyelesaian Toponimi; dan (4) Penataan Ruang Laut.

Strategi yang dilakukan mencakup : (1) Pengembangan sistem konektivitas transportasi kelautan
melalui peningkatan pelayaran; (2) Pengembangan dan pembangunan infrastruktur pelabuhan
laut; (3) Pengembangan kemampuan dan kapasitas badan usaha nasional di bidang pembangunan
dan pengelolaan infrastruktur yang berdaya saing dan bertaraf internasional dengan negara mitra;
(4) Meningkatkan keamanan dan keselamatan pelayaran; (5) Peningkatan kemampuan sumber
pendanaan nasional untuk pembangunan infrastruktur kelautan; (6) Penciptaan iklim investasi
yang baik untuk pembangunan dan pengelolaan infrastruktur kelautan; (7) Peningkatan kerja
sama investasi pembangunan infrsatruktur dengan negara-negara mitra.
“SUB-KELOMPOK STUDI KASUS”

MEWUJUDKAN WILAYAH BARAT INDONESIA MELALUI POROS MARITIM


DENGAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

ISI

Visi Indonesia menuju negara maritim yang kuat merupakan pilihan strategis bangsa ke
depan. Penentuan visi sebagai negara maritim tentunya didasari oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah sejarah kebaharian yang sangat kuat di era kerajaan nusantara dimasa lampau,
posisi geostrategis Indonesia yang memiliki beragam keunggulan dari perspektif geopolitis dan
geo-ekonomi, dan ketersediaan sumberdaya kelautan dan maritim didalam laut Indonesia yang
sangat melimpah. Unsur-unsur tersebut sudah akan berkontribusi posisif terhadap perwujudan
Indonesia untuk menjadi negara maritim yang kuat, apabila hanya jika mampu dikelola dan
didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan. Konektivitas laut yang handal merupakan
kebutuhan, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas, sehingga konektivitas
laut harus mampu menghubungkan titik-titik penting dari Sabang sampai Merauke. Untuk itu,
konektivitas laut perlu didukung oleh penguatan infrastruktur dan industri maritim yang
mencakup industri galangan kapal dan komponen perkapalan, pelabuhan dan jasa maritim dan
industri pelayaran.

Program pembangunan konektivitas maritim (tol laut) salah satunya dilatarbelakangi


upaya untuk mengurangi disparitas regional Barat Timur, yang telah mengakibatkan terjadinya
ketimpangan pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan lainnya. Tol laut diharapkan menjadi
solusi untuk memperlancar arus pertukaran komoditas antara Barat dan Timur, meningkatkan
mobilitas masyarakat, dan pemerataan pembangunan ekonomi. Hal tersebut mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia bagian barat dengan bagian timur yang ditunjukkan
oleh ketimpangan sebaran kontribusi PDB antarwilayah yang cukup tinggi. Pada tahun 2013,
kontribusi PDB Sumatera mencapai 23,88 %, Jawa mencapai 57,86 %, Bali-Nusa Tenggara
mencapai 2,55 %, Kalimantan mencapai 8,93 %, Sulawesi mencapai 4,61 % dan Papua mencapai
2,33 %. Implementasi konsep Tol Laut diantaranya bertujuan untuk meningkatkan kinerja
transportasi laut melalui perbaikan jaringan pelayaran domestik dan internasional, penurunan
dwelling time sebagai penghambat utama kinerja pelabuhan nasional, serta peningkatan peran
transportasi laut Indonesia yang saat ini baru mencapai 4% dari seluruh transportasi Indonesia.
Sehingga dalam jangka panjang, diharapkan implementasi Tol Laut berdampak terhadap
terciptanya keunggulan kompetitif bangsa, terciptanya perkuatan industri nasional di seluruh
hinterland pelabuhan strategis, pemerataan nasional dan disparitas harga yang rendah.

Saat ini transportasi angkutan laut domestik masih terpusat melayani wilayah yang memiliki
aktivitas ekonomi tinggi yaitu di wilayah Barat Indonesia. Potensi ekonomi perhubungan laut
wilayah barat ada jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) barang dan komoditas
perdagangan antarbangsa di dunia yang diangkut oleh kapal-kapal niaga melalui laut Indonesia
terutama jalur ALKI I (Selat Malaka; Selat Sunda dan Selat Karimata). Namun demikian, potensi
ini belum dimanfaatkan secara signifikan oleh pelabuhan-pelabuhan di sepanjang lokasi ALKI.
Selain itu, penggunaan armada niaga nasional untuk angkutan ekspor dan impor juga masih
rendah. Selanjutnya, kinerja logistik nasional Indonesia masih tergolong rendah dan belum
optimal, hal tersebut menunjuk kepada Indeks Kinerja Logistik Global (Logistic Performance
Index/LPI) yang dikeluarkan oleh Worldbank yang pada tahun 2014. Berdasarkan peringkat
Logistic Performance Index, Indonesia menduduki peringkat ke-53 dari 160 negara yang disurvei
Biaya logistik di Indonesia yang tinggi, mencapai 24% dari PDB, menyebabkan rendahnya
kompetensi Indonesia secara umum.

Pembangunan jaringan pelabuhan strategis di wilayah barat yang siap menampung kapal-
kapal ukuran besar merupakan salah satu kebutuhan yang perlu segera dipenuhi. Sebaran
pelabuhan tersebut akan dihubungkan oleh jaringan pelayaran yang dapat mencakup segenap
wilayah tanah air. Telah direncanakan pengembangan dan pembangunan 11 pelabuhan strategis
di wilayah barat yang terintegrasi dalam konsep tol laut. 11 pelabuhan tersebut adalah pelabuhan
Banda Aceh, Belawan, Kuala Tanjung, Dumai, Batam, Padang, Pangkal Pinang, Pelabuhan
Panjang, Tanjung Priok, Cilacap, Tanjung Perak. Idealnya, beberapa pelabuhan harus mampu
dilalui kapal-kapal besar berbobot 3.00010.000 TEUs. Sementara rata-rata pelabuhan yang
tersedia hanya memiliki kedalaman 9 -12 meter, sehingga hanya dapat disinggahi kapal dengan
bobot maksimal 1.100 TEUs. Secara umum, tantangan utama pengembangan infrastruktur
konektivitas maritim adalah terkait kesenjangan ketersediaan muatan antara wilayah barat dan
timur yang masih tinggi, produktivitas bongkar muat (dwelling time) yang belum efisien;
konektivitas intra dan antar infrastruktur transportasi darat dan laut yang rendah, termasuk
kapasitas terminal yang masih terbatas, kedalaman alur pelayaran yang belum optimal, fasilitas
pelabuhan dan kapasitas dermaga yang masih terbatas, kapasitas produksi galangan kapal dan
akses keluar masuk pelabuhan yang masih terbatas, belum optimalnya pengelolaan kawasan
pelabuhan dengan masih tingginya kontribusi biaya di pelabuhan yang mencapai 31 %; serta
kapasitas dan kualitas manajemen kepelabuhanan yang rendah.
Opini dan Teori

1. Perikanan Sumber daya alam perikanan merupakan salah satu potensi unggulan yang
terkandung di laut Nusantara. Sumberdaya perikanan terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu
tangkap dan budidaya. Perairan laut nusantara dibagi kedalam 11 Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP) disesuaikan karakteristik sumber daya ikan yang terdapat didalamnya, dan
karakteristik biofisik dinamika laut yang menunjang perikanan. Indonesia merupakan salah satu
negara produsen perikanan utama di dunia. Pada tahun 2014, untuk perikanan tangkap, Indonesia
menempati urutan kedua setelah China dengan nilai volume 6,48 juta ton atau menyumbang
7,38% perikanan tangkap di dunia (FAO, of Fisheries and Aquaculture 2016), dengan komoditas
utama Tuna, Tongkol, Cakalang dan Udang. Namun demikian, produksi perikanan mengalami
stagnasi dengan rata-rata pertumbuhan kurang dari 3 persen per tahun sejak tahun 2010. Provinsi
produsen perikanan tangkap yang terbesar adalah Maluku, Jawa Timur dan Sumatera Utara.
Sementara itu, produksi perikanan budidaya pada tahun 2014 mencapai 14,5 juta ton dengan
komoditas utamanya adalah produk rumput laut (70%). Data FAO menunjukan bahwa Indonesia
merupakan produsen kedua di dunia untuk komoditas rumput laut dengan nilai 10,08 juta ton,
dan produsen nomor tiga dunia untuk komoditas ikan dengan volume 4,28 juta ton (FAO, of
Fisheries and Aquaculture 2016). Pengembangan usaha perikanan budidaya laut dan payau
masih terkendala oleh ketersediaan benih unggul dan tahan penyakit serta ketergantungan
terhadap bahan baku impor untuk pakan. Selanjutnya, pertumbuhan PDB subsektor perikanan
pada tahun 2015 mencapai angka 8,37%, melebihi angka pertumbuhan sektor pertanian, dengan
kontribusi utama berasal dari PDB perikanan budidaya.

Tantangan yang dihadapi kedepan adalah terkait pengelolaan WPP dan peningkatan daya
saing produk untuk mewujudkan perikanan yang berkelanjutan dan berdaya saing.
Restrukturisasi armada adalah kebutuhan yang penting untuk meningkatkan kemampuan jelajah
armada tangkap yang didominasi oleh kapal penangkap ikan berukuran kecil. Pada tahun 2014,
sebanyak 638.820 kapal ikan atau lebih dari 99 % dari total armada ikan Indonesia beroperasi di
perairan kurang dari 12 mil laut, termasuk perahu tanpa mesin dan mesin tempel. Sementara di
ZEE Indonesia, jumlahnya hanya 4.320 kapal atau tak mencapai 1 % dari total armada.
Selanjutnya, terdapat 1.375 pelabuhan perikanan yang 68% diantaranya berada di Kawasan Barat
Indonesia, 25% di Kawasan Tengah Indonesia dan hanya 7% berada di Kawasan Timur
Indonesia. Selain itu, terdapat 40.407 unit pengolahan ikan (UPI), dimana 67,2% diantaranya
berada di Pulau Jawa dan Sumatera (KKP, 2014). Dari total 9.536.050 ton produk olahan hasil
perikanan di 2014, sekitar 41% berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera.

Lautan Indonesia memiliki kandungan sumber daya alam dan mineral dasar laut yang
sangat kaya. Sumber daya migas dan mineral adalah sumber daya alam yang tidak dapat pulih
yang memerlukan pengelolaan yang tepat supaya pemanfaatannya optimal dan berkelanjutan.
Menurut data yang diolah BPPT, dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam
Indonesia, sekitar 70 % atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Saat ini 91% aktivitas
pertambangan berada di wilayah Barat dan hanya 9% yang berada di wilayah Timur. Dari 317
wilayah kerja migas se-Indonesia, 115 wilayah kerja diantaranya atau sekitar 36,3% merupakan
wilayah kerja offshore. Hal ini salah satunya disebabkan oleh tingginya biaya eksplorasi
pertambangan di laut dan rendahnya penguasaan teknologi offshore. Selanjutnya, telah terjadi
pergeseran dari eksplorasi minyak kepada gas alam bawah laut. Di wilayah pesisir, terdapat
potensi konflik sektor pertambangan dengan sektor perikanan dalam pemanfaatan ruang laut,
seperti yang terjadi pada kasus pertambangan timah versus perikanan di Provinsi Bangka
Belitung. Indonesia merupakan negara kepulauan dimana 70 % wilayahnya merupakan lautan.
Dimana kita ketahui bahwa salah satu potensi laut yang bisa digali adalah “Energi Laut”.

Energi laut sering kita kenal sebagai energi terbarukan yang saat ini statusnya masih dalam skala
terbatas ujicoba lapangan. Energi laut dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu : (i) energi
gelombang (wave power); (ii) energi pasang surut (tidal power); (iii) energi arus laut (current
power); dan (iv) energi panas laut (ocean thermal energy conversion/OTEC).
Daftar Pustaka

Chen, J. et.al. (2014) New Perspectives on Indonesia: Understanding Australia’s Closest Asian
Neighbour. Perth: Perth USAsia Centre.

Kurnia, Laksamana Muda TNI Aan S.Sos, “Facing World Maritime Fulcrum: Between Threats
and Opportunisties'”, 2017, Petro Energi, Jakarta.

Liputan 6. (2016). Kemenhub Resmikan 21 Pelabuhan di Maluku (Online). Tersedia di:


<http://bisnis.liputan6.com/read/2518935/kemenhubresmikan-21-pelabuhan-di-maluku> di akses
tanggal 02 Oktober 2019

Poltak Partogi Nainggolan, “Kebijakan Poros Maritim Dunia Joko Widodo dan Implikasi
Internasionalnya” Politica, Vol. 6, No. 2, Agustus 2015, tersedia dalam
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/view/312/246, diakses pada tanggal 02 Oktober
2019.

Sukma, R. (2014) Gagasan Poros Maritim (Online), Centre of Strategic and International
Studies, 21 Agustus. Tersedia di: <https://www.csis.
or.id/publications/page/gagasan_poros_maritim.html> di akses tanggal 02 Oktober 2019

www.bakosurtanal.go.id di akses tanggal 03 Oktober 2019

www.tabloiddiplomasi.org di akses tanggal 03 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai